Anda di halaman 1dari 7

ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN: MAKSUD ALLAH SEJAK SEMULA TENTANG PERNIKAHAN

“(19:3) Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan
orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" (19:4) Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? (19:5) Dan firman-Nya: Sebab itu laki-
laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
(19:6) Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia." (19:7) Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk
memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?" (19:8) Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu
Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. (19:9) Tetapi Aku berkata
kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat
zinah." (19:10) Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik
jangan kawin." (19:11) Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya
mereka yang dikaruniai saja. (19:12) Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim
ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena
kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti." (Matius 19:1-12)

PENDAHULUAN

Pernikahan adalah hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa. Kejadian 1:28
mencatat bagaimana Tuhan memberkati Adam dan Hawa sebelum mereka diperintahkan untuk beranak cucu. Karena
itu, pernikahan harus ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain,
dan bersandar kepada kasih karunia Tuhan. Pernikahan tidak boleh ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan,
dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi
dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu.

Kita seharusnya prihatin dengan tingginya angka perceraian seperti dilansir REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA yang
menuliskan, “Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag)
Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen.
Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, mengatakan tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap
tahunnya... Pada tahun 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika
diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab
78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara.

Tingginya angka perceraian di atas membuat kita bertanya, mengapa begitu banyak pasangan suami-isteri yang
mengakhiri hubungan mereka dengan perceraian? Karena itu memahami ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN seperti yang
dirancang dan ditetapkan Allah dari sejak semula sangatlah penting bagi kelanggengan hubungan pernikahan. Karena itu
kita akan memperhatikan pengajaran Tuhan Yesus mengenai pernikahan dalam Matius 19:1-12 dan pasal-pasal pararel
lainnya.

APAKAH ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN ITU?

Pertama-tama kita akan melihat definisi Pernikahan dan kemudian memperhatikan prinsip-prisip esensial dari
pernikahan itu. Pernikahan dapat didefisinisikan sebagai berikut: “pernikahan merupakan hubungan eksklusif antara
satu laki-laki dan satu perempuan, dimana keduanya menjadi “satu daging”, disatukan secara fisik, emosional,
intelektual, dan spiritual; dijamin melalui sumpah sakral dan ikatan perjanjian serta dimaksudkan untuk seumur hidup”.
Definisi ini didasarkan pada pernyataan Alkitab dalam Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31; dan Kejadian 1:24.
Berdasarkan definisi tersebut, berikut ini lima esensi pernikahan Kristen.

1. Pernikahan merupakan suatu lembaga yang dibuat dan ditetapkan Allah bagi manusia sesuai kebutuhan (Matius
19:4,8).

Pernikahan merupakan suatu lembaga yang ditetapkan Allah bagi manusia sesuai dengan kebutuhannya. Perhatikan
Frase dalam “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan
dengan dia” (Kejadian 2:18). Saat laki-laki (ha adam) “seorang diri saja” maka Allah menyatakan bahwa keadaan ini
“tidak baik”. Jadi Allah memutuskan untuk menciptakan “ezer kenegdo” atau “seorang penolong”. Kata Ibrani “ezer”
yang diterjemahkan dengan “penolong” berarti “sesuai dengan” atau “sama dengan”. Jadi secara harfiah “seorang
penolong” berarti “penolong yang sepadan atau seorang yang sepadan dengannya”. Dengan demikian jelaslah bahwa
Allah sendiri yang menetapkan lembaga Pernikahan dan memberkatinya (Baca Kejadian 1:28).
Ketetapan Tuhan ini tidak pernah berubah dan ini berlaku “sejak semula” bagi semua orang, bukan hanya bagi orang-
orang Kristen saja. Matius mencatat perkataan Kristus demikian, “Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” (Matius 19:4). Kata
Yunani “ap’arches” atau “sejak semula” yang disebutkan Yesus dalam Matius 19:4, pastilah merujuk pada Kejadian pasal
2, karena kalimat selanjutnya “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”, yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari
Kejadian 2:24.

Pernikahan adalah satu-satunya lembaga sosial yang ditetapkan Allah sebelum kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian
2:24; Banding Kejadian 1:28). Karena itu pernikahan wajib dihormati oleh semua orang (Ibrani 13:4). Allah telah
menetapkan pernikahan dari sejak semula, baik untuk orang-orang Kristen maupun untuk orang-orang bukan Kristen.
Dan Allah adalah saksi dari seluruh pernikahan, baik diundang maupun tidak. Meskipun bentuk dan tatacara bervariasi
dalam setiap budaya dan setiap generasi tetapi esensinya tetap sama dari “sejak semula” bahwa pernikahan merupakan
satu peristiwa sakral tidak peduli pasangan tersebut mengakuinya ataupun tidak.

2. Pernikahan merupakan hubungan yang eksklusif antara seorang pria dan seorang wanita (Matius 19:5,6).

Di dalam rancangan Allah sejak semula, pernikahan adalah antara satu orang pria dengan satu orang wanita yang
menjadi satu. Sejak semula Allah hanya menciptakan dua gender manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, yang
walaupun berbeda dalam fungsi dan reproduksi, tetapi sama dalam derajat, harkat dan martabat. Sebab itu,
bersyukurlah jika anda dilahirkan sebagai pria atau pun sebagai seorang wanita. Dalam Kejadiam 1:27 dikatakan “Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki (ish) dan
perempuan (ishsha) diciptakan-Nya mereka”. Kristus menegaskan kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, “Jawab
Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula (ap’arches) menjadikan
mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?”

Dalam Rancangan Allah sejak semula Pernikahan, khususnya pernikahan Kristen itu bersifat monogami bukan poligami
dan heteroseksual (berbeda jenis kelamin) bukan homoseksual (sesama jenis kelamin). Perhatikanlah Kejadian 1:27,
disini dikatakan, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia;
laki-laki (ish) dan perempuan (ishsha) diciptakan-Nya mereka”. Kristus menegaskan kembali hal ini dalam Matius 19:4,
dikatakan, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula
(ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?”. Kata Yunani “ap’arches” atau “sejak semula”
yang disebutkan Yesus dalam Matius 19:4, pastilah merujuk pada Kejadian Pasal 2, karena kalimat selanjutnya “Dan
firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu
menjadi satu daging”, yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari Kejadian 2:24. Dengan demikian,
pernikahan Alkitabiah adalah antara seorang pria biologis dengan seorangan wanita biologis. Karena itu, pernikahan
dengan sesama jenis (homosexual) atau pun pernikahan dengan hewan bukanlah pernikahan, melainkan penyimpangan
dari ketetapan Tuhan. Pernikahan sesama jenis kelamin merupakan pelanggaran langsung terhadap ayat-ayat firman
Tuhan ini (Imamat 18:22; 20:13). Hal tersebut bukan hanya pelanggaran moral atau etika, tetapi kriminalitas (kejahatan)
dihadapan Tuhan yang patut dihukum (bandingkan juga (Roma 1:26-27; 1 Korintus 6:9-10). Rasul Paulus menegaskan
kembali karakteristik paling mendasar dari pernikahan adalah bahwa pernikahan merupakan satu kesatuan antara
seorang pria dan seorang wanita. Rasul Paulus berkata “baiklah setiap laki-laki (bentuk tunggal) mempunyai isterinya
sendiri (bentuk tunggal) dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (1 Korintus 7:2).

Melalui pernikahan Allah menyatukan dua orang menjadi satu. Perhatikan frase “dipersatukan Allah” dalam kalimat
“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia.” (Matius 19:6) berasal dari kata Yunani “suzeugnumi” yang berarti “menyatukan”. Kata ini berbeda
dari kata Yunani “kolléthésetai” yang artinya “dipersatukan” atau “bersatu” dalam Matius 19:5. Kata Yunani
“suzeugnumi” atau “dipersatukan” secara harafiah adalah “bersama-sama disatu-kuk-kan”, atau sepenuhnya berarti
“bersama dalam kuk yang sama yang telah ciptakan bagi mereka”. Sebuah kuk memampukan dua ekor lembu menarik
beban bersama, masing-masing saling berbagi tugas sehingga konsekuensinya adalah meringankan tugas dan keduanya
bersama dapat menyelesaikan tugas lebih banyak dari apa yang dapat dicapai kalau mereka hanya sendirian
mengerjakannya. Jadi dalam nas ini, Yesus menggambarkan pernikahan sebagai sebuah kuk yang Allah buat. Seorang
laki-laki dengan seorang perempuan dapat memikulnya sehingga mereka bersama dapat meringankan pekerjaan-
pekerjaan dan beban-beban kehidupan, dan mencapai hal-hal bersama yang tidak dapat dicapai kalau mereka hanya
sendirian saja.

Jadi apa yang Allah buat adalah menempa sebuah kuk, yaitu menciptakan sebuah hubungan yang eksklusif, yang ke
dalamnya seorang laki-laki dan seorang perempuan boleh masuk, memiliki hubungan, menerima, dan menikmati
manfaat yang ada di dalamnya. Pernikahan pada hakikatnya adalah suatu hubungan yang ekslusif antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan. Dan semua yang ada di dalam pernikahan itu sendiri berasal langsung dari kebenaran
bahwa pernikahan merupakan rancangan Allah, merupakan lembaga yang diciptakan Allah! Konsep tentang “hubungan
yang eksklusif” dalam pernikahan ini merupakan pusat dari ajaran Kristus mengenai pernikahan. Inilah yang dimaksud
Yesus ketika ia berkata “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Matius 19:6).

Selanjutnya, hubungan eksklusif dalam pernikahan itu “tidak boleh diceraikan manusia” atau secara harafiah “manusia
jangan memisahkan (”anthrōpos mē chōrizō ”). Kata Yunani “diceraikan” adalah “chōrizō” yang artinya “membagi,
memisahkan, memotong, membelah, memecah, atau mematahkan”. Sedangkan kata Yunani “manusia” adalah
“anthrōpos”, menunjuk kepada manusia, yaitu laki-laki dan peremuan. Jadi, perceraian formal biasanya didahului oleh
terpisahnya atau terpecah-belahnya hubungan antara suami dan istri, dan perpisahan ini jadi sebagai akibat perbuatan
laki-laki maupun perempuan, yaitu dari pasangan maupun pihak ketiga.

3. Pernikahan merupakan pertemuan dan hubungan antar pribadi yang paling intim (Matius 19:5,6)

Pernikahan adalah hal yang paling misterius tetapi serius. Karena, “keduanya akan menjadi satu”. Artinya, secara praktis
keduanya akan beralih “dari aku dan kau menjadi kita” dan “dari saya dan dia menjadi kami”. Persatuan ini mencakup
segalanya “disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual”. Perhatikanlah saat Alkitab mengatakan “seorang
pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu dengan istrinya” (Kejadian 2:24). Kata “meninggalkan” dan
“bersatu” adalah dua kata yang penting untuk dipahami. Kata Ibrani untuk “meninggalkan” adalah “azab” yang berarti
“melonggarkan, melepaskan, meninggalkan, meninggalkan sepenuhnya, secara total”. Kata Ibrani untuk “bersatu”
adalah “dabaq” yang artinya “mengikat, lem, melekat, menempel, bergabung berdekatan dengan atau mengikat
bersama”. Ketika Yesus mengutip Kejadian 2:24 ini maka anak kalimat “bersatu dengan” dalam kalimat “Dan firman-Nya:
Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi
satu daging” (Matius 19:5) adalah kata Yunani “proskolléthésetai”, kata yang sama dipakai Paulus dalam Efesus 5:31.
Kata “proskolléthésetai” berarti direkatkan atau dikokohkan bersama, ditatah bersama, atau di las bersama”, yang
mengindikasikan tingkat kekuatan paling tinggi dalamdalam sebuah kedekatan dan pelekatan. (catatan: Beberapa edisi
Perjanjian Baru Yunani memakai kata “kolléthésetai” tanpa awalan “pros” yang mengandung arti sama). Artinya jelas,
bahwa dalam pernikahan seorang pria melekatkan diri kepada istrinya sendiri, sehingga “apa yang telah dipersatukan
Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).

Secara khusus, pernikahan juga melibatkan kesatuan seksual antara pria dan wanita. Perhatikan frase “satu daging”
dalam ayat-ayat Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31. Ada tiga tujuan relasi seksual dalam pernikahan,
yaitu: penyatuan (Kejadian 2:24), perkemban-biakan (Kejadian 1:28), dan rekreasi (Amsal 5:18-19). Tetapi, hubungan
seksual sebelum pernikahan disebut percabulan (Kisah Para Rasul 15:20; 1 Korintus 6:18) dan hubungan seksual diluar
pernikahan disebut perzinahan (Keluaran 20:14; Matius 19:9). Percabulan maupun perzinahan, sangat dilarang di dalam
Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, dibawah Hukum Taurat, mereka yang melakukan persetubuhan sebelum menikah
diwajibkan untuk menikah (Ulangan 22:28-29). Hal ini penting sebab, seks dikuduskan oleh Allah hanya untuk
pernikahan bukan sebelum pernikahan. Karena itu setiap orang wajib menghormati pernikahan (1 Korintus 7:2; Ibrani
13:4).

4. Pernikahan bersifat permanen dan merupakan suatu komitmen kesetiaan untuk seumur hidup (Matius 19:6)

Menurut Alkitab, pernikahan itu bersifat monogami, yaitu untuk satu suami dan satu istri. Paulus berkata “baiklah setiap
laki-laki (bentuk tunggal) mempunyai isterinya sendiri (bentuk tunggal) dan setiap perempuan mempunyai suaminya
sendiri” (1 Korintus 7:2). Monogami bukan hanya ajaran Perjanjian Baru, tetapi merupakan ajaran Perjanjian Lama.
Monogami adalah sejak dari mulanya ketika Allah menciptakan satu laki-laki (Adam) dan memberi dia hanya satu istri
(Hawa). Fakta bahwa Allah mengijinkan poligami dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia
memerintahkannya. Poligami, sebagaimana perceraian itu “diijinkan” bukan diperintahkan, hal ini terjadi karena
ketegaran (kekerasan) hati. Tetapi sejak semula tidaklah demikian (Matius 19:8).

Dengan demikian, merupakan kehendak Allah bahwa pernikahan itu sebagai komitmen seumur hidup. Permanennya
suatu pernikahan, dengan jelas dan tegas dikatakan Kristus, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia” (Matius 19:6). Perhatikanlah bahwa hubungan eksklusif dalam pernikahan itu “tidak boleh diceraikan
manusia” atau secara harafiah “manusia jangan memisahkan (”anthrōpos mē chōrizō ”). Kata Yunani “diceraikan”
adalah “chōrizō” yang artinya “membagi, memisahkan, memotong, membelah, memecah, atau mematahkan”.
Sedangkan kata Yunani “manusia” adalah “anthrōpos”, menunjuk kepada manusia, yaitu laki-laki dan peremuan. Jadi,
perceraian formal biasanya didahului oleh terpisahnya atau terpecah-belahnya hubungan antara suami dan istri, dan
kerusakan ini terjadi sebagai akibat perbuatan laki-laki maupun perempuan, yaitu dari pasangan itu sendiri maupun
pihak ketiga. Karena Allah dari sejak semula menetapkan bahwa pernikahan merupakan suatu ikatan yang permanen,
yang berakhir hanya ketika salah satu pasangannya meninggal (bandingkan Roma 7:1-3; 1 Korintus 7:10-11), maka
pemisahan (perceraian) jelaslah dilarang oleh Allah! Paulus juga menegaskan hal ini ketika ia berkata “Sebab seorang
isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah
ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia
menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia
menjadi isteri laki-laki lain” (Roma 7:2-3).

Walaupun pernikahan bersifat permanen dan berlaku seumur hidup, tetapi pernikahan tidak bersifat kekal. Artinya,
hubungan pernikahan hanya terjadi selama hidup di bumi, tetapi tidak berlanjut dalam kekekalan. Hal ini jelas dari apa
yang Yesus katakan, “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti
malaikat di sorga” (Matius 22:30). Meskipun kita pasti dapat mengenali orang-orang yang kita cintai di sorga nanti, tetapi
jelaslah tidak ada pernikahan di sorga. Karena itu, Paulus menuliskan bahwa para janda dapat menikah lagi (1 Korintus
7:8-9), menunjukkan bahwa komitemen mereka hanya berakhir sampai kematian pasangan mereka.

5. Pernikahan merupakan suatu kovenan yang bersifat mengikat (Matius 19:5).

Pernikahan merupakan suatu kesatuan yang dilahirkan dari satu perjanjian dari janji-janji yang timbal balik. Kovenan
pernikahan ini dinyatakan dengan gamblang oleh nabi Maleakhi ketika ia menulis “TUHAN telah menjadi saksi antara
engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri
seperjanjianmu” (Maleakhi 2:14). Kitab Amsal juga berbicara tentang penikahan sebagai suatu “kovenan” atau
“perjanjian” satu sama lain. Kitab ini mengutuk seorang yang berzinah “yang meninggalkan teman hidup masa mudanya
dan melupakan perjanjian Allahnya” (Amsal 2:17).

Kata Ibrani yang digunakan untuk “kovenan” adalah “berit” dan kata Yunaninya adalah “diathêkê”. Sebuah kovenan
menurut Alkitab, adalah sebuah hubungan yang sakral antara dua pihak, disaksikan oleh Allah, sangat mengikat, dan
tidak dapat dibatalkan. Kedua belah pihak bersedia berjanji untuk menjalani kehidupan sesuai dengan butir-butir
perjanjian itu. Istilah kovenan yang seperti inilah yang digunakan Alkitab untuk melukiskan sifat hubungan pernikahan.
Jadi jelaslah bahwa pernikahan adalah suatu perjanjian pada satu peristiwa dimana Allah menjadi saksi. Allahlah yang
mengadakan pernikahan dan Dialah yang menyaksikan janji-janji tersebut benar-benar dibuat “dihadapan Allah”. Kristus
menegaskan bahwa Allahlah yang benar-benar menyatukan dua manusia bersama-sama di dalam pernikahan dengan
mengatakan, “Apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Markus 10:19).

BAGAIMANA DENGAN PERCERAIAN?

Bagaimana dengan perceraian, bukankan Kristus mengatakan bahwa “apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh
diceraikan oleh manusia”? Apa yang dikatakan Kristus tersebut benar adanya. Setidaknya ada tiga argumentasi yang
menjadi dasar larangan bagi perceraian, yaitu :

1. Perceraian bukanlah ideal Tuhan.

Jelaslah bahwa Tuhan tidak merancang perceraian. Apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk
mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.”
Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi
dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).
Yesus mengatakan bahwa Allah “mengijinkan” perceraian tetapi tidak pernah memerintahkan perceraian, dan menurut
Kristus perceraian itu “diijinkan” bukan diperintahkan, hal ini terjadi karena “ketegaran hati” manusia (Matius 19:8).
Kata Yunani “ketegaran hati” adalah “sklerokardia” yang lebih tepat diterjemahkan dengan “kekerasan hati” (Matius
19:8; Markus 10:5). Dosa telah membuat hati manusia menjadi keras. Kekerasan hati manusia mengakibatkan manusia
sulit mengampuni, menganggap diri benar, meremehkan firman Tuhan, menutup diri terhadap koreksi, menolak untuk
berubah, menyebabkan hubungan suami istri rusak, dan keluarga berantakan, bahkan perceraian. Jadi perceraian
adalah konsensi ilahi bukan konstitusi ilahi; merupakan kelonggaran bukan norma atau standar Allah. Dengan kata lain,
perceraian bukanlah yang ideal atau yang terbaik bagi pernikahan.

2. Perceraian mengakibatkan masalah-masalah.

Apabila rancangan Tuhan diabaikan oleh manusia, pastilah timbul masalah-masalah. Bagi orang-orang tertentu
perceraian sepertinya adalah penyelesaian masalah, tetapi bagi orang lainnya justru menjadi masalah. Karena akan ada
pihak yang terluka, tertekan, tersakiti dan dirugikan. Pasangan yang bercerai, anak-anak, pihak keluarga, serta
masyarakat yang lebih luas bisa jadi terkena dampak dari perceraian tersebut. Penggalan syair "aku terjatuh dan tak bisa
bangkit lagi, aku tenggelam dalam lautan luka dalam, aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang..." dalam lagu Butiran
Debu” yang dinyanyikan Rumor nampaknya mengekspresikan dengan tepat kebahagiaan cinta yang dirusak oleh
pengkhiataan dan betapa dalam luka yang diakibatkannya. Ada harga mahal yang dibayar bagi sebuah pilihan untuk
bercerai karena perceraian mengakibatkan luka yang tidak mudah untuk disembuhkan. Dan mungkin, bila luka tersebut
disembuhkan tetap akan menyisakan goresan bekas luka tersebut.

3. Perceraian tidak diperbolehkan karena setiap alasan.

Banyak penafsir menganggap Kristus menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi hanya karena satu alasan yaitu
“zinah” (Matius 19:9). Menurut beberapa teolog dan penafsir Alkitab, frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya
alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian. Menurut mereka, satu alasan ini perlu
ditegaskan karena orang farisi datang kepada Yesus dengan pertanyaan “Apakah diperbolehkan orang menceraikan
isterinya dengan alasan apa saja?” Frase Yunani “kata pasan aitian” sebuah frase yang lebih tepat bila diterjemahkan
“untuk alasan apa saja” (Matius 19:3). Tetapi, frase “kecuali kerena zinah” dalam ucapan Yesus “Barangsiapa
menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (Matius 19:9) adalah
kesalahan terjemahan!

Frase yang diterjemahkan dengan “kecuali karena zinah” adalah frase Yunani “mé epi porneia” yang ditulis dalam bentuk
negatif dan lebih tepat diterjemahkan “tidak untuk percabulan”. Mengapa? Karena kata “mé” adalah kata biasa yang
berarti “tidak” atau “jangan”. Kata ini muncul lebih dari 1000 kali dalam Perjanjian Baru dan tidak sekalipun
diterjemahkan dengan kata “kecuali”, selain dalam ayat ini. Beberapa contoh dari penggunaan kata “mé” yang berarti
“tidak” diterjemahkan dengan kata “jangan” seperti dalam Matius 26:5; Markus 14:2; Lukas 13:14; Yohanes 13:9; 18:40.
Tentu saja ini adalah kesalahan terjemahan yang berakibat fatal karena menyalahgunakan dari maksud Kristus yang
sebenarnya! Sedangkan kata “porneia” adalah istilah Yunani yang secara umum berarti kelakuan seksual yang buruk.
Dalam ayat ini lebih tepat diterjemahkan dengan kata “percabulan”. Sebab jika yang dimaksud adalah perzinahan maka
kata Yunani yang umum digunakan adalah ““moikeia”. Kata “moikeia” yang berarti “perzinahan atau seks haram yang
melibatkan seseorang yang sudah menikah”. Sedangkan kata “porneia” adalah istilah yang setara dengan kata Ibrani
“erwath dabar” yang diterjemahkan dengan istilah “tidak senonoh” dalam Ulangan 24:1, secara harafiah berarti
“ketelanjangan suatu benda”. Kata “erwath dabar” ini dapat diartikan sebagai “keadaan telanjang atau pamer aurat
yang dikaitkan dengan perilaku yang tidak suci”, tetapi bukan perzinahan setelah pernikahan. Karena hukuman bagi
perzinahan setelah pernikahan dalam hukum Taurat adalah hukuman mati, sebagaimana yang disebutkan dalam
Imamat 20:10 “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia,
pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu” (Bandingkan Yohanes 8:5).

Jadi jelas disini mengapa Matius menggunakan kata Yunani “porneia” atau “percabulan”, yang pada dasarnya berarti
ketidaksetiaan secara seksual atau ketidaksetiaan sebelum pernikahan yang mencakup segala macam hubungan seksual
yang bertentangan dengan hukum. Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun
mereka masih “bertunangan”. Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk
bercerai. Namun, tampaknya ada kesalahpahaman diantara pria Yahudi dalam menafsirkan tujuan dari ijin perceraian
dengan memberikan surat cerai tersebut (ulangan 24:1). Sebenarnya, surat cerai diberikan bukan untuk membenarkan
perceraian, tetapi untuk melindungi hak-hak perempuan (istri), agar ia jangan diusir begitu saja atau diperlakukan
seenaknya. Tetapi ayat ini justru digunakan oleh para lelaki untuk mengajukan perceraian terhadap istri mereka. Suatu
interpretasi yang keliru, sehingga tepat jika Yesus menuding keras dengan mengatakannya “Karena ketegaran hatimu
Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Matius 19:8).

ARGUMENTASI YANG MENDUKUNG BAHWA YESUS TIDAK MENGIJINKAN MEMBERIKAN PERCERAIAN?

Dengan demikian, dalam ayat Matius 19:9 ini Yesus dengan tegas tidak memberikan kekecualiaan apapun yang
memperbolehkan perceraian, termasuk alasan percabulan yang diijinkan Musa untuk bercerai dalam Ulangan 24:1 di
PerjanjianLama. Disini Yesus menegaskan lagi tujuan dan ketetapan Allah semula dalam pernikahan (Matius 19:6). Ada
beberapa alasan yang mendukung hal ini.

1. Kristus konsisten dengan ucapannya sendiri. Ketika Ia berkata, “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia” (Matius 9:6), maka tidaklah mungkin Ia menentang perkataanNya sendiri dengan mengijinkan
perceraian seperti kesalahan terjemahan dalam Matius 19:9.

2. Ketika mendengar penegasan Yesus seketika para muridNya memberi respon dengan berkata, “Jika demikian
halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin” (Matius 19:10). Ini menunjukkan bahwa mereka
benar-benar mengerti bahwa Yesus tidak pernah mengijinkan perceraian dengan alasan apapun. Dan menurut mereka
hal seperti ini sangat berat sekali, tetapi menurut Yesus memang “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu,
hanya mereka yang dikaruniai saja” (Matius 19:11).
3. Frase “kecuali karena zinah” tersebut hanya terdapat dalam tulisan Matius 19:9. Sementara itu, baik Markus
maupun Lukas tidak mencantumkannya! (bandingkan Markus 10:11-12; Lukas 16:18). Telah dijelaskan sebelumnya
bahwa frase “mê epi porneia”, yang diterjemahkan dengan “kecuali karena zinah” adalah salah terjemahan, karena
seharusnya diterjemahkan “tidak untuk percabulan”. Kesalahan terjemahan ini terjadi karena penerjemah memasukan
kata “ei” dalam frese “ei mê epi porneia”. Ketika kata “ei” digunakan bersama-sama dengan kata “mê” maka tentu saja
artinya adalah “kecuali”. Dan ungkapan berganda “ei mê “ ini muncul sekitar 36 kali dalam Perjanjian Baru. Dan, Teks
Yunani yang diterbitkan Erasmus telah memasukkan kata “ei” ini di depan kata “mê” sehingga mengubah arti dari
“tidak” menjadi “kecuali”. Kesalahan terjemahan ini juga termasuk dalam Tekstus Receptus yang merupakan dasar
banyak terjemahan lama. Sejak abad ke 19 para sarjana telah memiliki naskah Yunani yang dapat dipercaya seperti
Majority Text, Teks Bazitium, edisi-edisi Nestle-Aland, dan Edisi-edisi United Bible Society, yang semuanya dengan bulat
sepakat bahwa teks bahasa Yunani yang berbunyi “mê epi porneia” tanpa “ei” diterjemahkan sebagai “tidak karena
percabulan” yang berbeda artinya dengan “kecuali karena percabulan”. Namun sayangnya, hingga saat ini masih banyak
orang Kristen mengikuti sebuah tradisi terjemahan yang berasal dari Textus Receptus, yang telah menerjemahkan apa
yang tidak tertulis dalam naskah aslinya.

4. Pandangan dan kesimpulan para pakar teologi dan etika Kristen menunjukkan bahwa Kristus tidak mengijinkan
perceraian. (1) Homer A. Kent, Profesor bidang Perjanjian Baru dan Bahasa Yunani; Grace Theological Semanary. Beliau
menyatakan “apabila zinah dipandang sebagai sesuai dengan artinya yang umum, dan disini mengacu kepada kesucian
pihak wanita sepanjang masa pertunangan (bdg. Kecurigaan Yusuf, Matius 1:18,19), maka Kristus sama sekali tidak
memberikan peluang untuk bercerai bagi pasangan yang sudah menikah. Dengan demikian Dia tidak sependapat dengan
syamai maupun dengan Hillel” (The Wycliffe Bible Comentary, Volume 3, hal. 88); (2) F.F. Bruce seorang profesor
Perjanjian Baru di University of Manchester. Beliau menyatakan, “Namun pernikahan ditetapkan oleh Allah untuk
manusia di bumi. Atas pertanyaan ‘apakah seseorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya!’ maka jawabannya,
kita simpulkan adalah tidak; tidak dengan alasan apa saja!” (F.F. Bruce, Ucapan Yesus Yang Sulit, Penerbit SAAT: Malang,
hal 47-55); (3) Glen H. Stassen, Profesor Etika Kristen di Fuller Theological Seminary, bersama David P. Gushee Profesor
Filsafat Moral di Union University, Jackson. Mereka menyatakan “Kita bisa percaya bahwa Yesus sedang memberikan
kepada kita sebuah peraturan baru dimana tidak ada pengecualiaan sama sekali - tidak ada perceraian yang dapat
dibenarkan, - atau, dihadapan ‘dilema-dilema yang janggal dan bahkan kejam’ yang diciptakan oleh interpretasi ini, kita
dipaksa untuk menggantikan paradigma” (Etika Kerajaan Allah; Penerbit Momentum, hal, 347-372); (4) Norman L.
Geisler, profesor apologetika di Dallas Theological Seminary dan dekan dari The Liberty Center for Christian Scholarship
di Liberty University, saat mengevaluasi pandangan tidak ada alasan apapun untuk bercerai menyatakan, “Allah sungguh
membenci perceraian. Yesus sungguh melarangnya dan bagian Alkitab yang selebihnya menyetujui sikap ini. Paling
banter, Allah hanya memperbolehkan perceraian, tapi tidak pernah memerintahkannya. Tidak ada dasar-dasar
Alkitabiah untuk perceraian, bahkan juga perzinahan. Perzinahan adalah dosa dan mengatakan perzinahan sebagai
pembenaran untuk bercerai bararti bahwa dosa membenarkan perceraian. Perceraian merupakan satu kegagalan untuk
memiliki sifat-sifat yang dikehendaki standar Allah, tidak peduli apapun alasanya. Perceraian adalah satu serangan
terhadap standar Allah, satu penghancuran dari rencanaNYa untuk pernikahan” (Geisler, Norman L., 2000. Christian
Ethics: Options and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur
SAAT : Jakarta, hal. 366).

PENUTUP

Pernikahan adalah hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa, yaitu suatu bayangan
yang melukiskan persekutuan antara Kristus dan gerejaNya (Efesus 5:22-33). Dalam pernikahan suami dan istri mengikat
diri dalam suatu tujuan yang kudus, untuk membangun rumah tangga bahagia dan harmonis. Karena itu, janganlah
pernikahan ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan;
melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah
dalam pernikahan itu.

Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Pernikahan mempersatukan kedua hati,
mempersatukan kasih dan pengharapan dalam suatu kehidupan bersama. Dengan demikian Allah memberi kesempatan
kepada laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Kehidupan bersama laki-laki dan perempuan harus didasarkan
atas kasih karunia. Sebagaimana Yesus Kristus mengasihi satu gereja dan gereja itu mengasihi satu Tuhan, demikian laki-
laki dipanggil mengasihi satu perempuan dan perempuan mengasihi satu laki-laki. Karena itu hendaklah pernikahan
ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada
kasih karuniaTuhan. Hanya dengan cara yang demikian kehidupan bersama ini dapat bertahan dan menjadi berkat. Amin
REFERENSI

Burke, Dale., 2000. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan Indonesia (2007), Penerbit Metanoia Publising :
Jakarta.

Clinton, Tim., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI :
Yogyakarta.

Douglas, J.D., ed, 1988. The New Bible Dictionary. Terjemahan Indonesia: Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid,
diterjemahkan (1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Drewes, B.F, Wilfrid Haubech & Heinrich Vin Siebenthal., 2008. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jilid 1 & 2. Penerbit
BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Evans, Tony., 2001. Cara Hidup Yang Luar Biasa. Buku dua, terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam.

Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu,
Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.

Gutrie, Donald., ed, 1976. The New Bible Commentary. Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan
judul Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 3, diterjemahkan (1981), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Gutrie, Donald., 1981. New Tastament Theology, . Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul
Teologi Perjanjian Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.

King, Clayton & Charie King., 2013. 12 Pertanyaan yang Harus Diajukan Sebelum Menikah. Terjemahan, Penerbit
Immanuel : Jakarta.

Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung

Mack, Wayne., 1985. Bagaimana Mengembangkan Kesatuan Yang kukuh Dalam Hubungan Perkawinan, terjemahan,
Penerbit Yakin : Surabaya.

Morris, Leon., 2006. New Testamant Theology. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran
Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru, volume 3, diterjemahkan (2004), Penerbit Gandum Mas : Malang.

Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the Supremacy of Christ. Edisi Indonesia dengan judul Seks dan
Supremasi Kristus, Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta.

Powers, B. Ward., 2011. Divorce and Remarriage: The Bible’s Law and Grace Approach. Edisi Indonesia dengan judul
Perceraian dan Perkawinan Kembali : Pendekatan Hukum dan Anugerah Allah dalam Alkitab, terjemahan (2011),
Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Prokopchak, Stave and Mary., 2009. Called Together. Destiny image, USA. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI :
Yogyakarta.

Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Stassen, Glen & David Gushee., 2003. Kingdom Ethics: Following Jesus in Contemporary Contex. Edisi Indonesia dengan
judul Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan (2008), Penerbit Momentum : Jakarta.

Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Stott, John., 1984. Issues Facing Chistianis Today. Edisi Indonesia dengan judul Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan
Kristiani. Terjemahan (1996), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.

Susanto, Hasan., 2003.Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid 1 dan 2.
Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010), Penerbit Momentum: Jakarta.

Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

_____________, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Anda mungkin juga menyukai