Penularan HIV dari seorang ibu yang terinfeksi dapat terjadi selama masa kehamilan, selama
proses persalinan atau setelah kelahiran melalui ASI. Tanpa adanya intervensi apapun, sekitar
15% sampai 30% ibu dengan infeksi HIV akan menularkan infeksi selama masa kehamilan dan
proses persalinan. Pemberian air susu ibu meningkatkan risiko penularan sekitar 10-15%. Risiko
ini tergantung pada faktor- faktor klinis dan bisa saja bervariasi tergantung dari pola dan lamanya
masa menyusui.
2. Operasi Caesar: Operasi caesar merupakan prosedur pembedahan di mana bayi dilahirkan
melalui sayatan pada dinding perut dan uterus ibunya. Dari jumlah bayi yang terinfeksi
melalui penularan ibu ke anak, diyakini bahwa sekitar dua pertiga terinfeksi selama masa
kehamilan dan sekitar saat persalinan. Proses persalinan melalui vagina dianggap lebih
meningkatkan risiko penularan dari ibu ke anak, sementara operasi caesar telah
menunjukkan kemungkinan terjadinya penurunan risiko. Kendatipun demikian, perlu
dipertimbangkan juga faktor risiko yang dihadapi sang ibu.
3. Menghindari pemberian ASI: Risiko penularan dari ibu ke anak meningkat tatkala anak
disusui. Walaupun ASI dianggap sebagai nutrisi yang terbaik bagi anak, bagi ibu
penyandang HIV-positif, sangat dianjurkan untuk mengganti ASI dengan susu formula
guna mengurangi risiko penularan terhadap anak. Namun demikian, ini hanya dianjurkan
bila susu formula tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi anak, bila formula bayi itu
dapat dibuat dalam kondisi yang higienis, dan bila biaya formula bayi itu terjangkau oleh
keluarga.
Ketika makanan pengganti dapat diterima, layak, harganya terjangkau, berkesinambungan, dan
aman, sangat dianjurkan bagi ibu yang terinfeksi HIV-positif untuk tidak menyusui bayinya. Bila
sebaliknya, maka pemberian ASI eksklusif direkomendasikan pada bulan pertama kehidupan
bayi dan hendaknya diputus sesegera mungkin.
Prosedur apakah yang harus ditempuh oleh seorang petugas kesehatan untuk mencegah
penularan dalam setting perawatan kesehatan?
1. Cara penanganan dan pembuangan barang-barang tajam (yakni barang-barang yang dapat
menimbulkan sayatan atau luka tusukan, termasuk jarum, jarum hipodermik, pisau bedah
dan benda tajam lainnya, pisau, perangkat infus, gergaji, remukan/pecahan kaca, dan
paku);
2. Mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah dilakukannya semua
prosedur;
3. Menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, celemek, jubah, masker dan
kacamata pelindung (goggles) saat harus bersentuhan langsung dengan darah dan cairan
tubuh lainnya;
6. Pekerja kesehatan harapnya berhati-hati dan waspada untuk mencegah terjadinya luka
yang disebabkan oleh jarum, pisau bedah, dan instrumen atau peralatan yang tajam.
Sesuai dengan Kewaspadaan Universal, darah dan cairan tubuh lain dari semua orang
harus dianggap telah terinfeksi dengan HIV, tanpa memandang apakah status orang
tersebut baru diduga atau sudah diketahui status HIV-nya.
Apa yang harus dilakukan bila anda menduga bahwa anda telah terekspos HIV?
Bila anda menduga bahwa anda telah terpapar HIV, anda hendaknya mendapatkan konseling dan
melakukan testing/pemeriksaan HIV. Kewaspadaan hendaknya diambil guna mencegah
penyebaran HIV kepada orang lain, seandainya anda benar terinfeksi HIV.
Cara Dan Upaya Pencegahan Penyakit HIV AIDS
Program Pencegahan Penyakit HIV AIDS hanya dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen
masyarakat dan komitmen politik yang tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi perilaku
risiko tinggi terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi :
1. Pemberian penyuluhan kesehatan di sekolah dan di masyarakat harus menekankan bahwa
mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti serta penggunaan obat suntik bergantian
dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Pelajar juga harus dibekali pengetahuan
bagaimana untuk menghindari atau mengurangi kebiasaan yang mendatangkan risiko
terkena infeksi HIV. Program untuk anak sekolah harus dikembangkan sedemikian rupa
sesuai dengan perkembangan mental serta kebutuhan mereka, begitu juga bagi mereka
yang tidak sekolah. Kebutuhan kelompok minoritas, orang-orang dengan bahasa yang
berbeda dan bagi penderita tuna netra serta tuna rungu juga harus dipikirkan.
2. Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi adalah dengan tidak melakukan hubungan seks
atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi.
Pada situasi lain, kondom lateks harus digunakan dengan benar setiap kali seseorang
melakukan hubungan seks secara vaginal, anal atau oral. Kondom lateks dengan pelumas
berbahan dasar air dapat menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks.
3. Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang akan mengurangi
penularan HIV. Begitu pula Program Harm reductionyang menganjurkan para
pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode dekontaminasi dan menghentikan
penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif.
4. Menyediakan fasilitas Konseling HIV dimana identitas penderita dirahasiakan atau
dilakukan secara anonimus serta menyediakan tempat-tempat untuk melakukan
pemeriksaan darah. Faslitas tersebut saat ini telah tersedia di seluruh negara bagian di AS.
Konseling, tes HIV secara sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan secara rutin
pada klinik keluarga berencana dan klinik bersalin, klinik bagi kaum homo dan terhadap
komunitas dimana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang aktivitas seksualnya tinggi
disarankan untuk mencari pengobatan yang tepat bila menderita Penyakit Menular
Seksual (PMS).
5. Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk dilakukan tes HIV
sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus
dievaluasi untuk memperkirakan kebutuhan mereka terhadap terapi zidovudine (ZDV)
untuk mencegah penularan HIV melalui uterus dan perinatal.
6. Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk mencegah
kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah donor harus diuji antibodi HIV
nya. Hanya darah dengan hasil tes negatif yang digunakan. Orang yang mempunyai
kebiasaan risiko tinggi terkena HIV sebaiknya tidak mendonorkan plasma, darah, organ-
organ untuk transplantasi, sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi
buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu atau bank tulang) yang
mengumpulkan plasma, darah atau organ harus menginformasikan tentang peraturan dan
kebijakan ini kepada donor potensial dan tes HIV harus dilakukan terhadap semua donor.
Apabila mungkin, donasi sperma, susu atau tulang harus dibekukan dan disimpan selama
3 6 bulan. Donor yang tetap negatif setelah masa itu dapat di asumsikan tidak terinfeksi
pada waktu menjadi donor.
7. Jika hendak melakukan transfusi Dokter harus melihat kondisi pasien dengan teliti
apakah ada indikasi medis untuk transfusi. Transfusi otologus sangat dianjurkan.
8. Hanya produk faktor pembekuan darah yang sudah di seleksi dan yang telah diperlakukan
dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV yang bisa digunakan.
9. Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan, pemakaian dan pembuangan
jarum suntik atau semua jenis alat-alat yang berujung tajam lainnya agar tidak tertusuk.
Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan lateks, pelindung mata dan alat
pelindung lainnya untuk menghindari kontak dengan darah atau cairan yang mengandung
darah. Setiap tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan harus dicuci
dengan air dan sabun sesegera mungkin. Kehati-hatian ini harus di lakukan pada semua
pasien dan semua prosedur laboratorium (tindakan kewaspadaan universal).
10. WHO merekomendasikan pemberian imunisasi bagi anak-anak dengan infeksi HIV tanpa
gejala dengan vaksin-vaksin EPI (EXPANDED PROGRAMME ON IMMUNIZATION);
anak-anak yang menunjukkan gejala sebaiknya tidak mendapat vaksin BCG. Di AS, BCG
dan vaksin oral polio tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada anak-anak yang
terinfeksi HIV tidak perduli terhadap ada tidaknya gejala, sedangkan vaksin MMR
(measles-mumps-rubella) dapat diberikan kepada anak dengan infeksi HIV.
Sebagian besar kasus HIV dan AIDS terjadi pada kelompok perilaku risiko tinggi yang
merupakan kelompok yang dimarjinalkan, maka program-program pencegahan dan pengendalian
HIV dan AIDS memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dan norma-norma
masyarakat yang berlaku di samping pertimbangan kesehatan. Penularan dan penyebaran HIV
dan AIDS sangat berhubungan dengan perilaku berisiko, oleh karena itu pengendalian harus
memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut.
1. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap
hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
2. Upaya pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan
perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data
dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA.
3. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan
LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama
sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan
suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
4. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku
risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan,
termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan
HIV and AIDS.
Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara nasional kegiatan
program AIDS dan pelayanan bagi ODHA.
Penyelenggaran dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan
Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program.
Pengembangan layanan bagi ODHA dilakukan melalui pengkajian menyeluruh dari
berbagai aspek yang meliputi: situasi epidemi daerah, beban masalah dan kemampuan,
komitmen, strategi dan perencanaan, kesinambungan, fasilitas, Sumber Daya Manusia
(SDM) dan pembiayaan. Sesuai dengan kewenangannya, pengembangan layanan
ditentukan oleh Dinas Kesehatan.
Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AIDS harus didahului dengan
penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent).
Konseling yang memadai harus diberikan sebelum dan sesudah pemeriksaan dan hasil
pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan kepada
pihak lain.
Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada
ODHA dan menerapkan prinsip:
Keberpihakan kepada ODHA dan masyarakat (patient and community centered).
Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna Narkotika Alkohol Psikotropika
Zat Adiktif (NAPZA) suntik melalui kegiatan pengurangan dampak buruk (harm
reduction) dilaksanakan secara komprehensif dengan juga mengupayakan
penyembuhan dari ketergantungan pada NAPZA.
Penguatan dan pengembangan program diprioritaskan bagi peningkatan mutu
pelayanan, dan kemudahan akses terhadap pencegahan, pelayanan dan
pengobatan bagi ODHA.
Layanan bagi ODHA dilakukan secara holistik, komprehensif dan integratif sesuai
dengan konsep layanan perawatan yang berkesinambungan.
Diantara kebijakan umum yang mendukung Pelaksanaan Program Intervensi Perubahan Perilaku
dalam Pencegahan IMS dan HIV Melalui Hubungan Seksual adalah:
1. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku
risiko tinggi tetapi harus memperhatikan kelompok masyarakat yang rawan, termasuk
yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV dan
AIDS.
2. Upaya pencegahan yang efektif termasuk pengendalian IMS pada sub populasi berisiko
tertentu dan promosi alat/jarum suntik steril serta terapi rumatan metadon bertujuan untuk
memutus rantai penularan HIV.
3. Pelaksanaan kegiatan program pengendalian IMS, HIV dan AIDS menggunakan standar,
pedoman dan petunjuk teknis yang diberlakukan Departemen Kesehatan.
4. Layanan kesehatan terkait IMS, HIV dan AIDS tanpa diskriminasi dan menerapkan
prinsip keberpihakan kepada pasien dan masyarakat (patient and community centered).
5. Upaya pengendalian HIV dan AIDS harus menghormati harkat dan martabat manusia
serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender
6. Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada anak sekolah, remaja dan masyarakat umum
diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi guna mendorong
kehidupan yang lebih sehat.
7. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap
hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
8. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan
LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama
sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan
suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
9. Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku
risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan,
termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan
HIV and AIDS.
Pengertian kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesehatan yang sempurna baik
secara fisik, mental, dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan
dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.
Sedangkan kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial
yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang
berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Definisi kesehatan
reproduksi menurut hasil ICPD 1994 di Kairo adalah keadaan sempurna fisik, mental dan
kesejahteraan sosial dan tidak semata-mata ketiadaan penyakit atau kelemahan, dalam segala hal
yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi dan proses.
1. Hak seseorang untuk dapat memperoleh kehidupan seksual yang aman dan memuaskan
serta mempunyai kapasitas untuk bereproduksi
4. Hak untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai sehingga perempuan
mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara aman.
Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk
bagi kesehatan repoduksi yaitu :
3. Psikologis
Dampak lain dari perilaku seksual remaja yang sangat berhubungan dengan kesehatan
reproduksi adalah konsekuensi psikologis. Setelah kehamilan terjadi ,pihak perempuan atau
tepatnya korban- utama dalam masalah ini. Kodrat untuk hamil dan melahirkan menempatkan
remaja perempuan dalam posisi terpojok yang sangat delimatis. Dalam pandangan masyarakat
,remaja putri yang hamil merupakan aib keluarga,yang secara telak mencoreng nama baik
keluarga dan ia adalah si pendosa yang melangar norma-norma sosial dan agama. Penghakiman
sosial ini tidak jarang meresap dan terus tersosialisasi dalam diri remaja putri tersebut. Perasaan
binggung, cemas, malu, dan bersalah yang dialami remaja setelah mengetahui kehamilanya
bercampur dengan perasaan depresi, pesimis terhadap masa depan, dan kadang disertai rasa
benci dan marah baik kepada diri sendiri maupun kepada pasangan, dan kepada nasib membuat
kondisi sehat secara fisik ,sosial dan mental yang berhubungan dengan sistem ,fungsi,dan proses
reproduksi remaja tidak terpenuhi.
Namun ada hal yang perlu pula untuk diketahui bahwa dampak yang terjadi pada remaja
bukan hanya pada saat pranikah,namun dapat pula memberikan dampak negatif saat menikah
dan hamil muda.Hal-hal yang mungkin terjadi saat menikah dan hamil di usia sangat muda
(dibawah 20 tahun).
Tetap perlu diingat bahwa perempuan yang belum mencapai usia 20 tahun sedang berada di
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan fisik. Karena tubuhnya belum berkembang secara
maksimal, maka perlu dipertimbangkan hambatan/ kerugian antara lain :
a Ibu muda pada waktu hamil kurang memperhatikan kehailannya termasuk control
kehamilan. Hal ini berdampak pada meningkatnya berbagai resiko kehamilan.
b Ibu muda pada waktu hamil sering mengalami ketidakteraturan tekanan darah yang dapat
berdampak pada keracunan kehamilan serta kejang yang berakibat pada kematian.
c Penelitian juga memperlihatkan bahwa kehamilan usia muda (di bawah 20tahun) sering
kali berkaitan dengan munculnya kanker rahim. Ini erat kaitannya dengan belum
sempurnanya perkembangan dinding rahim.
d Dari sisi pertimbangan psikologis, remaja masih merupakan kepanjangan dari masa
kanak-kanak. Kebutuhan untuk bermain dengan teman sebaya, kebutuhan untuk
diperhatikan, disayang dan diberi dorongan, masih begitu besar sebelum ia benar-benar
siap untuk mandiri.
e Wawasan berpikirnya belum luas dan cukup matang untuk bisa menghadapi kesulitan,
pertengkaran yang ditimbulkan oleh pasangan hidup dan lingkungan rumah tangganya.
gejala-dan-cara.html
http://apaituhivdanaids.blogspot.co.id/2013/03/penting-pencegahan-infeksi-
menular.html
http://www.opsi-network.org/upaya-pencegahan-penularan-hivaids/
http://senjaaruna.blogspot.co.id/2014/08/cara-dan-upaya-pencegahan-penyakit-
hiv.html
http://irdayantinasir.blogspot.co.id/2013/05/makalah-kesehatan-reproduksi-
remaja.html
http://belajarpsikologi.com/kesehatan-reproduksi-remaja/
http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/beranda/42-dokumen-kebijakan-policy-
document/regulasi/51-kebijakan-penanggulangan-ims-hiv-dan-aids