Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS DAN KEAMANAN PANGAN

PENETAPAN KADAR PROTEIN PADA TAHU

3 FA 2 / kelompok 2

Nama anggota :

Akmal Rahman Fauzaan 11181055


Anfia Andadari P 11181057
Astri Gingin BH 11181060
Diac Faturochman 11181065
Firman Imanuddin 11181079
Megawati Nababan 11181076
Mia Meliani Grandisa 11181077
M Gagan Ramdani 11181082
Nisa Padilah 11181089

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA


BANDUNG

I. TUJUAN
 Menetapkan kadar protein dalam masing-masing tahu apakah
mempunyai kadar protein minimial 9,0% sesuai syarat mutu tahu SNI.
 Mengetahui perbedaan kadar protein pada masing-masing tahu.

II. PRINSIP
Prinsip metode Kjeldahl yaitu senyawa nitrogen diubah menjadi
ammonium sulfat oleh H2SO4 pekat. Amonium sulfat yang terbentuk
diuraikan dengan NaOH. Amoniak yang dibebaskan diikat dengan asam borat
dan kemudian dititrasi dengan larutan baku asam (SNI-01-2891-1992).

III. TEORI DASAR


Menurut standar industri Indonesia tahu merupakan makanan padat yang
dicetak dari susu kedelai (hasil penghalusan biji kedelai) dengan proses
pengendapan protein tanpa atau dengan penambahan bahan lain (Sarjono dkk,
2006).
Tahu sebagai salah satu produk olahan dari kedelai merupakan sumber
protein yang sangat baik sebagai bahan subtitusi bagi protein susu, daging dan
telur karena jumlah protein yang dikandungnya tinggi. Tahu terbuat dari
kedelai yang bijinya berwarna putih kekuningan.
Protein sebagai sebuah komponen dalam semua sel dan sebagian besar
penyimpanan protein penting bagi fungsi biologis dan struktur sel tubuh.
Protein makanan sangatlah kompleks terdiri dari beberapa elemen termasuk
hidrogen, karbon, nitrogen, oksigen dan sulfur. Umumnya protein kaya akan
asam amino mengandung lebih nitrogen. Transpor protein dapat ditempatkan
dalam membran dimana protein beregulasi dalam aliran material dalam dan
luar sel diantaranya ion, molekul atau elektron atau mereka dapat disebarkan
sebagai pensuplai nutrisi (oksigen) untuk menyeimbangkan bagian organisme
dan membersihkan produk yang tak terpakai (Suzanne, 2009).
Kebutuhan protein perorangan sekitar 0,57 g/kg berat badan per hari (laki-
laki dewasa) atau 0,54 g/kg berat badan per hari (wanita dewasa). Jumlah
tersebut diharapkan sudah cukup untuk memenuhi keperluan menjaga
keseimbangan nitrogen dalam tubuh. Walaupun demikian, kebutuhan protein
dapat mencapai 1 g protein/kg berat badan per hari. Untuk ibu-ibu andung-teki
(ibu yang sedang mengandung atau sedang meneteki) serta anak-anak yang
sedang tumbuh masih ditambah sejumlah protein ekstra (Winarno, 1995).
Penetapan kadar protein yang digunakan adalah metode Kjeldahl. Metode
Kjeldahl bertujuan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan
makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis dengan cara ini adalah
kadar nitrogennya (Batubara, 2009).

IV. ALAT DAN BAHAN


Alat

Alat gelas Alat lainnya

Biuret Neraca analitik

Batang pengaduk Pipet tetes

Destilator (Heating Mantle) Spatula

Gelas ukur Statif

Labu erlenmeyer Cawan penguap

Labu destilasi Destruktor (Digestion Unit)

Labu Kjeldahl Oven

Labu ukur Desikator

Pipet volume

Tabung reaksi

Bahan

Nama bahan Keterangan

Air suling q.s

Asam borat (H3BO3) 2% 10 mL

Asam klorida 0,1 N (HCl 0,1 N) 50 mL

Asam sulfat pekat (H2SO4 pekat) 20 mL

CuSO45H2O 3g

Indikator Campuran (BCG+MR) q.s

Indikator phenol ptalin q.s

K2SO4 2g

NaOH 30% 80 mL

Na2SO4 2g

V. PROSEDUR
LAMPIRAN 1 : Skema Alur Kerja

1 . Destruksi

4 tabung destruksi dan Timbang 1,0 gram sampel


destruktor (pemanas)

garam kjeldahl 4 Masukkan sampel ke


Hubungkan dengan empat tabung destruksi
tabung destruksi
listrik

20 mL asam sulfat Lemari asam Tutup dengan tutup nya dan


pekat hubungkan dengan jet pump

Nyalakan air pada water


jet pump vaccum

Pindahkan ke alat pemanas Tunggu dan amati sampai


dan putar tombol pada angka 8 warna berwarna hijau
bening

Pindahkan tabung ke rak


semula

Tunggu sampai dingin Matikan jet pump

Bilas dengan Kocok sampai homogen


aquadest dengan
cara kuantitatif

Tunggu sampai suhu ruang


dan lakukan destilasi
VI. Data Pengamatan

A. Standarisasi HCl dengan Natrium Tetraborat

 Pembuatan larutan Natrium tetraborat 0,1 N

Keterangan : N = 0,1 N

BM Natrium Tetraborat = 381,37 V = 100 mL

g 1000
N= x
BE v

g 1000
0,1= x
190,685 100

g
0,1= x 10
190,685
19,0685 = 10 x g

g = 1,90685 gram Natrium tetraborat ditimbang = 1,9065 gram

 Titrasi dengan HCl 0,1 N

mL HCl titrasi untuk standarisasi :

1. 11,8 mL

2. 11,9 mL

 Perhitungan N HCl

Berat Natrium Tetraborat = 1,9065 gram Bilangan valensi Na.Tetraborat = 2


Volume Na. Tetraborat yang dibuat = 100 mL BM Na.Tetraborat = 382 mL
titrasi 1 = 11,8 mL

b x valensi x v
N HCl1=
BM x mL titrasi

1,9065 x 2 x 100
N HCl1= =0,085 N
382 x 11,8 mL

Berat Natrium Tetraborat = 1,9065 gram Bilangan valensi Na.Tetraborat = 2


Volume Na. Tetraborat yang dibuat = 100 mL BM Na.Tetraborat = 382 mL
titrasi 2 = 11,9 mL

b x valensi x v
N HCl2=
BM x mL titrasi

1,9065 x 2 x 100
N HCl2= =0,0838 N
382 x 11,9 mL

0,0845+ 0,0838
N HCl2= =0,0841 N
2

B. Persentase Nitrogen dan Protein Sampel

 Sampel 0,0 gram (blanko)

Volume HCl untuk titrasi blanko (V0) = 0,0 mL


%N=
[ (Va−Vo ) N x 14 x 100 % ]
[w ]
= 0%

a. Pengukuran Sampel A Keterangan :

Va = 9,4 mL; 9,5 mL

Vo = 0 mL

N = 0,0841 N

W = 1,0055 g; 1,0056 g

 Pengukuran 1

%N=
[ (Va−Vo ) N x 14 x 100 % ]
w

%N=
[ ( 9,4−0 ) 0,0841 x 14 x 100 % ]
1005,5

% N = 1,1007

% Protein = % N x f

% Protein = 1,1007 x 6,25 = 6,8793%

 Pengukuran 2

%N=
[ (Va−Vo ) N x 14 x 100 % ]
w

%N=
[ ( 9,5−0 ) 0,0841 x 14 x 100 % ]
1005,6

% N = 1,1123

% Protein = % N x f

% Protein = 1,1123 x 6,25 = 6,9518

6,8793 % +6,9518 %
Rata−rata% protein sampel B= =6,9155%
2

b. Pengukuran sampel B Keterangan :


Va = 10,1 mL; 10,8 mL

Vo = 0 mL

N = 0,0841 N

W = 1,0062 g; 1,0064 g

 Pengukuran 1

%N=
[ (Va−Vo ) N x 14 x 100 % ]
w

%N=
[ (10,1−0 ) 0,0841 x 14 x 100 % ]
1006,2

% N = 1,1818

% Protein = %N x f

% Protein = 1,1818 x 6,25 = 7,3862%

 Pengukuran 2

%N=
[ (Va−Vo ) N x 14 x 100 % ]
w

%N=
[ (Va−Vo ) N x 14 x 100 % ]
w

% N = 1,1465%

% Protein = % N x f

% Protein = 1,1465 x 6,25 = 7,1656%

7,3862 %+ 7,1656 %
Rata−rata% protein sampel B= =7,2959 %
2

c. Pengukuran sampel C Keterangan :

Va = 11,3 mL; 11,8 mL

Vo = 0 mL

N = 0,0841 N

W = 1,0047 g; 1,0074 g
 Pengukuran 1

%N=
[ (Va−Vo ) N x 14 x 100 % ]
w

%N=
[ (11,3−0 ) 0,0841 x 14 x 100 % ]
1004,7

% N = 1,3242

% Protein = %N x f

% Protein = 1,3242 x 6,25 = 8,2762%

 Pengukuran 2

%N=
[ (Va−Vo ) N x 14 x 100 % ]
w

%N=
[ (11,8−0 ) 0,0841 x 14 x 100 % ]
1004,7

% N = 1,3791

% Protein = % N x f

% Protein = 1,3791 x 6,25 = 8,6193%

8,2762 %+ 8,6193 %
Rata−rata% protein sampel C= =8,4477 %
2

d. Pengukuran sampel D Keterangan :

Va = 11,3 mL; 10,9 mL

Vo = 0 mL

N = 0,0841 N

W = 1,0053 g; 1,0049 g

 Pengukuran 1
%N=
[ (Va−Vo ) N x 14 x 100 % ]
w

%N=
[ (11,3−0 ) 0,0841 x 14 x 100 % ]
1005,3

% N = 1,3234

% Protein = % N x f

% Protein = 1,3234 x 6,25 = 8,2712%

 Pengukuran 2

%N=
[ (Va−Vo ) N x 14 x 100 % ]
w

%N=
[ (10,9−0 ) 0,0841 x 14 x 100 % ]
1004,9

% N = 1,2771

% Protein = %N x f

% Protein = 1,2771 x 6,25 = 7,9818%

8,2712% +7,9818 %
Rata−rata% protein sampel D= =8,1265 %
2

VII. PEMBAHASAN

Protein dalam tahu bersumber dari kedelai yang dijadikan

sebagai bahan dasar pembuatan tahu. Protein dalam kedelai

merupakan protein nabati, protein sebagai salah satu zat

sangat baik untuk membantu pemenuhan gizi yang dibutuhkan

tubuh. Protein yang terdapat dalam tahu menurut (Standar

Nasional Indonesia, 1998) berkisar minimal 9,0%. Pada

penelitian ini, dilakukan penetapan kadar protein dalam tahu

bermerk yang beredar di supermarket. Sampel yang diambil

adalah empat (4) jenis sampel tahu bermerk yang dijual di

supermarket Superindo dan Yogya dimana di supermarket


tersebut tersedia tahu bermerk yang banyak diminati

konsumen.

Penetapan kadar protein dapat dilakukan dengan

menggunakan beberapa metode. Salah satu metode yang

digunakan adalah metode Kjeldahl dimana ada 3 tahap dalam

penetapan kadar protein menggunakan metode Kjeldahl

diantaranya yaitu tahap destruksi, destilasi, dan titrasi.

Destruksi adalah proses dimana sampel dipanaskan dalam

asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-

unsurnya. Elemen karbon, hidrogen, teroksidasi menjadi CO,

CO2, dan H2O. Sedangkan nitrogennya (N) akan berubah

menjadi (NH4)2SO4.(Sudarmadji, dkk), dalam penentuan

nitrogen ini digunakan sampel berupa tahu. Sampel tersebut

dimasukan ke dalam tabung destruktor (jumlah labu

destruktor 6 buah). Setelah itu masukan garam kjeldahl

sebagai katalis untuk mempercepat proses destruksi

diantaranya Na2SO4, K2SO4, dan CuSO4.5H2O dengan

perbandingan 2;2;3 dan 20 mL H2SO4 pekat 95-97% kedalam

masing-masing tabung destruktor dan dipanaskan. Destruksi

dilakukan sampai semua larutan pada tabung destruktor

Berwarna hijau jernih serta uap yang ditimbulkan sudah

tidak ada. Dalam proses ini mula-mula sampel dan pereaksi

tidak terjadi perubahan warna, saat dipanaskan mulai terjadi

perubahan warna coklat kehitaman dan mengeluarkan asap

putih sampai akhirnya larutan berwarna hijau jernih, tabung

larutan blanko yang paling cepat mencapai warna hijau

jernih karena dalam blanko tidak terdapat sampel tahu

sehingga tidak terjadi pemecahan molekul-molekul. Setelah


larutan mencapai warna hijau jernih semua maka destruktor

dimatikan. Kemudian tabung di bilas secara kuantitatif

perlahan-lahan karena reaksi dengan air bersifat eksoterm.

Proses kedua adalah destilasi yaitu proses pemisahan zat

berdasarkan perbedaan titik didih, menurut (Sudarmadji,

2010) dalam proses ini ammonium sulfat dipecah menjadi

ammonia (NH3). Labu erlenmeyer yang berisi asam borat 10

mL + 3 tetes indikator campuran diletakkan dibawah alat

pendingin/kondensor yang dihubungkan dengan pipa

bengkok untuk saluran keluar destilat. Kemudian labu

destilasi diisi hasil destruksi + larutan NaOH 30% 80 mL + 3

tetes indikator phenoptalin, saat penambahan larutan NaOH

dilakukan dengan hati-hati karena dapat menimbulkan

letupan, terjadi perubahan warna sampel menjadi coklat

hitam pekat. Hubungkan kabel pada sumber listrik, tunggu

sampai proses destilasi selesai. Reaksi yang terjadi yaitu :

NH4+ + NaOH  NH3 + Na+ + OH-

Setelah larutan dalam penampung destilat berwarna biru

kehijauan, maka proses destilasi telah selesai, dengan reaksi

sebagai berikut :

NH3 + H3BO3  NH4 + H2BO3-


Coklat muda Biru kehijauan

Proses terakhir yaitu titrasi, menurut (Sudarmadji, 2010)

apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka

banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat

diketahui dengan titrasi menggunakan asam klorida 0,1 N

dengan indikator (BCG+MR) sehingga titran yang digunakan


adalah larutan HCl yang telah di standarisasi yaitu 0,0841 N.

TAT dalam titrasi berwarna orange muda. Reaksi yang

terjadi sebagai berikut:

H2BO3- + H+  H3BO3

Biru kehijauan

Orange muda Proses

dilakukan duplo
(dua kali proses)

Setelah titrasi selesai dan di dapat volume HCl lalu dihitung


untuk mencari % nitrogen dan protein. Dengan menggunakan
rumus :

( va−vo ) N x 14 x 100 %
%
N W
=

% Protein = %N x faktor konversi

Maka didapat persentase protein dari masing-masing

sampel yaitu 6.9155% (Sampel A); 7.2759% (Sampel B);

8.4477% (Sampel C); 8.1265% (Sampel D). Hasil analisis

menunjukan bahwa kadar protein pada masing-masing

sampel tahu terdapat perbedaan. Perbedaan kadar protein

diantara tahu bermerk tersebut dipengaruhi beberapa

faktor diantaranya cara penggilingan, pemilihan bahan

baku, bahan penggumpal, keadaan sanitasi dan proses

pengolahan pada umumnya. (Koswara, 1995)


Disamping analisa kadar protein pada tahu, dilakukan juga pengukuran kadar air

sebagai pendukung dalam melihat hasil analisa kadar protein pada tahu. Metode yang

digunakan dalam pengukuran kadar air salah satunya adalah thermogravimetri,

menurut (Sudarmadji, 2010) prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan dengan

jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti

semua air sudah diuapkan. Pengukuran kadar air bertujuan menghitung kadar air yang

terkandung dalam sampel dimana kehilangan berat sampel diukur sebagai kadar air.

Pengukuran kadar air dalam penelitian ini mendapatkan hasil sebagai berikut: 72,92%

(Sampel A); 80,82% (Sampel B); 78,08% (Sampel C); 73,87% (Sampel C).

Kadar protein yang di dapat rata-rata 7,6914% dengan kadar air dari seluruh

sampel yaitu rata-rata 76,42%, kadar protein yang didapat dari masing- masing sampel

kurang dari 9,0% seperti yang telah disyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia, hal

ini dijelaskan menurut (Sarwono, 2001) dalam (Midayanto dkk, 2014) yang

menyatakan diduga lama perendaman kedelai berpengaruh terhadap kadar protein,

semakin lama perendaman maka kadar protein semakin menurun sedangkan kadar air

semakin meningkat. Sesuai dengan (Cahyadi, 2002) dalam (Midayanto dkk, 2014)

semakin menurunnya kadar protein dengan semakin lamanya perendaman kedelai

disebabkan lepasnya ikatan struktur protein sehingga komponen protein terlarut dalam

air.
VII. KESIMPULAN

Dari hasil penetapan kadar protein dalam tahu bermerk yang beredar di supermarket dengan

menggunakan metode Kjeldahl, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Masing-masing tahu bermerk mengandung kadar protein kurang dari 9,0%. Hal itu menunjukan

bahwa tahu bermerk tersebut belum memenuhi persyaratan kandungan protein dalam syarat

mutu tahu SNI.

2. Empat (4) sampel tahu bermerk memiliki kadar protein masing masing sebagai berikut: 6.9155%

(Sampel A); 7.2759% (Sampel B); 8.4477% (Sampel C); 8.1265% (Sampel D). Hasil tersebut

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kadar protein pada masing-masing tahu bermerk.
DAFTAR PUSTAKA

Winarno, F. G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Batubara, Ulfa Nazmi. 2009. “Analisa Protein, Kalsium dan Lemak Pada Ikan Pora-
Pora”. Medan: [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.

Standar Nasional Indonesia. 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman

Standar Nasional Indonesia. 01-3142-1998. Tahu

Chang, Sam K.C. 2009. “Protein”. Dalam Nielsen, S.Suzanne (Ed.) Food Analysis. USA:
Springer.
Praktikum Analisis Keamanan Pangan

Penentuan Kadar Gula Pada Minuman Kemasan

Dengan Metode Luff Schoorl

Disusun Oleh :

Akmal Rahman F 11181055

Anfia Andadari P 11181057

Astri Gingin BH 11181060

Diac Faturochman 11181057

Firman Imanuddin 11181069

Megawati Nababan 11181076

Mia Meliana Grandisa 11181077

M. Gagan Ramdani 11181082

Nisa Padilah 11181089


I. Tujuan
Menentukan kadar gula reduksi sebelum dan sesudah inversi pada suatu sampel
II. Prinsip
Metode penetapan kadar gula dengan metode Luff Schoorl yang berdasarkan proses
reduksi dari larutan Luff Schoorl oleh gula-gula pereduksi (semua monosakarida,
laktosa dan maltosa).
III. Alat dan Bahan
Alat : Bahan :
Alat Refluks Minuman Kemasan (Okky Jelly dan Fruit Tea)
Penangas Aquadest
Biuret Larutan Luff Schoorl
Klem dan Statif H2SO4
Erlenmeyer KI
Beakerglass Larutan Thiosulfat
Batang pengaduk Amilum
Pipet Volume NAOH
Pipet tetes Phenolpthalin
Labu ukur Asam Asetat

IV. Prosedur
 Penentuan Kadar Gula Reduksi Sebelum Inversi

Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram sampel kemudian dilarutkan dalam labu
takar 250 ml, lalu ditambahkan aquadest sampai tanda batas.

Kemudian sediakan 2 buah Erlenmeyer 250 ml, selanjutnya dipipet masing-masing


25ml jelly drink dan fruit tea

Dipipet 10 ml larutan luff school, lalu diaduk sampai homogen tambahkan 20 ml


aquadest

Refluks selama 10 menit lalu didinginkan dengan air mengalir


Tambahkan 10 ml H2SO4 6 N diaduk sampai homogen, lalu tambahkan 1 gram KI
diaduk sampai homogen

Dititrasi dengan larutan baku thiosulfat sampai kuning muda, tambahkan 2,5 ml
larutan amilum 1% titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang

 Penentuan Kadar Gula Reduksi Sesudah Inversi

Dipipet 25 ml larutan percobaan untuk gula reduksi, lalu dimasukkan kedalam labu
Erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 100ml aquadest, 10 ml HCl 25%

Kemudian dipanaskan dalam penangas air panas pada suhu 70-80oC selama 10-15
menit

Dinginkan dalam air mengalir, lalu tambahkan 5 tetes indikator phenolpthalin

Lalu dinetralkan dengan menambahkan sedikit demi sedikit larutan NaOH 30%
sampai merah muda

Tambahkan asam asetat 1% sampai kembali ke warna semula.

Masukkan kedalam labu takar 250 ml sampel dimasukkan kedalam 250 ml, lalu
ditambahkan 10 ml larutan luff schoorl, 20 ml aquadest selanjutnya direfluks
selama 10 menit
Dinginkan dengan air dingin yang mengalir, kemudian tambahkan 10 ml H2SO4 6
N diaduk sampai homogen, tambahkan 1 gram KI lalu diaduk sampai homogen.

Dititrasi dengan larutan thiosulfat sampai warna kuning muda, lalu tambahkan 2 ml
larutan amilum 1% titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang.

V. Data Pengamatan

Sampel : jelly drink Sampel : fruit tea


W sampel: 10 ml W sampel : 25 ml
Bobot sakarin: 9,16 mg Bobot sakarin: 150,84 mg

Sampel jelly drink

fp x mg gula x 10−3
Kadar gula reduksi sesudah inversi = x 100 %
w sampel

0,95 x 9,16 x 10−3


= x 100 %
10 ml

= 0,08702%

= 870,2 ppm

Sampel Fruit tea

fp x mg gula x 10−3
Kadar gula reduksi sesudah inversi = x 100 %
w sampel

0,95 x 150,84 x 10−3


= x 100 %
25 ml

= 0,573193 %

= 5,731.93 ppm
VI. Pembahasan
Karbohidrat dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu karbohidrat
sederhana dengan karbohidrat kompleks atau dapat pula menjadi tiga macam yaitu
monosakarida, polisakarida, dan disakarida. Gula merupakan suatu karbohidrat
sederhana yang menjadi sumber energy dan merupakan polisakarida polimer. Untuk
mengetahui kandungan karbohidrat dalam suatu makanan dapat dilakukan dalam
beberapa macam uji kuantitatif.
Karbohidrat sederhana dapat diartikan sebagai suatu senyawa yang terdiri atas
molekul-molekul karbon ( C ), hydrogen ( H ), dan oksigen ( O ) atau karbon dan
hidrat ( H2O ). Karbohidrat yang termasuk kedalam kelompok dapat dicerna adalah
glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa, maltose dan pati.
Praktikum kali ini yang bertujuan untuk menentukan kadar gula terhadap dua
sampel yaitu jelly drink dan fruit tea dilakukan dengan metode Luff Schoorl.
Penetapan kadar gula total terhadap kedua sampel ini dilakukan dengan 2 tahap yaitu
penetapan kadar gula sebelum dan setelah inversi. Penetapan kadar gula sebelum
inversi ditujukan untuk sakarida yang bersifat pereduksi, sedangkan penetapan kadar
gula setelah inversi untuk sakarida yang tidk bersifat pereduksi. Gula pereduksi yaitu
gula yang dapat mereduksi karena adanya gugus aldehid dan gugus keton. Tujuan dari
penetapan kadar gula ini yaitu untuk mengetahui apakah sampel yang diuji memenuhi
spesifikasi persyaratan mutu minuman jeli (SNI 01-3552-1994) untuk jelly drink dan
spesifikasi mutu minuman teh dalam kemasan (SNI 01-3143-1992) untuk fruit tea.
Hasil kali factor kimia dengan selisih kadar gula sebelum dan setelah inversi
menunjukan kadar gula pada masing-masing sampel.
Prinsip dari metode Luff Schoorl berdasarkan pada hidrolisis pati menjadi
gula atau asam. Digunakan pereaksi garam Cu kompleks (Luff) pada penetapan kadar
ini akan membuat gula yang bersifat pereduksi seperti glukosa mereduksi Cu₂⁺,
menjadi Cu⁺ atau CuO. Kelebihan CuO yang dihasilkan ditetapkan dengan metode
titrasi iodometri. Tetapi metode luff school ini mempunyai kelemahan terutama
disebabkan oleh komposisi yang konstan, hal ini diketahui dari penelitian A.M
meiden yang ditunjukan bahwa hasil pengukuran yang diperoleh dibedakan dengan
pembuatan reagen.
Pada titrasi ini, digunakan KI sebagai reduktor dan asam sulfat, sehingga I₂,
dapat dibebaskan. I₂ yang terbentuk saat dilakukan penambahan indikator kanji akan
membentuk kompleks berwarna berwarna biru tua. Hal yang perlu diperhatikan dalam
penambahan indikator kanji yaitu waktu penambahan, penambahan indikator harus
dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi atau saat warna larutan kuning muda/pucat.
Tujuannya agar amilum pada indikator tidak membungkus iod yang menyebabkan iod
sukar lepas kembali dan membuat warna biru sulit hilang sehingga TAT tidak dapat
diamati.

CuO + monosakarida Asam + Cu₂O(merah bata)


CuO + 2KI + H₂SO₄ CuI₂ + K₂SO₄ + H₂O
2CuI Cu₂I₂ + I₂
I₂ + Na₂S₂O₂ 2NaI + Na₂S₄O₆
Sukrosa tidak memiliki sifat-sifat mereduksi, karena itu untuk menentukan
kadar sukrosa harus dilakukan inversi terlebih dahulu menjadi glukosa dan fruktosa,
dalam hal ini kadar sukrosa harus diperhitungkan dengan faktor 0,95 karena pada
hidrolisis sukrosa berubah menjadi gula invert.
C12H22O11 + H2O → 2C6H12O6
Sukrosa gula reduksi

Pengukuran karbohidrat yang merupakan gula pereduksi dengan metode Luff Schoorl
ini didasarkan pada reaksi sebagai berikut :
R-CHO + 2 Cu2+ àR-COOH + Cu2O
2 Cu2+ + 4 I- à Cu2I2 + I2
2 S2O32- + I2 à S4O62- + 2 I-
Pada pengujian kadar gula ini, blanko ditetapkan agar mL natrium tiosulfat
yang digunakan untuk mentritasi kelebihan Cu2+ dapat diketahui. Selisih ml Na-tio
blanko dengan ml Na-tio sampel disetarakan menjadi 0,1 N untuk dibandingkan
dengan daftar Luff Schoorl sehingga kadar gula dalam sampel dapat diketahui dengan
cara mg gula dalam tabel dikalikan dengan fp dan factor 0,95 dibagi bobot sampel
dikali 100%.
Penambahan HCl 25% dan pemanasan pada penetapan gula setelah inversi
dilakukan untuk menghidrolisis gula yang tidak bersifat pereduksi menjadi gula
pereduksi. Lalu ditambahkan NaOH 30% untuk menetralkan kembali larutan yang
mana sebelumnya ditambahkan indikator PP agar dapat diketahui saat larutan menjadi
netral yaitu saat warna larutan menjadi merah muda. Untuk menghilangkan warna
merah muda ini ditambahkan asam asetat 1% hingga warna larutan kembali seperti
semula.
Di Indonesia penggunaan pemanis buatan, baik jenis maupun jumlah yang
digunakan dalam bahan makanan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 208/Men.Kes/Per/IV/1985, penggunaan pemanis buatan
berdasarkan jenis bahan makanan untuk jenis bahan makanan jem dan jelly yaitu 200
mg/kg dan untu minuman ringan (fruit tea) yaitu sebanyak maksimal 300 mg/kg dan
batas maksimum penggunaan 208/Men.Kes/Per/IV/1985. Penggunaan pemanis buatan
berdasarkan jenis bahan makanan untuk jenis bahan makanan jem dan jelly yaitu 200
mg/kg dan untuk minuman ringan (fruit tea) yaitu sebanyak maksimal 300 mg/kg dan
batas maksimum penggunaan sakarin dalam makanan dan minuman adalah tidak lebih
dari 300 mg/kg. sedangkan pada praktikum kali ini untuk penetapan kadar pada jelly
drink diperoleh sakarin sebanyak 9,16 mg/kg dan untuk fruit tea diperoleh sebanyak
150,84 mg/kg yang berarti masih aman dikonsumsi dan sesuai dengan permenkes.
Dan dari hasil percobaan kami untuk perhitungan kadar gula reduksi sesudah
inversi pada drink jelly yaitu didapat kadar sebanyak 0,08702 % dan untuk hasil ppm
nya sebesar 870,2 ppm. Hasil ini tidak memenuhi syarat SNI karena syarat SNI untuk
jelly yaitu minimal 20% b/b untuk jumlah gula dihitung sebagai sukrosa karna di
syarat SNI tidak diperbolehkan adanya bahan tambahan pemanis buatan yaitu sakarin.
Dan dari hasil percobaan untuk perhitungan kadar gula reduksi setelah inversi
pada fruit tea yaitu didapat kadar sebanyak 0,573192 % dan untuk hasil ppm nya
5,731.39 ppm. Hasil ini tidak memenuhi syarat SNI karena syarat SNI untuk fruit tea
yaitu minimal 6 % b/b untuk jumlah gula dihitung sebagai sakarosa.
VII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kadar gula sebelum
inversi dan sesudah inversi pada sampel jelly drink diperoleh hasil sebesar 870,2 ppm
dan pada sampel fruit tea sebesar 5,731,93 ppm.

VIII. Daftar Pustaka

- Badan Standarisasi Nasional Indonesia (1992) cara uji Gula SNI-01-2982-


1992. Badan Standar Nasional
- Handayani, A. 2011. Penetapan Kadar Asam Benzoat dan Sakarin Dalam Jeli
Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
- Setiasih, 2009 PengantarTeknologiPangan. PT BumiAkasa. Jakarta
- Sudarmadji, S. dkk (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta : Liberty Hal96
- Widyajayantie, D. 2007. Penetapan Kadar Gula Sebagai Sukrosa, Cemaran
Logam dan Uji Kualitatif Siklamat Pada Minuman Ringan. Universitas Indonesia.
Jakarta.
- Winarno,1997. Kimia Pangan dan Gizi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS DAN KEAMANAN PANGAN
UJI ZAT PEWARNA DALAM MAKANAN

3 FA 2 / Kelompok 2

Nama anggota :

Akmal Rahman F 11181055


Anfia Andadari P 11181057
Astri Gingin BH 11181060
Diac Faturochman 11181065
Firman Imanuddin 11181069
Megawati Nababan 11181076
Mia Meliana Grandisa
11181077
M. Gagan Ramdani 11181082
Nisa Padilah 11181089

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2020
I. TUJUAN
Menentukan ada atau tidaknya zat warna Rhodamin B pada sampel saos dan
menentukan nilai rf

II. PRINSIP

Analisis sampel zat warna dengan kromatografi kertas pada sampel. Berdasarkan
kromatografi kertas dapat dilakukan dengan metode menaik (ascending), kromatografi
ascending merupakan kromatografi kertas yang arah fase geraknya menaik, dengan
memanfatkan gaya kapiler.

III. ALAT DAN BAHAN


Alat :
1. Chamber
2. Pipet tetes
3. Gelas ukur
4. Pensil, penggaris , gunting
5. Cawan petri
6. Penjepit
7. Spidol warna
Bahan :
1.Kertas saring
2. Eluen : aquadest 2ml: etanol 25 ml
3. Tissue
4. Wrap plastic
5. Whattman

IV. PROSEDUR

Disiapkan 2 buah chamber, masing-masing diisi


dengan etanol dan aquadest dengan volume 10ml

Tutup gelas chamber dengan plastic wrap untuk


proses penjenuhan

Siapkan 2 kertas saring ukuran 5x7 cm. Ditandai dengan


pensil 1 cm pada tepi bawah dan 1 cm di tepi atas pada
kertas saring
Kertas saring ditotol tinta spidol hitam, merah, biru ,
hijau, pada tepi bawah kertas saring. Masukan kertas
saring tersebut kedalam chamber

Diamkan hingga terjadi elusi hingga batas tepi atas

Kertas saring diangkat dari chamber setelah elusi selesai

Tandai kertas saring dengan pensil setelah mengering


kemudian dilakukan perhitungan nilai Rf

V. HASIL PENGAMATAN
 Data Pengamatan

5 cm
2,9 cm
2,7cm
2,0 cm

Baku Sampel 1 Sampel 2


pembanding
 Hitung Nilai Rf

- Baku Pembanding : Rhodamin B


Jarak yang di tempuh komponan( zataatau bercak) 2,7
Rf = = = 0,54
Jarak yang ditempuh eluen(fase gerak ) 5

- Sampel 1 : Saos sambal merk X


Jarak yang di tempuh komponan( zataatau bercak) 2,0
Rf = = = 0,4
Jarak yang ditempuh eluen(fase gerak ) 5

- Sampel 2 : Saos sambal merk Y


Jarak yang di tempuh komponan( zataatau bercak) 2,9
Rf = = =0,58
Jarak yang ditempuh eluen(fase gerak ) 5

VI. PEMBAHASAN

Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa metode yang
digunakan yaitu metode kromatografi ascending. Dimana prinsip dari kromatografi kertas
yaitu berdasarkan fase diam dan fase gerak. Fase diam adalah kertas whatman sedangkan
fasapengembang. Ditentukan nilai Rf (Retention factor) berdasarkan rasio jarak yang dite
mpuholeh senyawa dibandingkan dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut. Praktikum ini
dilakukan dengan maksud untuk mengidentifikasi zat warna rhodamin B pada sample saus
merk X dan merk Y. Penelitian ini menjadi penting dikarenakan rhodamin B
keberadaannya terutama dalam produk olahan makanan seperti saos perlu diawasi,
mengingat senyawa ini merupakan bahan pewarna sintesis yang sering digunakan pada
industri tekstil. Penggunaan rhodamin B dalam suatu olahan makanan terutama pada saos
dilarang karena dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan seperti memacu
pertumbuhan sel-sel kanker serta menyebabkan kanker hati apabila dikonsumsi secara
terus menerus. Sehingga diharapkan dengan dilaksanakannya penelitian ini mampu
membantu dalam pengawasan serta pemahaman pedagang maupun masyarakat dalam
memilih produk olahan makanan untuk dikonsumsi atau untuk di pasarkan terutama pada
saos.

Dalam penelitian ini, untuk mengidentifikasi keberadaan pewarna rhodamin B pada


saos metode Kromatografi Lapis Tipis. Untuk melakukan analisis kualitatif, digunakan
metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dimana pada metode KLT ini memiliki
mekanisme kerja dalam pemisahan senyawa berdasarkan adsorpsi dan koefisien partisi.
Dimana pelarut yang bersifat polar akan berikatan dengan senyawa yang bersifat polar
juga dan sebaliknya. Semakin dekat kepolaran antara senyawa dengan eluen maka
senyawa akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Metode ini sering digunakan
karena mudah serta murah dalam pelaksanaannya. Sampel pada penelitian ini adalah saos
merk X dan merk Y. Untuk mengidentifikasi kandungan zat pewarna pada sampel di
gunakan larutan pembanding larutan baku yakni rhodamin B. Larutan baku dibuat dengan
cara menimbang 25 mg rhodamin B yang kemudian dilarutkan dalam 25 ml metanol.
Larutan pembanding dibuat untuk sebagai pembanding terhadap nilai Rf sampel pada saat
dianalisis dengan menggunakan KLT.

Masing-masing sampel saus merk X dan merk Y diambil beberapa gram dan
ditambahkan ammonia 2%. Tujuan ditambahkan ammonia yaitu untuk menarik zat warna
yang terdapat pada saos merk X dan merk Y. Setelah itu larutan disaring, dan proses
penyaringan ini dilakukan untuk memisahkan zat warna yang terdapat pada saos merk X
dan merk Y yang akan dianalisis dari senyawa-senyawa pengotor yang dapat menganggu
absorbansi. Hasil penyaringan berupa filtrat dan residu. Filtrat selanjutnya dipanaskan,
adapun tujuan pemanasan adalah untuk mempercepat proses pelarutan saos yang dalam
bentuk pasta hingga memperoleh larutan berwarna. Proses pemanasan menggunakan suhu
sekitar ± 400 C agar tidak terjadi kerusakan pada sampel. Proses KLT dilakukan dengan
menggunakan fase gerak/eluen (n-butanol : etil asetat : ammonia) (10 : 4 : 5) dan fase diam
yang digunakan adalah silika gel. Dalam fase diam terdapat plat tipis aluminium yang
fungsinya untuk tempat berjalannya adsorben sehingga proses migrasi analit oleh
solventnya bisa berjalan. Setelah dibuat eluen, maka larutan eluen tersebut dijenuhkan
terlebih dahulu. Tujuan penjenuhan adalah untuk memastikan partikel fase gerak
terdistribusi merata pada seluruh bagian chamber sehingga proses pergerakan spot diatas
fase diam oleh fase gerak berlangsung optimal, dengan kata lain penjenuhan digunakan
untuk mengoptimalkan naiknya eluen.

Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh jarak noda dengan batas bawah dan jarak
tempuh pelarutnya. Kemudian dilakukan perhitungan Rf, jika nilai Rf-nya besar berarti
daya pisah zat yang dilakukan solvent (eluennya) maksimum sedangkan jika nilai Rf-nya
kecil berarti daya pisah zat dilakukan solvent (eluennya) minimum. Rf yang optimum
yaitu berada pada rentang 0,5 – 0,8. Rf sampel kemudian dibandingkan dengan Rf baku.
Hal ini terbukti pada pengujian dengan menggunakan eluen tersebut mampu menghasilkan
pemisahan yang baik karena nilai Rf yang dihasilkan oleh eluen tersebut masih masuk
dalam rentang optimum (0,5 – 0,8) yaitu 0,4– 0,58. Hal ini dapat dideteksi dengan melihat
kromatogram, warna bercak sampel saos merk Y hampir sejajar dengan warna bercak baku
pembanding, dan selisih harga Rf sampel merk Y dengan harga Rf dari baku kurang dari
0,2. Rf (Retorduction Factor) merupakan jarak yang ditempuh noda dibandingkan dengan
jarak tempuh eluen. Hasil dinyatakan positif bila warna bercak antara sampel dan baku
sama dan harga Rf antar sampel dengan baku sama atau saling mendekati dengan selisih
harga ≤ 0,2. Sedangkan sampel saos merk X memiliki selisih harga Rf tidak sama dengan
harga Rf baku atau lebih dari 0,2. Dapat diketahui bahwa sampel saos merk X tidak
mengandung zat warna rhodamin B, hal ini dapat dibuktikan dengan melihat nilai Rf
sampel saos merk X yang apabila dibandingkan dengan nilai Rf baku pembanding tidak
memiliki nilai yang sama atau tidak mendekati. Dan sampel saos merk Y mengandung zat
warna Rhodamin B karena memiliki nilai yang mendekati nilai Rf baku pembanding
rhodamin B.

VII. KESIMPULAN

Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sampel saos
merk X tidak mengandung zat warna rhodamin B karena memiliki nilai Rf yang berbeda
atau jauh dari nilai Rf baku pembanding, dan sampel saos merk Y mengandung zat warna
rhodamin B karena memiliki nilai Rf yang mendekati nilai Rf baku pembanding rhodamin
B.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


1. Djalil, A.D., Hartanti, D., Rahayu, W.S., Prihatin, R., Hidayah, N., 2005, Identifikasi
Zat Warna Kuning Metanil (Metanil Yellow) dengan Metode Kromatografi Lapis
Tipis(KLT) pada Berbagai Komposisi Larutan Pengembang, Jurnal Farmasi, Vol. 03,(2),
28-29. Purwokerto: Fakultas Farmasi UMP,.
2. Djarismawati., Sugiharti. dan Riris Nainggolan. 2004. Pengetahuan dan Perilaku
Pedagang Cabe Merah Giling dalam Penggunaan Rhodamine B di Pasar Traisional di DKI
Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan. Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol 3 (1): 7-12.
3. Fessenden dan Fessenden, 1999. Kimia Organik 2 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
4. Trestiati, Mela. 2003. Analisis Rhodamin B pada Makanan dan Minuman Jajanan
Anak SD (Studi Kasus: Sekolah Dasar di Margasih Kabupaten Bandung). Tesis. Bandung:
Pascasarjana Fakultas Kesehatan Lingkungan.
LAMPIRAN
1. Pipet Tetes

2. Gelas Ukur

3. Cawan Petri

4. Penjepit

5. Kertas Saring

6. Whattman

7. Plastic Warp

8. Etanol

9. Rhodamin B

10. Plat KLT

11. Chamber

Anda mungkin juga menyukai