Kesehatan secara keseluruhan juga harus dinyatakan baik, seperti berat badan normal
dan tidak ada infeksi penyerta seperti penyakit menular seksual, hepatitis dan infeksi
lainnya.
Ketika semua kondisi baik, maka pada saat masa subur ODHA dapat berhubungan
badan tanpa menggunakan kondom. Pada kondisi ini, risiko penularan HIV/AIDS
melalui sperma atau cairan vagina bisa saja terjadi, tetapi kemungkinannya cukup
kecil. (Dikutip Melalui https://health.detik.com/ulasan-khas/d-2110030/menikah-dan-
punya-anak-dengan-pengidap-hiv-siapa-takut)
KONSELING POPULASI KHUSUS
(Contoh Masalah) Salah satu ODHA yang berhasil memiliki anak sehat adalah Yan
Michael (36 tahun), seorang mantan pecandu narkoba jenis putau yang divonis
mengidap AIDS. Meski mengidap AIDS, Yan tidak mau menyerah dengan
keadaannya, bahkan dirinya mulai membina rumah tangga.
Istri Yan bukanlah ODHA dan hingga kini sang istri terbukti negatif HIV. Bahkan
Yan dan istri telah dikaruniai 2 orang anak yang semuanya negatif terhadap
HIV/AIDS.
Sedikit berbeda dengan ODHA pria, karena si jabang bayi hidup dan berkembang di
rahim wanita, maka pada ODHA wanita yang ingin hamil harus menjalani program
khusus untuk mencegah bayinya tertular HIV AIDS. Program tersebut dinamakan
PMTCT (Preventing Mother to Child Transmission).
ODHA yang ingin mengikuti program PMTCT harus berkonsultasi dengan dokter
terlebih dahulu, baik dengan dokter penyakit dalam (untuk mengontrol HIV/AIDS)
maupun dokter kandungan.
“ODHA yang ingin punya anak harus berkonsultasi dulu dengan dokter, jangan ujug-
ujug berhubungan seks (tanpa kondom). Pasangan harus dicek dulu berapa jumlah
kekebalan tubuhnya, virusnya. Ada banyak pengecekan,” jelas Ayu, yang juga aktif di
Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).
Setelah berkonsultasi dengan dokter, CD4 tinggi, kesehatan baik dan tetap rutin
minum ARV, maka ODHA wanita diperbolehkan untuk hamil. Saat masa subur,
pasangannya diperbolehkan berhubungan tanpa kondom.
Ketika berhasil terjadi pembuahan, maka selama kehamilan ia tetap harus minum
ARV untuk mengurangi risiko bayi yang dikandung tertular HIV.
Ketika usia kehamilan sudah masuk bulan ke-9, ODHA wanita diminta lagi
melakukan pemeriksaan CD4. Jika kondisinya baik dan kekebalan tubuh tinggi, maka
si ibu akan diberikan dua pilihan persalinan, bisa secara normal (vaginal) atau caesar.
Namun jika kondisinya sedang lemah, maka satu-satunya cara adalah persalinan
caesar.
Persalinan pada wanita ODHA jelas berbeda dengan wanita sehat lainnya. Proses
caesar misalnya, ODHA harus menggunakan peralatan operasi sendiri, mulai dari
tempat tidur hingga pisau bedah, yang nantinya tidak boleh digunakan lagi. Ini
dilakukan untuk mencegah penularan virus yang terdapat pada darah pasien.
Jika kondisi si ibu baik, maka ibu ODHA juga diperbolehkan menyusui bayinya.
Namun jika tidak memungkinkan, maka mau tidak mau si bayi harus diberi susu
formula agar HIV dari tubuh ibu tak masuk ke tubuh mungil si bayi.
KONSELING POPULASI KHUSUS
Jadi meski harus mengidap HIV/AIDS seumur hidup, ODHA tetap memiliki hak
sebagai manusia untuk berkeluarga dan memiliki keturunan tanpa harus menularkan
penyakitnya kepada orang lain.
4. a. Menurut saya keterampilan saat menghadapi oleh populasi khusus ialah sikap sabar
dan Bahasa , karena Bahasa yang baik dan membuat si klien nyaman akan membuat
proses konseling tersebut insyaallah menjadi lancer , dan sabar saat menghadapi klien
yang berbeda dengan kita , karena menghargai dan menghadapi populasi khusus akan
lebih extra dalam melaksanakan konseling orang yang biasa saja , normal.
b. untuk kendala pasti ada , apalagi saat Covid ini kendala pertemuan itu pasti sulid ,
karena konseling lebih enak tatap muka dan mengetaui tingkah laku gesture secara
langsung , saat tidak tatap muka itu akan menjadi sulit , bahkan dapat menjadi miss
komunikasi , saat menceritakan dalam social media , apalagi dalam Pesan ataupun
Whatapp . mungkin kendala tidak bertemu klien secara langsung itu adalah masalah
ataupun kendala yang dialami saat pandemic seperti ini .
5. Kalau saya sih lebih ke bimbingan kelompok ya daripada konseling, Berdasarkan
pengalaman saja, ga semua siswa non ABK yg menunjukan sikap diskriminatif ke
ABK, ada yg sdh bisa menerima, banyak juga yg bersikap netral (tdk menolak tapi
juga belum memberikan dukungan/penerimaan). Biasanya sih anak2 yg bersikap
diskriminatif itu krn mereka belom paham tentang ABK, yg ada dipikiran mereka
hanya "Anak Bodoh" atau anak yg bisa dibodohbodohi... Nah menurut saya anak anak
tersebut perlu diberikan bimbingan kelompok agar mereka paham tentang ABK dan
bagaimana cara berinteraksi dgn mereka. Kalau setelah diberikan arahan melalui
bimbingan kelompok, masih ada anak anak yg bersikap diskriminatif ke ABK, baru
mereka yg dikonseling...