Anda di halaman 1dari 26

PENERAPAN BIOTEKNOLOGI BIDANG

LINGKUNGAN: FITOREMEDIASI

MAKALAH

diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi


tugas mata kuliah bioteknologi

Oleh
Indah Beti Lestari
0402519013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA


PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, yang atas
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “Penerapan Bioteknologi Bidang Lingkungan:
Fitoremediasi”. Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas dan
persyaratan untuk memenuhi mata kuliah Bioteknologi di Pascasarjana Universitas
Negeri Semarang.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sedalam-
dalamnya kepada Yth :
1. Dr. Noor Aini Habibah, M.Si dan Dr. Yustinus Ulung Anggraito, M.Si
selaku Dosen mata kuliah bioteknologi.
2. Orang tua yang telah membantu baik moril maupun materi.
3. Rekan-rekan satu rombel yang telah memberikan dukungan selama
penyusunan.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari


sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena
itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya
dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami
untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Semarang, 27 Oktober 2020

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat 1 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa pengertian lingkungan adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia
dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Adanya pengaturan perundangan
tentang lingkungan hidup menunjukkan demikian pentingnya lingkungan bagi
kehidupan makhluk hidup. Karena lingkungan yang sehat akan memberikan
dampak bagi kehidupan yang sehat bagi makhluk hidup. Akan tetapi, jika kondisi
lingkungan yang buruk (tidak sehat) maka akan menimbulkan masalah lingkungan.
Salah satu masalah lingkungan yang dirasakan saat ini akibat dari populasi
penduduk yang meningkat sehingga membutuhkan lahan untuk tempat tinggal yang
lebih banyak. Karena hal itu, akhirnya banyak sekali hutan yang dirubah fungsikan
menjadi perumahan-perumahan elit. Selain itu, pola hidup dari manusia seperti
membuang sampan sembarangan dapat mencemari lingkungan.
Pencemaran lingkungan adalah masuknya benda asing atau zat atau
senyawa ke dalam lingkungan yang dapat memengaruhi keseimbangan lingkungan
tersebut. Saat ini, pencemaran sudah memasuki berbagai lingkungan baik
lingkungan perairan, udara, maupun tanah. Misalnya saja dalam hal perairan di
desa-desa yang menjadikan sumur sebagai sumber air bagi penduduknya. Lalu
bagaimana jika sumber air tersebut memberikan warna, rasa dan berbau, padahal
syarat air minum yang baik adalah yang tidak berasa, tidak berbau dan tidak
berwarna. Hal itu dikarenakan adanya zat atau benda asing yang telah mencemari
air sumur tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan pencemaran di lingkungan
air ataupun tanah seperti limbah industri, limbah rumah tangga, galian tambang,
pupuk, pestisida dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, perlu adanya sikap untuk
mengurangi dampak dari pencemaran tersebut tanpa harus menggali atau merusak
lingkungan disekitarnya. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah lingkungan
yang ramah lingkungan adalah fitoremediasi.
Fitoremediasi merupakan suatu sistem dimana tumbuhan itu sendiri dapat
menyerap, mengambil, dan mengubah zat kontaminan (pencemar/ polutan) menjadi
berkurang kadarnya, atau menjadi tidak berbahaya, atau bahkan menjadi bahan
yang dapat digunakan kembali (re-use) (Irawanto & Prastiwi, 2019). Metode
fitoremediasi ini telah terbukti dapat menghancurkan atau menginaktivasi polutan
yang mencemari lingkungan.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka makalah dengan
tema “penerapan bioteknologi bidang lingkungan: fitoremediasi” disusun untuk
mendeskripsikan peranan fitoremediasi dalam mengatasi permasalahan lingkungan
akibat dari kontaminasi unsur atau senyawa yang dapat mengganggu keseimbangan
lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apa pengertian fitoremediasi dan bagaimana prosesnya?
2. Bagaimana penyerapan dan akumulasi logam berat?
3. Apa saja tumbuhan yang digunakan sebagai hiperakumulator?
4. Apa saja kelebihan, kelemahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
fitoremediasi?
5. Bagaimana cara fitoremediasi tanah yang tercemar merkuri?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah:
1. Memahami secara kritis pengertian fitoremediasi dan prosesnya.
2. Memahami secara kritis penyerapan dan akumulasi logam berat.
3. Menganalisis tumbuhan yang digunakan sebagai hiperakumulator.
4. Memahami kelebihan, kelemahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
fitoremediasi.
5. Mengetahui cara fitoremediasi tanah yang tercemar merkuri?
BAB II
METODE

2.1 Proses Fitoremediasi


Proses fitoremediasi secara umum dibedakan berdasarkan mekanisme
fungsi dan struktur tumbuhan. US EPA (1999, 2005) dan ITRC (2001) secara
umum membuat klasifikasi proses sebagai berikut.
1. Fitostabilisasi (Phytostabilization)
Akar tumbuhan melakukan imobilisasi polutan dengan cara mengakumulasi,
mengadsorpsi pada permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan
dalam zona akar. Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-
zat anorganik. Spesies tumbuhan yang biasa digunakan adalah berbagai jenis
rumput, bunga matahari, dan kedelai.

Gambar 1. Proses Fitostabilisasi Kontaminan (Sumber: ITRC, 2001)


2. Fitoekstraksi/Fitoakumulasi (Phytoextraction/Phytoaccumulation)
Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam
organ tumbuhan. Proses ini cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat
anorganik. Spesies tumbuhan yang dipakai adalah sejenis hiperakumulator
misalnya pakis, bunga matahari, dan jagung. Pada umumnya tumbuhan yang
cocok untuk fitoekstraksi harus abadi dan toleran terhadap biotik dan abiotik
lokal stres, produktif biomassa tinggi, dan lebih baik yang tidak dapat dimakan
(Zhao et al., 2019).
Gambar 2. Proses Fitoekstraksi/Fitoakumulasi Kontaminan (Sumber: ITRC, 2001)

3. Rizofiltrasi (Rhizofiltration)
Akar tumbuhan mengadsorpsi atau presipitasi pada zona akar atau
mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar ke dalam akar. Proses ini digunakan
untuk bahan larutan sehingga untuk kompos tidak memerlukan proses
rizofiltrasi. Tetapi untuk lindi yang terbentuk dalam proses pengomposan
primer maka rizofiltrasi sangat tepat diterapkan. Spesies tumbuhan yang
fungsional adalah rumput air seperti Cattail dan eceng gondok.

Gambar 3. Proses Rizofiltrasi Kontaminan (Sumber: ITRC, 2001)

4. Fitodegradasi/Fitotransformasi (Phytodegradation/Phytotransformation)
Organ tumbuhan menguraikan polutan yang diserap melalui proses
metabolisme tumbuhan atau secara enzimatik. Zat organik fenol (mungkin
terbentuk pada pengomposan daun berkandungan lignin) adalah tepat
menggunakan proses ini. Spesies tumbuhan yang bisa digunakan adalah
berbagai jenis rumput.
Gambar 4. Proses Fitodegradasi Kontaminan (Sumber: ITRC, 2001)

5. Rizodegradasi (Rhizodegradation/ Enhanced Rhizosphere Biodegradation/


Phytostimulation/ Plant-Assisted Bioremediation/ Degradation)
Polutan diuraikan oleh mikroba dalam tanah, yang diperkuat/sinergis oleh
ragi, fungi, dan zat-zat keluaran akar tumbuhan (eksudat) yaitu gula, alkohol,
asam. Eksudat itu merupakan makanan mikroba yang menguraikan polutan
maupun biota tanah lainnya. Proses ini adalah tepat untuk dekontaminasi zat
organic. Spesies tumbuhan yang bisa digunakan adalah berbagai jenis rumput.

Gambar 5. Proses Rizodegradasi Kontaminan (Sumber: ITRC, 2001)

6. Fitovolatilisasi (Phytovolatilization)
Penyerapan polutan oleh tumbuhan dan dikeluarkan dalam bentuk uap cair ke
atmosfer. Kontaminan bisa mengalami transformasi sebelum lepas ke
atmosfer. Kontaminan zat-zat organic adalah tepat menggunakan proses ini.
Spesies tumbuhan yang bisa digunakan adalah tumbuhan kapas dan pakis.
Gambar 6. Proses Fitovolatilisasi Kontaminan (Sumber: ITRC, 2001)

2.2 Fitoremediasi Tanah yang Tercemar Merkuri


2.2.1. Persiapan tanah yang terkontaminasi dan percobaan pot
Tanah yang digunakan untuk percobaan pot adalah tanah ungu pada
kedalaman 0–30 cm dikumpulkan dari ladang sayuran yang tidak tercemar merkuri.
Larutan HgNO3 (18,2 mg L − 1, 10 L) ditambahkan ke tanah ungu secara artifisial.
Setelah dua bulan untuk stabilisasi, 3 kg tanah tercemar merkuri ditambahkan ke
setiap pot. Ada total 15 pot. Bibit Oxalis corniculata dikumpulkan dari tanah liar
yang tidak tercemar oleh merkuri dan dipindahkan ke pot percobaan. Itu bibit dibagi
menjadi lima kelompok identik dengan 3 ulangan dalam setiap kelompok. Mereka
kemudian diirigasi dengan air, atau larutan yang mengandung Na2S2O3, (NH4)
2S2O3, EDTA atau DTPA tergantung pada kondisi cuaca. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa 0,1 mol L − 1 adalah yang optimal konsentrasi empat solusi
untuk mengubah logam yang kurang tersedia secara hayati fraksi menjadi fraksi
yang tersedia secara hayati. Karena itu, kelompok 1 bibit diairi secara normal
dengan air setiap kali bibit dalam kelompok 2-5 diirigasi dengan larutan 0,1 mol L-
1 Na2S2O3, (NH4) 2S2O3 EDTA atau DTPA. Bibit Oxalis corniculata ditanam di
bawah cahaya alami dan suhu lingkungan terlindung dari hujan dengan suhu harian
rata-rata 12–26 ℃ dan kelembapan 65–80%. Laju pertumbuhan di setiap pot
dilakukan secara teratur tercatat.
2.2.2 Analisis tanah
Tiga sampel representatif dari tanah yang terkontaminasi digunakan untuk
pot percobaan dikumpulkan, dikeringkan dengan udara dan digiling sampai 2 mm
sebelumnya analisis kimia. PH (padatan: air deionisasi = 1: 2 b / v) tanah diukur
menggunakan pengukur pH elektroda kaca (PHS-2F, Shanghai Instrumen Ilmiah
Listrik Co Ltd, Shanghai, Cina). Analisis kapasitas tukar kation dan kandungan
bahan organik menggunakan metode standar (HJ / T 166, 2004). Tanah yang
terkontaminasi dianalisis untuk merkuri dengan spektrometri serapan atom uap
dingin (CVAAS, AA-6300, P / N 206–51800, Shimadzu Corporation, Kyoto,
Jepang). Penguraian sampel tanah dilakukan dengan menggunakan campuran
sulfur dan asam nitrat. Analisis morfologi merkuri dicapai dengan menggunakan
metode ekstraksi tanah sekuensial 5 langkah. Kandungan merkuri total dalam tanah
diuji setiap 20 kali hari dengan percobaan yang berlangsung selama dua bulan. Ada
tiga sampel tanah perwakilan di setiap kelompok setiap 20 hari untuk pengukuran.
Satu sampel tanah di setiap pot dikumpulkan. Analitis pengendalian mutu metode
dievaluasi dalam rangkap tiga dengan sertifikasi material untuk tanah / sedimen
(CRM 008–050, 720 ng Hg g − 1), dan persentase pemulihan adalah 97%. Batas
deteksi untuk THg sebelumnya 14 ng g − 1 dw (dasar berat kering), dihitung tiga
kali standar deviasi (SD) kosong.
2.2.3. Analisis tumbuhan
Beberapa bibit Oxalis corniculata di setiap kelompok dipanen setiap 20 hari
untuk analisis biomassa dan logam berat. Ada tiga representatif contoh tanaman
(akar, batang, daun) pada setiap kelompok masing-masing 20 hari untuk
pengukuran. Satu sampel tanaman di setiap pot dikumpulkan. Total periode
percobaan adalah 2 bulan. Seluruh pabrik itu dipisahkan menjadi akar, batang dan
daun untuk bioakumulasi dan translokasi analisis merkuri. Semua bagian dicuci
dengan sangat hati-hati air deionisasi tiga kali dan dipertahankan dalam pencucian
getaran perangkat selama setidaknya 10 menit, oven dikeringkan pada 50 ℃ dan
kemudian konstan bobot kering dicatat. Bahan tanaman yang dikeringkan
dihancurkan dan diletakkan dalam ukuran yang sesuai untuk analisis merkuri.
Sampel tanaman dicerna dalam campuran asam asam sulfat dan asam nitrat sebagai
uji tanah. Akar, batang dan daun kemudian dianalisis untuk merkuri dengan
spektrometri serapan atom uap dingin (CVAAS, AA-6300, P / N 206–51800,
Shimadzu Corporation, Kyoto, Jepang). Pengendalian kualitas analitik dari metode
dievaluasi dalam rangkap tiga dengan bahan bersertifikat untuk daun tomat (CRM
1753a, 34 ng g − 1), dan persentase pemulihannya adalah 98%. Batas deteksi untuk
THg sebelumnya 14 ng g − 1 dw (dasar berat kering), dihitung tiga kali standar
deviasi (SD) kosong. Kemampuan Ekstrak Oxalis corniculate merkuri dari tanah
yang terkontaminasi dievaluasi dengan rasio sisa, rasio translokasi dan koefisien
pengayaan. Rasio sisa dan rasio translokasi dihitung dengan Persamaan. (1) dan
Persamaan. (2).
𝐾𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑟𝑘𝑢𝑟𝑖 𝑑𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚
Rasio sisa = 𝐾𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑟𝑘𝑢𝑟𝑖 𝑑𝑖 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚 X 100% (1)
𝐾𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑟𝑘𝑢𝑟𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑢𝑐𝑢𝑘 𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚𝑎𝑛
Rasio Translokasi = X 100% (2)
𝐾𝑎𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑟𝑘𝑢𝑟𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑎𝑘𝑎𝑟 𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚𝑎𝑛

Selain Oxalis corniculate L, bisa juga menggunakan beberapa tumbuhan berikut :


Paspalum conjugatum; Miscanthus sinensis; Eichhornia crassipes; Brassica
juncea; Lolium perenne-Mycorrhizae.
2.2.4. Analisis sebaran mikroorganisme rhizosfer tumbuhan
Tiga sampel representatif dari tanah dan rizosfer yang terkontaminasi tanah
Oxalis corniculata, dan Oxalis corniculata diolah dengan Na2S2O3, (NH4) 2S2O3,
EDTA dan DTPA solusi setelah 60 hari dikumpulkan dan digiling hingga 2 mm
sebelum analisis. Total DNA mikroorganisme tanah genom diekstraksi
menggunakan kit pemisahan gen tanah (Kat. No. SK8263, Sangon Biotech,
Shanghai, Cina). DNA kemudian dilarutkan dalam 70 μL aseptic TE buffer (10
mmol L − 1 Tris-HCl, 1 mmol L – 1 EDTA, pH 8,0). Konsentrasi dan kemurnian
DNA diukur dengan mikro spektrofotometer ultraviolet (nanodrop 2000c, Thermo
Scientific, Massachusetts, AS). Pengurutan Illumina didasarkan pada teknologi
pengurutan oleh sintesis Solexa. Total DNA yang diekstraksi dari sampel
diamplifikasi dengan 16 S Rrna set primer region gen V4 dengan primer maju 515
F (5′-GTGCCAGCMGCCGCGGTAA-3 ′) dan primer terbalik 806 R (5′-
GGACTACHVGGGTWTCTAAT-3 ′). Transkripsi balik dilakukan menggunakan
kit reagen PrimeScript ™ RT (No. Cat RR047A; Takara, Otsu, Jepang) setelah
persiapan total RNA. Prosedur PCR kemudian diterapkan DNA. Dilakukan
sekuensing amplikon PCR gen 16 S rRNA menggunakan instrumen pengurutan
(NextSeq. 500, Illumina Inc., Delaware, AMERIKA SERIKAT). Kondisi sebaran
mikroorganisme rhizosfer tumbuhan dievaluasi dengan indeks Shannon-Weiner
dan kemerataan. Mereka dihitung menggunakan Persamaan. (3) dan Persamaan.
(4).

(3)

(4)
dimana H adalah indeks Shannon-Weiner, S adalah banyaknya semua spesies, Pi
adalah proporsi spesies i di semua spesies, E adalah kemerataan.
2.2.5. Analisis statistik
Analisis Hg pada tanaman dan tanah dilaporkan sebagai mean ± SD dari
penentuan rangkap tiga dari tiga tanaman dan tiga tanah. Data diserahkan ke tes
ANOVA, dan perbandingan rata-rata dilakukan bila diperlukan menggunakan tes
Tukey. Semua analisis statistik dilakukan menggunakan paket statistik SPSS (SPSS
16.0; IBM, USA). Analisis varians dan nilai rata-rata dihitung menggunakan paling
tidak signifikan uji perbedaan pada p <0,05.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Fitoremediasi


Phyto berasal dari kata Yunani/ greek “phyton” yang berarti tumbuhan/
tanaman (plant), Remediation asal kata latin remediare (to remedy) yaitu
memperbaiki/ menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Jadi Fitoremediasi
(Phytoremediation) merupakan suatu sistem dimana tanaman tertentu yang
bekerjasama dengan micro-organisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat
mengubah zat kontaminan (pencemar/ pollutan) menjadi kurang atau tidak
berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi.

Gambar 7. Fitoremediasi
Fitoremediasi merupakan salah satu teknologi yang secara biologi yang
memanfaatkan tumbuhan atau mikroorganisme yang dapat berasosiasi untuk
mengurangi polutan lingkungan baik pada air, tanah dan udara yang diakibatkan
oleh logam atau bahan organik. Salah satu keuntungan utama dari fitoremediasi
adalah biaya yang relatif rendah dibandingkan dengan metode perbaikan lainnya
seperti penggalian. Dalam banyak kasus fitoremediasi telah ditemukan kurang dari
setengah harga dari metode alternatif. Fitoremediasi juga menawarkan remediasi
permanen bukan sekadar pemindahan masalah.
Namun fitoremediasi bukan tanpa kesalahan, itu adalah proses yang
bergantung pada kedalaman akar dan toleransi tanaman terhadap kontaminan.
Paparan dari hewan ke tanaman yang bertindak sebagai hyperaccumulators juga
dapat menjadi perhatian lingkungan sebagai hewan herbivora dapat terakumulasi
mengkontaminasi partikel dalam jaringan mereka yang pada gilirannya dapat
mempengaruhi rantai makanan secara keseluruhan. Fitoremediasi adalah proses
bioremediasi yang menggunakan berbagai tanaman untuk menghilangkan,
memindahkan, dan atau menghancurkan kontaminan dalam tanah dan air bawah
tanah. Konsep penggunaan tanaman untuk penanganan limbah dan sebagai
indikator pencemaran udara dan air sudah lama ada, yaitu fitoremediasi dengan
sistem lahan basah, lahan alang-alang dan tanaman apung. Selanjutnya konsep
fitoremediasi berkembang untuk penanganan masalah pencemaran tanah (Subroto,
1996).

Gambar 8. Mekanisme Fitoremediasi


Fitoremediasi teknologi saat ini tersedia untuk hanya sebagian kecil masalah
polusi, seperti arsenik. Pengurangan arsen mempekerjakan alami dipilih pakis
hiperakumulator, yang menghimpun konsentrasi yang sangat tinggi arsenik khusus
pada jaringan atas tanah. Elegan dua gen pendekatan transgenik telah dirancang
untuk pengembangan teknologi fitoremediasi merkuri atau arsen. Pada tanaman
yang secara alami hyperaccumulates seng dalam daun, sekitar sepuluh gen logam
kunci homeostasis disajikan pada tingkat yang sangat tinggi. Ini menguraikan
tingkat perubahan dalam kegiatan gen yang dibutuhkan dalam rekayasa tanaman
transgenik untuk tanah pembersihan.
Fitoremediasi menggunakan bantuan tumbuhan atau tanaman untuk
membersihkan lingkungan yang tercemar atau polutan berbahaya (logam berat,
pestisida, dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air) karena biayanya
murah. Beberapa jenis tanaman tingkat tinggi memiliki kemampuan untuk
mengakumulasi logam berat dalam kisaran yang tinggi sehingga disebut sebagai
tanaman yang toleran terhadap logam berat. Lokasi akumulasi logam berat pada
tanaman terdistribusi hampir di seluruh bagian tanaman, yaitu akar, daun, dan
bunga.

3.2 Penyerapan dan Akumulasi Logam Berat


Lingkungan, jika dipandang sebagai medium fisik tempat tersebarnya bahan
kimia, dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu air, tanah, dan udara. Di dalam tanah
yang merupakan bahan padat juga terdiri dari air, bahan organik, bahan mineral,
dan udara sehingga perubahan sifat dari air serta udara di dalam tanah akan
berpengaruh terhadap tanah tersebut. Apabila tanah dialiri oleh air, maka sifat kimia
air akan berpengaruh terhadap tanah (Pranoto, 2000). Ketiga komponen abiotik
yang saling berkaitan tersebut merupakan komponen penting di alam, baik dalam
kehidupan manusia maupun keseluruhan ekosistem. Air merupakan sumber daya
alam yang diperlukan oleh semua makhluk hidup (Effendi, 2003). Bagi manusia,
fungsi air sangat vital. Manusia membutuhkan air untuk konsumsi rumah tangga di
antaranya untuk minum, masak cuci, dan mandi (Nusanthary et al., 2012).
Di samping peranannya yang penting, air sering tercemar oleh komponen-
komponen anorganik, di antaranya berbagai logam berat yang berbahaya (Fardiaz,
1992). Ditinjau dari segi potensi pencemaran lingkungan, logam berat dapat
dibedakan atas tiga golongan: (1) logam berat yang bersifat racun kritis, yaitu Na,
K, Mg, Ca, Fe, S, C, P, Cl, Br, Li, Rb, Sr, Al dan Si. (2) logam berat beracun tetapi
jarang ditemukan seperti, Ti, Zr, W, N, Ta, Ga, La, Os, Rh, Ir, Ru, dan Ba. (3) logam
berat sangat beracun dan relatif sering ditemukan seperti, Be, Co, Ni, Cu, Zn, As,
Sc, Pd, Ag, Cd, Pt, Au, Hg, Pb, Sb dan Bi (Surtiningsih, 1999).
Tembaga (Cu) merupakan logam berat esensial bagi tanaman dan dapat
dijumpai pada perairan alami (Darmono, 1995). Tembaga dan berbagai logam berat
lainnya juga dapat ditemui di kerak bumi dan muncul ke permukaan karena adanya
aktifitas gunung api (Surbakti, 2011). Tembaga berguna untuk pertumbuhan
jaringan tanaman terutama daun sebagai tempat terjadinya fotosintesis
(Kamaruzzaman et al., 2009). Pada umumnya kadar tembaga dalam jaringan
tanaman berkisar 5-25 ppm. Namun, pada konsentrasi yang tinggi, tembaga dapat
bersifat toksik bagi tumbuhan (Liestianty et al., 2014). Ion Cu dapat terikat pada
sel-sel membran yang menyebabkan terhambatnya proses-proses transport melalui
dinding sel tumbuhan (Lutfi, 2009). Selain itu, tembaga dalam jumlah yang
berlebihan juga berbahaya bagi manusia karena dapat mengakibatkan kerusakan
hati (Darmono, 1995) dan bersifat karsinogenik (Liestianty et al., 2014). Ambang
batas normal kadar tembaga dalam air adalah 3 mg/L atau 3 ppm. Sumber
pencemaran tembaga yang berasal dari industri antara lain limbah industri soda
kostik/khlor, pelapisan logam, cat, dan pestisida (KepMenLH No. 51 Tahun 1995
Tentang baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri). Sementara itu, Lutfi
(2009) menambahkan, sumber pencemaran tembaga juga berasal dari limbah
penambangan dan pencucian mineral.

Gambar 9. Baku Mutu Limbah Cair (Sumber: KepMenLH No. 51 Tahun


1995 Tentang baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri
Selain Cu, juga ada merkuri (Hg) sebagai elemen berpotensi toksik non-
esensial yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Beberapa
studi penelitian telah melaporkan penambangan batubara sebagai sumber potensial
kontaminasi Hg untuk tanah di sekitarnya. Jadi, akumulasi Hg di tanah adalah
masalah yang sangat memprihatinkan karena itu dapat menyebabkan penurunan
produksi tanaman di areal lahan pertanian dan berbagai gangguan kesehatan di
antara makhluk hidup (Raj, Kumarb & Maiti, 2020). Akumulasi dan penyebaran
logam ini dapat dibuktikan di tanah gambut. Ketika merkuri dioksidasi menjadi Hg
anorganik (II) itu diendapkan di tanah dan lautan, kemudian diangkut dalam jarak
jauh sehingga terjadi penumpukan di tanah dan sedimen yang bisa melebihi
konsentrasi pra-industri sebanyak 2-5 kali (Leudo et al., 2020). Bahkan Merkuri
diklasifikasikan sebagai polutan prioritas oleh organisasi utama seperti Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat dan
Kementerian Perlindungan Lingkungan Hidup Rakyat Republik Tiongkok (Liua,
Wang, Ding & Xiao, 2018).
Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran logam berat
adalah menggunakan tanaman (Setyaningsih, 2007). Tanaman hiperakumulator
dapat digunakan untuk mengekstraksi atau menghilangkan logam yang mencemari
tanah (Ustiatik et al., 2020). Menurut Subroto (1996), pemanfaatan tanaman untuk
menyerap logam berat disebut fitoremediasi. Lengkapnya, fitoremediasi adalah
upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah dan
masalah-masalah pencemaran lingkungan, baik secara ex-situ (menggunakan
kolam buatan atau reaktor) maupun in-situ (langsung di lokasi tercemar).
Menurut Priyanto dan Prayitno (2007), penyerapan dan akumulasi logam
berat oleh tanaman dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, sebagai
berikut.
1. Penyerapan oleh akar.
Agar tanaman dapat menyerap logam, maka logam harus dibawa ke dalam
larutan di sekitar akar (rizosfer) dengan beberapa cara bergantung pada
spesies tanaman. Senyawa-senyawa yang larut dalam air biasanya diambil
oleh akar bersama air, sedangkan senyawa-senyawa hidrofobik diserap oleh
permukaan akar.
2. Translokasi logam dari akar ke bagian tanaman lain.
Setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain
mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan
pengangkut (xilem dan floem) ke bagian tanaman lainnya.
3. Lokalisasi logam pada sel dan jaringan.
Hal ini bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat metabolisme
tanaman. Sebagai upaya untuk mencegah peracunan logam terhadap sel,
tanaman mempunyai mekanisme detoksifikasi, misalnya dengan menimbun
logam di dalam organ tertentu seperti akar.

3.3 Tumbuhan Sebagai Hiperakumulator


Secara alami tumbuhan memiliki beberapa keunggulan, yaitu: (i) Beberapa
famili tumbuhan memiliki sifat toleran dan hiperakumulator terhadap logam berat,
(ii) Banyak jenis tumbuhan dapat merombak polutan, (iii) Pelepasan tumbuhan
yang telah dimodifikasi secara genetik ke dalam suatu lingkungan relatif lebih
dapat dikontrol dibandingkan dengan mikrob, (iv) Tumbuhan memberikan nilai
estetika, (v) Dengan perakarannya yang dapat mencapai 100 x 106 km akar per
ha, tumbuhan dapat mengadakan kontak dengan bidang tanah yang sangat luas
dan penetrasi akar yang dalam, (vi) Dengan kemampuan fotosintesis, tumbuhan
dapat menghasilkan energi yang dapat dicurahkan selama proses detoksifikasi
polutan, dan (vii) Asosiasi tumbuhan dengan mikrobia memberikan banyak nilai
tambah dalam memperbaiki kesuburan tanah.
Semua tumbuhan memiliki kemampuan menyerap logam tetapi dalam
jumlah yang bervariasi. Sejumlah tumbuhan dari banyak famili terbukti memiliki
sifat hipertoleran, yakni mampu mengakumulasi logam dengan konsentrasi tinggi
pada jaringan akar dan tajuknya, sehingga bersifat hiperakumulator. Sifat
hiperakumulator berarti dapat mengakumulasi unsur logam tertentu dengan
konsentrasi tinggi pada tajuknya dan dapat digunakan untuk tujuan fitoekstraksi.
Dalam proses fitoekstraksi ini logam berat diserap oleh akar tanaman dan
ditranslokasikan ke tajuk untuk diolah kembali atau dibuang pada saat tanaman
dipanen.
Mekanisme biologis dari hiperakumulasi unsur logam pada dasarnya
meliputi proses-proses: (i) Interaksi rizosferik, yaitu proses interaksi akar tanaman
dengan media tumbuh (tanah dan air). Dalam hal ini tumbuhan hiperakumulator
memiliki kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada rizosfer dan menyerap
logam bahkan dari fraksi tanah yang tidak bergerak sehingga menjadikan
penyerapan logam oleh tumbuhan hiperakumulator melebihi tumbuhan normal,
(ii) Proses penyerapan logam oleh akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih
cepat dibandingkan tumbuhan normal, terbukti dengan adanya konsentrasi logam
yang tinggi pada akar. Akar tumbuhan hiperakumulator memiliki daya selektifitas
yang tinggi terhadap unsur logam tertentu, (iii) Sistem translokasi unsur dari akar
ke tajuk pada tumbuhan hiperakumulator lebih efisien dibandingkan tanaman
normal. Hal ini dibuktikan oleh konsentrasi logam tajuk/ akar pada tumbuhan
hiperakumulator lebih dari satu. Karakteristik tumbuhan hiperakumulator adalah:
(i) Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan
tajuk, (ii) Tingkat laju penyerapan unsur dari tanah yang tinggi dibanding tanaman
lain, (iii) Memiliki kemampuan mentranslokasi dan mengakumulasi unsur logam
dari akar ke tajuk dengan laju yang tinggi. Banyak jenis tumbuhan berpembuluh
(vascular plants) ditemukan mempunyai kemampuan untuk mengakumulasikan
logam berat (metal hyperaccumulator plants). Lebih dari 400 jenis tumbuhan telah
ditemukan mempunyai kemampuan hiperakumulator termasuk anggota famili
Asteraceae, Brassicaceae, Caryophyllaceae, Cyperaceae, Cunouniaceae,
Fabaceae, Flacourtiaceae, Lamiaceae, Poaceae, Violaceae dan Euphorbiaceae.
Tumbuhan yang termasuk hiperakumulator adalah anturium merah/ kuning,
alamanda kuning/ ungu, akar wangi, bambu air, cana presiden merah/ kuning/
putih, dahlia, dracenia merah/hijau, helikonia kuning/ merah, jaka, keladi loreng/
sente/ hitam, kenyeri merah/putih, lotus kuning/ merah, onje merah, pacing merah/
mutih, padi-padian, papirus, pisang mas, ponaderia, sempol merah/ putih, spider
lili, dan lain-lain. Beberapa tumbuhan air yang sering digunakan dalam
pengolahan air limbah adalah eceng gondok, kangkung air, dan kayu apu. Ketiga
tumbuhan air ini banyak terdapat di perairan air tawar dan pada beberapa
penelitian yang sudah dilakukan (Suryanti dan Budhi (2003); Sooknah dan Wilkie,
2004) menunjukkan bahwa ketiganya memiliki kemampuan yang cukup baik
dalam pengolahan air limbah.
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tumbuhan gulma yang
memiliki kecepatan tumbuh dan berkembang biak yang tinggi, baik secara
vegetatif maupun generatif. Spesies ini hidup terapung di wilayah periaran dalam
(Gunawan, 2007). Eichhornia crassipes memiliki kemampuan untuk menyerap
logam-logam berat termasuk Cu dengan cara melakukan penyerapan melalui
permukaan sel (Syahputra, 2005).

Gambar 10. Eceng Gondok

Kangkung air (Ipomoea aquatica) merupakan tanaman air yang banyak


tumbuh pada saluran buangan limbah cair sekitar pemukiman. Tanaman ini
memiliki daya adaptasi yang cukup luas karena dapat hidup pada berbagai kondisi
iklim dan di berbagai habitat. Ipomoea aquatica merupakan salah satu dari banyak
spesies tanaman yang digunakan untuk menguji kemampuan fitoremediasi karena
tanaman ini mampu mengakumulasi logam berat seperti Zn, Cu, dan Pb pada
konsentrasi tinggi (Lestari, 2013).

Gambar 11. Kangkung Air


Kayu apu (Pistia stratiotes) merupakan salah satu gulma padi yang
menempati urutan ketiga di Asia Tenggara (Kao et al., 2001). Tanaman ini juga
banyak dijumpai pada kolam-kolam air tawar, menempati permukaan dari perairan
tersebut karena tanaman ini tergolong floating aquatic plant (Safitri, 2009).
Tumbuhan ini memiliki akar panjang, lebat, bercabang halus, dan sistem
perakarannya luas (Kao et al., 2001). Pistia stratiotes memiliki tingkat
pertumbuhan tinggi dan diketahui mempunyai kemampuan hiperakumulator untuk
menyerap logam berat, seperti Zn, Cu, dan Cr (Safitri, 2009).

Gambar 12. Kayu Apu

3.4 Kelebihan, Kelemahan dan Faktor yang Memengaruhi


Fitoremediasi
Menurut US Environmental Protection Agency (1998), metode
fitoremediasi mempunyai beberapa kelebihan, antara lain bisa dilakukan dengan
teknologi in-situ, tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan, dapat
diterima oleh masyarakat awam, modal proses relatif kecil, dan biaya yang
dibutuhkan relatif kecil. Cara ini dapat menurunkan biaya pembersihan
lingkungan menjadi sekitar 2-6 US$ per seribu galon air. Metode fitoremediasi
paling sedikit sepuluh kali lebih murah daripada metode pengangkatan dan
pengangkutan limbah berbahaya ke tempat pembuangan dan menjadikannya
konsentrat padat (Miller, 1996).
Akan tetapi, US Environmental Protection Agency (1998) menambahkan,
metode fitoremediasi juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu proses
pembersihan yang diperlukan relatif lama, logam yang terakumulasi pada tanaman
dapat memasuki rantai makanan apabila tanaman tersebut termakan oleh mahluk
hidup, keefektifannya dipengaruhi musim, serta tingginya kemungkinan serangan
hama dan penyakit tanaman, dan apabila konsentrasi kontaminan tinggi dapat
menyebabkan fitotoksik dan menghambat pertumbuhan tanaman.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan fitoremediasi yaitu
kemampuan daya akumulasi berbagai jenis tanaman untuk berbagai jenis polutan
dan konsentrasi; sifat kimia dan fisika, serta sifat fisiologi tanaman; jumlah zat
kimia berbahaya; mekanisme akumulasi dan hiperakumulasi ditinjau secara
fisiologi, biokimia, dan molekular; serta konsentrasi limbah yang digunakan
(Kurniawan, 2008).

3.5 Fitoremediasi tanah yang tercemar merkuri


Merkuri diklasifikasikan sebagai polutan prioritas oleh organisasi utama
seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Badan Perlindungan Lingkungan
Amerika Serikat dan Kementerian Perlindungan Lingkungan Hidup Rakyat
Republik Tiongkok (Liua, Wang, Ding & Xiao, 2018). Fitoremediasi adalah
pendekatan alternatif untuk dekontaminasi tanah, dan bisa digunakan untuk
meminimalkan tingkat pencemaran Hg dalam tanah. Ion merkuri (Hg2 +) di dalam
tanah bisa diambil oleh tanaman yang menyebabkan keracunan. Adanya merkuri di
media tanam menghambat pertumbuhan dan komposisi biokimia benih. Tanaman
hiperakumulator dapat digunakan untuk mengekstraksi atau menghilangkan logam
yang mencemari tanah. Tanaman yang digunakan: Paspalum conjugatum;
Miscanthus sinensis; Oxalis corniculata L; Brassica juncea; Lolium perenne-
Mycorrhizae.
1. Paspalum conjugatum dapat meningkatkan akumulasi merkuri pada tanaman
sehingga mengurangi 18-20% kandungan merkuri di dalamnya tanah yang
tercemar tailing tambang emas.
2. Miscanthus sinensis dapat menurunkan maksimum 27% - 32%.
3. Oxalis corniculata yang diolah dengan Na2S2O3 memiliki potensi untuk
memulihkan dan merebut kembali tanah yang terkontaminasi merkuri sebesar
26.1607%.
4. Brassica juncea dapat bertahan di bawah kontaminasi Hg yang tinggi dan dapat
menunjukkan potensi besar untuk fitostabilisasi Hg bila ditanam di bawah
100mg/kg tanah Hg tanpa menunjukkan efek merugikan yang signifikan pada
tanaman.
5. Lollium perenne mungkin merupakan alternatif yang baik menghilangkan
merkuri dari tanah.

Gambar 13. Paspalum conjugatum dan Miscanthus sinensis

Gambar 14. Oxalis corniculate dan Brassica juncea

Gambar 15. Lollium perenne


BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Fitoremediasi merupakan salah satu teknologi yang secara biologi yang
memanfaatkan tumbuhan atau mikroorganisme yang dapat berasosiasi
untuk mengurangi polutan lingkungan baik pada air, tanah dan udara yang
diakibatkan oleh logam atau bahan organik. Proses fitoremediasi secara
umum dibedakan berdasarkan mekanisme fungsi dan struktur tumbuhan,
meliputi: Phytoacumulation, Rhizofiltration, Phytostabilization,
Rhizodegradation, Phytodegradation, dan Phytovolatization.
2. Penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tanaman dapat dibagi menjadi
tiga proses yang sinambung, yaitu: penyerapan oleh akar, translokasi logam
dari akar ke bagian tanaman lain dan lokalisasi logam pada sel dan jaringan.
3. Semua tumbuhan memiliki kemampuan menyerap logam tetapi dalam
jumlah yang bervariasi. Sejumlah tumbuhan dari banyak famili terbukti
memiliki sifat hipertoleran, yakni mampu mengakumulasi logam dengan
konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuknya, sehingga bersifat
hiperakumulator. Sifat hiperakumulator berarti dapat mengakumulasi unsur
logam tertentu dengan konsentrasi tinggi pada tajuknya dan dapat
digunakan untuk tujuan fitoekstraksi.
4. Menurut US Environmental Protection Agency (1998), metode
fitoremediasi mempunyai beberapa kelebihan, kelemahan dan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilannya.
5. Tanaman (Paspalum conjugatum; Miscanthus sinensis; Oxalis corniculata
L; Brassica juncea; Lolium perenne-Mycorrhizae) merupakan alternatif
yang baik menghilangkan merkuri dari tanah. Dari beberapa tanaman yang
digunakan, yang menunjukkan hasil penurunan merkuri yang paling tinggi
ialah Miscanthus sinensis (27 – 32 %).
DAFTAR PUSTAKA

Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press. Jakarta.
Dewi, Y.S. dan Gultom, Y.H. 2009. Pemanfaatan Algae Chlorella sp.
dan Eceng Gondok untuk Menurunkan Tembaga (Cu) pada Industri
Pelapisan Logam. Skripsi. Teknik Kimia UNDIP. Semarang.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Kanisius. Yogyakarta.

ITRC. 2001. Technical and Regulatory Guidance Document: Phytotechnology.


Interstate Technology Regulatory Council. USA.

Gunawan, P. 2007. Pengolahan Eceng Gondok sebagai Bahan Baku Kertas Seni.
Balai Litbang Kehutanan Sumatera. Padang.

Irawanto, R., & Prastiwi, E.A. 2019. Persepsi Penerapan Fitoremediasi melalui
Taman Tematik Akuatik di Kebun Raya Purwodadi. Proceeding Biology
Education Conference, 16 (1): 229-234.

Kamaruzzaman, B.Y., Ong, M.C., Jalal, K.C.A., Shahbudin, S., dan Nor, O.M.
2009. Accumulation of Lead and Copper in Rhizophora apiculata from
Setiu Mangrove Forest, Terengganu, Malaysia. Journal of Environmental
Biology 30 (5): 821-824.

Keputusan Mentri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995 Tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.

Kurniawan, A. 2006. Studi Kemampuan Penyerapan Unsur Hara (N dan P) oleh


Gracillaria sp. Dalam Skala Laboratorium. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Bogor.

Lestari, W. 2013. Penggunaan Ipomoea aquatica Forsk. untuk Fitoremediasi


Limbah Rumah Tangga. Prosiding Semirata. FMIPA Universitas
Lampung. Lampung.

Leudo, Ana M., Yuby Cruz, Carolina Montoya-Ruiz, María del Pilar Delgado &
Juan F. Saldarriaga. 2020. Mercury Phytoremediation with Lolium
perenne-Mycorrhizae in Contaminated Soils. Sustainability, 12(9).

Liestianty, D., Muliadi, Novita, A.N., dan Yanny. 2014. Biogeokimia logam
tembaga (Cu): Phytoakumulasi, Distribusi dan Immobilisasi
Menggunakan Limbah serbuk Gergaji dalam Soil-Plant System. Prosiding
Seminar Nasional Geofisika 2014. Makassar.
Liua, Zhongchuang, Li-ao Wang, Shimin Dinga & Hongyan Xiao. 2018. Enhancer
assisted-phytoremediation of mercury-contaminated soils by Oxalis
corniculata L., and rhizosphere microorganism distribution of Oxalis
corniculata L. Ecotoxicology and Environmental Safety

Lutfi, A. 2009. Bahan Pencemar Air. http://www.chem-is-


try.org/materi_kimia/kimia-lingkungan/pencemaran-air/sumber-dan-
bahan- pencemar-air/.

Miller. 1996. Ground Water Remediation. http:// www.gwrtac.org.

Nusanthary, D.L., Colby, E.R., dan Santosa, H. 2012. Pengolahan Air Limbah
Rumah Tangga secara Biologis dengan Media Lumpur Aktif: Suatu Usaha
Pemanfaatan Kembali Air Limbah Rumah Tangga untuk Kebutuhan
Mandi dan Cuci. J Teknik Kimia dan Industri Vol. 1 (1) : 454-460.

Pranoto. 2000. Pencemaran Lingkungan dan Faktor Penyebabnya. Seminar


Lingkungan Hidup Pencemaran Lingkungan Wilayah Eks‐Karesidenan
Surakarta. Surakarta.

Priyanto, B., dan Priyatno, J. 2007. Fitoremediasi sebagai Sebuah Teknologi


Pemulihan Pencemaran Khusus Logam Berat.
http://ltl.bppt.tripod.com/sublab/lflora.htm.

Raja, D., Adarsh Kumarb, & Subodh Kumar Maitia. 2020. Brassica juncea (L.)
Czern. (Indian mustard): a putative plant species to facilitate the
phytoremediation of mercury contaminated soils. International Journal of
Phytoremediation,

Safitri, R. 2009. Phytoremediasi Greywater dengan Tanaman Kayu Apu (Pistia


stratiotes) dan Tanaman Kiambang (Salvinia molesta) serta
Pemanfaatannya untuk Tanaman Selada (Sactuca sativa) secara
Hidroponik. Skripsi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Setyaningsih, L. 2007. Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Kompos


Aktif untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Mindi (Melia azedarach,
Linn.) pada Media Tailing Tambang Emas Pongkor. Tesis IPB. Bogor.

Sooknah, R.D. dan Wilkie, A.C. 2004. Nutrient Removal by Floating Aquatic
Macrophytes Cultured in Anaerobically Digested Flushed Dairy Manure
Wastewater. J Ecol. Eng. 22 (1) : 27-42.

Subroto, M.A. 1996. Fitoremediasi. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Peranan


Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong.
Surbakti, P. 2011. Analisis Logam Berat Cadmium (Cd), Cuprum (Cu), Cromium
(Cr), Ferrum (Fe), Nikel (Ni), Zinkum (Zn) pada Sedimen Muara Sungai
Asahan di Tanjung Balai Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom
(SSA). FMIPA USU. Sumatera Utara.

Surtiningsih, T. 1999. Penanganan Bahan dan Limbah Beracun Secara Hayati


(Bioremediasi). Makalah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Airlangga. Surabaya.

Suryanti, T dan Budhi, P. 2003. Eliminasi Logam Berat Kadmium dalam Air
Limbah Menggunakan Tanaman Air. Jurnal Tek. Ling. P3TL-BPPT 4 (3):
143-147.

Syahputra, R. 2005. Fitoremediasi Logam Cu dan Zn dengan Tanaman Eceng


Gondok (Eichornia crassipes (mart.) solms). Jurnal Logika 2 (2): 57-66.
US Environmental Protection Agency. 1998. A Citizen Guide to
Phytoremediation. http://www.cinin.org/products/citguide/phyto2. htm.

US EPA. 1999. Phytoremediation Resource Guide. Office of Solid Waste and


Emergency Response Technology. USA.

US EPA. 2005. Use of Field-Scale Phytotechnology for Chlorinated Solvents,


Metals, Explosives and Propellants, and Pesticides. Office of Solid Waste
and Emergency Response Technology. USA.

Ustiatik, R., Siska Nurfitriani, Amrullah Fiqri & Eko Handayanto. 2020. The Use
of Mercury-Resistant Bacteria to Enhance Phytoremediation of Soil
Contaminated with Small-scale Gold Mine Tailing. Nature Environment
and Pollution Technology An International Quarterly Scientific Journal,
19(1): 253 – 261.

Zhao, A., Lingyun Gao, Buqing Chen & Liu Feng. 2019. Phytoremediation
potential of Miscanthus sinensis for mercury-polluted sites and its impacts
on soil microbial community. Environmental Science and Pollution
Research. https://doi.org/10.1007/s11356-019-06563-3.

Anda mungkin juga menyukai