Anda di halaman 1dari 135

1

ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014


KATA PENGANTAR

Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001


menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus meningkat.
Alokasi dana dimaksud diharapkan dapat meningkatkan kinerja daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan termasuk penyediaan layanan publik
yang memadai. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah
dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan
sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan output/
pelayanan publik yang optimal.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen


kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Anggaran Belanja
Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan potret pemerintah
daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan
yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penetapan prioritas-
prioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan konsekuensi
dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam
mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Dengan demikian, daerah harus memastikan dana tersebut benar-benar
dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar
bagi masyarakat.

Dengan jumlah daerah yang telah mencapai 539 pemerintah daerah saat
ini, maka informasi mengenai APBD secara nasional sangat diperlukan guna
menunjang ketepatan pengambilan kebijakan di bidang hubungan keuangan
antara pusat dan daerah. Dalam konteks itulah perlu diperoleh gambaran
tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah berdasarkan data yang
berasal dari APBD Tahun Anggaran 2014 dari seluruh pemerintah provinsi,

Kata Pengantar iii


kabupaten dan kota. Buku ini akan menyajikan berbagai rasio keuangan
aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan daerahnya yang
dapat dilihat baik secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota),
per provinsi, kabupaten dan kota per provinsi maupun berdasarkan wilayah
(Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Maluku Papua).

Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD 2014 ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan baik di pusat
maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan
yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Jakarta, Juni 2014

Plt. Direktur Evaluasi Pendanaan


dan Informasi Keuangan Daerah

Rukijo
NIP 19670210 199310 1 001

iv Deskripsi dan Analisis APBD 2014


RINGKASAN EKSEKUTIF

• Secara agregat, rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah


daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota hanya 2,1% dari
PDRB non migas. Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio pajak tertinggi
yaitu sebesar 9,4%. Hal ini tentunya didukung oleh posisi DKI Jakarta
sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, sehingga perkembangan
ekonominya jauh lebih maju dan kemungkinan menggali pajak jauh
lebih besar karena basis pajak yang ada di DKI Jakarta cukup banyak.
Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah
Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 0,4%.
• Mengingat bahwa kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk
memungut pajak daerah bersifat terbatas (closed list) dan sumber
penerimaan pajak daerah yang berlaku saat ini cenderung bias ke daerah
yang tingkat urbanisasinya tinggi (urban-biased), seperti Pajak Hotel,
Pajak Restoran, dan Pajak Kendaraan Bermotor, hal ini menyebabkan
untuk daerah yang unsur kekotaannya tidak terlalu tinggi, potensi
penerimaan pajaknya menjadi kecil.
• Provinsi Kalimantan Timur mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu
mencapai 61,7%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi Kalimantan Timur
tentunya didukung oleh penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil yang
cukup besar yaitu mencapai 60,6% dari total Pendapatan Daerah.
Meskipun Belanja Pegawai di Provinsi Kalimantan Timur mencapai
34,3% dari total pendapatan, namun masih menyisakan ruang fiskal
yang besar sehingga porsi Belanja Modalnya pun mencapai 58,4% dari
total pendapatannya.
• Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu 22,2%.
Porsi Belanja Pegawai pemerintah daerah se-Provinsi Aceh sangat besar

Ringkasan Eksekutif 5
yaitu 42,5% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang
tersisa sangat kecil. Dengan demikian Provinsi Aceh harus memanfaatkan
ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
• Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan alokasi transfer
oleh Pemerintah dengan penetapan dalam APBD, secara umum untuk
alokasi Dana Perimbangan yang penyampaian informasinya ke publik
dilakukan segera setelah pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh daerah dalam menyusun APBD. Adapun
untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan lebih lambat dari DAU
dan DAK (sekitar Desember hingga Januari) atau setelah APBD ditetapkan
oleh daerah, nampak terjadi deviasi yang relatif tinggi antara penetapan
alokasi dari Pusat dengan penetapan dalam APBD.
• Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja
Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah 42,78%. Rasio ini lebih
rendah dari tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 44,7%.
Penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun
terakhir, meskipun penurunannya relatif kecil namun menunjukkan upaya
rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah.
• Terdapat 5 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai lebih dari 50 %,
yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera
Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-
provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk
jenis-jenis belanja selain Belanja Pegawainya. Hal ini akan menyebabkan
keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar Belanja Pegawai yang
bisa didanai, khususnya dalam mendukung pemenuhan layanan publik.
• Sulawesi adalah wilayah yang memiliki rasio Belanja Pegawai tertinggi,
yaitu sebesar 48,65% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio
yang terendah dengan angka sebesar 33,37%. Rasio Belanja Pegawai

6 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


per wilayah terhadap total Belanja Daerahnya masih di bawah 50,0%.
Dengan demikian, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah
Belanja Daerahnya untuk membayar Belanja Pegawai dan memiliki lebih
sedikit porsi Belanja Daerah yang dapat digunakan untuk mendanai
program/kegiatan non pegawai jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
• Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru
terhadap total PNSD adalah 49,41%. Rasio ini mengalami peningkatan
dari tahun sebelumnya yang mencapai 47,6%. Peningkatan rasio jumlah
guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara
keseluruhan, sekali lagi menunjukkan bahwa daerah telah menjadi lebih
rasional dalam alokasi belanja pegawainya dengan semakin menurunkan
porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS yang bekerja di
bidang administrasi.
• Rata-rata rasio Belanja Modal terhadap total belanja secara agregat
provinsi, kabupaten dan kota sebesar 24,81%. Tahun 2012, rata-rata
porsi belanja modal menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah yaitu
sebesar 23,4%. Dengan demikian telah terjadi shifting dari penurunan
porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal. Hal ini
merupakan indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur belanja
daerah. Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan angka sebesar 12,59% sedangkan rasio
tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 44,08%.
• Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah
untuk Belanja Bantuan Sosial adalah 1,05%. Meskipun relatif kecil,
namun belanja bantuan sosial ini perlu dicermati karena mempunyai
potensi untuk tumpang tindih dengan belanja yang seharusnya menjadi
tanggung jawab SKPD. Selain itu, jenis belanja ini juga cukup rentan
terhadap isu politik yang seringkali membuat dispute antara eksekutif dan
legislative. Terdapat 9 provinsi yang angka rasionya melebihi angka rata-
rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Daerah yang memiliki rasio
terbesar secara agregat adalah Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebesar

Ringkasan Eksekutif 7
3,71%, diikuti oleh DKI Jakarta, Papua. Papua Barat dan Aceh. Hal ini
perlu dicermati mengingat Aceh yang mempunyai Ruang Fiskal terkecil
di Indonesia, rasio Belanja Modal kedua terendah di Indonesia, namun
mempunyai rasio bantuan sosial yang relatif tinggi dibandingkan daerah
lainnya.
• Data APBD menunjukkan bahwa adanya kecenderungan daerah untuk
menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Hal ini terlihat dari 491
kabupaten/kota dan 33 provinsi di Indonesia pada Tahun Anggaran
(TA) 2013 sebanyak 457 daerah menganggarkan defisit dalam APBD-
nya, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 447 daerah yang
menganggarkan defisit. Kecenderungan daerah menganggarkan defisit
tersebut karena adanya SiLPA dalam APBD mereka, artinya sebenarnya
secara umum daerah tidak sedang dalam kondisi defisit secara riil, tetapi
mereka menganggarkan defisit karena untuk menyerap SiLPA tahun
sebelumnya. Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah bahwa
pada umumnya daerah terbukti mengalami surplus pada saat realisasi.
• Rata-rata rasio defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten,
dan kota) adalah 7,5% dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisit
tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi penerimaan pinjaman dan
obligasi daerah 5,9%. Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah
dengan rasio defisit terbesar di mana faktor utama penyebab hal tersebut
adalah untuk mengakomodasi SiLPA tahun sebelumnya yang jumlahnya
cukup besar agar bisa digunakan dalam belanja publik.
• Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang
besaran defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan,
sehingga defisit ditambah pembiayaan masih bernilai minus. Kabupaten
Sarmi merupakan daerah dengan nilai Defisit APBD yang tidak ter-cover
oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar Rp80 miliar. Hal ini harus menjadi
perhatian Pemerintah Pusat sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan pembinaan di bidang pengelolaan keuangan, karena
fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat daerah-daerah yang

8 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


akan menganggarkan belanja tanpa adanya kepastian sumber dananya.
Hal ini secara normatif tidak layak untuk dilakukan karena menimbulkan
ketidakpastian dalam alokasi belanja publik.
• Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah tertinggi ada di wilayah Kalimantan
(15,62%), rata-rata nasional untuk rasio ini adalah sebesar 7,75%,
semakin besar rasio menunjukkan semakin besar dana idle yang tidak
dapat dimanfaatkan pada tahun 2012, sedangkan rasio terendah SiLPA
terhadap belanja terjadi di wilayah Sulawesi (2,93%).
• Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara rata-rata adalah
sebesar 0,7%. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding batas
pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/
PMK.07/2012, yaitu 6% dari total Pendapatan Daerah untuk masing-
masing pemerintah daerah. Secara agregat provinsi, kabupaten, dan
kota tidak tampak daerah yang melampaui batas yang ditentukan, ini
disebabkan pemerintah telah menaikkan batas ketentuan yaitu dari 3,5%
di TA 2011 (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK07/2010
menjadi 5% di TA 2012 dan TA 2013). Rasio pinjaman tertinggi adalah
Sulawesi Tenggara (4,3%).
• Pergerakan dana pemda di perbankan pada bulan Desember merupakan
titik terendah dalam tiap tahunnya dan kembali meningkat pada awal
tahun berikutnya. Besaran dana pemda di perbankan Desember 2012
lebih besar dibanding dengan Desember 2011, hal tersebut menunjukkan
adanya peningkatan besaran SiLPA tahun berkenaan tahun 2012.

Ringkasan Eksekutif 9
Daftar Isi

KATA PENGANTAR...................................................................................iii
RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................v
Daftar Isi...............................................................................................x
Daftar Tabel.......................................................................................xiii
Daftar Grafik..................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang...........................................................................1
B. Gambaran Umum APBD 2014....................................................2
1. Pendapatan Daerah..................................................................5
2. Belanja Daerah.........................................................................7
3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah...................................9
C. Trend APBD (2010 – 2014).......................................................11

BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH................................................. 21


A. Rasio Pajak (Tax Ratio)..............................................................24
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................25
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi ..........................26
3. Pemerintah Provinsi...............................................................28
4. Per Wilayah............................................................................29
B. Pajak per Kapita (Tax per Capita)..............................................29
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................30
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................31
3. Pemerintah Provinsi................................................................32
4. Per Wilayah............................................................................33
C. Ruang Fiskal (Fiscal Space).......................................................34
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................35
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................36
3. Pemerintah Provinsi................................................................38

x Deskripsi dan Analisis APBD 2014


4. Per Wilayah............................................................................40
D. Rasio Ketergantungan Daerah..................................................41
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................41
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................43
3. Pemerintah Provinsi................................................................44
4. Per Wilayah...........................................................................45
E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD.........................46
1. Dana Bagi Hasil (DBH)............................................................48
2. Dana Alokasi Umum (DAU)....................................................50
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)....................................................51

BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH...................................................... 54


A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah .............56
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................57
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................59
3. Pemerintah Provinsi................................................................61
4. Per Wilayah............................................................................62
B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah.................64
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...................................65
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ...........................66
3. Pemerintah Provinsi ...............................................................67
4. Per Wilayah............................................................................68
C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk......................69
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................70
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................71
3. Pemerintah Provinsi................................................................72
4. Per Wilayah............................................................................73
D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah.....74
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................75
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ..........................76
3. Pemerintah Provinsi................................................................77
4. Per Wilayah............................................................................78

BAB IV ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH............ 80

Daftar Isi xi
A. Defisit......................................................................................80
1. Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota...................................81
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................82
3. Pemerintah Provinsi................................................................83
4. Per Wilayah............................................................................84
5. Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh
pembiayaan...........................................................................85
B. Pembiayaan Daerah.................................................................88
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran...........................................91
C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman................95
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................96
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................97
3. Pemerintah Provinsi................................................................97
4. Per Wilayah............................................................................98
5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai
Pinjaman...............................................................................99
D. Dana Idle............................................................................... 101

BAB V REALISASI BELANJA DAERAH APBD 2014 SAMPAI DENGAN


BULAN MEI 2014................................................................................. 104

DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 110

UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... 111

xii Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Daftar Tabel

Tabel 1.1 Ringkasan APBD 2014 secara Nasional (Konsolidasi)......................2


Tabel 1.2 Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah)...............................5
Tabel 1.3 Rata-rata pertumbuhan (2010 – 2014) SiLPA Per Agregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota.....................................................19
Tabel 2.1 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DBH
Tertinggi....................................................................................48
Tabel 2.2 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DBH
Tertinggi....................................................................................49
Tabel 2.3 Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif
Tertinggi....................................................................................50
Tabel 2.4 Daftar Daerah Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi.....51
Tabel 2.5 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK
Tertinggi....................................................................................52
Tabel 2.6 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK
Tertinggi....................................................................................53
Tabel 4.1 Daerah dengan Besaran Defisit yang tidak dapat ditutup oleh
Pembiayaan................................................................................85
Tabel 4.2 Daerah yang Menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan.................86
Tabel 4.3 Daerah dengan % Pinjaman diatas Batas yang ditetapkan..........100

Daftar Tabel xiii


Daftar Grafik

Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah APBD 2014....................................4


Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah APBD 2014...........................................4
Grafik 1.3 Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah.........................6
Grafik 1.4 Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah................................7
Grafik 1.5 Pembiayaan APBD 2014 Per Wilayah.............................................9
Grafik 1.6 Trend APBD TA 2010 – 2014.......................................................11
Grafik 1.7 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 ................12
Grafik 1.8 Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Pendapatan Daerah
per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota..................................14
Grafik 1.9 Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014........................................15
Grafik 1.10 Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Belanja Daerah
Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota ..................................17
Grafik 2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah.......................................22
Grafik 2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah..............................................23
Grafik 2.3 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota......................26
Grafik 2.4 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi .............27
Grafik 2.5 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi...................................................28
Grafik 2.6 Rasio Pajak per Wilayah..............................................................29
Grafik 2.7 Rasio Pajak per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota......31
Grafik 2.8 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota
se-Provinsi..................................................................................32
Grafik 2.9 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi.....................................33
Grafik 2.10 Rasio Tax per Kapita Per Wilayah.................................................34

xiv Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Grafik 2.11 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota....................36
Grafik 2.12 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi ..........38
Grafik 2.13 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi................................................38
Grafik 2.14 Ruang Fiskal Per Wilayah............................................................40
Grafik 2.15 Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota......42
Grafik 2.16 Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota
Se-Provinsi ................................................................................43
Grafik 2.17 Rasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi..................................44
Grafik 2.18 Rasio Ketergantungan Per Wilayah..............................................45
Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota........................................58
Grafik 3.2 Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD Agregat Provinsi,
Kabupaten dan Kota...................................................................59
Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah
Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................60
Grafik 3.4 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Pemerintah Kabupaten
dan Kota se-Provinsi ..................................................................61
Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah
Provinsi......................................................................................62
Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah........63
Grafik 3.7 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah...................64
Grafik 3.8 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi,
Kabupaten dan Kota...................................................................66
Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah
Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................67
Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah
Provinsi......................................................................................68
Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah..........69

Daftar Grafik xv
Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota...........................................................................................70
Grafik 3.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota
se-Provinsi .................................................................................72
Grafik 3.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi ...................73
Grafik 3.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah ...............................74
Grafik 3.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota.....................................................76
Grafik 3.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ...............................77
Grafik 3.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Provinsi ..................................................................78
Grafik 3.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
per Wilayah ...............................................................................79
Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan, Agregat Provinsi,
Kabupaten, dan Kota..................................................................81
Grafik 4.2 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten
dan Kota se-Provinsi ..................................................................82
Grafik 4.3 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi....83
Grafik 4.4 Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah............................84
Grafik 4.5 Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota...........................88
Grafik 4.6 Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan
Pembiayaan................................................................................88
Grafik 4.7 Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota................90
Grafik 4.8 Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan
Pembiayaan................................................................................90
Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota...........................................................................................92

xvi Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-
Provinsi......................................................................................93
Grafik 4.11 Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi.............94
Grafik 4.12 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah ...................................95
Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi,
Kabupaten dan Kota...................................................................96
Grafik 4.14 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah
Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................97
Grafik 4.15 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi...........98
Grafik 4.16 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah ....................................99
Grafik 4.17 Dana Pemda di Perbankan per Bulan (Bulan Desember).............102
Grafik 4.18 Dana Pemda di Perbankan Agregat Kab/kota/Provinsi................103
Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)..............................106
Grafik 5.2 Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota)
Bulan Mei 2014 (triliun rupiah) ................................................107
Grafik 5.3 Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, dan
Kota Per Provinsi Bulan Mei 2014 (%)........................................108

Daftar Grafik xvii


xviii Deskripsi dan Analisis APBD 2014


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam rangka melaksanakan pelayanan publik di daerah, instrumen
utama yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah melalui APBD.
Pelaksanaan APBD dimaksud diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di
berbagai sektor. APBD yang direncanakan setiap tahun dengan mendapatkan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada dasarnya
menunjukkan sumber-sumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi
belanja untuk melaksanakan program/kegiatan, serta pembiayaan yang
muncul apabila terjadi surplus atau defisit. Pendapatan daerah bersumber
dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana transfer dari pemerintah
pusat, serta dari lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Perwujudan pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan kebijakan


belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan
yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik
di daerah. Dalam pelaksanaan penganggaran dapat terjadi selisih antara
pendapatan dan belanja daerah (surplus/defisit), dan untuk selanjutnya
ditutup dengan kebijakan pembiayaan daerah. Apabila terjadi surplus, daerah
harus menganggarkan untuk pengeluaran pembiayaan tertentu, misalnya
untuk investasi, atau dapat juga dengan mengoptimalisasi dana tersebut guna
mendanai belanja kegiatan yang telah direncanakan. Sebaliknya apabila terjadi
defisit, daerah perlu mencari alternatif pembiayaan berupa pinjaman daerah,

Pendahuluan 1
penggunaan SiLPA, atau dapat pula melakukan penghematan anggaran
dengan melakukan penyisiran kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan atau
ditunda pelaksanannya.

Untuk melihat gambaran secara komprehensif atas anggaran daerah


pada tahun 2014, diperlukan suatu telaah ringkas mengenai APBD 2014
secara agregatif, maupun terpisah antara provinsi dengan kabupaten/kota.
Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi fiskal
atau keuangan seluruh daerah di Indonesia, berdasarkan data yang berasal
dari APBD TA 2014 dari seluruh Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
Analisis APBD dilakukan dari aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit,
dan pembiayaan. Dalam analisis ini juga digunakan beberapa data sekunder
lainnya berupa data anggaran sebelum APBD 2014, realisasi APBD tahun-
tahun sebelumnya, hingga data pendukung lainnya yang digunakan untuk
melakukan analisis time-series. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan
yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per
provinsi, kabupaten dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa dan
Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua).

B. Gambaran Umum APBD 2014


Gambaran umum APBD 2014 secara nasional (konsolidasi) dapat dilihat
pada Tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1
Ringkasan APBD 2014 secara Nasional (Konsolidasi)

Nasional
Uraian
(Juta Rupiah)
Pendapatan 759.476.113
PAD 180.347.447
Dana Perimbangan 482.221.122
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 96.907.544
Belanja 817.674.081

2 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Nasional
Uraian
(Juta Rupiah)
Belanja Barang dan jasa 182.522.886
Belanja Modal 213.669.585
Belanja Pegawai 326.736.914
Belanja Lain-lain 94.744.696
Surplus/defisit (58.197.968)
Pembiayaan Netto 59.197.160
Penerimaan Pembiayaan 74.617.064
SiLPA TA sebelumnya 70.686.810
Pencairan dana cadangan 579.179
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 65.621
Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah 2.192.461
Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman 1.092.993
Pengeluaran Pembiayaan 15.419.903
Pembentukan Dana Cadangan 582.866
Penyertaan Modal (Investasi) Daerah 12.136.858
Pembayaran Pokok Utang 2.296.522
Pemberian Pinjaman Daerah 220.896
Pembayaran Kegiatan Lanjutan 15.985
Pengeluaran Perhitungan Pihak Ketiga 166.777

Sumber: APBD 2014 (data diolah)

Dari Tabel 1.1. di atas, komposisi Pendapatan Daerah dalam APBD 2014
terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah. Sementara itu, besarnya jumlah dana dan
persentase dari masing-masing komposisi Pendapatan Daerah terhadap total
dapat dilihat pada Grafik 1.1 di bawah ini. Dari Grafik 1.1 tersebut dapat
dilihat bahwa Dana Perimbangan yang bersumber transfer dari pusat masih
mendominasi sumber Pendapatan Daerah, yaitu mencapai sebesar Rp482,22
triliun (63,49%). Sementara itu PAD dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang
Sah masing-masing hanya mencapai sebesar Rp180,35 triliun (23,75%) dan
sebesar Rp96,91 triliun (12,76%).

Pendahuluan 3
Grafik 1.1
Komposisi Pendapatan Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)

96.907.544
12,76% 180.347.447
23,75%

PAD
482.221.122 Dana Perimbangan
63,49% Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah

Sumber: APBD 2014 (data diolah)

Grafik 1.2
Komposisi Belanja Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)

131.995.827
182.522.886
15,44%
21,35%

Belanja Barang dan jasa


326.736.914 213.669.585
Belanja Modal Sumber: APBD 2014
38,22% 24,99%
diolah) Belanja Pegawai
Belanja Lain-lain
Grafik 1.2
Komposisi Belanja DaerahAPBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
Sumber: APBD 2014 (data diolah)

4 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Grafik 1.2 menunjukkan komposisi Belanja Daerah secara nasional yang
mencapai Rp817,67 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi Belanja Pegawai
masih mendominasi, yaitu mencapai sebesar Rp326,74 triliun (38,22%),
sedangkan Belanja Modal, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Lainnya
masing-masing mencapai sebesar Rp213,67 triliun (24,99%), sebesar
Rp182,52 triliun (21,35%), dan sebesar Rp131,96 triliun (15,44%).

Dari defisit APBD 2014 secara nasional yang mencapai Rp58,20


triliun, memerlukan Pembiayaan sebesar Rp59,20 triliun, yang terdiri dari
Penerimaan Pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dan lain-lain) sebesar Rp74,62
triliun dan Pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp15,42 triliun. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2
Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah)

Pembiayaan 59.197.160

Penerimaan Pembiayaan 74.617.063

Pengeluaran Pembiayaan (15.419.903)

Sumber: APBD 2014 (diolah)

Selanjutnya, rincian komposisi APBD Tahun 2014 untuk provinsi,


kabupaten, dan kota dapat dikelompokkan sesuai dengan wilayah pulaunya
masing-masing. Pengelompokan daerah berdasarkan pulau terdiri dari daerah-
daerah di Pulau Jawa dan Bali, daerah-daerah di deretan pulau di timur
Indonesia antara lain Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, daerah-daerah di
pulau Sumatera, pulau Kalimantan, dan pulau Sulawesi.

1. Pendapatan Daerah
Potret rasio Pendapatan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun
2014 pada kabupaten, kota, dan provinsi di beberapa wilayah secara agregat
menunjukkan fakta sebagai berikut:

Pendahuluan 5
Grafik 1.3
Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah
80%

70%

60%

50%
Persentase

40%

30%

20%

10%

0%
Dana Perimbangan/Total Lain-lain Pend. Daerah yang
PAD/Total Pendapatan
Pendapatan sah/Total Pendapatan
Sumatera 15,66% 71,43% 12,91%
Jawa-Bali 37,36% 50,19% 12,45%
Kalimantan 18,83% 73,51% 7,66%
Sulawesi 14,14% 74,55% 11,31%
NT-Maluku-Papua 7,08% 73,14% 19,78%

Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)

Dari Grafik 1.3 di atas, dapat dilihat bahwa daerah yang mempunyai rasio
PAD dibandingkan dengan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah
daerah-daerah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu mencapai 37,36%. Sementara
itu daerah-daerah yang mempunyai rasio terendah berada di wilayah pulau
Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, yaitu hanya 7,08%. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan
Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Dalam kaitannya dengan rasio Dana Perimbangan apabila dibandingkan


dengan total Pendapatan Daerah, dapat dilihat bahwa secara agregat daerah-
daerah di wilayah pulau Jawa dan Bali hanya memiliki ketergantungan
terhadap Dana Perimbangan paling rendah, yaitu 50,19%. Adapun wilayah
yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap Dana Perimbangan
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
adalah di wilayah Sulawesi yang mencapai 74,55% persen. Sementara itu

6 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


untuk rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang sah terhadap total Pendapatan
Daerah dapat disampaikan bahwa wilayah di pulau Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua masih yang tertinggi hingga mencapai 19,78%, sedangkan
wilayah Sumatera memiliki rasio sebesar 12,91%. Untuk wilayah Kalimantan
memiliki rasio yang paling rendah, yaitu sebesar 7,66%. Salah satu faktor
penyebab dua wilayah yaitu pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua serta
pulau Sumatera memiliki rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah yang
relatif tinggi terutama adanya dana Otonomi Khusus di wilayah tersebut, yaitu
di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh.

2. Belanja Daerah
Potret rasio Belanja Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun
2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat
menunjukkan fakta sebagai berikut:

Grafik 1.4
Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah
50%

40%
Persentase

30%

20%

10%

0%
Bel. Pegawai/Tot. Belanja Bel. Modal/Tot. Belanja Bel. Barang & Jasa/Tot. Belanja
Sumatera 41,06% 26,56% 22,73%
Jawa-Bali 41,10% 23,86% 21,97%
Kalimantan 32,29% 35,19% 22,94%
Sulawesi 47,52% 22,77% 21,39%
NT-Maluku-Papua 35,75% 25,60% 22,40%

Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)

Pendahuluan 7
Dari Grafik 1.4. dapat dilihat bahwa Belanja Pegawai masih menempati
porsi terbesar dalam Belanja Daerah APBD Tahun 2014, yang selanjutnya
diikuti oleh Belanja Modal, serta Belanja Barang dan Jasa.

Di wilayah Sulawesi, Belanja Pegawai mencapai 47,52%, atau terbesar


apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, sedangkan porsi Belanja
Pegawai di wilayah Kalimantan menempati posisi yang terendah, yaitu
32,29%. Sementara itu, apabila dilihat dari rasio jumlah pegawai terhadap
total jumlah penduduk di wilayah Sulawesi dan wilayah Kalimantan
secara berturut-turut adalah 1:83 dan 1:94. Hal ini berarti bahwa 1 (satu)
orang PNSD di wilayah Sulawesi memberikan layanan publik kepada 83
orang penduduk. Sedangkan di wilayah Kalimantan 1 (satu) orang PNSD
memberikan layanan publik kepada 94 orang penduduk.

Sebagai perbandingan, rasio PNSD dan penduduk di wilayah Jawa dan


Bali adalah 1:196. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PNSD di wilayah
Jawa masih sedikit karena total penduduknya sangat banyak, sehingga
rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja juga besar, yaitu 41,10%.
Berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun Belanja Modal
di wilayah Jawa dan Bali sangat kecil, yaitu hanya 23,86%. Hal ini dapat
memunculkan 2 (dua) pendapat, yaitu kebutuhan infrastruktur di wilayah
Jawa dan Bali relatif rendah sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak
perlu menganggarkan terlalu banyak Belanja Modal, atau atau memang APBD
di semua daerah di wilayah Jawa dan Bali dirasakan cukup berat untuk
diarahkan dalam pemberian pelayanan publik yang dicerminkan dari besarnya
jumlah pegawai dan rasio Belanja Pegawai per Total Belanjanya yang juga
besar.

Untuk daerah-daerah di wilayah Kalimantan menunjukkan perkembangan


pembangunan infrastruktur yang paling signifikan. Hal ini tercermin dari rasio
Belanja Modalnya yang mencapai 35,19%, demikian pula rasio Belanja
Barang dan Jasanya yang juga relatif tinggi yaitu 22,94%.

8 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah
Potret beberapa rasio yang terkait Pembiayaan Daerah berdasarkan
data konsolidasi APBD Tahun 2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada
beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut:

Grafik 1.5
Pembiayaan APBD 2014 Per Wilayah

NT-Maluku-Papua

Sulawesi

Kalimantan

Jawa-Bali

Sumatera

-25% -20% -15% -10% -5% 0% 5% 10% 15% 20% 25%


Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi NT-Maluku-Papua
Pinjaman/Pendapatan 0,29% 0,14% 0,16% 0,89% 0,43%
SiLPA/Pendapatan 9,02% 8,85% 21,48% 3,78% 4,56%
Defisit/Pendapatan -8,18% -5,99% -20,52% -3,83% -3,79%

Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)

Besarnya defisit APBD Tahun 2014 yang paling tinggi terjadi di wilayah
Kalimantan, yaitu mencapai 20,52%. Untuk menutup defisit tersebut,
seluruh daerah di wilayah Kalimantan bisa menggunakan SiLPA tahun lalu
dikarenakan persentase SiLPA sudah melampaui defisit tersebut. Namun
demikian, bila dilihat dari rasio pinjaman daerah sekitar 0,16%, maka bisa
ditengarai bahwa tidak seluruh daerah itu mempunyai SiLPA yang besar
untuk menutup defisit anggarannya. Hal ini berarti bahwa bisa juga sebagian

Pendahuluan 9
daerah tersebut mengandalkan penerimaan pembiayaan dari pinjaman untuk
menutup defisit anggaran daerahnya.

Potret nilai agregat defisit anggaran yang secara langsung bisa ditutup
dengan SiLPA tahun sebelumnya juga terlihat di wilayah Sumatera, wilayah
Jawa dan Bali, dan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Di wilayah
Sulawesi terlihat sedikit berbeda, dimana secara agregat rasio defisitnya
sebesar -3,83% akan tetapi SiLPA-nya hanya 3,78%, sehingga secara agregat
pinjaman daerah di wilayah tersebut mencapai 0,89%. Hal ini ditengarai
bahwa sebagian besar daerah memutuskan untuk melakukan pinjamam
sebagai upaya antisipasi apabila proyeksi pendapatan daerahnya tidak
tercapai. Di sisi yang lain sebagian daerah juga membuat kebijakan ekspansi
pembangunan dengan mengandalkan sumber pembiayaan berupa pinjaman
daerah.

Melihat dari besarnya ketergantungan daerah atas dana Transfer ke


Daerah serta besarnya resiko fiskal yang ditanggung oleh APBN, maka daerah
seyogyanya juga harus memasukkan berbagai resiko fiskal yang terkait dalam
proyeksi pendapatan maupun belanja daerah. Porsi Belanja Pegawai yang
masih tinggi berdampak terhadap berkurangnya alternatif untuk melakukan
efisiensi belanja daerah. Hal ini berarti daerah harus melakukan berbagai
upaya untuk meningkatkan PADnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Upaya optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU No. 28
Tahun 2009 lebih mengedepankan pada perluasan objek pajak, penambahan
jenis pajak baru secara limitatif, serta optimalisasi tarif pajak yang akan
dipungut berdasarkan diskresi masing-masing daerah.

Perkembangan anggaran pajak daerah dan retribusi daerah setiap


tahunnya menunjukkan trend peningkatan yang cukup besar. Apabila pada
tahun 2010 total pajak daerah secara nasional hanya sebesar Rp47,68
triliun, maka sejak diberlakukannya UU tersebut seluruh pemerintah daerah
pada tahun 2014 telah menganggarkan penerimaan dari pajak daerah sebesar
Rp132,93 triliun atau meningkat sebesar 178,80 persen. Begitu juga dengan

10 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


retribusi daerah di mana pada tahun 2010 hanya sebesar Rp8,03 triliun lalu
mengalami peningkatan terus setiap tahunnya hingga di tahun 2014 menjadi
sebesar Rp13,21 triliun atau meningkat sebesar 64,51%.

C. Tren APBD (2010 – 2014)


Tren APBD Tahun 2010-2014 yang telah dikonsolidasikan dapat
dijelaskan sebagai berikut:

Grafik 1.6
Trend APBD TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
1.000.000

800.000
Milyar Rupiah

600.000

400.000

200.000

(200.000)
2010 2011 2012 2013 2014
Pendapatan 386.338 459.893 551.946 653.512 759.476
Belanja 426.857 495.274 592.660 707.890 817.674
Surplus/defisit (40.519) (35.381) (40.714) (54.378) (58.198)
Pembiayaan Netto 40.791 36.119 41.120 54.814 59.197

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (diolah)

Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010-
2014, pendapatan daerah setiap tahunnya meningkat rata-rata sebesar
18,42%. Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi 759,48 triliun, atau
meningkat sebesar Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun sebelumnya
Rp653,51 triliun. Dalam periode yang sama, trend anggaran belanja daerah

Pendahuluan 11
juga mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan
17,66%. Apabila Belanja Daerah pada tahun 2013 sebesar Rp707,89
triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar Rp817,67 triliun
(15,51%).
Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010-2014, pendapatan daerah setiap tahunnya
meningkat Selanjutnya,
rata-rata sebesar trend
18,42%. defisit yang
Pendapatan dianggarkan
Daerah daerah759,48
di tahun 2014 menjadi cenderung
triliun, ataufluktuatif.
meningkat sebesar

Apabila
Rp105,97 dalam tahun
triliun (16,21%) dari tahun2010-2011 mengalami
sebelumnya Rp653,51 triliun. Dalam penurunan,
periode yang sama,maka setelah
trend anggaran itudaerah
belanja
juga hingga
mengalamitahun 2014
peningkatan setiap terus
tahunnyamengalami
dengan rata-ratapeningkatan, di Apabila
peningkatan 17,66%. manaBelanja
defisit anggaran
Daerah pada tahun 2013
sebesar Rp707,89
tahun triliun, maka
2014 pada tahun 2014
meningkat meningkat Trend
7,02%. menjadi sebesar Rp817,67 triliunpembiayaan
peningkatan (15,51%). netto
jugaSelanjutnya,
relatif sama polanya
trend defisit setiapdaerah
yang dianggarkan tahun dengan
cenderung trend
fluktuatif. defisit.
Apabila Sementara
dalam tahun itu
2010-2011 mengalami

persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun
penurunan, maka setelah itu hingga tahun 2014 terus mengalami peningkatan, dimana defisit anggaran tahun 2014 meningkat

sebelumnya.
7,02%. Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Sementara itu
persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.7
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TAGrafik
2010 1.7 – 2014 (dalam miliar rupiah)
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
500.000

400.000
Milyar Rupiah

300.000

200.000

100.000

0
2010 2011 2012 2013 2014
PAD 71.852 90.393 112.745 140.328 180.347
Dana Perimbangan 292.281 327.368 380.984 433.213 482.221
Lain-lain Pend. Daerah yang Sah 22.205 42.132 58.218 79.971 96.908

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)


Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada Grafik 1.7 diatas. Secara nasional porsi
Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila dibandingkan dengan
12 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka pada
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada
Grafik 1.7 di atas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan
setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila
dibandingkan dengan laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh
daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka
pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp180,35 miliar rupiah. Secara rata-
rata, peningkatan PAD tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan
terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 28,52%.

Untuk Dana Perimbangan, secara nasional setiap tahunnya juga


mengalami peningkatan. Apabila Dana Perimbangan tahun 2010 baru
mencapai sebesar Rp292,28 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat
menjadi Rp482,22. Secara rata-rata, peningkatan Dana Perimbangan tahun
2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun
2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 11,31%.

Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga


menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara nasional Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21 triliun,
maka dalam kurun waktu 5 tahun hingga tahun 2014 terdapat peningkatan
rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah
mencapai Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang
Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.

Pendahuluan 13
Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara
nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21triliun, maka dalam kurun waktu 5 tahun
hingga tahun 2014 terdapat peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah mencapai
Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.

Grafik 1.8
Grafik 1.8
Rata-rata Pertumbuhan (2010
Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) – Pendapatan
2014) Daerah
Pendapatan Daerah
per Agregat Provinsi,
per Agregat Kabupaten
Provinsi, Kabupaten dan Kota dan Kota
30%
PAD Dana Perimbangan
25%

20%

15%

10%

5%

0%
Babel

Jambi
Papua
Malut

Aceh

Sulsel

Bali
Maluku
Sumbar

Sumsel

Sulbar
Riau

Sulteng
NTB

NTT

Sumut

Sulut

Lampung

Banten
Bengkulu

Kaltim

Jawa Barat
Sultra
Kalteng

Papua Barat

Gorontalo

Kalsel

Kalbar
DI Yogyakarta

Jawa Tengah

Jawa Timur
Kep. Riau

DKI Jakarta
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

Berdasarkan data trend tahun 2010-2014, juga dapat dilihat gambaran


tingkat pertumbuhan
Berdasarkan data trend tahuntotal Pendapatan
2010-2014, Daerah
juga dapat dilihat gambaranbeserta komponen
tingkat pertumbuhan utamanya,
total Pendapatan Daerah

yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah
beserta komponen utamanya, yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat

per provinsi dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan


Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu diikuti
oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara
itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di
Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%),
dan Provinsi Maluku (11,98%).

Apabila dilihat dari rata-rata pertumbuhan PAD tahun 2010-2014,


Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata PADnya paling tinggi,
yaitu mencapai 26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang
mencapai 25,74%, dan Provinsi Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk
daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi

14 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu
diikuti oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan
Daerah yang terendah adalah di Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%), dan Provinsi

Bengkulu
Maluku (11,98%). yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi
Maluku
Apabila dilihatUtara dengan
dari rata-rata capaian
pertumbuhan PAD 6,83%.
tahun 2010-2014, Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata
PADnya paling tinggi, yaitu mencapai26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 25,74%, dan Provinsi
Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014
Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi Bengkulu
cenderung lebih merata dan tidak berfluktuasi terlalu tajam, serta berada
yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi Maluku Utara dengan capaian 6,83%.
dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana
Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014 cenderung lebih merata dan tidak
Perimbangan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah
berfluktuasi terlalu tajam, serta berada dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan
dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi Kalimantan
tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi
Timur.
Kalimantan Timur.

Grafik 1.9
Trend Belanja Daerah TAGrafik 2010
1.9 – 2014 (dalam miliar rupiah)
Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)

350.000

300.000

250.000
Milyar Rupiah

200.000

150.000

100.000

50.000

0
2010 2011 2012 2013 2014
Belanja Pegawai 198.562 229.081 261.358 296.818 326.737
Belanja Barang dan jasa 82.007 104.116 122.422 148.171 182.523
Belanja Modal 96.179 113.523 137.525 175.808 213.670
Belanja Lain-lain 50.110 48.554 71.355 87.093 94.745

Sumber:
Sumber: Data Data
APBD Konsolidasi APBD
2010 Konsolidasi
- 2014 (Diolah) 2010 - 2014 (Diolah)

Berdasarkan Grafik 1.9 maka dapat dilihat porsi tiap jenis Belanja Daerah
setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Apabila dicermati
Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung

Pendahuluan 15
terus meningkat dari tahun 2010 hingga tahun 2014. Total Belanja Pegawai
secara nasional tahun 2010 sebesar Rp198,56 miliar, meningkat menjadi
Rp326,74 miliar di tahun 2014, dengan rata-rata peningkatan Belanja
Pegawai mencapai 13,28%. Namun apabila dilihat dari persentasenya,
terdapat penurunan jumlah belanja pegawai sejak tahun 2011 hingga tahun
2014, secara berturut-turut dari yaitu 15,37%, 14,09%, 13,57%, dan
10,08%.

Sementara itu, besarnya Belanja Barang dan Jasa juga terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2010 total Belanja Barang
dan Jasa secara nasional di kisaran Rp82,01 miliar, maka pada tahun 2014
meningkat menjadi Rp182,52 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan
Jasa secara rata-rata dari tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 22,19%.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, maka peningkatan
Belanja Barang dan Jasa secara agregat provinsi, kabupaten/kota cenderung
lebih fluktuatif. Jika pada tahun 2011 meningkat 26,96% dari tahun
sebelumnya, namun pada tahun 2012 menurun 17,58%, dan meningkat
kembali pada tahun 2013 sebesar 21,03%. Pada tahun 2014, persentase
peningkatan porsi Belanja Barang dan Jasa juga meningkat 23,18%, yang
berarti berada di atas rata-rata peningkatan dalam 5 tahun terakhir sebesar
22,19%.

Hal yang sama juga terjadi pada pos Belanja Modal. Dapat kita lihat,
dari trend Belanja Modal tahun 2010 hingga 2014. Jika Belanja Modal
pada pada tahun 2010 mencapai Rp96,18 miliar, maka pada tahun 2014
sudah mencapai Rp213,67 miliar, yang berarti secara rata-rata mengalami
peningkatan 22,14%. Namun demikian, apabila dilihat dari persentasenya,
peningkatan Belanja Modal lebih fluktuatif. Jika total Belanja Modal di tahun
2011 meningkat 18,03%, dan meningkat lagi tahun 2013 sebesar 27,84%,
namun pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 21,54%.

Dalam periode yang sama, Belanja Lain-Lain juga cenderung fluktuatif.


Pada tahun 2010 Belanja Lain-Lain secara total mencapai Rp50,11 miliar, dan

16 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


mengalami penurunan menjadi Rp48,55 miliar di tahun 2011. Selanjutnya
pada tahun 2012, 2013, dan 2014 mengalami kenaikan sehingga masing-
masing menjadi Rp71,36 miliar, Rp87,09 miliar, dan Rp94,75 miliar. Secara
rata-rata peningkatan total Belanja Barang dan Jasa pada tahun 2010 hingga
2014 adalah sebesar 18,67%.

Grafik 1.10
Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Belanja Daerah
Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
35%
Belanja Pegawai Belanja Barang dan jasa Belanja Modal
30%

25%

20%

15%

10%

5%

0%
Jambi

Bali
Babel

Malut

Aceh

Sulsel

Sumsel
Sumbar

Sulut

Papua

Sulteng

Sulbar
Maluku

NTT

Sumut

Lampung
Banten
NTB

Riau

Jawa Barat
Kaltim

Bengkulu

Gorontalo

Kalbar
Kalsel
Kalteng

Sultra

Papua Barat

Jawa Timur

Jawa Tengah
DI Yogyakarta

DKI Jakarta
Kep. Riau

Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)


Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total Belanja Daerah beserta
komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010 – 2014. Secara
Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat
agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh
pertumbuhan total Belanja Daerah beserta komponen utamanya yaitu Belanja
Provinsi Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan belanja daerah yang terendah
Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010
terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka Belitung (10,77%).
– 2014. Secara agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang
Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per tahunnya, maka secara berurutan yang
tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh Provinsi
tertinggi adalah Provinsi Maluku Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi Sulawesi Tengah
Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata
(12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi
pertumbuhan
Kalimantan Timur (6,87%),belanja daerah
Provinsi Kepulauan yang terendah
Riau (9,08%), terdapat
dan Provinsi Sumatera Selatandi Provinsi Kalimantan
(10,07%).

Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi
Bali (23,59%), dan Provinsi Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang
terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara
Pendahuluan 17
(13,42%).

Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu
diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Belanja
Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka
Belitung (10,77%).

Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per


tahunnya, maka secara berurutan yang tertinggi adalah Provinsi Maluku
Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi
Sulawesi Tengah (12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja
Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi Kalimantan
Timur (6,87%), Provinsi Kepulauan Riau (9,08%), dan Provinsi Sumatera
Selatan (10,07%).

Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi


terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi Bali (23,59%), dan Provinsi
Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang
dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi
Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara (13,42%).

Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi


terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu diikuti oleh Provinsi DI
Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, rata-
rata pertumbuhan Belanja Modal yang terendah terdapat di Provinsi Bangka
Belitung (5,39%), Provinsi Kalimantan Timur (7,55%), dan Provinsi Aceh
(7,80%). Khusus untuk belanja modal di Provinsi Aceh relatif terus menurun
mengingat pembangunan infrastruktur sejak terjadinya tsunami di Provinsi
Aceh lebih didominasi dari bantuan hibah yang masuk pada kelompok Lain-
lain Pendapatan Daerah yang sah.

18 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Tabel 1.3
Rata-rata pertumbuhan (2010 – 2014) SiLPA
Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

No Se-Provinsi SiLPA (%) No Se-Provinsi SiLPA (%)


1 Prov. Bangka Belitung -20,47% 18 Prov. Sulawesi Tengah 5,56%
2 Prov. Sumatera Barat -20,38% 19 Prov. Jawa Timur 5,68%
3 Prov. Lampung -18,65% 20 Prov. Bengkulu 8,20%
4 Prov. Nusa Tenggara Timur -15,74% 21 Prov. Sulawesi Utara 9,91%
5 Prov. Sulawesi Tenggara -15,48% 22 Prov. Maluku Utara 10,57%
6 Prov. Papua -9,13% 23 Prov. Kalimantan Timur 10,66%
7 Prov. Aceh -9,09% 24 Prov. Jawa Tengah 11,68%
8 Prov. Sumatera Utara -7,34% 25 Prov. Kalimantan Selatan 12,61%
9 Prov. Kepulauan Riau -5,62% 26 Prov. Sumatera Selatan 13,91%
10 Prov. Sulawesi Selatan -4,53% 27 Prov. Jambi 14,53%
11 Prov. Nusa Tenggara Barat -4,37% 28 Prov. Maluku 15,35%
12 Prov. Jawa Barat -3,54% 29 Prov. Bali 15,88%
13 Prov. Kalimantan Tengah -0,13% 30 Prov. Banten 21,00%
14 Prov. DI Yogyakarta 1,80% 31 Prov. Riau 22,78%
15 Prov. Papua Barat 1,93% 32 Prov. DKI Jakarta 28,99%
16 Prov. Gorontalo 3,29% 33 Prov. Sulawesi Barat 41,73%
17 Prov. Kalimantan Barat 5,37% 34 Prov. Kalimantan Utara n/a
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)

Di sisi Pembiayaan Daerah, bisa dilihat gambaran mengenai rata-rata


pertumbuhan SiLPA Daerah agregat provinsi, kabupaten dan kota dalam
kurun waktu 2010-2014. Rata-rata pertumbuhan SiLPA yang terendah
terdapat di Provinsi Bangka Belitung yaitu (-20,47%), yang diikuti oleh
Provinsi Sumatera Barat (-20,38%), dan Provinsi Lampung (-18,65%).
Kecenderungan pertumbuhan SiLPA yang negatif setiap tahunnya bisa
diartikan bahwa dalam proses perencanaan anggaran secara keseluruhan,
Pemerintah Daerah di provinsi tersebut lebih mengedepankan prinsip kehati-

Pendahuluan 19
hatian dalam melakukan estimasi terhadap sumber pendanaan yang akan
diterima pada saat anggaran tahun berjalan atau mengindikasikan daerah
tersebut sudah semakin mengoptimalkan pos SiLPAnya dalam anggaran.

Sementara itu, daerah dengan rata-rata pertumbuhan SiLPA tertinggi


adalah Provinsi Sulawesi Barat (41,73%), Provinsi DKI Jakarta (28,99%),
dan Provinsi Riau (22,78%). Kecenderungan ini bisa diartikan bahwa
pemerintah daerah di provinsi tersebut lebih optimis terhadap estimasi dana
yang akan diterima pada tahun anggaran berjalan, namun tidak berani
mengalokasikannya dalam jenis belanja untuk mendanai kegiatan layanan
publik di dalam APBD-nya.

Di sisi lain, pinjaman daerah belum mempunyai peran yang cukup kuat
dalam pembiayaan daerah. Hal ini disebabkan karena SiLPA di daerah relatif
masih cukup tinggi, sehingga daerah cenderung akan menutup defisit dari
SiLPA, yang notabene merupakan dana dari internal yang bersifat jangka
pendek. Selain itu, masih kompleksnya pengajuan dan administrasi pinjaman
daerah juga menjadi salah satu faktor belum berkembangnya pinjaman daerah
dalam mendanai APBD.

20 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


BAB II
ANALISIS PENDAPATAN DAERAH

Desentralisasi fiskal di Indonesia pada dasarnya menekankan pada


expenditure assignment, yang ditandai dengan pembagian urusan pada
berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang
terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Dalam mendanai pelaksanaan urusan
tersebut, terdapat dua sumber pendanaan utama, yaitu Pendapatan Asli
Daerah dan Transfer ke Daerah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah,
Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD. Perkembangan
PAD dari sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 hingga tahun
2014 dapat dilihat pada grafik 2.1. Jika pada tahun pertama pelaksanaan
desentralisasi fiskal PAD meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi Rp15,2
triliun dari sebelumnya Rp5,5 triliun, maka pada tahun 2014 sudah
mencapai Rp180,3 triliun, yang berarti meningkat hampir 12 kali lipat. Dari
keempat komponen PAD tersebut, peran Pajak Daerah sangat signifikan,
terlihat dari total Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah
mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD. Peningkatan
PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan
perpajakan daerah, pertumbuhan ekonomi, upaya penggalian PAD oleh
daerah, dan jumlah daerah.

Analisa Pendapatan Daerah 21


Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD.
Peningkatan PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan perpajakan daerah, pertumbuhan
ekonomi, upaya penggalian PAD oleh daerah, dan jumlah daerah.

Grafik 2.1
Grafik 2.1
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
200 180,3
180 Desentralisasi Fiskal
Sebelum Desentralisasi Fiskal

160 UU 34/2000 UU 28/2009 140,3


140 131,8
120 109,2
Rp Triliun

100 81,2
80 64,7 67,6
60 52,2
38,1 44,7
40 21,5 26 26,7
15,2
20 7,1 5,5
0
2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014
1999/2000

Sumber:
Sumber: DJPK, DJPK,
(diolah) (diolah)

Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi


Daerah, penguatan perpajakan daerah dilakukan, antara lain melalui
pemberian diskresi penetapan tarif dan pendaerahan beberapa jenis pajak
baru seperti Pajak Rokok, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan – Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2).
Outcome dari perubahan kebijakan penguatan perpajakan daerah tersebut
terlihat dari peningkatan PAD mulai tahun 2010 sampai dengan 2014 yang
mencapai 22,1% secara rata-rata.

Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan dan sesuai


dengan prinsip money follows function, pemerintah pusat setiap tahunnya
mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Seiring
dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana
yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya, terakhir pada
tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp592,5 triliun. Dana Transfer ke Daerah
dalam APBD diklasifikasikan ke dalam Dana Perimbangan untuk Dana Bagi
Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK),
serta Lain-Lain Pendapatan yang Sah untuk Dana Otonomi Khusus, Dana

22 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan dan sesuai dengan prinsip money follows function,
pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Seiring dengan
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya,
terakhir pada tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp592,5 triliun. Dana Transfer ke Daerah dalam APBD diklasifikasikan kedalam
Dana Perimbangan untuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Lain-Lain
Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian. Perkembangan Transfer ke Daerah dari
Pendapatan yang Sah untuk Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian. Perkembangan Transfer ke
sebelum pelaksanaan desentralisasi sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat
Daerah dari sebelum pelaksanaan desentralisasi sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat pada grafik 2.2 di bawah ini.
pada grafik 2.2 di bawah ini.

Grafik 2.2
Grafik 2.2
Perkembangan Transfer ke Daerah
Perkembangan Transfer ke Daerah
700 Desentralisasi Fiskal
Sebelum Desentralisasi Fiskal

592,5
600 529,4
478,8
Rp triliun

500
411,3
400 344,7
292,4 308,6
300 253,3
226,2
200 130 149,58
82,4 98,5 116,9
100 33,9
22,9
0
2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014
1999/2000

Sumber:
Sumber: DJPK,DJPK,
(diolah) (diolah)

Jika dilihat dari proporsi antara besaran PAD dan Transfer ke Daerah, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah
relatif Jika dilihat dari
masih tergantung kepadaproporsi antarapusat,
dana dari pemerintah besarankecuali PAD
beberapadan Transfer
daerah ke potensi
yang memiliki Daerah, maka
PAD yang besar
dapat
seperti DKIdikatakan bahwa
Jakarta. Data APBD pemerintah
Tahun 2014 daerah
menunjukkan rata-rata relatif
secara masih dana
agregat komposisi tergantung
transfer dalamkepada
pendapatan
dana dari pemerintah
daerah mencapai pusat,
81,6%. Fenomena ini kecuali
perlu dikaji, beberapa
karena jika daerah
dilihat berdasarkan yang
data yang memiliki
ada, potensi ekonomi potensi
yang dimiliki

PAD yang besar seperti DKI Jakarta. Data APBD Tahun 2014 menunjukkan
rata-rata secara agregat komposisi dana transfer dalam pendapatan daerah
mencapai 81,6%. Fenomena ini perlu dikaji, karena jika dilihat berdasarkan
data yang ada, potensi ekonomi yang dimiliki daerah untuk mengembangkan
PAD masih cukup besar, namun potensi-potensi tersebut belum dapat
dimanfaatkan dengan baik.

Dalam tulisan ini akan dicoba untuk memberikan gambaran kondisi


pendapatan daerah yang tercermin dalam APBD. Beberapa indikator yang
akan digunakan dalam analisis ini yaitu rasio pajak daerah, rasio pajak per
kapita, rasio ruang fiskal daerah, dan rasio ketergantungan daerah. Setiap

Analisa Pendapatan Daerah 23


perhitungan rasio akan dibagi ke dalam 5 jenis, yaitu perhitungan rasio
secara nasional (agregat pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan
pemerintah kota), rasio seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah
kota dalam satu provinsi, rasio pemerintah provinsi, dan rasio per wilayah
(pembagian 5 wilayah yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali, Sulawesi,
serta dan Nusa Tenggara, Maluku, Papua). Untuk rasio pajak terhadap PDRB,
mengingat terdapat keterbatasan data untuk Provinsi Kalimantan Utara maka
penghitungan masih digabungkan dengan provinsi induknya yaitu Provinsi
Kalimantan Timur. Selanjutnya, pada bagian terakhir analisis ini, juga akan
dibahas mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU,
dan DAK) yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana
Perimbangan sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk
melihat sejauh mana informasi transfer ke daerah yang disampaikan oleh
pemerintah pusat diakomodir dalam APBD.

A. Rasio Pajak (Tax Ratio)


Kebijakan pajak daerah yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009
mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menerapkan closed list system
untuk jenis pajak daerah yang dapat dikelola oleh pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten dan kota. Pemerintah provinsi diberi kewenangan
untuk memungut 5 jenis pajak dan pemerintah kabupaten dan kota diberi
kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak. Salah satu kebijakan baru
dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah adanya PBB-P2 dan BPHTB dari
pusat ke daerah. Dengan adanya pengalihan kewenangan pemungutan kedua
pajak tersebut kepada daerah, diharapkan akan menambah peluang bagi
daerah untuk melakukan pemungutan secara lebih optimal.

Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan


perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB)
suatu negara dalam satu tahun. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan
perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio

24 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam
membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak
yang dimiliki.

PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat


menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi
daerah baik tentunya akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah
tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas
dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun. Nilai PDRB ini pada
umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi yang terjadi
di suatu wilayah.

Perhitungan rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan


gambaran hubungan antara penerimaan pajak daerah di wilayah tersebut
dengan PDRB-nya, menilai kondisi suatu daerah, dan membandingkannya
dengan daerah lain.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota


Grafik 2.3 menunjukkan rasio pajak secara agregat provinsi, kabupaten
dan kota pada 33 provinsi seluruh Indonesia. Secara agregat, rata-rata pajak
yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten
dan kota hanya 1,9% dari PDRB non migas.

Provinsi Bali memiliki rasio pajak tertinggi, yaitu sebesar 5,3%.


Pencapaian tersebut terutama karena didukung oleh posisi Bali sebagai daerah
tujuan wisata, sehingga memiliki basis pajak yang cukup besar terutama yang
terkait dengan hotel, restoran dan sarana hiburan lainnya. Sementara itu,
provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Riau dan
Provinsi Papua Barat, yaitu masing-masing hanya 0,5%.

Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak


daerah memang terbatas (closed list). Sumber penerimaan pajak daerah yang

Analisa Pendapatan Daerah 25


posisi Bali sebagai daerah tujuan wisata, sehingga memiliki basis pajak yang cukup besar terutama yang terkait dengan hotel,
restoran dan sarana hiburan lainnya. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Riau dan
Provinsi Papua Barat, yaitu masing-masing hanya 0,5%.

Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah memang terbatas (closed list). Sumber
berlaku pajak
penerimaan saatdaerah
ini yang
cenderung bias
berlaku saat ini ke daerah
cenderung yang
bias ke daerah yangtingkat urbanisasinya
tingkat urbanisasinya tinggi
tinggi (urban-biased),
(urban-biased),
seperti seperti
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
dan Pajak Hotel,
Kendaraan Pajak
Bermotor. Restoran, dan Pajak Kendaraan
Bermotor.

Grafik 2.3
Grafik 2.3
Rasio Pajak Agregat Provinsi,
Rasio Pajak Agregat Provinsi,Kabupaten,
Kabupaten, dan Kota dan Kota

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2014 (Diolah), (*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara

(*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara

Berdasarkan data rasio pajak di seluruh provinsi, diperoleh gambaran


bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara nasional adalah 1,9%. Provinsi
yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional sebanyak 12 provinsi
sebagaimana terlihat pada grafik diatas.

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi


Grafik 2.4 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten
dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi. Rata-rata pajak yang bisa
dipungut oleh pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia sebesar 0,53%
dari PDRB non migasnya. Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang
hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek

26 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Berdasarkan data rasio pajak di seluruh provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara
pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU
nasional adalah1,9%. Provinsi yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional sebanyak 12 provinsi sebagaimana terlihat
28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif kepada penguatan perpajakan
pada grafik diatas.
daerah. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Bali
2.
menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 3,4%. Sebagai daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
tujuan wisata, sumber penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor
Grafik 2.4 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi.
pariwisata
Rata-rata pajak yangseperti Pajak
bisa dipungut Hotel, kabupaten
oleh pemerintah Pajak Restoran, dan sebesar
dan kota di Indonesia Pajak0,53%
Hiburan,
dari PDRB sehingga
non migasnya.
potensi penerimaan pajaknya menjadi lebih tinggi dibanding daerah lain.
Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek
pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU 28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten
kepada penguatan perpajakan daerah. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Bali menunjukkan angka yang
dan kota se-Provinsi Papua Barat dan Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%.
paling tinggi, yaitu sebesar 3,4%. Sebagai daerah tujuan wisata, sumber penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor
Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan
pariwisata seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan, sehingga potensi penerimaan pajaknya menjadi lebih tinggi
pajak daerah kabupaten dan kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi
dibanding daerah lain.
Papua Barat dan Riau adalah dari sektor pertambangan, yang merupakan
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Papua Barat dan
sumber penerimaan Negara, dan selanjutnya akan menjadi sumber
Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan pajak daerah
pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang dalam rasio ini
kabupaten dan kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi Papua Barat dan Riau adalah dari sektor pertambangan, yang
tidak dihitung.
merupakan sumber penerimaan Negara,dan selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH
SDA) yang dalam rasio ini tidak dihitung.
Grafik 2.4
Grafik 2.4
Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *)
Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *)

Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah),2014 (Diolah),
Tidak termasuk DKI Jakarta,Tidak termasuk
*)termasuk DKIUtara
Provinsi Kalimantan Jakarta
*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara

Analisa Pendapatan Daerah 27


3. Pemerintah Provinsi
3. Pemerintah Provinsi

Grafik
Grafik 2.5
2.5
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi

Sumber: APBD 2014 (Diolah)*)termasuk Provinsi Kalimantan Utara


Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*)termasuk Provinsi
Grafik 2.5 Kalimantan
memperlihatkan rata-rata Utara
pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi sebesar 1,4% dari PDRB non
migas. Untuk seluruh pemerintah provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu
sebesar Grafik 2.5 memperlihatkan
3,1%. Tingginya rata-rata
rasio pajak provinsi Kalimantan pajak
Selatan yanguntuk
ini menarik dipungut oleh pemerintah
dikaji, mengingat rasio pajak Provinsi
provinsiSelatan
Kalimantan sebesar 1,4%
tahun 2014 dari PDRB
mampu melampaui non
Provinsi DKI migas.
Jakarta. Untuk seluruh pemerintah
provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Riau
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat di Provinsi Papua Barat dan Provinsi Provinsi Kalimantan
(0,4%). Hasil ini menunjukkan
Selatan,
bahwa kemampuan yaitu
untuk sebesar
meningkatkan 3,1%.
penerimaan Tingginya rasioprovinsi
pajak daerah di kedua pajak provinsi
tersebut Kalimantan
belum optimal mengingat jumlah
Selatan
pajak yang bisaini menarik
dipungut untuk
dari potensi dikaji,
basis pajak mengingat
yang ada masih rendah. rasio pajak Provinsi Kalimantan

Selatan tahun 2014 mampu melampaui Provinsi DKI Jakarta.


4. Per Wilayah
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat di Provinsi Papua Barat
Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan
dan Provinsi Riau (0,4%). Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk
mengeluarkan Provinsi DKI Jakarta dalam perhitungan, rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali merupakan wilayah yang rasio
meningkatkan penerimaan pajak daerah di kedua provinsi tersebut belum
pajaknya paling tinggi dibandingkan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 2,6%, sedangkan wilayah dengan rasio pajak terendah
optimal mengingat jumlah pajak yang bisa dipungut dari potensi basis pajak
sebesar 1,37% terdapat di wilayah Sumatera.
yang ada masih rendah.

Grafik 2.6
Rasio Pajak per Wilayah*)

28 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


4. Per Wilayah
Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio
pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan mengeluarkan Provinsi DKI
Jakarta dalam perhitungan, rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali merupakan
wilayah yang rasio pajaknya paling tinggi dibandingkan 4 wilayah lainnya,
yaitu sebesar 2,6%, sedangkan wilayah dengan rasio pajak terendah sebesar
1,37% terdapat di wilayah Sumatera.

Grafik 2.6
Rasio Pajak per Wilayah*)

Sumber: APBD 2014


Sumber: APBD 2014 (Diolah),
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta

B. Pajak per Kapita (Tax per Capita)


Pajak per kapita (tax per capita) belum banyak digunakan dalam
B. Pajak per Kapita (Tax perCapita)
menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber Pendapatan Daerah.
Pajak per kapita (tax per capita) belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai
Namun begitu, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif dalam
sumber Pendapatan Daerah.Namun begitu, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif dalam menghitung efektifitas
menghitung efektifitas pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan
pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu
perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah
daerah dengan jumlah penduduknya, yang berarti pula menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah.
dengan jumlah penduduknya, yang berarti pula menunjukkan kontribusi
Menurut Gregory N. Mankiw1, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun demikian,
setiap penduduk pada pajak daerah.
semakin tinggi tingkat persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran tersebut dapat
terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan.
Pajak per kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita, sehingga diperoleh pajak/PDRB x
Analisa Pendapatan Daerah 29
PDRB/personal=pajak / personal.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota


Menurut Gregory N. Mankiw, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang
paling umum digunakan. Namun demikian, semakin tinggi tingkat persentase
pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran
tersebut dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang
lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan. Pajak per
kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita,
sehingga diperoleh pajak/PDRB x PDRB/personal=pajak / personal.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota


Rata-rata rasio pajak per kapita secara nasional (agregat provinsi,
kabupaten dan kota) sebesar Rp496.217,00. Provinsi DKI Jakarta memiliki
rasio pajak per kapita tertinggi, yaitu sebesar Rp3.189.570,00, yang berarti
bahwa secara rata-rata setiap penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta
memberikan kontribusi melebihi Rp3,1 juta untuk Pendapatan Daerah melalui
pajak daerah.

Sementara itu, Provinsi Kalimantan Utara sebagai daerah otonom baru


memiliki rasio pajak per kapita sebesar Rp70.189,00, dan merupakan yang
terendah dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya di Indonesia. Selanjutnya,
pada grafik 2.7, terlihat masih banyak daerah yang rasio pajak per kapitanya
berada di bawah rata-rata nasional. Hanya 7 (tujuh) provinsi yang rasio pajak
per kapitanya berada di atas rata-rata nasional, yaitu Provinsi DKI Jakarta,
Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Bali, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi
Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten.

30 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Bali, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten.

Grafik 2.7
Grafik 2.7
Rasio Pajak perRasio
Kapita
Pajak perAgregat Provinsi,
Kapita Agregat Kabupaten
Provinsi, Kabupaten dan Kota dan Kota

Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah) 2014 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi


2. Rasio
Pemerintah Kabupaten
pajak per kapita pemerintah dan
kabupaten dan Kota
pemerintah kota se-Provinsi
dalam satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8.
Rasio tersebut menunjukkan nilai total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi
Rasio pajak per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam
dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan.
satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8. Rasio tersebut menunjukkan nilai
Rasio pajak per kapita tertinggi terdapat di Provinsi Bali, yaitu sebesar Rp683.557,00. Sementara itu, Provinsi Nusa
total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam
Tenggara Timur memiliki rasio terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada basis pajak yang
satu provinsi dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam
dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di daerah tersebut.
perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan.

Rasio pajak per kapita tertinggiGrafikterdapat


2.8 di Provinsi Bali, yaitu sebesar
Rp683.557,00. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rasio
terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada
basis pajak yang dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di
daerah tersebut.

Analisa Pendapatan Daerah 31


Grafik 2.8
Rasio Tax per Rasio
KapitaTax perPemerintah
Kapita Pemerintah Kabupaten
Kabupaten dan kotadan kota*) se-Provinsi *)
se-Provinsi

Sumber:
Sumber: APBD 2014APBD 2014
(Diolah),Tidak (Diolah)
termasuk DKI Jakarta

*)Tidak termasuk DKI Jakarta


3. Pemerintah Provinsi
Pajak per kapita pada seluruh pemerintah provinsi sebagaimana pada grafik 2.9 menunjukkan bahwa Provinsi DKI
3. merupakan
Jakarta Pemerintah
daerah yang Provinsi
memiliki pajak per kapita terbesar, sama dengan pajak per kapita pada agregat provinsi,
kabupatenPajak
dan kotaper
yaitu kapita pada seluruh
sebesar Rp3.189.570,00 pemerintah
per kapita. Sementara ituprovinsi
dua provinsisebagaimana
yang memiliki rasiopada
per kapita
terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp105.087,00, dan Provinsi Kalimantan Utara yang sampai tahun 2014
grafik 2.9 menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah
belum menganggarkan penerimaan dari pajak daerah, sehingga rasio pajak per kapita masih nol. Kondisi tersebut menunjukkan
yang memiliki pajak per kapita terbesar, sama dengan pajak per kapita
ketimpangan yang cukup besar antara rasio yang tertinggi dan terendah. Rata-rata rasio pajak per kapita pemerintah provinsi
pada agregat provinsi, kabupaten dan kota yaitu sebesar Rp3.189.570,00
sebesar Rp380.522,00, dimana sebagian besar diantaranya berada di bawah rata-rata nasional. Dari keseluruhan provinsi,
per kapita. Sementara itu dua provinsi yang memiliki rasio per kapita
terdapat 28 provinsi yang memiliki rasio pajak per kapita di bawah rata-rata nasional, dan hanya 6 provinsi yang berada di atas
terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp105.087,00, dan
rata-rata nasional.
Provinsi Kalimantan Utara yang sampai tahun 2014 belum menganggarkan
penerimaan dari pajak daerah, sehingga rasio pajak per kapita masih nol.
Grafik 2.9
Kondisi tersebut menunjukkan Rasioketimpangan yang
Tax per Kapita Pemerintah cukup besar antara rasio
Provinsi
yang tertinggi dan terendah. Rata-rata rasio pajak per kapita pemerintah
provinsi sebesar Rp380.522,00, dimana sebagian besar diantaranya berada
di bawah rata-rata nasional. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 28 provinsi
yang memiliki rasio pajak per kapita di bawah rata-rata nasional, dan hanya 6
provinsi yang berada di atas rata-rata nasional.

32 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Grafik 2.9
Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi

Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah) 2014 (Diolah)

4. Per Wilayah
4. Per Wilayah
Grafik 2.10 memperlihatkan rasio pajak per kapita per wilayah, dengan rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan

Grafik
yang mencapai 2.10
sebesar memperlihatkan
Rp616.227 rasio pajak
per kapita, dan rasio terendah per kapita
di berada wilayah per Maluku,
Nusa Tenggara, wilayah, dengan
dan Papua sebesar
Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah
rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan yang mencapai sebesar
Kalimantan yang memiliki rasio diatas rata-rata nasional. Untuk wilayah Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp558.481.
Rp616.227 per kapita, dan rasio terendah di berada wilayah Nusa Tenggara,
Jika memasukkan Provinsi DKI Jakarta ke dalam perhitungan, maka rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali menjadi Rp934.351 per
Maluku, dan Papua sebesar Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata
kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah penduduk
rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah
yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh
Kalimantan yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Untuk wilayah
banyaknya jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah penduduk.
Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp558.481. Jika memasukkan
Provinsi DKI Jakarta ke dalam Rasio perhitungan, Grafik 2.10
maka rasio pajak di wilayah Jawa
Tax per Kapita Per Wilayah*)
dan Bali menjadi Rp934.351 per kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak
per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah
penduduk yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya
rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh banyaknya
jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah
penduduk.

Analisa Pendapatan Daerah 33


Grafik 2.10
Rasio Tax per Kapita Per Wilayah*)

Sumber:
Sumber: APBD 2014(Diolah),
APBD 2014(Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta

*) Tidak termasuk DKI Jakarta


C. Ruang Fiskal (Fiscal Space)

Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah
C. Ruang
dalam Fiskal
mengalokasikan APBD (Fiscal
untuk membiayai Space)
kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki
suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur
belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti pembangunan infrastruktur daerah.
fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD
untukRuangmembiayai kegiatan
fiskal daerah diperoleh denganyang menjadi
menghitung prioritas
total Pendapatan daerah.
Daerah dikurangi Semakin besar
dengan pendapatan hibah,
pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian serta
ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah, maka akan semakin besar pula
Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya mengikat, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi dengan
fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
total pendapatannya.
belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin
pembangunan infrastruktur daerah.
(Belanja Pegawai). Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus
Ruang
perekonomian daerah.fiskal daerah
Untuk itu, Pemerintahdiperoleh dengan
Daerah diharapkan menghitung
dapat membuat total
kebijakan yang Pendapatan
mampu menciptakan iklim
Daerah yang
perekonomian dikurangi dengan
kondusif. Selain pendapatan
itu, efektifitas hibah, anggaran
dan efisiensi penggunaan pendapatan yang
di daerah juga dapatsudah
mendukung
ditentukan
terciptanya penggunaannya
ruang fiskal. (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus
dan Dana Penyesuaian
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota serta Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya
mengikat, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi
Grafik 2.11 menunjukkan ruang fiskal secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Dari keseluruhan 34 provinsi,
dengan
Provinsi totalmempunyai
DKI Jakarta pendapatannya.
ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 60,64%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi DKI Jakarta
karena didukung oleh tingginya PAD yang mencapai 61,13% dari total pendapatan. Dengan ruang fiskal sebesar itu, belanja
modal yang dianggarkan pada APBD cukup besar yaitu mencapai 44,75% dari total anggaran belanja daerah.
34 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar
anggaran digunakan untuk belanja rutin (Belanja Pegawai). Memperbesar
ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi
stimulus perekonomian daerah. Untuk itu, Pemerintah Daerah diharapkan
dapat membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian
yang kondusif. Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran di
daerah juga dapat mendukung terciptanya ruang fiskal.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota


Grafik 2.11 menunjukkan ruang fiskal secara agregat provinsi, kabupaten
dan kota. Dari keseluruhan 34 provinsi, Provinsi DKI Jakarta mempunyai
ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 60,64%. Tingginya ruang fiskal di
Provinsi DKI Jakarta karena didukung oleh tingginya PAD yang mencapai
61,13% dari total pendapatan. Dengan ruang fiskal sebesar itu, belanja modal
yang dianggarkan pada APBD cukup besar yaitu mencapai 44,75% dari total
anggaran belanja daerah.

Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu


21,63%. Rendahnya ruang fiskal di Provinsi Aceh karena porsi Pendapatan
dari Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian pemerintah daerah se
Provinsi Aceh cukup besar, yaitu 31,24% dari total Pendapatan Daerah,
sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil karena pendapatan tersebut
telah dibatasi penggunaannya. Dengan demikian, Provinsi Aceh harus
memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah
yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.

Analisa Pendapatan Daerah 35


yaitu 31,24% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil karena pendapatan tersebut telah
dibatasi penggunaannya. Dengan demikian, Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan
Belanja Daerah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.

Grafik 2.11
Grafik 2.11
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
70%
Ruang Fiskal Rata2
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

Prov. Jambi
Prov. Papua
Prov. Lampung

Prov. Maluku

Prov. Banten

Prov. Riau
Prov. Bengkulu
Prov. Gorontalo

Prov. Jawa Barat

Prov. Maluku Utara


Prov. Aceh

Prov. Sumatera Barat

Prov. Kepulauan Riau


Prov. Kalimantan Timur
Prov. Jawa Tengah

Prov. DI Yogyakarta

Prov. Sumatera Utara


Prov. Jawa Timur

Prov. Sulawesi Barat


Prov. Bali

Prov. Papua Barat

Prov. Bangka Belitung


Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Kalimantan Selatan

Prov. DKI Jakarta


Prov. Sulawesi Utara
Prov. Nusa Tenggara Barat

Prov. Sulawesi Tenggara


Prov. Sulawesi Tengah

Prov. Kalimantan Barat

Prov. Sumatera Selatan


Prov. Sulawesi Selatan

Prov. Kalimantan Utara


Prov. Nusa Tenggara Timur

Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Sumber: APBD 2013 (Diolah)


Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah daerah di
Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebesar 39,31%. Dari rata-rata tersebut,
Indonesia sebesar 39,31%. Dari rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi
terdapat 14 provinsi dengan ruang fiskal yang berada di atas rata-rata nasional.
dengan ruang fiskal yang berada di atas rata-rata nasional.

2.
2. Pemerintah
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Kabupaten dan Kota Se-Provinsi

Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada satu provinsi digambarkan pada grafik 2.12.
Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada
Secara rata-rata, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82% dari total pendapatannya.
satu
Dari provinsi
rata-rata digambarkan
tersebut, terdapat 18 daerah yangpada
memiliki grafik 2.12.
ruang fiskal di bawahSecara rata-rata,
rata-rata dan pemerintah
15 daerah lainnya di atas rata-
kabupaten
rata nasional. dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82%
dari Ruang
total fiskal
pendapatannya. Daridanrata-rata
tertinggi untuk kabupaten kota terdapattersebut, terdapat
di Provinsi Kalimantan Utara18
yangdaerah
mencapai yang
sebesar
memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata dan 15 daerah lainnya di atas rata-
55,41%.Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya, yang didominasi oleh sektor
rata nasional.

Ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di Provinsi


Kalimantan Utara yang mencapai sebesar 55,41%. Tingginya angka ini
dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya, yang
didominasi oleh sektor pertambangan dan migas, serta sektor kehutanan.
Pendapatan Provinsi Kalimantan Utara didominasi oleh transfer pemerintah
pusat berupa DBH yang mencapai 50% dari total pendapatan. Sebagai daerah

36 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


otonom baru, besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan
Utara diikuti dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang mencapai
71% dari total anggaran belanja tahun 2014.

Kabupaten dan Kota yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
dan Provinsi Jawa Tengah memiliki ruang fiskal terendah, yaitu sebesar
21,19%. Ruang fiskal kedua provinsi tersebut rendah karena porsi Belanja
Pegawai kabupaten/kota di kedua provinsi tersebut mencapai lebih dari
55% dari total pendapatan. Sementara itu, komposisi Pendapatan Daerah
pemerintah kabupaten dan kota di kedua provinsi tersebut masih didominasi
oleh transfer dari pemerintah pusat terutama dari DAU yang mencapai lebih
dari 60% dari total Pendapatan Daerah. Persentase PAD terhadap total
Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah hanya sebesar 12,06%, dimana
pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 4,39% dari total
Pendapatan Daerah. Kondisi yang sama juga dialami oleh Provinsi NTB yang
memiliki persentase PAD hanya sebesar 8,74% terhadap total pendapatan,
dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 2,68% terhadap
total pendapatan. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pemerintah
daerah di Provinsi NTB dan Jawa Tengah belum mengoptimalkan pemungutan
pajak dari basis pajak yang dimilikinya.

Analisa Pendapatan Daerah 37


3.

0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Prov. Aceh
Prov. Papua Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Jawa Tengah

38Grafik 2.13
Prov. Jawa Tengah
Prov. Papua Barat Prov. Sumatera Barat

Sumber: APBD 2013 (Diolah)


Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. DI Yogyakarta

Deskripsi
Pemerintah Provinsi
Prov. DI Yogyakarta Prov. Lampung
Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Nusa Tenggara Timur
Ruang Fiskal

Ruang Fiskal
Prov. Bengkulu Prov. Sulawesi Utara

menggambarkan
Prov. Maluku Prov. Gorontalo
Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Bengkulu

dan Analisis
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Prov. Sulawesi Selatan

*) Tidak termasuk DKI Jakarta


Prov. Sulawesi Tengah
Rata2

Rata2
Prov. Sulawesi Barat

3. Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
Prov. Gorontalo

ruang fiskal
Prov. Sulawesi Utara Prov. Sulawesi Tengah

APBD
Prov. Maluku Utara Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Bangka Belitung Prov. Jawa Timur
Prov. Sumatera Barat Prov. Sumatera Utara

pada2014
Grafik
Grafik

Prov. Jambi Prov. Maluku


Grafik

Grafik 2.13
mengoptimalkan pemungutan pajak dari basis pajak yang dimilikinya.

Prov. Sulawesi Selatan Prov. Jawa Barat


2.12

Prov. Lampung Prov. Aceh

2.13
2.12

Prov. Kalimantan Barat Prov. Bali

Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi


Prov. Sulawesi Barat Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Bali Prov. Bangka Belitung
Prov. Sumatera Utara Prov. Jambi
Prov. Jawa Timur Prov. Kalimantan Barat

Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi


Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)

Prov. Jawa Barat Prov. Maluku Utara


Prov. Riau Prov. Papua Barat

fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
Prov. DKI Jakarta Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Kalimantan Tengah Prov. Banten
Prov. Banten Prov. Papua
Prov. Kalimantan Selatan Prov. Sumatera Selatan
Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)

Prov. Sumatera Selatan Prov. Riau


Prov. Kepulauan Riau Prov. Kepulauan Riau
Prov. Kalimantan Timur Prov. Kalimantan Timur
Prov. Kalimantan Utara Prov. Kalimantan Utara

provinsi memiliki ruang fiskal sebesar 60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang memiliki ruang
masing-masing pemerintah provinsi. Secara rata-rata pemerintah
Grafik 2.13 menggambarkan ruang fiskal pada masing-masing pemerintah
provinsi. Secara rata-rata pemerintah provinsi memiliki ruang fiskal sebesar
60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang
memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki
ruang fiskal di atas rata-rata nasional.

Ruang fiskal tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Utara yang mencapai


sebesar 81,94%. Tingginya angka ini karena adanya pendapatan yang tidak
dibatasi penggunaannya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan migas,
serta sektor kehutanan. Pendapatan Provinsi Kalimantan Utara didominasi
oleh transfer pemerintah pusat berupa DBH yang mencapai 65,77% dari total
pendapatan. Sebagai daerah otonom baru hasil pembentukan tahun 2013,
besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Utara perlu diikuti
dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang lebih ekspansif untuk
membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun
demikian, Provinsi Kalimantan Utara baru menganggarkan sekitar 22% dari
pendapatannya untuk belanja modal pada tahun 2014 ini.

Selain itu, Pemda Provinsi Kalimantan Timur juga memiliki ruang fiskal
yang tinggi yaitu sebesar 74,51%. Hal ini didukung dari penerimaan DBH
dan penerimaan pajak daerah yang cukup besar. Sementara itu porsi Belanja
Pegawai jumlahnya tidak terlalu besar sehingga ruang fiskal yang tersedia
masih besar. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu
memanfaatkan ruang fiskal yang tinggi tersebut untuk kegiatan yang dapat
memacu pembangunan di daerahnya untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah.

Sementara itu ,Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah yaitu


sebesar 20,22%. Hal ini disebabkan karena kontribusi terbesar pada
Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari dana otonomi
khusus yang sudah dibatasi penggunaannya.

Analisa Pendapatan Daerah 39


mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah.
Sementara itu ,Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah yaitu sebesar 20,22%. Hal ini disebabkan karena
kontribusi terbesar pada Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari dana otonomi khusus yang sudah dibatasi
penggunaannya.

4. Per Wilayah
4. PerWilayah
Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah
Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per
provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per wilayah di Indonesia. Terlihat
wilayah di Indonesia. Terlihat bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar 46,49%. Hal ini
bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar
menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka
46,49%. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang
pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi
fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka
pertumbuhan ekonomi di daerahnya.
pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya
diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi
di daerahnya.

GrafikGrafik
2.14 2.14
Ruang Fiskal Per Wilayah*)
Ruang Fiskal Per Wilayah*)
50%
Ruang Fiskal Rata2
46,49%
40%

30% 35,56% 36,30%


30,16%
27,29%
20%

10%

0%
Sulawesi Jawa-Bali Papua-Maluku-Nusa Sumatera Kalimantan
Tenggara

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta

Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa
Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu
sebagian besar daerah di wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan belanja pemerintah dalam
sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di
rangka pembangunan di daerahnya.Dengan ruang fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah diwilayah Sulawesi dapat
wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan
belanja pemerintah dalam rangka pembangunan di daerahnya. Dengan ruang
fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi dapat
mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas
daerah dan mempunyai daya ungkit (leverage) yang tinggi bagi perekonomian
daerahnya.

40 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


D. Rasio Ketergantungan Daerah
Rasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan
suatu daerah terhadap bantuan pihak eksternal, baik yang bersumber dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lain. Rasio ini ditunjukkan
oleh rasio PAD terhadap total pendapatan dan rasio dana transfer terhadap
total pendapatan. Rasio PAD terhadap total pendapatan memiliki arti
yang berkebalikan dengan rasio dana transfer terhadap total pendapatan.
Semakin besar angka rasio PAD maka ketergantungan daerah semakin kecil.
Sebaliknya, semakin besar angka rasio dana transfer, maka semakin besar
tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal. Dengan
demikian, daerah yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah adalah
daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi, sekaligus rasio dana transfer
yang rendah.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota


Grafik 2.15 menggambarkan potret rasio PAD dan dana transfer
terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan menurut provinsi.
Perhitungan dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada
satu provinsi, dan untuk selanjutnya dibagi dengan total pendapatan untuk
wilayah yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk rasio Dana Transfer,
yang terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan Dana
Penyesuaian, yang kemudian dibandingkan dengan total pendapatan daerah
tersebut. Secara agregat (provinsi, kabupaten, dan kota), rata-rata rasio PAD
terhadap pendapatan sebesar 18,08% dan rata-rata rasio Dana Transfer
terhadap Pendapatan sebesar 80,52%.

Berdasarkan hasil analisis, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang
paling tinggi, yaitu sebesar 61,13%, sekaligus rasio dana transfer terendah
yaitu sebesar 31,15%. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki
rasio PAD terendah sebesar 3,62% sekaligus rasio dana transfer tertinggi
yaitu sebesar 95,96%. Hal ini menunjukkan bahwa, Provinsi DKI Jakarta

Analisa Pendapatan Daerah 41


memiliki ketergantungan daerah yang paling rendah dibandingkan provinsi-
provinsi yang lain. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat
ketergantungan yang paling tinggi, baik dari sisi PAD yang dihasilkan maupun
dari sisi dana transfer yang diterima dari pusat.

Grafik 2.15
Rasio Rasio Ketergantungan
Ketergantungan AgregatAgregat
Provinsi,Prov/Kab/Kota
Kabupaten dan Kota
120%
PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/Pdptn
100%

80%

60%

40%

20%

0%
Prov. Jambi
Prov. Papua

Prov. Banten
Prov. Maluku

Prov. Riau
Prov. Lampung

Prov. Jawa Barat


Prov. Maluku Utara

Prov. Bengkulu

Prov. Gorontalo

Prov. Kalimantan Tengah


Prov. Bangka Belitung

Prov. Sumatera Barat

Prov. Kepulauan Riau

Prov. Kalimantan Timur

Prov. Bali
Prov. Papua Barat

Prov. Sulawesi Barat

Prov. Aceh

Prov. Sumatera Utara

Prov. Jawa Tengah


Prov. Kalimantan Selatan
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Jawa Timur

Prov. DKI Jakarta


Prov. Sulawesi Utara
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Sulawesi Tengah

Prov. Sumatera Selatan

Prov. Kalimantan Barat


Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Kalimantan Utara

Prov. Nusa Tenggara Timur

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2013 (Diolah)

Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut
khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak yang menempatkan
disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah
DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki
dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak
tingkat ketergantungan tertinggi disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah
yang menempatkan DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan
tersebut, dan tingginya dana transfer yang diterima.
provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki tingkat
2. ketergantungan
Pemerintah Kabupatentertinggi disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak
dan Kota Se-Provinsi
daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut, dan tingginya dana transfer
Pada Grafik 2.16 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah adalah 8,5%, sedangkan rata-rata
yang
rasio dana diterima.
transfer terhadap Pendapatan Daerahmencapai91,2%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana transfer masih sangat tinggi.

Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di
Provinsi Bali yang mencapai 31,6%, sedangkan yang terendah adalah di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi
Papua Barat yaitu hanya sebesar 2,4%.

42 Deskripsi dan Analisis APBD 2014Grafik 2.16


Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi *)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Pada Grafik 2.16 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD terhadap Pendapatan
Daerah adalah 8,5%, sedangkan rata-rata rasio dana transfer terhadap
Pendapatan Daerah mencapai 91,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
ketergantungan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana
transfer masih sangat tinggi.

Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada seluruh


pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali yang mencapai
31,6%, sedangkan yang terendah adalah di pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota di Provinsi Papua Barat yaitu hanya sebesar 2,4%.

Grafik 2.16
Rasio Ketergantungan Kab/Kota
Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi *)
100%

80%

60%

40%

20%

0%
Prov. Jambi
Prov. Papua
Prov. Maluku

Prov. Lampung

Prov. Riau

Prov. Banten
Prov. Jawa Barat
Prov. Bengkulu

Prov. Maluku Utara

Prov. Sumatera Barat

Prov. Gorontalo
Prov. Papua Barat
Prov. Sulawesi Barat

Prov. Kalimantan Tengah

Prov. Aceh

Prov. Kalimantan Timur

Prov. Kalimantan Selatan

Prov. Bangka Belitung

Prov. Bali
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Tengah
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Jawa Timur
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Sulawesi Tengah

Prov. Sulawesi Tenggara

Prov. Kalimantan Barat


Prov. Sumatera Selatan

Prov. Nusa Tenggara Barat


Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Kalimantan Utara

Prov. Nusa Tenggara Timur

PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/Pdptn


Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak
Sumber: termasuk
APBD 2013 DKI
(Diolah), *) Tidak Jakarta
termasuk DKI Jakarta

Sementara itu, rasio dana transfer terhadap pendapatan yang tertinggi terdapat di pemerintah kabupaten dan
Sementara
pemerintah kota di Provinsiitu,
Papuarasio dana
dan Provinsi Papuatransfer terhadap
Barat yang mencapai pendapatan
sebesar 97,4%, sedangkanyang tertinggi
yang terendah adalah
terdapat
pemerintah di pemerintah
kabupaten dan pemerintah kotakabupaten dan
di Provinsi Bali yang pemerintah
mencapai kota
sebesar 68,4%. di Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat yang mencapai sebesar 97,4%, sedangkan yang
3.terendah adalah
Pemerintah Provinsi pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali
yangUntuk
mencapai sebesar
tingkat pemerintah 68,4%.
provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio
dana transfer terhadap pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18 pemerintah provinsi yang memiliki
rasio PAD terhadap pendapatan di atas rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana transfer
Analisa Pendapatan Daerah 43
terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat
bergantung bantuan dana dari pihak eksternal.

Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%,
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat pemerintah provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap
pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio dana transfer terhadap
pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18
pemerintah provinsi yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan di atas
rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana
transfer terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini
menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat bergantung bantuan
dana dari pihak eksternal.

Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang


paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%, sedangkan Pemerintah Provinsi Papua
Barat memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 3,87%. Sebaliknya, rasio
dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di Provinsi
Papua Barat sebesar 96,13%, sedangkan yang terendah terdapat di Provinsi
DKI Jakarta, yaitu sebesar 31,15%.

Grafik 2.17
RasioRasio Ketergantungan
Ketergantungan Provinsi
Pemerintah Provinsi
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Prov. Jambi
Prov. Papua

Prov. Maluku

Prov. Riau

Prov. Lampung

Prov. Banten
Prov. Jawa Barat
Prov. Maluku Utara

Prov. Gorontalo

Prov. Bengkulu

Prov. Kalimantan Tengah

Prov. Sumatera Barat


Prov. Papua Barat

Prov. Aceh

Prov. Sulawesi Barat

Prov. Bangka Belitung


Prov. Kepulauan Riau

Prov. DI Yogyakarta

Prov. Kalimantan Timur

Prov. Bali
Prov. Sulawesi Utara

Prov. Sumatera Utara


Prov. Jawa Tengah
Prov. DKI Jakarta
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Jawa Timur
Prov. Sulawesi Tenggara

Prov. Sulawesi Tengah

Prov. Sumatera Selatan

Prov. Nusa Tenggara Barat

Prov. Kalimantan Barat

Prov. Sulawesi Selatan


Prov. Kalimantan Utara

Prov. Nusa Tenggara Timur

PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/Pdptn


Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2013 (Diolah)

4. Per Wilayah
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
44 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
ketergantungan daerah pada 5 kelompok wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.

Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Prov
Prov.
Prov.
Prov. Nu
Pr

Pro

Pr

Prov
Prov

Pro
Pr
Prov.

Pr

Pr
Prov. N

Prov.

Prov.
PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/Pdptn

Sumber: APBD 2013 (Diolah)

4. Per Wilayah
4. Per Wilayah
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
untuk menunjukkan
ketergantungan seberapa
daerah pada 5 kelompok besar
wilayah yang memilikiketergantungan
karakteristik pendapatandaerah
yang sama.pada 5 kelompok
wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)Per Wilayah
Agregat Prov/Kab/Kota
100%

80%

60%

40%

20%

0%
Papua-Maluku-Nusa Kalimantan Sulawesi Sumatera Jawa-Bali
Tenggara
PAD/Pdptn TRANSFER/Pdptn RATA2 PAD/Pdptn RATA2 TRANSFER/Pdptn

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


*) Tidak termasuk DKI Jakarta

Berdasarkan pembagian 5 wilayah, secara rata-rata rasio PAD terhadap


total pendapatan hanya sebesar 9,04%, sedangkan rata-rata rasio dana
transfer terhadap total pendapatan mencapai sebesar 84,01%. Rasio PAD
terhadap total pendapatan di wilayah Jawa dan Bali mempunyai rasio yang
paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 27,6%.
Hal ini membuktikan bahwa kemampuan pemerintah daerah di wilayah Jawa
dan Bali dalam menghasilkan sumber-sumber PAD relatif cukup tinggi. Hal ini
berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang rasio PAD
terhadap total pendapatannya sangat rendah, yang hanya mencapai 4,63%.

Namun demikian, secara umum ke-5 wilayah tersebut masih memiliki


rasio PAD terhadap total pendapatan rata-rata di bawah 50% (sekitar 16%),
yang berarti masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pusat.

Analisa Pendapatan Daerah 45


Berdasarkan analisis terhadap rasio dana transfer terhadap pendapatan,
wilayah Jawa dan Bali memiliki angka yang paling rendah, yaitu 73,14%.
Walaupun angka tersebut masih besar, namun apabila dibandingkan dengan
wilayah lainnya, rasio ini menunjukkan bahwa wilayah Jawa dan Bali memiliki
tingkat ketergantungan dengan dana transfer yang paling rendah. Sementara
itu, rasio dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di
wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang mencapai sebesar 92,97%.
Ini berarti wilayah tersebut memiliki rasio ketergantungan daerah yang tinggi.

E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD


Salah satu permasalahan yang sering disampaikan oleh daerah dalam
penyusunan APBD adalah terlambatnya informasi alokasi dana Transfer ke
Daerah yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Terlambatnya informasi
alokasi Transfer ke Daerah dari Kementerian Keuangan yang diterima oleh
daerah mempengaruhi perencanaan APBD, terutama dari sisi pendapatan.
Kepastian jumlah pendapatan akan mempengaruhi besaran belanja yang
akan direncanakan oleh pemerintah daerah.

Sebagai gambaran, alokasi dana transfer tahun 2014 dalam UU APBN


yang disahkan tanggal 14 November 2013 mencapai Rp592,5 triliun,
terdiri dari alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian. Berdasarkan UU APBN tersebut, alokasi Dana Alokasi Khusus
per daerah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
180/PMK.07/2013 tanggal 13 Desember 2013. Selain itu, informasi alokasi
Dana Alokasi Umum (DAU) per daerah ditetapkan melalui Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 2 Tahun 2014 telah dipublikasikan pada tanggal 27
Januari 2014, sedangkan informasi alokasi DBH tahun 2014 yang dimuat
dalam PMK baru dapat diterbitkan pada bulan Mei 2014. Namun demikian,
untuk mempercepat penyampaian informasi alokasi yang diterima oleh
setiap daerah, Kementerian Keuangan telah mengunggah informasi tersebut

46 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


ke website www.djpk.depkeu.go.id setelah UU APBN disahkan pada rapat
raripurna DPR pada tanggal 14 November 2013.

Untuk melihat apakah keterlambatan informasi alokasi masih menjadi


permasalahan dalam penetapan APBD, pada bagian ini akan disajikan
mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK)
yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana Perimbangan
sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Deviasi negatif
diperoleh jika besaran alokasi dalam APBD lebih kecil daripada alokasi dari
Kementerian Keuangan. Hal ini juga berarti pemerintah daerah bersikap
pesimistis terhadap alokasi yang akan diterima tahun berikutnya. Sebaliknya,
deviasi positif diperoleh ketika pemerintah daerah bersikap optimis.

Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan Pemerintah


dengan penetapan dalam APBD, secara umum dapat disimpulkan bahwa
pengumuman alokasi Dana Perimbangan yang dilakukan segera setelah
pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat dimanfaatkan oleh daerah dalam
menyusun APBD. Hal ini terbukti dari banyaknya daerah yang mengalokasikan
DAU dan DAK pada APBD sama besar dengan penetapan pemerintah pusat.
Adapun untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan terlambat, yaitu
pada Mei 2014 atau setelah APBD ditetapkan oleh daerah, menunjukkan
gambaran bahwa seluruh daerah mengalokasikan berbeda dengan alokasi
dalam PMK.

Berdasarkan hal di atas, dapat disampaikan bahwa peranan kecepatan


informasi transfer mempunyai peran penting dalam menekan rendahnya
deviasi alokasi transfer pada APBD. Satu hal yang perlu dicermati bahwa
deviasi yang terlalu besar, akan mengakibatkan eksekusi APBD menjadi
terkendala. Dalam hal dianggarkan jauh terlalu rendah dalam APBD
maka akan terjadi potensi pelampauan pendapatan yang lebih lanjut akan
berpotensi pada terbentuknya dana idle daerah yang tidak dapat digunakan
untuk mendanai belanja publik. Di sisi lain, apabila dianggarkan oleh daerah
jauh terlalu tinggi juga akan mengganggu ketersediaan dana untuk mendanai

Analisa Pendapatan Daerah 47


belanja yang telah direncanakan, sehingga kegiatan yang didanai dari APBD
dapat mengalami keterlambatan, atau bahkan tidak dapat diselesaikan.

1. Dana Bagi Hasil (DBH)


Dalam APBN tahun 2014, DBH yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2013 tentang APBN adalah sebesar Rp113,71 triliun,
yang terdiri dari DBH Pajak sebesar Rp51,78 triliun dan DBH SDA sebesar
Rp61,92 triliun. Sementara, dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur tentang alokasi DBH per daerah (bersifat perkiraan), jumlah
yang dialokasikan adalah sebesar Rp104,228 triliun. Adapun total alokasi
DBH dalam APBD 2014 adalah sebesar Rp108,042 triliun, yang sedikit lebih
besar daripada jumlah alokasi dalam PMK.

Secara total, deviasi alokasi antara APBD dan PMK hanya 3,66%,
tetapi apabila dilihat per daerah, deviasi tertinggi dalam nominal mencapai
Rp5,69 triliun dan dalam persentase mencapai 202,16%. Jumlah daerah
dengan deviasi positif (alokasi DBH dalam APBD lebih besar daripada alokasi
PMK) lebih sedikit daripada jumlah daerah dengan deviasi negatif, dengan
perbandingan 190:349. Berikut disajikan daerah-daerah dengan persentase
deviasi tertinggi.

Tabel 2.1
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DBH Tertinggi

Daerah Deviasi Alokasi (Rp) Persentase Deviasi Tanggal Perda

Kab. Mahakam Ulu (354,938,727,913) -92.78% 31 Dec 2013

Kab. Sabu Raijua (5,187,440,704) -91.72% 11 Dec 2013

Kab. Sumba Tengah (8,489,243,739) -80.07% 24 Dec 2013

Kab. Tambrauw (26,989,158,311) -77.34% 27 Dec 2013

Kab. Landak (28,145,062,644) -72.69% 30 Dec 2013

Sumber: DJPK (2014), data diolah

48 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Tabel 2.1 di atas menunjukkan lima daerah yang memiliki persentase
deviasi negatif tertinggi. Persentase deviasi yang diperoleh dari lima pemerintah
daerah tersebut seluruhnya merupakan pemerintah daerah kabupaten yang
berada pada wilayah Kalimantan, serta Nusa Tenggara dan Papua. Kelima
daerah tersebut menganggarkan pendapatan DBH pada APBD terlalu pesimis
hingga sekitar 90% di bawah alokasi yang akan diterimanya.

Tabel 2.2
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DBH Tertinggi

Daerah Deviasi Alokasi (Rp) Persentase Deviasi Tanggal Perda

Kab. Mamuju 28.146.732.024 101,05% 31 Des 2013

Kab. Nagan Raya 27.128.958.019 101,67% 30 Des 2013

Kab. Tanah Karo 19.178.771.472 101,72% -

Kab. Labuhanbatu Selatan 30.187.140.867 109,61% 03 Mar 2014

Kab. Raja Ampat 121.884.664.177 202,16% 27 Des 2013

Sumber: DJPK (2014), data diolah

Daerah yang melakukan penganggaran dengan optimis akan mengalami


deviasi yang positif atas alokasinya. Kabupaten Raja Ampat menganggarkan
DBH pada APBD dua kali lebih tinggi daripada alokasi DBH pada PMK
alokasi. Dengan persentase tersebut, Kabupaten Raja Ampat memiliki deviasi
penganggaran DBH tertinggi. Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang cukup
lambat dalam penetapan perda APBD mengalami deviasi positif anggaran
DBH tertinggi kedua.

Secara umum, deviasi antara alokasi DBH pada APBD dan PMK terjadi
pada seluruh daerah. Hal ini terjadi karena informasi alokasi DBH belum
ditetapkan sampai saat APBD ditetapkan.

Analisa Pendapatan Daerah 49


2. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp341,2
triliun. Peraturan Presiden yang mengatur alokasi per daerah telah ditetapkan
pada tanggal 27 Januari 2014. Sementara itu, DAU dalam APBD dialokasikan
sebesar Rp341,34 triliun atau relatif sama besar dengan alokasi dari
pemerintah pusat, sehingga secara total deviasi antara APBD dan Perpres
relatif tidak signifikan (Rp120,69 juta).

Jika dilihat per daerah, sebanyak 490 daerah mengalokasikan DAU sama
dengan yang ditetapkan pemerintah pusat, dimana 32 daerah mengalokasikan
DAU dengan rentang deviasi +1%, serta 17 daerah dengan deviasi lebih dari
+1%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengumuman informasi
alokasi yang dilakukan beberapa saat setelah rapat paripurna DPR RI yang
mengesahkan RUU APBN 2014 menjadi UU telah diterima dengan baik oleh
sebagian besar pemerintah daerah.

Walaupun begitu, masih terdapat beberapa daerah yang memiliki deviasi


cukup besar walaupun informasi alokasi untuk daerah mereka masing-
masing telah dipublikasikan. Tabel 2.3 berikut ini menunjukkan lima daerah
dengan persentase deviasi alokasi DAU negatif tertinggi. Kabupaten Bengkalis
merupakan daerah dengan persentase deviasi negatif tertinggi dan paling
lambat dalam menetapkan APBD dibandingkan 4 daerah lain. Keempat
daerah lainnya yang memiliki deviasi negatif dibawah 27% menetapkan
APBD sebelum Perpres Alokasi DAU ditetapkan.

Tabel 2.3
Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif Tertinggi

Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda

Kab. Bengkalis (50.961.070.569) -59,41% 20 Mar 2014

Kab. Sumba Tengah (111.548.944.000) -26,97% 24 Des 2013

Kab. Kepulauan Sitaro (60.442.761.000) -15,09% 20 Jan 2014

50 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda

Kab. Balangan (31.589.190.000) -9,90% 17 Des 2013

Kab. Aceh Barat (42.832.065.000) -7,78% 16 Des 2013

Sumber: DJPK (2014), data diolah

Sementara itu, Kabupaten Banggai Kepulauan merupakan daerah dengan


persentase deviasi positif tertinggi meskipun perda APBD ditetapkan setelah
Perpres Alokasi DAU ditetapkan. Seluruh daerah yang menganggarkan
DAU terlalu optimis menetapkan perda APBD setelah Perpres Alokasi DAU
ditetapkan kecuali Kota Bandar Lampung yang memiliki deviasi positif sebesar
10,48% dibandingkan alokasi DAU yang diperolehnya.

Tabel 2.4
Daftar Daerah Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi

Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda

Kota Dumai 17.250.322.831 4,79% 17 Apr 2014

Kota Bandar Lampung 96.611.339.010 10,48% 27 Sep 2013

Kab. Minahasa Tenggara 60.579.834.000 17,81% 05 Feb 2014

Kab. Sumba Barat Daya 111.548.944.000 36,93% 04 Feb 2014

Kab. Banggai Kepulauan 140.679.186.419 40,54% 04 Apr 2014

Sumber: DJPK (2014), data diolah

3. Dana Alokasi Khusus (DAK)


Pada APBN 2013, pemerintah pusat mengalokasikan DAK sebesar
Rp31,7 triliun yang terdiri dari Rp29,7 triliun dialokasikan untuk 19 bidang
dan bagi seluruh pemerintah daerah, serta Rp2 triliun yang dialokasikan
untuk infrastruktur jalan dan pendidikan bagi 183 daerah tertinggal. Dari
539 daerah, terdapat 11 daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAK dan
seluruh daerah tersebut tidak menganggarkan DAK pada APBD. PMK alokasi

Analisa Pendapatan Daerah 51


DAK ditetapkan lebih awal dibandingkan alokasi DAU yaitu pada tanggal 13
Desember 2013.

Sementara itu, alokasi DAK pada APBD mencapai sebesar Rp33 triliun
dan anggaran DAK pada APBD 539 daerah berjumlah Rp32,83 triliun.
Dibandingkan dengan total DAK yang ditetapkan pemerintah pusat, deviasi
yang terjadi tidak signifikan, yaitu hanya -0,49%. Jika dibandingkan per
daerah, pola yang sama dengan DAU terjadi pada DAK, yaitu 490 daerah
mengalokasikan sama besar dengan DAK yang ditetapkan pemerintah pusat,
32 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi dalam rentang +1%, serta
17 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi diatas rentang +1%.

Dari tabel 2.8 di atas dapat dilihat bahwa masih terdapat daerah yang
tidak menganggarkan DAK pada APBD sehingga mengakibatkan deviasi
daerah tersebut menjadi sebesar 100%. Kab Bekasi menjadi daerah yang
memiliki deviasi dengan nominal terbesar sekaligus persentase terbesar.
Lima daerah yang memiliki persentase deviasi negatif tertinggi sebagaimana
terlihat pada tabel di bawah ini disebabkan karena daerah tersebut tidak
menganggarkan DAK pada APBD-nya. Jika dilihat dari penetapan APBD
kelima daerah tersebut, seharusnya informasi DAK yang mereka peroleh
sudah dapat ditampung dalam APBD.

Tabel 2.5
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi

Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda

Kab. Bekasi (111.171.910.000) -100,00% 24 Jan 2014

Kab. Mappi (97.101.660.000) -100,00% 06 Jun 2014

Kota Tarakan (3.786.510.000) -100,00% 31 Des 2013

Kab. Bengkalis (24.753.430.096) -69,26% 20 Mar 2014

Prov. Kalimantan Selatan (29.189.940.000) -53,87% 27 Des 2013

Sumber: DJPK (2014), data diolah

52 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Kabupaten Kepulauan Meranti menjadi daerah yang menganggarkan
DAK tahun 2014 terlalu optimis, dengan persentase deviasi hingga mencapai
900%, Kabupaten Kepulauan Meranti mengalami deviasi penganggaran
DAK sebesar Rp17,9 Miliar. Kabupaten tersebut menganggarkan DAK terlalu
optimis meskipun tanggal penetapan APBD jauh setelah PMK alokasi DAK
ditetapkan. Kecuali Kota Bandar Lampung, daerah yang mengalami deviasi
DAK terbesar ini menetapkan perda APBD setelah informasi alokasi DAK
dapat diperoleh daerah.

Tabel 2.6
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK Tertinggi

Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda

Kota Singkawang 19.657.451.132 41,07% 23 Mei 2014

Kota Bandar Lampung 22.186.410.000 51,79% 27 Sep 2013

Kab. Rokan Hulu 10.076.807.960 95,22% 22 Mei 2014

Kab. Tanjung Jabung Barat 2.075.221.402 115,14% 10 Apr 2014

Kab. Kepulauan Meranti 17.963.795.695 923,69% 02 Apr 2014

Sumber: DJPK (2014), data diolah


Analisa Belanja Daerah 53


BAB III
ANALISIS BELANJA DAERAH

Dalam dua belas tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia,


titik beratnya diletakkan pada desentralisasi di sisi pengeluaran (expenditure
assignment) yang ditandai dengan adanya pembagian urusan pada berbagai
tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang terdiri
dari urusan wajib dan pilihan. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan
kewenangan/urusan tersebut dan sesuai dengan prinsip money follow function,
pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah
kepada pemerintah daerah. Jumlah Transfer ke Daerah memiliki tren yang
meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN.

Dalam APBN tahun 2014, alokasi Transfer ke Daerah mencapai sebesar


Rp592,5 triliun, yang berarti sekitar 32% dari total belanja APBN telah
diserahkan pengelolaannya kepada daerah yang diikuti dengan adanya diskresi
yang sangat besar. Hal tersebut diharapkan dapat mempengaruhi pola belanja
di daerah yang mampu mendorong adanya peningkatan kinerja pelayanan
publik di daerah. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah
dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan
sumber-sumber pendanaan melalui kebijakan perencanaan dan penganggaran
yang sejalan dengan prioritas dan kebutuhan di daerah.

Implementasi atas kebijakan perencanaan dan penganggaran tersebut


adalah melalui Belanja Daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Anggaran Belanja Daerah akan mempunyai peran riil dalam
peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi
perekonomian daerah apabila dapat direalisasikan dengan baik. Dengan
demikian, Belanja Daerah seharusnya dapat menjadi komponen yang

54 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


penting dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber
daya ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, yang pada
gilirannya diharapkan akan memberikan dampak nyata pada perekonomian
daerah secara luas.

Anggaran Belanja Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan


potret pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait
program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran.
Penyusunan anggaran Belanja Daerah dapat menunjukkan apakah suatu
daerah pro poor, growth, and jobs. Pada komponen Belanja Daerah juga
nampak seberapa besar porsi belanja langsung yang dapat mendorong
pertumbuhan perekonomian daerah dan terkait langsung dalam pemenuhan
pelayanan kepada masyarakat.

Untuk menggambarkan seberapa besar belanja pemerintah daerah yang


digunakan dalam upaya untuk menyejahterakan penduduk di suatu daerah,
dapat digunakan berbagai macam tool, misalnya dengan pengukuran rasio
Belanja Daerah terhadap jumlah penduduk (Belanja Daerah per kapita).
Semakin besar nilai rasio Belanja Daerah per kapita, semakin besar belanja
yang dikeluarkan untuk menyejahterakan satu orang penduduk wilayah
tersebut sehingga semakin besar kemungkinan tercapainya. Sebaliknya,
semakin kecil angka rasionya, semakin kecil dana yang disediakan pemda
untuk menyejahterakan penduduknya.

Namun demikian, rasio ini juga dirinci lagi menjadi per jenis belanja
sehingga akan lebih menggambarkan kontribusi dari setiap jenis belanja
sebagai faktor yang mendorong peningkatan kualitas layanan publik. Berbagai
macam pengukuran rasio belanja akan disajikan pada bab ini. Pada prinsipnya,
dalam tataran kebijakan, untuk menuju pelaksanaan Belanja Daerah yang
berdampak positif kepada masyarakat perlu diupayakan agar pemerintah
daerah mempercepat realisasi belanjanya dan menjalankan kebijakan belanja
yang baik, antara lain dengan mendorong agar proses penetapan Perda APBD
dapat dilakukan secara tepat waktu, menetapkan anggaran Belanja Modal

Analisa Belanja Daerah 55


yang lebih besar dan tepat sasaran, mempertajam penggunaan anggaran
Belanja Pegawai, dan sebagainya.

A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja


Daerah
Mengingat bahwa proporsi belanja pegawai menempati porsi terbesar
dalam APBD, perlu kita hitung rasio belanja pegawai terhadap total belanja
daerah. Tujuan penghitungan rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja
Daerah adalah untuk mengetahui proporsi Belanja Pegawai terhadap total
Belanja Daerah. Data Belanja Pegawai di sini adalah penjumlahan dari
Belanja Pegawai langsung dan Belanja Pegawai tidak langsung. Rasio ini
menggambarkan bahwa semakin tinggi angka rasionya maka semakin
besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai. Begitu pula
sebaliknya, semakin kecil angka rasio Belanja Pegawai maka semakin kecil
proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai APBD.

Mengingat jumlah guru mendominasi jumlah keseluruhan dari Pegawai


Negeri Sipil Daerah (PNSD), maka menjadi penting untuk melihat proporsi
jumlah guru terhadap total PNSD di suatu daerah. Selama ini banyak pihak
yang menyoroti dan mengkritisi mengenai jumlah Belanja Pegawai yang dinilai
terlalu besar dalam APBD. Kritik tersebut didasarkan pada argumen bahwa
hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya alokasi untuk Belanja Modal
yang nota bene dipandang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat.

Namun demikian, dalam peraturan perundangan disebutkan bahwa


Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya dengan prioritas kepada pelaksanaan urusan
daerah yang sifatnya wajib. Salah satu urusan wajib adalah bidang pendidikan,
sehingga belanja untuk gaji guru sebenarnya dilakukan dalam rangka untuk
mendukung pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib.

56 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah

Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja


Pegawai terhadap total Belanja Daerah sebesar 40,87%. Rasio ini lebih
rendah apabila dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya yang
mencapai rata-rata 42,78% pada tahun 2013 dan sebesar 44,7% pada
tahun 2012. Meskipun relatif kecil, penurunan rasio belanja pegawai secara
konsisten dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya upaya
rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah. Rasio belanja pegawai agregat
provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 15
provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 19 provinsi
yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang melebihi rata-rata nasional.
Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Provinsi DKI
Jakarta, yaitu sebesar 22,79%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio
yang paling besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan rasio yang mencapai
sebesar 51,62%.

Grafik 3.1 menunjukkan adanya 3 provinsi yang memiliki rasio belanja


pegawai lebih dari 50%, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, dan Provinsi Jawa Tengah, meskipun rasionya masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian,
karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan
sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai.
Dengan kata lain, kondisi tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya
sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan
kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik.

Analisa Belanja Daerah 57


dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut
hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai.Dengan kata lain, kondisi
tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan
kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik.
Grafik
Grafik 3.13.1
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
60%
51,62%
50%
40,87%
40%

30% 22,79%
20%

10%

0%
Riau
Banten

Maluku

Lampung
Maluku Utara

Jawa Barat

Gorontalo

Bengkulu
Papua Barat

Kepulauan Riau

Aceh
Kalimantan Selatan

Bangka Belitung

Jambi

Sulawesi Barat
Bali

DI Yogyakarta
Sumatera Barat
DKI Jakarta

Papua

Jawa Timur

Sulawesi Utara
Sumatera Utara

Jawa Tengah
Sumatera Selatan

Kalimantan Barat

Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tengah

Sulawesi Selatan

Nusa Tenggara Barat


Kalimantan Utara

Kalimantan Timur

Kalimantan Tengah

Nusa Tenggara Timur


Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)

b.b. Rasio
Rasio Jumlah
Jumlah Guru
Guru Terhadap PNSDTerhadap PNSD

Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah


Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih
tinggi dibandingkan dengan rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi sebelumnya, peningkatan
guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih tinggi dibandingkan dengan
rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah
rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi
semakin rasional dalam alokasi belanja pegawainya yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun
sebelumnya, peningkatan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan
besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat provinsi,
rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah
kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata
semakin
nasional, rasional
sedangkan dalam
14 provinsi alokasi
yang lain belanja
memiliki rasio di atas pegawainya yang yang
rata-rata nasional. Provinsi ditunjukkan dengan
memiliki rasio paling kecil
semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS
yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD
agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan
adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata nasional,
sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional.
Provinsi yang memiliki rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah,
yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang
paling besar adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%.

58 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar
adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%.

Grafik 3.2
Grafik 3.2
Rasio Jumlah Guru
Rasio Jumlah terhadap
Guru terhadap Total PNSD
Total PNSD
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
70% 64,0%
60% 51,0%
50%
43,6%
40%
30%
20%
10%
0%
Riau

Lampung

Banten

Maluku
Maluku Utara

Jawa Barat
Bengkulu

Gorontalo
Bali

Kepulauan Riau

Sulawesi Barat

Papua Barat
Jambi

Bangka Belitung
Aceh

Kalimantan Selatan

Papua

Sulawesi Utara

Jawa Timur

DI Yogyakarta

Sumatera Barat
Jawa Tengah

Sumatera Utara

DKI Jakarta
Sulawesi Tenggara

Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah

Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Selatan

Sumatera Selatan

Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur

Nusa Tenggara Timur

Sumber:
Sumber: DJPK
DJPK (Data Diolah)(Data Diolah)

2.2. Pemerintah
Pemerintah Kabupaten Kabupaten
dan Kota se-Provinsi dan Kota se-Provinsi
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Grafik 3.3 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap
Grafik Dari
total belanjanya. 3.3grafik
memperlihatkan rasiorasio
tersebut terlihat bahwa semua belanja pegawai
belanja pegawai pemerintah
pemerintah kabupaten
kabupaten dan pemerintah kota

dan pemerintah
se-provinsi kota
memiliki rasio di atas se-provinsi
30%, kecuali terhadap
Provinsi Kalimantan totaldanbelanjanya.
Utara (25,94%) Provinsi Kalimantan Dari grafik
Timur (29,72%).
Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total
tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten
belanjanya pada APBD 2014 adalah sebesar 48,61%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata tahun
dan pemerintah kota se-provinsi memiliki rasio di atas 30%, kecuali Provinsi
2013 yaitu sebesar 49,26% dan tahun 2012 yang mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan
Kalimantan Utara (25,94%) dan Provinsi Kalimantan Timur (29,72%).
pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari
Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan
angka rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih rendah, dan 19 provinsi memiliki
pemerintah
rasio belanja pegawaikotayang se-provinsi terhadap
lebih besar. Pemerintah total
kabupaten dan belanjanya pada APBD
pemerintah kota se-Provinsi 2014
Daerah Istimewa
adalah sebesar
Yogyakartamemiliki 48,61%,
rasio belanja yangyaituberarti
pegawai terbesar, lebih sedangkan
sebesar 59,42%, rendahpemerintah
apabila dibandingkan
kabupaten dan pemerintah
dengan
kota rata-rata
se-Provinsi tahun
Kalimantan Utara 2013
memiliki yaitu
rasio belanja sebesar
pegawai 49,26%
terhadap belanja dan yaitu
daerah terkecil, tahun 2012
sebesar 25,94%.yang

mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan


pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan hampir setengah belanja
daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari angka rata-rata
tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih

Analisa Belanja Daerah 59


rendah, dan 19 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar.
Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai terbesar, yaitu sebesar 59,42%,
sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Kalimantan
Utara memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil, yaitu
sebesar 25,94%.

Grafik 3.3
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
35%
30,08%
30%
25%
20% 17,65%
15%
8,21%
10%
5%
0%
Banten

Maluku
Jawa Barat

Riau

Lampung

Gorontalo

Maluku Utara
Bengkulu
Papua Barat

Jambi
Bali
Papua

Aceh

Kepulauan Riau

Sumatera Utara

Jawa Timur

Jawa Tengah
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan

Bangka Belitung
DI Yogyakarta

Sumatera Barat

DKI Jakarta

Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Tenggara
Sumatera Selatan
Kalimantan Utara

Sulawesi Selatan

Kalimantan Barat
Kalimantan Timur

Kalimantan Tengah

Nusa Tenggara Timur

Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah)2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
4. Per Wilayah

a.b. Rasio Jumlah


Rasio Belanja PegawaiGuru
terhadapTerhadap PNSD
Total Belanja Daerah
Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah. Berdasarkan grafik
Grafik 3.4 memperlihatkan rasio jumlah guru pemerintah kabupaten dan
tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan
pemerintah kota se-provinsi terhadap total PNSD-nya. Dari grafik tersebut
wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total
terlihat bahwa semua rasio jumlah guru terhadap total PNSD kabupaten
belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi
dan kota se-provinsi di atas 45%, dengan rata-rata sebesar 54,7%. Dengan
mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja
demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi
daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.
mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawai daerahnya untuk
Grafik 3.6
membayar gaji guru daerah. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah

60 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat kabupaten dan kota untuk
setiap provinsi menunjukkan bahwa 19 provinsi rasio jumlah guru terhadap
total PNSD-nya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 14 provinsi
yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki
rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 46,9%,
sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah
Provinsi Maluku yang mencapai sebesar 62,9%.

Grafik 3.4
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
70% 62,9%
60% 54,7%
50% 46,9%
40%
30%
20%
10%
0%
Riau

Lampung
Bengkulu

Maluku Utara

Jawa Barat

Banten

Maluku
Bali

Kepulauan Riau

Gorontalo
Aceh

Kalimantan Selatan

Papua

Jawa Timur
Sulawesi Barat

Papua Barat

Jambi
Sulawesi Utara

Jawa Tengah

Sumatera Barat
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Sulawesi Tenggara

Nusa Tenggara Barat


Sulawesi Tengah

Sulawesi Selatan

Sumatera Selatan
Kalimantan Barat

Sumatera Utara
Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur

Nusa Tenggara Timur

Sumber: DJPK (Data Diolah)


*)Sumber:
Tidak termasukDJPK 2013
DKI Jakarta (Data Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi

a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah


3. Pemerintah Provinsi
Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh Indonesia memiliki persentase rata-rata

a. Rasio
sebesar Belanja
17,65%, yang Pegawai
berarti lebih terhadap
rendah apabila Total
dibandingkan denganBelanja
rasionya di Daerah
tahun 2013, yaitu sebesar 19,33% dan
tahun 2012 yang hanya mencapai sebesar 21%. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang
Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh
lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5
Indonesiabahwa
memperlihatkan memiliki
pemerintahpersentase rata-rata
provinsi yang memiliki sebesar
rasio belanja pegawai17,65%,
terbesar adalahyang berarti
Pemerintah lebih
ProvinsiBengkulu
rendah
dengan apabila
rasio sebesar dibandingkan
30,08%, dengan
sedangkan pemerintah rasionya
provinsi yang di tahun
memiliki rasio 2013,
belanja pegawai yaitu
terkecil adalahsebesar
Pemerintah
19,33%Barat
ProvinsiPapua danyaitutahun 2012Grafik
sebesar 8,21%. yang hanya
tersebut mencapai
menunjukkan bahwa rasiosebesar 21%.
belanja pegawai Dariprovinsi
pemerintah jumlahrelatif
lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi.

Analisa Belanja Daerah 61


tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih
rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki
rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5 memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi
yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemerintah Provinsi
Bengkulu dengan rasio sebesar 30,08%, sedangkan pemerintah provinsi yang
memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemerintah Provinsi Papua
Barat yaitu sebesar 8,21%. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja
pegawai pemerintah provinsi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan
rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi.

Grafik 3.5
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi

35%
30,08%
30%
25%
20% 17,65%
15%
8,21%
10%
5%
0%
Banten

Maluku
Jawa Barat

Riau

Lampung

Gorontalo

Maluku Utara
Bengkulu
Papua Barat

Jambi
Bali
Papua

Aceh

Kepulauan Riau

Sumatera Utara

Jawa Timur

Jawa Tengah
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan

Bangka Belitung
DI Yogyakarta

Sumatera Barat

DKI Jakarta

Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Tenggara
Sumatera Selatan
Kalimantan Utara

Sulawesi Selatan

Kalimantan Barat
Kalimantan Timur

Kalimantan Tengah

Nusa Tenggara Timur

Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah)2014 (Diolah)

4. Per
4.
Wilayah
Per Wilayah

a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah


a. Rasio Belanja
Grafik 3.6 Pegawai
memperlihatkan terhadap
rasio belanja Total
pegawai per wilayahBelanja Daerah
terhadap total belanja daerah. Berdasarkan grafik
tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan
Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap
wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total
total belanja daerah. Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa
belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi
wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar
mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja
daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.

62 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Grafik 3.6
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
47,52%, sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu
sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja
daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan
dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah
belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih
sedikit porsi belanja daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/
kegiatan non pegawai.

Grafik 3.6
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
50% 47,52%

41,10% 41,06%
40% 39,54%
32,29%
35,75%
30%

20%

10%

0%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua

Sumber: APBD
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2014 (Diolah)

b. b. Rasio
Rasio
JumlahJumlah Guru
Guru Terhadap PNSD Terhadap PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per
per wilayah di Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk wilayah
wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah di Indonesia
Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi, yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio
memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat
yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja
dilihat bahwa untuk wilayah Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi,
pegawainya untuk membayar belanja pegawai bagi guru daerah.
yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio
Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja
yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan
Pegawai tertinggi, namun di sisi yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah
Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di
Indonesia. Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif inilah yang menjadi
sorotan masyarakat karena dinilai terlalu “gemuk” dan tidak efisien.
Analisa Belanja Daerah 63
Grafik 3.7
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawainya untuk membayar
belanja pegawai bagi guru daerah.

Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam
dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja Pegawai tertinggi, namun di sisi
yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa di wilayah Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif
jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang
bersifat administratif inilah yang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai
terlalu “gemuk” dan tidak efisien.

Grafik 3.7
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
56%
54,19%
54%

51,99%
52%

50,41%
50%
50,00%
48,22%
48% 47,66%

46%

44%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua

Sumber: DJPK
Sumber: DJPK 2014 (Data Diolah)
(Data Diolah)

B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah


B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja
Porsi belanja modal dalam APBD merupakan komponen belanja yang sangat penting karena realisasi belanja modal
Daerah
akan memiliki multiplier effect dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya,
Porsi
diharapkan akan belanja
semakin modal terhadap
baik pengaruhnya dalam pertumbuhan
APBD merupakan komponen
ekonomi. Sebaliknya, belanja
semakin rendah yang
angkanya, semakin
sangat
berkurang penting
pengaruhnya karena
terhadap realisasi
pertumbuhan ekonomi.belanja modal akan memiliki multiplier effect
Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk
membiayai Belanja Modal. Belanja Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah daerah yang
64 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah
tangga, dan luar negeri.
dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Oleh karena itu, semakin
tinggi angka rasionya, diharapkan akan semakin baik pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin
berkurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi


belanja daerah yang dibelanjakan untuk membiayai Belanja Modal. Belanja
Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah
daerah yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah tangga, dan
luar negeri.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota


Grafik 3.8 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara
agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata rasio belanja modal terhadap
total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar
25,86%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio belanja modal pada
APBD 2013 sebesar 24,81%. Sementara itu, rata-rata porsi belanja modal
dalam APBD 2012 menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah, yaitu
sebesar 23,4%. Hal ini menunjukkan adanya shifting atau pergeseran dari
penurunan porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal, yang
berarti dapat menjadi indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur
belanja daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 18 provinsi masih memiliki
rasio belanja modal di bawah rata-rata, sedangkan 16 provinsi lainnya berada
di atas rata-rata.

Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi


yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio
tertinggi, yaitu sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian
besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal dengan
proporsi yang kecil, yaitu di bawah 25%.

Analisa Belanja Daerah 65


Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi yang memiliki rasio terendah adalah
ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakartamemiliki rasio tertinggi, yaitu
sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal
dengan proporsi yang kecil, yaitu dibawah 25%.

Grafik 3.8
Grafik 3.8
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
50% 44,75%

40%

30% 25,86%

20% 15,30%

10%

0%
Maluku

Lampung

Banten

Riau
Jawa Barat

Sumatera Barat

Bengkulu
Gorontalo

Maluku Utara
DI Yogyakarta

Bali

Sulawesi Barat

Bangka Belitung
Jawa Tengah

Jawa Timur

Aceh

Kepulauan Riau

Papua Barat

Jambi
Sulawesi Utara

Sumatera Utara

Papua

Kalimantan Selatan

DKI Jakarta
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan

Kalimantan Barat

Sulawesi Tenggara

Sumatera Selatan
Nusa Tenggara Timur

Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur
Sumber
Sumber : APBD :2014
APBD
(Diolah) 2014 (Diolah)

2.2. Pemerintah
Pemerintah KabupatenKabupaten
dan Kota se-Provinsidan Kota se-Provinsi

Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada grafik 3.9 memperlihatkan bahwa secara rata-
Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada
rata nasional, rasio belanja modal terhadap belanja daerah sebesar 26,14%, yang berarti lebih tinggi apabila dibandingkan
grafikrata-ratanya
dengan 3.9 memperlihatkan
pada tahun 2013 sebesar bahwa
25,36%, sertasecara
tahun 2012rata-rata nasional,
sebesar 24,1%.Dari rata-rata rasio belanja
tersebut,terdapat 14
modal
provinsi yangterhadap belanja
memiliki rasio belanja modal daerah sebesar
lebih besar dari 26,14%,
rata-rata, sedangkan yang
19 provinsi berarti
memiliki lebih
rasio yang tinggi
lebih kecil dari
apabila
rata-rata. dibandingkan
Pemerintah kabupaten dandengan
pemerintah rata-ratanya padaUtara
kota di Provinsi Kalimantan tahun 2013
memiliki sebesar
rasio belanja modal 25,36%,
yang terbesar

serta
yaitu tahun
sebesar 2012
45,82%, sebesar
sedangkan 24,1%. dan
pemerintahkabupaten Dari rata-rata
pemerintah kota ditersebut,
Provinsi Daerahterdapat 14 provinsi
Istimewa Yogyakarta memiliki

yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata, sedangkan 19
rasio terkecil yaitu 15,73%.
Grafik 3.9
provinsi memiliki rasio yang lebihModal
Rasio Belanja kecil dari
Terhadap rata-rata.
Belanja Daerah Pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota di Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)

modal yang terbesar yaitu sebesar 45,82%, sedangkan pemerintah kabupaten


dan pemerintah kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio
terkecil yaitu 15,73%.

66 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Grafik 3.9
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
50% 45,82%

40%

30% 26,14%

20% 15,73%

10%

0%
Maluku
Lampung

Banten

Riau
Jawa Barat

Gorontalo

Bengkulu

Maluku Utara
DI Yogyakarta

Bali
Sumatera Barat

Jambi

Papua Barat
Jawa Tengah

Jawa Timur

Sulawesi Barat

Bangka Belitung

Kepulauan Riau

Kalimantan Selatan
Papua
Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Utara

Sumatera Utara

Aceh

Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan

Sulawesi Tengah

Sulawesi Tenggara

Kalimantan Barat

Kalimantan Utara
Nusa Tenggara Timur

Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur
Sumber:
Sumber: APBD 2014APBD
(Diolah) 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi

3. Pemerintah Provinsi
Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerah dapat dilihat pada Grafik
3.10. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja
Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap
daerahadalah sebesar 19,56%, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%, serta
total2012belanja
tahun sebesar 17,4%.daerah
Dilihat dari dapat
rata-ratanya,dilihat
terdapat 20pada
pemerintahGrafik 3.10.
provinsi yang memiliki Grafik
rasio belanjatersebut
modal lebih
menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja
besar dari rata-rata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata. modal pemerintah provinsi
terhadap total belanja
Dari keseluruhan daerah
provinsi, Provinsi adalah
Jawa Barat memilikisebesar 19,56%,
rata-rata rasio yang berarti
belanja modalpemerintah lebih
provinsiterhadap
tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%,
belanja daerahyang terendah yaitu sebesar 6,56%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio belanja modalpemerintah

serta tahun
provinsiterhadap 2012
belanja sebesar
daerah tertinggi 17,4%.
yaitu sebesar 44,75%.Dilihat dari rata-ratanya, terdapat 20
Grafik 3.10
pemerintah provinsiRasio yangBelanjamemiliki
Modal Terhadaprasio
Belanja belanja modal
Daerah Pemerintah Provinsilebih besar dari rata-
rata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata.

Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Jawa Barat memiliki rata-rata rasio


belanja modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah yang terendah
yaitu sebesar 6,56%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio belanja

Analisa Belanja Daerah 67


modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah tertinggi yaitu sebesar
44,75%.

Grafik 3.10
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
50% 44,75%

40%

30%
19,56%
20%

10% 6,56%

0%
Maluku
Lampung

Riau

Banten
Jawa Barat

Bengkulu

Maluku Utara
Bali

Gorontalo

Jambi
Jawa Timur

Jawa Tengah

DI Yogyakarta

Sulawesi Barat

Sumatera Barat

Kepulauan Riau

Papua Barat
Kalimantan Selatan
Sumatera Utara

Papua

Aceh
Bangka Belitung

DKI Jakarta
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah

Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat

Nusa Tenggara Barat

Kalimantan Utara
Nusa Tenggara Timur

Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur
Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah) 2014 (Diolah)

4.4. Per Wilayah


Per Wilayah
Grafik 3.11 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan
Grafik Sulawesi,
Bali, Kalimantan, 3.11 serta menunjukkan
dan Nusa Tenggara,rasio belanja
Maluku, dan modal
Papua. Grafik tersebutterhadap totalrata-rata
menunjukkanbahwa belanjarasio
daerah
belanja modaldi 5 wilayah
terhadap total belanjayaitu Sumatera,
daerahdi5 Jawaadalah
wilayah di Indonesia dansebesar
Bali,26,80%,
Kalimantan, Sulawesi,
yang berarti lebih tinggi jika
serta dan
dibandingkan Nusa
dengan Tenggara,
rata-rata Maluku,
rasio pada tahun dan25,85%.
2013 sebesar Papua. Grafik
Dari grafik tersebut
tersebut juga dapatmenunjukkan
dilihat bahwa rasio
bahwa
belanja modal rata-rata rasiodaerah
terhadap total belanja belanja modal
di 4 wilayah terhadap
yaitu Jawa total Sulawesi,
dan Bali, Sumatera, belanja serta daerah di 5
dan Nusa Tenggara,

wilayah di Indonesia adalah sebesar 26,80%, yang berarti lebih tinggi untuk
Maluku, dan Papuamemiliki rasio lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, jika
dibandingkan dengan rata-rata rasio pada tahun 2013 sebesar 25,85%.
wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar darirata-rata rasionya secara nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi
terdapat di wilayah Kalimantan, yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu sebesar 22,77%.
Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa rasio belanja modal terhadap
total belanja daerah di 4 wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Sulawesi,
serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua memiliki rasio lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, untuk
wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar dari rata-rata rasionya secara
nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi terdapat di wilayah Kalimantan,
Grafik 3.11
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)

68 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu
sebesar 22,77%.

Grafik 3.11
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)
40%
35,19%

30%
26,56%
26,80%
22,77%
25,60%
23,86%
20%

10%

0%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua

Sumber: APBD
Sumber: 2014
APBD 2014 (Diolah)
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta

C. C. Rasio Belanja
Rasio Belanja Modal Modal
terhadap Jumlah Penduduk terhadap Jumlah Penduduk
Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur
Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan
daerah per penduduk, dalam sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita, baik secara nasional,
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk, dalam
agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat
sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita,
dengan pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi
baik secara nasional, agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per
pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan
wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat dengan
perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur.
pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis
belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan
Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi (agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan
perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan
memperlihatkan rata-rata rasio belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti lebih tinggi jika
untuk pembangunan infrastruktur.
dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki
rasio belanja modal perkapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24 provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal
perkapita lebih rendah dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita
Analisaadalah
tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah Belanja Daerah
Provinsi 69
Jawa Barat sebesar
Rp0,302 juta.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi
(agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan memperlihatkan rata-rata rasio
belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti
lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar
Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki rasio
belanja modal per kapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24
provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari
rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio
belanja modal per kapita tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar
Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah adalah Provinsi Jawa Barat sebesar
Rp0,302 juta.

Grafik 3.12
Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

9.000.000
7.836.252
8.000.000
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000 1.586.001
1.000.000 302.451
-
Bali
Jawa Barat
Jawa Tengah

DKI Jakarta
Papua
Banten
Lampung

Gorontalo

Bangka Belitung

Riau
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat

Sumatera Barat
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah

Maluku

Kalimantan Utara
Sulawesi Selatan

Jambi
Jawa Timur

Sumatera Utara

Bengkulu
Sumatera Selatan
Sulawesi Utara

Aceh

Maluku Utara

Papua Barat
Kalimantan Barat

Kepulauan Riau

Kalimantan Timur
Sulawesi Tenggara

Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur

Kalimantan Selatan

Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah)2014 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi

Rasio belanja modal perkapita kabupaten dan kota se-provinsi menggambarkan besaran belanja modal yang
dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap provinsi. Dari data APBD dapat
dilihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata nasional
adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah
70 besar dariDeskripsi
yang dandariAnalisis
pusat terutama APBD
DBH SDA dan 2014 Khusus.
Dana Otonomi

Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapitapemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi.
Secara nasional, rata-rata rasio belanja modalper kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah Rp1,248 juta, atau
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi
menggambarkan besaran belanja modal yang dibelanjakan untuk
pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap
provinsi. Dari data APBD dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi yang
menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata
nasional adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang
besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah yang besar dari pusat
terutama dari DBH SDA dan Dana Otonomi Khusus.

Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah


kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi. Secara nasional, rata-rata rasio
belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah
Rp1,248 juta, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam
tahun 2013 sebesar Rp0,97 juta. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota
se-provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari
rata-rata sebanyak 25 provinsi, sedangkan yang di atas rata-rata sebanyak
8 provinsi. Kabupaten dan kota se-provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio
belanja modal per kapita tertinggi yaitu sebesar Rp7,216 juta, sedangkan
kabupaten dan kota se-Provinsi Jawa Barat memiliki rasio yang terendah yaitu
sebesar Rp0,271 juta.

Analisa Belanja Daerah 71


Grafik 3.13
Rasio Belanja Modal per Kapita
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
8.000.000 7.216.717
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000 1.248.389
1.000.000 271.755
-
Banten

Lampung

Maluku

Riau
Jawa Barat

Gorontalo

Bengkulu

Maluku Utara
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur

Bali

Sulawesi Barat
Sumatera Barat

Bangka Belitung

Jambi

Kepulauan Riau

Papua Barat
Sumatera Utara

Aceh

Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara

Papua
Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Tengah

Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan

Sumatera Selatan

Sulawesi Tenggara
Nusa Tenggara Timur

Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur
Sumber:
Sumber: APBD APBD 2014 (Diolah)
2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta

3. Pemerintah Provinsi
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 3.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal
per kapita pemerintah provinsi tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata
Grafik 3.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah
tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah
provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi
penduduk di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata
tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan
nasional. Pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
dengan rata-rata tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar
yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta.
pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk
di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8
provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Pemerintah provinsi
yang memiliki rasio belanja modalGrafikper 3.14 kapita tertinggi adalah Pemerintah
Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi
Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah
adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta.

72 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Grafik 3.14
Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi
3.200.000 2.916.738
2.800.000
2.400.000
2.000.000
1.600.000
1.200.000
800.000
374.329
400.000
30.696
-
Bali
Jawa Barat

Papua
Jawa Tengah

DKI Jakarta
Lampung

Banten

Bangka Belitung
Sulawesi Tengah

Nusa Tenggara Barat

Sumatera Barat

Maluku

Sulawesi Barat
Gorontalo

Riau

Kalimantan Utara
Sulawesi Selatan

DI Yogyakarta
Sumatera Selatan

Jambi

Maluku Utara

Papua Barat
Jawa Timur

Sumatera Utara

Bengkulu

Sulawesi Utara

Aceh
Kalimantan Barat

Kepulauan Riau

Kalimantan Timur
Sulawesi Tenggara

Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur

Kalimantan Selatan
Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Sumber: APBD 2014 (Diolah)

4. Per Wilayah
4. Per Wilayah
Rasio belanja modal per kapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik
3.15Rasio belanja modal perkapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik 3.15 memperlihatkan bahwa rasio rata-rata
memperlihatkan bahwa rasio rata-rata belanja modal per kapita adalah
belanja modal perkapita adalah sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal perkapita tertinggi berada di wilayah Kalimantan,
sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal per kapita tertinggi berada di
yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di
wilayah Kalimantan, yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa
wilayah Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu, rasio belanja modal perkapita terendah adalah
anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah
di wilayah Jawa dan Bali, yaitu sebesar Rp0,55 juta.
Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu,
rasio belanja modal per kapita terendah adalah di wilayah Jawa dan Bali,
yaitu sebesar Rp0,55 juta.

Grafik 3.15
Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)

Analisa Belanja Daerah 73


Grafik 3.15
Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)
3.000.000

2.482.181
2.500.000

2.000.000
1.550.466
1.500.000 1.309.836

1.057.273 913.355
1.000.000
545.903
500.000

-
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua

Sumber: APBD
Sumber: 2014
APBD 2014 (Diolah)(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta

D. Rasio Belanja Bantuan SosialTerhadap Total Belanja Daerah

D. Rasio Belanja
Belanja Bantuan Bantuan
Sosial merupakan Sosial
salah satu pos dalam Terhadap
belanja tidak langsung. Secara Total
definisi, bantuan sosial

Belanja Daerah
adalah pemberian bantuan yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dalam bentuk uang/barang kepada masyarakat
atau organisasi profesi yang bertujuan untuk kepentingan umum. Dalam bantuan sosial ini termasuk di dalamnya antara lain
Belanja
yaitu bantuan Bantuan
partai politik Sosial
sesuai dengan merupakan
peraturan salah
perundang-undangan. satu pos dalam belanja tidak
langsung. Secara definisi, bantuan sosial adalah pemberian
Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan tumpang bantuan
tindih kegiatan yang
dengan kegiatan
sifatnya
yang tidak
dilakukan oleh satuansecara terusdaerah
kerja perangkat menerus dan keduanya
(SKPD) mengingat selektifmenggunakan
dalam bentuk uang/barang
dana dari APBD. Sebagai contoh,
kepada
bantuan sosial masyarakat
kepada masyarakatatau organisasi
di lingkungan profesi
kumuh, pondok yangbantuan
pesantren, bertujuan untuk
untuk bidang kepentingan
sanitasi, serta penyediaan
umum.
akses air bersih,Dalam
yang dalambantuan sosialolehiniSKPD.
juga dilaksanakan termasuk di pemantauan
Oleh karena itu, dalamnya antara
terhadap jumlah lain yaitu
anggaran yang
bantuanuntuk
dialokasikan partai
Belanjapolitik
Bantuan sesuai dengan
Sosial perlu dilakukan peraturan perundang-undangan.
pemantauan dalam pelaksanaannya. Agar pengelolaan Belanja
Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam
Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran
tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja
Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012.
perangkat daerah (SKPD) mengingat keduanya menggunakan dana dari
Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan
APBD. Sebagai contoh, bantuan sosial kepada masyarakat di lingkungan
untuk Belanja Bantuan Sosial. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk
Belanja Bantuanpondok
kumuh, pesantren,
Sosial, demikian bantuan
juga sebaliknya untuk
semakin kecil bidang
angka rasio Belanjasanitasi, serta
Bantuan Sosial penyediaan
maka semakin kecil pula
akses air bersih, yang dalam juga dilaksanakan
proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial. oleh SKPD. Oleh karena itu,
pemantauan terhadap jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Belanja

74 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Bantuan Sosial perlu dilakukan pemantauan dalam pelaksanaannya. Agar
pengelolaan Belanja Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan
akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 39 Tahun 2012.

Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan


porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan untuk Belanja Bantuan Sosial.
Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang
dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial, demikian juga sebaliknya semakin
kecil angka rasio Belanja Bantuan Sosial maka semakin kecil pula proporsi
APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota


Rata-rata pengeluaran daerah untuk belanja bantuan sosial pada APBD
2014 secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 0,92%,
yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pada tahun
2013 sebesar 1,05%. Dari 34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka
rasio di bawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah
26 provinsi, dan sisanya sebanyak 8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih
besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi
Sumatera Selatan memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja
daerah yang terkecil, yaitu sebesar 0,17%, sedangkan daerah yang memiliki
rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara
agregat adalah Provinsi Papua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat
dilihat pada Grafik 3.16 di bawah ini.

Analisa Belanja Daerah 75


34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka rasio dibawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 26
provinsi, dan sisanya sebanyak8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten
dan kota. Provinsi Sumatera Selatanmemiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah yang terkecil, yaitu
sebesar0,17%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara
agregat adalah ProvinsiPapua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat dilihat pada Grafik 3.16 di bawah ini.
Grafik 3.16
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja
Grafik 3.16
Agregat Provinsi,
Rasio Belanja Kabupaten
Bantuan Sosial dan Kota
Terhadap Total Belanja
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
3,50%
3,06%
3,00%
2,50%
2,00%
1,50%
0,92%
1,00%
0,50% 0,17%
0,00%
Riau
Lampung
Maluku

Banten
Jawa Barat

Maluku Utara
Sumatera Barat

Gorontalo

Jambi

Bengkulu
Kalimantan Selatan
Bangka Belitung

Sumatera Utara
Jawa Tengah

Jawa Timur

Sulawesi Barat
DI Yogyakarta
Bali

Aceh

Kepulauan Riau
Papua Barat
Sulawesi Utara

DKI Jakarta

Papua
Sumatera Selatan

Sulawesi Tenggara
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan

Nusa Tenggara Barat


Kalimantan Utara
Kalimantan Timur

Nusa Tenggara Timur


Kalimantan Tengah

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2014 (Diolah)

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi


2. Pemerintah
Rata-rata rasio belanjaKabupaten dan
bantuan sosial terhadap Kota
total belanja se-Provinsi
daerah dalam APBD 2014 pada pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota se-provinsi adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan
Rata-rata rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah dalam
dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar 0,93%. Dari hal tersebut, sebanyak 26 provinsi memiliki rasio
APBD 2014 pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi
belanja bantuan sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari rata-rata.
adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika
Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di ProvinsiPapuaBarat memiliki rasio belanja
dibandingkan dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar
bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di ProvinsiSumatera
0,93%.
Selatan memilikiDari hal tersebut,
rasio terendah, sebanyak
yaitu sebesar 0,20%. 26 provinsi memiliki rasio belanja bantuan
sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio
yang lebih besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua Barat memiliki rasio belanja
bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Sumatera Selatan memiliki rasio
terendah, yaitu sebesar 0,20%.

76 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Grafik 3.17
Grafik 3.17
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Rasio BelanjaPemerintah
Bantuan Sosial Terhadap
Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
4,50% 4,03%
4,00%
3,50%
3,00%
2,50%
2,00%
1,50%
0,87%
1,00%
0,50% 0,20%
0,00%
Riau
Maluku
Lampung

Banten
Jawa Barat
Bengkulu

Maluku Utara

Gorontalo
Bali

Bangka Belitung

Jambi
Sumatera Barat

DI Yogyakarta
Aceh

Kepulauan Riau

Papua Barat
Kalimantan Selatan

Papua
Sulawesi Utara

Sumatera Utara
Jawa Tengah

Jawa Timur
Sulawesi Barat

Nusa Tenggara Barat


Sumatera Selatan

Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan

Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur
Nusa Tenggara Timur

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2014
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Dalam APBD 2014, rasio belanja bantuan sosial terhadap belanja daerah pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa
3. Pemerintah Provinsi
secara rata-rata rasio belanja bantuan sosial adalah sebesar 1,05% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika
Dalam
dibandingkan denganAPBD
rasio pada2014, rasio
APBD 2013 sebesarbelanja bantuan
1,06%. Berdasarkan sosial
angka rata-rataterhadap
rasio belanja belanja daerah
bantuan sosial tersebut,
pemerintah
terdapat provinsi
22 provinsi yang memperlihatkan
memiliki rasio bahwa
lebih kecil dari angka rata-rata, secara
sedangkan rata-rata
12 provinsi rasiorasiobelanja
lainnya memiliki yang lebih
bantuan
besar dari angkasosial adalah
rata-rata.Dari kondisisebesar 1,05%
tersebut, terdapat dariyangtotal
3 provinsi belanja daerah,
tidak menganggarkan yangsosial
belanja bantuan berarti
dalam

lebih
APBD 2014,rendah jikaSumatera
yaitu Provinsi dibandingkan
Barat, Provinsidengan rasio danpada
Sulawesi Selatan, ProvinsiAPBD
Sulawesi 2013
Tenggara. sebesar
Grafik 3.18

1,06%.bahwa
menunjukkan Berdasarkan angka rata-rata
Pemerintah ProvinsiBengkulu rasio
memiliki rasio belanjabelanja bantuan
bantuan social sosial
tertinggi dalam APBDtersebut,
2014, yaitu
sebesar 7,86% dari total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak menganggarkan belanja bantuan
terdapat 22 provinsi yang memiliki rasio lebih kecil dari angka rata-rata,
sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Pemerintah ProvinsiKalimantan Selatan yang memiliki rasio sebesar
sedangkan 12 provinsi lainnya memiliki rasio yang lebih besar dari angka
0,0002% dari total belanja daerah.
rata-rata. Dari kondisi tersebut, terdapat 3 provinsi yang tidak menganggarkan
belanja bantuan sosial dalam APBD 2014, yaitu Provinsi Sumatera Barat,
Grafik 3.18
Provinsi Sulawesi Selatan, dan
Rasio Belanja BantuanProvinsi Sulawesi
Sosial Terhadap Belanja Daerah Tenggara. Grafik 3.18
Pemerintah Provinsi
menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Bengkulu memiliki rasio belanja
bantuan sosial tertinggi dalam APBD 2014, yaitu sebesar 7,86% dari
total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak

Analisa Belanja Daerah 77


menganggarkan belanja bantuan sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio
terendah adalah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki rasio
sebesar 0,0002% dari total belanja daerah.

Grafik 3.18
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Provinsi
8% 7,86%
7%
6%
5%
4%
3%
2% 1,05%
1%
0,00%
0%
Lampung

Maluku

Banten
Jawa Barat

Riau

Maluku Utara
Sumatera Barat

Bangka Belitung

Gorontalo

Bengkulu
Kalimantan Selatan

DI Yogyakarta
Papua Barat

Sulawesi Barat
Jambi

Kepulauan Riau
Sumatera Utara

Jawa Timur

Jawa Tengah

Papua
Sulawesi Utara

DKI Jakarta

Aceh
Bali
Sulawesi Tenggara

Nusa Tenggara Barat


Sulawesi Selatan

Sumatera Selatan

Kalimantan Barat

Sulawesi Tengah
Kalimantan Timur

Kalimantan Utara

Nusa Tenggara Timur

Kalimantan Tengah
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)

4.4. Per Wilayah


Per Wilayah

Untuk memetakan
Untuk memetakan rasio belanjarasio
bantuan belanja bantuan
sosial terhadap total belanja sosial terhadap
daerah berdasarkan total
clustering belanja
wilayah, daerah
didaerah berdasarkan
Indonesia dibagi clustering
menjadi 5 wilayah. wilayah, bahwa
Grafik 3.19 memperlihatkan daerah
rasio di Indonesia
belanja bantuan sosialdibagi
terhadap menjadi
total belanja
daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa
5 wilayah. Grafik 3.19 memperlihatkan bahwa rasio belanja bantuan sosial
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio
terhadap total belanja daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata
belanja bantuan sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%.
rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu
Grafik 3.19
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *)
sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja bantuan
sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%.

78 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Grafik 3.19
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *)

2,50%

2,02%
2,00%

1,50%

1,00% 0,92% 0,93%

0,82%
0,52%
0,50% 0,39%

0,00%
Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua

Sumber:
Sumber: APBD APBD 2014 (Diolah)
2014 (Diolah)
*) Tidak Jakarta
*) Tidak termasuk DKI termasuk DKI Jakarta

Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 79


BAB IV
ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN
PEMBIAYAAN DAERAH

APBD disusun sebagai suatu perencanaan terkait pendapatan dan belanja.


Dalam anggaran, apabila pendapatan lebih besar daripada belanja, maka akan
terjadi surplus, dan sebaliknya jika belanja lebih besar daripada pendapatan,
maka akan terjadi defisit. Apabila dalam APBD direncanakan akan terdapat
surplus/defisit, maka APBD tersebut wajib mencantumkan pos pembiayaan
yang meliputi anggaran Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Pos Penerimaan Pembiayaan berfungsi untuk
menutupi defisit, sedangkan pos Pengeluaran Pembiayaan berfungsi untuk
menyalurkan dana surplus. Dari data APBD 2014 yang diterima dari daerah
dapat diketahui bahwa sebagian besar pemerintah daerah menyusun APBD-
nya defisit.

A. Defisit
Sejak pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang
diterapkan tahun 2001, daerah diberikan keleluasaan dalam penyusunan
APBD apakah menerapkan pola anggaran berimbang, surplus, ataupun defisit.
Berdasarkan data APBD TA 2014 diketahui jumlah daerah otonom adalah
sebanyak 505 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Daerah yang menerapkan
anggaran defisit sebanyak 472 daerah, meningkat dari tahun sebelumnya
sebanyak 447 daerah. Sementara itu, daerah yang menerapkan anggaran
surplus sebanyak 51 daerah, lebih sedikit apabila dibandingkan dengan tahun

80 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


sebelumnya sebanyak 68 daerah, sedangkan sisanya sebanyak 16 daerah
menerapkan pola anggaran berimbang.

Banyaknya daerah yang menerapkan pola anggaran defisit selain ditujukan


untuk menutupi kebutuhan anggaran belanja yang dibiayai dari pinjaman
daerah, juga ditujukan untuk menampung SiLPA tahun anggaran sebelumnya.
Berdasarkan data realisasi APBD-nya, daerah-daerah yang berpola anggaran
defisit tersebut justru mengalami surplus pada saat realisasi anggaran. Kondisi
tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan dalam hal kesiapan daerah
dalam melakukan perencanaan dan penganggaran di APBD.

Di bawah ini akan disajikan rasio defisit terhadap pendapatan, yang


berarti semakin besar persentase rasionya, maka semakin besar pula
Penerimaan Pembiayaannya (SiLPA dan Pinjaman Daerah) yang diperlukan
untuk menutupi anggaran belanjanya.

1. Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota


Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (agregat propinsi, kabupaten,
dan kota) dapat dilihat pada grafik 4.1. di bawah ini.

Grafik 4.1
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan,
Agregat terhadap
Rasio Surplus/defisit Provinsi, Kabupaten,
Pendapatan, dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Gorontalo

Lampung
Bengkulu
Sumbar
Kalteng

Sulteng
Sumsel
Maluku

Jakarta
Kaltara

Papbar
Banten

Sumut
Kalbar

Sulbar
Kaltim

Papua
Jateng
Kalsel

Sulsel
Sultra
Jambi

Malut
Babel

Jabar

Jatim

Sulut
Kepri

Aceh
Riau

NTB
Bali

NTT
DIY

0%
-0,3%
-1,1%
-1,9%

-7,7%
-2,8%
-2,9%
-2,9%
-3,2%
-3,4%
-3,5%
-3,7%
-3,7%
-4,1%
-4,3%
-4,3%
-4,5%
-4,7%
-4,9%
-5,5%
-6,2%
-6,4%
-6,8%
-6,9%
-7,5%
-7,7%
-9,8%
-9,9%
-10,9%
-11,6%
-11,9%

-20%
-15,3%
-16,4%
-21,2%
-30,3%

-40%
-48,6%

-60%

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota)
adalah sebesar 7,7%, di mana defisit tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan
pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7% dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 81
pembiayaan terbesar kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat kecil yaitu hanya sebesar 2,94%
dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar adalah
Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%) dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara ,
Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional
(agregat provinsi, kabupaten, dan kota) adalah sebesar 7,7%, di mana defisit
tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan
pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7%
dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan terbesar
kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat
kecil yaitu hanya sebesar 2,94% dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik
di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar
adalah Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%)
dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara, namun secara nilai,
Kalimantan Timur (Rp.9,3 triliun) dan Riau (Rp.5,9 triliun) lebih tinggi dari
Kalimantan Utara (Rp.3,8 triliun).

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi


Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah kabupaten dan
kota se-provinsi) dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Grafik 4.2
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
Gorontalo
Lampung
Bengkulu
Sumbar

Kalteng

Sulteng
Sumsel

Maluku
Kaltara

Papbar
Banten

Sumut
Kalbar

Sulbar
Kaltim

Papua
Jateng
Kalsel

Sulsel
Sultra
Jambi

Malut
Babel

Jabar
Jatim

Sulut
Kepri

Aceh
Riau

NTB
Bali

NTT
DIY

00%
-0,9%
-1,7%
-2,0%
-2,8%
-3,0%
-3,2%
-3,2%
-3,3%
-3,3%

-08%
-4,0%
-4,0%
-4,2%
-4,3%
-4,4%
-4,7%
-4,8%
-5,1%
-5,2%
-6,1%
-6,6%
-6,9%
-7,1%
-7,5%
-8,3%
-8,6%
-8,8%
-9,6%
-12,4%
-14,1%

-20%
-16,4%
-21,9%
-33,9%

-40%
-55,0%

-60%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber:
*) Tidak termasukAPBD
DKI Jakarta2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah kabupaten dan kota se-
propinsi adalah 8,4%. Daerah yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota di wilayah

Deskripsi
Kalimantan Utara
82 (55,0%), dan Analisis
kemudian APBD 2014
diikuti kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di
wilayah Riau (21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%). Karena sebagian besar defisit daerah
ditutup dengan menggunakan SiLPA maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula SiLPA daerah yang
bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi
Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap
pendapatan pemerintah kabupaten dan kota se-propinsi adalah 8,4%. Daerah
yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota
di wilayah Kalimantan Utara (55,0%), kemudian diikuti kabupaten dan kota
di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di wilayah Riau
(21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%).
Karena sebagian besar defisit daerah ditutup dengan menggunakan SiLPA
maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula
SiLPA daerah yang bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling
kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi Tengah
(1,7%), dan Provinsi Sulawesi Barat (2,0%).

3. Pemerintah Provinsi
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah provinsi) dapat
dilihat pada grafik di bawah ini.

Grafik 4.3
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi
15%

10% 8,9%
3,2%
1,0%

5%

0%
-0,3%
-0,4%
-0,5%
-0,6%
-0,7%
-1,9%
-2,4%

-5% -05%
-2,6%
-3,2%
-3,6%
-4,4%
-5,0%
-5,3%
-5,8%
-6,3%
-6,4%
-6,5%
-6,8%
-6,9%
-7,4%

-10%
-7,6%
-9,5%
-11,4%
-11,8%
-12,0%

-15%
-13,4%
-13,8%
-14,8%
Aceh -19,7%

Riau -16,1%
Kepri -16,5%

-20%

-25%
Babel

Bali

Papbar
Jambi

Jabar

Malut
DIY

Papua

Sulbar

Sulsel

Jateng
Sulut

Jakarta

Sumsel
Banten

Maluku
Sumbar
Sulteng

NTT
Lampung
Sumut

NTB
Kaltim

Kalsel
Kaltara

Gorontalo

Bengkulu

Kalbar
Sultra
Kalteng

Jatim

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2014(Diolah)

Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar
4,9%. Sementara itu, pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturut-turut dari yang tertinggi adalah
Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi
Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 83
Provinsi Papua Barat (11,4%).

4. Per Wilayah
-
-7,4%
-10%

-5,8

-4
-7,6%

-5,

-
-5,
-6,3
-6,4
-6,5
-6,8
-6,9
-9,5%
-11,4%
-11,8%
-12,0%
-15%

-13,4%
-13,8%
-14,8%
Aceh -19,7%

Riau -16,1%
Kepri -16,5%
-20%

-25%
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap
Babel

Bali

Papbar
Jambi

Sulsel

Malut
DIY

Papua
Jabar
Sulbar

Sulut

Sumbar

Jateng
Banten

Maluku

Sulteng

Jakarta

Sumsel
NTT
Lampung
Sumut

NTB
Kaltim

Kalsel
Kaltara

Gorontalo

Bengkulu
Sultra
Kalteng

Kalbar
Jatim
pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar 4,9%. Sementara itu,
pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturut-
Sumber: APBD 2014(Diolah)
turut dari yang tertinggi adalah Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan
Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%),
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar
Provinsi Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi
4,9%. Sementara itu, pemerintah
Kalimantan Selatan provinsi yang mempunyai
(12,0%), ProvinsirasioKalimantan
di atas 10,0% secara
Utaraberturut-turut
(11,8%)dari danyangProvinsi
tertinggi adalah
Provinsi Papua
Aceh (19,7%),
Barat Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi
(11,4%).
Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan
Provinsi 4.
PapuaPer Wilayah
Barat (11,4%).

Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik
4. Per Wilayah
dibawah ini.
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik
Grafik 4.44.4
Rasio Defisit terhadap
Rasio Defisit Pendapatan
terhadap Pendapatan Per Wilayah*)
Per Wilayah*)
Kalimantan Sumatera Jawa_Bali NT Maluku Papua Sulawesi
0%

-5% -3,9% -3,7%


-08%
-10% -7,8% -6,9%

-15%

-20% -18,8%

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


*) Tidak termasuk DKI Jakarta

Grafik 4.4 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap


pendapatan per wilayah yang mencapai sebesar 8%. Selanjutnya, wilayah
yang memiliki rasio rata-rata defisit tertinggi adalah wilayah Kalimantan
(18,8%), sedangkan yang paling rendah adalah wilayah Sulawesi (3,7%).
Semakin besar persentase rasio defisit berarti semakin besar pula anggaran

84 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


belanja yang tidak dapat ditutupi oleh Pendapatan Daerah. Dengan demikian,
daerah harus mencari sumber-sumber penerimaan lain sebagai pembiayaan,
antara lain yaitu SiLPA, Pinjaman Daerah, Penerimaan kembali dana yang
dipinjamkan, serta Pencairan Dana Cadangan.

Jika dilihat sumber Penerimaan Pembiayaan terbesar anggaran defisit


adalah berasal dari SiLPA, maka terlihat bahwa wilayah Kalimantan dan
wilayah Sumatera merupakan wilayah dengan SiLPA yang paling besar
dibandingkan dengan tiga wilayah lainnya.

5. Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh


pembiayaan
Tabel 4.1. di bawah merupakan gambaran daerah yang menerapkan
pola penganggaran defisit, akan tetapi penerimaan pembiayaannya belum
seluruhnya dapat menutupi defisit yang dianggarkan, sehingga apabila
diakumulasikan antara besaran defisit dengan besaran pembiayaan masih
mempunyai nilai minus.

Tabel 4.1
Daerah dengan Besaran Defisit yang tidak dapat ditutup oleh Pembiayaan

Surplus/Defisit +
Surplus/Defisit Pembiayaan
No Nama Daerah Pembiayaan
(Juta Rupiah) (Juta Rupiah)
(Juta Rupiah)

1 Kab. Halmahera Utara -13.882,9 -5.000,0 -18.882,9

2 Kab. Yahukimo -37.258,0 22.615,2 -14.642,9

3 Kab. Sukamara -35.117,9 34.740,0 -377,9

Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Dari tabel 4.1. di atas dapat dilihat bahwa Kabupaten Halmahera


Utara mempunyai nilai defisit anggaran terbesar yang tidak dapat ditutup
melalui pembiayaan, yaitu sebesar Rp18,88 miliar. Daerah yang APBD-nya
dianggarkan defisit namun penerimaan pembiayaannya tidak seluruhnya

Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 85


dapat menutupi defisit, berangsur-angsur berkurang dari 20 daerah di tahun
2012, menjadi 15 daerah di tahun 2013, dan pada tahun anggaran 2014
menjadi 3 daerah. Melihat kondisi tersebut, diharapkan pada tahun-tahun
mendatang tidak ada lagi daerah yang menganggarkan APBD-nya defisit
tanpa ada kejelasan sumber pembiayaan untuk menutupi defisit. Untuk itu,
pembinaan daerah dibidang pengelolaan keuangan perlu terus dilakukan
agar daerah dapat menerapkan pola penganggaran yang lebih realistis.
Secara normatif, anggaran defisit yang tidak dapat ditutupi seluruhnya oleh
pembiayaan tidak layak dilakukan karena akan menimbulkan ketidakpastian
dalam alokasi belanja publik.

Sementara itu pada sisi yang lain terdapat daerah yang tidak
memanfaatkan seluruh dana yang dimilikinya untuk membiayai anggaran
belanja maupun pengeluaran pembiayaan dalam APBD-nya. Daerah-daerah
tersebut justru menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan di akhir tahun 2014.
Beberapa daerah yang menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan disajikan
dalam tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2
Daerah yang Menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan

SILPA tahun
Pembiyaan
No Nama Daerah Surplus/ Defisit Berkenaan
Daerah
(miliar Rupiah)
(1) (2) (3) (2)+(3)
1 Prov. Jawa Timur -417,4 651,3 233,9
2 Kab. Siak -585,3 711,3 126,0
3 Kab. Mamasa 2,0 93,0 94,9
4 Prov. Maluku Utara 52,5 27,5 80,0
5 Kab. Barito Utara -32,6 110,0 77,3
6 Prov. Sumatera Barat -111,6 171,1 59,5
7 Kab. Lamandau -26,8 83,9 57,1
8 Kab. Indragiri Hilir -376,3 430,9 54,6

86 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


SILPA tahun
Pembiyaan
No Nama Daerah Surplus/ Defisit Berkenaan
Daerah
(miliar Rupiah)
(1) (2) (3) (2)+(3)
9 Kab. Rokan Hilir -96,2 132,1 35,9
10 Kab. Barito Selatan -36,9 72,2 35,2
11 Kab. Buru 21,2 11,5 32,7
12 Kab. Kepulauan Aru -77,6 109,1 31,4
13 Kab. Tanah Laut -419,1 445,0 25,9
14 Prov. Jawa Barat -1.286,4 1.305,2 18,8
15 Kab. Kotawaringin Barat -58,0 70,9 12,9
Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Kemungkinan alasan mengapa daerah melakukan hal tersebut,


diantaranya adalah untuk keperluan pembayaran gaji pegawai di awal tahun,
yang diindikasikan dari penerimaan DAU yang lebih kecil dari belanja pegawai
khususnya belanja pegawai tidak langsung, seperti halnya Provinsi Jawa
Timur, Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hilir, dan Kabupaten Tanah Laut.
Namun demikian, adanya penganggaran SILPA pada tahun berkenaan dirasa
kurang sesuai dengan peran pemerintah daerah sebagai penyedia layanan
dasar kepada masyarakat, sehingga dana yang ada seyogianya digunakan
untuk kepentingan rakyat, bukan untuk disimpan.

B. Pembiayaan Daerah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran
diperkirakan defisit, maka daerah harus menetapkan sumber-sumber
pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila
anggaran diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan
surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan bagian terbesar
untuk menutupi defisit APBD 2014 berasal dari SiLPA, sedangkan yang
terkecil berasal dari Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Untuk

Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 87


B. Pembiayaan Daerah
Grafik 4.5
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran diperkirakan defisit, maka daerah harus
Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota
menetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila anggaran
diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan
bagianmanampung penerimaan
terbesar untuk menutupi defisit APBD pembiayaan maupun
2014 berasal dari SiLPA, pengeluaran
sedangkan pembiayaan,
yang terkecil berasal dari Hasil Penjualan
maka
Kekayaan dalam
Daerah APBD terdapat
yang Dipisahkan. pos penerimaan
Untuk manampung pembiayaan yangmaupun
pembiayaan bertujuan untuk
pengeluaran menutup
pembiayaan, maka dalam
APBDdefisit
terdapat anggaran.
pos pembiayaan Grafik 4.5. untuk
yang bertujuan danmenutup
grafikdefisit
4.6. berikut
anggaran. Grafik menggambarkan
4.5. dan grafik 4.6. berikut
penerimaan
menggambarkan pembiayaan
penerimaan provinsi
pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota.
dan kabupaten/kota.

Grafik 4.5
Grafik 4.5
Penerimaan Pembiayaan
Penerimaan Provinsi
Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota
dan Kab/Kota

Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Grafik 4.6
Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaa

Sumber: APBD 2014 (Diolah) Provinsi Kabupat


Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Grafik 4.6
Grafik 4.6
Persentase Penerimaan Pembiayaan
Persentase Penerimaan Pembiayaanterhadap total Penerimaan
terhadap total Penerimaan Pembiayaan Pembiayaan

Provinsi
Provinsi Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
0,33% 2,61% 1,04% SiLPA TA sebelumnya 0,97% 3,08%
0,00% 0,13% 1,65%

Pencairan dana
cadangan

Hasil Penjualan
Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan
Penerimaan Pinjaman 94,18
96,02% Daerah dan Obligasi %
Daerah

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Penerimaan pembiayaan baik provinsi, kabupaten, maupun kota didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi,
penerimaan pembiayaan mencapai 96,02%, sedangkan tingkat kabupaten/ kota mencapai 94,18%, sebagaimana tampak pada
Deskripsi
grafik 4.688di atas. Besarnya dan
porsi SiLPA dalam APBD
Analisis 2014
penerimaan pembiayaan APBD mengindikasikan adanya penyerapan belanja
pada tahun anggaran sebelumnya kurang optimal, sehingga terdapat sisa anggaran yang terakumulasi dalam SiLPA. Sumber
pembiayaan lainnya untuk menutup defisit adalah Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, yang mencapai sebesar 2,61% untuk
Penerimaan pembiayaan baik provinsi, kabupaten, maupun kota
didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi, penerimaan pembiayaan
mencapai 96,02%, sedangkan tingkat kabupaten/ kota mencapai 94,18%,
sebagaimana tampak pada grafik 4.6 di atas. Besarnya porsi SiLPA dalam
penerimaan pembiayaan APBD mengindikasikan adanya penyerapan belanja
pada tahun anggaran sebelumnya kurang optimal, sehingga terdapat sisa
anggaran yang terakumulasi dalam SiLPA. Sumber pembiayaan lainnya untuk
menutup defisit adalah Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, yang mencapai
sebesar 2,61% untuk provinsi, sebesar 3,08 untuk kabupaten/kota. Sumber-
sumber lain penerimaan pembiayaan di luar SiLPA dan Pinjaman Daerah
adalah Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Penerimaan
Kembali Pinjaman yang jumlahnya relatif kecil, yakni di bawah 1%.

Secara umum, pengeluaran pembiayaan terbesar dalam APBD adalah


untuk Penyertaan Modal Pemerintah daerah pada badan-badan usaha milik
daerah yang merupakan bagian dari Kekayaan Daerah yang Dipisahkan.
Secara nominal, besaran Penyertaan Modal Pemerintah provinsi lebih besar
daripada Penyertaan Modal Pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut diduga
terjadi karena ruang fiskal pemerintah provinsi lebih besar dibandingkan
dengan ruang fiskal pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, pembayaran
pokok pinjaman kabupaten/kota yang jauh lebih besar daripada pokok utang
provinsi menunjukkan adanya beban pemerintah kabupaten/kota yang jauh
lebih besar apabila dibandingkan dengan pemerintah provinsi. Selanjutnya,
rincian Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/kota dapat dilihat
pada grafik 4.7 di bawah ini.

Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 89


Grafik 4.7
Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber:
Sumber: APBD
APBD 2014 (Diolah)2014 (Diolah)

Grafik 4.8
Grafik 4.8
Grafik 4.8
Persentase Pengeluaran Pembiayaan
Persentase Pengeluaran terhadap
Pembiayaan terhadap totaltotal Penerimaan
Penerimaan Pembiayaan Pembiayaan
Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi
Provinsi Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
Provinsi Kabupaten/Kota

7,69% 0,49%
7,69% 0,49% 1,12%
1,12% Pembentukan Dana Dana
Pembentukan 0,30% 0,30%3,12%
3,20% 3,20%
8,81%
3,12% 8,81%
Cadangan
Cadangan
Penyertaan Modal
Penyertaan Modal
(Investasi) Daerah
(Investasi) Daerah
Pembayaran Pokok Utang
Pembayaran Pokok Utang 28,49%
28,49%
Pemberian Pinjaman
Pemberian Pinjaman
Daerah
Daerah Kegiatan
Pembayaran 56,06%
90,70% Lanjutan
Pembayaran Kegiatan 56,06%
90,70% LanjutanPerhitungan
Pengeluaran
Pihak Ketiga
Pengeluaran Perhitungan
Pihak Ketiga
Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kemiripan, namun berbeda
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/
halnya jika dilihat dari sisi Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh
kota mempunyai
Secara kemiripan,
persentase, pola namunprovinsi
Penerimaan Pembiayaan berbeda halnya jika
dan kabupaten/kota dilihat
mempunyai darinamun
kemiripan, sisi berbeda
halnya jika dilihat dari sisi Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh

90 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya
didominasi oleh Penyertaan Modal Pemerintah Daerah, sedangkan pada
kabupaten/kota terdapat 2 (dua) komponen yang dominan, yaitu (i) Penyertaan
Modal Pemerintah Daerah, dan (ii) Pembayaran Pokok Utang. Pembayaran
Pokok Utang terbesar untuk tingkat kabupaten/kota ditempati oleh Kabupaten
Ogan Ilir (Rp119,5 Miliar), dan untuk Penyertaan Modal Pemerintah Daerah
terbesar ditempati oleh Kabupaten Muara Enim (Rp124,3 miliar). Sementara
itu untuk tingkat provinsi, daerah yang menganggarkan penyertaan modal
terbesar ditempati oleh Provinsi DKI Jakarta (Rp7,1 triliun). Selanjutnya,
penjelasan lebih detil mengenai pembiayaan dapat dijelaskan pada bahasan
di bawah ini.

a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran


Selisih pengurangan pendapatan terhadap belanja pada realisasi APBD
merupakan sisa dana yang dapat bernilai minus ataupun positif. Apabila
sisa dana tersebut bernilai minus disebut defisit, dan jika positif disebut
surplus, yang dalam APBD dinamakan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
(SiLPA). Besaran SiLPA yang tercantum dalam APBD tahun anggaran 2014
merupakan perkiraan besaran SiLPA yang akan terjadi pada akhir tahun
anggaran berkenaan. Apabila terdapat nilai SiLPA yang sangat besar, hal ini
mengindikasikan adanya kekurangcermatan dalam penyusunan anggaran
maupun terdapat kendala dalam pelaksanaannya, sehingga penyerapan
anggaran belanja berpotensi kurang optimal. Anggaran belanja yang sudah
dialokasikan semestinya dapat terserap pada tahun anggaran berkenaan.
Penyerapan yang kurang optimal akan mengakibatkan adanya saldo (SiLPA)
yang merupakan dana idle yang belum dimanfaatkan. Di bawah ini akan
dijelaskan mengenai rasio SiLPA terhadap belanja yang merupakan persentase
porsi belanja yang tidak terserap atau tertunda. Rasio tersebut dapat dilihat
dalam grafik 4.9 berikut :

Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 91


1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 4.9
Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

32,5%
35%

23,8%
30%
25%

17,8%
14,4%
20%

13,1%
11,9%
11,3%
10,8%
10,3%
9,7%
15%

9,2%
9,1%
8,1%
7,7%
7,6%
6,7%
6,3%
5,6%
5,3%
5,3%
5,2%
5,1%
5,1%
4,8%
4,8%
4,4%

10%
4,2%
3,5%
3,4%

09%
2,8%
2,6%
2,4%
2,0%
1,9%

5%
0%
Malut
Sulteng

Sulsel
Sumut

Papua

Sumsel
Sulbar

Papbar

Jabar

Jambi

Bali
NTB

Lampung

Sulut

Jateng
NTT

Maluku

DIY
Sumbar

Aceh

Babel
Jakarta
Gorontalo

Banten
Kepri

Riau
Kalbar

Bengkulu
Sultra

Kalsel

Kaltim
Jatim

Kalteng

Kaltara
Sumber: APBD
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2014 (Diolah)

Rasio rata-rata
Rasio rata-rata SiLPAbelanja
SiLPA terhadap terhadap belanja
daerah secara daerah
agregat provinsi, secara
kabupaten agregat
dan kota provinsi,
adalah sebesar 8,6%,
kabupaten
yang dan kota
berarti naik sebesar adalah
1,2% dari sebesarsebesar
tahun sebelumnya 8,6%, yang
7,4%. berarti
Sementara naik sebesar
itu, pemegang 1,2%
posisi tertinggi dari
rasio SiLPA
tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi
terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%).

rasio SiLPA
Selanjjutnya untuk rasioterhadap belanja
terendah (terbaik) daerah
adalah Provinsi Maluku adalah
Utara (1,9%),Provinsi Kalimantan
yang diikuti oleh Provinsi Sulawesi Utara
Tengah

(32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%). Selanjjutnya


(2,0%).

untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang
2.diikutiPemerintah
oleh Provinsi
KabupatenSulawesi Tengah (2,0%).
dan Kota Se-Provinsi
Grafik 4.10

Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *


35,8%

40%
25,7%

30%
18,4%
15,3%

20%
12,5%
11,4%
9,7%
9,0%
8,8%
8,5%
7,9%
7,6%
7,0%
6,8%
6,7%
5,5%
5,5%
5,2%
5,1%
4,8%

10%
4,4%
4,2%
4,2%
4,2%
3,7%
3,7%
3,4%
3,2%
3,0%

08%
2,1%
1,9%
1,8%
1,6%

0%
Malut
Papbar

Aceh

Jabar

Bali
Babel

Jambi
Sulteng

Papua
Sulsel
Sumut

Sulut
Sulbar
Sumsel

DIY

Jateng

Sumbar
NTB

Lampung
NTT

Maluku

Banten
Kepri

Riau
Gorontalo

Bengkulu

Kalbar

Kalsel

Kaltim
Sultra

Jatim

Kalteng

Kaltara

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


92 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
yang berarti naik sebesar 1,2% dari tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA
terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%).
Selanjjutnya untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah
(2,0%).
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 4.10
Grafik 4.10
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi*)
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *

35,8%
40%

25,7%
30%

18,4%
15,3%
20%

12,5%
11,4%
9,7%
9,0%
8,8%
8,5%
7,9%
7,6%
7,0%
6,8%
6,7%
5,5%
5,5%
5,2%
5,1%
4,8%
10%
4,4%
4,2%
4,2%
4,2%
3,7%
3,7%
3,4%
3,2%
3,0%

08%
2,1%
1,9%
1,8%
1,6%

0%
Malut
Papbar

Aceh
Sulteng

Papua
Sulsel

Bali
Babel

Jambi
Sumut

Sulbar
Sumsel

Jateng
Jabar
NTB

Lampung

Sulut

Sumbar
NTT

Maluku

DIY

Banten
Kepri

Riau
Gorontalo

Bengkulu

Kalbar

Kalsel

Kaltim
Kaltara
Sultra

Jatim

Kalteng
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta

Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota


se-provinsi adalah 8,2%, yang berarti naik 1,4% dari tahun lalu sebesar
6,8%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah
kabupaten dan kota se-provinsi adalah Provinsi Kalimantan Utara (35,8%),
dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (25,7%). Sementara itu, yang
terendah (terbaik) adalah adalah Provinsi Gorontalo (1,6%), dan diikuti olrh
Provinsi Sulawesi Tengah (1,8%)

Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 93


* Tidak termasuk DKI Jakarta
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah 8,2%, yang berarti naik 1,4%
dari tahun lalu sebesar 6,8%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-
provinsi adalah Provinsi Kalimantan Utara (35,8%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (25,7%). Sementara itu, yang
terendah (terbaik) adalah adalah Provinsi Gorontalo (1,6%), dan diikuti olrh Provinsi Sulawesi Tengah (1,8%)
3. Pemerintah Provinsi
3. Pemerintah Provinsi
Grafik 4.11
Grafik 4.11
Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi

16,7%
16,5%
20%

15,8%
13,9%
13,0%
13,0%
12,9%
16%

11,1%
10,8%
10,3%
12%

8,7%
8,4%
8,2%
7,5%
7,4%
7,3%
6,2%
6,2%
6,0%
5,5%
08%
8% 5,1%
4,6%
4,6%
4,6%
4,3%
3,3%
2,8%
2,7%
2,1%
1,9%
1,5%

4%
0,6%
0,4%
0,4%

0%
Sulsel
Malut

Jambi

Papbar
Babel
Sumut

Jateng

Sulteng

Sumsel

Sulut
Sulbar
Sumbar

Papua
Jabar

Aceh
Bali
NTB

Lampung

NTT

Maluku

DIY

Jakarta
Banten

Kepri

Riau
Kalbar

Jatim
Gorontalo

Bengkulu

Kaltim
Sultra

Kalteng

Kalsel

Kaltara
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah pemerintah provinsi
adalah 8,4%
Rasio rata-rataatau naik 1,8%
SiLPA terhadap daripemerintah
belanja daerah tahun provinsi
lalu sebesar
adalah 8,4%6,6%. Pemegang
atau naik 1,8% posisi
dari tahun lalu sebesar

tertinggi
6,6%. Pemegang rasio SiLPArasio
posisi tertinggi terhadap
SiLPA terhadapbelanja pemerintah
belanja pemerintah provinsi
provinsi adalah adalah
Provinsi Bali Provinsi
(16,7%), dan diikuti oleh

Bali (16,7%), dan diikuti oleh Provinsi Aceh (16,5%). Sementara itu, yang
Provinsi Aceh (16,5%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,4%), dan diikuti oleh
Provinsi Sumatera Utara (0,4%).
terendah (terbaik) adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,4%), dan diikuti
oleh Provinsi Sumatera Utara (0,4%).
4. Per Wilayah
4. PerRasio
Wilayah
rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau naik 0,3% dari sebelumnya sebesar 7,75%.
Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera (8,0%). Sementara
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau
itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi (3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
naik 0,3%
Secara lebih darirata-rata
detil, rasio sebelumnya sebesar
SiLPA antar wilayah tersebut7,75%.
dapat dilihatPemegang posisi
pada grafik dibawah ini. tertinggi rasio
ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera
(8,0%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi
(3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
Secara lebih detil, rasio rata-rata SiLPA antar wilayah tersebut dapat dilihat
pada grafik dibawah ini.

94 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Grafik
Grafik 4.12
4.12
Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *)
Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *
20%
16,7%

15%

10% 8,0%
8,1% 7,3%
4,5%
5% 3,5%

0%
Sulawesi NT Maluku Papua Jawa_Bali Sumatera Kalimantan

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
* Tidak termasuk DKI Jakarta

C. C. Penerimaan
Penerimaan Pembiayaan yangPembiayaan
berasal dari Pinjaman yang berasal dari

Pinjaman
Pos pembiayaan dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (i) Penerimaan Pembiayaan, dan
(ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA dan Pinjaman
Pos pembiayaan dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian,
Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dan Pengembalian Pinjaman
yaitu (i) Penerimaan Pembiayaan, dan (ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk
Daerah. Pinjaman Daerah sangat diperlukan untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari Pemerintah,
Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA
Penerusan Pinjaman melalui Pemerintah, Pemerintah daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga keuangan bukan bank,
dan Pinjaman Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah
maupun Obligasi Daerah. Berikut
Penyertaan Modalini Pemerintah
disajikan rasio Pinjaman
Daerahterhadap Pendapatan Daerah dilihat
dan Pengembalian Pinjamandari pembagian
Daerah.lima wilayah,
pemerintah kabupaten dan
Pinjaman kota se-provinsi,
Daerah sangat dan pemerintah provinsi.
diperlukan untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman
Daerah dapat bersumber dari Pemerintah, Penerusan Pinjaman melalui
1. Pemerintah,
Agregat Provinsi, Pemerintah daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga
Kabupaten dan Kota
keuangan bukan bank, maupun Obligasi Daerah. Berikut ini disajikan rasio
Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah dilihat dari pembagian lima wilayah,
pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi, dan pemerintah provinsi.

Grafik 4.13
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 95


1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Grafik 4.13
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

3,0%

2,5%
2,5%

1,7%
2,0%

1,5%
1,3%
1,5%

1,0%
0,9%
1,0%

0,6%
0,6%
0,5%
0,4%
0,4%
0,4%
0,3%
0,3%
0,3%
0,2%
0,1%
0,1%

0,5%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%

0,3%
0,0%
Jambi

Babel

Bali

Papbar
DIY

Jabar
Aceh

Jateng

Sulbar
Papua
Sumsel

Sulsel

Malut
Sulut

Sumbar
Banten

Kepri

Maluku

Sumut

Jakarta
Sulteng

Lampung
NTT

Riau

NTB
Kaltara

Kalsel
Kaltim

Bengkulu
Kalbar

Gorontalo
Kalteng

Jatim

Sultra
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap
kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor
pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan kota adalah sebesar 0,3%.
125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah
Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan
yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari
dalam
grafik di atasPMK Nomor
juga dapat 125/PMK.07/2013,
dilihat terdapat dan
10 wilayah provinsi dari 33 kalau
wilayah provinsi dirata-ratakan adalah
tidak menganggarkan penerimaan
sebesar
pinjaman dalam4,31%.
APBD-nya. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah yang
melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio
2.ini adalah Provinsi
Pemerintah KabupatenGorontalo (2,5%.) Dari grafik di atas juga dapat dilihat
dan Kota se-Provinsi

terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 Grafikwilayah


4.14 provinsi tidak menganggarkan
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
penerimaan pinjaman dalam APBD-nya.
2,5%
2,1%
1,9%

2,0%
1,6%
1,3%
1,2%

1,5%
0,7%
0,7%
0,6%

1,0%
0,5%
0,5%
0,5%
0,4%
0,4%
0,2%
0,2%
0,2%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%

0,5%
0,1%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%

00%
0,0%
Jambi

Babel

Bali

Jabar
Aceh

Papbar
DIY

Sulsel
Sulut

Jateng

Sulbar
Sumsel
Papua

Malut
Banten

Kepri

NTT

Maluku

Sumut

Sumbar

Sulteng
Riau

Lampung

NTB
Kaltara

Kalsel
Kaltim
Kalteng

Kalbar
Bengkulu
Jatim

Gorontalo
Sultra

96 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan
kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor
125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah
yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari

2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi


grafik di atas juga dapat dilihat terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 wilayah provinsi tidak menganggarkan penerimaan
pinjaman dalam APBD-nya.

Grafik 4.14
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah
Grafik 4.14
RasioPemerintah Kabupaten
Pinjaman terhadap Pendapatan dan Kota
Daerah Pemerintah se-Provinsi
Kabupaten *) *
dan Kota se-Provinsi

2,5%

2,1%
1,9%
2,0%

1,6%
1,3%
1,2%
1,5%

0,7%
0,7%
0,6%
1,0%

0,5%
0,5%
0,5%
0,4%
0,4%
0,2%
0,2%
0,2%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,5%
0,1%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%

00%
0,0%
Jambi

Babel

Bali

Papbar
Jabar
Aceh

Sulsel

Jateng

Sulbar
Sumsel
Papua
DIY
Sulut

Sulteng

Malut
Banten

Kepri

Maluku

Sumut

Sumbar
NTT

Riau

Lampung

NTB
Kaltara

Kalsel
Kaltim
Kalteng

Jatim

Kalbar
Bengkulu

Gorontalo
Sultra
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap
pendapatan daerah pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah sebesar
0,3%, Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi
Gorontalo (2,1%), yang diikuti oleh Provinsi Maluku Urata (1,9%).Dalam hal
ini terdapat 13 daerah yang rasio pinjamannya di atas nilai rata-rata.

3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan
pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana dapat dilihat dalam grafik 4.15.
Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan
(3,7%), Provinsi Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan
Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka Provinsi
DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerah dengan pemegang posisi
nilai terbesar.

Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 97


3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana
dapat dilihat dalam grafik 4.15. Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan (3,7%), Provinsi
Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka
Provinsi DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerahGrafik 4.15 posisi nilai terbesar.
dengan pemegang
Rasio Pinjaman terhadap Grafik
Pendapatan
4.15 Pemerintah Provinsi
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi

3,4%
3,5%
3,7%
4,0%

3,0%

2,0%

0,4%
1,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,2%
0,0%

Bali
Aceh

Jambi

Jabar

Babel

Papbar
Sumut
Sumbar

Sumsel

Jateng
DIY

Sulut
Sulteng

Papua
Malut

Sulbar

Sulsel
Riau

Lampung

NTB
NTT
Maluku

Banten

Kepri

Jakarta
Bengkulu

Kalsel
Kaltim

Kaltara

Gorontalo
Jatim
Kalbar
Kalteng

Sultra
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah

Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang melampaui batas maksimal
Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah
pinjaman sesuai ketentuan PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan pelampauan defisit
satu daerah yang melampaui batas maksimal pinjaman sesuai ketentuan
terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah
PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan
sedangkan batasan yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas fiskalnya, yaitu 3,5% dari pendapatan daerah.
pelampauan defisit terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman
Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah sedangkan
batasan
4. yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas
Per Wilayah

fiskalnya, yaitu
Secara 3,5%
total, daerah dariNusa
di wilayah pendapatan
Tenggara, Maluku,daerah.
dan Papua mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan
per wilayah tertinggi (0,4%), atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan rasio pinjaman terendah

4. Per Wilayah
Secara total, daerah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan per wilayah tertinggi (0,4%),
atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan
rasio pinjaman terendah adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya,
rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah
ini.

98 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya, rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah
ini.

Grafik 4.16
Grafik 4.16
Rasio pinjaman/pendapatan
Rasio pinjaman/pendapatan per per wilayah
wilayah * *)
0,50%
0,39%
0,40%
0,32%
0,29%
0,30%
0,26%
0,20% 0,15%
0,12%
0,10%

0,00%
Kalimantan Sulawesi Jawa_Bali Sumatera NT Maluku Papua

Sumber: APBD 2014 (Diolah)


Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
* Tidak termasuk DKI Jakarta

5. 5. yang
Daerah Daerah yang
Melampaui Batas Melampaui Batas
Maksimal Defisit yang DibiayaiMaksimal
Pinjaman Defisit yang
Dibiayai Pinjaman
Dalam tahun 2014, pembatasan maksimal defisit yang dapat dibiayai dari pinjaman diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan

Dalam tahun
Nomor 125/PMK.07/2013 2014,
tentang Batas pembatasan
Maksimal maksimal
Kumulatif Defisit defisit
APBD, Batas yang
Maksimal dapat
Defisit dibiayai
APBD dan Batas Maksimal
Kumulatif dari pinjaman
Pinjaman diatur
Daerah Tahun melalui
Anggaran Peraturan
2014. Dalam Menteri
PMK tersebut Keuangan
ditetapkan Nomor
batas maksimal 125/
kumulatif defisit APBD
(nasional)PMK.07/2013 tentangadalah
yang dibiayai dari pinjaman Batas
sebesarMaksimal Kumulatif
0,3% dari proyeksi Defisithalnya,
PDB. Demikian APBD,batas Batas
maksimal defisit
Maksimal
masing-masing daerah Defisit
terhadap APBD dan Batas
pendapatannya Maksimal
juga tidak Kumulatif
boleh terlampaui sesuaiPinjaman Daerah
kategori kapasitas Tahunyaitu 6,5%
fiskalnya
Anggaran
untuk kategori kapasitas2014. Dalam
fiskal sangat tinggi;PMK tersebut
5,5% untuk kategoriditetapkan
kapasitas fiskalbatas
tinggi; maksimal kumulatif
4,5% untuk kategori kapasitas fiskal
defisit
sedang; dan APBD
3,5% untuk (nasional)
kategori yangrendah.
kapasitas fiskal dibiayai
Apabiladari
APBD pinjaman adalah
melampaui batas sebesar
defisit yang 0,3%
ditentukan, maka daerah
daridahulu
harus terlebih proyeksi PDB.persetujuan
mendapatkan Demikian halnya,defisit
pelampauan batas darimaksimal defisit
Menteri Keuangan c.q. masing-masing
Dirjen Perimbangan Keuangan.
daerah terhadap pendapatannya juga tidak boleh terlampaui sesuai kategori
Tabel 4.3. di bawah ini menunjukkan beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya telah
kapasitas fiskalnya yaitu 6,5% untuk kategori kapasitas fiskal sangat tinggi;
terlampaui.
5,5% untuk kategori kapasitas fiskal tinggi; 4,5% untuk kategori kapasitas
Tabel 4.3
fiskal sedang; dan 3,5% untuk kategori kapasitas fiskal rendah. Apabila
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
APBD melampaui batas defisit yang ditentukan, maka daerah harus terlebih
Dari tabel dimendapatkan
dahulu atas dapat dilihat persetujuan
adanya 19 daerah yang pinjamannya
pelampauan melampaui
defisit dari batas yang ditentukan.
Menteri Keuangan Untuk posisi
tertinggi adalah KabupatenPerimbangan
c.q. Dirjen Buton (11,4%). Apabila daerah Tabel
Keuangan. yang defisit
4.3.anggarannya
di bawah akanini
ditutup dengan pinjaman telah
menunjukkan
melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk

Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 99


beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya
telah terlampaui.

Tabel 4.3
Daerah dengan % Pinjaman diatas Batas yang ditetapkan

Batas Pinjaman
Sesuai Pendapatan Daerah dan
%
No Nama Daerah dengan (miliar Obligasi
Pinjaman
PMK 125 rupiah) (miliar
tahun 2013 rupiah)
1 Kab. Buton 3,5% 878,8 100,0 11,4%
2 Kab. Halmahera Selatan 5,5% 701, 77,8 11,1%
3 Kab. Boalemo 3,5% 540,4 51,0 9,4%
4 Kab. Keerom 5,5% 750,5 60,0 8,0%
5 Kab. Lombok Barat 3,5% 1.133,6 90,0 7,9%
6 Kab. Mukomuko 3,5% 648,4 47,5 7,3%
7 Kab. Lampung Selatan 3,5% 1.263,4 91,0 7,2%
8 Kab. Temanggung 3,5% 1.094,3 76,5 7,0%
9 Kab. Morowali 4,5% 516,6 33,3 6,5%
10 Kota Mataram 3,5% 961,1 60,0 6,2%
11 Kab. Bangkalan 3,5% 1.417,4 87,5 6,2%
12 Kab. Muara Enim 4,5% 1.730,3 97,3 5,6%
13 Kab. Puncak 4,5% 1.075,3 60,0 5,6%
14 Kab. Pesawaran 3,5% 902, 50,0 5,5%
15 Kab. Kampar 4,5% 2.157,3 113,0 5,2%
16 Kab. Sambas 3,5% 1.171,7 48,6 4,1%
17 Prov. Sulawesi Selatan 3,5% 5.593,9 207,5 3,7%
18 Kab. Sidenreng Rappang 3,5% 822,7 30,0 3,6%
19 Kota Gorontalo 3,5% 789,3 28,5 3,6%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)

Dari tabel di atas dapat dilihat adanya 19 daerah yang pinjamannya


melampaui batas yang ditentukan. Untuk posisi tertinggi adalah Kabupaten

100 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


Buton (11,4%). Apabila daerah yang defisit anggarannya akan ditutup dengan
pinjaman telah melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut
harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk mendapatkan
persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan. Dari 19 daerah tersebut di atas, baru Kabupaten Bualemo yang
telah mengajukan ijin pelampauan defisit.

D. Dana Idle
Rekening kas umum daerah merupakan rekening daerah untuk
menampung uang masuk maupun uang keluar yang dibuka pada bank umum
dan BPR. Seiring dengan pelaksanaan anggaran, pergerakan arus uang masuk
dan uang keluar milik daerah dapat diketahui melalui bank sentral yaitu
Bank Indonesia. Apabila arus uang masuk lebih besar daripada arus uang
keluar, maka akan terjadi penumpukan dana (idle). Dana idle ini merupakan
akumulasi dari penerimaan berupa pendapatan, transfer dana perimbangan,
penerimaan pembiayaan setelah dikurangi belanja. Dana Idle terjadi antara
lain karena pemerintah daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga
apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara
arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu
besar dan ditahan terlalu lama justru akan menghambat kegiatan pemberian
layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat
dalam grafik 4.17 berikut :

Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 101


daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara
arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu besar dan ditahan terlalu lama justru akan
menghambat kegiatan pemberian layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat dalam grafik 4.17
berikut :
Grafik
Grafik4.17
4.17
Dana Pemda
DanadiPemda
Perbankan
di Perbankanper Bulan
per Bulan (Bulan
(Bulan Desember)
Desember)

120.000
99.240
94.313
100.000
80.446
80.000 66.905 66.881
miliar rupiah

62.088
60.000 51.927
38.743
40.000 28.519 32.336
27.432
23.345
20.000

0
2010 2011 2012 2013

Nasional Provinsi Kota/kabupaten

Sumber:
Sumber: Bank (Diolah)
Bank Indonesia Indonesia (Diolah)
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu
mencapai titik terendah pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan pada posisi bulan Desember
berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu mencapai titik terendah
tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle
pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan
provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru
pada posisi bulan Desember tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana
pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle
provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan
tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru mengalami peningkatan.
Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per
provinsi dapat dilihat pada grafik 4.18 di bawah ini.

102 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


mengalami peningkatan. Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per provinsi dapat dilihat pada
grafik 4.18 di bawah ini.
Grafik 4.18
Grafik 4.18
Dana Pemda
Dana Pemda di Perbankan AgregatAgregat
di Perbankan Kab/kota/Provinsi
Kab/kota/Provinsi

14.000
12.000
10.000
Miliar Rupiah

8.000
6.000
4.000
2.000
MALUT

BABEL

SULUT

DIY

SUMBAR

KALSEL
NTB
SULTENG

SULTRA
KALBAR

KEPRI

SULSEL

NTT

JATENG
SULBAR

SUMUT
SUMSEL

KALTIM
Papua Barat

JATIM
JABAR
KALTENG
MALUKU

PAPUA

JAKARTA
GORONTALO

LAMPUNG

JAMBI

ACEH

RIAU
BANTEN
BENGKULU

BALI
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)

Daerah yang menduduki posisi tertinggi simpanan pemda di perbankan agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan
DesemberDaerah
2013 adalahyang
Provinsi menduduki posisidisusul
Kalimantan Timur, kemudian tertinggi simpanan
oleh Provinsi Jawa Tengah,pemda
dan Provinsidi
DKIperbankan
Jakarta.
Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai
agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan Desember 2013 adalah Provinsi
APBD suatu daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank umum dan BPR. Adapun nilai korelasi
Kalimantan Timur, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi
besaran nilai APBD terhadap besaran nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%.
DKI Jakarta. Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai
APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai APBD suatu
daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank
umum dan BPR. Adapun nilai korelasi besaran nilai APBD terhadap besaran
nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%.

Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014 103
BAB V
REALISASI BELANJA DAERAH
APBD 2014 SAMPAI DENGAN
BULAN MEI 2014

Guna merespon tuntutan yang tinggi atas kecepatan informasi


penyerapan belanja daerah yang bersifat periodik dengan interval waktu yang
relatif singkat, telah dibuat sebuah instrumen yang dapat digunakan untuk
memonitor besarnya penyerapan belanja APBD secara bulanan. Instrumen ini
didasarkan pada data-data sekunder untuk dapat membuat proxy penyerapan
belanja daerah per bulan per provinsi, yang merupakan agregasi penyerapan
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dalam satu wilayah provinsi.
Dengan cakupan informasi penyerapan belanja yang lebih luas, diharapkan
dapat memberikan bahan masukan yang lebih baik bagi Pemerintah Pusat
untuk mendesain kebijakan keuangan ke daerah.

Pendekatan ini merupakan proxy dengan menggunakan data dana


pemerintah daerah di perbankan per bulan dari Bank Indonesia, data realisasi
transfer per bulan dan proxy realisasi PAD. Laporan estimasi penyerapan
bulanan ini mempunyai lag time kurang dari 20 hari setelah akhir bulan
yang bersangkutan. Lag time ini terjadi karena salah satu sumber informasi
utama yang dijadikan sebagai basis estimasi adalah informasi dana pemda di
Bank Umum per provinsi yang baru dapat diterima setelah 15 hingga 20 hari
setelah berakhirnya bulan yang diobservasi (sumber dari Bank Indonesia).

Dalam analisis ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut :


1. Dana pemerintah daerah di perbankan per bulan (sumber : Bank
Indonesia);

104 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


2. Realisasi transfer per bulan (sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan);
3. Laporan realisasi PAD per triwulan (sumber: Ditjen Perimbangan
Keuangan).

Adapun cara perhitungan yang dipakai menggunakan langkah-langkah


sebagai berikut :
1. Langkah Pertama
- Menghitung total realisasi dana transfer yang disalurkan ke daerah
berdasarkan nomor SP2D per provinsi;
- Mengestimasi realisasi PAD yang berasal dari laporan realisasi APBD
per triwulan, dibedakan antara realisasi PAD Kabupaten/Kota/Provinsi.
2. Langkah Kedua
- Menghitung realisasi belanja dengan rumus sebagai berikut :

Belanja = DPdP(t-1)+DT(t)+PAD(t)-DPdP(t)
Keterangan :
DPdP = Dana Pemerintah Daerah di Perbankan
DT = Dana Transfer
PAD = Estimasi Penerimaan dari PAD
t = bulan ke t
3. Langkah Ketiga

Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :

% Belanja = estimasi belanja / anggaran belanja APBD

Analisis ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :


1. Hanya dapat membuat estimasi realisasi belanja pemerintah daerah
secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk masing-masing
provinsi.
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total,
tidak per jenis belanja.
3. Masih terdapat lag 15 - 20 hari untuk dapat menyajikan laporan
realisasi bulanan per provinsi.

Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014 105
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :

% Belanja = estimasi belanja / anggaran belanja APBD

Analisis ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :


total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
1. Hanya dapat membuat
2013 yaitu sebesarestimasi
4,1% danrealisasi belanja
tahun 2012 pemerintah
yaitu sebesar daerah secara
4,9%. Sedangkan agregat
pada akhir provinsi,
triwulan I tahun kabupaten, dan
2014, estimasi kota untuk
realisasi
Atasbelanja
dasar
masing-masing metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei
provinsi.
daerah adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2014
dapat diketahui bahwa
2013, yaitu sebesar realisasi
13,6% dan tahun belanja
2012 yaitu sebesar daerah
13,3%. Realisasi adalah
bulan Mei sebesar
2014diperkirakan
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total, tidak per jenis belanja. 24,6%.
sebesar 24,6%, lebih Hal ini
rendah jikadibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
bisa dilihat
3. Masih pada
terdapat lag 15 - 20Grafik 5.1menyajikan
hari untuk dapat berikut. laporan realisasi bulanan per provinsi.
Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah
Atas dasar metode
diperkirakan lebih rendah tersebut didengan
proxydibandingkan atas,periode
sampai dengan
yang bulan Mei sebelumnya.
sama tahun-tahun 2014 dapat diketahui bahwa realisasi belanja
daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini bisa dilihat pada GrafikGrafik
5.1 berikut.5.1

Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan


Grafik 5.2 2014
Realisasi Belanja Daerah (Agregat
2012,Provinsi, Kabupaten
2014 dan Kota)
Perbandingan Realisasi APBD
(Agregat
2011,
Bulan Mei 2014 (triliun rupiah) Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
2013 dan
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
100 800.000

700.000
80
600.000
Miliar Rupiah

60 500.000
%

400.000
40 Anggaran
300.000
200.661 (Milyar)
20 200.000 151.986
95.441 815.907
63.235
100.000 32.600 Anggaran
0 708.214
(Milyar)
Jan - Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Septem Novemb Desemb 593.506
2014 4,0 7,8 11,7 Maret
Januari Februari 18,6 24,6
April Mei Juni Juli Agustus Oktober 815.907
ber er er
2013 4,1 2014 8,4 13,6 95.440
32.600 63.235 20,5 151.98
26,9 200.66
34,3 44,8 50,6 57,6 66,6 75,5 96,1 495.274
708.214
2012 4,9 2013 8,3 13,3 96.144
28.838 59.534 20,2 145.35
26,3 190.85
34,6 242.6642,8317.30 50,8
358.55 58,7
407.72 66,6 75,5 680.84
472.02 534.68 96,2 593.506
2011 4,8 2012 8,4
29.024 49.297
14,0 78.875
20,3 119.89
26,8 155.99
33,1 205.0842,4253.98 54,4
301.56 58,8
348.25 67,1
395.34 448.10
76,1 570.72
98,8 495.274
2011 23.650 41.927 69.545 100.64 132.85 164.16 210.62 269.92 291.52 332.77 377.68 490.44

Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)


Sumber : Bank
Sumber : Bank Indonesia Indonesia
dan Ditjen dan Ditjen
Perimbangan Keuangan (data diolah)Perimbangan Keuangan (data diolah)

Realisasi penyerapan belanja secara


Grafik 2 menggambarkan persentase
realisasibelanja menunjukkan
daerah perbandingan
yang menunjukkan perkiraanantara besaran
penyerapan realisasi
belanja penyerapan
daerah hingga
denganRealisasi
anggaran belanja
bulan Mei penyerapan
2014.(konsolidasi).
Secara nominalSecara
realisasi bulanbelanja
persentase, penyerapan
Mei tahun secara
belanja pada
2014diperkirakan persentase
bulan
sebesar Januari
200,66 triliunadalah sebesar
(total belanja menunjukkan
4,0% dari
daerah

perbandingan antara besaran realisasi penyerapan dengan anggaran belanja


sebesar 815,91 triliun), lebih tinggijika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun

(konsolidasi). Secara persentase, penyerapan belanja pada bulan Januari


adalah sebesar 4,0% dari total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun),
lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan
pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi belanja daerah adalah
sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada
periode yang sama tahun 2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu
sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014 diperkirakan sebesar 24,6%,
lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu
sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.

106 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


PAD = Estimasi Penerimaan dari PAD
total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
t = bulan ke t
2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi
3. Langkah Ketiga
belanja daerah adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :
2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014diperkirakan sebesar 24,6%, lebih
Pada %Grafik 5.1 belanja
Belanjadengan
= estimasi terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d.
rendah jikadibandingkan periode yang/sama
anggaran belanja
tahun 2013APBD
yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
Mei 2014,Analisis estimasi realisasi belanja
ini memiliki beberapa kelemahan yaitu : daerah diperkirakan lebih rendah
Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah
dibandingkan
1. Hanya dengan
dapat membuat
diperkirakan lebih rendah dibandingkan periode
estimasi realisasi
dengan yang
belanja
periode sama
yang pemerintah
sama tahun-tahun
daerah
tahun-tahun secara sebelumnya.
agregat provinsi,
sebelumnya. kabupaten, dan kota untuk
masing-masing provinsi.

Grafik
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja
Grafik 5.2 5.2
secara total, tidak per jenis belanja.

Masih terdapat lag


Realisasi Belanja Daerah
Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) realisasi bulanan per provinsi.
3. 15 - 20 hari untuk dapat menyajikan laporan
Bulan Mei 2014 (triliun rupiah)
Atas dasar metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei 2014 dapat diketahui bahwa realisasi belanja
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) Bulan Mei 2014 (triliun rupiah)
daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini bisa dilihat pada Grafik 5.1 berikut.
800.000
Grafik 5.1
700.000
Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
600.000
100
Miliar Rupiah

500.000

400.000 80

300.000 60
200.661
%

200.000 151.986
40 95.441
63.235
100.000 32.600 Anggaran
20 (Milyar)
- Anggaran
Septem Novemb Desemb (Milyar)
Januari
0 Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Oktober 815.907
ber er er
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2014 32.600 63.235 7,895.44011,7151.9818,6200.66 708.214
2014 4,0 24,6 815.907
2013 28.838
2013 4,1 59.534 8,496.14413,6145.3520,5190.85
26,9 242.66
34,3 317.30
44,8 358.55
50,6 407.72
57,6 472.02
66,6 534.68
75,5 680.84
96,1 593.506
708.214
2012 29.024
2012 4,9 49.297 8,378.87513,3119.8920,2155.99
26,3 205.08
34,6 253.98
42,8 301.56
50,8 348.25
58,7 395.34
66,6 448.10
75,5 570.72
96,2 593.506
495.274
2011 23.650
2011 4,8 41.927 8,469.54514,0100.6420,3132.85
26,8 164.16
33,1 210.62
42,4 269.92
54,4 291.52
58,8 332.77
67,1 377.68
76,1 490.44
98,8 495.274

Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)


Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)

Grafik 2Realisasi penyerapan


menggambarkan belanja secaradaerah
realisasibelanja persentase
yang menunjukkan
menunjukkanperbandingan antara besaran
perkiraan penyerapan realisasi
belanja daerahpenyerapan
hingga
Grafik
dengan
2 menggambarkan realisasi belanjapadadaerah yangsebesar menunjukkan
bulan Mei 2014.anggaran
Secara belanja
nominal(konsolidasi). Secara
realisasi bulan Meipersentase, penyerapan belanja
tahun 2014diperkirakan bulan Januari
sebesar 200,66 triliun adalah
(total belanja 4,0%
daerahdari
perkiraan
sebesar 815,91 triliun), lebih tinggijika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahunnominal
penyerapan belanja daerah hingga bulan Mei 2014. Secara
realisasi bulan Mei tahun 2014 diperkirakan sebesar 200,66 triliun (total
belanja daerah sebesar 815,91 triliun), lebih tinggi jika dibandingkan dengan
estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun 2013 yaitu
sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012
yaitu sebesar 155,99 triliun (total belanja daerah sebesar 593,51 triliun).

Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja
daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu lebih tinggi jika dibandingkan
dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali

Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014 107
2013 yaitu sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012 yaitu sebesar 155,99 triliun (total
belanja daerah sebesar 593,51 triliun).
realisasi belanja daerah pada akhir triwulan I tahun 2014 yang diperkirakan
Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu
hanya sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi
lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali realisasi belanja
belanja
daerah padadaerah pada
akhir triwulan I tahunbeberapa tahunhanya
2014 yang diperkirakan sebelumnya.
sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan
realisasi belanja daerah pada beberapa tahun sebelumnya.
Grafik 5.3
Realisasi Belanja Grafik 5.3Daerah Secara
Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Per
Kabupaten, danProvinsi Bulan
Kota Per Provinsi Mei
Bulan Mei 20142014
(%) (%)
40,0 34,4
35,0
30,0
25,0 24,6
20,0
%

15,0
10,0
5,0 9,6
0,0
Jambi

Bali
Aceh

Papua

Banten

Maluku

Lampung
Riau

Kalimantan Barat

Sumatera Selatan
Bengkulu

Jawa Barat

Gorontalo
Kalimantan Utara
Kalimantan Timur

Papua Barat

Bangka Belitung

DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Timur

Kepulauan Riau

Sumatera Barat

Kalimantan Tengah

Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan

DKI Jakarta

Jawa Tengah
Jawa Timur

Sumatera Utara

Sulawesi Utara
Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tengah

Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Selatan
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)

Grafik 5.3 menunjukkan persentase penyerapan belanja secara agregat


Grafik 5.3 menunjukkan persentase penyerapan belanja secara agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota di provinsi yang
Provinsi, Kabupaten dan Kota di provinsi yang sama sampai dengan bulan
sama sampai dengan bulan Mei 2014. Rata-rata realisasi belanja daerahbulan Mei 2014 agregat per provinsi diperkirakan
Mei 2014.
adalah Rata-rata
sebesar 24,6 %, lebih rendahrealisasi belanja
jika dibandingkan daerah
dengan periode yang sama bulan
tahun 2013 Mei
sebesar 2014
26,9%. agregat per
provinsiSementara
diperkirakan adalah
itu, terdapat 13 sebesar
daerah yang 24,6 belanja
mempunyai realisasi %, lebih
di bawah rendah
rata-rata danjika dibandingkan
21 daerah mempunyai

dengan periode
realisasi belanja di atasyang sama
rata-rata. tahun
Yang menarik 2013
adalah beberapasebesar 26,9%.
daerah di Jawa yang meliputi Provinsi Banten dan DI
Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah rata-rata.
Sementara itu, terdapat 13 daerah yang mempunyai realisasi belanja di
bawah rata-rata dan 21 daerah mempunyai realisasi belanja di atas rata-rata.
Yang menarik adalah beberapa daerah di Jawa yang meliputi Provinsi Banten
dan DI Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah rata-
rata.

Provinsi Sulawesi Utara memiliki realisasi belanja pemerintah daerah


secara agregat yang paling baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal

108 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


ini dapat dilihat dari Grafik 5.3, di mana penyerapan belanja daerahnya pada
bulan Mei 2014 sebesar 34,4%.

Adapun Provinsi Kalimantan Utara memiliki realisasi belanja daerah yang


paling rendah jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, dimana realisasi
penyerapan belanja Pemda di Provinsi Kalimantan Utara hanya sebesar 9,6%,
yang berarti jauh di bawah standar belanja yang ideal.

Daftar Pustaka 109


DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006


tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
__________, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012.
__________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.07/2013 tentang
Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2014.
__________ , Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan.
__________ , Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah.
__________ , Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
__________ , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
__________ , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah.
__________ , Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Bank Indonesia, Dana Pemerintah Daerah di Perbankan.
Mankiw, Gregory, http://gregmankiw.blogspot.com/2010/03/taxes-per-person.
html.

110 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan buku “Deskripsi dan Analisis APBD 2014” dilaksanakan


dengan teamwork yang solid dan tidak akan mungkin terselesaikan tanpa
kontribusi dan kerjasama dari seluruh pihak yang berperan. Oleh karena itu
apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya diejawantahkan dalam
ucapan berikut ini:
- Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan – Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E. – dan Plt. Direktur
Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah – Rukijo, S.E., M.M.
– yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga diselesaikannya
penyusunan buku ini.
- Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data
Keuangan Daerah Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan
Daerah yang telah menyediakan data Ringkasan APBD 2014 melalui
Sistem Informasi Keuangan Daerah.
- Tak lupa kami juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Subdirektorat Dana Alokasi Umum, Subdirektorat Pelaksanaan Transfer I
dan Subdirektorat Pelaksanaan Transfer II - Direktorat Dana Perimbangan,
yang telah menyediakan data guru, PNSD, dan realisasi transfer
pemerintah daerah.
- Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana
Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Ubaidi Socheh Hamidi, S.E.,
M.M.; Ahmad Iskandar, SE, M.Fin.Mgt.; Prasetyo Indro S., SE, ME;
Armansyah Sinaga, S.E.; Faisal, S.E., Ak.; Edi Soeprijono, S.Sos; Nanag
Garendra Timur, S.Si; Maryadi, S.E., M.Si.; Chrisliana Tri Ferayanti, SE,
ME; Radies Kusprihanto Purbo, S.E., M.Sc., Ganjar Prihatmoko, S.E.;
Desain Kristian Gulo, S.E.; Virgin Marthalia, A.Md. dan Lukman Adi

Ucapan Terima kasih 111


Santoso, S.E., M.E.; yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus
mendukung penulisan buku, melakukan editing hingga melakukan setting
layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya.

112 Deskripsi dan Analisis APBD 2014


113
114 Deskripsi dan Analisis APBD 2014
115

Anda mungkin juga menyukai