Anda di halaman 1dari 4

TUGAS SEJARAH DAN FILSAFAT OLAHRAGA

MERINGKAS TENTANG DASAR-DASAR


FILOSOFIS ILMU KEOLAHRAGAAN
Tugas Ini Disusun Guna Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu Mata Kuliah Sejarah Dan
Filsafat Olahraga
Dosen :
Ranintya Meikahani, M,Pd.

Diusun oleh :
Nama : Hafid Nurdin Hanif
NIM : 17604224040

PENDIDIKAN JASMANI SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
Olahraga merupakan ilmu secara internasiaonal yang mulai muncul pada pertengahan
abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan deklarasi ilmu olahraga pada tahun 1998.
Beberapa akademis dan masyarakat awam memang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu
olahraga, khususnya di Indonesia, terutama dengan melihat kajian dan wacana akademis yang
masih sangat terbatas dan kurang integral.
Filsafat,dalam hal ini dianggap memiliki tanggung jawab dalam mempersatukan
berbagai kajian ilmu untuk dirumuskan secara padu dan mengakar menuju ilmu olahraga
dalam tiga dimensi ilmiah yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi yang kokoh dan sejarah
dengan ilmu lain. Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui, Epistemologi
membahas tentang secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk
memperoleh pengetahuan, Aksiologi membahas tentang manfaat yang di peroleh manusia
dari pengetahuan yang didapat.
Akar Eksistensi Olahraga
Olahraga, Sebagaimana yang dikatakan oleh Richard Scaht (1998: 124), seperti hal
sex, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain.ini tidak hanya tentang latihan demi
kesehatan,tidak hanya untuk hiburan atau menghabiskan waktu luang. Olahraga adalah
aktivitas yang memiliki akar eksistensi ontologis yang sangat alami, yang dapat diamati sejak
bayi dalam kandungan sampai dengan bentuk gerakan terlatih.
Mitos dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang membantu
perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan kebudayaan dasar.
Kebudayaan juga mereflesikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan,dan bukan sebagai
kerajaan transender dari pembebasan.(Hatab, 1998: 98)
Ekspresi Filosofis Kultur Olahraga
Friedrich Nietzsche (terkenal dengan tesisnya: “Tuhan telah mati) termasuk filsuf
yang pemikiran-pemikirannya berhutang banyak pada dunia.Yunani Kuno yang menghargai
atletik sejajar dengan intelek. Nietzche adalah seorang filsuf kontroversial yang paling
banyak dirujuk sebagai penyumbang tak langsung debat akademis tentang kaitan pemikiran
filsafat dan ilmu keolahragaan. Bahkan beberapa penulis, seperti Richard Schacht, menyebut
“filsafat olahraga Nietzscheian”.
Hatab mengeksplorasi beberapa pemikiran Nietzsche seperti will to power,
sublimation, embodiment, sepectacle dan play yang terarah pada aktifitas atletik dan event-
event olahraga (hatab, 1998: 102). Dari sini , dapat dimaknai bahwa arah pemikiran yang
berhubungan secara historis pada dunia keolahraggan termasuk dalam ekspresi pemikiran
filosofis, dan oleh karenanya, ilmu keolahragaan memiliki akar filosofinya.
Perspektif naturalistik Nietzsche ini menjelaskan mengapa banyak orang menyukai
permainan dan menyaksikan pertandingan olahraga , dan kenapa hal-hal tersebut dapat
dianggap memiliki nilai dan manfaat yang besar. Pertunjukan atletik adalah penampilan dan
proses produksi makna kultural penting. Ini dapat dilihat dari efek kesehatan dan
pengembangan keahlian fisik,selain itu pertunjukan olahraga juga dapat di pahami sebagai
tontonan publik yang mendramatisir keterbatasan dunia yang hidup,prestasi teatrikal dari
keadaan umat manusia,pengejaran, perjuangan-perjuangan sukses dan gagal. Dari sudut
pandang pegengembangan sumber daya manusia, sudah jelas bahwa olahraga dapat
menambahkan kebijakan-kebijakan tertentu(Hatab, 1998: 103).

Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga adalah cukup “serius” untuk
diangkat ketingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi(Hatab, 1998:106) sehingga filsafat
mau tak mau harus berani mengkaji ulang “tradisinya” sendiri yang menekankan jiwa atas
tubuh, harmoni atas konflik, dan mengakui bahwa olahraga memiliki kandungan nilai-nilai
fundamental bagi keberadaan manusia. Begitulah, di dunia Yunani Kuno, lokus asal muasal
pemikiran filsafat barat, olahraga tak hanya populer, tetapi menempati penghargaan kultural
terhormat.
secara mendalam fenomena olahraga sebagai tontonan dan permainan, mengungkap
sisi-sisi Namun demikian, Seteven Galt Crowell (1998: 113) dengan mengeksplorasi
buramnya;brutalitas, agresifitas, dan ”merusak kesehatan”. Olahraga juga disebut juga alat
alamiah untuk “war on drugs”, olahraga ditampilkan sebagai alternatif pengobatan.
Apabila di jaman Yunani Kuna atlitnya mendemonstrasikan atletik dengan keahlian
yang langsung berimplikasi pada keseharian si atlit, di mana nilai-nilai kesatriaan di
munculkan, pada atlit sekarang keberanian sedemikian otonomnya, sehingga yang nampak
adalah demonstrasi ketiadaartin kecakapan. Tontonan menawarkan individu-individu yang
mengkonsentrasikan seluruh keberadaannya, kedalam satu permasalahan. Individu-individu
tersebut meniru Nietzsche disebut “iverse cipples”.
Atlit sekarang bukanlah Tuhan, tetapi Budak, bukan teladan dari apa artinya menjadi
manusia, tetapi sekedar fokus untuk hidup yang tak dialami sendiri dari penonton yang
pujian-pujiannya menjadi rantai yang mengikat atlit itu sendiri. Dari tontonan kompetitif
seperti ini, tak ada artinya”aturan urutan juara”: kemenangan di beli dan di bayarkan,
olahraga sebagai tontonan, dan ini secara esensial berarti bicara tentang hidup yang tak
dialami sendiri.
Deklarasi Ilmu Olahraga
Beberapa pendapat di di atas mencerminkan suatu perhatian filosofi yang diakronik
terhadap olahraga sebagai fenomena yang monumental di jaman ini. Lalu, bagaimana
tuntutan perkembangan keolahragaan sebagai ilmu itu di indonesia khususnya dan
masyarakat akademis dunia pada umumnya. Terdorong oleh rasa ingin mencari jawaban tepat
terhadap pertanyaan:apakah olahraga merupakan ilmu yang berdiri sendiri, dan sebagai
tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya, maka di selenggarakanlah pada tahun 1998 di
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai