HEGEMONI BUDAYA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan Kelas 86
Dosen
MURNI HERMAWATY SITANGGANG
Disusun oleh :
1. Annastasya Putri ( 200210303068 )
2. Dinara Ayu Fatmasari ( 200210401039 )
3. Dini Maghfirah ( 200803103006 )
4. Marshanda Putri Mulyarani ( 200803103030 )
5. Nadya Khairina Aprilliyanti ( 200803103038 )
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. 2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… 3
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………
1.3 Tujuan dan Manfaat………………………………………………………………….
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hegemoni Budaya
2.2 Konsep Hegemoni Budaya
2.3 Tantangan Hegemoni Budaya
2.4 Pengaruh media terhadap hegemoni budaya Korea
2.5 Hegemoni budaya pop Korea di Indonesia
2.6 Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam mengatasi hegemoni budaya
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi adalah proses yang mengarah pada penyempitan dunia, yaitu
semakin meningkatnya hubungan global dan pemahaman kita diatasnya. Hal ini
membuat interaksi di masyarakat dunia menjadi semakin terbuka karena mudah dan
cepatnya masyarakat dalam memperoleh informasi. Tidak hanya informasi yang dapat
disebarkan dengan cepat namun budaya juga dapat disebarkan dengan mudah melalui
media massa.
Globalisasi budaya yang terus berkembang dalam kehidupan masyarakat
memunculkan istilah baru yaitu budaya popular atau budaya pop. Budaya pop ini
berkaitan dengan tersebarnya suatu nilai – nilai maupun budaya dari suatu negara ke
negara lain. Semakin sering mengikat diri dari budaya pop, maka secara tidak sadar
budaya tersebut menjadi bagian dari kehidupan kita.
Hegemoni budaya disebut juga suatu keadaan yang membentuk keyakinan,
persepsi, nilai dan budaya suatu negara yang dibentuk oleh suatu kelompok tanpa
disadari sehingga melekat pada suatu masyarakat tanpa adanya paksaan.
Dalam suatu masyarakat, hegemoni budaya bukanlah praksis intelektual
monolitik maupun kesatuan sistem nilai-nilai, namun merupakan struktur strata sosial
yang kompleks dimana masing-masing kelas sosial dan ekonomi memiliki tujuan
sosialnya masing-masing. Setiap kelas juga memiliki logikanya masing-masing yang
memungkinkan anggotanya untuk berperilaku secara unik dan berbeda dari perilaku
anggota kelas-kelas sosial lainnya, namun semuanya hidup berdampingan sebagai
satu kesatuan masyarakat.
Karena memiliki tujuan sosial yang berbeda-beda, kelas-kelas dapat bersatu
menjadi satu masyarakat dengan misi sosial yang lebih besar. Di dalam masyarakat,
keterbatasan persepsi pribadi tersebut menghambat individu untuk memahami
eksploitasi sosio-ekonomi sistematis yang dimungkinkan oleh hegemoni budaya.
Karena adanya perbedaan dalam memahami status quo —hierarki sosio-ekonomi dari
budaya borjuis— kebanyakan orang menyibukkan diri dengan masalah pribadinya
masing-masing daripada memikirkan tentang masalah yang tidak langsung
berhubungan dengan mereka (masalah publik), sehingga mereka pun tidak
memikirkan atau mempertanyakan asal-muasal terjadinya ketidak adilan sosio-
ekonomi di bidang sosial, politik, maupun pribadi mereka.
Walaupun setiap orang menjalani hidup penuh makna dalam kelas sosialnya masing-
masing, tetapi pembagian kelas-kelas sosial terasa bedanya ketika dilihat per
kehidupan pribadi setiap individu. Namun, ketika dilihat secara keseluruhan
masyarakat, setiap orang memberikan kontribusi yang besar terhadap hegemoni
sosial. Meskipun keragaman sosial, ekonomi, dan kebebasan politik muncul karena
kebanyakan orang melihat kehidupan yang berbeda-keadaan, mereka tidak mampu
memahami pola besar hegemoni yang terbuat ketika kehidupan yang mereka saksikan
menyatu dalam satu masyarakat. Hegemoni budaya diwujudkan dan dipertahankan
oleh keberadaan kondisi-kondisi satuan yang berbeda-beda, sebuah perbedaan yang
tidak selalu sepenuhnya dirasakan oleh anggota masyarakat
Pengaruh media terhadap budaya lokal sudah tidak jarang lagi dirasakan oleh pengguna
media online, lebih tepatnya media instagram. Hegemoni ini kebanyakan dilakukan oleh
pihak-pihak dominan dibalik media yaitu industri media, melalui ideologi yang disebarkan
kemudian menciptakan kesadaran palsu untuk anggota KLOSS, kesadaran palsu maksudnya
adalah para anggota KLOSS dibujuk oleh pihak industri media pop Korea agar teratarik
mengikuti gaya hidup pop Korea sampai menjadi bagian dari industri Korea tersebut. Proses
awalnya yaitu, pihak media massa dari Korea mengenalkan dan menawarkan budaya pop
Korea kepada anggota KLOSS. Dengan menanamkan images positif dari budaya Korea,
media berhasil menarik perhatian anggota KLOSS. Barulah saat itu muncul rasa ketertarikan
anggota KLOSS mengikuti segala brand dari Korea dan muncul pula rasa kagum mereka
terhadap tayangan-tayangan Korea salah satunya K-Drama. Rasa kagum inilah yang menjadi
efek dari sikap hegemoni, mereka menganggap bahwa budaya Korea adalah sesuatu hal yang
wajar saja bila diikuti dan mengandung sesuatu positif di dalamnya.
Seperti yang dikatakan oleh tokoh yang bernama “Gramsci’’ bahwa kekuatan hegemoni
adalah bagaimana cara seseorang untuk berfikir akan suatu wacana secara dominan, dianggap
benar dan wacana lain yang tidak mengandung ketertarikan dianggap salah. Sehingga wacana
yang diaplikasikan oleh media dengan wacana yang menarik itu dianggap benar, tampak
logis dan harus diikuti, tanpa harus bersikap selektif dan mengasah suatu wacana tersebut
sesuai moral atau tidak, dan juga semua orang menganggap hal itu tidak ada yang perlu
ditanyakan. Untuk melihat penyebaran ideologi Korea terhadap benak anggota KLOSS
adalah dengan intensitas dan saran konsumsi. Semakin tinggi konsumsi tayangan Korea,
maka akan semakin merasuk dan tertanam pada jiwa anggota KLOSS. Anggota KLOSS
menjadikan tayangan-tayangan Korea sebagai pilihan utama mereka dengan intesitas
tayangan Korea rata-rata sekitar 2-6 jam untuk menontonnya, bahkan bisa sampai seharian
penuh setiap harinya.
Anggota KLOSS juga sangat mudah mencari tahu informasi-informasi yang berkaitan
dengan budaya pop Korea melaui majalah dan internet. Internet disini menjadi kekuatan yang
sangat mendukung sikap hegemoni karena segala hal dapat ditemukan disana, hal ini semakin
menumbuhkan rasa kagum dan menambah pengetahuan anggota KLOSS. Konsekuensinya
adalah perubahan pola pikir ke-Korea-an, dengan ditunjukkan dengan keberpihakan terhadap
Korea. Mereka bahkan tidak peduli jika ada isu-isu negatif di Korea dan mereka bisa saja
dengan mudah menjatuhkan pihak-pihak yang menghina Korea. Kekuatan hegemoni ini juga
ditunjukkan ketika anggota KLOSS membandingkan tayangan Korea dengan Indonesia, yaitu
dengan menganggap tayangan Indonesia lebih membosankan, serta artis Indonesia yang
berpenampilan berlebihan dalam berakting, tidak seperti artis Korea yang berpenampilan
natural. Karena budaya pop Korea sudah dianggap dari bagian pola hidup sehari-hari,
anggota KLOSS pun menginternalisasikan budaya Korea seperti memakai bahasa dan gaya
berbicara Korea, cara berpakaiannya, serta perubahan selera dalam memilih produk Korea.
Secara kasat mata, perubahan pola pikir dan perilaku ke-Korea-an tersebut merupakan
kepentingan yang diinginkan oleh pihak penghegemoni (penyebab hegemoni) agar industri
negaranya dapat berkembang pesat dan meningkatnya segala hal permintaan yang berbau
Korea. Sehingga disini para anggota KLOSS tanpa sadar telah berpartisipasi dalam proses
hegemoni dan mau bekerja sama dengan pihak-pihak media kapitalis, karena mereka
menganggap tindakan mendominasi tersebut merupakan tindakan yang normal dan wajar-
wajar saja dilakukan seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi, padahal tindakan
tersebut sudah sangat jelas tidak sesuai nilai moral dan etika bangsa.
Badan Promosi Kebudayaan Internasional Korea, mengemukakan hasil penelitian mengenai hallyu
wave di 16 negara yang bertema 2017 Study on Ripple Effects of Hallyu. Mereka telah mewawancarai
400 responden dari indonesia yang pernah menikmati konten Korea. Dan menunjukan hasil skor
indeks popularitas konten korea di Indonesia mencapai 3,49 pada 2017. Meski angka ini sempat
mengalami penurunan pada tahun sebelumnya, namun popularitasnya di Indonesia terbilang cukup
tinggi bila dibandingkan dengan responden dari negara-negara di asia lainnya seperti Jepang, India,
Tiongkok, dan Thailand.
Efek dari kecintaan terhadap korea secara tidak sadar juga menjadi kampanye dari penyebaran
budaya dan kuliner korea di Indonesia. Seperti yang diketahui, sekarang sudah banyak sekali
restaurant-restaurant di Indonesia yang mengusung tema korea, mulai dari menu makanan yang
disajikan bahkan hingga suasana yang berbau korea, hal ini membuat para penggemar Kpop semakin
dimanjakan denagan adanya hal tersebut sehingga mereka menjadi semakin tidak tertrik dengan
menu-menu makanan asli Indonesia.
Konsumerisme tentu berlaku bukan hanya dari makanannya saja namun juga termasuk barang
barang Kpop seperti album, merchandise, majalah, bahkan hingga tiket konser yang tentu harganya
tidak murah. Mari kita bahas satu persatu.
Album
Untuk fans yang tinggal di Indonesia, tentunya jika ingin membeli album Korea masih harus ditambah
dengan biaya pengiriman dan pajak. Satu album Korea itu rata-rata dijual pada kisaran harga Rp 200
ribu - Rp 270 ribu.
Marchandise
Di Indonesia sendiri, harga lightstick berkisar antara Rp 500 - 600 ribu. Sedangkan untuk
merchandise lainnya berkisar antara Rp 100 ribu - 600 ribu. Hampir tidak ada yang memiliki
harga di bawah Rp 100 ribu untuk barang-barang tersebut. Sehingga pasti para penggemar
Kpop setidaknya harus mengeluarkan biaya di atas Rp 100 ribu jika ingin memebeli pernak-
pernik ini.
Majalah kpop
Para penggemar pastilah akan dibuat heboh jika idola mereka melakukan pemotretan dengan
majalah. Oleh karena itu mereka akan tertarik untuk membelinya sebagai tambahan koleksi
mereka. Namun sayangnya jika dijual di Indonesia harga dari majalah tersebut bisa mencapai
lebih dari Rp 200.000, dan tentu itu bukanlah harga yang terbilang murah hanya untuk sebuah
majalah.
Tiket konser
Kali ini jika kita membahas mengenai konser Kpop di Indonesia, harga tiketnya cenderung
lebih mahal bila dibandingkan konser artis western. Jika semakin dekat dari panggung
tentunya harganya akan semakin mahal pula. Harga untuk konser K-Pop di Indonesia antara
Rp 1 juta - Rp 2,7 juta. Terkadang juga ada harga tiket yang di bawah satu juta, tetapi tentu
saja akan jauh dari panggung.
Itu tadi merupakan data mengenai seberapa berpengaruhnya kebudayaan kpop di Indonesia,
yang tentu saja hal ini tidak terlepas dari peran teknologi yang semakin maju sehingga
memudahkan bagi banyak kebudayaan luar untuk masuk ke Indonesia.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka