Anda di halaman 1dari 4

Tajuk: Aku Bukan Pembunuh

Saat melihat mereka berdua yang sedang berasyik-masyuk, tiba-tiba saja dada

ini bergelegak.

“Semua drama ini harus segera diakhiri, Tomi! Harus segera diakhiri!” begitu

keras bisikan itu, hingga memekakkan telingaku.

“Tidaaaaaak. Tidaaak……!” aku berteriak sekuatnya. Lalu segera berlari

menjauh. Entah menjauh untuk apa sebenarnya. Semakin cepat, semakin cepat,

sampai aku rasakan seolah dunia ini gelap.

“Engkau tak akan selamanya bisa lari, Tim,” suara bisikan itu seolah

menyadarkanku.

“Semakin kamu lari, bayangan Viona dan adik tirimu itu semakin nampak jelas

di hadapanmu.”

“Sudahlah, diam! Aku tahu yang menjadi pilihanku. Aku tahu apa yang

terbaik…,” dengan suara lirih, ku coba melawan suara misterius itu.


“Ha…ha…ha… Kamu mimpi, Tom. Hatimu sakit bukan? Istri yang kamu

cintai, tak lebih baik dari seorang pelacur. Sementara adik yang begitu kau

sayangi, menghujami tusukan pedang di hatimu. Kamu sakit, Tom. Kamu

sakit…” suara itu masih saja jelas terdengar. Namun perlahan-lahan lirih hingga

hilang dari pendegaran.

Tak terasa, tiba-tiba bulir-bulir bening ini meluncur deras membasahi pipiku.

Ku usap dengan telapak tanganku, tapi makin bertambah perih mata terasa.

“Ya Tuhan!” dadaku berdegup kencang. Tanganku berlumuran darah. Saat ku

perhatikan pakaianku pun tak luput dari lumuran darah.

“Oh Tuhan. Darah siapakah ini?” masih saja aku tak mengerti. Mengapa tubuh

ini tiba-tiba penuh lumuran darah.

Aku mencoba mengingat kembali peristiwa demi peristiwa yang telah ku lalui.

Sebab seolah ada ruang hampa waktu yang terserak sejak kemarin. Tak ada

yang mampu ku ingat lagi. Sejak terakhir aku dibawa ke rumah sakit jiwa di

kotaku.
“Sabar, Tomi. Cobaan itu adalah sesuatu yang tak kita rencanakan,” begitu

pesan Dokter Harly yang begitu bijak. Tapi amat tidak bijak bagiku, yang telah

dikhianati oleh 2 orang yang begitu aku cintai dan sayangi.

Aku hanya terdiam membisu. Menatap langit-langit ruang konsul dokter

spesialis jiwa yang ku kenal sejak dua minggu yang lalu.

“Sementara untuk beberapa hari ke depan, kamu istirahat dulu di sini,” dengan

suara yang mantab, beliau menepuk-nepuk pundakku. Aku pun hanya bisa

mengangguk pasrah.

Setelah itu, aku tak mampu mengingat apa-apa lagi. Mungkin suntikan itu yang

membuat ingatanku lumpuh. Bahkan seolah aku sendiri tak tahu siapa diriku

sebenarnya.

“Ha…ha…ha… Timothius Chandra. Kau bertanya tentang darah itu bukan?”

suara misterius itu kembali lagi tanpa bisa ku cegah.

Aku mencoba diam, tenang dan mengingat apa yang sesungguhnya terjadi.

“Engkau berhasil sobat. Menyingkirkan duri dalam daging yang menyiksamu.

Vicky, adik tirimu yang licik itu, berhasil kau putus urat lehernya…”
“Apa? Gila! Yang benar saja kau bicara,” aku tak lagi mampu diam.

“Sabar dulu Tomi sayang. Jangan kau marah dulu. Itu masih belum seberapa.”

“Lalu apa?” rasa penasaran ku pun semakin bertambah.

“Kamu tahu Viona bukan?” nada ejekan seolah mengiringi suara itu.

“Kau hujami jantungnya dengan puluhan bahkan ratusan tusuka pisaumu. Kau

hebat Tomi. Ha…ha…ha…,” suara itu pun menghilang dan meninggalkan

gema yang begitu menyayat.

“Ini tidak betul. Sungguh ini tidak betul, Tuhan! Aku amat menyayangi mereka

berdua,” lirih aku bergumam.

Lalu, kembali aku rasakan dunia begitu gelap.

Anda mungkin juga menyukai