Anda di halaman 1dari 25

Analisis Situasi Kesehatan Reproduksi

Pencegahan IMS termasuk HIV/AIDS


Infeksi menular seksual atau IMS adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual dengan pasangan yang sudah tertular yang menyebabkan infeksi pada alat reproduksi
laki-laki maupun wanita, baik hubungan seks melalui senggama (vaginal), lewat mulut
(oral/karaoke) ataupun lewat dubur (anal). Dalam Bahasa Inggris sering disebut Sexual
Transmitted Desease (STD).IMS sudah sangat umum, yang paling banyak dikenali adalah GO
(Gonorrhea), Sifilis dan AIDS. Menurut WHO diperkirakan di seluruh dunia terdapat 333 juta
kasus IMS baru setiap tahunnya dan sekitar 1 juta kasus terjadi setiap harinya. Infeksi Menular
seksual akan lebih berisiko apabila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan
baik melalui vagina, anal maupun oral. Bila tidak diobati dengan tepat, infeksi dapat menjalar
dan menyebabkan penderitaan, sakit berkepanjangan, kemandulan dan kematian. Untuk remaja
perempuan perlu disadari mereka lebih rentan terkena IMS, sebab alat reproduksinya lebih
rentan. Dan sering berakibat lebih parah karena gejala awal tidak segera dikenali. Infeksi
Menular Seksual dapat mempermudah penularan HIV begitu juga sebaliknya

Penularan dan Pencegahan IMS

Penularan IMS dapat melalui beberapa cara antara lain :


1. Hubungan Seksual : Hubungan seksual yang tidak aman merupakan jalur utama
penularan
2. Penggunaan jarum suntik, misalnya HIV dan Hepatitis B
3. Kontak fisik selama hubungan seksual, misalnya luka-luka pada alat kelamin seperti
herpes dan sifilis
4. Melalui darah dan produk darah, misalnya HIV,Sifilis dan Hepatitis B dapat ditularkan
melalui transfusi darah
5. Menyusui, dapat menularkan HIV ke bayi
6. Tindakan medis dan benda tajam
7. Ditularkan melalui kehamilan dari ibu ke bayinya seperti HIV dan Sifilis
8. Ditularkan saat proses kelahiran, seperti GO dan HIV
Perilaku yang berisiko tertular IMS antara lain :
1. Sering berganti-ganti pasangan
2. Memiliki pasangan seksual lebih dari satu
3. Memiliki pasangan seksual yang tidak tetap, pekerja seks ataupun pelanggan pekerja
seks
4. Pernah terkena IMS sebelumnya
5. Menukar seks dengan uang
6. Menukar seks dengan obat-obatan atau barang lainnya
7. Menusuk/melukai kulit misalnya tattoo
8. Alkohol dan obat-obatan lainnya

Sedangkan Pencegahan IMS dapat dilakukan dengan cara :


1. Abstinensia : Bagi Kamu yang belum menikah, cara yang paling ampuh adalah tidak
melakukan hubungan seksual serta hindarilah hubungan seks yang berisiko.
2. Be faithful : Setia pada pasangan bagi yang sudah menikah
3. Condom : Selalu menggunakan kondom untuk mencegah penularan IMS
4. Dont inject : jangan menggunakan jarum suntik yang tidak steril.
5. Selalu menjaga kebersihan dan kesehatan alat kelamin.
IMS yang disebabkan oleh bukan virus seperti bakteri, jamur dan protozoa sangat bisa
disembuhkan dengan obat sedangkan yang disebabkan oleh virus tidak dapat disembuhkan hanya
bisa meminimalisir gejalanya. Untuk mencegah supaya seseorang tidak mudah terkena Infeksi
Menular Seksual sebenarnya mudah saja, yaitu tidak usah berhubungan seks sama sekali
(Abstinensia). Tapi disadari juga bahwa seks adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi juga.
Menghindari berhubungan seks dengan seseorang yang mempunyai keanehanpada organ
genitalianya adalah cara utama supaya tidak terkena IMS. Apa yang dimaksud dengan
keanehan tadi? Adanya tanda kemerahan pada alat kelamin, ada semacam kutil, atau ada
keluarnya cairan yang tidak semestinya yang berwarna keruh dan berbau tidak menyenangkan.
Cara lain adalah memastikan penggunaan proteksi saat berhubungan seks. Satu-satunya seks
tanpa proteksi yang aman adalah jika anda dan pasangan yakin dan betul-betul hanya
melakukan hubungan seks di antara anda berdua saja, dan anda berdua telah pernah di test
minimal 6 bulan lalu dengan hasil negative untuk IMS. Jika tidak, maka di bawah ini ada
beberapa cara yang bisa anda dan pasangan lakukan untuk menghindari terjangkit IMS:
1. Gunakan kondom berbahan dasar lateks tiap kali berhubungan seks. Jika memakai cairan
pelumas (lubrikasi), pastikan cairan tersebut berbahan dasar air, bukan minyak. Karena
minyak akan mengurangi kualitas kondom yang digunakan. Gunakan kondom pada
seluruh aktifitas seksual (tidak hanya pada saat coitus saja). Perlu diketahui juga bahwa
kondom tidak pernah 100% efektif untuk mencegah seluruh jenis IMS atau kehamilan
namun kondom akan sangat efektif sekali jika digunakan benar-benar sesuai anjuran.
Pelajarilah cara menggunakan kondom dengan baik dan benar.
2. Hindari berbagi-pakai untuk handuk dan pakaian.
3. Selalu berbasuh sebelum dan sesudah berhubungan seks/ intercourse.
4. Dapatkan vaksinasi untuk Hepatitis B secara lengkap. Ada 3 seri suntikan yang harus
didapatkan untuk kriteria lengkap.
5. Lakukan test HIV.
6. Jika anda bermasalah dengan alkohol atau penyalah-gunaan obat, segeralah mencari
pertolongan. Orang yang mabuk atau dalam pengaruh obat-obatan seringkali gagal untuk
melakukan seks secara aman.
7. Tidak melakukan seks sama sekali adalah cara paling aman untuk mencegah terjangkit
IMS.
Pernah dipikirkan atau dikatakan bahwa menggunakan kondom dengan tambahan nonoxynol-9
akan membantu mencegah IMS dengan acara membunuh organism penyebab IMS tersebut.
Penelitian terbaru ternyata membuktikan teori ini salah. Nonoxynol-9 ternyata bisa mengiritasi
vagina dan meningkatkan kemungkinan terjangkit IMS. Rekomendasi yang digunakan saat ini
adalah: tidak menggunakan kondom yang mengandung nonoxynol-9.

Supaya anda tidak menyebarkan IMS ke orang lain maka:


1. Jangan berhubungan seks sampai anda berobat ke dokter.
2. Ikuti dengan tepat semua instruksi dari dokter tentang pengobatan.
3. Gunakan kondom setiap berhubungan seks, terutama dengan partner baru.
4. Jangan lupa kembali ke dokter untuk control dan periksa ulang.
5. Pastikan partner dan pasangan anda juga mendapatkan terapi untuk IMS.

Seberapa efektifkah kondom dalam mencegah HIV?


Kondom yang kualitasnya terjamin adalah satu-satunya produk yang saat ini tersedia untuk
melindungi pemakai dari infeksi seksual karena HIV dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya.
Ketika digunakan secara tepat, kondom terbukti menjadi alat yang efektif untuk mencegah
infeksi HIV di kalangan perempuan dan laki-laki. Walaupun begitu, tidak ada metode
perlindungan yang 100% efektif, dan penggunaan kondom tidak dapat menjamin secara mutlak
perlindungan terhadap segala infeksi menular seksual (IMS). Agar perlindungan kondom efektif,
kondom tersebut harus digunakan secara benar dan konsisten. Penggunaan yang kurang tepat
dapat mengakibatkan lepasnya atau bocornya kondom, sehingga menjadi tidak efektif.

Bagaimana penularan dari ibu ke anak dapat dicegah?

Penularan HIV dari seorang ibu yang terinfeksi dapat terjadi selama masa kehamilan, selama
proses persalinan atau setelah kelahiran melalui ASI. Tanpa adanya intervensi apapun, sekitar
15% sampai 30% ibu dengan infeksi HIV akan menularkan infeksi selama masa kehamilan dan
proses persalinan. Pemberian air susu ibu meningkatkan risiko penularan sekitar 10-15%. Risiko
ini tergantung pada faktor- faktor klinis dan bisa saja bervariasi tergantung dari pola dan lamanya
masa menyusui.

Penularan dari Ibu ke Anak dapat dikurangi dengan cara berikut:

1. Pengobatan: Jelas bahwa pengobatan preventatif antiretroviral jangka pendek merupakan


metode yang efektif dan layak untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Ketika
dikombinasikan dengan dukungan dan konseling makanan bayi, dan penggunaan metode
pemberian makanan yang lebih aman, pengobatan ini dapat mengurangi risiko infeksi
anak hingga setengahnya. Regimen ARV khususnya didasarkan pada nevirapine atau
zidovudine. Nevirapine diberikan dalam satu dosis kepada ibu saat proses persalinan, dan
dalam satu dosis kepada anak dalam waktu 72 jam setelah kelahiran. Zidovudine
diketahui dapat menurunkan risiko penularan ketika diberikan kepada ibu dalam enam
bulan terakhir masa kehamilan, dan melalui infus selama proses persalinan, dan kepada
sang bayi selama enam minggu setelah kelahiran. Bahkan bila zidovudine diberikan di
saat akhir kehamilan, atau sekitar saat masa persalinan, risiko penularan dapat dikurangi
menjadi separuhnya. Secara umum, efektivitas regimen obat-obatan akan sirna bila bayi
terus terpapar pada HIV melalui pemberian air susu ibu. Obat-obatan antiretroviral
hendaknya hanya dipakai di bawah pengawasan medis.

2. Operasi Caesar: Operasi caesar merupakan prosedur pembedahan di mana bayi dilahirkan
melalui sayatan pada dinding perut dan uterus ibunya. Dari jumlah bayi yang terinfeksi
melalui penularan ibu ke anak, diyakini bahwa sekitar dua pertiga terinfeksi selama masa
kehamilan dan sekitar saat persalinan. Proses persalinan melalui vagina dianggap lebih
meningkatkan risiko penularan dari ibu ke anak, sementara operasi caesar telah
menunjukkan kemungkinan terjadinya penurunan risiko. Kendatipun demikian, perlu
dipertimbangkan juga faktor risiko yang dihadapi sang ibu.

3. Menghindari pemberian ASI: Risiko penularan dari ibu ke anak meningkat tatkala anak
disusui. Walaupun ASI dianggap sebagai nutrisi yang terbaik bagi anak, bagi ibu
penyandang HIV-positif, sangat dianjurkan untuk mengganti ASI dengan susu formula
guna mengurangi risiko penularan terhadap anak. Namun demikian, ini hanya dianjurkan
bila susu formula tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi anak, bila formula bayi itu
dapat dibuat dalam kondisi yang higienis, dan bila biaya formula bayi itu terjangkau oleh
keluarga.

Badan Kesehatan Dunia, WHO, membuat rekomendasi berikut:

Ketika makanan pengganti dapat diterima, layak, harganya terjangkau, berkesinambungan, dan
aman, sangat dianjurkan bagi ibu yang terinfeksi HIV-positif untuk tidak menyusui bayinya. Bila
sebaliknya, maka pemberian ASI eksklusif direkomendasikan pada bulan pertama kehidupan
bayi dan hendaknya diputus sesegera mungkin.

Prosedur apakah yang harus ditempuh oleh seorang petugas kesehatan untuk mencegah
penularan dalam setting perawatan kesehatan?

Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Kewaspadaan Universal (Universal Precaution).


Kewaspadaan Universal adalah panduan mengenai pengendalian infeksi yang dikembangkan
untuk melindungi para pekerja di bidang kesehatan dan para pasiennya sehingga dapat terhindar
dari berbagai penyakit yang disebarkan melalui darah dan cairan tubuh tertentu.

Kewaspadaan Universal meliputi:

1. Cara penanganan dan pembuangan barang-barang tajam (yakni barang-barang yang dapat
menimbulkan sayatan atau luka tusukan, termasuk jarum, jarum hipodermik, pisau bedah
dan benda tajam lainnya, pisau, perangkat infus, gergaji, remukan/pecahan kaca, dan
paku);

2. Mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah dilakukannya semua
prosedur;

3. Menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, celemek, jubah, masker dan
kacamata pelindung (goggles) saat harus bersentuhan langsung dengan darah dan cairan
tubuh lainnya;

4. Melakukan desinfeksi instrumen kerja dan peralatan yang terkontaminasi;

5. Penanganan seprei kotor/bernoda secara tepat.

6. Pekerja kesehatan harapnya berhati-hati dan waspada untuk mencegah terjadinya luka
yang disebabkan oleh jarum, pisau bedah, dan instrumen atau peralatan yang tajam.
Sesuai dengan Kewaspadaan Universal, darah dan cairan tubuh lain dari semua orang
harus dianggap telah terinfeksi dengan HIV, tanpa memandang apakah status orang
tersebut baru diduga atau sudah diketahui status HIV-nya.

Apa yang harus dilakukan bila anda menduga bahwa anda telah terekspos HIV?

Bila anda menduga bahwa anda telah terpapar HIV, anda hendaknya mendapatkan konseling dan
melakukan testing/pemeriksaan HIV. Kewaspadaan hendaknya diambil guna mencegah
penyebaran HIV kepada orang lain, seandainya anda benar terinfeksi HIV.
Cara Dan Upaya Pencegahan Penyakit HIV AIDS
Program Pencegahan Penyakit HIV AIDS hanya dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen
masyarakat dan komitmen politik yang tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi perilaku
risiko tinggi terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi :
1. Pemberian penyuluhan kesehatan di sekolah dan di masyarakat harus menekankan bahwa
mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti serta penggunaan obat suntik bergantian
dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Pelajar juga harus dibekali pengetahuan
bagaimana untuk menghindari atau mengurangi kebiasaan yang mendatangkan risiko
terkena infeksi HIV. Program untuk anak sekolah harus dikembangkan sedemikian rupa
sesuai dengan perkembangan mental serta kebutuhan mereka, begitu juga bagi mereka
yang tidak sekolah. Kebutuhan kelompok minoritas, orang-orang dengan bahasa yang
berbeda dan bagi penderita tuna netra serta tuna rungu juga harus dipikirkan.
2. Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi adalah dengan tidak melakukan hubungan seks
atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi.
Pada situasi lain, kondom lateks harus digunakan dengan benar setiap kali seseorang
melakukan hubungan seks secara vaginal, anal atau oral. Kondom lateks dengan pelumas
berbahan dasar air dapat menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks.
3. Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang akan mengurangi
penularan HIV. Begitu pula Program Harm reductionyang menganjurkan para
pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode dekontaminasi dan menghentikan
penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif.
4. Menyediakan fasilitas Konseling HIV dimana identitas penderita dirahasiakan atau
dilakukan secara anonimus serta menyediakan tempat-tempat untuk melakukan
pemeriksaan darah. Faslitas tersebut saat ini telah tersedia di seluruh negara bagian di AS.
Konseling, tes HIV secara sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan secara rutin
pada klinik keluarga berencana dan klinik bersalin, klinik bagi kaum homo dan terhadap
komunitas dimana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang aktivitas seksualnya tinggi
disarankan untuk mencari pengobatan yang tepat bila menderita Penyakit Menular
Seksual (PMS).
5. Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk dilakukan tes HIV
sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus
dievaluasi untuk memperkirakan kebutuhan mereka terhadap terapi zidovudine (ZDV)
untuk mencegah penularan HIV melalui uterus dan perinatal.
6. Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk mencegah
kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah donor harus diuji antibodi HIV
nya. Hanya darah dengan hasil tes negatif yang digunakan. Orang yang mempunyai
kebiasaan risiko tinggi terkena HIV sebaiknya tidak mendonorkan plasma, darah, organ-
organ untuk transplantasi, sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi
buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu atau bank tulang) yang
mengumpulkan plasma, darah atau organ harus menginformasikan tentang peraturan dan
kebijakan ini kepada donor potensial dan tes HIV harus dilakukan terhadap semua donor.
Apabila mungkin, donasi sperma, susu atau tulang harus dibekukan dan disimpan selama
3 6 bulan. Donor yang tetap negatif setelah masa itu dapat di asumsikan tidak terinfeksi
pada waktu menjadi donor.
7. Jika hendak melakukan transfusi Dokter harus melihat kondisi pasien dengan teliti
apakah ada indikasi medis untuk transfusi. Transfusi otologus sangat dianjurkan.
8. Hanya produk faktor pembekuan darah yang sudah di seleksi dan yang telah diperlakukan
dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV yang bisa digunakan.
9. Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan, pemakaian dan pembuangan
jarum suntik atau semua jenis alat-alat yang berujung tajam lainnya agar tidak tertusuk.
Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan lateks, pelindung mata dan alat
pelindung lainnya untuk menghindari kontak dengan darah atau cairan yang mengandung
darah. Setiap tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan harus dicuci
dengan air dan sabun sesegera mungkin. Kehati-hatian ini harus di lakukan pada semua
pasien dan semua prosedur laboratorium (tindakan kewaspadaan universal).
10. WHO merekomendasikan pemberian imunisasi bagi anak-anak dengan infeksi HIV tanpa
gejala dengan vaksin-vaksin EPI (EXPANDED PROGRAMME ON IMMUNIZATION);
anak-anak yang menunjukkan gejala sebaiknya tidak mendapat vaksin BCG. Di AS, BCG
dan vaksin oral polio tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada anak-anak yang
terinfeksi HIV tidak perduli terhadap ada tidaknya gejala, sedangkan vaksin MMR
(measles-mumps-rubella) dapat diberikan kepada anak dengan infeksi HIV.

II. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya :


1. Laporan kepada instansi kesehatan setempat; mengirimkan laporan resmi kasus AIDS
adalah wajib di semua jajaran kesehatan di AS dan hampir di semua negara di dunia.
Sebagian besar negara bagian di AS menerapkan sistem pelaporan infeksi HIV ini.
Laporan resmi mungkin dibutuhkan di berbagai negara atau provinsi, Kelas 2B (lihat
tentang pelaporan penyakit menular)
2. Isolasi; mengisolasi orang dengan HIV positif secara terpisah tidak perlu, tidak efektif
dan tidak dibenarkan. Universal Precaution(kewaspadaan universal) (q.v) diterapkan
untuk semua penderita yang dirawat. Tindakan kewaspadaan tambahan tertentu perlu
dilakukan pada infeksi spesifik yang terjadi pada penderita AIDS.
3. Disinfeksi serentak; dilakukan terhadap alat alat yang terkontaminasi dengan darah atau
cairan tubuh dengan menggunakan larutan pemutih (chlorine) atau germisida
tuberkulosidal.
4. Karantina; tidak diperlukan. Penderita HIV/AIDS dan pasangan seks mereka sebaiknya
tidak mendonasikan darah, plasma, organ untuk transplantasi, jaringan, sel, semen untuk
inseminasi buatan atau susu untuk bank susu manusia.
5. Imunisasi dari orang orang yang kontak; tidak ada.
6. Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi; Di AS pasangan seks dari para penderita
HIV/AIDS atau pasangan pengguna jarum suntik bersama, bila memungkinkan, di
laporkan sendiri oleh si penderita. Rujukan oleh petugas di benarkan bila pasien, sesudah
dilakukan konseling, tetap menolak untuk memberitahukan pasangan seks mereka, dan
untuk itu petugas harus betul-betul yakin bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang
membahayakan indeks kasus bila pasangannya diberitahu. Tindakan yang sangat hati-hati
harus dilakukan untuk melindungi kerahasiaan penderita.
7. Pengobatan spesifik : di sarankan untuk melakukan diagnosa dini dan melakukan rujukan
untuk evaluasi medis. Rujuklah sumber informasi mutakhir tentang obat yang tepat,
jadwal dan dosisnya.
III. Implikasi bencana - Petugas emergensi harus mengikuti prosedur kewaspadaan universal,
jika sarung tangan lateks tidak tersedia dan permukaan kulit kontak dengan darah, harus dicuci
sesegera mungkin. Masker, kacamata pelindung dan pakaian pelindung di sarankan untuk
dipakai ketika melakukan tindakan yang bisa menyebabkan semburan atau percikan darah atau
cairan tubuh. Transfusi untuk keadaan darurat sebaiknya menggunakan darah donor yang telah
diskrining terhadap antibodi HIV, jika uji saring tidak mungkin dilakukan maka donasi sebaiknya
di terima hanya dari donor yang tidak mempunyai perilaku yang memungkinkan terinfeksi oleh
HIV, dan lebih disukai donor yang sebelumnya terbukti negatif untuk antibodi HIV.
IV. Tindakan Internasional - Program pencegahan dan pengobatan global dikoordinasi oleh
WHO yang dimulai pada tahun 1987. Sejak tahun 1995, program AIDS global dikoordinasikan
oleh UNAIDS. Sebenarnya semua negara di seluruh dunia telah mengembangkan program
perawatan dan pencegahan AIDS. Beberapa negara telah melembagakan keharusan pemeriksaan
AIDS atau HIV untuk masuknya pendatang asing (terutama bagi mereka yang meminta visa
tinggal atau visa yang lebih panjang, seperti visa belajar atau visa kerja) WHO dan UNAIDS
belum mendukung tindakan ini.
Kebijakan Program Nasional

Sebagian besar kasus HIV dan AIDS terjadi pada kelompok perilaku risiko tinggi yang
merupakan kelompok yang dimarjinalkan, maka program-program pencegahan dan pengendalian
HIV dan AIDS memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dan norma-norma
masyarakat yang berlaku di samping pertimbangan kesehatan. Penularan dan penyebaran HIV
dan AIDS sangat berhubungan dengan perilaku berisiko, oleh karena itu pengendalian harus
memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut.

Kebijakan Umum Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan

1. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap
hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
2. Upaya pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan
perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data
dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA.
3. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan
LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama
sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan
suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
4. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku
risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan,
termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan
HIV and AIDS.

Kebijakan Operasional Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan

Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara nasional kegiatan
program AIDS dan pelayanan bagi ODHA.
Penyelenggaran dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan
Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program.
Pengembangan layanan bagi ODHA dilakukan melalui pengkajian menyeluruh dari
berbagai aspek yang meliputi: situasi epidemi daerah, beban masalah dan kemampuan,
komitmen, strategi dan perencanaan, kesinambungan, fasilitas, Sumber Daya Manusia
(SDM) dan pembiayaan. Sesuai dengan kewenangannya, pengembangan layanan
ditentukan oleh Dinas Kesehatan.
Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AIDS harus didahului dengan
penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent).
Konseling yang memadai harus diberikan sebelum dan sesudah pemeriksaan dan hasil
pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan kepada
pihak lain.
Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada
ODHA dan menerapkan prinsip:
Keberpihakan kepada ODHA dan masyarakat (patient and community centered).
Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna Narkotika Alkohol Psikotropika
Zat Adiktif (NAPZA) suntik melalui kegiatan pengurangan dampak buruk (harm
reduction) dilaksanakan secara komprehensif dengan juga mengupayakan
penyembuhan dari ketergantungan pada NAPZA.
Penguatan dan pengembangan program diprioritaskan bagi peningkatan mutu
pelayanan, dan kemudahan akses terhadap pencegahan, pelayanan dan
pengobatan bagi ODHA.
Layanan bagi ODHA dilakukan secara holistik, komprehensif dan integratif sesuai
dengan konsep layanan perawatan yang berkesinambungan.

Untuk mencapai tujuan program, ditetapkan strategi sebagai berikut:

1. Meningkatkan dan memperkuat kebijakan dan kepemilikan program melalui regulasi,


standarisasi layanan program, mobilisasi dan harmonisasi sumber daya dan alokasi
pembiayaan.
2. Meningkatkan dan memperkuat sistem kesehatan dan manajemen program, melalui
peningkatan kapasitas program, pengembangan SDM program yang profesional,
manajemen logistik, kegiatan Monitoring dan Evaluasi (ME) program dan promosi
program.
3. Meningkatkan dan menguatkan sistem informasi strategis melalui pengembangan
kegiatan surveilans generasi kedua, penelitian operasional untuk memperoleh data
dan informasi bagi pengembangan program pengendalian HIV dan AIDS.
4. Memberdayakan ODHA dan masyarakat dalam upaya pencegahan, perawatan,
dukungan, pengobatan dan upaya kegiatan program lainnya.
Kebijakan yang Mendukung Pelaksanaan Program Intervensi Perubahan Perilaku dalam
Pencegahan IMS dan HIV Melalui Hubungan Seksual.

Kegiatan Teknis Program Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan

1. Intervensi Perubahan Perilaku.


2. Konseling dan Tes HIV.
3. Perawatan, Dukungan dan Pengobatan.
4. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.
5. Pengendalian IMS.
6. Pengurangan Dampak Buruk NAPZA Suntik.
7. Kolaborasi TB-HIV.
8. Kewaspadaan Universal.
9. Pengamanan Darah.

Diantara kebijakan umum yang mendukung Pelaksanaan Program Intervensi Perubahan Perilaku
dalam Pencegahan IMS dan HIV Melalui Hubungan Seksual adalah:

1. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku
risiko tinggi tetapi harus memperhatikan kelompok masyarakat yang rawan, termasuk
yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV dan
AIDS.
2. Upaya pencegahan yang efektif termasuk pengendalian IMS pada sub populasi berisiko
tertentu dan promosi alat/jarum suntik steril serta terapi rumatan metadon bertujuan untuk
memutus rantai penularan HIV.
3. Pelaksanaan kegiatan program pengendalian IMS, HIV dan AIDS menggunakan standar,
pedoman dan petunjuk teknis yang diberlakukan Departemen Kesehatan.
4. Layanan kesehatan terkait IMS, HIV dan AIDS tanpa diskriminasi dan menerapkan
prinsip keberpihakan kepada pasien dan masyarakat (patient and community centered).
5. Upaya pengendalian HIV dan AIDS harus menghormati harkat dan martabat manusia
serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender
6. Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada anak sekolah, remaja dan masyarakat umum
diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi guna mendorong
kehidupan yang lebih sehat.
7. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap
hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
8. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan
LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama
sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan
suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
9. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku
risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan,
termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan
HIV and AIDS.

Kesehatan Reproduksi Remaja


Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa.Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat. Menurut WHO
(badan PBB untuk kesehatan dunia) batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Sedangkan
dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah
mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Menurut BKKBN (Direktorat
Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun.

Pengertian kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesehatan yang sempurna baik
secara fisik, mental, dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan
dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.
Sedangkan kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial
yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang
berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Definisi kesehatan
reproduksi menurut hasil ICPD 1994 di Kairo adalah keadaan sempurna fisik, mental dan
kesejahteraan sosial dan tidak semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal
yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi dan proses.

Pengertian kesehatan reproduksi ini mencakup tentang hal-hal sebagai berikut:

1. Hak seseorang untuk dapat memperoleh kehidupan seksual yang aman dan memuaskan
serta mempunyai kapasitas untuk bereproduksi

2. Kebebasan untuk memutuskan bilamana atau seberapa banyak melakukannya


3. Hak dari laki-laki dan perempuan untuk memperoleh informasi serta memperoleh
aksebilitas yang aman, efektif, terjangkau baik secara ekonomi maupun cultural

4. Hak untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai sehingga perempuan
mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara aman.

Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk
bagi kesehatan repoduksi yaitu :

1. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang


rendah, dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta
lokasi tempat tinggal yang terpencil).
2. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada
kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi
reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan
yang lain, dsb).
3. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena
ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita pada pria yang membeli
kebebasannya secara materi, dsb).
4. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular
seksual, dsb).
Cakupan pelayanan kesehatan reproduksi:
1. Konseling dan informasi Keluarga Berencana (KB)
2. Pelayanan kehamilan dan persalinan (termasuk: pelayanan aborsi yang aman, pelayanan
bayi baru lahir/neonatal)
3. Pengobatan infeksi saluran reproduksi (ISR) dan penyakit menular seksual (PMS),
termasuk pencegahan kemandulan
4. Konseling dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja (KRR)
5. Konseling, informasi dan edukasi (KIE) mengenai kesproa.
Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar
mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan informasi yang
benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai
proses reproduksi. Pengetahuan Dasar yang perlu diberikan kepada remaja agar mereka
mempunyai kesehatan reproduksi yang baik, antara lain :
a Pengenalan mengenai sistem, proses dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh kembang
remaja)
b mengapa remaja perlu mendewasakan usia kawin serta bagaimana merencanakan
kehamilan agar sesuai dengan keinginnannya dan pasanganya
c Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan
reproduksi
d Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi
e Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual
f Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya
g Mengambangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri
agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negatif
h Hak-hak reproduksi
Masalah kesehatan reproduksi remaja di Indonesia kurang mendapat perhatian yang cukup.
Ada beberapa kemungkinan mengapa hal itu terjadi:
1. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa masalah kesehatan reproduksi, seperti juga
masalah kesehatan lainnya, semata-mata menjadi urusan kalangan medis, sementara
pemahaman terhadap kesehatan reproduksi (apalagi kesehatan reproduksi remaja) di
kalangan medis sendiri juga masih minimal. Meskipun sejak konperensi Kairo definisi
mengenai kesehatan reproduksi sudah semakin jelas, diseminasi pengertian tersebut di
kalangan medis dan mahasiswa kedokteran agaknya belum memadai.
2. Banyak kalangan yang beranggapan bahwa masalah kesehatan reproduksi hanyalah
masalah kesehatan sebatas sekitar poses kehamilan dan melahirkan, sehingga dianggap
bukan masalah kaum remaja. Apalagi jika pengertian remaja adalah sebatas mereka yang
belum menikah. Di sini sering terjadi ketidak konsistensian di antara para pakar sendiri
karena di satu sisi mereka menggunakan istilah remaja dengan batasan usia, tetapi di sisi
lain dalam pembicaraan selanjutnya mereka hanya membatasi pada mereka yang belum
menikah.
3. Banyak yang masih mentabukan untuk membahas masalah kesehatan reproduksi remaja
karena membahas masalah tersebut juga akan juga berarti membahas masalah hubungan
seks dan pendidikan seks.

Perubahan Fisik, Biologis, Psikososial Remaja


Masa remaja dibedakan dalam :
Masa remaja awal, 10 13 tahun.
Masa remaja tengah, 14 16 tahun.
Masa remaja akhir, 17 19 tahun.
Pada Usia Remaja, Tugas-Tugas Perkembangan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1. Mencapai hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis
maupun lawan jenis
2. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin
3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif
4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi
6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja
7. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga
8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya
kompetensi sebagai warga negara
9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial
10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku (Havighurst
dalam Hurlock, 1973).
Perubahan Psikis juga terjadi baik pada remaja perempuan maupun remaja laki-laki,
mengalami perubahan emosi, pikiran, perasaan, lingkungan pergaulan dan tanggung jawab, yaitu
a. Remaja lebih senang berkumpul diluar rumah dengan kelompoknya.
b. Remaja lebih sering membantah atau melanggar aturan orang tua.
c. Remaja ingin menonjolkan diri atau bahkan menutup diri.
d. Remaja kurang mempertimbangkan maupun menjadi sangat tergantung pada
kelompoknya.
Hal tersebut diatas menyebabkan remaja menjadi lebih mudah terpengaruh oleh hal-hal yang
negatif dari lingkungan barunya.
Menurut Hurlock (1973) ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-
tugas tersebut, yaitu:
a Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di
rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-
nilai.
b Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada
remaja, seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian
berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit
kewajiban dibebankan oleh orangtua.

Determinan Perkembangan Remaja


Pada bagian ini juga penting diketahui aspek atau faktor-faktor yang berhubungan atau yang
mempengaruhi kehidupan remaja. Keluarga, sekolah ,dan tetangga merupakan aspek yang secara
langsung mempengaruhi kehidupan reamaja, sedangan struktur sosial ,ekonomi politik ,dan
budaya lingkungan merupakan aspek yang memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap
kehidupan remaja. Secara garis besarnya ada dua tekanan pokok yang berhubungan dengan
kehidupan remaja ,yaitu internal pressure (tekanan dari dalam diri remaja) dan external pressure
(tekanan dari luar diri remaja)
Tekanan dari dalam (internal pressure) merupakan tekanan psikologis dan emosional.
Sedangkan teman sebaya, orang tua guru, dan masyarakat merupakan sumber dari luar (external
pressure). Teori ini akan membantu kita memahami masalah yang dihadapi remaja salah satunya
adalah masalah kesehatan reproduksi.

Perilaku seksual remaja dan kesehatan reproduksi


Perilaku seksual remaja terdiri dari tiga buah kata yang memiliki pengertian yang sangat
berbeda satu sama lainya. Perilaku dapat di artikan sebagai respons organisme atau respons
seseorang terhadap stimulus (rangsangan) yang ada(Notoatmojdo,1993). Sedangakan seksual
adalah rangsangan-rangsangan atau dorongan yang timbul berhubungan dengan seks. Jadi
perilaku seksual remaja adalah tindakan yang dilakukan berhubungan dengan dorongan seksual
yang datang baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.
Adanya penurunan usia rata-rata pubertas mendorong remaja untuk aktif secara seksual lebih
dini. Dan adanya presepsi bahwa dirinya memiliki resiko yang lebih rendah atau tidak beresiko
sama sekali yang berhubungan dengan perilaku seksual, semakin mendorong remaja memenuhi
memenuhi dorongan seksualnya pada saat sebelum menikah. Persepsi seperti ini di sebut youth
uulnerability oleh Quadrel et. aL. (1993) juga menyatakan bahwa remaja cenderung melakukan
underestimate terhadap uulnerability dirinya. Banyak remaja mengira bahwa kehamilan tidak
akan terjadi pada intercourse (sanggama) yang pertama kali atau dirinya tidak akan pernah
terinfeksi HIV/AIDS karena pertahanan tubuhnya cukup kuat.
Mengenai kesehatan reproduksi, ada beberapa konsep tentang kesehatan reproduksi, namun
dalam tulisan ini hanya akan dikemukakan dua batasan saja. (ICPD) dan sai dan Nassim).
Batasan kesehatan reproduksi menurut International Conference on Population and
Development(ICPD) hampir berdekatan dengan batasan sehat dari WHO. Kesehatan reproduksi
menurut ICPD adalah keadaan sehat jasmani, rohani,dan buakan hanya terlepas dari ketidak
hadiran penyakit atau kecacatan semata, yang berhubungan sistem fungsi, dan proses
reproduksi(ICPD,1994).
Beberapa tahun sebelumnya Rai dan Nassim mengemukakan definisi kesehatan reproduksi
mencakup kondisi di mana wanita dan pria dapat melakukan hubungan seks secara aman, dengan
atau tanpa tujuan terjadinya kehamilan, dan bila kehamilan diinginkan, wanita di mungkinkan
menjalani kehamilan dengan aman, melahirkan anak yang sehat serta di dalam kondisi siap
merawat anak yang dilahirkan (Iskandar, 1995)
Dari kedua definisi kesehatan reproduksi tersebut ada beberapa faktor yang berhubungan
dengan status kesehatan reproduksi seseorang, yaitu faktor sosial ,ekonomi,budaya, perilaku
lingkungan yang tidak sehat, dan ada tidaknya fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu
mengatasi gangguan jasmani dan rohani. Dan tidak adanya akses informasi merupakan faktor
tersendiri yang juga mempengaruhi kesehatan reproduksi.
Perilaku seksual merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang sangat berhubungan
dengan kesehatan reproduksi seseorang. Pada pasal 7 rencana kerja ICPD Kairo dicantumkam
definisi kesehatan reproduksi menyebabkan lahirnya hak-hak reproduksi. Berdasarkan pasal
tersebut hak-hak reproduksi di dasarkan pada pengakuan akan hak-hak asasi semua pasangan dan
pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertangung jawab mengenai jumlah anak ,
penjarangan anak (birth spacing ), dan menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka dan
mempunyai informasi dan cara untuk memperolehnya, serta hak untuk menentukan standar
tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi. Dalam pengertian ini ada jaminan individu untuk
memperoleh seks yang sehat di samping reproduksinya yang sehat (ICPD, 1994). Sudah barang
tentu saja kedua faktor itu akan sangat mempengaruhi tercapai atau tidak kesehatan reproduksi
seseorang ,termasuk kesehatan reproduksi remaja.

Resiko perilaku seksual berisiko remaja saat ini


Seperti telah dikemukakan di bagian pendahuluan, banyak penelitian dan berita di media
massa yang menggambarkan fenomena perilaku seksual remaja pranikah di indonesia.
Sebenarnya perilaku seksual remaja pranikah sudah ada sejak manusia ada. Tetapi informasi
tentang perilaku tersebut cenderung tidak terungkap secara luas. Sekarang kondisi masyarakat
telah berubah .dengan telah makin terbukanya arus informasi, makin banyak pula penelitian atau
studi yang mengungkapkan permasalahan perilaku seksual remaja, termasuk hubungan seksual
pranikah. Di indonesia sendiri ada beberapa penelitihan yang menggambarkan fenomena
perilaku seksual remaja pranikah. Berikut ini ada beberapa penelitian kuantitatif dan kualitatif
yang menggambarkan fenomena tersebut.
Pada tahun 1981, pangkahila melakuakan penelitian di bali terhadap ABG(anak baru gede)
ternyata pengalaman seksual mereka cukup jauh .terdapat 56,0% dari mereka pernah melakukan
ciuman bibir,31,0% yang pernah dirangsang alat kelaminya,dan bahkan pernah melakuakan
hubungan seksual sebanyak 25,0% satu tahun kemudian ,sarlito (1982) melakukan penelitian di
jakarta ternyata hanya 75,0% dari responden remaja putri yang di teliti masih menjaga ke
gadisanya. Artinya 25,0% remaja putri telah melakukan hungan seks .kemudian penelitian di
yogyakarta (1984) terungkap bahwa 13,0% dari 846 pernikahan di dahului oleh kehamilan. Dan
pada tahun 1985 hasil penelitian biran affandi menunjukkan bahwa 80,0% dari remaja yang
hamil melakukan hubungan seksual di rumah mereka sendiri.
Pada tahun 1989 penelitian yang dilakuakan oleh fakultas psikologi UI juga menunjukkan
bahwa ada 61,0% anak usia 16-20 tahun pernah melakuakan seksual intercourse (sanggama)
dengan temanya dan suatu penelitian terhadap siswa SMTP di bandung ternyata terdapat 10,53%
dari mereka pernah melakuakan ciuman bibir, 5,60%pernah melakukan ciuman dalam, dan
3,86% pernah melakuakan hubungan seksual. Penelitian yang dilakukan oleh sebuah majalah
mingguan ibu kota dari responden 100 orang pelajar dari 26 SMA di Jakarta menunjukkan bahwa
41,0% pelajar mengaku pernah melakuakan hubungan seks dengan lawan njenis (51.7% pada
laki-laki dan 25,0%pada wanita). Di samping responden yang melakuakan hubungan seks
dengan lawan jenis, ada 42,0% yang pernah berciuaman dengan lawan jenis, 4,0% pernah
meraba alat kelamin alat vital lawan jenis ,dan 12,0% pernah menyenggol, memegang,
meraba ,membelai bagian tubuh yang peka milik lawan jenisnya. Hanya 1,0% saja yang tidak
mempunyai pengalaman seks dengan lawan jenis. Walapun masih di perdebatkan keabsahan
hasil penelitian tersebut paling tidak tata diatas mengingatkan kita betapa besarnya masalah
perilaku seks pada remaja kita.
Hasil yang tidak begitu jauh berbeda juga terjadi pada mahasiswa. Penelitian yang di
lakuakan di yogyakarta (Dasakung1984) mengunggkapkan bahwa 62,0% dari mahasiswa pernah
melakukan kumpul kebo. Survei kecil yang pernah dilakuakan oleh mahasiswa fakultas
psikologi UI (1993) terhadap 200responden menunjukan bahwa alasan yang di kemukakan oleh
sebagian mahasiswa untuk melakukan hubungan seks adalah sebagai ungakapan kasih
sayang(36,20%), terbawa suasana (15,0%), kebutuhan biologis (14,0%), dan untuk kenikmatan
dan kesenagan 10.1%).
Bila kita lihat kecenderungan perilaku seksual remaja pranikah berdasarkan tempat tinggal
mereka, ternyata baik di desa maupun di kota perilaku tersebut juga sangat memprihatinkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Faturochman dan soetjipto di bali (1989) menunjukkan bahwa
persentase remaja laki-laki di desa dan di kota yang telah melakukan hubungan seks masing-
masing adalah 23,6% dan33,5%. Sedangkan penelitian singarimbun (1994) menemukan 1,8%
remaja wanita di kota pernah melakuakan hubungan seks pranikah. Penelitian di lakuakan oleh
laboratium antropologi FISIP UI Hidayana dan Saefuddin, (1997) menunjukan bahwa tidak ada
perbedaan perilaku seksual yang cukup mencolok pada remaja desa dan remaja kota di Sumatra
Utara dan Kalimantan selatan. Di kedua tempat penelitian itu terlihat adanya kecenderungan
perilaku seksual yang permisif baik di desa maupun di desa.
Faktor-faktor yang sangat terkait kondisi saat ini menyebabkan perilaku serksual remaja
semakin menggejala akhir-akhir ini. Namun begitu, banyak remaja tidak mengindahkan bahkan
tidak tahu dampak dari perilaku seksual mereka terhadap kesehatan reproduksi baik dalam waktu
yang cepat ataupun waktu yang lebih panjang.

Beberapa dampak perilaku seksual remaja pranikah terhadap kesehatan reproduksi:


1. Hamil yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy)
Unwanted pregnancy (kehamilan yang tidak di kehendaki) merupakan salah satu akibat dari
perilaku seksual remaja. Anggapan-anggapan yang keliru seperti: melakuakan hubungan seks
pertama kali, atau hubungan seks jarang dilakuakan,atau perempuan masih muda usianya, atau
bila hubungan seks dilakuan sebelum atau sesudah menstruasi, atau bila mengunakan teknik
coitus interuptus (sanggama terputus), kehamilan tidak akan terjadi merupakan pencetus semakin
banyaknya kasus unwanted pregnancy. Seperti salah satu kasus pada penelitian khisbiyah (1995)
ada responden mengatakan, untuk menghindari kehamilan maka hubungan seks dilakuakan di
antara dua waktu menstruasi. Informasi itu tentu saja bertentangan dengan kenyataan bahwa
sebenarnya masa antara dua siklus menstruasi itu merupakan masa subur bagi seorang wanita.
Unwanted pregnancy membawa remaja pada dunia pilihan, melanjutkan kehamilan atau
mengugurkanya. Menurut Khisbiyah (1995) secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi
pengambilan keputusan itu, yakni faktor intrnal dan faktor eksternal.
a Faktor internal meliputi, intensitas hubungan dan komit-men pasangan remaja untuk
menjalin hubungan jangka panjang dalam perkawinan, sikap dan persepsi terhadap janin
yang di kandung, seperti persepsi subjektif mengenai kesiapan psikologis dan ekonomi
untuk memasuki kehidupan perkawinan.
b Faktor eksternal meliputi sikap dan penerimaan orng tua kedua belah pihak, penilaian
masyarakat, nilai-nilai normatif dan etis dari lembaga keagamaan, dan kemingkinan-
kemungkinan perubahan hidup di masa depan yang mengikuti pelaksanaan keputusa yang
akan dipilih.
Terlepas dari alasan di atas, yang pasti melahirkan dalam usia remaja (early chilbearing) dan
melakuakan aborsi merupakan pilihan yang harus mereka jalani. Banyak remaja putri yang
mengalami unwanted pregnancy terus melanjutkan kehamilanya. Kosenkuensi dari keputusan
yang mereka ambil itu adalah melahirkan anak yang dikandungnya dalam usia yang relatif muda.

2. Penyakit menular seksual (PMS) HIV/AIDS


Dampak lain dari perilaku seksual remaja terhadap kesehatan reproduksi adalah tertular PMS
termasuk HIV/AIDS. Sering kali remaja melakukan hubungan seks yang tidak aman. Adanya
kebiasaan berganti-ganti pasangan dan melakuakan anal seks menyebabkan remaja semakin
rentan untuk tertular PMS/HIV, seperti sifilis ,gonore,herpes, klamidia dan AIDS . dari data yang
ada menukjukan bahwa diantara penderita atau kasus HIV/AIDS, 53,0% berusia antara 15-29
tahun. Tidak terbatasnya cara melakuakan hubungan kelamin pada genital-genital saja(bisa juga
oragenital) menyebabkan penyakit kelamin tidak saja terbatas pada daerah genital, tetapi dapat
juga pada daerah-daerah ektra genital.

3. Psikologis
Dampak lain dari perilaku seksual remaja yang sangat berhubungan dengan kesehatan
reproduksi adalah konsekuensi psikologis. Setelah kehamilan terjadi ,pihak perempuan atau
tepatnya korban- utama dalam masalah ini. Kodrat untuk hamil dan melahirkan menempatkan
remaja perempuan dalam posisi terpojok yang sangat delimatis. Dalam pandangan masyarakat
,remaja putri yang hamil merupakan aib keluarga,yang secara telak mencoreng nama baik
keluarga dan ia adalah si pendosa yang melangar norma-norma sosial dan agama. Penghakiman
sosial ini tidak jarang meresap dan terus tersosialisasi dalam diri remaja putri tersebut. Perasaan
binggung, cemas, malu, dan bersalah yang dialami remaja setelah mengetahui kehamilanya
bercampur dengan perasaan depresi, pesimis terhadap masa depan, dan kadang disertai rasa
benci dan marah baik kepada diri sendiri maupun kepada pasangan, dan kepada nasib membuat
kondisi sehat secara fisik ,sosial dan mental yang berhubungan dengan sistem ,fungsi,dan proses
reproduksi remaja tidak terpenuhi.
Namun ada hal yang perlu pula untuk diketahui bahwa dampak yang terjadi pada remaja
bukan hanya pada saat pranikah,namun dapat pula memberikan dampak negatif saat menikah
dan hamil muda.Hal-hal yang mungkin terjadi saat menikah dan hamil di usia sangat muda
(dibawah 20 tahun).
Tetap perlu diingat bahwa perempuan yang belum mencapai usia 20 tahun sedang berada di
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan fisik. Karena tubuhnya belum berkembang secara
maksimal, maka perlu dipertimbangkan hambatan/ kerugian antara lain :
a Ibu muda pada waktu hamil kurang memperhatikan kehailannya termasuk control
kehamilan. Hal ini berdampak pada meningkatnya berbagai resiko kehamilan.
b Ibu muda pada waktu hamil sering mengalami ketidakteraturan tekanan darah yang dapat
berdampak pada keracunan kehamilan serta kejang yang berakibat pada kematian.
c Penelitian juga memperlihatkan bahwa kehamilan usia muda (di bawah 20tahun) sering
kali berkaitan dengan munculnya kanker rahim. Ini erat kaitannya dengan belum
sempurnanya perkembangan dinding rahim.
d Dari sisi pertimbangan psikologis, remaja masih merupakan kepanjangan dari masa
kanak-kanak. Kebutuhan untuk bermain dengan teman sebaya, kebutuhan untuk
diperhatikan, disayang dan diberi dorongan, masih begitu besar sebelum ia benar-benar
siap untuk mandiri.
e Wawasan berpikirnya belum luas dan cukup matang untuk bisa menghadapi kesulitan,
pertengkaran yang ditimbulkan oleh pasangan hidup dan lingkungan rumah tangganya.

Strategi Meningkatkan Kesehatan Anak Remaja


a. Pendidikan Seks
Strategi pendidikan seks di masa lalu berfokus pada anatomi fisiologi reproduksi dan
penyuluhan perilaku yang khas kehidupan keluarga Amerika kelas menengah. Baru baru ini
pendidikan seks mulai membahas masalah seksualitas manusia yang dihadapi remaja. Misalnya,
program program yang sekarang berfokus pada upaya remaja untuk mengatakan tidak. Pihak
oponen program pendidikan seks di sekolah percaya bahwa diskusi eksplisit tentang seksualitas
meningkatkan aktivitas seksual diantara remaja dan mengecilkan peran orang tua. Pihak
pendukung mengatakan, tidak adanya diskusi semacam itu dari orang tua dan kegagalan mereka
untuk member anak anak mereka informasi yang diperlukan secara nyata untuk menghambat
upaya mencegah kehamilan pada remaja. Peran keluarga, masjid, gereja, sekolah kompleks dan
kontraversial tentang pendidikan seks. Orang tua mungkin tidak terlibat dalam pendidikan seks
anak anaknya karena beberapa alasan, seperti :
Orang tua tidak memiliki informasi yang tidak adekuat.
Orang tua tidak merasa nyaman dengan topik seks.
Para remaja tidak merasa nyaman bila orang tua mereka membahas seks.
Beberapa orang tua mendapat kesulitan untuk mengakui anaknya adalah individu seksual
yang memiliki perasaan dan perilaku seksual. Penolakan orang tua untuk membahas perilaku
seksual dengan putri mereka bisa menyebabkan putrinya merahasiakan aktivitas seksnya dan
dapat menghambat upaya untuk mendapat bantuan.
b. Fungsi Penting Program Promosi Kesehatan Remaja
Meningkatkan penerimaan pengetahuan dan keterampilan untuk perawatan diri yang
kompeten dan menginformasikan pembuatan keputusan tentang kesehatan.
Memberikan pengkuatan positif terhadap perilaku sehat.
Pengaruh struktur lingkungan dan sosial untuk mendukung perilaku peningkatan
kesehatan.
Memfasilitasi pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Menyadarkan remaja terhadap aspek lingkungan dan budaya barat yang merusak
kesehatan dan kesejahteraan.
http://informasi-kesehatan-remaja.blogspot.co.id/2012/10/infeksi-menular-seksual-

gejala-dan-cara.html

http://apaituhivdanaids.blogspot.co.id/2013/03/penting-pencegahan-infeksi-

menular.html

http://www.opsi-network.org/upaya-pencegahan-penularan-hivaids/

http://senjaaruna.blogspot.co.id/2014/08/cara-dan-upaya-pencegahan-penyakit-

hiv.html

http://irdayantinasir.blogspot.co.id/2013/05/makalah-kesehatan-reproduksi-

remaja.html

http://belajarpsikologi.com/kesehatan-reproduksi-remaja/

http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/beranda/42-dokumen-kebijakan-policy-

document/regulasi/51-kebijakan-penanggulangan-ims-hiv-dan-aids

Anda mungkin juga menyukai