Anda di halaman 1dari 11

CRITICAL JURNAL REVIEW PANCASILA

Dosen Pembimbing:
PUTRI SARI SILABAN, S.E., M.Si

Oleh Kelompok 2
Josef Gunawan Purba (7183240016)
Kartika Trianjani (7181240010)
Niko Suranta Pinem (7182240015)
Amos Harianja (7181240013)

Prodi Ilmu Ekonomi


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga kami masih diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugas Critical
Jurnal Riview. Guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Pancasila. Dalam
penulisan Critical Jurnal Review ini, tentu kami tidak dapat menyelesaikannya tanpa bantuan
dari pihak lain. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua
kami masing-masing yang selalu mendoakan dan juga kepada dosen pengampu.

Kami menyadari bahwa Critical Jurnal Riview ini masih jauh dari kata sempurna
karena masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kamu dengan segala kerendahan hati
meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan
penyempurnaan ke depannya. Akhir kata kami mengucapkan selamat membaca dan semoga
materi yang ada dalam Critical Jurnal Review yang berbentuk makalah ini dapat bermanfaat
sebagaimana mestinya bagi para pembaca.

Medan, November 2020

Kelompok 2
BAB I

PENDAHULIUAN

Rasionalisasi Pentingnya CJR


Sering kali kita bingung memilih Jurnal untuk kita baca dan pahami.Terkadang kita
memilih satu buku,namun kurang memuaskan hati kita.Misalnya dari segi analisis bahasa,
pembahasan tentang Pancasila. Oleh karena itu, penulis membuat Critical Journal Report ini
untuk mempermudah pembaca dalam memilih referensi,terkhusus pada pokok bahasan
tentang Pancasila Dasar NKRI.

Tujuan Penulisan CJR


Alasan dibuat CJR untuk penyelesaian tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila dan
menambah Ilmu tentang Pancasila serta meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
berpikir secara kritis dan inovatif .

Manfaat CJR
Untuk mengetahui bagaimana Nilai Demokrasi Pancasila

Untuk menambah wawasan tentang Demokrasi Indonesia


BAB 1. PENDAHULUAN
A. Identitas Jurnal
Jurnal Internasional
Judul : Populism, Pluralism, and Liberal Democracy
Nama Penulis : Marc F. Plattner
Nama Jurnal : Journal Of Democracy
Tahun Terbit : 2010
Nomor Volume : volume 21,number 1
Halaman : 82-92

Jurnal Nasional
Judul : Demokrasi Indonesia : dari masa ke masa.
Nama Penulis. : Hartuti Purnawen
Nama Jurnal : Jurnal Administrasi Publik
Tahun Terbit : 2004
Nomor Volume : vol 3, nomor 2
Halaman :-
BAB 2. PEMBAHASAN SECARA UMUM ARTIKEL JURNAL YANG DIREVIEW
A. Terjemahan artikel junal yang direview.
PERAGRAF ASAL YANG TERJEMAHAN PER PARAGRAF
DITERJEMAHKAN DARI BAHASA DALAM BAHASA INDONESIA
INGGRIS
The first decade of the twenty-first century Dekade pertama abad kedua puluh satu
has not been a happy time for the fortunes belum merupakan saat yang
of democracy in the world. After a period of membahagiakan bagi nasib demokrasi di
extraordinary advances in the final quarter dunia. Setelah periode kemajuan luar biasa
of the twentieth century, the overall spread di kuartal terakhir abad ke-20, penyebaran
of democracy came to a halt, and there have demokrasi secara keseluruhan terhenti, dan
even been signs that an erosion of bahkan ada tanda-tanda bahwa erosi
democracy might be getting underway. demokrasi mungkin sedang berlangsung.
According to Freedom House’s annual Menurut survei tahunan Freedom House,
survey, there have now been modest sekarang ada penurunan kecil dalam tingkat
declines in the level of freedom in the world kebebasan di dunia selama tiga tahun
for three consecutive years. Earlier in the berturut-turut. Pada awal dekade, harapan-
decade, democratic hopes had been inspired harapan demokratis telah diilhami oleh
by the success of the “color revolutions” in keberhasilan "revolusi warna" di Serbia,
Serbia, Georgia, Ukraine, and even Georgia, Ukraina, dan bahkan Kyrgyzstan,
Kyrgyzstan, but subsequent developments tetapi perkembangan selanjutnya di negara-
in these countries have on the whole been negara ini secara keseluruhan telah
disappointing. Moreover, nondemocratic mengecewakan. Selain itu, rezim-rezim
regimes elsewhere became obsessed with nondemokratis di tempat lain menjadi
the threat of color revolutions, and having terobsesi dengan ancaman revolusi warna,
learned from the failures of their fellow dan setelah belajar dari kegagalan rekan
autocrats, they launched a set of efforts that otokrat mereka, mereka meluncurkan
have reduced the space for opposition and serangkaian upaya yang telah mengurangi
civil society groups in their own countries— ruang bagi oposisi dan kelompok
a phenomenon described as the “backlash” masyarakat sipil di negara mereka sendiri —
or “pushback” against democracy. sebuah fenomena yang dideskripsikan.
sebagai "backlash" atau "pushback"
melawan demokrasi.
Another indicator of what Larry Diamond Indikator lain dari apa yang Larry Diamond
has labeled a “democratic recession” is that telah sebut sebagai "resesi demokratik"
the world’s autocratic regimes have begun adalah bahwa rezim otokratis dunia telah
to show a new élan, leading other mulai menunjukkan élan baru, memimpin
commentators to speak of the emergence of komentator lain untuk berbicara tentang
an “authoritarian capitalist” alternative to munculnya alternatif "otoriter kapitalis"
democracy. In the 1990s, political scientists untuk demokrasi. Pada 1990-an, para
tended to regard authoritarian regimes as ilmuwan politik cenderung menganggap
transitory, and studied them largely from the rezim otoriter sebagai sesuatu yang
perspective of their potential for achieving sementara, dan mempelajarinya sebagian
progress toward democracy. Of late, besar dari perspektif potensi mereka untuk
however, impressed by the staying power of mencapai kemajuan menuju demokrasi.
many of these regimes, scholars have begun Akhir-akhir ini, bagaimanapun, terkesan
to focus on what has enabled them to persist oleh daya tahan dari banyak rezim-rezim
and often to display a considerable degree ini, para ahli mulai fokus pada apa yang
of stability—a phenomenon that Andrew J. telah memungkinkan mereka untuk bertahan
Nathan, writing about China, has dubbed dan sering untuk menunjukkan tingkat
“authoritarian resilience.”1 There is no stabilitas yang cukup besar — sebuah
question that a large number of other fenomena yang Andrew J. Nathan, tulis
nondemocratic regimes, especially in the tentang Cina, telah dijuluki "ketahanan
Middle East and the former Soviet Union, otoriter." 1 Tidak ada pertanyaan bahwa
have demonstrated an impressive ability to sejumlah besar rezim nondemokratis
maintain their hold on power, and it makes lainnya, terutama di Timur Tengah dan
good sense to explore the sources of their bekas Uni Soviet, telah menunjukkan
survival kemampuan yang mengesankan untuk
mempertahankan kekuasaan mereka, dan itu
masuk akal untuk mengeksplorasi sumber
kelangsungan hidup mereka
Still, given the dissatisfaction of their Namun, mengingat ketidakpuasan warga
citizens with the quality and performance of negara mereka dengan kualitas dan kinerja
democracy, it is striking that advanced demokrasi, sangat mengejutkan bahwa
democracies have continued to show such demokrasi maju terus menunjukkan
extraordinary resiliency. So here I want to ketahanan yang luar biasa. Jadi di sini saya
explore another possible avenue that may ingin menjelajahi kemungkinan jalan lain
help to account for democracy’s durability. yang dapat membantu
Before doing so, however, it is necessary to mempertanggungjawabkan daya tahan
say a few words about my understanding of demokrasi. Namun, sebelum melakukan hal
the nature of modern democracy.5 itu, perlu untuk mengatakan beberapa kata
tentang pemahaman saya tentang sifat
demokrasi modern
This great achievement, however, does not Prestasi hebat ini, bagaimanapun, tidak
come without its costs. For in datang tanpa biaya. Untuk secara bersamaan
simultaneously pursuing the dual and often mengejar tujuan ganda dan sering saling
conflicting goals of majority rule and bertentangan dari kekuasaan mayoritas dan
individual liberty, the liberal-democratic kebebasan individu, sistem demokrasi
system virtually ensures that there will be liberal secara virtual memastikan bahwa
dissatisfaction both on the part of the akan ada ketidakpuasan baik di pihak
majority and on the part of individuals and mayoritas maupun di pihak individu dan
minorities. The former are often disposed to minoritas. Yang pertama sering dibuang
feel that the popular will is being thwarted, untuk merasa bahwa kehendak rakyat
and that various economic or other interests sedang digagalkan, dan bahwa berbagai
are manipulating the political process to kepentingan ekonomi atau lainnya
serve their own private ends rather than the memanipulasi proses politik untuk melayani
public good. And minorities often feel that tujuan pribadi mereka sendiri daripada
they are not getting a fair shake from kebaikan publik. Dan minoritas sering
government, and that their interests and merasa bahwa mereka tidak mendapatkan
concerns are being neglected or overridden goncangan yang adil dari pemerintah, dan
by political leaders who are primarily bahwa kepentingan dan kekhawatiran
responsive to the dominant electoral mereka diabaikan atau dikesampingkan oleh
majority. There is some merit in the para pemimpin politik yang terutama
complaints from both these quarters, though responsif terhadap mayoritas pemilih yang
typically not as much as their spokesmen dominan. Ada beberapa manfaat dalam
might claim. In any case, the key point is pengaduan dari kedua tempat ini, meskipun
that the compromises inherent in biasanya tidak sebanyak yang dikatakan
constitutional or liberal democracy—the juru bicara mereka. Bagaimanapun, titik
uneasy accommodation that it requires kuncinya adalah kompromi yang melekat
between majority rule, on the one hand, and pada demokrasi konstitusional atau liberal
individual and minority rights, on the other — akomodasi tidak nyaman yang dituntut
—mean that the outcome will be a balance antara kekuasaan mayoritas, di satu sisi, dan
that often leaves both majorities and hak individu dan minoritas, di sisi lain —
minorities discontented. berarti bahwa hasilnya akan menjadi
keseimbangan yang sering membuat para
mayor dan minoritas tidak puas.

B. Resume Artikel junal yang direview


Demokrasi adalah sebuah kata yang begitu sering diucapkan. Namun, makin banyak ia
dibahas makin terasa betapa sulit mencari contoh tentang negara yang memenuhi tatanan
kepolitikan demokrasi secara sempurna. Di Indonesia, pencarian terhadap sosok demokrasi
pun terus digelar, baik pada aras implementasi sistem politik maupun kajian akademik.
Dalam aras akademik, sejumlah makalah dikupas habi-habisan dalam berbagai seminar.
Sejumlah buku, artikel pidato para pakar dan politisi, telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah,
koran dan majalah umum.
Ketika era reformasi berkembang menyeruak tatanan kehidupan politik Indonesia,
sebagian besar masyarakat berharap akan lahir tatanan dan sistem perpolitikan yang benar-
benar demokratis. Namun, setelah hampir lima tahun berjalan, praktik-praktik politik dan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis belum menampakkan arah yang pas.
Demokrasi pun kemudian dipertanyakan dan digugat ketika sejumlah praktik politik yang
mengatasnamakan demokrasi sering menunjukkan paradoks dan ironi. Gugatan terhadap
demokrasi ini sesunguhnya memiliki relevansi yang kuat dalam akar sejarah dan sosiologi
politik bangsa Indonesia. Dalam konteks itulah, tulisan ini hendak melihat bagaimana
perjalanan demokrasi di negeri ini yang kemudian dianalisis guna membaca prospek
demokrasi Indonesia di masa depan dengan mengambil contoh kasus Pemilu dan Pilkada.
Persoalan di seputar demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah dan dapat
tumbuh dengan sendirinya dalam denyut nadi kehidupan bangsa. Tetapi seperti dikatakan
Apter (1963), persoalan demokrasi adalah semata-mata penciptaan manusia, yang di satu sisi
mencerminkan keterbatasan dan keharmonisan obyektif di luar diri manusia.
Seiring dengan kegagalan pembumian demokrasi pada masa Orla, unsurunsur “di luar”
masyarakat secara perlahan tumbuh berkembang menjadi wahana tumbuhnya logika dan
penjabaran baru budaya bangsa Indonesia. Pada masa Orba, diinterpretasikan, budaya politik
haruslah memiliki logika dan dijabarkan sedemikian rupa dimana negara bertindak sebagai
aktor tunggal dan sentral. Logika penempatan negara sebagai aktor tunggal terartikulasi
melalui pengesahan secara tegas dan mutlak bagi sentralitas negara dengan seluruh perangkat
birokrasi dan militer demi kepentingan pembangunan ekonomi dan politik.
Reformasi yang gegap gempita memberikan secercah harapan akan munculnya tata
kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming parpol baru,
kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya yang
merupakan ciri-ciri demokrasi
Dalam konteks kehidupan politik demokrasi, pemilu dan pilkada merupakan salah satu
sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis. Pemilu terutama yang
dilaksanakan pada tahun 2004 dan Pilkada langsung yang akan dimulai pada Juni 2005 untuk
memilih Gubernur, Bupati atau Walikota mempunyai makna strategis, tidak saja karena
sifatnya yang berbeda dengan pilkada-pilkada sebelumnya, tetapi yang lebih penting adalah
dengan pemilu 2004 dan Pilkada secara langsung itulah masa depan kepolitikan Indonesia
dipertaruhkan.
Membangun institusi-institusi demokratik adalah prasyarat penting bagi peletakan
system politik demokratis. Demikian pula kehadiranPilkada langsung yang akan dimulai Juni
2005 mendatang, merupakan proses politik strategis menuju kehidupan politik demokratis.
Namun di atas semua itu yang tak kalah penting adalah upaya kita sampai benar-benar
berhasil membangun etika dan moralitas politik baru khususnya bagi para elit dan tokoh
politik yang sebangun dengan tuntutan system politik demokratik. Prasyarat penting yang
diperlukan untuk memenuhi tuntutan itu adalah pentingnya dibangun kebudayaan dan
kepribadian politik demokratik yang menurut Gould (1998) meliputi elemen-elemen: inisiatif
rasional politik, kesantunan politik, disposisi resiprositas toleransi, fleksibilitas dan open
maindness, komitmen kejujuran dan akhirnya keterbukaan. Didalam ungkapan berbeda akan
tetapi memiliki substansi yang sama, upaya yang dimaksud hanya mungkin dimenangkan
diatas keberhasilan kita didalam membangun etika dan moralitas politik yang berkeadaban
demokratik , untuk menyebut kesantunan, keadilan, toleransi sebagai elemen penting etika
dan moralitas politik.
Jika demokrasi juga mencakup sikap budaya dan tidak sekedar tatanan politik yang
hanya diimplementasikan dalam teks-teks politik, maka pemberdayaan berpolitik menjadi
salah satu prasyarat penting pula dalam membangun demokrasi. Dengan kata lain, untuk
memasuki iklim demokrasi yang benar dan baik perlu pendewasaan. Sebab untuk mendirikan
(sistem) demokrasi bukan hanya perlu kebebasan berserikat. Bukan hanya kualitas pers yang
bebas, tetapi juga kualitas ketanggapan pembacanya. Bukan hanya kebebasan mimbar atau
kebebasan berbicara semata, tapi juga kedewasaan pembicaraannya. Dan hanya menuntut
kualitas legislatif yang bisa menyuarakan hati nurani rakyat, tetapi juga menuntut kualitas
eksekutif agar bisa menangkap suara hati nurani rakyat. Tanpa pemahaman dan kedewasaan,
demokrasi akan berubah menjadi demo-crazy dan hanya akan membingungkan rakyat
sebagaimana dilukiskan Pudjo Suharso dalam sajaknya seperti yang saya kutip pada awal
tulisan ini. Last but not least, dibalik semua perdebatan teoretik tentang demokrasi, juga
dibalik semua tuntunan serentak bagi demokratisasi negeri ini yang datang dari segenap
penjuru, tampaknya tak cukup tersedia ruang luas bagi suatu kesadaran mandasar bahwa
demokrasi sebenarnya adalah sebuah proses yang seharusnya berjalan sejak tingkat
individual, dan bukan semata-mata sebuah proses besar kelembagaan yang kasat mata.
Barangkali tak banyak yang sadar betul bahwa demokrasi adalah sebuah proses yang bermula
dari tingkat individual. Sebuah semboyan paten seseorang demokrat adalah “aku mungkin tak
setuju dengan pendapatmu, tapi aku akan mati-matian berjuang agar kau bisa menyuarakan
pendapat itu”. Celakanya semboyan inilah yang tak pernah bisa hadir dalam masyarakat kita.
BAB 3. PEMBAHASAN CRITIKAL JOUNAL REVIEW
A. Latar belakang masalah yang dikaji
Demokrasi adalah sebuah kata yang begitu sering diucapkan. Namun, makin banyak ia
dibahas makin terasa betapa sulit mencari contoh tentang negara yang memenuhi tatanan
kepolitikan demokrasi secara sempurna. Di Indonesia, pencarian terhadap sosok demokrasi
pun terus digelar, baik pada aras implementasi sistem politik maupun kajian akademik.
Dalam aras akademik, sejumlah makalah dikupas habi-habisan dalam berbagai seminar.
Sejumlah buku, artikel pidato para pakar dan politisi, telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah,
koran dan majalah umum.
B. Permasalahan yang dikaji
semaraknya perbincangan tentang sistem demokrasi di Indonesia bukan karena bangsa atau
pemerintahan dinegeri ini tidak mengenal sistem demokrasi. Namun bangsa Indonesia pada
aras implementasi sistem politik terlalu banyak memahami varian-varian demokrasi di dunia.
Beberapa diantaranya bahkan telah diujicobakan dinegeri ini : Demokrasi Liberal, Demokrasi
Parlementer, dan Demokrasi Pancasila. Namun semua varian demokrasi gagal memberikan
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar berbasis pada nilai-nilai dan
kaidah demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya.
C. Kajian Teori/konsep yang digunakan
Indikator lain dari apa yang Larry Diamond telah sebut sebagai "resesi demokratik" adalah
bahwa rezim otokratis dunia telah mulai menunjukkan élan baru, memimpin komentator lain
untuk berbicara tentang munculnya alternatif "otoriter kapitalis" untuk demokrasi. Pada
1990-an, para ilmuwan politik cenderung menganggap rezim otoriter sebagai sesuatu yang
sementara, dan mempelajarinya sebagian besar dari perspektif potensi mereka untuk
mencapai kemajuan menuju demokrasi. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, terkesan oleh daya
tahan dari banyak rezim-rezim ini, para ahli mulai fokus pada apa yang telah memungkinkan
mereka untuk bertahan dan sering untuk menunjukkan tingkat stabilitas yang cukup besar —
sebuah fenomena yang Andrew J. Nathan, tulis tentang Cina, telah dijuluki "ketahanan
otoriter." 1 Tidak ada pertanyaan bahwa sejumlah besar rezim nondemokratis lainnya,
terutama di Timur Tengah dan bekas Uni Soviet, telah menunjukkan kemampuan yang
mengesankan untuk mempertahankan kekuasaan mereka, dan itu masuk akal untuk
mengeksplorasi sumber kelangsungan hidup mereka.
D. Metode yang digunakan
Metode yang digunakan dalam junal tersebut adalah dengan meninjau atau membandingkan
demokrasi pada masa ke masa, dan memperhatikan fenomena yang terjadi. Seperti pada
Paradoks Masa Orla Persoalan di seputar demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah
dan dapat tumbuh dengan sendirinya dalam denyut nadi kehidupan bangsa. Tetapi seperti
dikatakan Apter (1963), persoalan demokrasi adalah semata-mata penciptaan manusia, yang
di satu sisi mencerminkan keterbatasan dan keharmonisan obyektif di luar diri manusia. Masa
Orba Seiring dengan kegagalan pembumian demokrasi pada masa Orla, unsurunsur “di luar”
masyarakat secara perlahan tumbuh berkembang menjadi wahana tumbuhnya logika dan
penjabaran baru budaya bangsa Indonesia. Pada masa Orba, diinterpretasikan, budaya politik
haruslah memiliki logika dan dijabarkan sedemikian rupa dimana negara bertindak sebagai
aktor tunggal dan sentral. Logika penempatan negara sebagai aktor tunggal terartikulasi
melalui pengesahan secara tegas dan mutlak bagi sentralitas negara dengan seluruh perangkat
birokrasi dan militer demi kepentingan pembangunan ekonomi dan politik. Fenomena
Pilkada. Dalam konteks kehidupan politik demokrasi, pemilu dan pilkada merupakan salah
satu sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis. Pemilu terutama yang
dilaksanakan pada tahun 2004 dan Pilkada langsung yang akan dimulai pada Juni 2005 untuk
memilih Gubernur, Bupati atau Walikota mempunyai makna strategis, tidak saja karena
sifatnya yang berbeda dengan pilkada-pilkada sebelumnya, tetapi yang lebih penting adalah
dengan pemilu 2004 dan Pilkada secara langsung itulah masa depan kepolitikan Indonesia
dipertaruhkan.

E. Analisis Critikal Journal Review


Dari melihat kedua jurnal tersebut kita dapat melihat berbagai fenomena yang terjadi karena
demokrasi, dan dimana demokrasi adalah bagian dari suatu system politik, dimana dapat
memperngaruhi arah dan pandangan suatu bangsa. Seperti kita lihat pada bangsa kita yaitu
bangsa Indonesia pada aras implementasi sistem politik terlalu banyak memahami varian-
varian demokrasi di dunia. Beberapa diantaranya bahkan telah diujicobakan dinegeri ini :
Demokrasi Liberal, Demokrasi Parlementer, dan Demokrasi Pancasila. Namun semua varian
demokrasi gagal memberikan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar
berbasis pada nilai-nilai dan kaidah demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya.

BAB 4. PENUTUP
A. Kesimpulan
demokrasi juga mencakup sikap budaya dan tidak sekedar tatanan politik yang hanya
diimplementasikan dalam teks-teks politik, maka pemberdayaan berpolitik menjadi salah satu
prasyarat penting pula dalam membangun demokrasi. Dengan kata lain, untuk memasuki
iklim demokrasi yang benar dan baik perlu pendewasaan. Sebab untuk mendirikan (sistem)
demokrasi bukan hanya perlu kebebasan berserikat. Bukan hanya kualitas pers yang bebas,
tetapi juga kualitas ketanggapan pembacanya. Bukan hanya kebebasan mimbar atau
kebebasan berbicara semata, tapi juga kedewasaan pembicaraannya. Dan hanya menuntut
kualitas legislatif yang bisa menyuarakan hati nurani rakyat, tetapi juga menuntut kualitas
eksekutif agar bisa menangkap suara hati nurani rakyat. Tanpa pemahaman dan kedewasaan,
demokrasi akan berubah menjadi demo-crazy dan hanya akan membingungkan rakyat
sebagaimana dilukiskan Pudjo Suharso dalam sajaknya seperti yang saya kutip pada awal
tulisan ini. Last but not least, dibalik semua perdebatan teoretik tentang demokrasi, juga
dibalik semua tuntunan serentak bagi demokratisasi negeri ini yang datang dari segenap
penjuru, tampaknya tak cukup tersedia ruang luas bagi suatu kesadaran mandasar bahwa
demokrasi sebenarnya adalah sebuah proses yang seharusnya berjalan sejak tingkat
individual, dan bukan semata-mata sebuah proses besar kelembagaan yang kasat mata.
Barangkali tak banyak yang sadar betul bahwa demokrasi adalah sebuah proses yang bermula
dari tingkat individual. Sebuah semboyan paten seseorang demokrat adalah “aku mungkin tak
setuju dengan pendapatmu, tapi aku akan mati-matian berjuang agar kau bisa menyuarakan
pendapat itu”. Celakanya semboyan inilah yang tak pernah bisa hadir dalam masyarakat kita.
B. Saran
Untuk mempermudah pemahaman sebaiknya pejelasannya dan metodologinya diperjelas
karena sangat berpengaruh untuk lebih mudah memahami suatu artikel.

DAFTAR PUSTAKA
Purnaweni Hartuti. Demokrasi Indonesia : dari masa ke masa. Semarang. UNPAR. 2004
Marc F. Plattner. Populism, Pluralism, and Liberal Democracy. National Endowment for
Democracy and The Johns Hopkins University Press. 2010

Anda mungkin juga menyukai