Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

IPA MASA DEPAN

KELOMPOK 4

NI PUTU YULIA HERLIANI (2023071015)


KADEK NITA KARYAWATI (2023071014)
AGUS PUTRA DWIPAYANA (2023071005)

PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN IPA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2020/2021
APLIKASI POLIMER KONDUKTIF PADA SENSOR

A. Definisi Polimer Konduktif


Polimer merupakan senyawa-senyawa yang tersusun dari molekul sangat besar yang
terbentuk oleh penggabungan berulang dari banyak molekul kecil. Molekul yang kecil disebut
monomer, dapat terdiri dari satu jenis maupun beberapa jenis. Polimer adalah sebuah molekul
panjang yang mengandung rantairantai atom yang dipadukan melalui ikatan kovalen yang
terbentuk melalui proses polimerisasi dimana molekul monomer bereaksi bersama-sama secara
kimiawi untuk membentuk suatu rantai linier atau jaringan tiga dimensi dari rantai polimer.
Polimer didefinisikan sebagai makromolekul yang dibangun oleh pengulangan kesatuan kimia
yang kecil dan sederhana yang setara dengan monomer, yaitu bahan pembuat polimer. Akibatnya,
molekul-molekul polimer umumnya mempunyai massa molekul yang sangat besar. Hal inilah
yang menyebabkan polimer memperlihatkan sifat sangat berbeda dari molekul-molekul biasa
meskipun susunan molekulnya sama. Pada umumnya polimer dikenal sebagai materi yang
bersifat non-konduktif atau isolator. Kemajuan dalam riset polimer telah menemukan berbagai
polimer yang bersifat konduktif maupun semikonduktif. Pemakaian polimer sebagai bahan
sensor dipilih jenis polimer yang bersifat konduktif agar memenuhi sejumlah kriteria yang
dituntut oleh suatu sensor. Salah satunya adalah bahwa polimer itu harus mampu mengikat
molekul-molekul yang dideteksinya sehingga mempengaruhi sifat konduktifitasnya (Hua Bai &
Gaoquan, 2006).
Polimer konduktif pertama kali diidentifikasi pada tahun 1980 dan termasuk dalam kelas
bahan organik yang dapat disintesis elektrokimia dari monomer yang sesuai dan heterosiklik
aromatik. Dewasa ini, polimer organik konduktif telah menarik perhatian yang cukup besar
dalam 15 tahun terakhir. Kemampuan menghantarkan listrik dari polimer adalah hal baru yang
menggabungkan antara atribut fisik dan kimia dari plastik (polimer) dengan sifat elektronik dari
logam (Rizky et al. 2014). Polimer konduktif memiliki sifat optis, elektrik dan mekanik sama
halnya dengan semikonduktor logam dan inorganik. Selain itu, polimer konduktif juga memiliki
sifat seperti pada polimer konvensional yakni mudah disintesis dan fleksibel.
Pada tahun 2000, Alan Heeger, Alan MacDiarmid dan Hideki Shirakawa memperoleh hadiah
nobel di bidang kimia atas penemuannya pada elaborasi polimer konduktif elektronik. Ketiga
peneliti tersebut menyatakan bahwa polimer plastik dapat dibuat untuk menghantarkan listrik
apabila atom karbon dihubungkan dengan ikatan tunggal atau ganda dan elektron lainnya
dihilangkan melalui proses oksidasi atau reduksi. Elektron pada ikatan lainnya dibatasi dan tidak
dapat menghantarkan arus listrik, namun ketika ketiga peneliti tersebut memberikan doping pada
material dengan akseptor elektron kuat seperti iodine, yang pada akhirnya polimer mulai
menunjukkan sifatnya seperti logam dengan konduktivitas 1011 kali lebih tinggi daripada
polyacetylene (Detiza & Kuwat, 2013). Polimer konduktif adalah polimer organik yang dapat
menghantarkan arus listrik. Bahan bahan tersebut biasanya merupakan material semikonduktif
dengan konduktivitas seperti logam atau oksida logam. Polimer konduktif memiliki berbagai
macam struktur dengan harga yang relatif murah, mudah dibuat dan dapat diproses secara
mekanik (Detiza & Kuwat, 2013). Jenis polimer konduktif sangat banyak diantaranya yaitu,
polyacetylene, polythiophene, polyaniline dll.
Keuntungan polimer konduktif dimanfaatkan untuk beberapa hal, diantaranya adalah sebagai
berikut.
1. Polimer konduktif digunakan sebagai pengemas antistatis pada material elektronik untuk
menghindari pelepasan listrik/ electrostatic discharge (ESD) yang dapat merusak
komponen. Penggunaan material ini utamanya digunakan pada pengemasan konduktor ion
dan plastik logam.
2. Polimer konduktif dapat juga digunakan pada aplikasi teknologi perangkat elektrokromik.
Elektrokromik dapat dijelaskan sebagai sifat optis dari material atau sistem yang dialiri
dengan arus listrik.
3. Polimer konduktif juga dapat digunakan sebagai sensor elektromekanik yang memiliki sifat
resistivitas
Perkembangan lanjutan mengenai polimer fungsional telah menghasilkan sensor yang dapat
digunakan. Polimer dapat digunakan sebagai substrat, elektroda, dan bahan aktif dalam perangkat
tersebut. Fleksibilitas dan ketangguhan polimer penting dalam penggunaannya sebagai substrat.
Polimer penghantar listrik/komposit dan polimer stimulus-respons dapat digunakan sebagai aktif
elektroda. Jenis polimer yang digunakan dalam sensor adalah sebagai berikut.
a. Kristal Cair Polimer (LCP)
Polimer pada kondisi suhu, tekanan, dan konsentrasi yang sesuai, bersifat termodinamika
stabil untuk membentuk mesofasa kristal cair, yang menggabungkan sifat-sifat cairan
(misalnya, kemampuan untuk mengalir) dan padatan kristal (misalnya, sifat fisik
anisotropik). Kristal cair polimer (LCP) dapat diaplikasikan sebagai substrat, saat
didinginkan menjadi padatan anisotropik. Bahan aktif dapat diinduksi oleh bahan kimia,
termal dan perubahan tekanan
b. Polimer Gel
Jaringan polimer non-fluida yang dapat diperluas seluruh volumenya oleh fluida. Polimer jel
dapat digunakan sebagai bahan aktif yang diinduksi oleh bahan kimia, termal, listrik dari
tubuh atau digunakan sebagai elektroda (misalnya gel ionik).
c. Polimer Komposit
Kombinasi dari polymer dan filler biasanya memberikan performa lebih baik dari polymer
murni. Bahan aktif yang digunakan sebagai elektroda atau stimulus-respon polimer dalam
sensor berbasis resistensi.
d. Polimer Piezoelektrik
Polimer mengubah energi mekanik menjadi listrik dan sebaliknya. Bahan aktif seperti sensor
tekanan misalnya polivinilidena fluoride (PVDF) dan asam polylactic (PLA).
e. Elastomer Polimer yang memiliki elastisitas seperti karet.
Bahan aktif (misalnya elastomer dielektrik) dan substrat (misalnya karet silikon)
f. Polimer termoplastik
Polimer yang dapat menjalani transisi fase yang dapat dibalik secara termal antara padat dan
cair. Polimer ini dapat dijadikan sebagai substrat
g. Polimer termoseting
Jaringan polimer tidak larut yang dibuat dengan pengawetan prapolimer kental yang tidak
dapat diubah. Polimer ini dapat dijadikan sebagai substrat.

B. Sensor Polimer Serta Aplikasinya


Polimer sensor dapat dikategorikan menurut fungsinya, sinyal fisik, dan unsur kimia. Saat
ini, telah diklasifikasikan sensor yang dapat digunakan dan sesuai dengan desain atau
morfologinya. Dalam menyesuaikan dengan kulit manusia, pengembangan perangkat yang dapat
dikenakan sensor berubah dari patch menjadi lebih tipis, sensor seperti kulit yang terlihat seperti
tato. Sensor tersebut bisa lembut, elastis, dan responsif. Tantangannya adalah mensintesis
pernapasan, tahan lama, sensor ultra-sensitif dengan fungsi yang sedemikian rupa. Alternatifnya,
sensor bisa ditambahkan ke dalam kehidupan sehari-hari sebagai perangkat yang dapat dikenakan
atau aksesoris seperti pakaian, lensa kontak, cincin, dan sarung tangan. Adapun pengaplikasian
polimer sensor ditunjukan pada gambar berikut.

Gambar 1. Aplikasi Polimer dalam Sensor

1) Sensor Tipe Tato


Sensor seperti tato memiliki ketebalan sub-mikron dan berfungsi untuk pemantauan terus
menerus selama waktu tertentu. Belajar dari sensor tipe patch yang tebal dan konvensional
dapat terlepas karena pembengkokan dan peregangan kulit (hingga 30%). Sensor seperti tato
harus dapat diregangkan dan sesuai dengan kulit manusia dan mampu bertindak sebagai kulit
buatan. Ketika ketebalan tato lebih kecil dari kerutan alami pada kulit (15–100 μm) pengguna
mungkin tidak dapat melihat kulit buatan tersebut. Bahan sensor harus memiliki pori agar
memungkinkan keluarnya keringat dari permukaan kulit untuk mendinginkan suhu tubuh.
Seperti halnya tato estetika, sensor seperti tato bisa diaplikasikan menggunakan metode
invasive atau metode non-invasif melalui stiker tato. Metode invasif menggunakan perubahan
warna atau tinta variabel optik dicapai dengan menggunakan pewarna kromogenik,
fluoresensi, kisi difraksi, dan plasmon yang diinjeksikan dalam dermis. Pendekatan ini telah
dievaluasi pada jaringan kulit babi ex- vivo untuk merasakan pH, glukosa (dalam campuran
dengan glukosa oksidase dan hidrogen peroksida) dan albumin. Namun, kebalikan dari deteksi
glukosa dan albumin perlu ditingkatkan agar bisa digunakan sebagai sensor seperti tato
permanen. Dibalik non-enzimatik sensor glukosa dapat direalisasikan dengan asam
fenilboronat dengan β-cyclodextrin, 85 yang mampu mengikat cis-diol secara reversibel
molekul glukosa. Sebagian besar peneliti telah melakukan penelitian terkait sensor tato non-
invasif. Sebelumnya, proses fabrikasi mikro yang mahal digunakan dalam pembuatan tato
elektronik tipis dengan melibatkan peralatan mahal dan ruang laboratorium yang bersih.
Namun saat ini, metode hemat biaya seperti sablon telah dikembangkan untuk fabrikasi tato
hemat biaya. Penggunaan sablon tinta melalui stensil berpola untuk membuat sensor
elektroda, sementara tulisan langsung dengan mendesain elektroda menggunakan inkjet atau
pencetakan tinta langsung. Elektroda menempel pada perekat lapisan yang berfungsi sebagai
penutup untuk melindungi sensor dari lingkungan hidup. Sinyal dari elektroda diproses
menjadi sinyal unit pengolahan yang dapat langsung diinterpretasikan secara kualitatif atau
digital dalam analisis kuantitatif. Perubahan warna atau variabel optik tinta seperti pewarna
kromogenik, fluoresensi, kisi difraksi, dan plasmon dapat digunakan untuk analisis kualitatif.
Untuk pengukuran kuantitatif, sinyal diterjemahkan oleh transduser, diperkuat, dan disaring
untuk mengurangi kebisingan. Adapun kelebihan dari sensor tato ini adalah sangat nyaman
dan seuai dengan permukaan kulit, sedangkan untuk kekurangannya diperlukan kalibrasi agar
tato dapat sesuai serta sensor tato ini dapat hilang dengan cara digosok dengan air.
.
2) Sensor Tipe Tambalan.
Sensor tipe tambalan ini lebih mengutamakan kontak antara elektroda dan tubuh manusia.
Polimer biasanya digunakan untuk gel elektrolit di elektroda basah. Namun, gelnya dapat
menyebabkan iritasi dan ketidaknyamanan pada kulit. Untuk memberikan kontak yang lebih
baik tanpa gel, peneliti membuat pola microneedle dengan demikian elektroda dapat mencapai
epidermis kulit. Pada permukaan kulit terdapat stratum korneum yang bekerja sebagai
penghalang informasi yang menimbulkan kesulitan dalam pengukuran. Penggunaan jarum
harus cukup kuat untuk bisa menusuk stratum korneum dengan ketebalan 10-20 μm dan
menembus ke epidermis (50–100 μm) untuk mengumpulkan biofluida. Impedansi kulit dapat
diartikan menggunakan model rangkaian resistor paralel (R) dan kapasitor (C).
Aplikasi sensor dengan mikroneedle juga digunakan untuk pengiriman obat atau vaksin
transdermal sebagai obat invasif minimal atau injeksi vaksin. Microneedles dapat dikemas
dengan obat atau digunakan untuk infus obat ke dalam kulit. Teknik ini pada akhirnya dapat
dikombinasikan dengan sensor microneedles yang dapat memberikan obat di waktu yang
sama atau untuk memantau proses pengiriman obat. Adapun kelebihan dari sensor tipe
tambalan ini adalah pengukurannya yang andal dan konsisten untuk pemantauan
berkelanjutan, sedangkan kekurangannya tidak dapat menahan peregangan yang terjadi pada
permukaan kulit.

3) Sensor jenis tekstil.


Sensor regangan resistif adalah jenis paling umum dalam sensor berbasis tekstil yang
menggunakan kain sebagai resistor dan mengukur perubahan resistivitas. Tiga jenis sensor
berbasis tekstil adalah sebagai berikut. 1) Sensor elektrokimia: tiga konfigurasi elekroda
untuk mendeteksi uap organofosfat, glukosa dan laktat. 2) Sensor berbasis transistor: oksidasi
adrenalin di saluran serat konduksi terdeteksi. 3) Sensor respons stimulus pasif: serat dapat
dilapisi polimer konduksi yang dapat memodifikasi resistivitas dengan adanya bahan kimia
seperti ammonia.
Konduktivitas serat dapat dimanipulasi melalui pelapisan, pemintalan, dan rajutan bahan
konduktif seperti polimer konduksi, struktur berbasis karbon (misalnya, graphene, karbon
nanotube, karbon nanopartikel hitam, serat karbon), dan perak. Polimer dapat diendapkan
pada kain non-konduktor dengan bahan polimerisasi kimia. Biasanya, proses dimulai dengan
mencelupkan kain menjadi larutan monomer yang mengandung dopan dilanjutkan dengan
perendaman menjadi oksidan pada suhu terkontrol. Bisa sebaliknya dicapai dengan
menggunakan polimerisasi fase uap, kain direndam menjadi oksidan dan dopan diikuti dengan
memaparkan kain ke uap monomer. Sebagai alternatif, metode satu panci bisa digunakan
menggunakan pencelupan kain yang berulang-ulang ke dalam larutan terdispersi polimer.
Namun, keretakan dapat terjadi dalam pembuatan kain berlapis polimer karena sifat rapuh dari
beberapa kain polimer konduksi. Adapun kelebihan dari sensor tipe tekstil ini adalah dapat
diaplikasikan pada pakian sehari-hari serta sangat nyaman digunakan oleh para atlit dalam
melakukan aktivitas olahraga. Kekurangannya adalah dapat terjadinya degradasi pada saat
proses pencucian.

4) Sensor Lensa Kontak


Sensor glukosa berbasis transistor dapat digunakan dalam sensor jenis lensa kontak
menggunakan graphene sebagai bahan aktif immobilisasi enzim glukosa oksida dengan
campuran Cu / Au sebagai sumber dan saluran elektroda. Terdapat peneliti yang
memanfaatkan asam fenilboronat (PBA) berbasis hidroksietil methacrylate (HEMA) untuk
membuat lensa kontak non-enzimatis sensor glukosa. Mekanisme penginderaan dilakukan
dengan pengukuran perubahan lebar dan ketebalan akibat pembengkakan selama glukosa
berinteraksi dengan asam boronat. Namun kenyamanan lensanya dipertanyakan karena
mengakibatkan bengkak. Selanjutnya dikembangkan Sensor Glukosa NovioSense, yang telah
melalui uji klinis fase II dengan 6 pasien diabetes mellitus. Sensor air mata berisi kumparan
fleksibel (diameter 60 μm) berisi kerja, penghitung, dan referensi elektroda serta pemancar.
Lapisan luar kumparan terbuat dari polisakarida hidrofilik diimobilisasi dengan enzim oksida
glukosa. Kumparan kemudian diletakkan pada penutup bawah mata untuk pengukuran
kronoamperometri. Kinerja Sensor Glukosa NovioSense mirip dengan Abbott FreeStyle
Libre, sensor glukosa darah. Adapun kelebihan dari sensor lensa kontak ini adalah
memberikan gangguan yang sedikit dan kekurangannya dapat menyebabkan mata merah serta
iritasi.

C. Aplikasi Polimer Nano-Komposit Sebagai Alat Sensor dan Pendeteksi Gas pada Kerusakan
Pangan
Penggunaan polimer nano-komposit sebagai alat sensor dalam kemasan pangan diketahui
bersifat reaktif dalam bahan kemasan yang dikenal dengan sensor nanonya dan sanggup
merespon perubahan lingkungan, misalnya suhu dan kelembaban di dalam ruang penyimpanan,
tingkat paparan gas oksigen, tingkat kerusakan/degradasi produk dan kontaminasi mikroba
(Sudibyo & Tiurlan, 2013). Sebagai contoh pengintegrasian matriks komposit nano polimer
dalam kemasan pangan sebagai alat sensor yang dapat mendeteksi senyawa-senyawa kimia,
bakteri patogen dan toksin/racun dalam bahan pangan sehingga bermanfaat untuk membantu
penetapan umur simpan produk pangan yang lebih akurat dan menyediakan informasi status
kondisi kesegaran pangan yang lebih realistis.
Diketahui fungsinya sebagai alat sensor dan pendeteksi gas pada kerusakan pangan, maka
kemasan pangan dengan matriks komposit nano polimer tersebut sering disebut sebagai kemasan
pangan cerdas komposit nano atau nanocomposites smart food packaging. Kemasan pangan
cerdas komposit nano ini didefinisikan sebagai suatu sistem yang dapat merasakan beberapa sifat
kepemilikan dari pangan yang dikemas dan menggunakan beberapa mekanisme untuk mendaftar
dan mengirimkan informasi tentang status kondisi mutu dan keamanan produk pangan yang
dikemas terkini (Sudibyo & Tiurlan, 2013). Beberapa contoh kemasan pangan cerdas dari
komposit nano polimer yang berfungsi sebagai alat sensor dan pendeteksi gas pada kerusakan
pangan, misalnya timetemperature intergrators (TTI) dan pendeteksi gas yang dihasilkan dari
bahan pangan yang mudah rusak.

Daftar Pustaka

Department Of Chemical Engineering Brigham Young University. (2006), Modeling And Data
Analysis Of Conductive Polymer Composite Sensors.
Detiza, G. O. & Kuwat, T. (2013). Pengembangan Prototipe Sensor Elektromekanik Berbasis
Prinsip Strain Gauge Menggunakan Poly (3,4-ethylenedioxythiophene):
Poly (styrene sulfonic acid). Jurnal Teknik Kimia, 2(1), 14-20.
Harito, Christian. (2020). Review: The Development of Wearable Polymer-Based Sensors:
Perspectives‖. Journal of the Electrochemical Society, 167(3), 1-15.
Rizky, D., Satriaji, S., & Hamidah, H. (2014). Karakterisasi Sensor Polimer Konduktif Polianilin
Berpengisi Serbuk Ban untuk Mendeteksi Konduktivitas Minyak. Jurnal Teknik
Kimia USU, 3(2), 41-44.
Sudibyo, A. & Tiurlan F. H. (2013). Potensi Penerapan Polimer Nanokomposit Dalam Kemasan
Pangan. Journal Kimia Kemasan, 35 (1). 6-19.

Anda mungkin juga menyukai