Anda di halaman 1dari 112

DAFTAR ISI

MODUL 1 – PENDAHULUAN
I. Mikrofosil dan Mikropaleontologi
II. Pengenalan Mikroskop
III. Makna dan Tata Cara Penamaan
IV. Taksonomi

MODUL 2 – PREPARASI SAMPEL


I. Preparasi Foraminifera Kecil
II. Preparasi Foraminifera Besar
III. Preparasi Foraminifera Nannoplankton
IV. Preparasi Foraminifera Pollen dan Spora

MODUL 3 – FORAMINIFERA
I. Bagian-bagian Foraminifera
II. Komposisi Cangkang Foraminifera
III. Jenis Cangkang Foraminifera
IV. Septa dan Suture

MODUL 4 – FORAMINIFERA PLANKTON


I. Susunan Kamar Foraminifera Plankton
II. Arah Putaran Kamar
III. Macam – macam Aperture
IV. Jumlah kamar dan Jumlah Putaran
V. Ornamen (Hiasan) Foraminifera
VI. Pengenalan Genus dan Spesies Foraminifera Plankton

MODUL 5 – FORAMINIFERA BENTONIK


I. Susunan Kamar Foraminifera Bentonik
II. Aperture Foraminifera Bentonik
III. Pengenalan Genus dan Spesies Foraminifera Bentonik

MODUL 6 – FORAMINIFERA BESAR


I. Foraminifera Besar Hidup
II. Dinding Test
III. Pengamatn Stuktur Dalam
IV. Jenis Foraminifera Besar

MODUL 7 – POLLEN DAN SPORA


I. Klasifikasi Tumbuhan
II. Pollen
III. Spora

iii
MODUL 8 – NANNOPLANKTON
I. Pengambilan Sampel dan Preparasi
II. Anatomi Morfologi
III. Sketsa Morfologi Coccolith dan Nannolith
IV. Klasifikasi

iv
Panduan Praktikum Mikropaleontologi

MODUL 1

PENDAHULUAN

I. Mikrofosil dan Mikropaleontologi


Semua organisme yang telah mati dan rentan terhadap proses alami dari
sedimentasi dan erosi disebut sebagai fosil, terlepas dari cara organisme tersebut
terpreservasi atau bagaimana organisme tersebut mati. Secara umum fosil di dunia ini
dibagi menjadi makrofosil dan mikrofosil, dengan masing-masing memiliki metode
pengambilan sampel, preparasi dan studi yang berbeda. Kemudian seperti yang dijelaskan
dalam (Armstrong & Brasier, 2005) bahwa istilah mikrofosil ini sendiri dibatasi unuk sisa-
sisa organisme yang studinya membutuhkan penggunaan mikroskop, atau disebut sebagai
fosil berukuran mikro atau fosil mikroskopis dalam (Haq & Boersma, 1998). Sementara
menurut (Jones, 1936) dalam (Pringgoprawiro & Kapid, 2000) mikrofosil adalah setiap
fosil (biasanya berukuran kecil) yang sifat dan strukturnya bisa dipelajari paling baik
dengan menggunakan mikroskop. Oleh karena itu, cangkang bivalvia maupun tulang
dinosaurus yang dapat dilihat dibawah mikroskop tidak termasuk dalam mikrofosil.

Studi mikrofosil kemudian disebut dengan mikropaleontologi. Sehingga istilah


mikropaleontologi dapat didefinisikan sebagai cabang dari ilmu paleontologi yang
mempelajari sisa-sisa mikroorganisme yang mati dan terawetkan secara alami menjadi
fosil. Mikropaleontologi juga didefinisikan sebagai suatu studi sistematik yang didalamnya
membahas mengenai objek studinya yaitu mikrofosil, morfologi, klasifikasi, ekologi dan
kepentingannya terhadap stratigrafi.

Mikrofosil dapat terdiri dari sisa-sisa mikroorganisme bersel tunggal dan bersel
banyak ataupun fragmen dari kegiatan mikroorganisme, didalamnya termasuk tumbuhan
(test diatom, flagellate, polen dan spora, dinoflagelata, dan lain-lain) serta hewan
(radiolaria, test foraminifera, cangkang ostrakoda, conodont, bryozoa dan lain-lain)
(Pringgoprawiro & Kapid, 2000)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 1


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Mengapa mempelajari mikropaleontologi?

Dalam kegiatan eksplorasi, sangat jarang ditemukan makrofosil pada singkapan


maupun int bor dan cutting dari suatu pemboran. Sebaliknya, sedikit sekali batuan sedimen
yang tidak mengandung mikrofosil. Dengan kata lain, jumlah mikrofosil sangat melimpah

karena mikrofosil ini biasanya terawetkan dengan baik, dan dapat ditemukan melimpah
dalam volume batuan sedimen yang sedikit. Karena memiliki ukuran yang sangat kecil itu,
hampir semua berusahaan minyak mempunyai laboratorium mikropaleontologi untuk
menunjang kegiatan eksplorasinya.

Dengan melimpahnya mikrofosil, baik dari segi jumlah maupun variasi, yang dapat
ditemukan dalam volume batuan yang sedikit, bidang mikropaleontologi dapat
berkembang menjadi luas. Selain itu teknik preparasi dari mikrofosil sendiri relatif murah
dan tidak memakan waktu yang sangat lama sehingga sangat efektif digunakan sebagai
penentuan umur dalam waktu singkat.

Dalam praktikum ini dipelajari cara untuk mengidentifikasi mikrofosil, mulai dari
teknik pengambilan sampel yang baik, teknik preparasi masing-masing mikrofosil, sampai
determinasi dengan pengamatan secara langsung menggunakan mikroskop (baik binokuler
maupun polarisasi) hingga analisis berdasarkan aplikasi mikropaleontologi.

Seorang micropaleontologist harus memiliki tujuan utama dalam kegiatannya


meneliti mikrofosil (Pringgoprawiro & Kapid, 2000) yaitu:

1. Mempelajari morfologi, bentuk, struktur, maupun komposisi kimia dan mineral dari
mikrofosil yang diamati
2. Membuat klasifikasi dan mengurutkannya dalam sistematika yang benar
3. Mempelajari hubungan antara mikrofosil dengan proses sedimentasi batuan,
paleogeografi, stratigrafi, paleoekologi paleobiologi dan peranannya.

II. Pengenalan Mikroskop


Pada analisis mikropaleontologi, penggunaan mikroskop juga dibedakan
berdasarkan teknik penyajian fosil:

1. Teknik washing atau pencucian cukup menggunakan mikroskop binokuler stereo.


Teknik ini dilakukan untuk pengamatan foraminifera kecil dan ostrakoda.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 2


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

2. Teknik thin section atau sayatan tipis membutuhkan mikroskop polarisasi. Teknik
ini dilakukan untuk analisis nannoplankton, foraminifera besar, serta polen dan
spora.

Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat dua jenis mikroskop yang digunakan:
Mikroskop Binokuler (Gambar 1) dan Mikroskop Polarisasi (Gambar 2) dengan perbedaan
sebagai berikut:

Perbedaan Mikroskop Binokuler Mikroskop Polarisasi


Mengamati bentuk luar Mengamati morologi dan anatomi
Tujuan
dari organisme tertentu secara detail dari organisme tertentu
Foraminifera kecil, mikro- Foraminifera besar, nannoplankton,
Organisme moluska, ostrakoda, polen, spora, phytolith, radiolaria,
conodont jaringan hewan dan tumbuhan
Perbesaran 4 – 100 x 40 – 1000 x
Sumber Cahaya Dari atas Dari bawah
Jarak lensa objektif
Dekat Jauh
dengan preparat
Dapat difilter dan diatur pada arah
Rambatan Cahaya Dua arah (langsung)
tertentu
Lena Bertrand Tidak ada Ada
Polarisator Tidak ada Ada

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 3


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 1. Bagian-bagian dari mikroskop binokuler stereo (Microscope.com)

Gambar 2. Bagian-bagian dari mikroskop polarisasi


( Source : http://soft-matter.seas.harvard.edu/index.php/Polarized_Light_Microscopy)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 4


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

III. Makna dan Tata Cara Penamaan Fosil


Sejak Ch. De Linne mengusulkan penamaan binomial, peraturan penamaan suatu
taxon menjadi lebih teratur, praktis dan dipakai secara internasional.

1. Penulisan nama binominal mempergunakan nama Latin yang ditulis miring tanpa
garis bawah, atau ditulis tegak dengan garis bawah.
2. Nama pertama diawali denga huruf besar (menunjukkan genus) dan nama kedua
ditulis denan huruf kecil (menunjukkan spesies).
3. Setelah ditulis genus dan spesies, ditambahkan nama orang yang menemukan
spesies tersebut
4. Dengan dipisahkan oleh koma dituliskan tahun publikasi pertama yang membahas
spesies tersebut.

Contoh-contoh penulisan penamaan fosil:

1. Globorotalia menardii exulis BLOW, 1969 atau Globorotalia menardii exilis


BLOW, 1969
Artinya penamaan fosil hingga subspesies, spesies ditemukan oleh Blow
dan dipublikasikan pada tahun 1969.
2. Globorotalia humerosa n.sp. TAKAYANAGI & SATO, 1962 atau Globorotalia
humerosa n.sp. TAKAYANAGI & SATO, 1962
Penamaan fosil ini (n.sp) menunjukkan spesies baru.
3. Globorotalia ruber elongatus (d’ORBIGNY), 1862 atau Globorotalia ruber
elongatus (d’ORBIGNY), 1862
Tanda kurung ( ) pada nama penemu menunjukkan bahwa nama spesies
tersebut bukan dia yang menemukannya; yang bersangkutan hanya
mengatribusikan nama spesies pada genus lain yang menurutnya lebih tepat. Berarti
spesies Globorotalia ruber elongatus telah dipublikasikan sbelumnya oleh orang
lain sebagai bagain dari (misalnya) genus lain.
4. Pleumotora carinata GRAY, Var woodwardi MARTIN atau Pleumotora carinata
GRAY, Var woodwardi MARTIN
Artinya Gray memberikan nama spesies sedangkan Martin memberikan
nama varietas.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 5


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

5. Globorotalia acostaensis pseudopima n.sbsp. BLOW, 1969 atau Globorotalia


acostaensis pseudopima n.sbsp. BLOW, 1969
Penulisan n.sbsp menunjukkan subspesies baru.
6. Dentalium (s.str.) ruteni MARTIN atau Dentalium (s.str.) ruteni MARTIN
Artinya fosil yang ditemukan tersebut sinonim dengan Dentalium ruteni
MARTIN telah dipublikasikan sebelumnya.
7. Globigerina angulisuturalis ? atau Globigerina angulisuturalis ?
Artinya penulis tidak yakin apakah betul fosil yang ditemukan tersebut
termasuk spesies Globigerina angulisuturalis
8. Globorotalia cf. tumida atau Globorotalia cf. tumida
Artinya tidak yakin apakah spesies tersebut betul Globorotalia tumida tetapi
dapat dibandingkan dengan spesies tersebut (cf = confer).
9. Sphaeroidinella aff. Dehiscens atau Sphaerodinella aff. dehiscens
Artinya bentuk ini berdekatan atau berfamili dengan Sphaerodinella
dehiscens (aff = affiliation)
10. Ammobaculites spp. Atau Ammobaculites spp.
Artinya genus tersebut memiliki bermacam-macam spesies.
11. Recurvoides sp. atau Recurvoides sp.
Penulisan tersebut menunjukkan spesies, namun nama spesiesnya belum
dijelaskan sehingga dituliskan sebagai sp.

IV. Taksonomi
Taksonomi yang digunakan dalam praktikum terdiri dari
Kingdom
Subkingdom
Divisi/Filum
Subdivisi/Subfilum
Kelas
Subkelas
Ordo
Subordo
Famili
Subfamili
Genus
Spesies
Subspesies

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 6


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Berikut merupakan urutan penulisan klasifikasi

Taksonomi Klasifikasi Taxon Pencetus


Kingdom Protista Haeckel, 1866
Filum Protozoa Goldfuss, 1818
Kelas Sarcodina Hertwig & Lesser, 1874
Ordo Foraminiferida Eichwald, 1830
Famili Globigerinidae Carpenter, Parker & Jones, 1862
Genus Globigerina d’Orbigny, 1826
Spesies calida Parker, 1962

REFERENSI
Armstrong, H. A., & Brasier, M. D. (2005). Microfossils.. Malden. Oxford, Carlton:
Blackwell Publishing. ISBN 0, 632(05279), 1.

Haq, B. U., & Boersma, A. (1998). Introduction to marine micropaleontology. Elsevier.

Pringgoprawiro, H., & Kapid, R. (2000). Foraminifera: pengenalan mikrofosil dan


aplikasi biostratigrafi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 7


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

MODUL 2

PREPARASI SAMPEL
Preparasi adalah suatu proses untuk mengubah sampel batuan yang dipilih menjadi
bahan siap untuk dianalisis. Proses ini pada umumnya bertujuan untuk memisahkan
mikrofosil yang terdapat dalam batuan dari material-material (matriks) yang
menyelimutinya. Untuk setiap jenis mikrofosil, memiliki teknik preparasi yang berbeda.
Perlu diperhatikan juga dalam pemberian label serta pada saat melakukan preparasi, sebab
kontaminasi dan kesalahan dalam prosedur kemungkinan besar dapat terjadi.

Seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan, teknik preparasi umunya terbagi menjadi dua
yaitu washing (pencucian) yaitu pada foraminifera kecil, dan sayatan tipis. Berikut adalah
tahapan-tahapan pada teknik preparasi sampel batuan untuk analisis foraminifera,
nannoplankton, dan pollen-spora:

I. Preparasi Foraminifera Kecil

Metode yang digunakan adalah metode residu atau dengan proses pencucian dan
penguraian, biasanya dilakukan pada batuan sedimen klastik halus-sedang (lempung,
serpih, lanau, batupasir gampingan, dan sebagainya). Adapun alat dan bahan yang harus
disiapkan antara lain:

1. Sampel Batuan
2. H2O2 ( Hidrogen Peroksida)/ Detergen
3. Palu karet/ Palu kayu
4. Kain
5. Saringan (30, 80, 100 mesh dan Pan)
6. Wadah perendaman H2O2
7. Plastik sampel
8. Kuas bulu halus

Proses pencucian batuan yang umum dilakukan dengan cara sebagai berikut :

- Batuan sedimen ditumbuk secara perlahan dengan palu karet atau palu kayu hingga
halus atau berukuran diameter 3-6 mm,

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 8


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

- Larutkan kedalam larutan H2O2 (hidrogen peroksida) 10-15%, sesuaikan dengan


kebutuhan atau kondisi batuan, kemudian diaduk atau dipanaskan. Pada tahapan ini
bertujuan untuk memisahkan antara butiran dengan matriksnya (material lempung yang
melingkupi),

- Diamkan larutan hingga butiran batuan tersebut tidak bereaksi (± 2-5 jam). Jika
dirasa masih kotor dapat mencucinya dengan air sabun,
- Masukan butiran kedalam saringan dan cuci dengan air bersih. Alirkan air yang
cukup deras diatas saringan dari atas ke bawah berukuran 30 – 80 – 100 – mesh,
- Ambil butiran residu yang terdapat pada mesh 80 dan 100 mesh, letakan dalam
wadah dan keringkan. Mengeringkan dapat dengan oven, ataupun paparan sinar matahari,
- Jika sudah dikeringkan, masukan atau pisahkan butiran dalam plastik sampel,
- Tandai sampel tersebut yang telah di preparasi sesuai kode aslinya,
- Sampel sudah siap dan lakukan determinasi.

Langkah awal dalam determinasi, perlu diadakan pemisahan fosil dari kotoran
butiran yang bersamanya. Cara pengambilan fosil-fosil tersebut dilakukan dengan
menggunakan jarum dari cawan tempat contoh batuan. Untuk memudahkan dalam
pengambilan fosilnya, jarum dibersihkan dengan air dan menempelkan perekat dengan
cara ditusukan pada selotip atau plastisin. Kemudian fosil yang telah dipisahkan diletakkan
pada plate dan beri kode/nomor.

II. Preparasi Foraminifera Besar

Umunya keterdapatan foraminifera besar umumnya ditemui pada batugamping atau


batugamping pasiran yang memiliki kekerasan tinggi dan bersifat karbonat (CaCO3).
Maka dari itu perlu dilakukan sayatan tipis.

1. Sampel batuan
2. Alat sayat batuan/ Gerinda
3. Karbondum (Bahan abrasif)
4. Air
5. Objective Glass
6. Canada Balsam

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 9


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

- Sampel batuan disayat mengunakan alat penyayat/ gerinda batuan, yang kemudian
pada kedua sisinya ditipiskan. Sayatan usahakan memotong struktur tubuh dalam
foraminifera besar,
- Poles salah satu sisi contoh sampel dengan bahan abrasif (karbondum) dan air,
- Lalu tempelkan sisi tersebut pada obective glass menggunakan canada balsam,
- Tipiskan kembali sisi yang satunya hingga sampel batuan tersebut transparan
(30 – 50 μm )
- Teteskan kembali canda balsam untuk merekatkan sampel, kemudian tutup dengan
cover glass, jika sudah beri label dan sampel siap di analisis.

III. Preparasi Nannoplankton

Terdapat dua metode pada preparasi nannoplankton, yaitu “Smear Slide” dan
pelarutan. Metode smear slide lebih cepat dan praktis dibandingkan metode pelarutan.
Pengerjaannyapun dapat menghasilkan 10-20 sampel per jam. Berbeda dengan
foraminifera, analisis nannoplankton menggunakan mikroskop polarisasi. Kebutuhan
sampelnyapun juga lebih sedikit dibandingkan dengan preparasi foraminifera, karena
ukurannya yang sangat kecil (± 2-25 μm). Alat dan bahan yang dibutuhkan:

1. Sampel batuan
2. Entelon/ norland/ naftalen/ canada balsam
3. Cover glass
4. Objective glass
5. Aquades/ H2O
6. Hotplate
7. Pinset
8. Pipet
9. Tusuk gigi

Preparasi nannoplankton dilakukan dengan cara sebagai berikut :


- Ambil bagian dalam conto batuan (± -0,5 mg atau sebesar 0,2–0,4 mm), kemudian
taruhkalah pada objective glass,
- Tambahkan beberapa tetes aquades atau H2O (air) pada objective glass dengan
pipet agar mudah mengatur seberapa kebutuhan,
- Ratakan dengan pinset yang bersih atau tusuk gigi,

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 10


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

- Setelah itu keringkan diatas Hot plate,


- Setelah kering, ratakan dengan menggunakan cover glass hingga butiranya rataa.
- Pisahkan dan buang butiran yang kasar, hindari kontaminasi yang membuat kondisi
sampel tidak baik,
- Teteskan canada balsam secukupnya pada objective glass yang masih berada diatas
Hot plate, tunggu beberapa saat kemudian tutup menggunakan cover glass.
- Ratakan dan keluarkan gelembung gas yang masih terperangkap didalam cover
glass dengan cara ditekan dan digiring keluar perlahan,
- Diamkan hingga kering atau dapat menggunakan UV Light
- Bersihkan dan beri label kode sampel pada preparat
- Sampel siap di determinasi

Gambar 3. Langkah preparasi sampel analisa nannoplankton (dari kiri ke kanan urutan
preparasi sesuai poin yang telah disebutkan pada teknik preparasi di atas)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 11


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

IV. Preparasi Pollen dan Spora

Beberapa tahap preparasi yang membutuhkan ketelitian dan ditunjang oleh fasilitas
laboratorium yang cukup lengkap, seperti cerobong asap, ruang asam, tabung reaksi, alat
sentrifugal, dsb. Berikut merupakan alat dan bahan yang dibutuhkan:

1. Sampel batuan
2. Palu karet/ Palu kayu
3. Asam klorida (HCl) 50%
4. Asam florida (HF) 70%
5. Kalium hidroksida (KOH) 10%
6. Asam nitrit (HNO3)
7. Cairan gliserin
8. Saringan halus
9. Objective glass
10. Cover glass

- Haluskan sampel batuan hingga ± 5 mm,


- Hilangkan kandungan karbonat dengan Asam Klorida (HCL) 50%
- Tambahkan Asam Florida (HF) 70% selama ± 10 jam, kegunaannya adalah untuk
menghancurkan silika ataupun mineral silikaan.
- Larutkan sisa reaksi yang dengan HCL 50% selama 10-30 menit,
- Tambahkan KOH 10% selama 30 menit untuk mengoksidasi partikel karbonat.
- Tambahkan asam nitrit (HNO3) untuk melarutkan pyrite dan membuat butiran
polen nampak jelas terlihat.

Endapan yang didapat pada saringan tersebut diawetkan dalam cairan gliserin dan
pengamatan dilakukan setelah endapan akhir diletakkan diatas gelas objek yang kemudian
ditutup dengan cover glass.

REFERENSI
Pringgoprawiro, H., & Kapid, R. (2000). Foraminifera: pengenalan mikrofosil dan
aplikasi biostratigrafi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 12


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

MODUL 3

FORAMINIFERA

I. Bagian-bagian Foraminifera

Foraminifera termasuk kedalam kingdom protista yaitu organisme bersel tunggal


yang tidak dapat diketahui termasuk kedalam golongan hewan atau tumbuhan. Karena
jumlahnya yang banyak dan penyebarannya yang melimpah pada batuan sedimen,
foraminifera merupakan salah satu mikrofosil yang penting dalam menentukan umur suatu
lapisan batuan dengan biostratigrafi, dan dalam menentukan lingkungan pengendapan
suatu batuan.

Foraminifera merupakan organisme uniseluler yang hidup secara akuatik di laut


(sebagian besar), memiliki satu atau lebih kamar dimana di bagian dindingnya terdapat
lubang-lubang halus (foramen) yang dipisahkan oleh sekat-sekat (septa).

Gambar 4. Bagian-bagian foraminifera 2a. Pengamatan Dorsal, 2b. Pengamatan


samping, 2c. Pengamatan ventral (Dimodifikasi dari Saraswati, 2016)

Keterangan:

Dinding (Test): Bagian terluar dari foraminifera yang dihasilkan oleh tubuhnya sendiri
atau dari material asing yang berasal dari lingkungan sekitar yang digunakan untuk
melindungi tubuh bagian dalam foraminifera

Kamar: Bagian dari foraminifera yang berfungsi sebagai tempat dari protoplasma

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 13


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Septa: Bidang yang memisahkan/membatasi antar kamar pada foraminifera

Suture: Garis yang memperlihatkan batas antar kamar

Proloculum: Kamar utama pada cangkang

Aperture: Lubang yang terletak pada kamar terakhir, yang berfungsi sebagai mulut dan
tempat keluar protoplasma
Peri-peri: Batas antara bagian dorsal (punggung) dan ventral (perut)

Foraminifera berdasarkan ukurannya dibagi menjadi dua yaitu:


Foraminifera kecil

Foraminifera kecil memiliki ukuran antara 200-600 μm dan dibagi menjadi foraminifera
bentonik dan planktonik

Foraminifera besar

Sedangkan foraminifera besar memiliki ukuran antara 0,5 mm – 10 cm, foraminifera


besar hanya terdiri dari foraminifera bentonik

Secara umum foraminifera terbagi menjadi dua yaitu, foraminifera bentonik dan
planktonik berdasarkan cara hidupnya. Foraminifera bentonik hidup didasar laut, sehingga
foraminifera bentonik cocok untuk digunakan dalam menentukan lingkungan pengendapan
sedangkan foraminifera planktonik hidup mengambang didekat permukaan air, yang dapat
digunakan dalam penentuan umur batuan. Terdapat perbedaan-perbedaan lainnya antara
foraminifera planktonik dan bentonik, antara lain

Tabel 1. Perbedaan foraminifera planktonik dan bentonik

Perbedaan Foraminifera planktonik Foraminifera Bentonik


Kegunaan Sebagai penentu umur Sebagai penentu lingkungan
batuan pengendapan
Jumlah individu Lebih banyak ditemukan Lebih sedikit dtemukan dalam
dalam sampel batuan sampel batuan
Keragaman Kurang beragam Sangat beragam
Komposisi test Hampir semuanya memiliki Lebih beraneka macam
komposisi gamping hyaline (cth: gamping porcelaine,

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 14


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

arenaceous)
Bentuk dasar test Umumnya berbentuk Memiliki bentuk yang
membundar hingga melensa bervariasi (cth: membundar,
biconvex, tabung,dll)
Jumlah dan susunan Seluruhnya berkamar ganda Susunan kamar bervariasi, dari
kamar (polythalamus) dengan yang sederhana/tunggal
kamar terputar (trochospiral, (monothalamus) hingga ganda
planispiral, streptospiral) (polythalamus)

Secara umum determinasi foraminifera ditentukan dengan melihat beberapa


kenampakan atau ciri-ciri yang ada pada foraminifera dan menunjukkan jenis genus atau
spesies tertentu, parameter-parameter yang diobservasi antara lain:

Komposisi cangkang
Bentuk test/cangkang
Bentuk kamar
Jumlah kamar
Putaran kamar
Aperture
Suture
Ornamen
II. Komposisi cangkang foraminifera

Komposisi cangkang merupakan salah satu indikator dalam penentuan klasifikasi


foraminifera, cangkang foraminifera umumnya disusun oleh material organik, zat atau
mineral asing yang direkatkan dengan zat perekat yang dihasilkan oleh foramnifera, dan
mineral hasil sekresi foraminifera itu sendiri. Berdasarkan komposisinya foraminifera
dibagi menjadi:

Cangkang chitin

Foraminifera yang disusun oleh zat tanduk (chitin), foraminifera dengan cangkang
chitin memiliki ciri yaitu cangkang fleksibel, transparan, berwarna kekuningan, dan
imperforate. Ornamen yang umumnya terdapat pada cangkang chitin adalah ornamen
smooth. Foraminifera dengan cangkang chitin umumnya jarang ditemui

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 15


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Cangkang arenaceous

Cangkang dengan komposisi berupa mineral dari butir-butir pasir yang direkatkan
menggunakan zat perekat yang dihasilkan foraminifera itu sendiri. Ornamentasi pada
cangkang arenaceous umumnya berupa ornamen reticulate. Contoh: Psammosphaera

Cangkang aglutionus

Merupakan cangkang foraminifera yang disusun oleh zat atau mineral asing yang
berasal dari butir-butir, sayatan mika, spone spicule, fragmen foraminifera, lumpur, yang
kemudian direkatkan satu sama lain dengan zat perekat hasil foramnifera itu sendiri.
Ornamentasi pada cangkang aglutinous umumnya berupa ornamen reticulate. Contoh:
Saccamina sphaerica

Cangkang gampingan (calcareous)

Cangkang gampingan terbentuk berdasarkan hasil biomineralisasi atau hasil sekresi


dari foraminifera itu sendiri. Komposisi dinding ini merupakan komposisi dinding yang
umum dijumpai, dan dapat dikelompokkan menjadi:

Tabel 2. Macam-macam komposisi cangkang gampingan

Cangkang gamping Cangkang Cangkang Cangkang


hyaline gamping porselen gamping granular gamping
kompleks
Transparan, berpori, Tidak berpori, bila Tersusun dari Dinding cangkang
kebanyakan terkena cahaya kristal-kristal kalsit berlapis-lapis.
foraminifera planktonik akan berwarna granular. Umumnya menjadi
berkomposisi gamping putih opaque. Ornamentasi yang penciri cangkang
hyalin. Umumnya pada Ornamen yang menjadi penciri gamping kompleks
cangkang gamping umum terlihat cangkang gamping
hyaline terlihat adalah ornamen granular berupa
ornamen punctate, dan smooth ornamen Pustulose
cancellate

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 16


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 5. Komposisi cangkang foraminifera (Saraswati, 2016)

Gambar 6. Contoh ornamen pada cangkang (Pringgoprawiro, 1994)

Berdasarkan komposisi dinding test, foraminifera terbagi atas 5 sub-ordo :

1. Sub-ordo Allogromina merupakan sub-ordo foraminifera yang dicirikan dengan dinding


test berkomposisi zat tecthin/pseudochitin
2. Sub-ordo Textulariina dicirikan oleh dinding test berkomposisi arenaceous atau
aglutinous

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 17


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

3. Sub-ordo Miliolina, merupakan sub-ordo yang dicirikan oleh dinding test yang bersifat
calcareous imperforate atau porcellaneous dengan kenampakan halus, putih, opak dan
mengkilat seperti porselen.
4. Sub-ordo Fusulinina, tercirikan oleh dinding test yang bersifat calcareous
microgranular.
5. Sub-ordo Rotaliina, tercirikan oleh dinding test yang bersifat calcareous perforate atau
hyaline dengan sifat dinding yang relatif jernih, dan transluscens.

III. Jenis cangkang foraminifera

Selain komposisi cangkang dalam melakukan klasifikasi foraminifera bentuk test


dan bentuk kamar termasuk kedalam salah satu indikator utama dalam mengidentifikasi
foraminifera. Bentuk test merupakan bentuk keseluruhan dari cangkang foraminifera,
sedangkan bentuk kamar merupakan bentuk dari masing-masing kamar penyusun
cangkang foraminifera. Secara umum kamar penyusun cangkang pada foraminifera terdiri
atas satu (monothalamus) atau beberapa kamar (polythalamus).

Tabel 3 Macam-macam bentuk test

1.
(a,b,c)

Tabular : Tabung Bifurcating: bercabang Radiate: radial


Contoh spesies: Contoh spesies: Contoh spesies:
Bathysiphon rerufescens Rhabdamina abyssorurn Astrorhizatimicola
sandhal
2.
(a,b,b)

Arborescent: pohon Irregular: tidak teratur Hemispherical: setengah


Contoh spesies: Contoh spesies: bola
Dendrophyrya crecta Planorbulloides sp. Contoh spesies:
Pyrgo murrhina

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 18


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

3.
(a,b,c)

Zig-zag: berbelok-belok Conical: kerucut Spherical: bola


Contoh spesies: Contoh spesies: Contoh spesies:
Lenticulina Gaudryna sp. Orbulina universa
4.
(a,b,c)

Discoidal: cakram Biumbilicate: 2 Biconvex: cembung di


Contoh spesies: umbilicus planispiral kedua sisi
Cycloloculina miocenina Contoh spesies: Contoh spesies:
Anomalinella rastrata Robulus
5.
(a,b,c)

Flaring: seperti obor Spiroconvex: cembung Umbilicoconvex:


Contoh spesies: pada bagian dorsal cembung oada sisi ventral
Goesella rotunaata Contoh spesies: Contoh spesies:
Cibicides refulgens Pulvinulinella pacifica
6.
(a,b,c)

Lenticular: lensa Fusiform: gabungan Cancellate: seperti gada


Contoh spesies: Contoh spesies: Contoh spesies:
Cassidulina laevigata Vaginulinela leguman Guttulina sp.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 19


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Tabel 4 Macam-macam bentuk kamar

7.
(a,b,c)

Spherical
Contoh spesies: Pyriform Tabular
Ellipsobulimina sp. Contoh spesies: Contoh spesies:
Ellpisoglandulina Pleurostomella subhodosa
velsdcoensis
8.
(a,b,c)

Globular Hemispherical
Contoh spesies: Oved
Contoh spesies:
Globigerina bulloides Contoh spesies:
Pyrgo lucernula
Pulleniatina
obliquloculata
9.
(a,b,c)

Angular truncate Angular rhomboid Angular conical


Contoh spesies: Contoh spesies: Contoh spesies:
Virgulina gunteri Globotruncana arca Globorotalia tumida
10.
(a,b,c)

Clavate Tubulospinate
Radial elongate Contoh spesies: Contoh spesies:
Contoh spesies: Hastigerinella bermudezi Hantkenina alabamensis
Clavulina insignis
11.
(a,b,c)

Cyclical
Contoh spesies: Semisirculer
Flatulose
Cornuspira foliacea Contoh spesies:
Contoh spesies:
Bifurcammina
Pleurostomella clavata

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 20


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

IV. Septa dan Suture

Septa dan suture merupakan morfologi pada foraminifera yang membagi tiap kamar
pada foraminifera. Septa merupakan bidang yang membatasi tiap kamar pada foraminifera,
sedangkan suture merupakan garis yang terlihat pada permukaan foraminifera dan
membatasi tiap kamar pada foraminifera. Suture merupakan komponen yang penting
dalam indentifikasi foraminifera dikarenakan beberapa spesies memiliki suture yang khas.

Macam-macam bentuk suture adalah :

a. Tertekan (melekuk), kenampakan datar atau muncul keluar pada cangkang Contoh :
Chilostomella oolina, untuk bentuk suture tertekan

b. Lurus, berbentuk lurus hingga melengkung lemah, sedang atau kuat. Contoh bentuk
suture lurus: Orthomorphiao challengeriana

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 21


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 7 Contoh foraminifera bentonik (Kaminski, 2005)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 22


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 8 (1-15) (a-h) Contoh foraminifera plannktonik (Saraswati,2016)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 23


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

REFERENSI
Pringgoprawiro, H., 1984, Diktat Mikropaleontologi Lanjut, Laboratorium
Mikropaleontologi Jurusan Teknik Geologi ITB, Bandung.
Saraswati, P.K., Srinivasan, M.S., 2016, Micropaleontology Principles And Applications,
Mumbai, Springer International Publishing Switzerland.
Daftar pustaka gambar:
[1a] Foraminifera image, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/aphia.php?p=image&tid=113851&pic=44
761
[1b, 1c, 2a, 2b, 4a, 4c, 5c, 6b, 7a, 7b, 7c, 8b, 9a, 10a] Pringgoprawiro, H., 1984, Diktat
Mikropaleontologi Lanjut, Laboratorium Mikropaleontologi Jurusan Teknik Geologi
ITB, Bandung.
[2c] World Foraminifera Database, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/photogallery.php?album=772&pic=35398
[3a] World Foraminifera Database, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/photogallery.php?album=772&pic=35538
[3b] WoRMS Gallery, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/photogallery.php?album=772&pic=37447
[3c] Orbulina universa, Desember 2018.
http://www.mikrotax.org/pforams/index.php?id=104184
[4b] Anomalinella rostrata, Desember 2018.
http://www.foraminifera.eu/single.php?no=1005151&aktion=suche
[5a] Goesella procera, Desember 2018.
https://www.foraminifera.eu/singleca.php?no=1008118&aktion=suche
[5b] Foraminifera image, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/aphia.php?p=image&pic=35929
[6a] WoRMS image, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=image&pic=36280
[6c] World Foraminifera Database, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/photogallery.php?album=772&pic=11888
7
[8a] WoRMS Photogallery, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/photogallery.php?album=772&pic=36571
[8c] WoRMS Photogallery, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/photogallery.php?album=772&pic=35397

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 24


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

[9b] Globotruncana arca, Desember 2018.


http://www.mikrotax.org/pforams/index.php?taxon=Globotruncana%20arca&module=
pf_mesozoic
[9c] Foraminifera image, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/aphia.php?p=image&pic=36822
[10b] Clavatorella Bermudzi, Desember 2018.
http://www.mikrotax.org/pforams/index.php?taxon=Clavatorella%20bermudezi&mod
ule=pf_neogene
[10c] Hantkenina Alabamensis, Desember 2018.
http://www.mikrotax.org/pforams/index.php?taxon=Hantkenina%20alabamensis&mo
dule=pf_cenozoic
[11a] Foraminifera, Desember 2018.
http://www.bgs.ac.uk/discoveringGeology/time/fossilFocus/foraminifera.html
[11b] Bifurcammina Bifurca, Desember 2018. http://enc.sci-lib.com/pictures000417.html
[11c] World Foraminifera Database, Desember 2018.
http://www.marinespecies.org/foraminifera/photogallery.php?album=772&pic=44934

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 25


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

MODUL 4

FORAMINIFERA PLANKTONIK
Dalam melakukan pengamatan atau pendeskripsian foraminifera plankton terdapat
beberapa bagian yang diamati jenisnya untuk melakukan penamaan genus hingga spesies.
Bagian-bagian tersebut terdiri dari susunan kamar, arah putaran kamar, aperture, septa dan
suture, jumlah kamar dan jumlah putaran, ornamentasi.

I. Susunan Kamar Pada foraminifera Plankton :

a. Planispiral : Terputar pada satu bidang datar, semua kamar terlihat, dan
pandangan serta jumlah kamar ventral dan dorsal sama. Contoh: Hastigerina.
b. Trochospiral : Terputar tidak pada satu bidang datar, memiliki ciri tidak semua
kamar terlihat, dan pandangan serta jumlah kamar pada ventral dan dorsal tidak sama.
Contoh : Globigerina
c. Streptospiral : Sifat mula-mula trochospiral, kemudian planispiral menutupi
sebagian atau seluruh kamar-kamar sebelumnya. Contoh : Pulleniatina

Gambar 9. Susunan Kamar Pada Foraminifera Planktonik.

II. Arah Putaran Kamar


Pengamatan arah putaran kamar pada cangkang foraminifera dilakukan terhadap susunan
kamar terputar trochospiral. Aspek putaran kamar perlu diperhatikan, karena membantu
dalam membedakan dalam penamaan spesies.
Terdapat dua jenis putaran kamar yaitu :

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 26


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

a. Dekstral : Apabila dilihat dari sisi dorsal putaran kamar searah jarum jam. Contoh :
Globorotalia pseudobulloides

b. Sinistral : Apabila dilihat dari sisi dorsal putaran kamar berlawanan arah jarum jam.
Contoh : Globorotalia menardii

III. Macam-Macam Aperture

a. Primary Aperture yaitu:


Primary aperture merupakan lubang bukaan yang terletak pada kamar terakhir.
1. Umbilical adalah aperture utama yang terletak pada daerah umbilicus atau pusat
putaran. Contoh : Globigerina
2. Umbilical Extra Umbilical adalah aperture utama yang terletak pada umbilicus dan
melebar sampai ke peri-peri. Contoh : Globorotalia
3. Equatorial adalah aperture utama interiomarginal yang terletak pada daerah equator,
dengan ciri-ciri dari samping kelihatan simetri dan hanya dijumpai pada susunan kamar
planispiral. Equator merupakan batas putaran akhir dengan putaran sebelum pada peri-
peri. Contoh : Hastigerina
b. Secondary - Supplementary Aperture
Supplementary aperture merupakan aperture sekunder setelah primary aperture yang
memiliki dimensi lebih kecil. Contoh : Globigerinoides
c. Secondary - Accessory Aperture
Accessory Aperture merupakan aperture sekunder yang terletak pada struktur accessory
atau aperture tambahan yang tersebar secara acak. Contoh : Catapsydrax

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 27


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 10. Contoh Macam-macam Aperture Pada Foraminifera Planktonik.


IV. Jumlah Kamar dan Jumlah Putaran
Jumlah kamar dan jumlah putaran merupakan hal penting dalam klasifikasi foraminifera.
Karena spesies tertentu memiliki jumlah kamar pada sisi ventral yang hampir pasti,
sedangkan pada bagian dorsal akan berhubungan erat dengan jumlah putarannya. Jumlah
putaran yang banyak umumnya mempunyai jumlah kamar yang banyak. Jumlah putaran
dan juga jumlah kamar dalam satu spesies mempunyai kisaran yang hampir pasti.
Pada susunan kamar trochospiral jumlah putaran dapat diamati pada sisi dorsal,
sedangkan pada planispiral jumlah putaran pada sisi ventral dan dorsal mempunyai
kenampakan yang sama. Hal pertama dalam menentukan putaran cangkang adalah
menentukan arah putarannya. Kemudian menentukan urutan pertumbuhan kamar-
kamarnya dan menarik garis bantu yang memotong kamar 1 dan 2, kemudian menarik
garis tegak lurus yang melalui garis bantu pada kamar 1 dan 2.

Gambar 11. Jumlah kamar dan Arah perputaran dari 1 ke 14

V. Ornamen (Hiasan) Foraminifera


Ornamentasi adalah struktur-struktur mikro yang menghiasi bentuk fisik dari cangkang
foraminifera. Terkadang ornamentasi memiliki bentuk yang khas, sehingga dapat
digunakan sebagai salah satu kriteria dalam pengklasifikasian. Beberapa bentuk hiasan
yang dapat dijumpai pada cangkang foraminifera adalah sebagai berikut :

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 28


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

1. Hiasan Pada Permukaan Test (Cangkang) :


a. Costae adalah galengan vertikal yang dihubungkan oleh garis-garis suture yang
lebih halus. Contoh : Bulimina, Uvigerina.
b. Reticulate adalah bentuk dinding cangkang yang terbuat dari tempelan material-
material asing (arenaceous).
c. Punctate adalah bagian permukaan luar cangkang yang berupa pori-pori bulat
yang kasar.
d. Cancellate adalah permukaan luar cangkang dengan pori-pori kasar dan tidak
selalu bulat bentuknya.
e. Pustulose adalah permukaan luar cangkang yang dihiasi dengan bulatan-bulatan
yang menonjol.
f. Smooth adalah permukaan cangkang yang halus tanpa hiasan.

2. Hiasan Pada Peri-Peri.


a. Keel adalah selaput tipis yang mengelilingi bagian peri-peri cangkang
foraminifera. Contoh: Globorotalia.
b. Spines adalah duri – duri yang menonjol pada bagian peri-peri atau tepi dari
kamar-kamarnya. Contoh : Hantkenina, Cribohantkenina.

3. Hiasan Pada Suture


a. Retral processes merupakan garis-garis suture yang berkelok-kelok, contoh:
Amphistegina.
b. Bridges suture adalah garis-garis suture yang terbentuk dari septa yang
terputus-putus. Contoh : Elphidium.
c. Limbate suture adalah garis-garis suture yang berbentuk kumpulan pori-pori
yang halus.

4. Hiasan pada umbilicus


a. Umbilical plug adalah bagian pusat cangkang, dapat berbentuk bulatan yang
menonjol atau bulatan yang cekung ke dalam.
b. Umbilicus adalah bagian pusat cangkang biasanya merupakan kamar pertama.

5. Hiasan pada permukaan aperture

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 29


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

a. Flape adalah bagian yang memiliki bentuk menyerupai topi pada aperture.
Contoh : Globoquadrina.
b. Tooth merupakan bentukan menyerupai gigi pada aperture.
c. Bulla/Tegilla adalah bentukan menyerupai penutup dengan sisi yang rata
(Bulla) dan bergerigi (Tegilla), seolah menutupi bagian aperturenya.

Gambar 12 . Bentuk-bentuk hiasan (ornamentasi) yang dijumpai pada cangkang


foraminifera (Jones,1956)

VI. Genus dan Spesies Foraminifera Plankton


1. Famili Globigerinidae
Famili ini pada umumnya memiliki bentuk test (cangkang) spherical atau hemispherical,
bentuk kamar globular dan susunan kamar trochospiral rendah atau tinggi pada tahap awal
kemudian dapat menjadi planispiral. Memiliki dinding dengan tingkat perforasi tinggi.
Aperture bisa interiomarginal umbilical, pada umumnya terbuka lebar dengan posisi yang
terletak pada umbilicus (extra umbilicus) dan juga pada sutura atau pada apertural face.
Muncul pada Eosen sampai Holosen (Sekarang).
Berdasarkan bentuk test, bentuk kamar, bentuk aperture, dan susunan kamar maka famili
ini dapat dibagi menjadi beberapa genus yaitu :

1.1. Genus Orbulina (d’Orbigny,1839)


Genus ini memiliki ciri morfologi dinding test gamping hyaline dan bentuk test
spherical, serta aperture tidak terlihat (small opening). Aperture ini adalah akibat
dari tertutupnya kamar-kamar sebelumnya oleh kamar terakhir. Muncul pada
Miosen sampai Holosen (sekarang).

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 30


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Contoh : Orbulina universa

Gambar 13. Orbulina universa (Postuma, 1971)

1.2. Genus Praeorbulina


Ciri-ciri morfologi dinding test hyaline, bentuk test spherical atau agak lonjong.
Bentuk lonjong ini diakibatkan oleh kamar terakhir yang menyelubungi hampir
seluruh dari kamar-kamar sebelumnya. Aperture utama tidak terlihat lagi yang
hanya kelihatan hanya supplementary aperture / apertur sekunder yang berbentuk
strip-strip terletak pada suturanya sedikit membuka seperti pada Globigerinoides,
serta berpori halus – sedang, ‘pitted’.

Gambar 14. Praeorbulina glomerosa (Postuma, 1971)

1.3. Genus Globigerina (d’Orbigny, 1826)


Genus ini memiliki ciri morfologi berupa pinggiran membulat dengan dinding test
gamping hyaline, bentuk test bulat seperti telur namun tidak radial, bentuk kamar
globular, susunan kamar trochospiral. Terkadang dijumpai duri halus dipermukaan
cangkang, suture tidak jelas dan tertekan, aperture terbuka lebar dengan bentuk
parabola dan terletak pada umbilicus. Aperture ini disebut interiomarginal
umbilical aperture. Genus ini langka pada umur Pleistosen dan melimpah di umur
Pliosen.
Contoh : Globigerina praebulloides (P16-N16)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 31


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 15. Globigerina bulloides (d’Orbigny,1826)

1.4. Genus Globigerinoides (Cushman,1927)


Genus ini memiliki ciri morfologi sama dengan genus Globigerina namun memiliki
supplementary aperture yang hadir pada sisi spiral didekat persimpangan spiral
dengan suture radial. Genus ini muncul pada Oligosen sampai Holosen (sekarang).
Contoh : Globigerinoides primordius (N4)

Gambar 16. Globigerinoides primordius (d’Orbigny, 1826)

1.5. Genus Sphaeroidinella


Dinding test gamping hyaline, berlubang kasar, permukaan licin, bentuk test
spherical atau oval seperti bulat telur, bentuk kamar globular dengan jumlah kamar
tiga buah yang saling berangkulan (embracing). Suture tidak jelas, tertekan secara
radial, aperture primer interiomarginal umbilical, terbuka lebar dan memanjang
didasar suture. Terdapat supplementary aperture pada dorsal. Pliosen - Holosen
Contoh : Sphaeroidinella dehiscens

Gambar 17. Sphaeroidinella dehiscens (Postuma, 1971)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 32


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

1.6. Genus Sphaeroidinellopsis


Genus ini memiliki ciri morfologi sama dengan genus Sphaeroidinella namun tidak
memiliki supplementary aperture.
Contoh : Sphaeroidinellopsis kochi (Caudri,1934)

Gambar 18. Sphaeroidinellopsis kochi (Postuma,1971)

1.7. Genus Globigerinatheka


Ciri-ciri morfologi dinding test hyaline, bentuk test spherical, dan bentuk kamar
globular. Susunan kamar pada permukaan trochospiral dan kemudian berangkulan
(“embracing”). Umbilicus tertutup dan terdapat secondary aperture yang berbentuk
parabola dan kadang-kadang tertutup bulla.

Gambar 19. Globigerinatheka barri (Postuma,1971)

1.8. Genus Catapsydrax


Ciri-ciri morfologi dengan dinding test hyaline, bentuk test spherical, susunan
kamar trochospiral. Memiliki hiasan pada aperture yang berupa bulla pada
Catapsydrax dissimilis dan “tegilla” pada Catapsydrax stainforthi. Dengan
memiliki accessory aperture yaitu infralaminal accessory aperture pada tepi hiasan
aperturenya. Contoh : Catapsydrax dissimilis

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 33


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 20. Catapsydrax dissimilis (Postuma,1971)

2. Famili Catapsydracidae
Famili ini memiliki bentuk test (cangkang) spherical hingga ovate, susunan kamar
trochospiral. Memiliki dinding dengan permukaan pitted hingga cancellate tetapi
tidak memiliki spine. Aperture umbilical, dapat memiliki secondary aperture yang
pada saat dewasa tertutup bulla. Muncul pada Paleosen sampai Holosen (Sekarang).
2.1. Genus Globoquadrina
Ciri-ciri morfologi dinding test hyaline, bentuk test spherical, bentuk kamar
subglobular dan susunan kamar medium-high trochospiral. Aperture terbuka lebar
dan terletak pada umbilicus (interiomarginal) dengan segiempat, atau berbentuk
lengkung, kadang mempunyai bibir, berselaput.
Contoh : Globoquadrina altispira (N4 – N20)

Gambar 21. Globoquadrina altispira (Postuma,1971)

3. Famili Candeinidae
Famili ini memiliki bentuk test (cangkang) spherical, bentuk kamar globular dan
susunan kamar trochospiral relatif tinggi. Pada tahap awal memiliki aperture
umbilical, kemudian kamar-kamarnya berubah menjadi coiled yang rapat dan
umbilicus akan tertutup. Aperture berupa barisan bukaan yang membulat di
sepanjang suture. Muncul pada Miosen sampai Holosen (Sekarang).

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 34


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

3.1. Genus Candeina


Ciri-ciri morfologi dinding test hyaline, bentuk test spherical, bentuk kamar
globular dan jumlah kamar tiga buah dan disepanjang suture terdapat suture
supplementary aperture. Berpori sedang – ‘pitted’; test low – medium trochospiral,
kamar-kamar spherical dgn kamar terakhir ‘compressed’; aperture utama
interiomarginal dan 2 – 4 ‘aperture accessories’, umbilical tertutup oleh ‘bulla’.
Contoh : Candeina nitida (N17 – N23)

Gambar 22. Candeina nitida (Postuma,1971)


4. Famili Globigerinitidae
Famili ini pada umumnya memiliki bentuk test (cangkang) spherical, bentuk kamar
globular dan susunan kamar trochospiral, dinding kamar pustulose tetapi bukan
spinose dan microperforate. Memiliki dinding dengan tingkat perforasi tinggi.
Primary Aperture berupa interiomarginal dan extra umbilical - umbilical pada
tahap awal, yang nantinya digantikan oleh supplementary aperture pada kamar
terakhir dan dapat tertutup oleh bulla. Muncul pada Miosen sampai Holosen
(Sekarang).
4.1. Genus Globigerinita
Ciri-ciri morfologi sama dengan genus Globigerina tetapi dengan bulla. Pada
beberapa spesies terdapat spesies yang memiliki susunan kamar low trochospiral
seperti Globigerinita glutinata serta susunan kamar high trochospiral seperti
Globigerinita minuta dan Globigerinita uvula

Gambar 23. Globigerinita glutinata (Postuma,1971)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 35


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

4.2. Genus Globigerinatella


Genus ini memiliki ciri morfologi dinding test gamping hyaline, bentuk test
spherical, susunan kamar pada permulaan trochospiral dan kemudian planispiral.
Aperture interiomarginal umbilical, kemudian umbilikus samar-samar karena
tertutup bula pada suture yang tidak teratur. Terdapat suture sekunder. Muncul pada
Miosen.
Contoh : Globigerinatella insueta (Postuma,1971)

Gambar 24. Globigerinatella insueta (Postuma,1971)

5. Famili Globorotalidae
Famili ini memiliki ciri morfologi trochoid rendah, bentuk test elips bikonvek -
planokonvek, memiliki bentuk kamar sebagian bulat dan sebagian lagi rhomboid.
Aperture umbilical ekstra umbilical (dari umbilical sampai peri-peri). Test tersusun
atas gampingan, permukaan test halus, sebagian besar memiliki duri halus. Jumlah
kamar akhir lebih dari 4. Muncul sejak Kapur Awal sampai Holosen.
5.1. Genus Globorotalia
Ciri-ciri morfologi dengan test hyaline, bentuk test biconvex atau planoconvex,
bentuk kamar subglobular, atau “angular conical”. Aperture memanjang dari
umbilicus ke pinggir test. Pada pinggir test terdapat keel dan ada yang tidak.
Berdasarkan ada atau tidaknya keel, maka genus ini dapat dibagi menjadi dua
subgenus, yaitu :

5.1.1. Subgenus Globorotalia


Subgenus ini mencakup seluruh globorotalia yang mempunyai keel. Dinding
hyalin, berpori halus kecuali di sekitar umbilicus, kadang agak kasar, test rotaloid
low trochospiral, umbilicus di bagian ventral, apertur berbentuk lubang kecil yg
memanjang dari umbilicus ke peri-peri. Membedakan subgenus ini dengan yang

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 36


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

lainnya maka dalam penulisan spesiesnya, biasanya diberi kode sebagai berikut .
Contoh : Globorotalia (G) tumida (N18 –N23)

Gambar 25. Globorotalia (G.) tumida (Postuma,1971)

5.1.2. Subgenus Turborotalia


Subgenus ini mencakup seluruh Globorotalia yang tidak memiliki keel. Dinding
hyalin, berpori halus, test rotaloid low trochospiral, umbilicus di bagian ventral,
apertur berbentuk lubang kecil yg memanjang dari umbilicus (pusat) ke periperi
(pinggir). Membedakannya, maka subgenus Turborotalia dalam penulisan
spesiesnya diberi kode :
Contoh : Globorotalia (T) siakensis (N2 – N14)

Gambar 26. Globorotalia (T) siakensis (Leroy,1939)


5.2. Genus Neogloboquadrina
Ciri - ciri morfologi dengan dinding test gamping hyaline, berpori sedang, bentuk
test spherical, bentuk kamar globular, susunan kamar trochospiral. Aperture
interiomarginal yang bervariasi dari umbilical sampai umbilical-extraumbilical
terdapat flape pada bagian umbilicus.serta, memiliki ornamentasi cancellate
Contoh: Globoquadrina dutertrei

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 37


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 27. Neogloboquadrina dutertei (Postuma,1971)

6. Famili Pulleniatinidae
Famili ini pada umumnya memiliki bentuk test (cangkang) spherical, bentuk kamar
subglobular dan susunan kamar streptospiral. Memiliki dinding dengan perforasi
dan permukaan licin (smooth) hingga pustulose. Aperture interiomarginal,
umbilical-extraumbilical. Muncul pada Eosen sampai Holosen (Sekarang).
6.1. Genus Pulleniatina
Genus ini memiliki ciri morfologi dinding test gamping hyaline, bentuk test
spherical, bentuk kamar globular, susunan kamar trochospiral terpuntir. Aperture
interiomarginal umbilical, terbuka lebar memanjang dari umbilicus ke arah dorsal
dan terletak didasar apertural face. Muncul pada Miosen sampai Holosen
(sekarang).
Contoh : Pulleniatina obliquiloculata (N19-N23)

Gambar 28. Pulleniatina obliquiloculata (Postuma,1971)

7. Famili Hantkeninidae
Famili ini memiliki ciri morfologi test pada awalnya trochoid atau planispiral, pada
tahapan akhir planispiral involute. Dinding test terusus oleh gampingan dengan

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 38


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

permukaan yang kasar. Aperture pada bagian bawah kamar terakhir berbentuk
busur. Ornamentasi berupa tanduk berukuran sama atau lebih besar dari kamarnya.
Muncul sejak Kapur Awal sampai Oligosen
7.1. Genus Hantkenina
Ciri-ciri morfologi dengan dinding test hyaline, bentuk test biumbilicate, bentuk
kamar tabular spinate dan susunan kamar planispiral involute. Tiap-tiap kamar
terdapat spine-spine yang panjang. Aperture berbentuk parabola sederhana yang
terletak pada apertural face.
Contoh : Hantkenina alabamensis (P13 – P16)

Gambar 29. Hantkenina alabamensis (Postuma,1971)


7.2. Genus Cribrohantkenina
Ciri-ciri morfologi sama dengan hantkenina tetapi kamar terakhir sangat gemuk dan
mempunyai cribrate yang terletak pada apertural face.
Contoh : Cribrohankenina inflata (E14 - E16)

Gambar 30. Cribohantkenina inflata (Postuma,1971)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 39


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

7.3. Genus Clavigerinella


Genus ini memiliki ciri morfologi dinding test gamping hyaline, berpori halus,
bentuk test biumbilicate, bentuk kamar spherical kemudian menjadi “radial
elongate” atau “clavate”, susunan kamar planispiral involute. Suture radial
terdepresi. Aperture interiomarginal equatorial dan sedikit memanjang hingga
apertural face.
Contoh : Clavigerinella akersi (P11 – P10)

Gambar 31. Clavigerinella akersi (Coxall & Pearson,2006)

8. Famili Hastigerinidae
Famili ini pada umumnya memiliki bentuk test (cangkang) spherical, bentuk kamar
globular hingga clavate dan susunan kamar trochospiral pada tahap awal kemudian
berubah menjadi streptospiral atau planispiral. Memiliki dinding dengan tingkat
perforasi tinggi. Aperture interiomarginal dan equatorial atau dapat berupa
spiroumbilical. Muncul pada Miosen Tengah sampai Holosen (Sekarang).

8.1. Genus Hastigerina


Genus ini memiliki ciri morfologi dengan pinggiran bulat, dinding test gamping
hyaline, susunan kamar trochospiral pada saat “remaja”, putaran awal trochoid
kemudian berubah menjadi planispiral, bentuk kamar globular, yaitu bulat sampai
bulat telur, susunan kamar dewasa berupa planispiral involute atau “Loosley
Coiled”. Suture memancar terdepresi. Aperture interior marginal umbilical, terbuka
lebar dan terletak pada apertural face. Muncul pada Miosen sampai Holosen
(sekarang).
Contoh : Hastigerina aequilateralis (N13-N23)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 40


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 32. Hastigerina aequilateralis (Postuma,1971)

8.2. Genus Pseudohastigerina


Ciri-ciri morfologi dengan dinding test hyaline, bentuk test biumbilicate, susunan
kamar planispiral involute atau “loosely coiled”. Aperture terbuka lebar, berbentuk
parabola dan terletak pada apertural face. Genus ini dipisahkan dari Hastigerina
karena testnya yang lebih pipih.

Gambar 33. Pseudohastigerina micra (Postuma,1971)

9. Famili Cassigerinellidae
Famili ini memiliki bentuk test (cangkang) spherical, bentuk kamar globular dan
susunan kamar planispiral pada tahap awal kemudian dapat menjadi biserial.
Memiliki dinding perforasi. Aperture interiomarginal dan equatorial pada saat
planispiral, dan extraumbilical pada tahap biserial. Muncul pada Eosen Akhir
sampai Miosen Awal.

9.1. Genus Cassigerinella


Ciri-ciri morfologi dengan dinding test hyaline susunan kamar pada permulaan
planispiral dan seterusnya tersusun secara biserial, aperture berbentuk parabola dan
terletak didasar apertural face.
Contoh : Cassigerinella chipolensis (P18 – N13)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 41


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 34. Cassigerinella chipolensis (Postuma,1971)


10. Famili Truncorotaloiidae
Famili ini pada umumnya memiliki bentuk test (cangkang) spherical, bentuk kamar
globular dan susunan kamar pada umumnya trochospiral. Memiliki dinding dengan
permukaan pustulose. Aperture interiomarginal, supplementary aperture sutural
dapat hadir pada bagian yang spiral. Muncul pada Paleosen Tengah sampai Eosen
Akhir.

10.1. Genus Truncorotaloides


Ciri-ciri morfologi dengan dinding test hyaline, bentuk test truncate, bentuk kamar
angular truncate. Susunan kamar umbilical convex, trochospiral dengan deeply
umbilicus. Aperture terbuka lebar yang memanjang dari umbilicus ke pinggir test.
Ciri- ciri khasnya dari genus ini adalah terdapatnya sutural supplementary aperture
dan dinding yang kasar (seperti berduri) yang pada genus Globorotalia hal ini tidak
dijumpai. Subgenus ini tidak dibahas lebih lanjut, karena terdapat pada lapisan tua
Eosen Tengah.
Contoh :Truncorotaloides rohri (P13 - P14)

Gambar 35. Truncorotaloides rohri (Postuma,1971)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 42


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

REFERENSI
Bolli, H. M.; Loeblich, A. R.; Tappan, H. (1957). Planktonic foraminiferal families
Hantkeninidae, Orbulinidae, Globorotaliidae and Globotruncanidae. Bulletin United
States National Museum. 215: 3-50.
J. A Postuma 1971. Manual of Planktonic Foraminifera. 420 pp., highly magnified
photographs and drawings of 160 species and 3 fold-out charts. Elsevier Publishing
Company, Amsterdam.
Loeblich, A.R. and Tappan, E. (1988). Foraminiferal Genera and Their Classification. Van
Nostrand Reinhold Company, New York, 970 p.
Pessagno, E.A.(1967). Upper Cretaceous Planktonic Foraminifera from the Western Gulf
Coastal Plain. Palaentographica Americana,5,259-441.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 43


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

MODUL 5

FORAMINIFERA BENTONIK
Klasifikasi dan pemerian dari foraminidera bentonik ditentukan berdasarkan oleh
morfologi yang dimilikinya, antara lain; Susunan Kamar, Aperture, Komposisi Cangkang,
Septa, Sutura, dan Jumlah kamar.

I. Susunan Kamar Foraminifera Bentonik


Secara umum, susunan kamar dari foraminifera bentonik dibagi menjadi
Monothalamaus (Satu Kamar) dan Polythlamus (Banyak Kamar).
- Monothalamus (uniloculer)
Berdasarkan bentuknya, cangkang dengan susunan kamar Monothalamus secara
sederhan dapat dibagi menjadi 7 bentuk, antara lain; Membulat, Hemisperik, Silinder,
Stellate, Bentuk Botol, dan Satu Kamar.

Gambar 36. Bentuk Susunan Kamar Monothalamus Sederhana (Pringgoprawiro &


Kapid, 1999)

Selain dari 7 susunan dasar ini, berikut monothalamus yang lain yaitu;

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 44


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Polythalamus (multilocular)
Susunan kamar ini lebih rumit daripada Monothalamus, klasifikasi dari susunan ini
berdasarkan bentuk akhir pada susunan kamar. Secara umum, susunan kamar ini
dibagi menjadi 4 susunan yaitu;
1. Uniformed: Terdiri dari hanya satu susunan kamar saja, baik itu Uniserial,
Biserial, dan Triserial
2. Biformed: Terdiri dari 2 macam susunan kamar seperti susunan kamar yang
awalnya triserial kemudian berubah menjadi biserial.
3. Triformed: Terdiri dari 3 macam susunan kamar seperti susunan kamar yang
awalnya biserial, kemudian terputar, dan akhirnya berbentuk biserial.
4. Multiformed: Terdiri atas lebih dari 3 susunan kamar, namun jenis ini jarang
dijumpai.

Bentuk dasar dari susunan susunan kamar ini terdiri dari Susunan Kamar yang
seragam (Uniformed) antara lain;

Uniserial: Susunan Kamar yang terdiri dari satu baris kamar yang seragam

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 45


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Biserial: Susunan Kamar yang terdiri atas 2 kamar yang letaknya berselang-
seling

Gambar 37. Bentuk Kamar Biserial

Triserial: Susunan Kamar yang terdiri atas 3 Lamar yang letaknya berselang-
seling

Gambar 38. Bentuk Kamar Triseral dan Biformed Triserial-biserial (Kanan)

II. Aperture Foraminifera Bentonik


Secara umum, aperture dari foraminifera bentonik terdari dari;
1. Simple Aperture, yang terdri dari

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 46


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

At the end of tabular chamber At base of aperture face


In Middle of aperture face Simple Rounded Terminal Aperture
Cooma (,) Shaped Aperture. Phyaline Aperture, yang terletak
Berbentuk koma tapi tegak lurus pada diujung neck pendek dan menyolok
septal face
Slit like Aperture, berbentuk lobang Crescentic Aperture, berbentuk
sempit yang memanjang seperti tapal kuda.

2. Supplementary Aperture, yang terdiri dari;


Infralaminal accessory aperture, contohnya dendritic yang memili bentuk seperti
ranting pohon
Apertur yang memancar, contohnya Radiate dengan bentuk lubang bulat tapi
memiliki pematang yang memancar dari pusat lubang.
Radite with the chamberlet apertural face

3. Multiple Aperture, yang terdiri dari;


Multiple Sutural yang terdiri dari banyak lubang, dan terletak di sepanjang
suturanya.
Aperture Cribrate lareal atau dengan kata lain cribrate.
Terminal Aperture

4. Primary Aperture, yang terdiri;


Umbilical
Interiomarginal umbilical extra umbilical/Simple aperture lip/ ventral and
peripheral.
Spilo umbilical/interiomarginal equatorial.

MACAM APERTURE FORAMINIFERA BENTOS

Bundar Cribate Phyaline Crescentri cSlitlike Multiple Radiate


Gambar 39. Macam-macam aperture pada foraminifera bentos

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 47


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

III. Pengenalan Genus dan Spesies Foraminifera Bentonik

1. Genus Ammobaculites Chusman 1910


Termasuk dalam Famili Lituolidae, dengan ciri-ciri test pada awalnya terputar,
kemudian menjadi uniserial lurus, komposisi test pasiran, aperture bulat dan terletak
pada puncak kamar akhir. Muncul pada Karbon – Recent.

Gambar 40. Genus Ammobaculites; Ammobaculites agglutinas (Kiri) & Ammobaculites


jarvisti (Kanan)

2. Genus Ammodiscus Reuss 1861


Termasuk famili Ammodiscidae dan cirri-ciri test monothalamus, terputar
planispiral, komposisi test pasiran, aperture pada ujung lingkaran. Muncul pada
Silur – Resent.

Gambar 41. Genus Ammodiscus; Ammodiscus infimus (Kiri), Ammodiscus latus (tengah),
dan Ammodiscus pennyi (Kanan)

3. Genus Amphistegina D'Orbigny 1826


Famili berbentuk lensa, trochoid, terputar involut, pada ventral terlihat suture
bercabang tak teratur, komposisi test gampingan, berpori halus, aperture kecil
bagian ventral

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 48


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

4. Genus Bathysiphon Sars, 1972


Termasuk pada famili Rhizamminidae dengan test silindris, kadang-kadang
lurus, monothalamus, komposisi test pasiran, aperture dipuncak berbentuk pipa.
Muncul pada Silur – Resent.

5. Genus Bolivina
Termasuk famili Buliminidae dengan test memanjang, pipih, agak runcing, biserial,

komposisi gampingan, berpori, aperture pada kamar akhir dan kadang berbentuk lope.

Muncal pada Kapur – Recent.

6. Genus Bulimina d' Orbigny 1826


Termasuk famili Buliminidae, test memanjang, umumnya triserial, berbentuk
kamar subglobular, komposisi gampingan berpori.

7. Genus Cibicides Monfort 1808


Termasuk famili Anomalidae, dengan ciri-ciri test planoconvex rotaloid, bagian dari
dorsal lebih rata, komposisi gamping berpori kasar, aperture di bagian ventral,
permukaan akhir sempit dan memanjang.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 49


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

8. Genus Dentalina d' Orbigny 1826


Termasuk family Lagenidae, dengan ciri-ciri test polythalamus, uniserial,
curvilinier, suture menyudut, komposisi test gampingan berpori halus, aperture
memancar, terletak pada ujung kamar akhir.

9. Genus Elphidium Monfort, 1808


Termasuk famili Nonoinidae dengan ciri-ciri test planispiral, bilateral simetris,
hampir seluruhnya involute, hiasan suture bridge dan umbilical, komposisi test
gampingan berpori, aperture merupakan sebuah lubangl lebih pada dasar
permukaan kamar akhir.

10. Genus Nodogerina Chusman 1927


Termasuk famili Heterolicidae, dengan test memanjang, kamar tersusun uniserial
lurus, komposisi test gampingan berpori halus, aperture terletak di puncak
membulat mempunyai leher dan bibir. Muncul pada Kapur – Resent.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 50


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

11. Genus Nodosaria Lamark 1812


Termasuk famili Lagenidae dengan test lurus memanjang, kamar tersusun
uniserial, suturenya tegak lurus terhadap sumbu, pada permulaan agak bengkok
kemudian lurus, komposisi gampingan berpori, aperture dipuncak berbentuk
radier. Muncul Karbon – Resent.

12. Genus Nonion Monfort 1888


Termasuk famili Nonionidae dengan test cenderung involute, bagian tepi
membulat, umumnya dijumpai umbilical yang dalam, komposisi gampingan
berpori, aperture melengkung pada kamar akhir. Muncul pada Jura – Resent.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 51


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

13. Genus Rotalia Lamark 1804


Umumnya suture menebal pada bagian dorsal, bagian ventral suturenya tertekan
ke dalam, komposisi test gampingan berpori, aperture pada bagian ventral
membuka dari umbilical pinggir.

14. Genus Saccamina M. Sars 1869


Termasuk famili Saccanidae dengan test globular, komposisi test dari material
kasar, biasanya oleh chitin berwarna coklat, aperture di puncak umumnya dengan
leher. Muncul pada Silur – Rescent.

15. Genus Textularia Derance 1824


Termasuk famili Textularidae, test memanjang kamar tersusun biserial,
morfologi kasar, komposisi pasiran, apertur sempit memanjang pada permukaan
kamar akhir

16. Genus Uvigerina d' Orbigny 1826


Termasuk famili Uvigerinidae dengan test fusiform, kamar triserial, komposisi berpori,
aperture di ujung dengan leher dan bibir.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 52


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

17. Genus Pyrgo


Memiliki komposisi dinding test berupa porselen, halus, bentuk test
setengah globular yang saling bertangkup dgn kamar akhir lebih besar,
aperture bulat kadang bergigi .

18. Genus Siphonina


Komposisi dinding test berupa hyalin, transparan, bentuk test globular saling
menangkup; aperture lubang tipis memanjang; bagian pinggir terdapat lapisan
tipis seperti ‘keel’

19. Genus Quinqueloculina


Komposisi dinding test berupa porselen, halus, bentuk test very elongate
(quinqueloculine), aperture pada ujung kamar terakhir berbentuk lubang bulat
sederhana, kadang bergigi kecil.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 53


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

20. Genus Gyroidina


Dinding hyalin, berpori halus; cangkang terputar ‘coiled’ 2 – 3 putaran dgn
kamar cembung yang makin membesar, bentuk plat – cembung; aperture
melengkung pada kamar terakhir; fauna penciri laut dalam.

Contoh: Gyroidina soldanii

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 54


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

MODUL 7

POLEN DAN SPORA


Palinologi adalah studi yang mempelajari polen dan spora tumbuh-tumbuhan, di
dalamnya terdepat juga acritrachs dan dinoflagelates. Menurut Fides dan Williams (194)
dalam Kartawinata (1985), Palynology berasal dari perkataan palynos yang artinya debu,
karena ukuran ukuran polen menyerupai debu. Menurut Erdman (1966) studi ini berkisar
pada morfologi butir polen dan spora tetapi tidak meliputi bagian dalamnya. Polen atau
serbuk sari merupakan butir halus berwarna kuning yang dihasilkanoleh tumbuhan
berbunga (Spermatophyta). Tumbuh-tumbuhan dari kelompok spermatophyte pada musim
berbungan akan menghasilkan polen sebagai sel kelamin jantan. Di saat proses pembuahan
butir-butir polen akan disebarkan baik oleh angin, serangga atau air hujan, tetapi tidak
semua sel kelamin jantan ini dapat membuahai sel kelamin betina. Sebagian besar polen-
polen tersebut tidak dapat mencapai tujuannya untuk proses penyerbukan. Polen-polen
yang tidak mencapai sel kelamin jantan akan jatuh danikut terendapkan di sungai, rawa-
rawa, danau, lagoon sampai zona litoral. Spora dihasilkan oleh tumbuh-tumbhan dari
kelompok Pterophyta, Bryophyta, dansebaian Thallophya. Golongan Pterophyta (paku-
pakuan), ada yang menghasilkan dua jenis spora (heterospore). Spora jantan memiliki
ukuran lebih kecil dari spora betina.Terdapat kelompok lain dari thallophyta yang
menghasilkan spora sama ukurannya,sehingga tidak dapat dibedakan antara jantan dan
betinanya, spora demikian disebutisospora, pada umumnya isospora ukurannya sangat
kecil. Acritrachs merupakan organisme uniseluler dari lingkungan laut. Kelompok ini
belum masuk dalam klasifikasi mahluk hidup. Bentuk dari acritarchs umumnya triangular,
circular, ovoid dan fusiform. Dinoflagellate, merupakan organisme uniseluler yang hidup
dilingkuan air, bersifat motile dan heterotrophic, parasitic atau photosyntethetic. Secara
umum memiliki dua jenis flagel, jenis satu dengan sulkus yang melingkar dan jenis yang
kedua longitudinal dengan orientasi posterior (Kartawinata, 1985). Aplikasi palinologi
dalam bidang geologi meliputi penarikan umur relatif batuan, studi paleoekologi,
biostratigrafi dan studi kematangan minyak.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 55


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

I. Klasifikasi Tumbuhan

Table 5. Klasifikasi tumbuhan (Campbell dan Reece dan


Mtchell.1999)

Secara garis besar tumbuhan dibagi menjadi dua golongan, yaitu tumbuhan non
vascular dan vascular. Bryophyta, Pterophyta, dan Gymnospermae adalah proses
reproduksi golongan yang dianggap mewakili studi palinologi.

1. Bryophyta

Anggota yang paling popular dari divisi Bryophyta adalah lumut. Terdapat Bryophta
yang telah mamiliki susunan sel yang berfungsi seperti pembuluh (Xylem dan Phloem),
walaupun bukan sebagai pembuluh sejati. Dalam proses reproduksi selgametofit (N) pada
lumut akan membentuk zygote (2N), dan mengalami pembelahan miosis menjadi spora.
Perkecambahan spora akan menghasilkan rumpun baru darigametofit. Spora yang tidak
mampu berkecambah ini akan tersimpan dalam sedimen.

2. Pterophyta

Pterophyta lebih dikenal dengan tumbuhan pakis. Daun pada tumbuhan


pakisdinamakan fronds, biasanya tumbuh langsung dari rhizoma. Dalam tumbuhan paku,
sporangia (kantong spora) terbentuk dari bagian bawah daun vegetatif yang berwarna
hijau. Sel-sel dalam sporangia mengalami proses miosis membentuk spora haploid yang
akan disebarkan ke udara, pada kondisi yang memungkinkan spora tersebut akan tumbuh

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 56


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

berkambang menjadi gametofit. Organ jantan dan betina berkembang di bagian bawah
gametofit. Gamet jantan berupa sperma berflagel, di lingkungan lembab/berair akan
berenang menuju sel telur, sehingga terbentuk zygote yang akan tumbuh menjadi sporofit
baru.

3. Gymnospermae

Kelompok Gymnosperma dikenal dengan istilah tumbuhan biji terbuka. Sebagian besar
dari kelompok Gymnosperma polennya memiliki kantung udara (wing/succ), sehingga
proses reproduksinya tidak tergantung terhadap keberadan air di udara. Angin merupakan
alat perantara yang menerbangkan polen untuk mencapai sel telur. Sebagai contoh pada
pinus, bunga jantan pinus (Pinnus mercusii) yang merupakan untaian dan sangat banyak
mengandung benang sari, bunga betina berbentuk kerucut (stobilus). Dengan bantuan
angin polen dari bunga jantan akan diterbangkan untuk menyerbuki bunga betina. Dengan
adanya kantong udara polen pinus ini akan diterbangkan jauh.

4. Angiospermae

Disebut juga tumbuhan berbunga. Angiospermae ditandai dengan adanya bungayang


tersusun dari bunga jantan dan bunga betina dalam satu tangkai bunga. Butirbutir polen
dalam benang sari mengelilingi bunga betina disekitar sisinya. Angiospermae dikenal juga
dengan tumbuhan berbiji tertutup, yang menunjukan adanya perkembangan buah dari
bagian bunga betina. Keistimewaan angiospermae adalah adanya pembuahan ganda. Polen
melepaskan dua inti sperma, satu inti akan membentuk zygote yang akan berkembang
membentuk embrio, inti lain membentuk cadangan makanan.

II. Polen
Butiran polen memiliki karakter yang spesifik yang tediri atas bentuk, apertur,
sclupture/ornamentasi dinding, simetri dan ukuran. Menurut Blackmore (dalam Hessedan
Ehrendorfer, 1990) perbedaan karakter morfologi polen dapat digunakan untuk identifikasi
jenis, kontruksi klasifikasi atau interpretasi filogenetik. Mempelajari morfologi polen,
spora, acritarchs dan dinoflagellate membutuhkan miroskop yang memiliki perbesaran
mencapai (1000X), karena ukurannya yang sangat kecil, bahkan ada yang kurang dari 10
μ.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 57


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

1. Morfologi Polen

Morfologi polen yang penting untuk dijadikan pedoman identifikasi/deskripsi meliputi


bentuk polen, ukuran, simetri, apertur (jumlah dan bentuknya), dan ornamentasi pada
dinding polen.

Intine

Ornament

Tectum
Aperture Exine

Rods

Base

Gambar 42. Morfologi polen secara umum (Seywer,1981) (gambar kiri), Detail
morfologi pada Polen menurut A. Faegeri (1961) dan B. Resistsma (1970)
(gambar kanan)

2. Bentuk polen

Erdtman (1966), pengelompokan bentuk polen bedasakan atas perbandingan


antarasumbu polar (P) dengan sumbu equatorialnya (E). Sumbu polar merupakan sumbu
rotasi dan sumbu equatorial merupakan tempat keberadaan apertur. Adapun Moore dan
Webb (1978), menggambarkan Sumbu Ekuatorial dan polar adalah sebagai berikut :

Equatorial Distal Proximal

Gambar 43. Sumbu ekuatorial dan polar dari polen (Moore dan Webb, 1977) (gambar
kiri), Gambar 4 Sumbu ekuatorial dalam 2 dimensi (gambar kanan)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 58


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Berdasarkan perbandingan ukuran sumbu polar dan ekuatorial tersebut polen

Gambar 44. Bentuk polen berdasarkan


perbandingan sumbu polar dan equatorial

Tabel 6. Pembagian bentuk polen berdasarkan


perbandingan sumbu polar dan equatorial

dikelompokan menjadi: Keterangan PA = sumbu polar, ED = Diameter Ekuatorial

3. Simetri Polen

Reitsma (1970), mengelompokan simetri polen berdasarkan kenampakan ekuatorial


dan polar. Dalam tampak polar maupun tampak ekuatorial yang menjadi pembeda adalah
ada atau tidaknya sudut dalam polen, diikuti dengan bangun dari polennya.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 59


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 45. Simetri polen tampak polar dan ekuarorial (Reitsma , (1970)

4. Ukuran polen
Ukuran polen penulis yang sama membaginya menjadi sangat kecil <10μ, kecil 10-25
μ, medium 25-50μ, besar 50-100 μ, sangat besar 100-200 μ, giganta > 200μ. (Reitsma,
1970).
Tabel 7. Ukuran Polen (Reitsma, 1970)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 60


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

5. Apertur
Berdasarkan fungsinya apertur pada polen sebagai pintu keluarnya cairan sel dalam
proses pembuahan. Thanikaimoni (dalam Blackmore dan Ferguson, 1986), menjelaskan
bahwa secara morfologis apertur adalah daerah eksin yang terbuka dan tipis, ditempatada
initin biasanya menebal. Secara fisiologis apertur merupakan zona germinasi, bisa juga
organ yang mengatur mekanisme perubahan volume. Pembagian bentuk apertur adalah
sebagai berikut:

o Sulcus, berupa kerutan atau celah yang menanjang, tegak lurus terhadap sumbu yang
membujur, terdapat di zona polar (terdapat pada palmae).
o Colpus, berupa celah atau torehan yang memanjang dengan sudut tegak lurus terhadap
bidang ekuator.
o Ruga, berupa celah atau kerutan yang memanjang dengan arah yang berbeda dengan
tipe colpus dan sulcus.
o Porus, berupa pori atau lubang bundar dibagian equatorial dengan memiliki
perbandingan panjang/luas kurang dari 2. Butir pollen yang memiliki jenis apertur ini
disebut porate.
o Periporus, Apertur yang berbentuk lubang bundar dan relative banyak tidak terpusat
pada equatorial dengan memiliki perbandingan panjang/luas kurang dari 2. Butir pollen
yang memiliki jenis apertur ini disebut pantoporate atau periporate.
o Sulculi, letaknya parallel terhadap equator, dan biasanya terletak diantara equator dan
distal. Jika disatukan secara apikal, sulculi akan membentuk zona, atau cincin sejajar
dengan garis equator.
o Pericolpus, Apertur ini berbentuk memanjang dan mengerut dibagian pinggir-pinggir.
o Ulcus, Aperature bentuknya melingkar yang terdapat dibagian distal dengan rasio
perbandingan panjang/luas kurang dari 2 serta ukuranya relatif lebih kecil dari setengah
dari permukaan distal. Pollen yang memiliki apertur ini dinamakan ulcerate.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 61


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 46. Apertur pada Polen

Dalam satu polen pun bisa terdapat dua macam apertur secara bersama-sama,
seperti colpus dan porus maka disebut colpors.

Gambar 47. Macam-macam apertur kompleks

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 62


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Sering terjadi variasi dari apertur, seperti adanya penebalan, Moore dan Webb
(1978) menggambarkannya sbb:

1. Annulus (A), penebalan seksin pada ektoporus

2. Costa (B), penebalan disekitar neksin pada endo apertur

3. Margo (C), penebalan disekitar colpus

4. Operculum (D), di bagian tengah apertur terdapat membran tipis eksin

5. Vestibulum (E), antar seksin dan neksin terpisah disekitar apertur yang berupa porus

6. Arcus (F), penebalan secara lokal dari bagian ekstexine dan membentuk kurva dari satu
bagian ke bagian lainya.

7. Oncus (G), struktur berbentuk lensa yang tidak tahan terhadap asetolisis dan terbentuk
di bawah apertur berbagai jenis butir pollen

Gambar 48. Variasi yang terjadi pada apertur (Moore dan Webb, 1978)
Jumlah apertur disamping bentuk apertur, jumlah apertur menjadi bagian dalam
identifikasi dan diskripsi. Moore dan Webb (1978), membuat pengelompokan berdasarkan
jumlah apertur, bentuk apertur dan zona penyebaran dari apertur sbb :

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 63


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Tabel 8. Klasifikasi apertur beradasrkan jumlah dan


sebarannya (Moore dan Webb, 1978)

6. Ornamentasi/sclupture/hiasanDinding luar
Polen (eksin), terdiri dari dua lapisan, yakni lapisan luar disebutekteksin dan lapisan
dalam disebut endeksin. Dinding polen (eksin) yang tersimpanmenjadi fosil. Di bagian luar
lapisan eksin tersebut terdapat hiasan (ornamentation/sclupture) yang penting untuk
diskripsi polen. Moore dan Webb (1978), membagi bentuk ornamentasi sbb:
o Psilate: bila permukaan polen halus
o Verrucate: bila polen atau spora mempunyai tonjolan seperti kutil, biasanya tonjolan
lebarnya lebih besar dari tingginya
o Echinate: bila ornamentasinya menyerupai duri
o Striate: bila ornamentasinya memanjang dengan pola parallel
o Reticulate: polen atau spora memiliki pola ornamentasi seperti jarring-jaring
o Rugulate: apabila elemen ornamentasinya memanjang kesamping dan tidak teratur
o Clavate: tonjolan ornamentasinya melebar dibangian pangkal
o Perforate: ornamentasinya berupa lubang-lubang dengan diameter kurang dari satu
micrometer
o Gemmete: ornamentasinya baik lebar maupun tinggi tonjolannya sama ukurannya dan
mengkerut pada bagian dasarnya
o Scabrate: memiliki proyeksi elemen dengan diameter lebih dari satu micrometer dan
menyerupai granual sehingga disebut juga granulate.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 64


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 49. Sclupture atau hiasan pada dinding polen

III. Spora
1. Morflogi spora

Morfologi spora meliputi bentuk, ukuran, simetri, apertur, dan ornamentasi. Untuk
ornamentasi spora pola yang dipakai dalam polen dapat pula digunakan di spora.

Gambar 50. Morfologi umum pada spora (Modifikasi dari Singh, 1964)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 65


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

2. Bentuk spora

Bentuk umum spora lebih sederhana dari polen. Dalam hal bentuk terminology
untuk polen juga dapat digunakan dalam spora, hanya saja terbatas pada bentuk dasar
ellipticuntuk spora monolate dan triangular/circular untuk spora trilate. Bentuk spora
sangat tergantung kepada jumlah aperturnya. Di bawah ini dicantumkan contoh-contoh
bentuk spora

Gambar 51. Bentuk pada Spora

3. Ukuran spora

Ukuran spora yang lazim berkisar 0,5 μ – 200 μ, untuk megaspora dapat mencapai
lebih dari 200 μ.

4. Simetri

Simetri pada spora dapat pula menggunakan pola simetri pada polen sebagaimna
Digambarkan dalam morfologi umum spora di uraian sebelumnya.

5. Aperture

Spora yang sederhana tidak memiliki apertur (alete) atau inaperturet. Untuk spora
yang memiliki apertur hanya dikelompokan kepada dua jenis, yaitu spora dengan satu
apertur disebut monolate, dan spora dengan tiga apertur disebut trilate. Apertur pada spora
disebut leasure, yaitu bentuk sutura atau alur.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 66


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

6. Ornamentasi

Terminologi sclupture atau hiasan pada spora sama dengan yang digunakan dalam
terminologi hiasan dalam polen.

REFERENSI

Singh, C. 1964, Microflora of the Lower Cretaceous Mannville Group, East-Central


Alberta, Alberta Res. Council, Bull. 15; 1–239
Pringgoprawiro, H., Kapid, R., 2000, Seri Mikrofosil; Foraminifera, ITB press,
Bandung, 98 p.
Sugandha, G. “Morphological Characteristics of Pollen Grains”. 3 Januari 2018.
http://www.biologydiscussion.com/palynology/morphological-characteristics-of-
pollengrains/64545
Prateeksha, L. “Aperture Found in the Pollen and Spore Wall | Plants”. 4 Januari 2018.
http://www.biologydiscussion.com/plant-anatomy/pollen-and-spore-walls/aperture-
found-in-the-pollen-and-spore-wall-plants/68956

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 67


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

MODUL 8

NANNOPLANKTON GAMPINGAN
Nannoplankton berasal dari bahasa Yunani nanos yang berarti kecil atau kerdil dan
plankton yang berarti mengapung secara pasif dalam kolom air atau permukaan air.
Calcareous nannoplankton atau nannopankton gampingan merupakan sebuah kelompok
heterogen dari semua makhluk hidup atau fosil yang berkomposisi gampingan termasuk di
dalamnya coccolith, discoaster dan nannoconids yang berukuran antara 0.25 sampai
dengan 30 µm (Armstrong & Brasier, 2005).

Nannoplankton dihasilkan oleh organisme protozoa planktonik bersel satu yang


termasuk dalam kelompok alga dan merupakan fitoplankton ber-flagelata yang termasuk
ke dalam filum Haptophyta dan kelas Prymnesiophyceae (Young & Bown, 1997).
Termasuk di dalamnya adalah alga Haptophyta yang men-sekresikan kalsit.

Organisme dari Protozoa bersel satu ini disebut Coccolithopores, yang termasuk
juga semua alga Haptophyta yang memiliki coccolith pada beberapa tahapan dalam
perkembangannya. Koloni dari coccolith yang berbentuk bulat seperti bola dengan
diameter rata-rata kurang dari 25 µm dan umumnya terdiri dari 10-150 coccolith tersebut
kemudian disebut dengan coccosphere (Black, 1963).

Ukuran rata-rata dari nannoplankton gampingan adalah antara 5-15 µm, namun
tidak menutup kemungkinan ada nannoplankton yang berukuran lebih dari itu. (Tappan,
1980) memberikan definisi ukuran lain yaitu kurang dari 2 µm, dan yang berukuran 2-20
µm didefinisikan sebagai ultramicroplankton. Fosil dari nannoplankton disebut dengan
nannofossil. Studi nannoplankton gampingan dilakukan dengan bantuan mikroskop optic
(mikroskop polarisasi) diilustrasikan dalam Gambar 52a dan juga SEM (Scanning
Electronic Microscope) seperti pada Gambar 52b.

Oleh karena coccosphere tidak tersusun dengan kuat, selama proses fosilisasi,
hanya lempengan kalsit (coccolith) yang telah terpisah yang terpreservasi (Gambar 2a).
Namun terkadang coccosphere yang utuh dapat ditemukan seperti pada Gambar 2b.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 68


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 52. Tampilan Coccolith pada Mikroskop Polarisasi dan (b) Tampilan Coccolith
pada SEM (Melinte, 2004)

Gambar 53. (a) Coccolith dari Recticulofenestra lockeri (kiri) dan (b) Coccosphere dari
Dictyococcites bisectus (Melinte, 2004)

I. Pengambilan Sampel dan Preparasi


Sampel untuk studi nannoplankton gampingan dikumpulkan dari sedimen (baik singkapan
maupun coring) dan dari air laut. Hanya sedikit sampel yang dibutuhkan, karena hanya
dalam 1 gram sedimen dapat ditemukan ribuan nannofossil. Coccolithopores hadir pada
setiap liter sampel air dimanapun pada permukaan air laut.

Teknik preparasi yang paling sederhana dan paling murah adalah dengan teknik
smear-slides. Teknik ini tidak membutuhkan bahan kimia apapun kecuali air sulingan
(seperti yang telah dijelaskan pada modul Preparasi).

Karena hanya membutuhkan sedikit sampel untuk analisis coccolith dan teknik
preparasi yang sederhana dan murah, nannofosil gampingan digunakan secara luas dalam
aplikasi mikropaleontologi, contohnya digunakan untuk menentukan umur batuan sedimen
dengan akurat dan cepat pada pengeboran. Namun, kekurangan dalam penggunaan
nannofosil adalah nannofosil dapat dengan mudah mengalami rework. Hal ini dapat

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 69


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

menyebabkan kesalahan dalam penentuan umur dan bahkan kesalahan dalam menentukan
sedimen kontinen dengan sedimen marine. Selain mengalami rework, dapat dengan mudah
terjadi kontaminasi pada saat preparasi. Karena nannoplankton gampingan terbuat dari
kalsit, proses terkait secondary outgrowth kalsit dan disolusi dapat ditemui dan dapat
menghambat identifikasi spesifik (Melinte, 2004).

II. Anatomi Morfologi


Pada sel Coccolithopores yang masih hidup terdapat alat penggerak/kaki semu
yang disebut dengan Flagella/Flagel. Setiap sel memiliki dua buah flagel. Sel
coccolithopore terdiri dari cytoplasma yang dibungkus oleh membrane ganda. Terdapat
satu inti sel atau nucleus yang berukurn relatif besar, dua buah chloroplast/zat hijau daun,
terdapat mitochondria dan rongga atau vacuole yang berdenyut. Pada bagian anterior dari
sel dijumpai badan golgi (golgy apparatus) sebagai organ sekresi. Dalam badan golgi
inilah dibuat cetakan yang tersusun oleh zat organik yang berfungsi sebagai template yang
digunakan untuk membentuk dan menghasilkan lempeng-lempeng coccolith. Pada Gambar
3a merupakan ilustrasi dari sel Coccolithophore yang masih hidup dan bagian-bagian yang
telah disebutkan sebelumnya.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 70


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 54. (kiri) Sketsa sel coccolithopore yang masih hidup beserta bagian-bagiannya
(Siesser dalam Lipps, 1993; dalam Armstrong & Brasier, 2005) dan (kanan) Skema sel
coccolithophyceae tampak luar (1) dan tampak dalam (2) pada saat pembentukan pelat-
pelat gampingan (Tappan, 1980 op cit. Ghidalia, 1987 dalam Kapid, 2003)

Gambar 55. Bagian-bagian dari pelat coccolith (Haq & Boersma, 1998)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 71


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 56. Penampang dari sel Coccolithopore dan dan penutup dinding sel (Bown,
1998)

Terdapat dua jenis coccolith berdasarkan model konstruksi yang diketahi dari studi
menggunakan SEM yaitu Heterococcolith dan Holococcolith (Armstrong & Brasier,
2005):

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 72


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

a. Heterococcolith
Biasanya berukuran lebih besar dan terbentuk dari elemen submikroskopis
yang berbeda seperti sebagai lempeng, batang/jarum dan butiran, yang
dikombinasikan menjadi struktur yang relatif lebih kaku/keras (Gambar 6a)
b. Holococcolith
Terbentuk seluruhnya dari krisal kalsit submikroskopis rhombohedral yang
tersusun secara teratur (Gambar 6b)

Gambar 57. (a) Fase hidup Heterococcolith (kiri) dan (b) Fase hidup Holococcolith dari
Calcidiscus leptoporus (Šupraha, Ljubešić, Mihanović, & Henderiks, 2016)
Calcareous nannoplankton memiliki beragam kelompok bentuk morfologi yang
kemudian diatur dalam tiga kategori (Haq & Boersma, 1998) :

1. Bentuk nannoplankton yang menunjukkan hubungan dengan coccolithopore


(bentuk nannoplankton 1)
Bentuk ini memiliki bentuk dasar lingkaran/cincin atau bulat di bagian luar
yang disebut dengan rim. Di tengahnya terdapat rongga yang disebut sebagai
central area. Pada rongga juga sering dijumpai berbagai struktur dalam bentuk
palang, silang, saringan ataupun duri/tonggak.
a. Placolith
Berbentuk dua perisai berbentuk bulat dan dihubungkan dengan saluran
tengah (bridges). Contoh: Coccolithus

Gambar 58. (a) Coccosphere; (b) Coccolith; (c) Kenampakan mikroskop polarisasi
XPL; dan (d) Kenampakan mikroskop polarisasi PPL dari Coccolithus pelagicus
(Young, Bown, & Lees, 2007)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 73


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

b. Discolith
Berbentuk elipsoidal dengan rim yang terangkat (lebih tinggi). Dalam
beberapa kasus, rim yang tinggi membentuk struktur seperti vas atau gelas.
Contoh: Pontosphaera, Discolithina

Gambar 59. (a) Coccosphere; (b) Coccolith; (c) Kenampakan XPL (kiri) dan PPL (kanan)
dari Pontosphaera discopora (Young et al., 2007)

c. Lopadolith
Berbentuk bakul atau mangkung dengan rim yang tinggi dan memiliki
lubang pada arah luar. Contoh: Scyposphaera

Gambar 60. (a) Coccosphere; (b) Coccolith; (c) Kenampakan dalam mikroskop dari
Scyphosphaera apsteinii (Young et al., 2007)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 74


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

d. Helicolith
Coccolith dengan pinggiran yang terputar heliks/spiral. Contoh: Helicosphaera

Gambar 61. (a) Coccosphere; (b) Coccolith; (c) Kenampakan XPL dan (d) Kenampakan
PPL dari Helicosphaera carteri (Young et al., 2007)

e. Caenolith
Heterococcolith dengan rim yang tinggi namun tanpa perisai yang
berkembang dengan baik. Contoh: Syracosphaera

Gambar 62. (a) Coccosphere; (b) Coccolit; dan (c) Kenampakan dalam mikroskop dari
Syracosphaera (Young et al., 2007)
2. Bentuk nannoplankton non-coccolithopores nannolith (bentuk nannoplankton 2)
Golongan yang bukan berbentuk coccolith atau dikenal dengan non-
coccolithopore nannolith
a. Asterolith
Nannolith berbentuk seperti bintang/snowflakes. Contoh: Discoaster, Hayaster

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 75


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 63. (a) Kenampakan nannolith pada SEM; (b dan c) Kenampakan pada
mikroskop polarisasi Discoaster brouweri (Young et al., 2007)

b. Ceratolith
Berbentuk tapal kuda yang terbentuk oleh kedua lengan yang melengkung,
Contoh: Ceratolithus

Gambar 64. (a) Coccosphere; (b) Nannolith; (c) Kenampakan XPL dan (d) Kenampakan
PPL dari Ceratolithus cristatus (Young et al., 2007)

c. Sphenolith
Berbentuk taji, dengan alas berbentuk prisma yang tersusun oleh elemen-
elemen radial dengan arah ke atas meruncing. Contoh: Sphenolithus

Gambar 65. Kenampakan Sphenolithus radians pada mikroskop polarisasi (Young et al.,
2007)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 76


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

d. Rhabdolith
Nannolith berbentuk batang yang melekat di bagian tengah pada suatu
lempeng/pelat. Contoh: Rhabdosphaera.

Gambar 66. (a) Coccosphere; (b) Nannolith; (c) Kenampakan XPL dan (d) Kenampakan
PPL Rhabdosphaera clavigera (Young et al., 2007)
e. Pentalith
Lempengan yang memiliki simetri kelipatan lima, berbentuk segilima,
bintang atau lingkaran. Contoh: Braarudosphaera

Gambar 67. (a) Coccosphere; (b) Nannolith; (c) Kenampakkan XPL dan (d) Kenampakkan
PPL dari Braarudosphaera bigelowii (Young et al., 2007)

f. Scapolith
Nannolith yang berbentuk rhombohedral seperti perahu dengan garis-garis
paralel pada bagian tengahnya. Contoh: Calciosolenia

Gambar 68. (a) Coccosphere; (b) Nannolith; (c) Kenampakkan pada mikroskop polarisasi
Calciosolenia (Young et al., 2007)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 77


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

3. Bentuk nannoplankton incertae sedis (bentuk nannoplankton 3)


Golongan ini tidak diketahui asal-usulnya namun selalu terdapat bersamaan
dengan kedua golongan sebelumnya.
a. Isthmolithus
Berbentuk elips memanjang hingga rhomoedrical dengan satu atau dua
jembatan sejajar pada sisi terpendek. (Perch-Nielsen, 1985) memasukan spesies ini
dalam golongan Zygodiscaceae.

Gambar 69. Isthmolithus recurvus (Haq & Boersma, 1998)

b. Microrhabdulus
Berbentuk batang memanjang yang pada bagian sisinya kadang dihiasai
dengan garis melintang. (Perch-Nielsen, 1985) memasukkan spesies ini dalam
golongan Microrhabdulaceae

Gambar 70. Microrhabdulus belgicus (Young et al., 2007)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 78


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

c. Micula
Terbentuk dari lempengan kalsit yang saling bertaut (interlocking). (Perch-
Nielsen, 1985)memasukan kedalam golongan Polisyclolithaceae.

Gambar 71. Micula staurophora (Young et al., 2007)

d. Nannoconus
Berbentuk silindris atau konis, tersusun oleh kalsit-kalsit dengan sumbu
memanjang tegak lurus dinding luar. Termasuk dalam golongan
Nannoconaceae kelompok Nannoconid

Gambar 72. Nannoconus steinmannii (Young et al., 2007)

e. Triquetrorhabdulus
Nannolith dengna tiga sisi yang berbentuk cembung, dijumpai pada sedimen
Oligesen Atas hingga Miosen Akhir.

Gambar 73. Triquetrorhabdulus carinatus (Young et al., 2007)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 79


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

III. Sketsa Morfologi Coccolith dan Nannolith

Gambar 74. Bentuk dan morfologi dari (a) Placolith; (b) Caenolith; (c) Discolith; (d)
Helicolith; (e) Lopadolith (Young et al., 2007)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 80


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 75. Bentuk dan morfologi dari (a) Asterolith; (b) Ceratolith; (c) Sphenolith; (d)
Rhabdolith; (e) Pentalith; dan (f) Scapolith (Young et al., 2007)

IV. Klasifikasi
Dasar penamaan mengacu sistem penamaan binomial. Dari beberapa klasifikasi
yang dibuat oleh beberapa peneliti dapat disimpulkan pola umum adalah:

a. Penentuan Ordo, didasari pada morfologi umum dari lingkaran luar (rim)
misalnya placolith, discolith dan sebagainya, serta pola susunan umum dari
elemen pada rim tersebut.
b. Penetuan Famili, pada bentuk dan susunan dari elemen rim dan lebar serta sifat
dari central area.
c. Penentuan Genus, didasarkan pola detail dari elemen rim serta struktur umum
dari central area.
d. Penentuan Spesies, pada struktur detail dari central area.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 81


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 82


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 83


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

REFERENSI

Armstrong, H. A., & Brasier, M. D. (2005). Microfossils.. Malden. Oxford, Carlton:


Blackwell Publishing. ISBN 0, 632(05279), 1.

Black, M. (1963). Function And Fine‐ Structure In Protista: 2. The Fine Structure Of The
Mineral Parts Of Coccolithophoridae. In Proceedings of the Linnean Society of
London (Vol. 174, pp. 41–46). Wiley Online Library.

Bown, P. (1998). Calcareous nannofossil biostratigraphy. Chapman and Hall; Kluwer


Academic.

Melinte, M. C. (2004). Calcareous nannoplankton, a tool to assign environmental changes.


Geo-Eco-Marina. https://doi.org/10.1109/WISA.2015.51

Haq, B. U., & Boersma, A. (1998). Introduction to marine micropaleontology. Elsevier.

Perch-Nielsen, K. (1985). Cenozoic calcareous nannofossils. Plankton Stratigraphy, 427–


554.

Šupraha, L., Ljubešić, Z., Mihanović, H., & Henderiks, J. (2016). Coccolithophore life-
cycle dynamics in a coastal Mediterranean ecosystem: Seasonality and species-
specific patterns. Journal of Plankton Research.https://doi.org/10.1093/plankt/fbw061

Tappan, H. (1980). Haptophyta, coccolithophores, and other calcareous nannoplankton.


The Paleobiology of Plant Protists, 678–803.

Young, J. R., & Bown, P. R. (1997). Cenozoic calcareous nannoplankton classification.


Journal of Nannoplankton Research, 19(1), 36–47.

Young, J. R., Bown, P. R., & Lees, J. A. (2007). Nannotax. Retrieved December 28, 2018,
from http://www.mikrotax.org/Nannotax3/index.html

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 84


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Modul 6

Aplikasi Mikropalentologi

Mikropaleontologi memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu


pengetahuannya. Terdapat beberapa aplikasi ilmu mikropaleontologi, diantaranya:

1. Dapat mengetahui paleoekologi


Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara organisme dengan
lingkungannya (Billal, 1998). Kehidupan dari mikroorganisme sangat bergantung
pada kondisi tempat hidupnya. Untuk itu, mikrofosil ini sangat berguna dalam
merekonstruksi bagaimana kondisi kehidupan pada saat mereka hidup di zaman
sebelumnya. Jenis ekologi yang dapat diketahui diantaranya:
a. Suhu air laut
Suhu air laut di tempat hidup mirkofauna sangat berperan penting mulai dari
masa hidupnya sampai menjadi fosil. Penelitian Stone (1956) membuktikan bahwa
suhu berpengaruh pada jumlah (populasi) maupun pada besarnya cangkang
foraminifera (Pringgoprawiro, 1999). Suhu air laut sangat berpengaruh pada jumlah
dan populasi dari mikroorganisme. Selain itu, berpengaruh juga pada besarnya
cangkang foraminifera. Misalnya, pada awalnya spesies Ammonia beccarii tepida
memiliki 13 kamar pada suhu normal apabila terdapat adanya perubahan suhu atau
salinitas, membuat spesies ini akan terus memperbanyak kamarnya tanpa
berkembangbiak.
Selain itu, suhu air laut juga berhubungan erat dengan letak geografisnya yang
akan mempengaruhi komunitas pada mikrofauna.
b. Kadar air garam/salinitas
Kebanyakan mikrofauna hidup pada laut yang memiliki salitnitas normal dan
akan terus berkembang dengan pesat (Pringgoprawiro, 1999). Namun, apabila
keadaan berbeda maka kehidupan spesies akan terhambat dan akhirnya akan mati.
Terdapat beberapa spesies yang akan mempertahankan hidupannya dengan cara
berevolusi. Beberapa istilah pembagian dari persen salinitas :
- Freshwater (air tawar): salinitas <0,50%
- Brackish water (air payau): salinitas 0,50-3%

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 85


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

- Hypohaline (air agak asin): 3-30%


- Sea water (air laut normal): 30-39%
- Hypersaline (air sangat asin): >40%
c. Kedalaman
Kedalaman sangat perpengaruh pada kehidupan foraminifera khususnya pada
komposisi cangkang foraminifera. Pada laut dangkal, banyak individu yang
memiliki komposisi cangkang gampingan, namun semakin kedalam individu yang
memiliki komposisi cangkang gampingan akan menjadi sedikit sedangkan
komposisi cangkang aglutinin akan semakin banyak (Gambar 76). Istilah ini
dikenal dengan CCD (Carbonate Compotition Depth) yang secara umum berkisar
antara kedalaman 3.000-4.000 meter (Berger, 1970).

Gambar 76. Repartisi kelompok foraminifera resen terhadap fungsi kedalaman


(Bignot, 1982) dalam Pringgoprawiro (1999)
“Foraminifera bentonik memiliki habitat di dasar laut dimana memiliki ciri
hidupnya secara vagile (merambat/merayap) dan sessile (menambat). Oleh karena
itu, banyak penelitian yang mengguakan fosil ini untuk mempelajari hubungan
antara kedalaman dasar laut dengan framinifera bentonik. Hasilnya terdapat
klasifikasi mengenai zona dari kedalaman yang disebut dengan Bathymetry”.
Batimetri adalah proses penggambaran dasar perairan sejak pengukuran, pengolahan,
hingga visualisasinya (Poerbandono et. al., 2005 dalam Riadi et al.,2014). Batimetri
terdiri atas 8 zona, diantaranya: non-marine, transitional, innershelf (inner neritic),
middle shelf (middle neritic), outer shelf (outer neritic), upper slope (upper bathyal),
lower slope (lower bathyal), dan abyssal (gambar 2).

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 86


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Gambar 77. Hubungan batimetri dengan persebaran foraminifera mulai dari


shelf sampai abyssal (Billal, 1998)

d. perubahan gelombang dan arus


gelombang air laut yang menyebabkan adanya turbulensi yang akan berdampak
pada kekeruhan. Masa air laut mengalami perpindahan dari waktu ke waktu secara
tidak langsung akan menyebabkan perubahan pada kehidupan mikroorganisema.
Pengaruh pada gelombang ini akan menyebabkan perubahan juga terhadap suhu air
laut, jumlah nutrisi, dll.
2. Dapat menentukan lingkungan serta umur pengendapan
a. Penentuan Umur

Secara umum penentuan umur pada batuan terbagi atas dua:

- Umur absolut
- Umur relatif

Penentuan umur absolut dilakukan dengan menghitung waktu paruh dari unsur-
unsur radioaktif yang terkandung dalam suatu batuan. Sedangkan pada penentuan
umur relatif pada suatu lingkungan pengendapan pada dasarnya ditentukan
berdasarkan keterdapatan suau mikrofosil dalam suatu batuan. Sebagian besar,
penentuan umur dapat dilakukan melalui keterdapatan dari foraminifera kecil
plantonik. Adapun faktor-faktor yang menjadikan foraminifera kecil plantonik
dijadikan sebagai penentu umur pengendapan ialah :

- Jumlah spesies yang ditemukan dalam sampel batuan lebih banyak.


- Jumlah genus lebih sedikit.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 87


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

- Sangat peka terhadap adanya perubahan di lingkungan tempat hidupnya,


contohnya kadar garam, pH, sea level, dll.

Faktor tersebut yang tersebut yang menyebabkan foraminifera kecil planktonik


sebagai indokator yang baik dalam penunjuk umur pengendapan di banding
foraminifera kecil bentonik.

Biozonasi foraminifera kecil plantonik yang dipakai diantaranya adalah Zonasi


Blow (1969), Zonasi Bolli (1966), dan Zonasi Postuma (1971).

Namun, dalam kasus lain terdapat penggunaan foraminifera bentonik untuk


menentukan umur pengendapan apabila keterdapatan kelimpahan atas foraminifera
kecil bentonik di suatu sampel batuan karena tidak semua batuan dapat
mengandung foraminifera bentonik.

b. Penentuan Lingkungan Pengendapan


Lingkungan pengendapan didefinisikan sebagai suatu kondisi dengan parameter
fisik, kimia dan biologi tertentu yang berhubungan dengan suatu unit geomorfik yang
memiliki geometri dan ukuran tertentu dimana sedimen dapat diendapkan (Boggs,
2006 dalam Surjono & Geger, 2014). Terdapat faktor fisika dan kimia yang dapat
mengubah suatu lingkungan dari waktu ke waktu. Lingkungan pengendapan
dapat dilihat berdasarkan keterdapatan jenis dari foraminifera bentonik serta
rasionya.
Tabel 8. Pelagik rasio foraminifera resen dan fungsi kedalaman pada penelitian di Teluk
Meksiko (Pringgoprawiro, 1999).

% Ratio Plankton Kedalaman (m)

1- 10 0-70
10 - 20 0-'70
20 - 30 60 - 120
30 - 40 100 - 600
40 - 50 100 - 600
50:- 60 550 -700
60 -70 680 - 825
70 - 80 700 - 1100
80 - 90 900 - 1200
90 - 100 1200 - 2000

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 88


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

3. Penentuan Biostratigrafi

Ilmu susun menyusun dan mengurutkan lapisan batuan, stratigrafi, dibagi


berdasarkan dasar/parameternya tersendiri. Penggunaan fosil dalam menentukan suatu
lapisan batuan dinilai cukup representatif karena fosil dapat memberikan informasi tentang
umur dan lingkungan pengendapan meskipun bersifat relatif Sesuai dengan namanya,
biostratigrafi, adalah ilmu pembuatan stratigrafi yang didasari oleh kandungan fosilnya.
Definisi biostratigrafi menurut Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI) adalah elemen stratigrafi
yang mempelajari distribusi fosil fosil dalam rekaman/catatan stratigrafi, serta
mengelompokan lapisan batuan kedalam satuan-satuan berdasarkan kandungan fosilnya.
Satu lapisan/tubuh batuan yang dipersatukan karena memiliki kandungan fosil yang sama
disebut dengan satuan biostratigrafi.

Satuan dasar biostratigrafi adalah zona (biasa disebut biozona). Menurut Edmond
Hebbert (1857), suatu zona dipilih berdasarkan kisaran hidup fosil index. Syarat suatu
taxon dikatakan sebagai fosil index adalah:

Melimpahnya populasi
Mudah dikenali
Persebaran geografis yang luas
Rentang umur yang singkat

Ada beberapa prinsip prinsip dasar yang digunakan untuk menentukan atau membagi
zona zona dalam pembuatan biostratigrafi:

Range Zone (Zona Kisaran)


Zona kisaran merupakan prinsip penentuan zona biostratigrafi dengan
menggunakan FAD (First Appearance Datum) – LAD (Last Appearance Datum)

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 89


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

dari satu taxon


Interval Zone (Zona Selang)

Zona selang merupakan prinsip penentuan zona biostratigrafi dengan menggunakan


FAD (First Appearance Datum) – LAD (Last Appearance Datum) dari dua taxon.
Batas atas dan bawah dari zona selang dapat berupa FAD-LAD, FAD-LAD, LAD-
LAD ataupun FAD-FAD
Assemblage Zone (Zona Kumpulan)

Zona kumpulan merupakan prinsip penentuan zona biostratigrafi dengan


menggunakan FAD (First Appearance Datum) – LAD (Last Appearance Datum)
dari lebih dari dua taxon
Abundance/Acme Zone (Zona Puncak)

Zona kumpulan merupakan prinsip penentuan zona biostratigrafi dengan melihat


adanya perkembangan maksimum atau kelimpahan suatu taxon yang signifikan

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 90


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

Lineage Zone (Zona silsilah)

Zona silsilah merupakan prinsip penentuan zona biostratigrafi dengan melihat


adanya jalur evolusi dari suatu taxon tertentu
Zona Padat
Zona padat merupakan prinsip penentuan zona biostratigrafi dengan syarat adanya
kepadatan populasi fosil pada suatu lapisan/tubuh batuan dibandingkan dengan
lapisan/tubuh batuan disekitarnya (diatas maupun dibawahnya)
Zona Rombakan
Zona rombakan merupakan prinsip penentuan zona biostratigrafi dengan ciri ciri
suatu lapisan/tubuh batuan memiliki kandungan fosil rombakan yang banyak
dibandingkan dengan lapisan/tubuh batuan disekitarnya (diatas maupun
dibawahnya).

4. Korelasi biostratigrafi

Dengan diketahuinya biostratigrafi suatu tubuh batuan, korelasi dengan menggunakan


biostratigrafi dapat dilakukan. Korelasi biostratigrafi adalah proses menghubungkan dua
atau lebih lapisan/tubuh batuan pada lokasi yang berbeda guna mendapatkan informasi
mengenai kemenerusan suatu tubuh/lapisan batuan. Penggunaan biostratigrafi sebagai
dasar untuk melalukan korelasi mirip dengan korelasi chronostratigtafi. Kedua jenis
korelasi tersebut menggunakan dasar kesamaan waktu. Pada korelasi biostratigrafi,
kesamaan waktu suatu lapisan/tubuh batuan dilihat dari umur tubuh/lapisan batuan yang

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 91


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

didapat dari analisis umur biostratigrafi menggunakan fosil dan/ mikrofosil yang
terkandung dalam suatu tubuh/lapisan batuan.

Gambar 78. Kurva Foraminfera


Kurca Foraminifera menunjukan persebaran jenis jenis foraminifera secara umum.
Presentase keberadaan tiap jenis foraminifera bergantung pada lingkungannya. Jika dilihat
dari bathymetri sederhana pada gambar, foraminifera planktonik lebih banyak ditemukan
(fosil) di laut yang lebih dalam dibandingkan foraminifera bentonik. Hal ini disebabkan
karena foraminifera membutuhkan lingkungan dengan intensitas matahari yang cukup
untuk bertahan hidup. Walaupun berada pada lingkungan laut dalam, foraminifera
planktonik memiliki cara hidup yang pasif mengikuti arus air di permukaan yang jelas
berbeda dengan foraminifera bentonik yang hidup di dasar laut.

Perbedaan kedalaman kolom air juga berdampak pada bentuk dan ornamentasi
cangkang dari foraminifera. Foraminifera dengan cangkang memiliki spinose akan hidup
dan berkembang cenderung pada permukaan. Semakin dalam kedalaman kolom air bentuk
cangkang dari foraminifera akan menyesuaikan, dapat berupa adanya keel pada cangkang
hingga bentuk cangkang yang menjadi pipih dengan putaran cangkang planispiral.

Komposisi cangkang foraminifera juga dapat menentukan lingkungan spesifik.


Pada gambar terlihat diagram segitiga yang menunjukan jenis jenis foraminifera
berdasarkan komposisi cangkang. Dominasi tiap jenis foraminifera akan berubah – ubah

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 92


Panduan Praktikum Mikropaleontologi

kearah darat maupun kearah laut. Ditunjukan pada gambar adanya hubungan antara
salinitas dengan komposisi cangkang suatu foraminifera

REFERENSI

Pringgoprawiro H., Kapid R. 1999. Foraminifera: Panduan Kuliah Mikropaleontologi


Umum. Lab. Mikropaleontologi Jurusan Teknik Geologi FTM-ITB, bandung.

Poerbandonodan Djunarsjah, E. 2005.SurveiHidrografi. PT. RefikaAditama. Bandung.

Berger W. H.. 1970. Planktonic Foraminifera: selective solution and the lysocline. Marine
Geology. Vol 8.

Surjono, S. Sugeng., Geger, Ario. 2014. Lingkungan Pengendapan dan Dinamika


sedimentasi Formasi Muaraenim Berdasarkan Litofasies di Daerah Sekayu,
Sumatera Selatan. Seminar Kebumian ke-7. UGM.

Riadi et al.. 2014. Studi Kondisi Dasar Perairan Menggunakan Citra Sub-Bottom Profiler
di Perairan Tarakan Kalimantan Timur. Jurnal Oseanografi. Vol.3. Hal. 26-35

Sandi Stratigrafi Indonesia Edisi 1996. 1996. IAGI.

Program Studi Teknik Geologi – Universitas Pertamina 93


Modul 6
Foraminifera Bentonik Besar
Foraminifera ini hidup secara bentonik dan memiliki ukuran berkisar antara 600
mikron-20 cm dan hidup secara symbiosis dengan algae dan diatom. Foraminifera besar
termasuk dalam mikropaleontolgi dikarenakan dalam proses pengamatannya dan proses
klasifikasinya, hanya data diamati dengan bantuan mikroskop poarisasi atau stereo. Dalam
pengamatannya, terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan antara lain; Bentuk cangkang,
posisi dan susunan kamar embrionik, kamar lateral, kamar median, dsb.

Morfologi Foraminifera Bentonik Besar (Haynes, 1981)

● Dinding Cangkang
Cangkang dari foraminifera besar pada uumnya tersusun dari ​Agglutinin,​ ​Microgranular, perforate,
dan ​Imperforate. Selain itu, cangkang foraminifera besar juga tersusun dari semen organik
yang dapat berbentk sederhana aau ​multi-layered.
● Kamar Embrionik ​(initial chamber, nucleoconch)
Merupakan kamar permulaan yang tersusun atas beberapa inti, bentuk dari kamar embrionik
diklasifikasikan berdasarkan jumlah dan bentuk dari inti yang ada pada kamar. Bentuk dari
kamar embrionik ini dapat dibagi lagi menjadi;
- Bilocular, terdiri dari protoconch dan deutroconch
- Trilocular, terdiri dari 3 nucleoconch
- Quadrilocular, terdiri dari 4 nucleoconch
Kamar Embrionik golongan Orbitoididae (Pringgoprawiro & Kapid, 1999)

● Kamar Nepionik (​Pery-embryonic chamber)​


Kamar ini merupakan kamar yang mengelilingi kamar embrionik dan terletak diantara kamar
embrionik dan post-nepionik.
● Kamar Post-Nepionik (​median or equatorial chamber
Kamar ini merupakan kamar yang terbentuk setelah kamar nepionik, dalam pemerian foraminifera
besar kamar ini menjadi kendala. Jika pada pengamatan pada sayatan horizontal, dapat
terlihat bentukan ​rhombic, hexagonal, spatulate, arcuate, ​dan ​ogival.

Kamar Post Nepionik Foraminifera Besar (Pringgoprawiro & Kapid, 1999)

● Kamar Lateral
Kamar ini merupakan kamar berbentuk rongga yang letaknya teratur pada lapisan atas dan bawah
lapisan tengah.
Kamar Lateral Foraminifera Besar (Pringgoprawiro & Kapid, 1999)

Pengamatan terhadap komponen-komponen diatas dilakukan dengan pengamatan pada sayatan


tipis. Apabila dimungkinkan diperoleh beberapa individu saru suatu spesies dalam keadaan
lepas (tidak menyatu dengan batuan), maka sayatan batuan dibuat pada individu tersebut.
Terdapat beberapa jenis sayatan yaitu;
1. sayatan horisontal (SH), yaitu sayatan yang dibuat melalui kamar pertama
dan tegak lurus sumbu putar.
2. Sayatan vertikal (SV), yaitu sayatan yang dibuat melalui kamar pertama
dan melalui sumbu putar.
3. Sayatan sejajar (SS), yaitu sayatan yang dibuat tidak melalui kamar pertama
tetapi sejajar dengan sayatan horisontal atau sayatan vertikal.
4. Sayatan miring (SM), yaitu sayatan yang dibuat melalui kamar pertama dan
tetapi tidak tegak lurus sumbu putar dan juga tidak melalui sumbu putar.
5. Sayatan acak (SA), yaitu sayatan yang dibuat tidak melalui kamar pertama dan
tetapi tidak tegak lurus maupun sejajar sumbu putar dan juga tidak melalui
sumbu putar.
Klasifikasi dari foraminifera besar bentonik dilakukan berdasarkan komposisi dari
cangkangnya sama seperti foraminifera kecil. Foraminifera yang mempunyai perwakilan
sebagai foraminifera besar adalah dari Subordo ​Fusulina,​ ​Textulariina,​ Miliolina ​dan Rotaliina​.
Fusulinina,​ yang seluruhnya merupakan foraminifera b​ esar, terbagi menjadi 5 famili, 8 subfamili
dan sekitar 80 spesies yang secara keseluruhan disebut sebagai golongan ​Fusulina​.
● Fusulina​ menjadi bagian penting dalam studi biostratigrafi Paleozoik Akhir.
● Textulariina merupakan unsur penting pada Mesozoik dan Kenozoik. Subordo
Textulariina​ terbagi atas 2 famili, 5 sub-famili dan sekitar 32 spesies.
●  Miliolina​ terbagi atas 3 famili, 4 subfamili dan sekitar 32 spesies yang berumur
Mesozoikum dan Kenozoikum, contoh utama dan subordo ini adalah ​Alveolina​. Bentuk
luar dari ​Alveolina​ sangat mirip dengan ​Fusulina​, tetapi asal matenal pembentuk dinding
dan struktur dalamnya sangat berbeda
● Rotaliina ​mempunyai anggota yang merupakan foraminifera besar yang penting.
Perwakilan foraminifera besar dari subordo ini terbagi atas 6 famili, 4 subfamili
serta sekitar 20 spesies. ​Rotaliina penting dalam pembahasan batuan berumur
Tersier Awal hingga Tersier Tengah-. Ciri khas dari golongan foraminifera besar
yang termasuk ke dalam ​Rotaliina adalah penyebaran yang khas pada lingkungan
laut dangkal dan hangat, dimana prasarat ekologis ini sekaligus menjadi pembatas
penyebaran geografisnya.

Berikut ini diberikan uraian beberapa jenis foraminifera besar yang penting
terutama yang berasal dari jaman Tersier.

Dyscocyclina ​Guembel, 1870


Cangkang berbentuk membundar dan terkadang bentuknya rata. Terkadang
terdapat Pillar atau tanpa Pillar. Memiliki equatorial satu lapis, dan tersusun secara
konsentris, sangat halus dan berbentuk persegi. Kamar lateralnya licin.
Identifikasi spesies pada genus ini dengan memperhatikan;
- Bagian yang teramati secara - Ketebalan kamar ekuatorial
makroskopis - Keberadaan dan susunan pillar.
- Ukuran kamar ekuatorial

Deskripsi pada genus ini juga berlaku pada ​Asterocyclina ​dan ​Aktinocyclina.
​ uembel, 1870
Lepidocyclina G
Bentuk cangkang melingkar hingga polygonal terkadang berbentuk seperti
bentang, dengan pilar ataupun tidak. Berntuk kamar ekuatorial hexagonal, ​arcuate,
ogival,d​ an lainnya namun tidak pernah persegi. Pada genus ini, kamar lateral terlihat
jelas.
Identifikasi spesies pada genus ini berdasarkan Van der Vlerk (1968) dengan
menggunakan deraat kelengkungan pada cangkang. Yang dapat dbagi menjadi
beberapa bentuk yaitu;
- Nephrolepidine - Trybliolepidine
- Eulepidine - Pliolepidine
​ acco, 1893
Miogypsina S
Bentuk cangkang trigonal hinggal oval. Tersusun dari kamar ekuatorial dengan
atau tidak kamar lateral pada tiap sisinya.
Identifikasi spesies pada genus ini dilakukan dengan 3 cara yaitu; Penentuan
Genera, diamati dari sayatan equatorial, dan dapat pula menggunakan analisis Drooger
yang melakukan pengukuran kesimetrian dari putaran protoconch nepionic.
Genus ​Miogypsinoides ​juga memiliki deskripsi yang hampir sama dengan genus
ini.
MIOGYPSINOIDES

Nummulites ​Lamarck, 1801


Cangkang terputar secara involute dengan kamar terakhir yang hanya terlihat
dari bagian luar. Biasanya terdapat lebih dari 5 whorl yang tumbuh dengan baik dan
terdapat ​dorsal cord​.
Identifikasi spesies pada genus ini ditentukan berdasarkan bagian luar dari
cangkangnya; ukuran, strutur septa, letak dan keberadaan pilar. Selain bagian luar,
bagian dalam dari organisme juga diamati yaitu bentuk spire dan kamarnya serta bentuk
dari pilar.
Assilina ​d’Orbigny, 1826
Cangkang terputar secara involute atau evolute dengan bentuk pipih dan ada
yang memiliki pilar atau tidak. Tidak memiliki alar prolongation walaupun bentuknya
involute. Dan ​dorsal cord ​terbentuk dengan baik.
Identifikasi spesies pada genus ini dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan
jumlah kelompoknya. Yaitu;
- Assilina exponens dengan ciri-ciri: bentuk tipis dengan septa pilar kecil. Spire tidak
terlihat dengan baik dari bagian luar.
- Assilina spira ​dengan ciri-ciri: bentuk kepala pilar yang jelas, spire tersusun dengan
baik pada batas permukaan.
​ ’Orbigny, 1826
Operculina d
Cangkang pipih dengan ornamentasi atau halus. 3 sampai 4 whorl terlihat denga
​ emiliki
jelas. Subgenus ​Operculina. S. str memiliki cangkang evolute, ​Operculinella m
cangkan gyang involute, ​Operculinoides m ​ emiliki bentuk yang seperti ​Operculinella
dan ​Nummulites.
Identifikasi spesies pada genus ini sedikit sulit, biasanya dilakukan dengan
mengukur factor E.
Pellatispira ​Boussac, 1906
Cangkang berbentuk lenticular dan ada yang sperikal dengan putaran evolute.
Pilar dapat hadir ataupun tidak, ​dorsal cord t​ erbentuk dengan baik dan pada dinding
cangkang terdapat kanal radial dan vertikal. Dan pada susunan kamar tidak terdapat
alar prolongation (axial section).
Pada genus ini terdapat 7 spesies yang dapat dengan mudah dikenali pada
potongan axial.
- P. madaraszi ​pilar yang tersusun secara spiral dan terdapat ​ridge (​ tinggian) yang
jelas
- P. orbitoidea b​ erbentuk lenticular dengan sudut yang tajam pada garis sumbu
- P. inflata b​ entuk cangkang relatif tebal
- P. rutteni m ​ emiliki pilar yang berbentuk kerucut dan kamar embrionik yang
ukurannya besar.
- P. glabra ​memiliki bentuk yang sama dengan ​P.inflata ​namun memiliki pilar.
- P. irregularis ​ memiliki bentuk yang relatif irregular
- P. crassicolumnata m ​ emiliki pilar yang tebal dengan kanal radial yang tipis.
​ ouville, 1905
Spiroclypeus D
Genus ini memiliki morfologi yang hampir sama dengan ​Opercullina n​ amun
dengan septa sekunder yang membentuk chamberlets dan dengan kehadiran kamar
lateral dan dapat memiliki cangkang evolute atau involute.
Pada genus ini terdapat 6 spesies yang dapat diidentifikasi dengan mudah;
- S. vermicularis d​ icirikan dengan kamar lateral dengan garis vermicular pada
sayatan tangensial
- S. plerocentralis ​berbentuk kecil dan tipis, terdapat umbo yang jelas dengan kamar
lateral yang tebal. Dengan kamar lateral yang irregular.
- S. tidoenganensis m ​ emiliki ukuran lebih besar dari ​S. pleurocentralis ​dan memiliki
kamar lateral lebih banyak, dan lebih pipih

- S. margaritatus ​memiliki bentuk bundar, dan kamar lateral yang memendek


- S. lepodi k​ amar berbentuk reticulate dan berukuran kurang dari 2cm dan
membundar. Dan kamar lateral yang bentuk dan ukurannya seragam.
- S. orbitoideus ​merupakan spesies ​Spyroclypeus t​ erbesar yang berukuran leih dari 4
cm.

​ ’Orbigny, 1826
Heterostegina d
Genus ini seperiti ​Spiroclypeus ​namun tidak memiliki kamar lateral. Spesies
dalam genus ini antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut;
- H. praecursor m ​ emiliki cangkang tipis dengan pilar umbonal
- H.bantamensis s​ ama seperti ​H. praecursor n​ amun tidak memiliki pilar umbonal
- H. rulda m ​ eiliki kamar paling dalam yang evolute.
- H. borneensis ​memiliki kamar paling dalam yang involute, biasanya terdapat pilar
sinous gelap
- H. depressa m ​ emiliki umbo yang dikelilingi lapisan tipis pada septa primer dan
sekunder yang terlihat jelas.
- H. reticulate m ​ erupakan ​H.depressa ​yang berumur muda.

Anda mungkin juga menyukai