Anda di halaman 1dari 3

Teori Keagenan

Teori utama yang mendasari pengelolaan manajemen sebuah perusahaan. Teori ini terutama
berlaku apabila terjadi pemisahan antara pemilik (pemegang saham) dan manajemen perusahaan.
Pemilik adalah prinsipiel (principal), sedangkan manajemen adalah agen (agent). Pemegang saham
mendelegasikan tugas dan wewenangnya kepada manajemen untuk mengelola perusahaan yang
mereka miliki.

Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengatur bahwa kepengurusan
perseroan dilakukan oleh direksi, sedangkan dewan komisaris bertugas untuk mengawasi kebijakan
dan jalannya kepengurusan. Direksi dan komisaris diangkat oleh Rapat Pemegang Saham (RUPS).
Manajemen dalam konteks UUPT adalah direksi. Komisaris merupakan perangkat monitoring bagi
pemegang saham.

Pemegang saham dapat melakukan kesalahan saat mengangkat direksi dan komisaris. Salah pilih
(adverse selection) ini disebabkan oleh pengetahuan yang kurang memadai tentang kemampuan dan
karakter direksi, atau komisaris. Pengetahuan yang kurang memadai dapat disebabkan karena tidak
tersedianya informasi (availability of information) atau karena disembunyikannya informasi tersebut
(hidden information). Kondisi ini mengakibatkan terjadinya asimetri informasi (information
assymetry) antara calon direksi atau komisaris dan pemegang saham. Sementara itu, tindakan
menyembunyikan informasi oleh calon direksi atau komisaris demi kepentingan pribadi disebut
dengan moral hazard.

Perspektif Ekonomi

Teori keagenan digunakan oleh berbagai bidang pengetahuan, misalnya akuntansi, ekonomi,
keuangan, pemasaran, politik, perilaku organisasi, dan sosiologi (Eisenhardt, 1989: 57). Namun, awal
dari teori keagenan dikembangkan dalam ilmu ekonomi, seperti Kenneth Arrow pada 1971 dalam
“Essays in the theory of risk bearing” dan Robert Wilson pada 1968 dalam “On the theory of
syndicates”. Literatur ini menjelaskan tentang masalah pembagian risiko yang muncul jika pihak-
pihak yang melakukan kerja sama mempunyai sikap yang berbeda terhadapnya.

Teori Keagenan memperluas perspektif pembagian risiko ke dalam masalah keagenan, yaitu jika
pihak-pihak yang bekerja sama mempunyai tujuan yang berbeda dan terdapat pembagian kerja
(division of labor) di antara mereka. Secara khusus, teori keagenan membahas hubungan keagenan
yang salah satu pihaknya (prinsipiel) mendelegasikan pekerjaannya kepada pihak lain (agen).

Teori tersebut mencoba untuk memecahkan dua masalah utama, yaitu masalah keagenan dan
pembagian risiko. Masalah keagenan muncul jika keinginan atau tujuan dari Prinsipiel dan agen
saling bertentangan (conflict of interest) dan untuk mengetahui apa yang sebenarnya diliat liat oleh
agen. Oleh karena itu, prinsipicl harus mengeluarkan biaya yang mahal atau sangat susah
(information assymetry). Masalah pembagian risiko terjadi apabila sikap prinsipiel terhadap risiko
berbeda dengan sikap agen sehingga tindakan mereka akan berbeda.

Titik berat teori keagenan adalah menentukan kontrak yang paling optimal guna mengatur
hubungan antara prinsipiel dan agen. Lebih-spesifik lagi, teori-itu mencoba untuk memecahkan
masalah hubungan prinsipiel-agen melalui penyusunan kontrak. Ada dua macam kontrak yang dapat
digunakan, yaitu kontrak berorientasi perilaku (behavioural oriented contract), misalnya sistem gaji
tetap atau pengaturan melalui hierarki dan kontrak berorientasi hasil (outcome oriented
Contract), misalnya kompensasi berdasarkan komisi, pemberian opsi saham, atau pengaturan
melalui pasar. Pemilihan salah satu dari dua jenis kontrak tersebut akan menentukan efisiensi suatu
hubungan keagenan.

Berikut ini berbagai proposisi yang dihasilkan dari pengembangan teori ini (Eisenhardt 1989: 60-63)

1. Pada kontrak yang didasarkan atas hasil (outcome based contract), agen cenderung berperilaku
sesuai dengan kepentingan prinsipiel.

2. Jika prinsipiel memiliki informasi guna mengawasi perilaku agen, agen cenderung untuk
berperilaku sesuai dengan kepentingan prinsipiel.

3. Sistem informasi (information system) berkorelasi positif terhadap kontrak berdasarkan perilaku.

4. Ketidakpastian mengenai hasil (outcome uncertaintly) berkorelasi secara positif terhadap kontrak
berdasarkan perilaku

5. Keengganan agen dalam menanggung risiko (risk aversion) berkorelasi secara positif terhadap
kontrak berdasarkan perilaku.

6. Keengganan prinsipiel dalam menanggung risiko (risk aversion) berkorelasi secara negative
terhadap kontrak berdasarkan perilaku.

7. Perbedaan kepentingan antara prinsipiel dan agen berkorelasi secara negatif terhadap kontrak
berdasarkan perilaku.

8. Tugas yang dapat diprogramkan (task programmability) berkorelasi secara positif terhadap
kontrak berdasarkan perilaku.

9. Dapat diukurnya hasil (outcome measurability) berkorelasi secara negatif terhadap berdasarkan
perilaku.

10. Jangka waktu keagenan (length of agency) berkorelasi secara positif terhadap kontrak
berdasarkan perilaku.

Teori keagenan bermuara pada penyusunan kontrak antara pihak-plhak yang bekerja sama. Kontrak
sebagai bagian dari kesepakatan yang mengikat, paling tidak harus mencantumkan insentif yang
dijanjikan dan sistem monitoring yang disepakati. Insentif adalah imbalan yang diberikan jika salah
satu pihak (biasanya agen) melakukan/tidak melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh pihak
lain (prinsipiel). Imbalan dapat diberikan dalam berbagai bentuk.

Sistem imbalan dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya benturan kepentingan dan


mengakomodasi tingkat keengganan menanggung risiko. Sistem monitoring dimaksudkan untuk
mengurangi kondisi asimetri informasi dan menekan biaya keagenan. Sistem monitoring dapat
berupa sistem pelaporan, sistem pengendalian internal, atau sistem tata kelola perusahaan.

Penyusunan kontrak harus mencakup mekanisme tata kelola (governance mechanism) sedemikian
baik sehingga sifat oportunistis agen dapat dihindarkan. Dalam proposisi pertama, misalnya, kontrak
yang didasarkan atas hasil akan membuat sejajarnya preferensi agen dengan prinsipiel karena
imbalan yang mereka terima akan tergantung pada tindakan yang mereka lakukan. Benturan
kepentingan di antara merekapun diharapkan akan dapat dikurangi. Sementara itu, proposisi kedua
menekankan pada pentingnya informasi sebagai alat monitoring bagi prinsipiel untuk mencegah
pengelabuan oleh agen.

Penentuan jenis kontrak yang dipakai dalam hubungan keagenan ditentukan oleh faktor-faktor level
ketidakpastian hasil (level of outcome uncertainty), tingkat keengganan menanggung risiko,
tersedianya informasi, jurang perbedaan kepentingan, kejelasan tugas, dan jangka waktu. Kontrak
berdasarkan perilaku akan lebih efisien dibandingkan dengan kontrak berdasarkan hasil jika:

1. Tersedia sistem informasi yang memadai (Proposisi 3).


2. Terdapat ketidakpastian hasil yang tinggi (Proposisi 4).
3. Tingkat keengganan menanggung risiko dari agen tinggi (Proposisi 5).
4. Tingkat kejelasan tugas tinggi (Proposisi 8).
5. Jangka waktu keagenan lama (Proposisi 10).

Kontrak berdasarkan perilaku tidak cocok dalam keadaan sebagai berikut.

1. Tingkat keengganan menanggung risiko dari prinsipiel tinggi (Proposisi 6).

2. Jurang perbedaan kepentingan antara prinsipiel dan agen tinggi (Proposisi 7).

3. Tingkat dapat diukurnya hasil tinggi (Proposisi 9).

Anda mungkin juga menyukai