MODUL 1 – PENDAHULUAN
I. Mikrofosil dan Mikropaleontologi
II. Pengenalan Mikroskop
III. Makna dan Tata Cara Penamaan
IV. Taksonomi
MODUL 3 – FORAMINIFERA
I. Bagian-bagian Foraminifera
II. Komposisi Cangkang Foraminifera
III. Jenis Cangkang Foraminifera
IV. Septa dan Suture
iii
MODUL 8 – NANNOPLANKTON
I. Pengambilan Sampel dan Preparasi
II. Anatomi Morfologi
III. Sketsa Morfologi Coccolith dan Nannolith
IV. Klasifikasi
iv
Panduan Praktikum Mikropaleontologi
MODUL 1
PENDAHULUAN
Mikrofosil dapat terdiri dari sisa-sisa mikroorganisme bersel tunggal dan bersel
banyak ataupun fragmen dari kegiatan mikroorganisme, didalamnya termasuk tumbuhan
(test diatom, flagellate, polen dan spora, dinoflagelata, dan lain-lain) serta hewan
(radiolaria, test foraminifera, cangkang ostrakoda, conodont, bryozoa dan lain-lain)
(Pringgoprawiro & Kapid, 2000)
karena mikrofosil ini biasanya terawetkan dengan baik, dan dapat ditemukan melimpah
dalam volume batuan sedimen yang sedikit. Karena memiliki ukuran yang sangat kecil itu,
hampir semua berusahaan minyak mempunyai laboratorium mikropaleontologi untuk
menunjang kegiatan eksplorasinya.
Dengan melimpahnya mikrofosil, baik dari segi jumlah maupun variasi, yang dapat
ditemukan dalam volume batuan yang sedikit, bidang mikropaleontologi dapat
berkembang menjadi luas. Selain itu teknik preparasi dari mikrofosil sendiri relatif murah
dan tidak memakan waktu yang sangat lama sehingga sangat efektif digunakan sebagai
penentuan umur dalam waktu singkat.
Dalam praktikum ini dipelajari cara untuk mengidentifikasi mikrofosil, mulai dari
teknik pengambilan sampel yang baik, teknik preparasi masing-masing mikrofosil, sampai
determinasi dengan pengamatan secara langsung menggunakan mikroskop (baik binokuler
maupun polarisasi) hingga analisis berdasarkan aplikasi mikropaleontologi.
1. Mempelajari morfologi, bentuk, struktur, maupun komposisi kimia dan mineral dari
mikrofosil yang diamati
2. Membuat klasifikasi dan mengurutkannya dalam sistematika yang benar
3. Mempelajari hubungan antara mikrofosil dengan proses sedimentasi batuan,
paleogeografi, stratigrafi, paleoekologi paleobiologi dan peranannya.
2. Teknik thin section atau sayatan tipis membutuhkan mikroskop polarisasi. Teknik
ini dilakukan untuk analisis nannoplankton, foraminifera besar, serta polen dan
spora.
Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat dua jenis mikroskop yang digunakan:
Mikroskop Binokuler (Gambar 1) dan Mikroskop Polarisasi (Gambar 2) dengan perbedaan
sebagai berikut:
1. Penulisan nama binominal mempergunakan nama Latin yang ditulis miring tanpa
garis bawah, atau ditulis tegak dengan garis bawah.
2. Nama pertama diawali denga huruf besar (menunjukkan genus) dan nama kedua
ditulis denan huruf kecil (menunjukkan spesies).
3. Setelah ditulis genus dan spesies, ditambahkan nama orang yang menemukan
spesies tersebut
4. Dengan dipisahkan oleh koma dituliskan tahun publikasi pertama yang membahas
spesies tersebut.
IV. Taksonomi
Taksonomi yang digunakan dalam praktikum terdiri dari
Kingdom
Subkingdom
Divisi/Filum
Subdivisi/Subfilum
Kelas
Subkelas
Ordo
Subordo
Famili
Subfamili
Genus
Spesies
Subspesies
REFERENSI
Armstrong, H. A., & Brasier, M. D. (2005). Microfossils.. Malden. Oxford, Carlton:
Blackwell Publishing. ISBN 0, 632(05279), 1.
MODUL 2
PREPARASI SAMPEL
Preparasi adalah suatu proses untuk mengubah sampel batuan yang dipilih menjadi
bahan siap untuk dianalisis. Proses ini pada umumnya bertujuan untuk memisahkan
mikrofosil yang terdapat dalam batuan dari material-material (matriks) yang
menyelimutinya. Untuk setiap jenis mikrofosil, memiliki teknik preparasi yang berbeda.
Perlu diperhatikan juga dalam pemberian label serta pada saat melakukan preparasi, sebab
kontaminasi dan kesalahan dalam prosedur kemungkinan besar dapat terjadi.
Seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan, teknik preparasi umunya terbagi menjadi dua
yaitu washing (pencucian) yaitu pada foraminifera kecil, dan sayatan tipis. Berikut adalah
tahapan-tahapan pada teknik preparasi sampel batuan untuk analisis foraminifera,
nannoplankton, dan pollen-spora:
Metode yang digunakan adalah metode residu atau dengan proses pencucian dan
penguraian, biasanya dilakukan pada batuan sedimen klastik halus-sedang (lempung,
serpih, lanau, batupasir gampingan, dan sebagainya). Adapun alat dan bahan yang harus
disiapkan antara lain:
1. Sampel Batuan
2. H2O2 ( Hidrogen Peroksida)/ Detergen
3. Palu karet/ Palu kayu
4. Kain
5. Saringan (30, 80, 100 mesh dan Pan)
6. Wadah perendaman H2O2
7. Plastik sampel
8. Kuas bulu halus
Proses pencucian batuan yang umum dilakukan dengan cara sebagai berikut :
- Batuan sedimen ditumbuk secara perlahan dengan palu karet atau palu kayu hingga
halus atau berukuran diameter 3-6 mm,
- Diamkan larutan hingga butiran batuan tersebut tidak bereaksi (± 2-5 jam). Jika
dirasa masih kotor dapat mencucinya dengan air sabun,
- Masukan butiran kedalam saringan dan cuci dengan air bersih. Alirkan air yang
cukup deras diatas saringan dari atas ke bawah berukuran 30 – 80 – 100 – mesh,
- Ambil butiran residu yang terdapat pada mesh 80 dan 100 mesh, letakan dalam
wadah dan keringkan. Mengeringkan dapat dengan oven, ataupun paparan sinar matahari,
- Jika sudah dikeringkan, masukan atau pisahkan butiran dalam plastik sampel,
- Tandai sampel tersebut yang telah di preparasi sesuai kode aslinya,
- Sampel sudah siap dan lakukan determinasi.
Langkah awal dalam determinasi, perlu diadakan pemisahan fosil dari kotoran
butiran yang bersamanya. Cara pengambilan fosil-fosil tersebut dilakukan dengan
menggunakan jarum dari cawan tempat contoh batuan. Untuk memudahkan dalam
pengambilan fosilnya, jarum dibersihkan dengan air dan menempelkan perekat dengan
cara ditusukan pada selotip atau plastisin. Kemudian fosil yang telah dipisahkan diletakkan
pada plate dan beri kode/nomor.
1. Sampel batuan
2. Alat sayat batuan/ Gerinda
3. Karbondum (Bahan abrasif)
4. Air
5. Objective Glass
6. Canada Balsam
- Sampel batuan disayat mengunakan alat penyayat/ gerinda batuan, yang kemudian
pada kedua sisinya ditipiskan. Sayatan usahakan memotong struktur tubuh dalam
foraminifera besar,
- Poles salah satu sisi contoh sampel dengan bahan abrasif (karbondum) dan air,
- Lalu tempelkan sisi tersebut pada obective glass menggunakan canada balsam,
- Tipiskan kembali sisi yang satunya hingga sampel batuan tersebut transparan
(30 – 50 μm )
- Teteskan kembali canda balsam untuk merekatkan sampel, kemudian tutup dengan
cover glass, jika sudah beri label dan sampel siap di analisis.
Terdapat dua metode pada preparasi nannoplankton, yaitu “Smear Slide” dan
pelarutan. Metode smear slide lebih cepat dan praktis dibandingkan metode pelarutan.
Pengerjaannyapun dapat menghasilkan 10-20 sampel per jam. Berbeda dengan
foraminifera, analisis nannoplankton menggunakan mikroskop polarisasi. Kebutuhan
sampelnyapun juga lebih sedikit dibandingkan dengan preparasi foraminifera, karena
ukurannya yang sangat kecil (± 2-25 μm). Alat dan bahan yang dibutuhkan:
1. Sampel batuan
2. Entelon/ norland/ naftalen/ canada balsam
3. Cover glass
4. Objective glass
5. Aquades/ H2O
6. Hotplate
7. Pinset
8. Pipet
9. Tusuk gigi
Gambar 3. Langkah preparasi sampel analisa nannoplankton (dari kiri ke kanan urutan
preparasi sesuai poin yang telah disebutkan pada teknik preparasi di atas)
Beberapa tahap preparasi yang membutuhkan ketelitian dan ditunjang oleh fasilitas
laboratorium yang cukup lengkap, seperti cerobong asap, ruang asam, tabung reaksi, alat
sentrifugal, dsb. Berikut merupakan alat dan bahan yang dibutuhkan:
1. Sampel batuan
2. Palu karet/ Palu kayu
3. Asam klorida (HCl) 50%
4. Asam florida (HF) 70%
5. Kalium hidroksida (KOH) 10%
6. Asam nitrit (HNO3)
7. Cairan gliserin
8. Saringan halus
9. Objective glass
10. Cover glass
Endapan yang didapat pada saringan tersebut diawetkan dalam cairan gliserin dan
pengamatan dilakukan setelah endapan akhir diletakkan diatas gelas objek yang kemudian
ditutup dengan cover glass.
REFERENSI
Pringgoprawiro, H., & Kapid, R. (2000). Foraminifera: pengenalan mikrofosil dan
aplikasi biostratigrafi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
MODUL 3
FORAMINIFERA
I. Bagian-bagian Foraminifera
Keterangan:
Dinding (Test): Bagian terluar dari foraminifera yang dihasilkan oleh tubuhnya sendiri
atau dari material asing yang berasal dari lingkungan sekitar yang digunakan untuk
melindungi tubuh bagian dalam foraminifera
Kamar: Bagian dari foraminifera yang berfungsi sebagai tempat dari protoplasma
Aperture: Lubang yang terletak pada kamar terakhir, yang berfungsi sebagai mulut dan
tempat keluar protoplasma
Peri-peri: Batas antara bagian dorsal (punggung) dan ventral (perut)
Foraminifera kecil memiliki ukuran antara 200-600 μm dan dibagi menjadi foraminifera
bentonik dan planktonik
Foraminifera besar
Secara umum foraminifera terbagi menjadi dua yaitu, foraminifera bentonik dan
planktonik berdasarkan cara hidupnya. Foraminifera bentonik hidup didasar laut, sehingga
foraminifera bentonik cocok untuk digunakan dalam menentukan lingkungan pengendapan
sedangkan foraminifera planktonik hidup mengambang didekat permukaan air, yang dapat
digunakan dalam penentuan umur batuan. Terdapat perbedaan-perbedaan lainnya antara
foraminifera planktonik dan bentonik, antara lain
arenaceous)
Bentuk dasar test Umumnya berbentuk Memiliki bentuk yang
membundar hingga melensa bervariasi (cth: membundar,
biconvex, tabung,dll)
Jumlah dan susunan Seluruhnya berkamar ganda Susunan kamar bervariasi, dari
kamar (polythalamus) dengan yang sederhana/tunggal
kamar terputar (trochospiral, (monothalamus) hingga ganda
planispiral, streptospiral) (polythalamus)
Komposisi cangkang
Bentuk test/cangkang
Bentuk kamar
Jumlah kamar
Putaran kamar
Aperture
Suture
Ornamen
II. Komposisi cangkang foraminifera
Cangkang chitin
Foraminifera yang disusun oleh zat tanduk (chitin), foraminifera dengan cangkang
chitin memiliki ciri yaitu cangkang fleksibel, transparan, berwarna kekuningan, dan
imperforate. Ornamen yang umumnya terdapat pada cangkang chitin adalah ornamen
smooth. Foraminifera dengan cangkang chitin umumnya jarang ditemui
Cangkang arenaceous
Cangkang dengan komposisi berupa mineral dari butir-butir pasir yang direkatkan
menggunakan zat perekat yang dihasilkan foraminifera itu sendiri. Ornamentasi pada
cangkang arenaceous umumnya berupa ornamen reticulate. Contoh: Psammosphaera
Cangkang aglutionus
Merupakan cangkang foraminifera yang disusun oleh zat atau mineral asing yang
berasal dari butir-butir, sayatan mika, spone spicule, fragmen foraminifera, lumpur, yang
kemudian direkatkan satu sama lain dengan zat perekat hasil foramnifera itu sendiri.
Ornamentasi pada cangkang aglutinous umumnya berupa ornamen reticulate. Contoh:
Saccamina sphaerica
3. Sub-ordo Miliolina, merupakan sub-ordo yang dicirikan oleh dinding test yang bersifat
calcareous imperforate atau porcellaneous dengan kenampakan halus, putih, opak dan
mengkilat seperti porselen.
4. Sub-ordo Fusulinina, tercirikan oleh dinding test yang bersifat calcareous
microgranular.
5. Sub-ordo Rotaliina, tercirikan oleh dinding test yang bersifat calcareous perforate atau
hyaline dengan sifat dinding yang relatif jernih, dan transluscens.
1.
(a,b,c)
3.
(a,b,c)
7.
(a,b,c)
Spherical
Contoh spesies: Pyriform Tabular
Ellipsobulimina sp. Contoh spesies: Contoh spesies:
Ellpisoglandulina Pleurostomella subhodosa
velsdcoensis
8.
(a,b,c)
Globular Hemispherical
Contoh spesies: Oved
Contoh spesies:
Globigerina bulloides Contoh spesies:
Pyrgo lucernula
Pulleniatina
obliquloculata
9.
(a,b,c)
Clavate Tubulospinate
Radial elongate Contoh spesies: Contoh spesies:
Contoh spesies: Hastigerinella bermudezi Hantkenina alabamensis
Clavulina insignis
11.
(a,b,c)
Cyclical
Contoh spesies: Semisirculer
Flatulose
Cornuspira foliacea Contoh spesies:
Contoh spesies:
Bifurcammina
Pleurostomella clavata
Septa dan suture merupakan morfologi pada foraminifera yang membagi tiap kamar
pada foraminifera. Septa merupakan bidang yang membatasi tiap kamar pada foraminifera,
sedangkan suture merupakan garis yang terlihat pada permukaan foraminifera dan
membatasi tiap kamar pada foraminifera. Suture merupakan komponen yang penting
dalam indentifikasi foraminifera dikarenakan beberapa spesies memiliki suture yang khas.
a. Tertekan (melekuk), kenampakan datar atau muncul keluar pada cangkang Contoh :
Chilostomella oolina, untuk bentuk suture tertekan
b. Lurus, berbentuk lurus hingga melengkung lemah, sedang atau kuat. Contoh bentuk
suture lurus: Orthomorphiao challengeriana
REFERENSI
Pringgoprawiro, H., 1984, Diktat Mikropaleontologi Lanjut, Laboratorium
Mikropaleontologi Jurusan Teknik Geologi ITB, Bandung.
Saraswati, P.K., Srinivasan, M.S., 2016, Micropaleontology Principles And Applications,
Mumbai, Springer International Publishing Switzerland.
Daftar pustaka gambar:
[1a] Foraminifera image, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/aphia.php?p=image&tid=113851&pic=44
761
[1b, 1c, 2a, 2b, 4a, 4c, 5c, 6b, 7a, 7b, 7c, 8b, 9a, 10a] Pringgoprawiro, H., 1984, Diktat
Mikropaleontologi Lanjut, Laboratorium Mikropaleontologi Jurusan Teknik Geologi
ITB, Bandung.
[2c] World Foraminifera Database, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/photogallery.php?album=772&pic=35398
[3a] World Foraminifera Database, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/photogallery.php?album=772&pic=35538
[3b] WoRMS Gallery, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/photogallery.php?album=772&pic=37447
[3c] Orbulina universa, Desember 2018.
http://www.mikrotax.org/pforams/index.php?id=104184
[4b] Anomalinella rostrata, Desember 2018.
http://www.foraminifera.eu/single.php?no=1005151&aktion=suche
[5a] Goesella procera, Desember 2018.
https://www.foraminifera.eu/singleca.php?no=1008118&aktion=suche
[5b] Foraminifera image, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/aphia.php?p=image&pic=35929
[6a] WoRMS image, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=image&pic=36280
[6c] World Foraminifera Database, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/photogallery.php?album=772&pic=11888
7
[8a] WoRMS Photogallery, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/photogallery.php?album=772&pic=36571
[8c] WoRMS Photogallery, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/photogallery.php?album=772&pic=35397
MODUL 4
FORAMINIFERA PLANKTONIK
Dalam melakukan pengamatan atau pendeskripsian foraminifera plankton terdapat
beberapa bagian yang diamati jenisnya untuk melakukan penamaan genus hingga spesies.
Bagian-bagian tersebut terdiri dari susunan kamar, arah putaran kamar, aperture, septa dan
suture, jumlah kamar dan jumlah putaran, ornamentasi.
a. Planispiral : Terputar pada satu bidang datar, semua kamar terlihat, dan
pandangan serta jumlah kamar ventral dan dorsal sama. Contoh: Hastigerina.
b. Trochospiral : Terputar tidak pada satu bidang datar, memiliki ciri tidak semua
kamar terlihat, dan pandangan serta jumlah kamar pada ventral dan dorsal tidak sama.
Contoh : Globigerina
c. Streptospiral : Sifat mula-mula trochospiral, kemudian planispiral menutupi
sebagian atau seluruh kamar-kamar sebelumnya. Contoh : Pulleniatina
a. Dekstral : Apabila dilihat dari sisi dorsal putaran kamar searah jarum jam. Contoh :
Globorotalia pseudobulloides
b. Sinistral : Apabila dilihat dari sisi dorsal putaran kamar berlawanan arah jarum jam.
Contoh : Globorotalia menardii
a. Flape adalah bagian yang memiliki bentuk menyerupai topi pada aperture.
Contoh : Globoquadrina.
b. Tooth merupakan bentukan menyerupai gigi pada aperture.
c. Bulla/Tegilla adalah bentukan menyerupai penutup dengan sisi yang rata
(Bulla) dan bergerigi (Tegilla), seolah menutupi bagian aperturenya.
2. Famili Catapsydracidae
Famili ini memiliki bentuk test (cangkang) spherical hingga ovate, susunan kamar
trochospiral. Memiliki dinding dengan permukaan pitted hingga cancellate tetapi
tidak memiliki spine. Aperture umbilical, dapat memiliki secondary aperture yang
pada saat dewasa tertutup bulla. Muncul pada Paleosen sampai Holosen (Sekarang).
2.1. Genus Globoquadrina
Ciri-ciri morfologi dinding test hyaline, bentuk test spherical, bentuk kamar
subglobular dan susunan kamar medium-high trochospiral. Aperture terbuka lebar
dan terletak pada umbilicus (interiomarginal) dengan segiempat, atau berbentuk
lengkung, kadang mempunyai bibir, berselaput.
Contoh : Globoquadrina altispira (N4 – N20)
3. Famili Candeinidae
Famili ini memiliki bentuk test (cangkang) spherical, bentuk kamar globular dan
susunan kamar trochospiral relatif tinggi. Pada tahap awal memiliki aperture
umbilical, kemudian kamar-kamarnya berubah menjadi coiled yang rapat dan
umbilicus akan tertutup. Aperture berupa barisan bukaan yang membulat di
sepanjang suture. Muncul pada Miosen sampai Holosen (Sekarang).
5. Famili Globorotalidae
Famili ini memiliki ciri morfologi trochoid rendah, bentuk test elips bikonvek -
planokonvek, memiliki bentuk kamar sebagian bulat dan sebagian lagi rhomboid.
Aperture umbilical ekstra umbilical (dari umbilical sampai peri-peri). Test tersusun
atas gampingan, permukaan test halus, sebagian besar memiliki duri halus. Jumlah
kamar akhir lebih dari 4. Muncul sejak Kapur Awal sampai Holosen.
5.1. Genus Globorotalia
Ciri-ciri morfologi dengan test hyaline, bentuk test biconvex atau planoconvex,
bentuk kamar subglobular, atau “angular conical”. Aperture memanjang dari
umbilicus ke pinggir test. Pada pinggir test terdapat keel dan ada yang tidak.
Berdasarkan ada atau tidaknya keel, maka genus ini dapat dibagi menjadi dua
subgenus, yaitu :
lainnya maka dalam penulisan spesiesnya, biasanya diberi kode sebagai berikut .
Contoh : Globorotalia (G) tumida (N18 –N23)
6. Famili Pulleniatinidae
Famili ini pada umumnya memiliki bentuk test (cangkang) spherical, bentuk kamar
subglobular dan susunan kamar streptospiral. Memiliki dinding dengan perforasi
dan permukaan licin (smooth) hingga pustulose. Aperture interiomarginal,
umbilical-extraumbilical. Muncul pada Eosen sampai Holosen (Sekarang).
6.1. Genus Pulleniatina
Genus ini memiliki ciri morfologi dinding test gamping hyaline, bentuk test
spherical, bentuk kamar globular, susunan kamar trochospiral terpuntir. Aperture
interiomarginal umbilical, terbuka lebar memanjang dari umbilicus ke arah dorsal
dan terletak didasar apertural face. Muncul pada Miosen sampai Holosen
(sekarang).
Contoh : Pulleniatina obliquiloculata (N19-N23)
7. Famili Hantkeninidae
Famili ini memiliki ciri morfologi test pada awalnya trochoid atau planispiral, pada
tahapan akhir planispiral involute. Dinding test terusus oleh gampingan dengan
permukaan yang kasar. Aperture pada bagian bawah kamar terakhir berbentuk
busur. Ornamentasi berupa tanduk berukuran sama atau lebih besar dari kamarnya.
Muncul sejak Kapur Awal sampai Oligosen
7.1. Genus Hantkenina
Ciri-ciri morfologi dengan dinding test hyaline, bentuk test biumbilicate, bentuk
kamar tabular spinate dan susunan kamar planispiral involute. Tiap-tiap kamar
terdapat spine-spine yang panjang. Aperture berbentuk parabola sederhana yang
terletak pada apertural face.
Contoh : Hantkenina alabamensis (P13 – P16)
8. Famili Hastigerinidae
Famili ini pada umumnya memiliki bentuk test (cangkang) spherical, bentuk kamar
globular hingga clavate dan susunan kamar trochospiral pada tahap awal kemudian
berubah menjadi streptospiral atau planispiral. Memiliki dinding dengan tingkat
perforasi tinggi. Aperture interiomarginal dan equatorial atau dapat berupa
spiroumbilical. Muncul pada Miosen Tengah sampai Holosen (Sekarang).
9. Famili Cassigerinellidae
Famili ini memiliki bentuk test (cangkang) spherical, bentuk kamar globular dan
susunan kamar planispiral pada tahap awal kemudian dapat menjadi biserial.
Memiliki dinding perforasi. Aperture interiomarginal dan equatorial pada saat
planispiral, dan extraumbilical pada tahap biserial. Muncul pada Eosen Akhir
sampai Miosen Awal.
REFERENSI
Bolli, H. M.; Loeblich, A. R.; Tappan, H. (1957). Planktonic foraminiferal families
Hantkeninidae, Orbulinidae, Globorotaliidae and Globotruncanidae. Bulletin United
States National Museum. 215: 3-50.
J. A Postuma 1971. Manual of Planktonic Foraminifera. 420 pp., highly magnified
photographs and drawings of 160 species and 3 fold-out charts. Elsevier Publishing
Company, Amsterdam.
Loeblich, A.R. and Tappan, E. (1988). Foraminiferal Genera and Their Classification. Van
Nostrand Reinhold Company, New York, 970 p.
Pessagno, E.A.(1967). Upper Cretaceous Planktonic Foraminifera from the Western Gulf
Coastal Plain. Palaentographica Americana,5,259-441.
MODUL 5
FORAMINIFERA BENTONIK
Klasifikasi dan pemerian dari foraminidera bentonik ditentukan berdasarkan oleh
morfologi yang dimilikinya, antara lain; Susunan Kamar, Aperture, Komposisi Cangkang,
Septa, Sutura, dan Jumlah kamar.
Selain dari 7 susunan dasar ini, berikut monothalamus yang lain yaitu;
Polythalamus (multilocular)
Susunan kamar ini lebih rumit daripada Monothalamus, klasifikasi dari susunan ini
berdasarkan bentuk akhir pada susunan kamar. Secara umum, susunan kamar ini
dibagi menjadi 4 susunan yaitu;
1. Uniformed: Terdiri dari hanya satu susunan kamar saja, baik itu Uniserial,
Biserial, dan Triserial
2. Biformed: Terdiri dari 2 macam susunan kamar seperti susunan kamar yang
awalnya triserial kemudian berubah menjadi biserial.
3. Triformed: Terdiri dari 3 macam susunan kamar seperti susunan kamar yang
awalnya biserial, kemudian terputar, dan akhirnya berbentuk biserial.
4. Multiformed: Terdiri atas lebih dari 3 susunan kamar, namun jenis ini jarang
dijumpai.
Bentuk dasar dari susunan susunan kamar ini terdiri dari Susunan Kamar yang
seragam (Uniformed) antara lain;
Uniserial: Susunan Kamar yang terdiri dari satu baris kamar yang seragam
Biserial: Susunan Kamar yang terdiri atas 2 kamar yang letaknya berselang-
seling
Triserial: Susunan Kamar yang terdiri atas 3 Lamar yang letaknya berselang-
seling
Gambar 41. Genus Ammodiscus; Ammodiscus infimus (Kiri), Ammodiscus latus (tengah),
dan Ammodiscus pennyi (Kanan)
5. Genus Bolivina
Termasuk famili Buliminidae dengan test memanjang, pipih, agak runcing, biserial,
komposisi gampingan, berpori, aperture pada kamar akhir dan kadang berbentuk lope.
MODUL 7
I. Klasifikasi Tumbuhan
Secara garis besar tumbuhan dibagi menjadi dua golongan, yaitu tumbuhan non
vascular dan vascular. Bryophyta, Pterophyta, dan Gymnospermae adalah proses
reproduksi golongan yang dianggap mewakili studi palinologi.
1. Bryophyta
Anggota yang paling popular dari divisi Bryophyta adalah lumut. Terdapat Bryophta
yang telah mamiliki susunan sel yang berfungsi seperti pembuluh (Xylem dan Phloem),
walaupun bukan sebagai pembuluh sejati. Dalam proses reproduksi selgametofit (N) pada
lumut akan membentuk zygote (2N), dan mengalami pembelahan miosis menjadi spora.
Perkecambahan spora akan menghasilkan rumpun baru darigametofit. Spora yang tidak
mampu berkecambah ini akan tersimpan dalam sedimen.
2. Pterophyta
berkambang menjadi gametofit. Organ jantan dan betina berkembang di bagian bawah
gametofit. Gamet jantan berupa sperma berflagel, di lingkungan lembab/berair akan
berenang menuju sel telur, sehingga terbentuk zygote yang akan tumbuh menjadi sporofit
baru.
3. Gymnospermae
Kelompok Gymnosperma dikenal dengan istilah tumbuhan biji terbuka. Sebagian besar
dari kelompok Gymnosperma polennya memiliki kantung udara (wing/succ), sehingga
proses reproduksinya tidak tergantung terhadap keberadan air di udara. Angin merupakan
alat perantara yang menerbangkan polen untuk mencapai sel telur. Sebagai contoh pada
pinus, bunga jantan pinus (Pinnus mercusii) yang merupakan untaian dan sangat banyak
mengandung benang sari, bunga betina berbentuk kerucut (stobilus). Dengan bantuan
angin polen dari bunga jantan akan diterbangkan untuk menyerbuki bunga betina. Dengan
adanya kantong udara polen pinus ini akan diterbangkan jauh.
4. Angiospermae
II. Polen
Butiran polen memiliki karakter yang spesifik yang tediri atas bentuk, apertur,
sclupture/ornamentasi dinding, simetri dan ukuran. Menurut Blackmore (dalam Hessedan
Ehrendorfer, 1990) perbedaan karakter morfologi polen dapat digunakan untuk identifikasi
jenis, kontruksi klasifikasi atau interpretasi filogenetik. Mempelajari morfologi polen,
spora, acritarchs dan dinoflagellate membutuhkan miroskop yang memiliki perbesaran
mencapai (1000X), karena ukurannya yang sangat kecil, bahkan ada yang kurang dari 10
μ.
1. Morfologi Polen
Intine
Ornament
Tectum
Aperture Exine
Rods
Base
Gambar 42. Morfologi polen secara umum (Seywer,1981) (gambar kiri), Detail
morfologi pada Polen menurut A. Faegeri (1961) dan B. Resistsma (1970)
(gambar kanan)
2. Bentuk polen
Gambar 43. Sumbu ekuatorial dan polar dari polen (Moore dan Webb, 1977) (gambar
kiri), Gambar 4 Sumbu ekuatorial dalam 2 dimensi (gambar kanan)
3. Simetri Polen
Gambar 45. Simetri polen tampak polar dan ekuarorial (Reitsma , (1970)
4. Ukuran polen
Ukuran polen penulis yang sama membaginya menjadi sangat kecil <10μ, kecil 10-25
μ, medium 25-50μ, besar 50-100 μ, sangat besar 100-200 μ, giganta > 200μ. (Reitsma,
1970).
Tabel 7. Ukuran Polen (Reitsma, 1970)
5. Apertur
Berdasarkan fungsinya apertur pada polen sebagai pintu keluarnya cairan sel dalam
proses pembuahan. Thanikaimoni (dalam Blackmore dan Ferguson, 1986), menjelaskan
bahwa secara morfologis apertur adalah daerah eksin yang terbuka dan tipis, ditempatada
initin biasanya menebal. Secara fisiologis apertur merupakan zona germinasi, bisa juga
organ yang mengatur mekanisme perubahan volume. Pembagian bentuk apertur adalah
sebagai berikut:
o Sulcus, berupa kerutan atau celah yang menanjang, tegak lurus terhadap sumbu yang
membujur, terdapat di zona polar (terdapat pada palmae).
o Colpus, berupa celah atau torehan yang memanjang dengan sudut tegak lurus terhadap
bidang ekuator.
o Ruga, berupa celah atau kerutan yang memanjang dengan arah yang berbeda dengan
tipe colpus dan sulcus.
o Porus, berupa pori atau lubang bundar dibagian equatorial dengan memiliki
perbandingan panjang/luas kurang dari 2. Butir pollen yang memiliki jenis apertur ini
disebut porate.
o Periporus, Apertur yang berbentuk lubang bundar dan relative banyak tidak terpusat
pada equatorial dengan memiliki perbandingan panjang/luas kurang dari 2. Butir pollen
yang memiliki jenis apertur ini disebut pantoporate atau periporate.
o Sulculi, letaknya parallel terhadap equator, dan biasanya terletak diantara equator dan
distal. Jika disatukan secara apikal, sulculi akan membentuk zona, atau cincin sejajar
dengan garis equator.
o Pericolpus, Apertur ini berbentuk memanjang dan mengerut dibagian pinggir-pinggir.
o Ulcus, Aperature bentuknya melingkar yang terdapat dibagian distal dengan rasio
perbandingan panjang/luas kurang dari 2 serta ukuranya relatif lebih kecil dari setengah
dari permukaan distal. Pollen yang memiliki apertur ini dinamakan ulcerate.
Dalam satu polen pun bisa terdapat dua macam apertur secara bersama-sama,
seperti colpus dan porus maka disebut colpors.
Sering terjadi variasi dari apertur, seperti adanya penebalan, Moore dan Webb
(1978) menggambarkannya sbb:
5. Vestibulum (E), antar seksin dan neksin terpisah disekitar apertur yang berupa porus
6. Arcus (F), penebalan secara lokal dari bagian ekstexine dan membentuk kurva dari satu
bagian ke bagian lainya.
7. Oncus (G), struktur berbentuk lensa yang tidak tahan terhadap asetolisis dan terbentuk
di bawah apertur berbagai jenis butir pollen
Gambar 48. Variasi yang terjadi pada apertur (Moore dan Webb, 1978)
Jumlah apertur disamping bentuk apertur, jumlah apertur menjadi bagian dalam
identifikasi dan diskripsi. Moore dan Webb (1978), membuat pengelompokan berdasarkan
jumlah apertur, bentuk apertur dan zona penyebaran dari apertur sbb :
6. Ornamentasi/sclupture/hiasanDinding luar
Polen (eksin), terdiri dari dua lapisan, yakni lapisan luar disebutekteksin dan lapisan
dalam disebut endeksin. Dinding polen (eksin) yang tersimpanmenjadi fosil. Di bagian luar
lapisan eksin tersebut terdapat hiasan (ornamentation/sclupture) yang penting untuk
diskripsi polen. Moore dan Webb (1978), membagi bentuk ornamentasi sbb:
o Psilate: bila permukaan polen halus
o Verrucate: bila polen atau spora mempunyai tonjolan seperti kutil, biasanya tonjolan
lebarnya lebih besar dari tingginya
o Echinate: bila ornamentasinya menyerupai duri
o Striate: bila ornamentasinya memanjang dengan pola parallel
o Reticulate: polen atau spora memiliki pola ornamentasi seperti jarring-jaring
o Rugulate: apabila elemen ornamentasinya memanjang kesamping dan tidak teratur
o Clavate: tonjolan ornamentasinya melebar dibangian pangkal
o Perforate: ornamentasinya berupa lubang-lubang dengan diameter kurang dari satu
micrometer
o Gemmete: ornamentasinya baik lebar maupun tinggi tonjolannya sama ukurannya dan
mengkerut pada bagian dasarnya
o Scabrate: memiliki proyeksi elemen dengan diameter lebih dari satu micrometer dan
menyerupai granual sehingga disebut juga granulate.
III. Spora
1. Morflogi spora
Morfologi spora meliputi bentuk, ukuran, simetri, apertur, dan ornamentasi. Untuk
ornamentasi spora pola yang dipakai dalam polen dapat pula digunakan di spora.
Gambar 50. Morfologi umum pada spora (Modifikasi dari Singh, 1964)
2. Bentuk spora
Bentuk umum spora lebih sederhana dari polen. Dalam hal bentuk terminology
untuk polen juga dapat digunakan dalam spora, hanya saja terbatas pada bentuk dasar
ellipticuntuk spora monolate dan triangular/circular untuk spora trilate. Bentuk spora
sangat tergantung kepada jumlah aperturnya. Di bawah ini dicantumkan contoh-contoh
bentuk spora
3. Ukuran spora
Ukuran spora yang lazim berkisar 0,5 μ – 200 μ, untuk megaspora dapat mencapai
lebih dari 200 μ.
4. Simetri
Simetri pada spora dapat pula menggunakan pola simetri pada polen sebagaimna
Digambarkan dalam morfologi umum spora di uraian sebelumnya.
5. Aperture
Spora yang sederhana tidak memiliki apertur (alete) atau inaperturet. Untuk spora
yang memiliki apertur hanya dikelompokan kepada dua jenis, yaitu spora dengan satu
apertur disebut monolate, dan spora dengan tiga apertur disebut trilate. Apertur pada spora
disebut leasure, yaitu bentuk sutura atau alur.
6. Ornamentasi
Terminologi sclupture atau hiasan pada spora sama dengan yang digunakan dalam
terminologi hiasan dalam polen.
REFERENSI
MODUL 8
NANNOPLANKTON GAMPINGAN
Nannoplankton berasal dari bahasa Yunani nanos yang berarti kecil atau kerdil dan
plankton yang berarti mengapung secara pasif dalam kolom air atau permukaan air.
Calcareous nannoplankton atau nannopankton gampingan merupakan sebuah kelompok
heterogen dari semua makhluk hidup atau fosil yang berkomposisi gampingan termasuk di
dalamnya coccolith, discoaster dan nannoconids yang berukuran antara 0.25 sampai
dengan 30 µm (Armstrong & Brasier, 2005).
Organisme dari Protozoa bersel satu ini disebut Coccolithopores, yang termasuk
juga semua alga Haptophyta yang memiliki coccolith pada beberapa tahapan dalam
perkembangannya. Koloni dari coccolith yang berbentuk bulat seperti bola dengan
diameter rata-rata kurang dari 25 µm dan umumnya terdiri dari 10-150 coccolith tersebut
kemudian disebut dengan coccosphere (Black, 1963).
Ukuran rata-rata dari nannoplankton gampingan adalah antara 5-15 µm, namun
tidak menutup kemungkinan ada nannoplankton yang berukuran lebih dari itu. (Tappan,
1980) memberikan definisi ukuran lain yaitu kurang dari 2 µm, dan yang berukuran 2-20
µm didefinisikan sebagai ultramicroplankton. Fosil dari nannoplankton disebut dengan
nannofossil. Studi nannoplankton gampingan dilakukan dengan bantuan mikroskop optic
(mikroskop polarisasi) diilustrasikan dalam Gambar 52a dan juga SEM (Scanning
Electronic Microscope) seperti pada Gambar 52b.
Oleh karena coccosphere tidak tersusun dengan kuat, selama proses fosilisasi,
hanya lempengan kalsit (coccolith) yang telah terpisah yang terpreservasi (Gambar 2a).
Namun terkadang coccosphere yang utuh dapat ditemukan seperti pada Gambar 2b.
Gambar 52. Tampilan Coccolith pada Mikroskop Polarisasi dan (b) Tampilan Coccolith
pada SEM (Melinte, 2004)
Gambar 53. (a) Coccolith dari Recticulofenestra lockeri (kiri) dan (b) Coccosphere dari
Dictyococcites bisectus (Melinte, 2004)
Teknik preparasi yang paling sederhana dan paling murah adalah dengan teknik
smear-slides. Teknik ini tidak membutuhkan bahan kimia apapun kecuali air sulingan
(seperti yang telah dijelaskan pada modul Preparasi).
Karena hanya membutuhkan sedikit sampel untuk analisis coccolith dan teknik
preparasi yang sederhana dan murah, nannofosil gampingan digunakan secara luas dalam
aplikasi mikropaleontologi, contohnya digunakan untuk menentukan umur batuan sedimen
dengan akurat dan cepat pada pengeboran. Namun, kekurangan dalam penggunaan
nannofosil adalah nannofosil dapat dengan mudah mengalami rework. Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan dalam penentuan umur dan bahkan kesalahan dalam menentukan
sedimen kontinen dengan sedimen marine. Selain mengalami rework, dapat dengan mudah
terjadi kontaminasi pada saat preparasi. Karena nannoplankton gampingan terbuat dari
kalsit, proses terkait secondary outgrowth kalsit dan disolusi dapat ditemui dan dapat
menghambat identifikasi spesifik (Melinte, 2004).
Gambar 54. (kiri) Sketsa sel coccolithopore yang masih hidup beserta bagian-bagiannya
(Siesser dalam Lipps, 1993; dalam Armstrong & Brasier, 2005) dan (kanan) Skema sel
coccolithophyceae tampak luar (1) dan tampak dalam (2) pada saat pembentukan pelat-
pelat gampingan (Tappan, 1980 op cit. Ghidalia, 1987 dalam Kapid, 2003)
Gambar 55. Bagian-bagian dari pelat coccolith (Haq & Boersma, 1998)
Gambar 56. Penampang dari sel Coccolithopore dan dan penutup dinding sel (Bown,
1998)
Terdapat dua jenis coccolith berdasarkan model konstruksi yang diketahi dari studi
menggunakan SEM yaitu Heterococcolith dan Holococcolith (Armstrong & Brasier,
2005):
a. Heterococcolith
Biasanya berukuran lebih besar dan terbentuk dari elemen submikroskopis
yang berbeda seperti sebagai lempeng, batang/jarum dan butiran, yang
dikombinasikan menjadi struktur yang relatif lebih kaku/keras (Gambar 6a)
b. Holococcolith
Terbentuk seluruhnya dari krisal kalsit submikroskopis rhombohedral yang
tersusun secara teratur (Gambar 6b)
Gambar 57. (a) Fase hidup Heterococcolith (kiri) dan (b) Fase hidup Holococcolith dari
Calcidiscus leptoporus (Šupraha, Ljubešić, Mihanović, & Henderiks, 2016)
Calcareous nannoplankton memiliki beragam kelompok bentuk morfologi yang
kemudian diatur dalam tiga kategori (Haq & Boersma, 1998) :
Gambar 58. (a) Coccosphere; (b) Coccolith; (c) Kenampakan mikroskop polarisasi
XPL; dan (d) Kenampakan mikroskop polarisasi PPL dari Coccolithus pelagicus
(Young, Bown, & Lees, 2007)
b. Discolith
Berbentuk elipsoidal dengan rim yang terangkat (lebih tinggi). Dalam
beberapa kasus, rim yang tinggi membentuk struktur seperti vas atau gelas.
Contoh: Pontosphaera, Discolithina
Gambar 59. (a) Coccosphere; (b) Coccolith; (c) Kenampakan XPL (kiri) dan PPL (kanan)
dari Pontosphaera discopora (Young et al., 2007)
c. Lopadolith
Berbentuk bakul atau mangkung dengan rim yang tinggi dan memiliki
lubang pada arah luar. Contoh: Scyposphaera
Gambar 60. (a) Coccosphere; (b) Coccolith; (c) Kenampakan dalam mikroskop dari
Scyphosphaera apsteinii (Young et al., 2007)
d. Helicolith
Coccolith dengan pinggiran yang terputar heliks/spiral. Contoh: Helicosphaera
Gambar 61. (a) Coccosphere; (b) Coccolith; (c) Kenampakan XPL dan (d) Kenampakan
PPL dari Helicosphaera carteri (Young et al., 2007)
e. Caenolith
Heterococcolith dengan rim yang tinggi namun tanpa perisai yang
berkembang dengan baik. Contoh: Syracosphaera
Gambar 62. (a) Coccosphere; (b) Coccolit; dan (c) Kenampakan dalam mikroskop dari
Syracosphaera (Young et al., 2007)
2. Bentuk nannoplankton non-coccolithopores nannolith (bentuk nannoplankton 2)
Golongan yang bukan berbentuk coccolith atau dikenal dengan non-
coccolithopore nannolith
a. Asterolith
Nannolith berbentuk seperti bintang/snowflakes. Contoh: Discoaster, Hayaster
Gambar 63. (a) Kenampakan nannolith pada SEM; (b dan c) Kenampakan pada
mikroskop polarisasi Discoaster brouweri (Young et al., 2007)
b. Ceratolith
Berbentuk tapal kuda yang terbentuk oleh kedua lengan yang melengkung,
Contoh: Ceratolithus
Gambar 64. (a) Coccosphere; (b) Nannolith; (c) Kenampakan XPL dan (d) Kenampakan
PPL dari Ceratolithus cristatus (Young et al., 2007)
c. Sphenolith
Berbentuk taji, dengan alas berbentuk prisma yang tersusun oleh elemen-
elemen radial dengan arah ke atas meruncing. Contoh: Sphenolithus
Gambar 65. Kenampakan Sphenolithus radians pada mikroskop polarisasi (Young et al.,
2007)
d. Rhabdolith
Nannolith berbentuk batang yang melekat di bagian tengah pada suatu
lempeng/pelat. Contoh: Rhabdosphaera.
Gambar 66. (a) Coccosphere; (b) Nannolith; (c) Kenampakan XPL dan (d) Kenampakan
PPL Rhabdosphaera clavigera (Young et al., 2007)
e. Pentalith
Lempengan yang memiliki simetri kelipatan lima, berbentuk segilima,
bintang atau lingkaran. Contoh: Braarudosphaera
Gambar 67. (a) Coccosphere; (b) Nannolith; (c) Kenampakkan XPL dan (d) Kenampakkan
PPL dari Braarudosphaera bigelowii (Young et al., 2007)
f. Scapolith
Nannolith yang berbentuk rhombohedral seperti perahu dengan garis-garis
paralel pada bagian tengahnya. Contoh: Calciosolenia
Gambar 68. (a) Coccosphere; (b) Nannolith; (c) Kenampakkan pada mikroskop polarisasi
Calciosolenia (Young et al., 2007)
b. Microrhabdulus
Berbentuk batang memanjang yang pada bagian sisinya kadang dihiasai
dengan garis melintang. (Perch-Nielsen, 1985) memasukkan spesies ini dalam
golongan Microrhabdulaceae
c. Micula
Terbentuk dari lempengan kalsit yang saling bertaut (interlocking). (Perch-
Nielsen, 1985)memasukan kedalam golongan Polisyclolithaceae.
d. Nannoconus
Berbentuk silindris atau konis, tersusun oleh kalsit-kalsit dengan sumbu
memanjang tegak lurus dinding luar. Termasuk dalam golongan
Nannoconaceae kelompok Nannoconid
e. Triquetrorhabdulus
Nannolith dengna tiga sisi yang berbentuk cembung, dijumpai pada sedimen
Oligesen Atas hingga Miosen Akhir.
Gambar 74. Bentuk dan morfologi dari (a) Placolith; (b) Caenolith; (c) Discolith; (d)
Helicolith; (e) Lopadolith (Young et al., 2007)
Gambar 75. Bentuk dan morfologi dari (a) Asterolith; (b) Ceratolith; (c) Sphenolith; (d)
Rhabdolith; (e) Pentalith; dan (f) Scapolith (Young et al., 2007)
IV. Klasifikasi
Dasar penamaan mengacu sistem penamaan binomial. Dari beberapa klasifikasi
yang dibuat oleh beberapa peneliti dapat disimpulkan pola umum adalah:
a. Penentuan Ordo, didasari pada morfologi umum dari lingkaran luar (rim)
misalnya placolith, discolith dan sebagainya, serta pola susunan umum dari
elemen pada rim tersebut.
b. Penetuan Famili, pada bentuk dan susunan dari elemen rim dan lebar serta sifat
dari central area.
c. Penentuan Genus, didasarkan pola detail dari elemen rim serta struktur umum
dari central area.
d. Penentuan Spesies, pada struktur detail dari central area.
REFERENSI
Black, M. (1963). Function And Fine‐ Structure In Protista: 2. The Fine Structure Of The
Mineral Parts Of Coccolithophoridae. In Proceedings of the Linnean Society of
London (Vol. 174, pp. 41–46). Wiley Online Library.
Šupraha, L., Ljubešić, Z., Mihanović, H., & Henderiks, J. (2016). Coccolithophore life-
cycle dynamics in a coastal Mediterranean ecosystem: Seasonality and species-
specific patterns. Journal of Plankton Research.https://doi.org/10.1093/plankt/fbw061
Young, J. R., Bown, P. R., & Lees, J. A. (2007). Nannotax. Retrieved December 28, 2018,
from http://www.mikrotax.org/Nannotax3/index.html
Modul 6
Aplikasi Mikropalentologi
- Umur absolut
- Umur relatif
Penentuan umur absolut dilakukan dengan menghitung waktu paruh dari unsur-
unsur radioaktif yang terkandung dalam suatu batuan. Sedangkan pada penentuan
umur relatif pada suatu lingkungan pengendapan pada dasarnya ditentukan
berdasarkan keterdapatan suau mikrofosil dalam suatu batuan. Sebagian besar,
penentuan umur dapat dilakukan melalui keterdapatan dari foraminifera kecil
plantonik. Adapun faktor-faktor yang menjadikan foraminifera kecil plantonik
dijadikan sebagai penentu umur pengendapan ialah :
1- 10 0-70
10 - 20 0-'70
20 - 30 60 - 120
30 - 40 100 - 600
40 - 50 100 - 600
50:- 60 550 -700
60 -70 680 - 825
70 - 80 700 - 1100
80 - 90 900 - 1200
90 - 100 1200 - 2000
3. Penentuan Biostratigrafi
Satuan dasar biostratigrafi adalah zona (biasa disebut biozona). Menurut Edmond
Hebbert (1857), suatu zona dipilih berdasarkan kisaran hidup fosil index. Syarat suatu
taxon dikatakan sebagai fosil index adalah:
Melimpahnya populasi
Mudah dikenali
Persebaran geografis yang luas
Rentang umur yang singkat
Ada beberapa prinsip prinsip dasar yang digunakan untuk menentukan atau membagi
zona zona dalam pembuatan biostratigrafi:
4. Korelasi biostratigrafi
didapat dari analisis umur biostratigrafi menggunakan fosil dan/ mikrofosil yang
terkandung dalam suatu tubuh/lapisan batuan.
Perbedaan kedalaman kolom air juga berdampak pada bentuk dan ornamentasi
cangkang dari foraminifera. Foraminifera dengan cangkang memiliki spinose akan hidup
dan berkembang cenderung pada permukaan. Semakin dalam kedalaman kolom air bentuk
cangkang dari foraminifera akan menyesuaikan, dapat berupa adanya keel pada cangkang
hingga bentuk cangkang yang menjadi pipih dengan putaran cangkang planispiral.
kearah darat maupun kearah laut. Ditunjukan pada gambar adanya hubungan antara
salinitas dengan komposisi cangkang suatu foraminifera
REFERENSI
Berger W. H.. 1970. Planktonic Foraminifera: selective solution and the lysocline. Marine
Geology. Vol 8.
Riadi et al.. 2014. Studi Kondisi Dasar Perairan Menggunakan Citra Sub-Bottom Profiler
di Perairan Tarakan Kalimantan Timur. Jurnal Oseanografi. Vol.3. Hal. 26-35
● Dinding Cangkang
Cangkang dari foraminifera besar pada uumnya tersusun dari Agglutinin, Microgranular, perforate,
dan Imperforate. Selain itu, cangkang foraminifera besar juga tersusun dari semen organik
yang dapat berbentk sederhana aau multi-layered.
● Kamar Embrionik (initial chamber, nucleoconch)
Merupakan kamar permulaan yang tersusun atas beberapa inti, bentuk dari kamar embrionik
diklasifikasikan berdasarkan jumlah dan bentuk dari inti yang ada pada kamar. Bentuk dari
kamar embrionik ini dapat dibagi lagi menjadi;
- Bilocular, terdiri dari protoconch dan deutroconch
- Trilocular, terdiri dari 3 nucleoconch
- Quadrilocular, terdiri dari 4 nucleoconch
Kamar Embrionik golongan Orbitoididae (Pringgoprawiro & Kapid, 1999)
● Kamar Lateral
Kamar ini merupakan kamar berbentuk rongga yang letaknya teratur pada lapisan atas dan bawah
lapisan tengah.
Kamar Lateral Foraminifera Besar (Pringgoprawiro & Kapid, 1999)
Berikut ini diberikan uraian beberapa jenis foraminifera besar yang penting
terutama yang berasal dari jaman Tersier.
Deskripsi pada genus ini juga berlaku pada Asterocyclina dan Aktinocyclina.
uembel, 1870
Lepidocyclina G
Bentuk cangkang melingkar hingga polygonal terkadang berbentuk seperti
bentang, dengan pilar ataupun tidak. Berntuk kamar ekuatorial hexagonal, arcuate,
ogival,d an lainnya namun tidak pernah persegi. Pada genus ini, kamar lateral terlihat
jelas.
Identifikasi spesies pada genus ini berdasarkan Van der Vlerk (1968) dengan
menggunakan deraat kelengkungan pada cangkang. Yang dapat dbagi menjadi
beberapa bentuk yaitu;
- Nephrolepidine - Trybliolepidine
- Eulepidine - Pliolepidine
acco, 1893
Miogypsina S
Bentuk cangkang trigonal hinggal oval. Tersusun dari kamar ekuatorial dengan
atau tidak kamar lateral pada tiap sisinya.
Identifikasi spesies pada genus ini dilakukan dengan 3 cara yaitu; Penentuan
Genera, diamati dari sayatan equatorial, dan dapat pula menggunakan analisis Drooger
yang melakukan pengukuran kesimetrian dari putaran protoconch nepionic.
Genus Miogypsinoides juga memiliki deskripsi yang hampir sama dengan genus
ini.
MIOGYPSINOIDES
’Orbigny, 1826
Heterostegina d
Genus ini seperiti Spiroclypeus namun tidak memiliki kamar lateral. Spesies
dalam genus ini antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut;
- H. praecursor m emiliki cangkang tipis dengan pilar umbonal
- H.bantamensis s ama seperti H. praecursor n amun tidak memiliki pilar umbonal
- H. rulda m eiliki kamar paling dalam yang evolute.
- H. borneensis memiliki kamar paling dalam yang involute, biasanya terdapat pilar
sinous gelap
- H. depressa m emiliki umbo yang dikelilingi lapisan tipis pada septa primer dan
sekunder yang terlihat jelas.
- H. reticulate m erupakan H.depressa yang berumur muda.