Deskripsi Analisis APBD 2014
Deskripsi Analisis APBD 2014
Dengan jumlah daerah yang telah mencapai 539 pemerintah daerah saat
ini, maka informasi mengenai APBD secara nasional sangat diperlukan guna
menunjang ketepatan pengambilan kebijakan di bidang hubungan keuangan
antara pusat dan daerah. Dalam konteks itulah perlu diperoleh gambaran
tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah berdasarkan data yang
berasal dari APBD Tahun Anggaran 2014 dari seluruh pemerintah provinsi,
Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD 2014 ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan baik di pusat
maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan
yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Rukijo
NIP 19670210 199310 1 001
Ringkasan Eksekutif 5
yaitu 42,5% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang
tersisa sangat kecil. Dengan demikian Provinsi Aceh harus memanfaatkan
ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
• Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan alokasi transfer
oleh Pemerintah dengan penetapan dalam APBD, secara umum untuk
alokasi Dana Perimbangan yang penyampaian informasinya ke publik
dilakukan segera setelah pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh daerah dalam menyusun APBD. Adapun
untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan lebih lambat dari DAU
dan DAK (sekitar Desember hingga Januari) atau setelah APBD ditetapkan
oleh daerah, nampak terjadi deviasi yang relatif tinggi antara penetapan
alokasi dari Pusat dengan penetapan dalam APBD.
• Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja
Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah 42,78%. Rasio ini lebih
rendah dari tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 44,7%.
Penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun
terakhir, meskipun penurunannya relatif kecil namun menunjukkan upaya
rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah.
• Terdapat 5 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai lebih dari 50 %,
yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera
Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-
provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk
jenis-jenis belanja selain Belanja Pegawainya. Hal ini akan menyebabkan
keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar Belanja Pegawai yang
bisa didanai, khususnya dalam mendukung pemenuhan layanan publik.
• Sulawesi adalah wilayah yang memiliki rasio Belanja Pegawai tertinggi,
yaitu sebesar 48,65% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio
yang terendah dengan angka sebesar 33,37%. Rasio Belanja Pegawai
Ringkasan Eksekutif 7
3,71%, diikuti oleh DKI Jakarta, Papua. Papua Barat dan Aceh. Hal ini
perlu dicermati mengingat Aceh yang mempunyai Ruang Fiskal terkecil
di Indonesia, rasio Belanja Modal kedua terendah di Indonesia, namun
mempunyai rasio bantuan sosial yang relatif tinggi dibandingkan daerah
lainnya.
• Data APBD menunjukkan bahwa adanya kecenderungan daerah untuk
menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Hal ini terlihat dari 491
kabupaten/kota dan 33 provinsi di Indonesia pada Tahun Anggaran
(TA) 2013 sebanyak 457 daerah menganggarkan defisit dalam APBD-
nya, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 447 daerah yang
menganggarkan defisit. Kecenderungan daerah menganggarkan defisit
tersebut karena adanya SiLPA dalam APBD mereka, artinya sebenarnya
secara umum daerah tidak sedang dalam kondisi defisit secara riil, tetapi
mereka menganggarkan defisit karena untuk menyerap SiLPA tahun
sebelumnya. Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah bahwa
pada umumnya daerah terbukti mengalami surplus pada saat realisasi.
• Rata-rata rasio defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten,
dan kota) adalah 7,5% dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisit
tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi penerimaan pinjaman dan
obligasi daerah 5,9%. Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah
dengan rasio defisit terbesar di mana faktor utama penyebab hal tersebut
adalah untuk mengakomodasi SiLPA tahun sebelumnya yang jumlahnya
cukup besar agar bisa digunakan dalam belanja publik.
• Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang
besaran defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan,
sehingga defisit ditambah pembiayaan masih bernilai minus. Kabupaten
Sarmi merupakan daerah dengan nilai Defisit APBD yang tidak ter-cover
oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar Rp80 miliar. Hal ini harus menjadi
perhatian Pemerintah Pusat sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan pembinaan di bidang pengelolaan keuangan, karena
fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat daerah-daerah yang
Ringkasan Eksekutif 9
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................v
Daftar Isi...............................................................................................x
Daftar Tabel.......................................................................................xiii
Daftar Grafik..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang...........................................................................1
B. Gambaran Umum APBD 2014....................................................2
1. Pendapatan Daerah..................................................................5
2. Belanja Daerah.........................................................................7
3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah...................................9
C. Trend APBD (2010 – 2014).......................................................11
Daftar Isi xi
A. Defisit......................................................................................80
1. Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota...................................81
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................82
3. Pemerintah Provinsi................................................................83
4. Per Wilayah............................................................................84
5. Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh
pembiayaan...........................................................................85
B. Pembiayaan Daerah.................................................................88
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran...........................................91
C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman................95
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................96
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................97
3. Pemerintah Provinsi................................................................97
4. Per Wilayah............................................................................98
5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai
Pinjaman...............................................................................99
D. Dana Idle............................................................................... 101
Daftar Grafik xv
Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota...........................................................................................70
Grafik 3.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota
se-Provinsi .................................................................................72
Grafik 3.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi ...................73
Grafik 3.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah ...............................74
Grafik 3.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota.....................................................76
Grafik 3.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ...............................77
Grafik 3.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Provinsi ..................................................................78
Grafik 3.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
per Wilayah ...............................................................................79
Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan, Agregat Provinsi,
Kabupaten, dan Kota..................................................................81
Grafik 4.2 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten
dan Kota se-Provinsi ..................................................................82
Grafik 4.3 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi....83
Grafik 4.4 Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah............................84
Grafik 4.5 Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota...........................88
Grafik 4.6 Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan
Pembiayaan................................................................................88
Grafik 4.7 Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota................90
Grafik 4.8 Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan
Pembiayaan................................................................................90
Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota...........................................................................................92
A. Latar Belakang
Dalam rangka melaksanakan pelayanan publik di daerah, instrumen
utama yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah melalui APBD.
Pelaksanaan APBD dimaksud diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di
berbagai sektor. APBD yang direncanakan setiap tahun dengan mendapatkan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada dasarnya
menunjukkan sumber-sumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi
belanja untuk melaksanakan program/kegiatan, serta pembiayaan yang
muncul apabila terjadi surplus atau defisit. Pendapatan daerah bersumber
dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana transfer dari pemerintah
pusat, serta dari lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendahuluan 1
penggunaan SiLPA, atau dapat pula melakukan penghematan anggaran
dengan melakukan penyisiran kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan atau
ditunda pelaksanannya.
Tabel 1.1
Ringkasan APBD 2014 secara Nasional (Konsolidasi)
Nasional
Uraian
(Juta Rupiah)
Pendapatan 759.476.113
PAD 180.347.447
Dana Perimbangan 482.221.122
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 96.907.544
Belanja 817.674.081
Dari Tabel 1.1. di atas, komposisi Pendapatan Daerah dalam APBD 2014
terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah. Sementara itu, besarnya jumlah dana dan
persentase dari masing-masing komposisi Pendapatan Daerah terhadap total
dapat dilihat pada Grafik 1.1 di bawah ini. Dari Grafik 1.1 tersebut dapat
dilihat bahwa Dana Perimbangan yang bersumber transfer dari pusat masih
mendominasi sumber Pendapatan Daerah, yaitu mencapai sebesar Rp482,22
triliun (63,49%). Sementara itu PAD dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang
Sah masing-masing hanya mencapai sebesar Rp180,35 triliun (23,75%) dan
sebesar Rp96,91 triliun (12,76%).
Pendahuluan 3
Grafik 1.1
Komposisi Pendapatan Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
96.907.544
12,76% 180.347.447
23,75%
PAD
482.221.122 Dana Perimbangan
63,49% Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Grafik 1.2
Komposisi Belanja Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
131.995.827
182.522.886
15,44%
21,35%
Tabel 1.2
Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah)
Pembiayaan 59.197.160
1. Pendapatan Daerah
Potret rasio Pendapatan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun
2014 pada kabupaten, kota, dan provinsi di beberapa wilayah secara agregat
menunjukkan fakta sebagai berikut:
Pendahuluan 5
Grafik 1.3
Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah
80%
70%
60%
50%
Persentase
40%
30%
20%
10%
0%
Dana Perimbangan/Total Lain-lain Pend. Daerah yang
PAD/Total Pendapatan
Pendapatan sah/Total Pendapatan
Sumatera 15,66% 71,43% 12,91%
Jawa-Bali 37,36% 50,19% 12,45%
Kalimantan 18,83% 73,51% 7,66%
Sulawesi 14,14% 74,55% 11,31%
NT-Maluku-Papua 7,08% 73,14% 19,78%
Dari Grafik 1.3 di atas, dapat dilihat bahwa daerah yang mempunyai rasio
PAD dibandingkan dengan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah
daerah-daerah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu mencapai 37,36%. Sementara
itu daerah-daerah yang mempunyai rasio terendah berada di wilayah pulau
Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, yaitu hanya 7,08%. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan
Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
2. Belanja Daerah
Potret rasio Belanja Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun
2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat
menunjukkan fakta sebagai berikut:
Grafik 1.4
Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah
50%
40%
Persentase
30%
20%
10%
0%
Bel. Pegawai/Tot. Belanja Bel. Modal/Tot. Belanja Bel. Barang & Jasa/Tot. Belanja
Sumatera 41,06% 26,56% 22,73%
Jawa-Bali 41,10% 23,86% 21,97%
Kalimantan 32,29% 35,19% 22,94%
Sulawesi 47,52% 22,77% 21,39%
NT-Maluku-Papua 35,75% 25,60% 22,40%
Pendahuluan 7
Dari Grafik 1.4. dapat dilihat bahwa Belanja Pegawai masih menempati
porsi terbesar dalam Belanja Daerah APBD Tahun 2014, yang selanjutnya
diikuti oleh Belanja Modal, serta Belanja Barang dan Jasa.
Grafik 1.5
Pembiayaan APBD 2014 Per Wilayah
NT-Maluku-Papua
Sulawesi
Kalimantan
Jawa-Bali
Sumatera
Besarnya defisit APBD Tahun 2014 yang paling tinggi terjadi di wilayah
Kalimantan, yaitu mencapai 20,52%. Untuk menutup defisit tersebut,
seluruh daerah di wilayah Kalimantan bisa menggunakan SiLPA tahun lalu
dikarenakan persentase SiLPA sudah melampaui defisit tersebut. Namun
demikian, bila dilihat dari rasio pinjaman daerah sekitar 0,16%, maka bisa
ditengarai bahwa tidak seluruh daerah itu mempunyai SiLPA yang besar
untuk menutup defisit anggarannya. Hal ini berarti bahwa bisa juga sebagian
Pendahuluan 9
daerah tersebut mengandalkan penerimaan pembiayaan dari pinjaman untuk
menutup defisit anggaran daerahnya.
Potret nilai agregat defisit anggaran yang secara langsung bisa ditutup
dengan SiLPA tahun sebelumnya juga terlihat di wilayah Sumatera, wilayah
Jawa dan Bali, dan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Di wilayah
Sulawesi terlihat sedikit berbeda, dimana secara agregat rasio defisitnya
sebesar -3,83% akan tetapi SiLPA-nya hanya 3,78%, sehingga secara agregat
pinjaman daerah di wilayah tersebut mencapai 0,89%. Hal ini ditengarai
bahwa sebagian besar daerah memutuskan untuk melakukan pinjamam
sebagai upaya antisipasi apabila proyeksi pendapatan daerahnya tidak
tercapai. Di sisi yang lain sebagian daerah juga membuat kebijakan ekspansi
pembangunan dengan mengandalkan sumber pembiayaan berupa pinjaman
daerah.
Grafik 1.6
Trend APBD TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
1.000.000
800.000
Milyar Rupiah
600.000
400.000
200.000
(200.000)
2010 2011 2012 2013 2014
Pendapatan 386.338 459.893 551.946 653.512 759.476
Belanja 426.857 495.274 592.660 707.890 817.674
Surplus/defisit (40.519) (35.381) (40.714) (54.378) (58.198)
Pembiayaan Netto 40.791 36.119 41.120 54.814 59.197
Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010-
2014, pendapatan daerah setiap tahunnya meningkat rata-rata sebesar
18,42%. Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi 759,48 triliun, atau
meningkat sebesar Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun sebelumnya
Rp653,51 triliun. Dalam periode yang sama, trend anggaran belanja daerah
Pendahuluan 11
juga mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan
17,66%. Apabila Belanja Daerah pada tahun 2013 sebesar Rp707,89
triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar Rp817,67 triliun
(15,51%).
Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010-2014, pendapatan daerah setiap tahunnya
meningkat Selanjutnya,
rata-rata sebesar trend
18,42%. defisit yang
Pendapatan dianggarkan
Daerah daerah759,48
di tahun 2014 menjadi cenderung
triliun, ataufluktuatif.
meningkat sebesar
Apabila
Rp105,97 dalam tahun
triliun (16,21%) dari tahun2010-2011 mengalami
sebelumnya Rp653,51 triliun. Dalam penurunan,
periode yang sama,maka setelah
trend anggaran itudaerah
belanja
juga hingga
mengalamitahun 2014
peningkatan setiap terus
tahunnyamengalami
dengan rata-ratapeningkatan, di Apabila
peningkatan 17,66%. manaBelanja
defisit anggaran
Daerah pada tahun 2013
sebesar Rp707,89
tahun triliun, maka
2014 pada tahun 2014
meningkat meningkat Trend
7,02%. menjadi sebesar Rp817,67 triliunpembiayaan
peningkatan (15,51%). netto
jugaSelanjutnya,
relatif sama polanya
trend defisit setiapdaerah
yang dianggarkan tahun dengan
cenderung trend
fluktuatif. defisit.
Apabila Sementara
dalam tahun itu
2010-2011 mengalami
persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun
penurunan, maka setelah itu hingga tahun 2014 terus mengalami peningkatan, dimana defisit anggaran tahun 2014 meningkat
sebelumnya.
7,02%. Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Sementara itu
persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.7
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TAGrafik
2010 1.7 – 2014 (dalam miliar rupiah)
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
500.000
400.000
Milyar Rupiah
300.000
200.000
100.000
0
2010 2011 2012 2013 2014
PAD 71.852 90.393 112.745 140.328 180.347
Dana Perimbangan 292.281 327.368 380.984 433.213 482.221
Lain-lain Pend. Daerah yang Sah 22.205 42.132 58.218 79.971 96.908
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada Grafik 1.7 diatas. Secara nasional porsi
Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila dibandingkan dengan
12 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka pada
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada
Grafik 1.7 di atas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan
setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila
dibandingkan dengan laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh
daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka
pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp180,35 miliar rupiah. Secara rata-
rata, peningkatan PAD tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan
terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 28,52%.
Pendahuluan 13
Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara
nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21triliun, maka dalam kurun waktu 5 tahun
hingga tahun 2014 terdapat peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah mencapai
Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.8
Grafik 1.8
Rata-rata Pertumbuhan (2010
Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) – Pendapatan
2014) Daerah
Pendapatan Daerah
per Agregat Provinsi,
per Agregat Kabupaten
Provinsi, Kabupaten dan Kota dan Kota
30%
PAD Dana Perimbangan
25%
20%
15%
10%
5%
0%
Babel
Jambi
Papua
Malut
Aceh
Sulsel
Bali
Maluku
Sumbar
Sumsel
Sulbar
Riau
Sulteng
NTB
NTT
Sumut
Sulut
Lampung
Banten
Bengkulu
Kaltim
Jawa Barat
Sultra
Kalteng
Papua Barat
Gorontalo
Kalsel
Kalbar
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kep. Riau
DKI Jakarta
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah
beserta komponen utamanya, yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat
Bengkulu
Maluku (11,98%). yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi
Maluku
Apabila dilihatUtara dengan
dari rata-rata capaian
pertumbuhan PAD 6,83%.
tahun 2010-2014, Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata
PADnya paling tinggi, yaitu mencapai26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 25,74%, dan Provinsi
Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014
Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi Bengkulu
cenderung lebih merata dan tidak berfluktuasi terlalu tajam, serta berada
yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi Maluku Utara dengan capaian 6,83%.
dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana
Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014 cenderung lebih merata dan tidak
Perimbangan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah
berfluktuasi terlalu tajam, serta berada dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan
dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi Kalimantan
tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi
Timur.
Kalimantan Timur.
Grafik 1.9
Trend Belanja Daerah TAGrafik 2010
1.9 – 2014 (dalam miliar rupiah)
Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
350.000
300.000
250.000
Milyar Rupiah
200.000
150.000
100.000
50.000
0
2010 2011 2012 2013 2014
Belanja Pegawai 198.562 229.081 261.358 296.818 326.737
Belanja Barang dan jasa 82.007 104.116 122.422 148.171 182.523
Belanja Modal 96.179 113.523 137.525 175.808 213.670
Belanja Lain-lain 50.110 48.554 71.355 87.093 94.745
Sumber:
Sumber: Data Data
APBD Konsolidasi APBD
2010 Konsolidasi
- 2014 (Diolah) 2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan Grafik 1.9 maka dapat dilihat porsi tiap jenis Belanja Daerah
setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Apabila dicermati
Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung
Pendahuluan 15
terus meningkat dari tahun 2010 hingga tahun 2014. Total Belanja Pegawai
secara nasional tahun 2010 sebesar Rp198,56 miliar, meningkat menjadi
Rp326,74 miliar di tahun 2014, dengan rata-rata peningkatan Belanja
Pegawai mencapai 13,28%. Namun apabila dilihat dari persentasenya,
terdapat penurunan jumlah belanja pegawai sejak tahun 2011 hingga tahun
2014, secara berturut-turut dari yaitu 15,37%, 14,09%, 13,57%, dan
10,08%.
Sementara itu, besarnya Belanja Barang dan Jasa juga terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2010 total Belanja Barang
dan Jasa secara nasional di kisaran Rp82,01 miliar, maka pada tahun 2014
meningkat menjadi Rp182,52 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan
Jasa secara rata-rata dari tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 22,19%.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, maka peningkatan
Belanja Barang dan Jasa secara agregat provinsi, kabupaten/kota cenderung
lebih fluktuatif. Jika pada tahun 2011 meningkat 26,96% dari tahun
sebelumnya, namun pada tahun 2012 menurun 17,58%, dan meningkat
kembali pada tahun 2013 sebesar 21,03%. Pada tahun 2014, persentase
peningkatan porsi Belanja Barang dan Jasa juga meningkat 23,18%, yang
berarti berada di atas rata-rata peningkatan dalam 5 tahun terakhir sebesar
22,19%.
Hal yang sama juga terjadi pada pos Belanja Modal. Dapat kita lihat,
dari trend Belanja Modal tahun 2010 hingga 2014. Jika Belanja Modal
pada pada tahun 2010 mencapai Rp96,18 miliar, maka pada tahun 2014
sudah mencapai Rp213,67 miliar, yang berarti secara rata-rata mengalami
peningkatan 22,14%. Namun demikian, apabila dilihat dari persentasenya,
peningkatan Belanja Modal lebih fluktuatif. Jika total Belanja Modal di tahun
2011 meningkat 18,03%, dan meningkat lagi tahun 2013 sebesar 27,84%,
namun pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 21,54%.
Grafik 1.10
Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Belanja Daerah
Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
35%
Belanja Pegawai Belanja Barang dan jasa Belanja Modal
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
Jambi
Bali
Babel
Malut
Aceh
Sulsel
Sumsel
Sumbar
Sulut
Papua
Sulteng
Sulbar
Maluku
NTT
Sumut
Lampung
Banten
NTB
Riau
Jawa Barat
Kaltim
Bengkulu
Gorontalo
Kalbar
Kalsel
Kalteng
Sultra
Papua Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
DKI Jakarta
Kep. Riau
Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi
Bali (23,59%), dan Provinsi Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang
terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara
Pendahuluan 17
(13,42%).
Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu
diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Belanja
Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka
Belitung (10,77%).
Pendahuluan 19
hatian dalam melakukan estimasi terhadap sumber pendanaan yang akan
diterima pada saat anggaran tahun berjalan atau mengindikasikan daerah
tersebut sudah semakin mengoptimalkan pos SiLPAnya dalam anggaran.
Di sisi lain, pinjaman daerah belum mempunyai peran yang cukup kuat
dalam pembiayaan daerah. Hal ini disebabkan karena SiLPA di daerah relatif
masih cukup tinggi, sehingga daerah cenderung akan menutup defisit dari
SiLPA, yang notabene merupakan dana dari internal yang bersifat jangka
pendek. Selain itu, masih kompleksnya pengajuan dan administrasi pinjaman
daerah juga menjadi salah satu faktor belum berkembangnya pinjaman daerah
dalam mendanai APBD.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah,
Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD. Perkembangan
PAD dari sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 hingga tahun
2014 dapat dilihat pada grafik 2.1. Jika pada tahun pertama pelaksanaan
desentralisasi fiskal PAD meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi Rp15,2
triliun dari sebelumnya Rp5,5 triliun, maka pada tahun 2014 sudah
mencapai Rp180,3 triliun, yang berarti meningkat hampir 12 kali lipat. Dari
keempat komponen PAD tersebut, peran Pajak Daerah sangat signifikan,
terlihat dari total Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah
mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD. Peningkatan
PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan
perpajakan daerah, pertumbuhan ekonomi, upaya penggalian PAD oleh
daerah, dan jumlah daerah.
Grafik 2.1
Grafik 2.1
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
200 180,3
180 Desentralisasi Fiskal
Sebelum Desentralisasi Fiskal
100 81,2
80 64,7 67,6
60 52,2
38,1 44,7
40 21,5 26 26,7
15,2
20 7,1 5,5
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
1999/2000
Sumber:
Sumber: DJPK, DJPK,
(diolah) (diolah)
Grafik 2.2
Grafik 2.2
Perkembangan Transfer ke Daerah
Perkembangan Transfer ke Daerah
700 Desentralisasi Fiskal
Sebelum Desentralisasi Fiskal
592,5
600 529,4
478,8
Rp triliun
500
411,3
400 344,7
292,4 308,6
300 253,3
226,2
200 130 149,58
82,4 98,5 116,9
100 33,9
22,9
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
1999/2000
Sumber:
Sumber: DJPK,DJPK,
(diolah) (diolah)
Jika dilihat dari proporsi antara besaran PAD dan Transfer ke Daerah, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah
relatif Jika dilihat dari
masih tergantung kepadaproporsi antarapusat,
dana dari pemerintah besarankecuali PAD
beberapadan Transfer
daerah ke potensi
yang memiliki Daerah, maka
PAD yang besar
dapat
seperti DKIdikatakan bahwa
Jakarta. Data APBD pemerintah
Tahun 2014 daerah
menunjukkan rata-rata relatif
secara masih dana
agregat komposisi tergantung
transfer dalamkepada
pendapatan
dana dari pemerintah
daerah mencapai pusat,
81,6%. Fenomena ini kecuali
perlu dikaji, beberapa
karena jika daerah
dilihat berdasarkan yang
data yang memiliki
ada, potensi ekonomi potensi
yang dimiliki
PAD yang besar seperti DKI Jakarta. Data APBD Tahun 2014 menunjukkan
rata-rata secara agregat komposisi dana transfer dalam pendapatan daerah
mencapai 81,6%. Fenomena ini perlu dikaji, karena jika dilihat berdasarkan
data yang ada, potensi ekonomi yang dimiliki daerah untuk mengembangkan
PAD masih cukup besar, namun potensi-potensi tersebut belum dapat
dimanfaatkan dengan baik.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah memang terbatas (closed list). Sumber
berlaku pajak
penerimaan saatdaerah
ini yang
cenderung bias
berlaku saat ini ke daerah
cenderung yang
bias ke daerah yangtingkat urbanisasinya
tingkat urbanisasinya tinggi
tinggi (urban-biased),
(urban-biased),
seperti seperti
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
dan Pajak Hotel,
Kendaraan Pajak
Bermotor. Restoran, dan Pajak Kendaraan
Bermotor.
Grafik 2.3
Grafik 2.3
Rasio Pajak Agregat Provinsi,
Rasio Pajak Agregat Provinsi,Kabupaten,
Kabupaten, dan Kota dan Kota
Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah),2014 (Diolah),
Tidak termasuk DKI Jakarta,Tidak termasuk
*)termasuk DKIUtara
Provinsi Kalimantan Jakarta
*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara
Grafik
Grafik 2.5
2.5
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
Grafik 2.6
Rasio Pajak per Wilayah*)
Grafik 2.6
Rasio Pajak per Wilayah*)
Grafik 2.7
Grafik 2.7
Rasio Pajak perRasio
Kapita
Pajak perAgregat Provinsi,
Kapita Agregat Kabupaten
Provinsi, Kabupaten dan Kota dan Kota
Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah) 2014 (Diolah)
Sumber:
Sumber: APBD 2014APBD 2014
(Diolah),Tidak (Diolah)
termasuk DKI Jakarta
Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah) 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
4. Per Wilayah
Grafik 2.10 memperlihatkan rasio pajak per kapita per wilayah, dengan rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan
Grafik
yang mencapai 2.10
sebesar memperlihatkan
Rp616.227 rasio pajak
per kapita, dan rasio terendah per kapita
di berada wilayah per Maluku,
Nusa Tenggara, wilayah, dengan
dan Papua sebesar
Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah
rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan yang mencapai sebesar
Kalimantan yang memiliki rasio diatas rata-rata nasional. Untuk wilayah Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp558.481.
Rp616.227 per kapita, dan rasio terendah di berada wilayah Nusa Tenggara,
Jika memasukkan Provinsi DKI Jakarta ke dalam perhitungan, maka rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali menjadi Rp934.351 per
Maluku, dan Papua sebesar Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata
kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah penduduk
rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah
yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh
Kalimantan yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Untuk wilayah
banyaknya jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah penduduk.
Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp558.481. Jika memasukkan
Provinsi DKI Jakarta ke dalam Rasio perhitungan, Grafik 2.10
maka rasio pajak di wilayah Jawa
Tax per Kapita Per Wilayah*)
dan Bali menjadi Rp934.351 per kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak
per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah
penduduk yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya
rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh banyaknya
jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah
penduduk.
Sumber:
Sumber: APBD 2014(Diolah),
APBD 2014(Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah
C. Ruang
dalam Fiskal
mengalokasikan APBD (Fiscal
untuk membiayai Space)
kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki
suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur
belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti pembangunan infrastruktur daerah.
fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD
untukRuangmembiayai kegiatan
fiskal daerah diperoleh denganyang menjadi
menghitung prioritas
total Pendapatan daerah.
Daerah dikurangi Semakin besar
dengan pendapatan hibah,
pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian serta
ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah, maka akan semakin besar pula
Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya mengikat, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi dengan
fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
total pendapatannya.
belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin
pembangunan infrastruktur daerah.
(Belanja Pegawai). Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus
Ruang
perekonomian daerah.fiskal daerah
Untuk itu, Pemerintahdiperoleh dengan
Daerah diharapkan menghitung
dapat membuat total
kebijakan yang Pendapatan
mampu menciptakan iklim
Daerah yang
perekonomian dikurangi dengan
kondusif. Selain pendapatan
itu, efektifitas hibah, anggaran
dan efisiensi penggunaan pendapatan yang
di daerah juga dapatsudah
mendukung
ditentukan
terciptanya penggunaannya
ruang fiskal. (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus
dan Dana Penyesuaian
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota serta Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya
mengikat, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi
Grafik 2.11 menunjukkan ruang fiskal secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Dari keseluruhan 34 provinsi,
dengan
Provinsi totalmempunyai
DKI Jakarta pendapatannya.
ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 60,64%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi DKI Jakarta
karena didukung oleh tingginya PAD yang mencapai 61,13% dari total pendapatan. Dengan ruang fiskal sebesar itu, belanja
modal yang dianggarkan pada APBD cukup besar yaitu mencapai 44,75% dari total anggaran belanja daerah.
34 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar
anggaran digunakan untuk belanja rutin (Belanja Pegawai). Memperbesar
ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi
stimulus perekonomian daerah. Untuk itu, Pemerintah Daerah diharapkan
dapat membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian
yang kondusif. Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran di
daerah juga dapat mendukung terciptanya ruang fiskal.
Grafik 2.11
Grafik 2.11
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
70%
Ruang Fiskal Rata2
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Prov. Jambi
Prov. Papua
Prov. Lampung
Prov. Maluku
Prov. Banten
Prov. Riau
Prov. Bengkulu
Prov. Gorontalo
Prov. DI Yogyakarta
2.
2. Pemerintah
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada satu provinsi digambarkan pada grafik 2.12.
Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada
Secara rata-rata, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82% dari total pendapatannya.
satu
Dari provinsi
rata-rata digambarkan
tersebut, terdapat 18 daerah yangpada
memiliki grafik 2.12.
ruang fiskal di bawahSecara rata-rata,
rata-rata dan pemerintah
15 daerah lainnya di atas rata-
kabupaten
rata nasional. dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82%
dari Ruang
total fiskal
pendapatannya. Daridanrata-rata
tertinggi untuk kabupaten kota terdapattersebut, terdapat
di Provinsi Kalimantan Utara18
yangdaerah
mencapai yang
sebesar
memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata dan 15 daerah lainnya di atas rata-
55,41%.Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya, yang didominasi oleh sektor
rata nasional.
Kabupaten dan Kota yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
dan Provinsi Jawa Tengah memiliki ruang fiskal terendah, yaitu sebesar
21,19%. Ruang fiskal kedua provinsi tersebut rendah karena porsi Belanja
Pegawai kabupaten/kota di kedua provinsi tersebut mencapai lebih dari
55% dari total pendapatan. Sementara itu, komposisi Pendapatan Daerah
pemerintah kabupaten dan kota di kedua provinsi tersebut masih didominasi
oleh transfer dari pemerintah pusat terutama dari DAU yang mencapai lebih
dari 60% dari total Pendapatan Daerah. Persentase PAD terhadap total
Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah hanya sebesar 12,06%, dimana
pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 4,39% dari total
Pendapatan Daerah. Kondisi yang sama juga dialami oleh Provinsi NTB yang
memiliki persentase PAD hanya sebesar 8,74% terhadap total pendapatan,
dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 2,68% terhadap
total pendapatan. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pemerintah
daerah di Provinsi NTB dan Jawa Tengah belum mengoptimalkan pemungutan
pajak dari basis pajak yang dimilikinya.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Prov. Aceh
Prov. Papua Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Jawa Tengah
38Grafik 2.13
Prov. Jawa Tengah
Prov. Papua Barat Prov. Sumatera Barat
Deskripsi
Pemerintah Provinsi
Prov. DI Yogyakarta Prov. Lampung
Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Nusa Tenggara Timur
Ruang Fiskal
Ruang Fiskal
Prov. Bengkulu Prov. Sulawesi Utara
menggambarkan
Prov. Maluku Prov. Gorontalo
Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Bengkulu
dan Analisis
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Prov. Sulawesi Selatan
Rata2
Prov. Sulawesi Barat
3. Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Prov. Gorontalo
ruang fiskal
Prov. Sulawesi Utara Prov. Sulawesi Tengah
APBD
Prov. Maluku Utara Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Bangka Belitung Prov. Jawa Timur
Prov. Sumatera Barat Prov. Sumatera Utara
pada2014
Grafik
Grafik
Grafik 2.13
mengoptimalkan pemungutan pajak dari basis pajak yang dimilikinya.
2.13
2.12
fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
Prov. DKI Jakarta Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Kalimantan Tengah Prov. Banten
Prov. Banten Prov. Papua
Prov. Kalimantan Selatan Prov. Sumatera Selatan
Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
provinsi memiliki ruang fiskal sebesar 60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang memiliki ruang
masing-masing pemerintah provinsi. Secara rata-rata pemerintah
Grafik 2.13 menggambarkan ruang fiskal pada masing-masing pemerintah
provinsi. Secara rata-rata pemerintah provinsi memiliki ruang fiskal sebesar
60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang
memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki
ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
Selain itu, Pemda Provinsi Kalimantan Timur juga memiliki ruang fiskal
yang tinggi yaitu sebesar 74,51%. Hal ini didukung dari penerimaan DBH
dan penerimaan pajak daerah yang cukup besar. Sementara itu porsi Belanja
Pegawai jumlahnya tidak terlalu besar sehingga ruang fiskal yang tersedia
masih besar. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu
memanfaatkan ruang fiskal yang tinggi tersebut untuk kegiatan yang dapat
memacu pembangunan di daerahnya untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah.
4. Per Wilayah
4. PerWilayah
Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah
Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per
provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per wilayah di Indonesia. Terlihat
wilayah di Indonesia. Terlihat bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar 46,49%. Hal ini
bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar
menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka
46,49%. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang
pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi
fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka
pertumbuhan ekonomi di daerahnya.
pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya
diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi
di daerahnya.
GrafikGrafik
2.14 2.14
Ruang Fiskal Per Wilayah*)
Ruang Fiskal Per Wilayah*)
50%
Ruang Fiskal Rata2
46,49%
40%
10%
0%
Sulawesi Jawa-Bali Papua-Maluku-Nusa Sumatera Kalimantan
Tenggara
Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa
Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu
sebagian besar daerah di wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan belanja pemerintah dalam
sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di
rangka pembangunan di daerahnya.Dengan ruang fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah diwilayah Sulawesi dapat
wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan
belanja pemerintah dalam rangka pembangunan di daerahnya. Dengan ruang
fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi dapat
mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas
daerah dan mempunyai daya ungkit (leverage) yang tinggi bagi perekonomian
daerahnya.
Berdasarkan hasil analisis, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang
paling tinggi, yaitu sebesar 61,13%, sekaligus rasio dana transfer terendah
yaitu sebesar 31,15%. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki
rasio PAD terendah sebesar 3,62% sekaligus rasio dana transfer tertinggi
yaitu sebesar 95,96%. Hal ini menunjukkan bahwa, Provinsi DKI Jakarta
Grafik 2.15
Rasio Rasio Ketergantungan
Ketergantungan AgregatAgregat
Provinsi,Prov/Kab/Kota
Kabupaten dan Kota
120%
PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/Pdptn
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Prov. Jambi
Prov. Papua
Prov. Banten
Prov. Maluku
Prov. Riau
Prov. Lampung
Prov. Bengkulu
Prov. Gorontalo
Prov. Bali
Prov. Papua Barat
Prov. Aceh
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut
khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak yang menempatkan
disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah
DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki
dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak
tingkat ketergantungan tertinggi disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah
yang menempatkan DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan
tersebut, dan tingginya dana transfer yang diterima.
provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki tingkat
2. ketergantungan
Pemerintah Kabupatentertinggi disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak
dan Kota Se-Provinsi
daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut, dan tingginya dana transfer
Pada Grafik 2.16 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah adalah 8,5%, sedangkan rata-rata
yang
rasio dana diterima.
transfer terhadap Pendapatan Daerahmencapai91,2%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana transfer masih sangat tinggi.
Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di
Provinsi Bali yang mencapai 31,6%, sedangkan yang terendah adalah di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi
Papua Barat yaitu hanya sebesar 2,4%.
Grafik 2.16
Rasio Ketergantungan Kab/Kota
Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi *)
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Prov. Jambi
Prov. Papua
Prov. Maluku
Prov. Lampung
Prov. Riau
Prov. Banten
Prov. Jawa Barat
Prov. Bengkulu
Prov. Gorontalo
Prov. Papua Barat
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Aceh
Prov. Bali
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Tengah
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Jawa Timur
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Sulawesi Tengah
Sementara itu, rasio dana transfer terhadap pendapatan yang tertinggi terdapat di pemerintah kabupaten dan
Sementara
pemerintah kota di Provinsiitu,
Papuarasio dana
dan Provinsi Papuatransfer terhadap
Barat yang mencapai pendapatan
sebesar 97,4%, sedangkanyang tertinggi
yang terendah adalah
terdapat
pemerintah di pemerintah
kabupaten dan pemerintah kotakabupaten dan
di Provinsi Bali yang pemerintah
mencapai kota
sebesar 68,4%. di Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat yang mencapai sebesar 97,4%, sedangkan yang
3.terendah adalah
Pemerintah Provinsi pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali
yangUntuk
mencapai sebesar
tingkat pemerintah 68,4%.
provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio
dana transfer terhadap pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18 pemerintah provinsi yang memiliki
rasio PAD terhadap pendapatan di atas rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana transfer
Analisa Pendapatan Daerah 43
terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat
bergantung bantuan dana dari pihak eksternal.
Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%,
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat pemerintah provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap
pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio dana transfer terhadap
pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18
pemerintah provinsi yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan di atas
rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana
transfer terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini
menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat bergantung bantuan
dana dari pihak eksternal.
Grafik 2.17
RasioRasio Ketergantungan
Ketergantungan Provinsi
Pemerintah Provinsi
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Prov. Jambi
Prov. Papua
Prov. Maluku
Prov. Riau
Prov. Lampung
Prov. Banten
Prov. Jawa Barat
Prov. Maluku Utara
Prov. Gorontalo
Prov. Bengkulu
Prov. Aceh
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Bali
Prov. Sulawesi Utara
4. Per Wilayah
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
44 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
ketergantungan daerah pada 5 kelompok wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Prov
Prov.
Prov.
Prov. Nu
Pr
Pro
Pr
Prov
Prov
Pro
Pr
Prov.
Pr
Pr
Prov. N
Prov.
Prov.
PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/Pdptn
4. Per Wilayah
4. Per Wilayah
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
untuk menunjukkan
ketergantungan seberapa
daerah pada 5 kelompok besar
wilayah yang memilikiketergantungan
karakteristik pendapatandaerah
yang sama.pada 5 kelompok
wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)Per Wilayah
Agregat Prov/Kab/Kota
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Papua-Maluku-Nusa Kalimantan Sulawesi Sumatera Jawa-Bali
Tenggara
PAD/Pdptn TRANSFER/Pdptn RATA2 PAD/Pdptn RATA2 TRANSFER/Pdptn
Secara total, deviasi alokasi antara APBD dan PMK hanya 3,66%,
tetapi apabila dilihat per daerah, deviasi tertinggi dalam nominal mencapai
Rp5,69 triliun dan dalam persentase mencapai 202,16%. Jumlah daerah
dengan deviasi positif (alokasi DBH dalam APBD lebih besar daripada alokasi
PMK) lebih sedikit daripada jumlah daerah dengan deviasi negatif, dengan
perbandingan 190:349. Berikut disajikan daerah-daerah dengan persentase
deviasi tertinggi.
Tabel 2.1
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DBH Tertinggi
Tabel 2.2
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DBH Tertinggi
Secara umum, deviasi antara alokasi DBH pada APBD dan PMK terjadi
pada seluruh daerah. Hal ini terjadi karena informasi alokasi DBH belum
ditetapkan sampai saat APBD ditetapkan.
Jika dilihat per daerah, sebanyak 490 daerah mengalokasikan DAU sama
dengan yang ditetapkan pemerintah pusat, dimana 32 daerah mengalokasikan
DAU dengan rentang deviasi +1%, serta 17 daerah dengan deviasi lebih dari
+1%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengumuman informasi
alokasi yang dilakukan beberapa saat setelah rapat paripurna DPR RI yang
mengesahkan RUU APBN 2014 menjadi UU telah diterima dengan baik oleh
sebagian besar pemerintah daerah.
Tabel 2.3
Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif Tertinggi
Tabel 2.4
Daftar Daerah Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi
Sementara itu, alokasi DAK pada APBD mencapai sebesar Rp33 triliun
dan anggaran DAK pada APBD 539 daerah berjumlah Rp32,83 triliun.
Dibandingkan dengan total DAK yang ditetapkan pemerintah pusat, deviasi
yang terjadi tidak signifikan, yaitu hanya -0,49%. Jika dibandingkan per
daerah, pola yang sama dengan DAU terjadi pada DAK, yaitu 490 daerah
mengalokasikan sama besar dengan DAK yang ditetapkan pemerintah pusat,
32 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi dalam rentang +1%, serta
17 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi diatas rentang +1%.
Dari tabel 2.8 di atas dapat dilihat bahwa masih terdapat daerah yang
tidak menganggarkan DAK pada APBD sehingga mengakibatkan deviasi
daerah tersebut menjadi sebesar 100%. Kab Bekasi menjadi daerah yang
memiliki deviasi dengan nominal terbesar sekaligus persentase terbesar.
Lima daerah yang memiliki persentase deviasi negatif tertinggi sebagaimana
terlihat pada tabel di bawah ini disebabkan karena daerah tersebut tidak
menganggarkan DAK pada APBD-nya. Jika dilihat dari penetapan APBD
kelima daerah tersebut, seharusnya informasi DAK yang mereka peroleh
sudah dapat ditampung dalam APBD.
Tabel 2.5
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi
Tabel 2.6
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK Tertinggi
Namun demikian, rasio ini juga dirinci lagi menjadi per jenis belanja
sehingga akan lebih menggambarkan kontribusi dari setiap jenis belanja
sebagai faktor yang mendorong peningkatan kualitas layanan publik. Berbagai
macam pengukuran rasio belanja akan disajikan pada bab ini. Pada prinsipnya,
dalam tataran kebijakan, untuk menuju pelaksanaan Belanja Daerah yang
berdampak positif kepada masyarakat perlu diupayakan agar pemerintah
daerah mempercepat realisasi belanjanya dan menjalankan kebijakan belanja
yang baik, antara lain dengan mendorong agar proses penetapan Perda APBD
dapat dilakukan secara tepat waktu, menetapkan anggaran Belanja Modal
30% 22,79%
20%
10%
0%
Riau
Banten
Maluku
Lampung
Maluku Utara
Jawa Barat
Gorontalo
Bengkulu
Papua Barat
Kepulauan Riau
Aceh
Kalimantan Selatan
Bangka Belitung
Jambi
Sulawesi Barat
Bali
DI Yogyakarta
Sumatera Barat
DKI Jakarta
Papua
Jawa Timur
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Jawa Tengah
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
b.b. Rasio
Rasio Jumlah
Jumlah Guru
Guru Terhadap PNSDTerhadap PNSD
Grafik 3.2
Grafik 3.2
Rasio Jumlah Guru
Rasio Jumlah terhadap
Guru terhadap Total PNSD
Total PNSD
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
70% 64,0%
60% 51,0%
50%
43,6%
40%
30%
20%
10%
0%
Riau
Lampung
Banten
Maluku
Maluku Utara
Jawa Barat
Bengkulu
Gorontalo
Bali
Kepulauan Riau
Sulawesi Barat
Papua Barat
Jambi
Bangka Belitung
Aceh
Kalimantan Selatan
Papua
Sulawesi Utara
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Sumatera Barat
Jawa Tengah
Sumatera Utara
DKI Jakarta
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sumber:
Sumber: DJPK
DJPK (Data Diolah)(Data Diolah)
2.2. Pemerintah
Pemerintah Kabupaten Kabupaten
dan Kota se-Provinsi dan Kota se-Provinsi
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Grafik 3.3 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap
Grafik Dari
total belanjanya. 3.3grafik
memperlihatkan rasiorasio
tersebut terlihat bahwa semua belanja pegawai
belanja pegawai pemerintah
pemerintah kabupaten
kabupaten dan pemerintah kota
dan pemerintah
se-provinsi kota
memiliki rasio di atas se-provinsi
30%, kecuali terhadap
Provinsi Kalimantan totaldanbelanjanya.
Utara (25,94%) Provinsi Kalimantan Dari grafik
Timur (29,72%).
Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total
tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten
belanjanya pada APBD 2014 adalah sebesar 48,61%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata tahun
dan pemerintah kota se-provinsi memiliki rasio di atas 30%, kecuali Provinsi
2013 yaitu sebesar 49,26% dan tahun 2012 yang mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan
Kalimantan Utara (25,94%) dan Provinsi Kalimantan Timur (29,72%).
pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari
Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan
angka rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih rendah, dan 19 provinsi memiliki
pemerintah
rasio belanja pegawaikotayang se-provinsi terhadap
lebih besar. Pemerintah total
kabupaten dan belanjanya pada APBD
pemerintah kota se-Provinsi 2014
Daerah Istimewa
adalah sebesar
Yogyakartamemiliki 48,61%,
rasio belanja yangyaituberarti
pegawai terbesar, lebih sedangkan
sebesar 59,42%, rendahpemerintah
apabila dibandingkan
kabupaten dan pemerintah
dengan
kota rata-rata
se-Provinsi tahun
Kalimantan Utara 2013
memiliki yaitu
rasio belanja sebesar
pegawai 49,26%
terhadap belanja dan yaitu
daerah terkecil, tahun 2012
sebesar 25,94%.yang
Grafik 3.3
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
35%
30,08%
30%
25%
20% 17,65%
15%
8,21%
10%
5%
0%
Banten
Maluku
Jawa Barat
Riau
Lampung
Gorontalo
Maluku Utara
Bengkulu
Papua Barat
Jambi
Bali
Papua
Aceh
Kepulauan Riau
Sumatera Utara
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Sumatera Barat
DKI Jakarta
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tenggara
Sumatera Selatan
Kalimantan Utara
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah)2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
4. Per Wilayah
Grafik 3.4
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
70% 62,9%
60% 54,7%
50% 46,9%
40%
30%
20%
10%
0%
Riau
Lampung
Bengkulu
Maluku Utara
Jawa Barat
Banten
Maluku
Bali
Kepulauan Riau
Gorontalo
Aceh
Kalimantan Selatan
Papua
Jawa Timur
Sulawesi Barat
Papua Barat
Jambi
Sulawesi Utara
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Sumatera Utara
Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
a. Rasio
sebesar Belanja
17,65%, yang Pegawai
berarti lebih terhadap
rendah apabila Total
dibandingkan denganBelanja
rasionya di Daerah
tahun 2013, yaitu sebesar 19,33% dan
tahun 2012 yang hanya mencapai sebesar 21%. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang
Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh
lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5
Indonesiabahwa
memperlihatkan memiliki
pemerintahpersentase rata-rata
provinsi yang memiliki sebesar
rasio belanja pegawai17,65%,
terbesar adalahyang berarti
Pemerintah lebih
ProvinsiBengkulu
rendah
dengan apabila
rasio sebesar dibandingkan
30,08%, dengan
sedangkan pemerintah rasionya
provinsi yang di tahun
memiliki rasio 2013,
belanja pegawai yaitu
terkecil adalahsebesar
Pemerintah
19,33%Barat
ProvinsiPapua danyaitutahun 2012Grafik
sebesar 8,21%. yang hanya
tersebut mencapai
menunjukkan bahwa rasiosebesar 21%.
belanja pegawai Dariprovinsi
pemerintah jumlahrelatif
lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi.
Grafik 3.5
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
35%
30,08%
30%
25%
20% 17,65%
15%
8,21%
10%
5%
0%
Banten
Maluku
Jawa Barat
Riau
Lampung
Gorontalo
Maluku Utara
Bengkulu
Papua Barat
Jambi
Bali
Papua
Aceh
Kepulauan Riau
Sumatera Utara
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Sumatera Barat
DKI Jakarta
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tenggara
Sumatera Selatan
Kalimantan Utara
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah)2014 (Diolah)
4. Per
4.
Wilayah
Per Wilayah
Grafik 3.6
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
50% 47,52%
41,10% 41,06%
40% 39,54%
32,29%
35,75%
30%
20%
10%
0%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2014 (Diolah)
b. b. Rasio
Rasio
JumlahJumlah Guru
Guru Terhadap PNSD Terhadap PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per
per wilayah di Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk wilayah
wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah di Indonesia
Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi, yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio
memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat
yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja
dilihat bahwa untuk wilayah Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi,
pegawainya untuk membayar belanja pegawai bagi guru daerah.
yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio
Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja
yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan
Pegawai tertinggi, namun di sisi yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah
Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di
Indonesia. Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif inilah yang menjadi
sorotan masyarakat karena dinilai terlalu “gemuk” dan tidak efisien.
Analisa Belanja Daerah 63
Grafik 3.7
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawainya untuk membayar
belanja pegawai bagi guru daerah.
Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam
dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja Pegawai tertinggi, namun di sisi
yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa di wilayah Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif
jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang
bersifat administratif inilah yang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai
terlalu “gemuk” dan tidak efisien.
Grafik 3.7
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
56%
54,19%
54%
51,99%
52%
50,41%
50%
50,00%
48,22%
48% 47,66%
46%
44%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: DJPK
Sumber: DJPK 2014 (Data Diolah)
(Data Diolah)
Grafik 3.8
Grafik 3.8
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
50% 44,75%
40%
30% 25,86%
20% 15,30%
10%
0%
Maluku
Lampung
Banten
Riau
Jawa Barat
Sumatera Barat
Bengkulu
Gorontalo
Maluku Utara
DI Yogyakarta
Bali
Sulawesi Barat
Bangka Belitung
Jawa Tengah
Jawa Timur
Aceh
Kepulauan Riau
Papua Barat
Jambi
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Papua
Kalimantan Selatan
DKI Jakarta
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Sulawesi Tenggara
Sumatera Selatan
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sumber
Sumber : APBD :2014
APBD
(Diolah) 2014 (Diolah)
2.2. Pemerintah
Pemerintah KabupatenKabupaten
dan Kota se-Provinsidan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada grafik 3.9 memperlihatkan bahwa secara rata-
Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada
rata nasional, rasio belanja modal terhadap belanja daerah sebesar 26,14%, yang berarti lebih tinggi apabila dibandingkan
grafikrata-ratanya
dengan 3.9 memperlihatkan
pada tahun 2013 sebesar bahwa
25,36%, sertasecara
tahun 2012rata-rata nasional,
sebesar 24,1%.Dari rata-rata rasio belanja
tersebut,terdapat 14
modal
provinsi yangterhadap belanja
memiliki rasio belanja modal daerah sebesar
lebih besar dari 26,14%,
rata-rata, sedangkan yang
19 provinsi berarti
memiliki lebih
rasio yang tinggi
lebih kecil dari
apabila
rata-rata. dibandingkan
Pemerintah kabupaten dandengan
pemerintah rata-ratanya padaUtara
kota di Provinsi Kalimantan tahun 2013
memiliki sebesar
rasio belanja modal 25,36%,
yang terbesar
serta
yaitu tahun
sebesar 2012
45,82%, sebesar
sedangkan 24,1%. dan
pemerintahkabupaten Dari rata-rata
pemerintah kota ditersebut,
Provinsi Daerahterdapat 14 provinsi
Istimewa Yogyakarta memiliki
yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata, sedangkan 19
rasio terkecil yaitu 15,73%.
Grafik 3.9
provinsi memiliki rasio yang lebihModal
Rasio Belanja kecil dari
Terhadap rata-rata.
Belanja Daerah Pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota di Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
40%
30% 26,14%
20% 15,73%
10%
0%
Maluku
Lampung
Banten
Riau
Jawa Barat
Gorontalo
Bengkulu
Maluku Utara
DI Yogyakarta
Bali
Sumatera Barat
Jambi
Papua Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Barat
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
Kalimantan Selatan
Papua
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Aceh
Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Barat
Kalimantan Utara
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sumber:
Sumber: APBD 2014APBD
(Diolah) 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
3. Pemerintah Provinsi
Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerah dapat dilihat pada Grafik
3.10. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja
Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap
daerahadalah sebesar 19,56%, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%, serta
total2012belanja
tahun sebesar 17,4%.daerah
Dilihat dari dapat
rata-ratanya,dilihat
terdapat 20pada
pemerintahGrafik 3.10.
provinsi yang memiliki Grafik
rasio belanjatersebut
modal lebih
menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja
besar dari rata-rata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata. modal pemerintah provinsi
terhadap total belanja
Dari keseluruhan daerah
provinsi, Provinsi adalah
Jawa Barat memilikisebesar 19,56%,
rata-rata rasio yang berarti
belanja modalpemerintah lebih
provinsiterhadap
tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%,
belanja daerahyang terendah yaitu sebesar 6,56%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio belanja modalpemerintah
serta tahun
provinsiterhadap 2012
belanja sebesar
daerah tertinggi 17,4%.
yaitu sebesar 44,75%.Dilihat dari rata-ratanya, terdapat 20
Grafik 3.10
pemerintah provinsiRasio yangBelanjamemiliki
Modal Terhadaprasio
Belanja belanja modal
Daerah Pemerintah Provinsilebih besar dari rata-
rata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata.
Grafik 3.10
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
50% 44,75%
40%
30%
19,56%
20%
10% 6,56%
0%
Maluku
Lampung
Riau
Banten
Jawa Barat
Bengkulu
Maluku Utara
Bali
Gorontalo
Jambi
Jawa Timur
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Sulawesi Barat
Sumatera Barat
Kepulauan Riau
Papua Barat
Kalimantan Selatan
Sumatera Utara
Papua
Aceh
Bangka Belitung
DKI Jakarta
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Utara
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah) 2014 (Diolah)
wilayah di Indonesia adalah sebesar 26,80%, yang berarti lebih tinggi untuk
Maluku, dan Papuamemiliki rasio lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, jika
dibandingkan dengan rata-rata rasio pada tahun 2013 sebesar 25,85%.
wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar darirata-rata rasionya secara nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi
terdapat di wilayah Kalimantan, yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu sebesar 22,77%.
Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa rasio belanja modal terhadap
total belanja daerah di 4 wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Sulawesi,
serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua memiliki rasio lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, untuk
wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar dari rata-rata rasionya secara
nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi terdapat di wilayah Kalimantan,
Grafik 3.11
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)
Grafik 3.11
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)
40%
35,19%
30%
26,56%
26,80%
22,77%
25,60%
23,86%
20%
10%
0%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD
Sumber: 2014
APBD 2014 (Diolah)
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
C. C. Rasio Belanja
Rasio Belanja Modal Modal
terhadap Jumlah Penduduk terhadap Jumlah Penduduk
Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur
Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan
daerah per penduduk, dalam sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita, baik secara nasional,
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk, dalam
agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat
sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita,
dengan pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi
baik secara nasional, agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per
pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan
wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat dengan
perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur.
pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis
belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan
Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi (agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan
perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan
memperlihatkan rata-rata rasio belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti lebih tinggi jika
untuk pembangunan infrastruktur.
dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki
rasio belanja modal perkapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24 provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal
perkapita lebih rendah dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita
Analisaadalah
tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah Belanja Daerah
Provinsi 69
Jawa Barat sebesar
Rp0,302 juta.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi
(agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan memperlihatkan rata-rata rasio
belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti
lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar
Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki rasio
belanja modal per kapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24
provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari
rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio
belanja modal per kapita tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar
Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah adalah Provinsi Jawa Barat sebesar
Rp0,302 juta.
Grafik 3.12
Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
9.000.000
7.836.252
8.000.000
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000 1.586.001
1.000.000 302.451
-
Bali
Jawa Barat
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Papua
Banten
Lampung
Gorontalo
Bangka Belitung
Riau
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat
Sumatera Barat
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Maluku
Kalimantan Utara
Sulawesi Selatan
Jambi
Jawa Timur
Sumatera Utara
Bengkulu
Sumatera Selatan
Sulawesi Utara
Aceh
Maluku Utara
Papua Barat
Kalimantan Barat
Kepulauan Riau
Kalimantan Timur
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Selatan
Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah)2014 (Diolah)
Rasio belanja modal perkapita kabupaten dan kota se-provinsi menggambarkan besaran belanja modal yang
dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap provinsi. Dari data APBD dapat
dilihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata nasional
adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah
70 besar dariDeskripsi
yang dandariAnalisis
pusat terutama APBD
DBH SDA dan 2014 Khusus.
Dana Otonomi
Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapitapemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi.
Secara nasional, rata-rata rasio belanja modalper kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah Rp1,248 juta, atau
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi
menggambarkan besaran belanja modal yang dibelanjakan untuk
pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap
provinsi. Dari data APBD dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi yang
menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata
nasional adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang
besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah yang besar dari pusat
terutama dari DBH SDA dan Dana Otonomi Khusus.
Lampung
Maluku
Riau
Jawa Barat
Gorontalo
Bengkulu
Maluku Utara
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Sulawesi Barat
Sumatera Barat
Bangka Belitung
Jambi
Kepulauan Riau
Papua Barat
Sumatera Utara
Aceh
Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara
Papua
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
Sulawesi Tenggara
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sumber:
Sumber: APBD APBD 2014 (Diolah)
2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 3.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal
per kapita pemerintah provinsi tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata
Grafik 3.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah
tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah
provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi
penduduk di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata
tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan
nasional. Pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
dengan rata-rata tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar
yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta.
pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk
di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8
provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Pemerintah provinsi
yang memiliki rasio belanja modalGrafikper 3.14 kapita tertinggi adalah Pemerintah
Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi
Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah
adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta.
Papua
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Lampung
Banten
Bangka Belitung
Sulawesi Tengah
Sumatera Barat
Maluku
Sulawesi Barat
Gorontalo
Riau
Kalimantan Utara
Sulawesi Selatan
DI Yogyakarta
Sumatera Selatan
Jambi
Maluku Utara
Papua Barat
Jawa Timur
Sumatera Utara
Bengkulu
Sulawesi Utara
Aceh
Kalimantan Barat
Kepulauan Riau
Kalimantan Timur
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Selatan
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
4. Per Wilayah
Rasio belanja modal per kapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik
3.15Rasio belanja modal perkapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik 3.15 memperlihatkan bahwa rasio rata-rata
memperlihatkan bahwa rasio rata-rata belanja modal per kapita adalah
belanja modal perkapita adalah sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal perkapita tertinggi berada di wilayah Kalimantan,
sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal per kapita tertinggi berada di
yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di
wilayah Kalimantan, yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa
wilayah Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu, rasio belanja modal perkapita terendah adalah
anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah
di wilayah Jawa dan Bali, yaitu sebesar Rp0,55 juta.
Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu,
rasio belanja modal per kapita terendah adalah di wilayah Jawa dan Bali,
yaitu sebesar Rp0,55 juta.
Grafik 3.15
Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)
2.482.181
2.500.000
2.000.000
1.550.466
1.500.000 1.309.836
1.057.273 913.355
1.000.000
545.903
500.000
-
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber: APBD
Sumber: 2014
APBD 2014 (Diolah)(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
D. Rasio Belanja
Belanja Bantuan Bantuan
Sosial merupakan Sosial
salah satu pos dalam Terhadap
belanja tidak langsung. Secara Total
definisi, bantuan sosial
Belanja Daerah
adalah pemberian bantuan yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dalam bentuk uang/barang kepada masyarakat
atau organisasi profesi yang bertujuan untuk kepentingan umum. Dalam bantuan sosial ini termasuk di dalamnya antara lain
Belanja
yaitu bantuan Bantuan
partai politik Sosial
sesuai dengan merupakan
peraturan salah
perundang-undangan. satu pos dalam belanja tidak
langsung. Secara definisi, bantuan sosial adalah pemberian
Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan tumpang bantuan
tindih kegiatan yang
dengan kegiatan
sifatnya
yang tidak
dilakukan oleh satuansecara terusdaerah
kerja perangkat menerus dan keduanya
(SKPD) mengingat selektifmenggunakan
dalam bentuk uang/barang
dana dari APBD. Sebagai contoh,
kepada
bantuan sosial masyarakat
kepada masyarakatatau organisasi
di lingkungan profesi
kumuh, pondok yangbantuan
pesantren, bertujuan untuk
untuk bidang kepentingan
sanitasi, serta penyediaan
umum.
akses air bersih,Dalam
yang dalambantuan sosialolehiniSKPD.
juga dilaksanakan termasuk di pemantauan
Oleh karena itu, dalamnya antara
terhadap jumlah lain yaitu
anggaran yang
bantuanuntuk
dialokasikan partai
Belanjapolitik
Bantuan sesuai dengan
Sosial perlu dilakukan peraturan perundang-undangan.
pemantauan dalam pelaksanaannya. Agar pengelolaan Belanja
Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam
Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran
tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja
Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012.
perangkat daerah (SKPD) mengingat keduanya menggunakan dana dari
Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan
APBD. Sebagai contoh, bantuan sosial kepada masyarakat di lingkungan
untuk Belanja Bantuan Sosial. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk
Belanja Bantuanpondok
kumuh, pesantren,
Sosial, demikian bantuan
juga sebaliknya untuk
semakin kecil bidang
angka rasio Belanjasanitasi, serta
Bantuan Sosial penyediaan
maka semakin kecil pula
akses air bersih, yang dalam juga dilaksanakan
proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial. oleh SKPD. Oleh karena itu,
pemantauan terhadap jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Belanja
Banten
Jawa Barat
Maluku Utara
Sumatera Barat
Gorontalo
Jambi
Bengkulu
Kalimantan Selatan
Bangka Belitung
Sumatera Utara
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Barat
DI Yogyakarta
Bali
Aceh
Kepulauan Riau
Papua Barat
Sulawesi Utara
DKI Jakarta
Papua
Sumatera Selatan
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Banten
Jawa Barat
Bengkulu
Maluku Utara
Gorontalo
Bali
Bangka Belitung
Jambi
Sumatera Barat
DI Yogyakarta
Aceh
Kepulauan Riau
Papua Barat
Kalimantan Selatan
Papua
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Nusa Tenggara Timur
lebih
APBD 2014,rendah jikaSumatera
yaitu Provinsi dibandingkan
Barat, Provinsidengan rasio danpada
Sulawesi Selatan, ProvinsiAPBD
Sulawesi 2013
Tenggara. sebesar
Grafik 3.18
1,06%.bahwa
menunjukkan Berdasarkan angka rata-rata
Pemerintah ProvinsiBengkulu rasio
memiliki rasio belanjabelanja bantuan
bantuan social sosial
tertinggi dalam APBDtersebut,
2014, yaitu
sebesar 7,86% dari total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak menganggarkan belanja bantuan
terdapat 22 provinsi yang memiliki rasio lebih kecil dari angka rata-rata,
sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Pemerintah ProvinsiKalimantan Selatan yang memiliki rasio sebesar
sedangkan 12 provinsi lainnya memiliki rasio yang lebih besar dari angka
0,0002% dari total belanja daerah.
rata-rata. Dari kondisi tersebut, terdapat 3 provinsi yang tidak menganggarkan
belanja bantuan sosial dalam APBD 2014, yaitu Provinsi Sumatera Barat,
Grafik 3.18
Provinsi Sulawesi Selatan, dan
Rasio Belanja BantuanProvinsi Sulawesi
Sosial Terhadap Belanja Daerah Tenggara. Grafik 3.18
Pemerintah Provinsi
menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Bengkulu memiliki rasio belanja
bantuan sosial tertinggi dalam APBD 2014, yaitu sebesar 7,86% dari
total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak
Grafik 3.18
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Provinsi
8% 7,86%
7%
6%
5%
4%
3%
2% 1,05%
1%
0,00%
0%
Lampung
Maluku
Banten
Jawa Barat
Riau
Maluku Utara
Sumatera Barat
Bangka Belitung
Gorontalo
Bengkulu
Kalimantan Selatan
DI Yogyakarta
Papua Barat
Sulawesi Barat
Jambi
Kepulauan Riau
Sumatera Utara
Jawa Timur
Jawa Tengah
Papua
Sulawesi Utara
DKI Jakarta
Aceh
Bali
Sulawesi Tenggara
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Untuk memetakan
Untuk memetakan rasio belanjarasio
bantuan belanja bantuan
sosial terhadap total belanja sosial terhadap
daerah berdasarkan total
clustering belanja
wilayah, daerah
didaerah berdasarkan
Indonesia dibagi clustering
menjadi 5 wilayah. wilayah, bahwa
Grafik 3.19 memperlihatkan daerah
rasio di Indonesia
belanja bantuan sosialdibagi
terhadap menjadi
total belanja
daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa
5 wilayah. Grafik 3.19 memperlihatkan bahwa rasio belanja bantuan sosial
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio
terhadap total belanja daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata
belanja bantuan sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%.
rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu
Grafik 3.19
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *)
sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja bantuan
sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%.
2,50%
2,02%
2,00%
1,50%
0,82%
0,52%
0,50% 0,39%
0,00%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua
Sumber:
Sumber: APBD APBD 2014 (Diolah)
2014 (Diolah)
*) Tidak Jakarta
*) Tidak termasuk DKI termasuk DKI Jakarta
A. Defisit
Sejak pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang
diterapkan tahun 2001, daerah diberikan keleluasaan dalam penyusunan
APBD apakah menerapkan pola anggaran berimbang, surplus, ataupun defisit.
Berdasarkan data APBD TA 2014 diketahui jumlah daerah otonom adalah
sebanyak 505 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Daerah yang menerapkan
anggaran defisit sebanyak 472 daerah, meningkat dari tahun sebelumnya
sebanyak 447 daerah. Sementara itu, daerah yang menerapkan anggaran
surplus sebanyak 51 daerah, lebih sedikit apabila dibandingkan dengan tahun
Grafik 4.1
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan,
Agregat terhadap
Rasio Surplus/defisit Provinsi, Kabupaten,
Pendapatan, dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Gorontalo
Lampung
Bengkulu
Sumbar
Kalteng
Sulteng
Sumsel
Maluku
Jakarta
Kaltara
Papbar
Banten
Sumut
Kalbar
Sulbar
Kaltim
Papua
Jateng
Kalsel
Sulsel
Sultra
Jambi
Malut
Babel
Jabar
Jatim
Sulut
Kepri
Aceh
Riau
NTB
Bali
NTT
DIY
0%
-0,3%
-1,1%
-1,9%
-7,7%
-2,8%
-2,9%
-2,9%
-3,2%
-3,4%
-3,5%
-3,7%
-3,7%
-4,1%
-4,3%
-4,3%
-4,5%
-4,7%
-4,9%
-5,5%
-6,2%
-6,4%
-6,8%
-6,9%
-7,5%
-7,7%
-9,8%
-9,9%
-10,9%
-11,6%
-11,9%
-20%
-15,3%
-16,4%
-21,2%
-30,3%
-40%
-48,6%
-60%
Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota)
adalah sebesar 7,7%, di mana defisit tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan
pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7% dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 81
pembiayaan terbesar kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat kecil yaitu hanya sebesar 2,94%
dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar adalah
Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%) dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara ,
Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional
(agregat provinsi, kabupaten, dan kota) adalah sebesar 7,7%, di mana defisit
tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan
pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7%
dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan terbesar
kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat
kecil yaitu hanya sebesar 2,94% dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik
di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar
adalah Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%)
dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara, namun secara nilai,
Kalimantan Timur (Rp.9,3 triliun) dan Riau (Rp.5,9 triliun) lebih tinggi dari
Kalimantan Utara (Rp.3,8 triliun).
Grafik 4.2
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Gorontalo
Lampung
Bengkulu
Sumbar
Kalteng
Sulteng
Sumsel
Maluku
Kaltara
Papbar
Banten
Sumut
Kalbar
Sulbar
Kaltim
Papua
Jateng
Kalsel
Sulsel
Sultra
Jambi
Malut
Babel
Jabar
Jatim
Sulut
Kepri
Aceh
Riau
NTB
Bali
NTT
DIY
00%
-0,9%
-1,7%
-2,0%
-2,8%
-3,0%
-3,2%
-3,2%
-3,3%
-3,3%
-08%
-4,0%
-4,0%
-4,2%
-4,3%
-4,4%
-4,7%
-4,8%
-5,1%
-5,2%
-6,1%
-6,6%
-6,9%
-7,1%
-7,5%
-8,3%
-8,6%
-8,8%
-9,6%
-12,4%
-14,1%
-20%
-16,4%
-21,9%
-33,9%
-40%
-55,0%
-60%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber:
*) Tidak termasukAPBD
DKI Jakarta2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah kabupaten dan kota se-
propinsi adalah 8,4%. Daerah yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota di wilayah
Deskripsi
Kalimantan Utara
82 (55,0%), dan Analisis
kemudian APBD 2014
diikuti kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di
wilayah Riau (21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%). Karena sebagian besar defisit daerah
ditutup dengan menggunakan SiLPA maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula SiLPA daerah yang
bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi
Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap
pendapatan pemerintah kabupaten dan kota se-propinsi adalah 8,4%. Daerah
yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota
di wilayah Kalimantan Utara (55,0%), kemudian diikuti kabupaten dan kota
di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di wilayah Riau
(21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%).
Karena sebagian besar defisit daerah ditutup dengan menggunakan SiLPA
maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula
SiLPA daerah yang bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling
kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi Tengah
(1,7%), dan Provinsi Sulawesi Barat (2,0%).
3. Pemerintah Provinsi
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah provinsi) dapat
dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 4.3
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi
15%
10% 8,9%
3,2%
1,0%
5%
0%
-0,3%
-0,4%
-0,5%
-0,6%
-0,7%
-1,9%
-2,4%
-5% -05%
-2,6%
-3,2%
-3,6%
-4,4%
-5,0%
-5,3%
-5,8%
-6,3%
-6,4%
-6,5%
-6,8%
-6,9%
-7,4%
-10%
-7,6%
-9,5%
-11,4%
-11,8%
-12,0%
-15%
-13,4%
-13,8%
-14,8%
Aceh -19,7%
Riau -16,1%
Kepri -16,5%
-20%
-25%
Babel
Bali
Papbar
Jambi
Jabar
Malut
DIY
Papua
Sulbar
Sulsel
Jateng
Sulut
Jakarta
Sumsel
Banten
Maluku
Sumbar
Sulteng
NTT
Lampung
Sumut
NTB
Kaltim
Kalsel
Kaltara
Gorontalo
Bengkulu
Kalbar
Sultra
Kalteng
Jatim
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar
4,9%. Sementara itu, pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturut-turut dari yang tertinggi adalah
Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi
Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 83
Provinsi Papua Barat (11,4%).
4. Per Wilayah
-
-7,4%
-10%
-5,8
-4
-7,6%
-5,
-
-5,
-6,3
-6,4
-6,5
-6,8
-6,9
-9,5%
-11,4%
-11,8%
-12,0%
-15%
-13,4%
-13,8%
-14,8%
Aceh -19,7%
Riau -16,1%
Kepri -16,5%
-20%
-25%
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap
Babel
Bali
Papbar
Jambi
Sulsel
Malut
DIY
Papua
Jabar
Sulbar
Sulut
Sumbar
Jateng
Banten
Maluku
Sulteng
Jakarta
Sumsel
NTT
Lampung
Sumut
NTB
Kaltim
Kalsel
Kaltara
Gorontalo
Bengkulu
Sultra
Kalteng
Kalbar
Jatim
pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar 4,9%. Sementara itu,
pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturut-
Sumber: APBD 2014(Diolah)
turut dari yang tertinggi adalah Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan
Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%),
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar
Provinsi Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi
4,9%. Sementara itu, pemerintah
Kalimantan Selatan provinsi yang mempunyai
(12,0%), ProvinsirasioKalimantan
di atas 10,0% secara
Utaraberturut-turut
(11,8%)dari danyangProvinsi
tertinggi adalah
Provinsi Papua
Aceh (19,7%),
Barat Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi
(11,4%).
Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan
Provinsi 4.
PapuaPer Wilayah
Barat (11,4%).
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik
4. Per Wilayah
dibawah ini.
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik
Grafik 4.44.4
Rasio Defisit terhadap
Rasio Defisit Pendapatan
terhadap Pendapatan Per Wilayah*)
Per Wilayah*)
Kalimantan Sumatera Jawa_Bali NT Maluku Papua Sulawesi
0%
-15%
-20% -18,8%
Tabel 4.1
Daerah dengan Besaran Defisit yang tidak dapat ditutup oleh Pembiayaan
Surplus/Defisit +
Surplus/Defisit Pembiayaan
No Nama Daerah Pembiayaan
(Juta Rupiah) (Juta Rupiah)
(Juta Rupiah)
Sementara itu pada sisi yang lain terdapat daerah yang tidak
memanfaatkan seluruh dana yang dimilikinya untuk membiayai anggaran
belanja maupun pengeluaran pembiayaan dalam APBD-nya. Daerah-daerah
tersebut justru menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan di akhir tahun 2014.
Beberapa daerah yang menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan disajikan
dalam tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2
Daerah yang Menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan
SILPA tahun
Pembiyaan
No Nama Daerah Surplus/ Defisit Berkenaan
Daerah
(miliar Rupiah)
(1) (2) (3) (2)+(3)
1 Prov. Jawa Timur -417,4 651,3 233,9
2 Kab. Siak -585,3 711,3 126,0
3 Kab. Mamasa 2,0 93,0 94,9
4 Prov. Maluku Utara 52,5 27,5 80,0
5 Kab. Barito Utara -32,6 110,0 77,3
6 Prov. Sumatera Barat -111,6 171,1 59,5
7 Kab. Lamandau -26,8 83,9 57,1
8 Kab. Indragiri Hilir -376,3 430,9 54,6
B. Pembiayaan Daerah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran
diperkirakan defisit, maka daerah harus menetapkan sumber-sumber
pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila
anggaran diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan
surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan bagian terbesar
untuk menutupi defisit APBD 2014 berasal dari SiLPA, sedangkan yang
terkecil berasal dari Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Untuk
Grafik 4.5
Grafik 4.5
Penerimaan Pembiayaan
Penerimaan Provinsi
Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota
dan Kab/Kota
Grafik 4.6
Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaa
Grafik 4.6
Grafik 4.6
Persentase Penerimaan Pembiayaan
Persentase Penerimaan Pembiayaanterhadap total Penerimaan
terhadap total Penerimaan Pembiayaan Pembiayaan
Provinsi
Provinsi Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
0,33% 2,61% 1,04% SiLPA TA sebelumnya 0,97% 3,08%
0,00% 0,13% 1,65%
Pencairan dana
cadangan
Hasil Penjualan
Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan
Penerimaan Pinjaman 94,18
96,02% Daerah dan Obligasi %
Daerah
Grafik 4.8
Grafik 4.8
Grafik 4.8
Persentase Pengeluaran Pembiayaan
Persentase Pengeluaran terhadap
Pembiayaan terhadap totaltotal Penerimaan
Penerimaan Pembiayaan Pembiayaan
Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi
Provinsi Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
Provinsi Kabupaten/Kota
7,69% 0,49%
7,69% 0,49% 1,12%
1,12% Pembentukan Dana Dana
Pembentukan 0,30% 0,30%3,12%
3,20% 3,20%
8,81%
3,12% 8,81%
Cadangan
Cadangan
Penyertaan Modal
Penyertaan Modal
(Investasi) Daerah
(Investasi) Daerah
Pembayaran Pokok Utang
Pembayaran Pokok Utang 28,49%
28,49%
Pemberian Pinjaman
Pemberian Pinjaman
Daerah
Daerah Kegiatan
Pembayaran 56,06%
90,70% Lanjutan
Pembayaran Kegiatan 56,06%
90,70% LanjutanPerhitungan
Pengeluaran
Pihak Ketiga
Pengeluaran Perhitungan
Pihak Ketiga
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kemiripan, namun berbeda
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/
halnya jika dilihat dari sisi Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh
kota mempunyai
Secara kemiripan,
persentase, pola namunprovinsi
Penerimaan Pembiayaan berbeda halnya jika
dan kabupaten/kota dilihat
mempunyai darinamun
kemiripan, sisi berbeda
halnya jika dilihat dari sisi Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh
Grafik 4.9
Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
32,5%
35%
23,8%
30%
25%
17,8%
14,4%
20%
13,1%
11,9%
11,3%
10,8%
10,3%
9,7%
15%
9,2%
9,1%
8,1%
7,7%
7,6%
6,7%
6,3%
5,6%
5,3%
5,3%
5,2%
5,1%
5,1%
4,8%
4,8%
4,4%
10%
4,2%
3,5%
3,4%
09%
2,8%
2,6%
2,4%
2,0%
1,9%
5%
0%
Malut
Sulteng
Sulsel
Sumut
Papua
Sumsel
Sulbar
Papbar
Jabar
Jambi
Bali
NTB
Lampung
Sulut
Jateng
NTT
Maluku
DIY
Sumbar
Aceh
Babel
Jakarta
Gorontalo
Banten
Kepri
Riau
Kalbar
Bengkulu
Sultra
Kalsel
Kaltim
Jatim
Kalteng
Kaltara
Sumber: APBD
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2014 (Diolah)
Rasio rata-rata
Rasio rata-rata SiLPAbelanja
SiLPA terhadap terhadap belanja
daerah secara daerah
agregat provinsi, secara
kabupaten agregat
dan kota provinsi,
adalah sebesar 8,6%,
kabupaten
yang dan kota
berarti naik sebesar adalah
1,2% dari sebesarsebesar
tahun sebelumnya 8,6%, yang
7,4%. berarti
Sementara naik sebesar
itu, pemegang 1,2%
posisi tertinggi dari
rasio SiLPA
tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi
terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%).
rasio SiLPA
Selanjjutnya untuk rasioterhadap belanja
terendah (terbaik) daerah
adalah Provinsi Maluku adalah
Utara (1,9%),Provinsi Kalimantan
yang diikuti oleh Provinsi Sulawesi Utara
Tengah
untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang
2.diikutiPemerintah
oleh Provinsi
KabupatenSulawesi Tengah (2,0%).
dan Kota Se-Provinsi
Grafik 4.10
40%
25,7%
30%
18,4%
15,3%
20%
12,5%
11,4%
9,7%
9,0%
8,8%
8,5%
7,9%
7,6%
7,0%
6,8%
6,7%
5,5%
5,5%
5,2%
5,1%
4,8%
10%
4,4%
4,2%
4,2%
4,2%
3,7%
3,7%
3,4%
3,2%
3,0%
08%
2,1%
1,9%
1,8%
1,6%
0%
Malut
Papbar
Aceh
Jabar
Bali
Babel
Jambi
Sulteng
Papua
Sulsel
Sumut
Sulut
Sulbar
Sumsel
DIY
Jateng
Sumbar
NTB
Lampung
NTT
Maluku
Banten
Kepri
Riau
Gorontalo
Bengkulu
Kalbar
Kalsel
Kaltim
Sultra
Jatim
Kalteng
Kaltara
35,8%
40%
25,7%
30%
18,4%
15,3%
20%
12,5%
11,4%
9,7%
9,0%
8,8%
8,5%
7,9%
7,6%
7,0%
6,8%
6,7%
5,5%
5,5%
5,2%
5,1%
4,8%
10%
4,4%
4,2%
4,2%
4,2%
3,7%
3,7%
3,4%
3,2%
3,0%
08%
2,1%
1,9%
1,8%
1,6%
0%
Malut
Papbar
Aceh
Sulteng
Papua
Sulsel
Bali
Babel
Jambi
Sumut
Sulbar
Sumsel
Jateng
Jabar
NTB
Lampung
Sulut
Sumbar
NTT
Maluku
DIY
Banten
Kepri
Riau
Gorontalo
Bengkulu
Kalbar
Kalsel
Kaltim
Kaltara
Sultra
Jatim
Kalteng
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
16,7%
16,5%
20%
15,8%
13,9%
13,0%
13,0%
12,9%
16%
11,1%
10,8%
10,3%
12%
8,7%
8,4%
8,2%
7,5%
7,4%
7,3%
6,2%
6,2%
6,0%
5,5%
08%
8% 5,1%
4,6%
4,6%
4,6%
4,3%
3,3%
2,8%
2,7%
2,1%
1,9%
1,5%
4%
0,6%
0,4%
0,4%
0%
Sulsel
Malut
Jambi
Papbar
Babel
Sumut
Jateng
Sulteng
Sumsel
Sulut
Sulbar
Sumbar
Papua
Jabar
Aceh
Bali
NTB
Lampung
NTT
Maluku
DIY
Jakarta
Banten
Kepri
Riau
Kalbar
Jatim
Gorontalo
Bengkulu
Kaltim
Sultra
Kalteng
Kalsel
Kaltara
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah pemerintah provinsi
adalah 8,4%
Rasio rata-rataatau naik 1,8%
SiLPA terhadap daripemerintah
belanja daerah tahun provinsi
lalu sebesar
adalah 8,4%6,6%. Pemegang
atau naik 1,8% posisi
dari tahun lalu sebesar
tertinggi
6,6%. Pemegang rasio SiLPArasio
posisi tertinggi terhadap
SiLPA terhadapbelanja pemerintah
belanja pemerintah provinsi
provinsi adalah adalah
Provinsi Bali Provinsi
(16,7%), dan diikuti oleh
Bali (16,7%), dan diikuti oleh Provinsi Aceh (16,5%). Sementara itu, yang
Provinsi Aceh (16,5%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,4%), dan diikuti oleh
Provinsi Sumatera Utara (0,4%).
terendah (terbaik) adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,4%), dan diikuti
oleh Provinsi Sumatera Utara (0,4%).
4. Per Wilayah
4. PerRasio
Wilayah
rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau naik 0,3% dari sebelumnya sebesar 7,75%.
Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera (8,0%). Sementara
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau
itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi (3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
naik 0,3%
Secara lebih darirata-rata
detil, rasio sebelumnya sebesar
SiLPA antar wilayah tersebut7,75%.
dapat dilihatPemegang posisi
pada grafik dibawah ini. tertinggi rasio
ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera
(8,0%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi
(3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
Secara lebih detil, rasio rata-rata SiLPA antar wilayah tersebut dapat dilihat
pada grafik dibawah ini.
15%
10% 8,0%
8,1% 7,3%
4,5%
5% 3,5%
0%
Sulawesi NT Maluku Papua Jawa_Bali Sumatera Kalimantan
C. C. Penerimaan
Penerimaan Pembiayaan yangPembiayaan
berasal dari Pinjaman yang berasal dari
Pinjaman
Pos pembiayaan dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (i) Penerimaan Pembiayaan, dan
(ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA dan Pinjaman
Pos pembiayaan dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian,
Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dan Pengembalian Pinjaman
yaitu (i) Penerimaan Pembiayaan, dan (ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk
Daerah. Pinjaman Daerah sangat diperlukan untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari Pemerintah,
Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA
Penerusan Pinjaman melalui Pemerintah, Pemerintah daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga keuangan bukan bank,
dan Pinjaman Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah
maupun Obligasi Daerah. Berikut
Penyertaan Modalini Pemerintah
disajikan rasio Pinjaman
Daerahterhadap Pendapatan Daerah dilihat
dan Pengembalian Pinjamandari pembagian
Daerah.lima wilayah,
pemerintah kabupaten dan
Pinjaman kota se-provinsi,
Daerah sangat dan pemerintah provinsi.
diperlukan untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman
Daerah dapat bersumber dari Pemerintah, Penerusan Pinjaman melalui
1. Pemerintah,
Agregat Provinsi, Pemerintah daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga
Kabupaten dan Kota
keuangan bukan bank, maupun Obligasi Daerah. Berikut ini disajikan rasio
Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah dilihat dari pembagian lima wilayah,
pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi, dan pemerintah provinsi.
Grafik 4.13
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 4.13
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
3,0%
2,5%
2,5%
1,7%
2,0%
1,5%
1,3%
1,5%
1,0%
0,9%
1,0%
0,6%
0,6%
0,5%
0,4%
0,4%
0,4%
0,3%
0,3%
0,3%
0,2%
0,1%
0,1%
0,5%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,3%
0,0%
Jambi
Babel
Bali
Papbar
DIY
Jabar
Aceh
Jateng
Sulbar
Papua
Sumsel
Sulsel
Malut
Sulut
Sumbar
Banten
Kepri
Maluku
Sumut
Jakarta
Sulteng
Lampung
NTT
Riau
NTB
Kaltara
Kalsel
Kaltim
Bengkulu
Kalbar
Gorontalo
Kalteng
Jatim
Sultra
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap
kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor
pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan kota adalah sebesar 0,3%.
125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah
Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan
yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari
dalam
grafik di atasPMK Nomor
juga dapat 125/PMK.07/2013,
dilihat terdapat dan
10 wilayah provinsi dari 33 kalau
wilayah provinsi dirata-ratakan adalah
tidak menganggarkan penerimaan
sebesar
pinjaman dalam4,31%.
APBD-nya. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah yang
melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio
2.ini adalah Provinsi
Pemerintah KabupatenGorontalo (2,5%.) Dari grafik di atas juga dapat dilihat
dan Kota se-Provinsi
2,0%
1,6%
1,3%
1,2%
1,5%
0,7%
0,7%
0,6%
1,0%
0,5%
0,5%
0,5%
0,4%
0,4%
0,2%
0,2%
0,2%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,5%
0,1%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
00%
0,0%
Jambi
Babel
Bali
Jabar
Aceh
Papbar
DIY
Sulsel
Sulut
Jateng
Sulbar
Sumsel
Papua
Malut
Banten
Kepri
NTT
Maluku
Sumut
Sumbar
Sulteng
Riau
Lampung
NTB
Kaltara
Kalsel
Kaltim
Kalteng
Kalbar
Bengkulu
Jatim
Gorontalo
Sultra
Grafik 4.14
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah
Grafik 4.14
RasioPemerintah Kabupaten
Pinjaman terhadap Pendapatan dan Kota
Daerah Pemerintah se-Provinsi
Kabupaten *) *
dan Kota se-Provinsi
2,5%
2,1%
1,9%
2,0%
1,6%
1,3%
1,2%
1,5%
0,7%
0,7%
0,6%
1,0%
0,5%
0,5%
0,5%
0,4%
0,4%
0,2%
0,2%
0,2%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,5%
0,1%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
00%
0,0%
Jambi
Babel
Bali
Papbar
Jabar
Aceh
Sulsel
Jateng
Sulbar
Sumsel
Papua
DIY
Sulut
Sulteng
Malut
Banten
Kepri
Maluku
Sumut
Sumbar
NTT
Riau
Lampung
NTB
Kaltara
Kalsel
Kaltim
Kalteng
Jatim
Kalbar
Bengkulu
Gorontalo
Sultra
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap
pendapatan daerah pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah sebesar
0,3%, Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi
Gorontalo (2,1%), yang diikuti oleh Provinsi Maluku Urata (1,9%).Dalam hal
ini terdapat 13 daerah yang rasio pinjamannya di atas nilai rata-rata.
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan
pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana dapat dilihat dalam grafik 4.15.
Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan
(3,7%), Provinsi Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan
Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka Provinsi
DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerah dengan pemegang posisi
nilai terbesar.
3,4%
3,5%
3,7%
4,0%
3,0%
2,0%
0,4%
1,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,2%
0,0%
Bali
Aceh
Jambi
Jabar
Babel
Papbar
Sumut
Sumbar
Sumsel
Jateng
DIY
Sulut
Sulteng
Papua
Malut
Sulbar
Sulsel
Riau
Lampung
NTB
NTT
Maluku
Banten
Kepri
Jakarta
Bengkulu
Kalsel
Kaltim
Kaltara
Gorontalo
Jatim
Kalbar
Kalteng
Sultra
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah
Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang melampaui batas maksimal
Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah
pinjaman sesuai ketentuan PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan pelampauan defisit
satu daerah yang melampaui batas maksimal pinjaman sesuai ketentuan
terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah
PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan
sedangkan batasan yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas fiskalnya, yaitu 3,5% dari pendapatan daerah.
pelampauan defisit terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman
Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah sedangkan
batasan
4. yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas
Per Wilayah
fiskalnya, yaitu
Secara 3,5%
total, daerah dariNusa
di wilayah pendapatan
Tenggara, Maluku,daerah.
dan Papua mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan
per wilayah tertinggi (0,4%), atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan rasio pinjaman terendah
4. Per Wilayah
Secara total, daerah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan per wilayah tertinggi (0,4%),
atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan
rasio pinjaman terendah adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya,
rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah
ini.
Grafik 4.16
Grafik 4.16
Rasio pinjaman/pendapatan
Rasio pinjaman/pendapatan per per wilayah
wilayah * *)
0,50%
0,39%
0,40%
0,32%
0,29%
0,30%
0,26%
0,20% 0,15%
0,12%
0,10%
0,00%
Kalimantan Sulawesi Jawa_Bali Sumatera NT Maluku Papua
5. 5. yang
Daerah Daerah yang
Melampaui Batas Melampaui Batas
Maksimal Defisit yang DibiayaiMaksimal
Pinjaman Defisit yang
Dibiayai Pinjaman
Dalam tahun 2014, pembatasan maksimal defisit yang dapat dibiayai dari pinjaman diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan
Dalam tahun
Nomor 125/PMK.07/2013 2014,
tentang Batas pembatasan
Maksimal maksimal
Kumulatif Defisit defisit
APBD, Batas yang
Maksimal dapat
Defisit dibiayai
APBD dan Batas Maksimal
Kumulatif dari pinjaman
Pinjaman diatur
Daerah Tahun melalui
Anggaran Peraturan
2014. Dalam Menteri
PMK tersebut Keuangan
ditetapkan Nomor
batas maksimal 125/
kumulatif defisit APBD
(nasional)PMK.07/2013 tentangadalah
yang dibiayai dari pinjaman Batas
sebesarMaksimal Kumulatif
0,3% dari proyeksi Defisithalnya,
PDB. Demikian APBD,batas Batas
maksimal defisit
Maksimal
masing-masing daerah Defisit
terhadap APBD dan Batas
pendapatannya Maksimal
juga tidak Kumulatif
boleh terlampaui sesuaiPinjaman Daerah
kategori kapasitas Tahunyaitu 6,5%
fiskalnya
Anggaran
untuk kategori kapasitas2014. Dalam
fiskal sangat tinggi;PMK tersebut
5,5% untuk kategoriditetapkan
kapasitas fiskalbatas
tinggi; maksimal kumulatif
4,5% untuk kategori kapasitas fiskal
defisit
sedang; dan APBD
3,5% untuk (nasional)
kategori yangrendah.
kapasitas fiskal dibiayai
Apabiladari
APBD pinjaman adalah
melampaui batas sebesar
defisit yang 0,3%
ditentukan, maka daerah
daridahulu
harus terlebih proyeksi PDB.persetujuan
mendapatkan Demikian halnya,defisit
pelampauan batas darimaksimal defisit
Menteri Keuangan c.q. masing-masing
Dirjen Perimbangan Keuangan.
daerah terhadap pendapatannya juga tidak boleh terlampaui sesuai kategori
Tabel 4.3. di bawah ini menunjukkan beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya telah
kapasitas fiskalnya yaitu 6,5% untuk kategori kapasitas fiskal sangat tinggi;
terlampaui.
5,5% untuk kategori kapasitas fiskal tinggi; 4,5% untuk kategori kapasitas
Tabel 4.3
fiskal sedang; dan 3,5% untuk kategori kapasitas fiskal rendah. Apabila
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
APBD melampaui batas defisit yang ditentukan, maka daerah harus terlebih
Dari tabel dimendapatkan
dahulu atas dapat dilihat persetujuan
adanya 19 daerah yang pinjamannya
pelampauan melampaui
defisit dari batas yang ditentukan.
Menteri Keuangan Untuk posisi
tertinggi adalah KabupatenPerimbangan
c.q. Dirjen Buton (11,4%). Apabila daerah Tabel
Keuangan. yang defisit
4.3.anggarannya
di bawah akanini
ditutup dengan pinjaman telah
menunjukkan
melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk
Tabel 4.3
Daerah dengan % Pinjaman diatas Batas yang ditetapkan
Batas Pinjaman
Sesuai Pendapatan Daerah dan
%
No Nama Daerah dengan (miliar Obligasi
Pinjaman
PMK 125 rupiah) (miliar
tahun 2013 rupiah)
1 Kab. Buton 3,5% 878,8 100,0 11,4%
2 Kab. Halmahera Selatan 5,5% 701, 77,8 11,1%
3 Kab. Boalemo 3,5% 540,4 51,0 9,4%
4 Kab. Keerom 5,5% 750,5 60,0 8,0%
5 Kab. Lombok Barat 3,5% 1.133,6 90,0 7,9%
6 Kab. Mukomuko 3,5% 648,4 47,5 7,3%
7 Kab. Lampung Selatan 3,5% 1.263,4 91,0 7,2%
8 Kab. Temanggung 3,5% 1.094,3 76,5 7,0%
9 Kab. Morowali 4,5% 516,6 33,3 6,5%
10 Kota Mataram 3,5% 961,1 60,0 6,2%
11 Kab. Bangkalan 3,5% 1.417,4 87,5 6,2%
12 Kab. Muara Enim 4,5% 1.730,3 97,3 5,6%
13 Kab. Puncak 4,5% 1.075,3 60,0 5,6%
14 Kab. Pesawaran 3,5% 902, 50,0 5,5%
15 Kab. Kampar 4,5% 2.157,3 113,0 5,2%
16 Kab. Sambas 3,5% 1.171,7 48,6 4,1%
17 Prov. Sulawesi Selatan 3,5% 5.593,9 207,5 3,7%
18 Kab. Sidenreng Rappang 3,5% 822,7 30,0 3,6%
19 Kota Gorontalo 3,5% 789,3 28,5 3,6%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
D. Dana Idle
Rekening kas umum daerah merupakan rekening daerah untuk
menampung uang masuk maupun uang keluar yang dibuka pada bank umum
dan BPR. Seiring dengan pelaksanaan anggaran, pergerakan arus uang masuk
dan uang keluar milik daerah dapat diketahui melalui bank sentral yaitu
Bank Indonesia. Apabila arus uang masuk lebih besar daripada arus uang
keluar, maka akan terjadi penumpukan dana (idle). Dana idle ini merupakan
akumulasi dari penerimaan berupa pendapatan, transfer dana perimbangan,
penerimaan pembiayaan setelah dikurangi belanja. Dana Idle terjadi antara
lain karena pemerintah daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga
apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara
arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu
besar dan ditahan terlalu lama justru akan menghambat kegiatan pemberian
layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat
dalam grafik 4.17 berikut :
120.000
99.240
94.313
100.000
80.446
80.000 66.905 66.881
miliar rupiah
62.088
60.000 51.927
38.743
40.000 28.519 32.336
27.432
23.345
20.000
0
2010 2011 2012 2013
Sumber:
Sumber: Bank (Diolah)
Bank Indonesia Indonesia (Diolah)
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu
mencapai titik terendah pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan pada posisi bulan Desember
berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu mencapai titik terendah
tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle
pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan
provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru
pada posisi bulan Desember tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana
pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle
provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan
tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru mengalami peningkatan.
Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per
provinsi dapat dilihat pada grafik 4.18 di bawah ini.
14.000
12.000
10.000
Miliar Rupiah
8.000
6.000
4.000
2.000
MALUT
BABEL
SULUT
DIY
SUMBAR
KALSEL
NTB
SULTENG
SULTRA
KALBAR
KEPRI
SULSEL
NTT
JATENG
SULBAR
SUMUT
SUMSEL
KALTIM
Papua Barat
JATIM
JABAR
KALTENG
MALUKU
PAPUA
JAKARTA
GORONTALO
LAMPUNG
JAMBI
ACEH
RIAU
BANTEN
BENGKULU
BALI
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Daerah yang menduduki posisi tertinggi simpanan pemda di perbankan agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan
DesemberDaerah
2013 adalahyang
Provinsi menduduki posisidisusul
Kalimantan Timur, kemudian tertinggi simpanan
oleh Provinsi Jawa Tengah,pemda
dan Provinsidi
DKIperbankan
Jakarta.
Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai
agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan Desember 2013 adalah Provinsi
APBD suatu daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank umum dan BPR. Adapun nilai korelasi
Kalimantan Timur, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi
besaran nilai APBD terhadap besaran nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%.
DKI Jakarta. Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai
APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai APBD suatu
daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank
umum dan BPR. Adapun nilai korelasi besaran nilai APBD terhadap besaran
nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%.
Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014 103
BAB V
REALISASI BELANJA DAERAH
APBD 2014 SAMPAI DENGAN
BULAN MEI 2014
Belanja = DPdP(t-1)+DT(t)+PAD(t)-DPdP(t)
Keterangan :
DPdP = Dana Pemerintah Daerah di Perbankan
DT = Dana Transfer
PAD = Estimasi Penerimaan dari PAD
t = bulan ke t
3. Langkah Ketiga
Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014 105
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :
700.000
80
600.000
Miliar Rupiah
60 500.000
%
400.000
40 Anggaran
300.000
200.661 (Milyar)
20 200.000 151.986
95.441 815.907
63.235
100.000 32.600 Anggaran
0 708.214
(Milyar)
Jan - Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Septem Novemb Desemb 593.506
2014 4,0 7,8 11,7 Maret
Januari Februari 18,6 24,6
April Mei Juni Juli Agustus Oktober 815.907
ber er er
2013 4,1 2014 8,4 13,6 95.440
32.600 63.235 20,5 151.98
26,9 200.66
34,3 44,8 50,6 57,6 66,6 75,5 96,1 495.274
708.214
2012 4,9 2013 8,3 13,3 96.144
28.838 59.534 20,2 145.35
26,3 190.85
34,6 242.6642,8317.30 50,8
358.55 58,7
407.72 66,6 75,5 680.84
472.02 534.68 96,2 593.506
2011 4,8 2012 8,4
29.024 49.297
14,0 78.875
20,3 119.89
26,8 155.99
33,1 205.0842,4253.98 54,4
301.56 58,8
348.25 67,1
395.34 448.10
76,1 570.72
98,8 495.274
2011 23.650 41.927 69.545 100.64 132.85 164.16 210.62 269.92 291.52 332.77 377.68 490.44
Grafik
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja
Grafik 5.2 5.2
secara total, tidak per jenis belanja.
500.000
400.000 80
300.000 60
200.661
%
200.000 151.986
40 95.441
63.235
100.000 32.600 Anggaran
20 (Milyar)
- Anggaran
Septem Novemb Desemb (Milyar)
Januari
0 Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Oktober 815.907
ber er er
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2014 32.600 63.235 7,895.44011,7151.9818,6200.66 708.214
2014 4,0 24,6 815.907
2013 28.838
2013 4,1 59.534 8,496.14413,6145.3520,5190.85
26,9 242.66
34,3 317.30
44,8 358.55
50,6 407.72
57,6 472.02
66,6 534.68
75,5 680.84
96,1 593.506
708.214
2012 29.024
2012 4,9 49.297 8,378.87513,3119.8920,2155.99
26,3 205.08
34,6 253.98
42,8 301.56
50,8 348.25
58,7 395.34
66,6 448.10
75,5 570.72
96,2 593.506
495.274
2011 23.650
2011 4,8 41.927 8,469.54514,0100.6420,3132.85
26,8 164.16
33,1 210.62
42,4 269.92
54,4 291.52
58,8 332.77
67,1 377.68
76,1 490.44
98,8 495.274
Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja
daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu lebih tinggi jika dibandingkan
dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali
Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014 107
2013 yaitu sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012 yaitu sebesar 155,99 triliun (total
belanja daerah sebesar 593,51 triliun).
realisasi belanja daerah pada akhir triwulan I tahun 2014 yang diperkirakan
Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu
hanya sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi
lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali realisasi belanja
belanja
daerah padadaerah pada
akhir triwulan I tahunbeberapa tahunhanya
2014 yang diperkirakan sebelumnya.
sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan
realisasi belanja daerah pada beberapa tahun sebelumnya.
Grafik 5.3
Realisasi Belanja Grafik 5.3Daerah Secara
Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Per
Kabupaten, danProvinsi Bulan
Kota Per Provinsi Mei
Bulan Mei 20142014
(%) (%)
40,0 34,4
35,0
30,0
25,0 24,6
20,0
%
15,0
10,0
5,0 9,6
0,0
Jambi
Bali
Aceh
Papua
Banten
Maluku
Lampung
Riau
Kalimantan Barat
Sumatera Selatan
Bengkulu
Jawa Barat
Gorontalo
Kalimantan Utara
Kalimantan Timur
Papua Barat
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Timur
Kepulauan Riau
Sumatera Barat
Kalimantan Tengah
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan
DKI Jakarta
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sumatera Utara
Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
dengan periode
realisasi belanja di atasyang sama
rata-rata. tahun
Yang menarik 2013
adalah beberapasebesar 26,9%.
daerah di Jawa yang meliputi Provinsi Banten dan DI
Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah rata-rata.
Sementara itu, terdapat 13 daerah yang mempunyai realisasi belanja di
bawah rata-rata dan 21 daerah mempunyai realisasi belanja di atas rata-rata.
Yang menarik adalah beberapa daerah di Jawa yang meliputi Provinsi Banten
dan DI Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah rata-
rata.