Edukasi dan promosi kesehatan perlu diberikan pada pasien mencakup seluruh kondisinya,
termasuk penyebab, gejala dan tanda klinis, komplikasi yang mungkin akan dialami,
prognosis, hingga tatalaksana yang akan diberikan. Risiko dan keuntungan terapi yang akan
diberikan harus diinformasikan kepada pasien, termasuk risiko bagi janin walaupun kecil
sekali kemungkinannya. Jika tidak mendesak atau sangat terpaksa, sebaiknya terapi obat-
obatan dihindari selama 10 minggu awal kehamilan.[5]
Edukasi pasien untuk menghindari pemicu mual dan muntah seperti bebauan yang tajam,
panas, kondisi lembab, ruangan pengap, keribuatan, lampu yang berkelap-kelip, cahaya silau,
atau menyupir. Selain itu, pasien juga perlu diedukasi untuk memodifikasi diet.
Modifikasi diet yang perlu dianjurkan pada pasien adalah untuk makan dalam jumlah sedikit
dengan frekuensi sering (small frequent meals). Pasien perlu menghindari makanan yang
pedas dan berlemak serta makanan yang berbau tajam dan dapat merangsang mual. Hindari
makanan kering dan tawar. Makanan lain yang dianjurkan berupa makanan atau minuman
yang mengandung jahe dan peppermint, kaldu, serta biskuit.
Mual dan muntah pada kehamilan merupakan kondisi yang self-limited dan akan hilang
dengan sendirinya pada akhir trimester pertama walaupun ada juga yang berlanjut sampai
pertengahan trimester kedua. Mual dan muntah pada kehamilan dengan derajat yang ringan
sampai sedang tidak menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang berarti, tetapi sering
kali quality of life (QOL) dari perempuan yang mengalaminya akan terganggu. Perempuan
hamil yang mengalami mual dan muntah mayoritas mengaku merasa terganggu dalam
melakukan aktivitas sehari-hari seperti bekerja dan istirahat.
Mortalitas pada hiperemesis gravidarum juga sudah sangat jarang ditemukan dengan tata
laksana rehidrasi intravena yang segera dilakukan. Namun, morbiditas pada hiperemesis
gravidarum masih lebih sering terjadi. Morbiditas tersebut berupa komplikasi maternal dari
hiperemesis gravidarum yang telah dijelaskan sebelumnya yakni gagal ginjal akut, ruptur
diafragma, ruptur esofagus-sindrom Boerhaave, hipoprotrombinemia yang disebabkan
defisiensi vitamin K, anemia yang disebabkan defisiensi folat dan besi, perdarahan robekan
Mallory-Weiss, pneumotoraks, pneumomediastinum, penumoperikardium, ensefalopati
Wernicke yang disebabkan defisiensi thiamin, dan depresi. Untuk janin, kemungkinan yang
akan terjadi adalah berat bayi lahir rendah (BBLR). Kondisi hiperemesis gravidarum tidak
akan sampai abortus dan jarang sekali kondisi ini harus diakhiri dengan terminasi kehamilan.