Anda di halaman 1dari 64

library.uns.ac.

id 30
digilib.uns.ac.id

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN

A. Peraturan yang bisa menjadi landasan hukum bagi Transgender


Negara Indonesia lainnya. Transgender merupakan kaum minoritas yang
rentan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Hal ini diperparah dengan anggapan
sebagian masyarakat bahwa Transgender merupakan hal yang tidak wajar tidak sesuai
dengan apa yang seharusnya di lingkungan masyarakat itu berada, dengan adanya
pandangan negatif tersebut semakin besar pula kemungkinan terjadinya perlakukan
yang tidak menyenangkan. Perlindungan hukum secara khusus untuk Transgender
memanglah belum ada Peraturan yang khusus dibuat untuk Transgender memang
belum ada. Pemberian perlindungan khusus terhadap kaum minoritas diatur dalam
Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:
“Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”
Perlindungan yang lebih bersifat khusus untuk kaum minoritas memiliki banyak cara
salah satunya adalah membuat peraturan perundang-undangan secara khusus.
Mengingat Transgender belum memiliki peraturan khusus maka dapat menggunakan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Elemen pertama dari Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia
Internasional (International Bill of Rights), yakni suatu tabulasi hak dan
kebebasan fundamental. (Rhona K.M. Smith, dkk, 2008:89). DUHAM mencakup
sekumpulan hak yang lengkap baik itu hak sipil, politik, budaya, ekonomi, dan
sosial tiap individu maupun beberapa hak kolektif. Peraturan Internasional pada
dasarnya tidak mengikat secara hukum ke semua Negara yang ada tetapi tetap di
hormati, sehingga Negara bebas untuk memilih mengikatkan diri kepada
peraturan tersebut atau tidak. Mengikatkan diri dengan Deklarasi Universal Hak

30
library.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

Asasi Manusia merupakan syarat untuk menjadi anggota PBB, karena Indonesia
mengajukan diri menjadi anggota PBB berarti Indonesia mengikatkan diri dengan
DUHAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan tentang Hak Asasi Manusia
di Indonesia harus berpedoman terhadap DUHAM. Indonesia secara resmi
mengikatkan diri dengan DUHAM yaitu dengan cara meratifikasi DUHAM
menjadi peraturan perundang-undangan nasional. Hak-hak dalam DUHAM diatur
lebih jelas dan rinci dalam Kovenan Internasional.
Pasal yang terdapat dalam DUHAM yang dapat diterapkan atau menjadi
pedoman untuk Transgender adalah:
a. Pasal 1
“Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak
yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul
satu sama lain dalam persaudaraan.”
Pasal 1 menegaskan bahwa setiap manusia yang lahir memiliki kemerdekaan,
martabat dan hak asasi yang sama tanpa terkecuali. disini terdapat asas
persamaan yaitu tidak ada pembedaan kemerdekaan, martabat dan hak asasi
seseorang begitu pula Transgender mereka memiliki kemerdekaan, martabat
dan hak asasi seperti yang lain. Mereka dalam pasal ini dapat diartikan setiap
manusia yang telah lahir begitupun Transgender, dikaruniai akal dan hati
nurani sehingga mampu dan berhak untuk bergaul dengan orang lain untuk
menjalin persaudaraan.
b. Pasal 2
“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun,
seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan
pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan
internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik
dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian,
jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.”
library.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

Pasal 2 ini menegaskan dengan jelas bahwa setiap orang memiliki persamaan
atas hak dan kebebasan yang tercantum dalam DUHAM tanpa adanya
pengecualian. Penegcualian diatas juga termasuk jenis kelamin atau kondisi
gender orang tersebut, walaupun Transgender memeliki kondisi gender yang
berbeda maka tidak mengurangi ataupun membatasi hak dan kebebasan yang
mereka miliki.
c. Pasal 3
“Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai
induvidu.”
Pasal 3 mencantumkan setiap orang sehingga dapat dijabarkan menjadi
seluruh manusia pada dasarnya memiliki hak untuk hidup dan bebas dalam
menjalankan kehidupannya serta mendapat jaminan keselamatan hidupnya.
Transgenderadalah seorang manusia, jika seseorang untuk memilih menjadi
seorang Transgender dalam kehidupannya adalah kebebasan orang tersebut.
Kebebasan dalam kehidupan yang dipilih oleh seorang Transgender juga
berhak untuk mendapat jaminan keselamatan hidupnya.
d. Pasal 5
“Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam,
diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.”
Tidak seorangpun dalam pasal 5 dapat diartikan semua manusia atau orang
dan ini mencakup Transgender sehingga Transgender tidak boleh disiksa
diperlakukan secara tidak manusiawi atau dihukum karena pilihan hidupnya
menjadi seorang Transgender.
e. Pasal 6
“Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia
pribadi di mana saja ia berada.”
Setaip orang dalam pasal ini siapa saja tanpa memandang gender atau jenis
kelaminnya memiliki hak yang sama yaitu pengakuan di depan hukum
sebagai manusia. Transgender juga harusnya mendapat pengakuan yang sama
library.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

di depan hukum dan pengakuan ini berlaku dimanapun mereka bertempat


tinggal.
f. Pasal 7
“Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama
terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini,
dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam
ini.”
Pasal 7 menegaskan selain memiliki hak yang sama di depan hukum setiap
orang termasuk Transgender berhak atas pelindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi hal ini memiliki arti Transgender mendapatkan perlindungan atas
semua tindak diskriminasi yang diterima oleh dirinya yang diberikan dari
siapapun tanpa terkecuali dan Transgender terlindungi dari hasutan orang lain
yang dapat menyebabkan kebencian kehapda kaum Transgender dan memiliki
akibat fatal yaitu perlakukan diskriminasi.
g. Pasal 18
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam
hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan
kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara
mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”
Kebebasan beragama adalah: hak untuk beragama, hak untuk berpindah
agama, hak untuk menjalankan perintah agamanya secara sendiri maupun
berkelompok baik di tempat umum atau pribadi. pengaturan hak kebebasan
beragama dalam deklarasi ini tidak berdasarkan pada agama, kebudayaan dan
ideologi tertentu, melainkan berdasarkan prinsipprinsip umum yang diakui
oleh masyarakat internasional. Pasal 18 yang mengatur mengenai hak
kebebasan beragama sebab dalam Pasal tersebut disebutkan hak untuk
library.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

berpindah agama serta hak untuk tidak beragama (Sunaryo, Fiat Justitia Jurnal
Ilmu Hukum Volume 5 No. 2 Mei-Agustus 2012: 398).
h. Pasal 19
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa
mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak
memandang batas-batas.”
Sesuai dengan pasal 19 siapa saja berhak dalam menyampaikan pendapatnya,
mencari sumber informasi dan menerima sebuah pendapat ataupn informasi
dan tidak mendapat tekanan dari pihak manapun. Pasal 19 ini memang belum
menjelaskan batasan-batasan yang ada lebih dalam memberikan kebebasan
secara penuh dalam menyampaikan pendapat dan cara menyampaikannya
begitu pula pasal ini memberikan hak atau kebebasan seseorang untuk dapat
menerima atau menolak sebuah pendapat. Transgender dengan pasal ini juga
mendapatkan kebebasan dalam menyampaikan pendapat mereka apapun jenis
pendapat tersebut dan berhak menyampaikan pendapat mereka pada khalayak
luar.
i. Pasal 20
(1) “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat
tanpa kekerasan.
(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.”
DUHAM menggunakan kata setiap orang karena memang untuk membuat
hak atau kebebasan ini adalah milik semua orang. berkumpul dan berserikat
merupakan naluri seorang manusia yaitu bersosialisasi dengan yang lain.
Transgender juga memiliki hak untuk berkumpul baik dengan sesama
Transgender atau orang lain tanpa adanya kekerasan dan berhak berserikat
atau mendirikan perkumpulan baik itu perkumpulan yang dibuat khusus untuk
sesama Transgender ataupun perkumpulan yang lain. Tidak ada seseorang
library.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

yang boleh dipaksa memasuki suatu perkumpulan begitu pula Transgender


tidak boleh dipaksa mengikuti suatu perkumpulan apapun dengan alasan
apapun dan juga Transgender tidak boleh memaksa seseorang untuk
mengikuti perkumpulan yang memang dibuat untuk kaum Transgender.
Semua orang dalam melakukan berkumpul dan berserikat harus sesuai dengan
keinginannya sendiri.
j. Pasal 22
“Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan
berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat
diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui
usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan
pengaturan serta sumber daya setiap negara.”
Pasal ini menjelaskan bahwa Transgender sebagai waga Negara Indonesia
berhak mendapatkan jaminan sosial agar terpenuhinya hak ekonomi yaitu hak
untuk berkerja dan memperoleh upah, hak sosial yaitu berkumpul dengan
sesama Transgender atau orang lain serta pemenuhan budaya demi
pengembangan diri.
k. Pasal 23 Ayat (1)
“Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih
pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan
menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.”
Pasal ini merupakan lanjutan pasal untuk dapat menlanjutkan kehidupan
seseorang termasuk juga Transgender untuk dapat mendapatkan pekerjaan
sesuai dengan kemampuan dan minat mereka, melamar dan menjalani proses
penerimaan pekerja baru sesuai dengan alur yang ada tanpa adanya
pembedaan dan terhindar dari pengangguran atau tidak mendapat kerja karena
kondisi mereka sebagai seorang Transgender menhambat untuk mendapatkan
pekerjaan.
library.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

l. Pasal 26 Ayat (1)


“Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan
cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan
dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan
secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus
dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan
kepantasan.”
Pasal ini menjelaskan setiap orang untuk mendapatkan pendidikan paling
tidak pendidikan dasar. Hal ini juga berlaku untuk Transgender untuk
pengembangan diri mereka juga membutuhkan pendidikan seperti yang lain
dan mendapat layanan pendidikan tanpa adanya unsur diskriminasi karena
kondisi mereka.
m. Pasal 29 Ayat (2)
“Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang
harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh
undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal
kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.”
Pasal ini adalah pembatasan hak asasi agar terpenuhinya hak asasi manusia
tersebut. Pembatasan ini juga berlaku untuk Transgender walapun dibatasi
tidak mengurangi hak dan kebebasan yang dia miliki dan harus sesuai dengan
Negara dan menghormati hak orang lain.
2. Deklarasi Hak Orang-orang yang termasuk Kelompok Minoritas Bangsa
atau Suku Bangsa, Agama dan Bahasa (Declaration on the Rights of Persons
Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities) 1992
Pembentukan Deklarasi ini dilatarbelakangi oleh peristiwa yang mrupakan
puncak penderitaan kelompok minoritas yang berupa pembunuhan besar-besaran
di Bosnia, Rwanda dan Kamboja sekitar tahun 1990-an. PBB berpendapat perlu
dirancang suatu jaminan perlindungan yang lebih komprehensif yang tidak saja
melindungi individunya tetapi juga melindungi eksistensi atau identitas dari
kelompok minoritas itu sendiri (I Md Pasek Diantha, 2016: 7). Deklarasi ini
library.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

bertujuan untuk terus memajukan perwujudan prinsip-prinsip yang terdapat dalam


Piagam PBB dan berbagai instrumen HAM internasional. Berdasarkan Deklarasi
ini, setiap Negara akan melindungi eksistensi dan identitas kebangsaan, suku
bangsa, budaya, agama dan bahasa kelompok minoritas dalam wilayahnya dan
akan mendorong kondisi-kondisi yang memajukan hak-hak identitas tersebut
(Choirul Anam, dkk, 2016:14).
Deklarasi tentang hak minoritas terdiri dari pembukaan, 11 Alenia dan
Batang Tubuh, 9 Pasal. Beberapa isi yang penting dari Alinea-alinea itu
diantaranya:
a. Deklarasi meneguhkan bahwa salah satu tujuan pokok PBB adalah
memajukan dan mendorong penghormatan HAM dan kebebasan fundamental
untuk semua tanpa memandang ras, jenis kelamin, bahasa dan agama.
b. Bahwa pembuatan Deklarasi ini terinsipirasi oleh ketentuan pasal 27 ICCPR
tentang hak orang-orang minoritas atas dasar etnik, keagamaan dan
kebahasaan.
c. Deklarasi memandang bahwa perlindungan terhadap hak orang-orang
minoritas itu akan memberi kontribusi terhadap kestabilan politik dan sosial
dari negara dimana mereka berada.
d. Menyadari bahwa PBB memiliki peran penting dalam pelaksanaan
perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Dalam deklarasi ini, hak yang diberikan kepada kelompok minoritas selaku
subyek pemangku sebagai berikut (Yogi Zul Fadhli, Konstitusi, Volume 11,
Nomor 2, Juni 2014: 365-366):
a. Hak untuk menikmati kebudayaan mereka, hak untuk memeluk dan
menjalankan agama mereka sendiri dan hak untuk menggunakan bahasa
mereka sendiri (Pasal 2 ayat (1)).
b. Hak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan budaya, agama, sosial,
ekonomi dan publik secara efektif (Pasal 2 ayat (2)).
library.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

c. Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam keputusan-keputusan pada


tingkat nasional dan regional (Pasal 2 ayat (3)).
d. Hak untuk mendirikan atau mempertahankan perkumpulan mereka sendiri
(Pasal 2 ayat (4)).
e. Hak untuk mendirikan dan memelihara hubungan bebas dan damai dengan
anggota lain dari kelompok mereka, dengan orang yang termasuk kaum
minoritas lainnya, dengan penduduk dari negara lain (Pasal 2 ayat (5)).
f. Kebebasan untuk melaksanakan hak mereka secara perorangan maupun dalam
komunikasi dengan anggota-anggota lain dari kelompok mereka tanpa
diskriminasi (Pasal (3)).
Sedangkan kewajiban negara sebagai subyek pemangku adalah, untuk mengambil
langkah-langkah:
a. Melindungi eksistensi dan identitas kebangsaan, suku bangsa, budaya, agama,
dan bahasa kaum minoritass dalam wilayahnya dan akan mendorong
kondisikondisi yang memajukan identitas tersebut (Pasal 1 ayat (1)).
b. Mengambil tindakan legislatif dan tindakan lain yang tepat untuk
mencapainya (Pasal 1 ayat (2)).
c. Untuk menjamin orang-orang yang termasuk kaum minoritas dapat
melaksanakan hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental mereka
dengan sepenuhnya dan efektif tanpa diskriminasi, dan dengan kesamaan
seutuhnya di hadapan hukum (Pasal 4 ayat (1)).
d. Upaya-upaya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan agar
orang-orang yang termasuk kaum minoritas dapat mengekspresikan ciri khas
mereka dan mengembangkan budaya, bangsa, agama, tradisi, dan kebiasaan
mereka (Pasal 4 ayat (2)).
e. Agar kaum minoritas punya kesempatan yang cukup untuk mempelajari
bahasa ibu mereka atau menggunakan bahasa ibu mereka (Pasal 4 ayat (3)).
f. Upaya-upaya di bidang pendidikan (Pasal 4 ayat (4)).
library.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

g. Mempertimbangkan langkah yang tepat sehingga orang-orang yang termasuk


kaum minoritas dapat berpartisipasi secara penuh dalam perkembangan dan
pembangunan ekonomi di negara mereka (Pasal 4 ayat (5)).
h. Untuk mempertimbangkan kepentingan-kepentingan sah dari kaum minoritas
dalam mengembangkan kebijakan dan program nasional serta dalam
perencanaan dan penerapan program kerja sama dan bantuan (Pasal 5).
i. Untuk bekerja sama dengan negara-negara lain berkenaan dengan kaum
minoritas, termasuk pertukaran informasi dan pengalaman-pengalaman, dalam
rangka memajukan pemahaman dan kepercayaan satu sama lain (Pasal 6).
j. Untuk memajukan penghormatan terhadap hak yang terdapat dalam deklarasi
(Pasal 7).
k. Untuk memenuhi kewajiban dan ikrar dari negara-negara sebagaimana
dicantumkan dalam perjanjian dan kesepakatan internasional dimana mereka
menjadi negara pihak (Pasal 8).
Deklarasi mengenai hak-hak penduduk yang termasuk kelompok minoritas
berdasarkan kewarganegaraan, etnis, agama dan bahasa merupakan instrumen
yang kian menegaskan keberadaan Pasal 27 ICCPR. Sekalipun sifatnya deklaratif
yang oleh karenanya tak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (soft law)
tetapi ia punya pengaruh politis bagi negara untuk memberi penghormatan,
pemenuhan dan perlindungan HAM kelompok minoritas.
3. Kovenan-Kovenan Internasional
Kovenan International Tentang Hak Sipil dan Hak Politik (ICCPR)
bertujuan untuk mengukuhkan dan menegaskan pokok-pokok HAM di bidang
sipil dan politik yang sudah tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia (DUHAM). Kovenan ini menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat
yang penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Indonesia pada 30
September 2005 meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak-hak
manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights –
library.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik


(International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR). Pada 28 Oktober
2005, pemerintah Indonesia mengesahkan ICESCR menjadi Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 dan ICCPR menjadi Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005. Dengan demikian, selain menjadi bagian dari
sistem hukum nasional maka kedua kovenan ini sekaligus melengkapi empat
perjanjian pokok yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu CEDAW
(penghapusan diskriminasi perempuan), CRC (anak), CAT (penyiksaan), dan
CERD (penghapusan diskriminasi rasial). Ratifikasi ini menimbulkan
konsekuensi terhadap pelaksanaan hak-hak manusia, karena negara Indonesia
telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan
kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam
perundang-undangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan
sebagai UU.
Kovenan Hak Sipil dan politik mencakup pengertian hak asasi manusia,
cakupan hak sipil dan politik, perbedaan hak sipil dan politik. menetapkan
tabulasi hak yang mengikat secara hukum dan Protokol Tambahan pada Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta kedua komite yang memantau
penerapan setiap Kovenan menyediakan mekanisme bagi penegakan hak-hak
tersebut. Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Konvenan Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya akan semakin melengkapi dan memantapkan upaya pemajuan dan
perlindungan HAM di Indonesia termasuk di bidang legislasi. Hal ini akan
memberikan jaminan kepada seluruh rakyat Indonesia bagi pemajuan dan
perlindungan HAM yang mencakup hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan
budaya, serta sekaligus pula untuk memagari kedaulatan, integritas teritorial dan
kesatuan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada dasarnya ICCPR
memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparatur
negara yang ingin bertindak refresif, khususnya negara-negara yang menjadi
pihak dalam ICCPR. Oleh sebab itulah, hak-hak yang ada didalamnya sering
library.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights), artinya hak-hak dan kebebasan
yang dijamin didalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau
terlihat berkurang. Akan tetapi, apabila negara berperan sebagai intervensionis,
maka hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh
negara. Inilah yang membedakan dengan model legislasi ICESCR yang justru
menuntut peran maksimal negara untuk memenuhi hak-hak dalam kovenan
tersebut yang sering disebut juga sebagai hak-hak positif (positive rights).
Pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai
langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to
respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak‐hak manusia. Hak
asasi Transgender juga merupakan hak yang harus pemerintah untuk dihormati,
dilindungi dan dipenuhi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Transgender merupakan
seorang manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa serta setipa Transgender yang
lahir dan besar di Indonesia merupakan seorang warga Negara yang memiliki hak
untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Berikut ini pasal-pasal dalam
konvenan yang dapat untuk mengatur atau menjadi landasan hukum Transgender
sebagai berikut:
a. Konvenan Hak Sipil dan Politik
2) Pasal 2 Ayat (1)
“Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan
menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang
berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa
pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kelahiran atau status lainnya.”
Komite mencatat bahwa Pasal 2 Ayat (1) kovenan pada umumnya
memberikan kebebasan kepada negara-negara pihak yang bersangkutan
untuk memilih cara untuk melaksanakan kovenan di wilayah mereka
berdasarkan pada kerangka kerja yang ditentukan dalam pasal tersebut.
Secara khusus, pasal ini mengakui bahwa pelaksanaan kovenan tidak
library.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

hanya tergantung pada pembuatan konstitusi atau peraturan perundang-


undangan, yang seringkali justru tidak mencukupi. Komite menganggap
bahwa penting untuk menarik perhatian negara-negara pihak atas
kenyataan bahwa kewajiban berdasarkan kovenan tidak hanya terbatas
pada penghormatan terhadap hak asasi manusia, tetapi bahwa negara-
negara Pihak juga berkewajiban untuk menjamin penikmatan hak-hak
tersebut bagi semua individu yang berada dalam yurisdiksi mereka. Aspek
ini mewajibkan adanya kegiatan-kegiatan khusus yang dilakukan oleh
negara-negara pihak guna memampukan individu-individu menikmati
hak-hak mereka, tetapi secara prinsip pelaksanaan hal tersebut berkaitan
dengan semua hak yang diatur dalam kovenan (Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, 2009: 4).
3) Pasal 4 Ayat (2)
“Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15,
16 dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan
ini.”
Negara-negara pihak secara umum memberikan indikasi tentang
mekanisme pengumuman kondisi gawat darurat publik yang diatur dalam
sistem hukum mereka dan ketentuan-ketentuan yang diaplikasikan dari
hukum yang mengatur tentang derogasi tersebut. Namun, dalam hal
beberapa negara yang secara nyata melakukan derogasi terhadap hak-hak
dalam kovenan, adalah tidak jelas tidak hanya apakah kondisi gawat
darurat tersebut diumumkan secara resmi, tetapi juga apakah hak-hak yang
tidak boleh diderogasi dalam kovenan memang tidak mengalami derogasi
serta kemudian apakah negara-negara pihak lain telah diberikan informasi
mengenai derogasi tersebut dan alasan-alasannya (Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, 2009: 7).
library.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

4) Pasal 6 Ayat (1)


“Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya.
Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas
hak hidupnya secara sewenang-wenang.”
Hak hidup yang dinyatakan di Pasal 6 Ayat (1) kovenan telah ditangani
dalam semua laporan-laporan Negara. Hak ini merupakan hak absolut
yang tidak boleh diderogasi bahkan dalam kondisi darurat publik yang
mengancam kehidupan bangsa (pasal 4). Namun, Komite juga mencatat
bahwa seringkali informasi yang diberikan berkaitan dengan Pasal 6 Ayat
(2) terbatas hanya pada salah satu aspek atau lainnya dari hak ini. Hak ini
adalah hak yang tidak boleh dinterpretasikan secara terbatas (Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, 2009: 8).
5) Pasal 7
“Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan
atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek
eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara
bebas.”
Dalam meneliti laporan negara-negara pihak, para anggota Komite
seringkali menanyakan informasi lebih lanjut berdasarkan Pasal 7 yang
melarang penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak
manusia, atau merendahkan martabat manusia. Komite mengingatkan
kembali bahwa dalam kondisi darurat publik apa pun, hal-hal sebagaimana
yang digambarkan oleh pasal 4 ayat (1) maka ketentuan ini bersifat tidak
bisa dikurangi (nonderogable) berdasarkan Pasal 4 Ayat (2). Tujuannya
adalah untuk melindungi integritas dan martabat dari seorang individu.
Komite mencatat bahwa sekedar melarang perlakuan atau penghukuman
semacam itu atau hanya sekedar menjadikannya sebagai tindak kejahatan
tidaklah cukup dalam melaksanakan pasal ini. Kebanyakan negara
library.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

memiliki ketentuan hukum yang diterapkan untuk kasus-kasus penyiksaan


atau praktik-praktik yang serupa. Namun, karena kasus-kasus semacam itu
tetap saja terjadi, berdasarkan Pasal 7, yang harus dibaca berbarengan
dengan Pasal 2 kovenan, maka negara-negara harus menjamin suatu
perlindungan yang efektif melalui suatu mekanisme pengawasan (Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, 2009: 10-11).
6) Pasal 8 Ayat(1)
“Tidak seorang pun dapat diperbudak; perbudakan dan perdagangan
budak dalam segala bentuknya harus dilarang”
Pasal 8 Ayat (1) menjelaskan tidak seorangpun juga termasuk
Transgender dapat untuk diperbudak atau di perdagangkan secara illegal
karena pada dasarnya sebagai seorang manusia Transgender memiliki
kebebasan untuk hidup dan melanjutkan hidup mereka dengan aman dan
damai.
7) Pasal 9 Ayat(1)
“Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak
seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.
Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan
alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh
hukum.”
Pasal 9 yang mengatur mengenai hak atas kebebasan dan keamanan
pribadi orang-orang seringkali dipahami secara sempit dalam laporan
negara-negara pihak, dan oleh karenanya, mereka memberikan informasi
yang tidak lengkap. Komite mengidentifikasikan bahwa Ayat (1) berlaku
bagi semua perampasan kebebasan, baik dalam kasus-kasus pidana
maupun dalam kasus-kasus lain seperti, misalnya, sakit jiwa, vagrancy,
ketergantungan obat-obatan, tujuan-tujuan pendidikan, kontrol imigrasi,
dan lain-lain. Kemudian, jika yang dinamakan penahanan pencegahan
(preventive detention) dilakukan untuk alasan-alasan keamanan umum,
library.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

maka penahanan tersebut harus diawasi oleh ketentuan-ketentuan yang


sama, misalnya bahwa penahanan tersebut tidak boleh dilakukan secara
sewenang-wenang dan harus didasarkan pada alasan-alasan dan prosedur-
prosedur yang dibentuk oleh hukum (Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, 2009: 12).
8) Pasal 16
“Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum di
mana pun ia berada.”
Setiap orang termasuk juga Transgender mendapat pengakuan dihadapan
hukum dinegara manapun dia berada.
9) Pasal 18 Ayat (1)
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan
atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup,
untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah,
pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.”
Hak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama (yang termasuk kebebasan
untuk menganut kepercayaan) dalam Pasal 18 Ayat (1) bersifat luas dan
mendalam; hak ini mencakup kebebasan berpikir mengenai segala hal,
kepercayaan pribadi, dan komitmen terhadap agama atau kepercayaan,
baik yang dilakukan secara individual maupun bersama-sama dengan
orang lain. Komite meminta perhatian negara-negara Pihak pada
kenyataan bahwa kebebasan berpikir dan kebebasan berkeyakinan sama-
sama dilindungi seperti halnya kebebasan beragama dan berkepercayaan.
Karakter mendasar dari kebebasan-kebebasan ini juga dicerminkan pada
kenyataan bahwa ketentuan ini tidak dapat dikurangi (cannot be
derogated) bahkan pada saat darurat publik (Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, 2009: 50).
library.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

10) Pasal 19 Ayat (2)


“Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak
ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan
informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan
secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui
media lain sesuai dengan pilihannya.”
Pasal 19 Ayat (2) menentukan adanya perlindungan terhadap hak atas
kebebasan berekspresi, termasuk tidak hanya kebebasan untuk “kebebasan
untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun”,
tetapi juga kebebasan untuk “mencari” dan “menerima” informasi dan ide
tersebut “tanpa memperhatikan medianya” dan dalam bentuk apa pun
“baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni,
atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya”. Tidak semua
Negara Pihak telah memberikan informasi berkaitan dengan semua aspek
kebebasan berekspresi ini. Misalnya, hanya sedikit perhatian diberikan
kepada kenyataan bahwa, karena perkembangan media massa modern,
maka langkah-langkah efektif diperlukan untuk mencegah adanya kontrol
terhadap media yang mengganggu hak setiap orang atas kebebasan
berekspresi dalam suatu cara yang tidak ditentukan di ayat 3 (Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, 2009: 16).
11) Pasal 22 Ayat (1)
“Setiap orang berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang
lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat
pekerja untuk melindungi kepentingannya.”
Setiap orang juga termasuk Transgender berhak untuk bebas dalam
membentuk suatu serikat atau ikut bergabung dalam serikat apapun selama
serikat tersebut tidak dilarang dengan sesama Transgender atau dengan
orang lain.
library.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

12) Pasal 26
“Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini
hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan
yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar
apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran
atau status lain.”
Kedudukan yang sama di depan hukum untuk mendapat perlindungan dari
diskriminasi tidak terhalangi oleh apapun termasuk warga Negara yang
memiliki status Transgender. Transgender juga berhak mendapatkan
perlakuan yang sama di depan hukum dan mendapatkan jaminan
perlindungan yang sama dari hukum yang ada di negaranya.
13) Pasal 27
“Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku
bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam
kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam
masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk
menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan
agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.”
Pasal 27 Kovenan menentukan bahwa, di negara-negara yang memiliki
minoritas etnis, agama, atau bahasa, orang-orang yang berasal dari
kelompok minoritas tersebut harus dapat menikmati hak-haknya, baik
dalam masyarakat maupun bersama anggota-anggota lain dalam
kelompoknya, untuk menikmati budayanya sendiri, untuk menyatakan
dan menerapkan agamanya sendiri, atau untuk menggunakan bahasanya
sendiri. Komite mengamati bahwa pasal ini membentuk dan mengakui
suatu hak yang diberikan pada individu-individu yang berasal dari
kelompok-kelompok minoritas dan yang berbeda dari, dan sebagai
tambahan pada, semua hak-hak lain yang menjadi haknya berdasarkan
Kovenan, sebagai individu yang sama dengan orang-orang lainnya
(Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2009: 54).
library.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

b. Konvenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya


1) Pasal 6 Ayat (1)
“Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk
hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui
pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan
mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini.”
Negara anggota kovenan ini wajib mengakui hak warga negaranya untuk
bekerja yaitu dengan memberikan kesempatan yang sama dalam
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan serta bebas dalam
memilih pekerjaan selama tidak melanggar perauran. Transgender yang
tinggal di Indonesia merupakan warga Negara Indonesia sehingga mereka
berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan
sesuai dengan kemampuan dan melindungi hak Transgender dalam
mendapatkan pekerjaan.
2) Pasal 7
“Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk
menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, …..”
Pasal ini negara harus mengakui dan melakukan hal agar warga negaranya
mendapatkan kondisi kerja yang adil tanpa diskriminasi kepadanya.
Mendapatkan upah seperti yang lain sesuai dengan posisinya.
Mendapatkan kehidupan yang layak dari upah hasil kerja.
3) Pasal 9
“Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas
jaminan sosial, termasuk asuransi sosial.”
Warga Negara termasuk Transgender berhak mendapatkan hak jaminan
dan asuransi sosial dari pemerintah dalam kondisi apapun dan disesuaikan
dengan kondisi Transgender.
library.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

4) Pasal 11 Ayat (1)


“Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar
kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan,
sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus
menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai
untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting
kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.”
Menurut Pasal 11 Ayat (1) Perjanjian Negara “mengenali hak setiap orang
untuk memperoleh standar hidup yang layak bagi dirinya sendiri dan
keluarganya, termasuk pangan, pakaian, dan tempat tinggal, juga
peningkatan kondisi-kondisi hidup yang berkelanjutan.” Hak asasi
manusia atas tempat tinggal yang layak, yang dengan demikian ditarik
dari standar hidup yang layak, adalah sumber penikmatan hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2009:
97).
5) Pasal 12 Ayat (1)
“Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk
menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan
mental.”
Pernyataan “Standar Kesehatan Yang Memadai Dan Terjangkau” pada
Pasal 12 (1) mencakup keadaan biologis individu dan kondisi-kondisi
sosial ekonomi serta sumberdaya yang ada pada Negara. Terdapat
beberapa aspek yang tidak dapat diarahkan secara sendiri dalam hubungan
antara 173 Negara dan Individu. Secara khusus, kesehatan yang baik
tidaklah dapat dijamin oleh Negara, dan tidak juga Negara menyediakan
perlindungan terhadap setiap kemungkinan penyebab penyakit manusia.
Oleh karena itu, faktor genetik, kerentanan individu terhadap penyakit dan
adopsi gaya hidup yang tidak sehat atau beresiko, mempunyai peranan
yang sangat penting terhadap kesehatan seseorang. Sehingga, Hak Atas
Kesehatan harus dipahami sebagai hak atas pemenuhan berbagai fasilitas,
pelayanan dan kondisi-kondisi yang penting bagi terealisasinya standar
library.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id

kesehatan yang memadai dan terjangkau (Komisi Nasional Hak Asasi


Manusia, 2009: 172-173).
6) Pasal 13 Ayat(1)
“Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas
pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada
perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan
harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan
kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa
pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi
secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa
pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua
kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.”
Pendidikan adalah sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk
merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Sebagai hak pemampuan,
pendidikan adalah sarana utama di mana orang dewasa dan anak-anak
yang dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial dapat mengangkat diri
mereka sendiri keluar dari kemiskinan dan memperoleh cara untuk turut
terlibat dalam komunitas mereka. Pendidikan memainkan sebuah peranan
penting untuk memberdayakan perempuan, melindungi anak-anak dari
eksploitasi kerja dan seksual yang berbahaya, mempromosikan hak asasi
manusia dan demokrasi, melindungi lingkungan hidup, dan
mengendalikan pertumbuhan populasi. Pendidikan semakin dikenali
sebagai salah satu investasi finansial yang paling baik dan tersedia bagi
Negara, walau makna pendidikan tidak sekadar praktis dan instrumental.
Pikiran yang cerdas, cerah, aktif, dan mampu untuk terbang bebas-lepas
adalah salah satu kebahagiaan dan imbalan yang didapat dari eksistensi
sebagai manusia (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2009: 155). Untuk
mewujudkan perdamaian dengan memberikan pendidikan yang layak
dapat membuat warganya saling menghargai dan tidak melakukan
perilaku yang diskriminasi.
library.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id

7) Pasal 15 Ayat (1)


“Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang:
a) Untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya;
b) Untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
penerapannya;
c) Untuk memperoleh manfaat dari perlindungan atas kepentingan moral
dan material yang timbul dari karya ilmiah, sastra atau seni yang
telah diciptakannya.”
Pasal ini merupakan kewajiban Negara dalam mengakui hak warga
negaranya termasuk Transgender yaitu untuk tetap dapat melakukan
budaya yang mereka miliki, memanfaatkan kemajuan informasi,
memperoleh perlindungan atas kepemilikan karya seni atau ilmiah.
Pemerintah dalam hal ini wajib untuk melakukan semua hal tersebut.
4. Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki
pengertian dasar hukum yang dibuat secara tertulis bagi Indonesia. Kedudukan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan atau hierarki pearturan perudang-undangan di
Indonesia menempati kedudukan tertinggi. Kedudukan tetrtinggi dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia membuat Undang-Undang Dasar sebagai
pedoman atau tolak ukur dalam membuat peraturan dengan kedudukan
dibawahnya. Peraturan perundang-undangan yang memiliki kedudukan dibawah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak boleh
bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Peran Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sangat penting dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia maka Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki sifat yang fleksibel yaitu dapat
mengikuti perkembangan zaman. Mampu mengikuti perkembangan zaman
tersebut adalah isi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dapat menyelesaikan dan selaras dengan kondisi masyarakat yang terus
berkembang, hal ini ditunjukan dengan adanya amandemen terhadap Undang-
library.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 semenjak diterapkannya


kembali sampai sekarang sebanyak 4 kali. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 berisi tentang norma-norma dan aturan yang
harus ditaati dan dilaksanakan baik pemerintah maupun masyarakat, karena
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya berisi
teknis saja sehingga membutuhkan peraturan perundangan lainnya untuk
menjelaskan lebih detail.
Untuk mendapatkan perlindungan hukum hak asasi bagi Transgender
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat menjadi
salah satu peraturan yang menjamin perlindungan bagi Transgender, yang dapat
digunakan untuk Transgenderyaitu dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berisikan cita-cita bangsa Indonesia
setelah meredeka salah satunya adalah membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Cita-cita bangsa Indonesia tersebut dapat dijabarkan bahwa Pemerintah
Indonesia menjamin perlindungan setiap warga negaranyatanpa terkecuali.
Transgender adalah kelompok orang yang merubah atau mengekspresikan
gendernya secara bebas dan terbuka. Transgender apapun kondisi gendernya tetap
berhak mendapatkan perlindungan untuk mereka. Pancasila adalah dasar Negara
Republik Indonesia yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 salah satu sila yang dapat digunakan
adalah kemanusiaan yang adil dan berabad dan Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sila ini dapat dijelaskan bahwa Kemanusiaan sangat dijunjung
di Indonesia. Kemanusiaan tidak berbatas kepada siapapun sehingga sudah
selaknyaknya Transgender diperlakukan secara adil dan sesuai dengan
martabatnya. Keadilan juga merupakan faktor penting yang menjadi perhatian,
keadilan diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia, selama Transgender adalah
rakyat dan warga Negara Indonesia maka berhak untuk mendapatkan keadilan
library.uns.ac.id 53
digilib.uns.ac.id

terutama sosial di Indonesia. Pasal yang dapat diterapkan untuk Transgender


yaitu:
a. Pasal 28A
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.”
Setiap orang diartikan semua warga Negara Indonesia tanpa terkecuali berhak
untuk hidup begitupun seorang Transgender. Transgender berhak untuk hidup
dan mempertahankan hidup serta kehidupannya sebagai seorang Transgender
selama hal itu adalah apa yang dia pilih sendiri dengan kesadaraan pikiran dan
hati nurani tanpa ada paksaan atau pengaruh dari orang lain.
b. Pasal 28C
(1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya.”
Pasal ini adalah pasal yang mengatur bahwa setiap warga Negara Indonesia
berhak untuk mendapat pendidikan yang layak demi untuk bekal warga
Negara dalam kehidupannya sedangkan ayat dua adalah berhak
mengembangkan diri menjadi lebih baik dan memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Hal ini masih
dulit di terapkan untuk Transgender karena Transgender memiliki kesan yang
negatif dimasyarakat. Pendidikan yang seharusnya untuk semua orang
menjadi sangat sulit didapatkan oleh Transgender, oleh karena itu banyak
Transgender yang kesulitan dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Transgender terus memperjuangkan hak dirinya dan sesama Transgender dan
masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
library.uns.ac.id 54
digilib.uns.ac.id

c. Pasal 28D
(1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.”
Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang dapat diartikan menjadi siapa saja
termasuk Transgender memiliki pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hakim. Semua
peraturan yang ada di Indonesia mengikat atau dapat mengatur Transgender
walapun tidak secara jelas. Setiap orang berhak berja tanpa dihalangi oleh
apapun dengan alasan apapun dan diperlakukan sama dalam bekerja dan ini
termasuk juga Transgender berhak untuk bekerja mengembangkan ilmunya
dan medapat perilaku sama seperti yang lain. Ayat (3) memang sulit terwujud
untuk Transgender tetapi pada dasarnya kondisi mereka tidak menghalangi
mereka untuk dapat kesempatan dalam pemerintahan. Ayat (4)
kewarganegaraan adalah hal yang penting untuk setiap orang maka
Transgenderpun berhak memiliki warga negara Indonesia bagi mereka yang
paling tidak lahir dan besar di Indonesia.
d. Pasal 28E
(1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
Ketuhanan Yang Maha Esa itu selanjutnya diikuti dengan ketentuan mengenai
kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan
kepercayaan masing-masing. Kebebasan disini berarti bahwa keputusan
beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu. Dengan ungkapan
library.uns.ac.id 55
digilib.uns.ac.id

lain, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara.


Negara cukup menjamin dan menfasilitasi agar warga negara dapat
menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman, bukan
menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak
harus dilakukan oleh warga negara. Demikian pula, negara sama sekali tidak
berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama; negara juga tidak berhak
memutuskan mana agama resmi dan tidak resmi; tidak berhak menentukan
mana agama induk dan mana agama sempalan. Negara pun tidak berhak
mengklaim kebenaran agama dari kelompok mayoritas dan mengabaikan
kelompok minoritas. Bahkan, negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu
agama (Siti Musdah Mulia, 2007: 6). Disamping itu setiap orang yang berada
dalam wilayah Negara Republik Indonesia juga berhak berkumpul dan
berserikat baik dengan sesama Transgender maupun dengan orang lain,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
e. Pasal 28F
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Pasal ini menegaskan bahwa Transgender juga memiliki hak berkomunikasi
didalam masyarakat dan memperoleh informasi dan menyimpan dari mana
saja dan untuk kepentingannya dalam mengembangkan diri menjadi lebih
baik.
f. Pasal 28G
(1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
library.uns.ac.id 56
digilib.uns.ac.id

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.”
Pasal ini menegaskan setiap orang juga termasuk Transgender juga berhak
mendapatkan perlindungan diri dan keluarganya atas pemaksaan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta memberikan perlindungan dari
peniksaan dan perbuatan yang dapat merendahkan martabatnya.
g. Pasal 28H
(1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Pasal ini menjelaskan bagaimana dalam meneruskan hidup berlagsung
Transgender juga berhak meneruskan hidupnya untuk dapat menikmati hidup
yang layak bukan hanya secara lahir tetapi juga batin yaitu menjadi
Transgender dan juga mendapat pelayanan kesehatan yang layak sesuai
kebutuhannya. Dalam hidup bermasyarakat Transgender juga berhak
mendapatkan perilaku yang sama tanpa ada pembedaan, mendapat jaminan
sosial dan perlindungan kepentingan pribadinya.
h. Pasal 28I
(1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
library.uns.ac.id 57
digilib.uns.ac.id

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia


adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”
Pasal ini menegaskan kembali hak yang terdapat pada Ayat (1) merupakan
hak yang dimiliki termasuk Transgender yang tidak dapat diganggu gugat
oleh siapapun. Hak dalam Ayat (1) adalah hak yang seminimalnya dipenuhi
atau dinimkati oleh setiap orang. Ayat (2) menerangkan kembali setiap orang
tidak boleh mendapatkan perilaku diskriminasi begitu pula Transgender dan
mendapat jaminan perlindungan akan tindakan yang diskriminasi. Pada Ayat
(4) di terangkan bahwa sudah kewajibannya pemerintah untuk memberikan
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia. Agar
perlindungan yang diberikan sesuai dengan harapan maka perlu diatur
kembali dengan peraturan perundang-undangan yang sesuai begitu pula
Transgender dalam menjamin dan mendapat perlindungan yang sesuai
dengannya dan sesuai dengan Negara Indonesia melalui peraturan perundang-
undangan tersendiri.
i. Pasal 28J
(1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Pasal 28J menunjukkan, bahwa pada hakekatnya pemenuhan hak asasi
manusia adalah mutlak, namun memaksakan dipenuhinya hak asasi manusia
tanpa mcmpedulikan hak asasi orang/manusia yang lain, lebih-lebih dilakukan
dengan menggunakan kekerasan ataupun perlakuan yang dikriminatif, hal
tersebut menunjukkan masih belum dipahaminya hak asasi manusia secara
benar (Hesti Armiwulan, Jurnal Yustika, Volume 7 Nomer 2 2004: 321).
library.uns.ac.id 58
digilib.uns.ac.id

Pembatasan hak asasi manusia semata-mata untuk menjamin pelaksanaan hak


asasi manusia itu sendiri sehingga sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi.
5. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia
Undang-Undang ini adalah hasil dari ratifikasi Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia. Ratifikasi ini tentu saja sudah disesuaikan dengan kondisi Negara
Indonesia. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
merupakan peraturan yang dering digunakan di Indonesia dalam hal Hak Asasi
Manusia disamping Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia Transgender dapat
menggunakan dasar hukum Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini mengakui bahwa
manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan memiliki hak asasi untuk menjamin
harkat dan martabatnya. Hak asasi manusia adalah bahwa hak asasi manusia
merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun,
sedangkan pengertian hak asasi manusia menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-
Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia adalah:
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Berikut ini pasal-pasal yang dapat diterapkan untuk Transgender:
a. Pasal 2
“Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati
library.uns.ac.id 59
digilib.uns.ac.id

melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.”
Pasal ini Negara Indonesia melalui undang-undang ini mengakui dan
menghormati hak asasi manusia yang tidak dapat dipisahkan han harus
dilindungi, dihormati dan ditegakkan. Penjabaran diatas maka Transgender
juga memiliki hak untuk mendapat perlindungan, penghormatan dan
penagakan hak asasi mereka. Negara wajib mengakui dan menjamin hak asasi
Transgender.
b. Pasal 3
(1) “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia
yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk
hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat
persaudaraan.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di depan hukum.
(3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia, tanpa diskriminasi.”
Penegasan atas “setiap orang” pada undang-undang ini adalah undang-undang
ini berlaku kepada siapa saja yang merupakan warga Negara Indonesia.
Transgender tidak ada bedanya, mereka dilahirkan dengan bebas dan memiliki
harkat dan martabat. Berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
perlakukan hukum yaitu mendapatkan kepastian hukum dan perlakuan
didepan hukum yang sama. Transgender berhak atas perlindungan dari
pemerintah atas hak-hak asasi.
a. Pasal 5 Ayat (3)
“Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.”
Penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan kelompok masyarakat
rentan antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita
library.uns.ac.id 60
digilib.uns.ac.id

hamil dan penyandang cacat. Kendati kelompok minoritas tidak tercatat,


namun dalam perkembangan wacana hukum hak asasi manusia kelompok
minoritas diakui sebagai kelompok utama subyek hukum hak asasi manusia,
bersama indigienous people dan refugees. Berbagai perjanjian internasional
hak asasi manusia, serta keputusan-keputusan penting pengadilan, juga
adanya mekanisme khusus dalam PBB baik yang berupa komite, special
rapporteur, working groups maupun independent experts menguatkan
keberadaan kelompok minoritas sebagai subyek dalam hukum HAM (Yogi
Zul Fadhli, Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014: 367-368). Dalam
perkembangannya dapat disimpulkan Transgender adalah salah satu bagian
dari masyarakat yang termasuk kelompok rentan dan harus mendapatkan
perlindungan yang dibuat secara khusus agar prospek memberikan
perlindungan dapat tercapai.
b. Pasal 8
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.”
Pasal ini menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
termasuk hak asasi Transgender.
c. Pasal 9
(1) “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera
lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Pasal 9 menyatakan setiap orang termasuk juga Transgender berhak untuk
hidup secara aman, sejahtera, hidup dilingkungan yang sehat,
memepertahankan hidupnya serta meningkatkan taraf hidupnya. Hal ini juga
library.uns.ac.id 61
digilib.uns.ac.id

Transgender juga berhak mempertahankan kehidupannya sebagai seorang


Transgender.
a. Pasal 11
“Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan
berkembang secara layak.”
Pasal ini menerangkan Transgender berhak atas pemenuhan hak dasarnya
untuk tumbuh dan berkembang maka Transgender berhak mencari atau
difasilitasi semua hal kebutuhan dalam pemenuhan hak dasar tersebut.
b. Pasal 12
“Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya,
untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan
kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa,
bertanggung jawab, berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan
hak asasi manusia.”
Pasal ini menjelaskan berhak atas perlindungan pengembangan diri dengan
berhak mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak. Oleh karena itu
Transgender berhak mendapatkan layanan pendidikan untuk meningkatkan
kualitas diri tanpa adanya pelarangan atau kesulitan untuk mendapat
pelayanan tersebut.
c. Pasal 17
“Setiap orang. tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan
dengan mengajukan permohonan. pengaduan, dan gugatan, baik dalam
perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar.”
Pasal ini mejelaskan setiap orang termasuk Transgender berhak bebas dari
diskiriminasi didepan hukum dam proses beracara di pengadilan. Transgender
library.uns.ac.id 62
digilib.uns.ac.id

diperlakukan secara sama didepan hukum dan diputus secara adil jika terlihat
suatu sengketa.
d. Pasal 20
(1) “Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
(2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita,
dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.”
Pasal ini menegaskan tidak ada seorangpun yang boleh untuk diperbudak
termasuk Transgender, tidak boleh diperbudak diperdagangkan dengan alasan
apapun.
e. Pasal 22
(1) “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal ini merupakan hak dalam kebebasan beragama. Hak ini juga termasuk
hak asasi seorang Transgender, disamping kondisi Transgender mereka tetap
berhak untuk menganut agama dan beribadah sesuai dengan yang mereka
yakini.
f. Pasal 24 Ayat (1)
“Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk
maksud-maksud damai.”
Pasal 24 Ayat (1) ini menjelaskan bahwa apapun bentuk berserikat dan
berkumpul asalkan dengan tujuan damai diperbolehkan dan tidak dilarang.
Hal ini juga berlaku kepada Transgender yang ingin berkumpul dan berserikat
baik dengan sesama Transgender atau dengan orang lain dengan tujuan yang
positif.
library.uns.ac.id 63
digilib.uns.ac.id

g. Pasal 25
“Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum,
termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Pasal ini menerangkan setiap orang juga termasuk Transgender berhak untuk
menyampaikan pendapat dia baik yang berhubungan dengan kondisinya atau
yang lain dan sesuai dengan undang-undang.
h. Pasal 30
“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”
Pasal ini memberikan jaminan kepada Transgender utnuk melakukan
perbuatan secara bebas selama hal tersebut tidak melanggar hak asasi orang
lain dan sesuai dengan paraturan perundang-undangan yang terkait.
i. Pasal 33 Ayat (1)
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaannya.”
Pasal 33 Ayat (1) ini menjelaskan bahwa seitap orang yang berada di wilayah
Indonesia bebas dari tindakan penyiksaan, penghukuman yang tidak
manusiawi. Trangender juga berhak mendapatkan perlindungan ini sebagai
jaminan Transgender tidak akan begitu saja disiksa atau dihukum harena
karena kondisinya.
j. Pasal 34
“Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan,
atau dibuang secara sewenang-wenang.”
Pasal ini menyatakan bahwa tidak seorapun termasuk Transgender dapat di
tangkap, ditahan, dikucilkan, diangsingkan atau dibuang karena kondisi
mereka sebagai seorang Transgender pada dasarnya Transgender juga seorang
manusia yang memilki harkat dan martabat yang sama.
library.uns.ac.id 64
digilib.uns.ac.id

k. Pasal 35
“Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan
yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan
melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”
Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang termasuk Transgender berhak untuk
hidup dan diterima dengan baik di dalam lingkungan masyarakat tempat dia
tinggal dan hidup dengan aman dan tenang sesuai dengan hak asasi yang telah
diakui dan diatur.
l. Pasal 38 Ayat (1)
“Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak.”
Pasal 38 Ayat (1) ini menjelaskan bahwa warga Negara termasuk Transgender
berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dan tanpa diskriminasi sesuai
dengan kemampuan dan minat mereka
m. Pasal 40
“Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang
layak.”
Pasal ini merupakan bagian untuk mewujudkan hak untuk hidup dan
melanjutkan kehidupannya yaitu berhak mendapat tempat tinggal. Untuk
dikaitkan dengan Transgender mereka berhak mendapat tempat tinggal dan
kehidupannya yang layak dan tidak diusir dengan cara apapaun dan alasan
apapun yang berhubungan dengan kondisinya sebagai seorang Transgender.
n. Pasal 41 Ayat (1)
“Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk
hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.”
Warga Negara dalam pasal ini juga termasuk Transgender berhak
mendapatkan jaminan social seperti warga Negara lainnya agar mendapat
kehidupan yang baik.
library.uns.ac.id 65
digilib.uns.ac.id

o. Pasal 43 Ayat (1)


“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
Pasal 43 Ayat (1) ini adalah hak politik setiap warga Negara yaitu untuk
memilik atau dipilih. Transgender juga memilikinya hak untuk memilik yaitu
bebas untuk memilih calon presiden atau legislatif yang baik menurutnya.
Transgender dapat mencalonkan diri jika memang memenhi persyaratan yang
tertera dalam peraturan perundang-undangan tanpa memandang kondisinya.
p. Pasal 70
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.”
Pasal ini menjelaskan tentang pembatasan-pembatasan hak asasi setiap orang
di Indonesia termasuk Transgender adalah pembatasan seraca undang-undang.
Pembatasan tersebut dilakukan untuk terwujudnya perlindungan pemenuhan
hak asasi itu sendiri dan pembatasan ini dilakukan tanpa mengurangi dari
keberadaan hak asasi didalam diri manusia. Dan setiap orang harus saling
menghormati hak asasi orang lain.
q. Pasal 71
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-
undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional
tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.”
Pasal ini merupakan penegasan pertanggungjawaban pemerintah atas
pelindungan dan pemenuhan hak asasi manusia termasuk juga hak asasi
library.uns.ac.id 66
digilib.uns.ac.id

Transgender. Pemerintah harus mempunyai perilaku yang menunjukan


perlindungan dan pemenuhan hak bukan sebaliknya.
6. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
Masyarakat Indonesia masih banyak yang beranggapan bahwa
Transgender itu seseorang yang melakukan operasi ganti kelamin. Pengertian
Transgender menurut Joanna Leung adalah mereka yang identitas gender atau
perilakunya tidak sesuai dengan jenis kelamin pada saat dilahirkan atau berada
diluar stereotip norma gender (Joanna Leung. 2017:5). Transgender pada
dasarnya belum tentu melakukan prosedur ganti kelamin, tetapi operasi atau
prosedur ganti kelamin adalah salah satu cara dalam mengekspresikan gender
yang mereka yakini. Orang yang melakukan operasi atau prosedur ganti kelamin
merupakan transeksual. Ganti kelamin di Indonesia memang dapat dilakukan
dengan mengikuti prosedur yang ada. Prosedur perubahan kelamin yang harus
dilakukan yaitu dengan mengajukan permohonan atau gugatan voluntair ke
pengadilan untuk mendapatkan penetapan hakim. Permohonan atau gugatan
voluntair yaitu Gugatan Permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang
ditarik sebagai tergugat, dalam permohonan tidak ada sengketa atau perselisihan,
hanya ada satu pihak yaitu pemohon, permohonan dikenal sebagai pengadilan
voluntair atau pengadilan pura-pura dan hasil yang dikeluarkan adalah penetapan
hakim (beschikking) (Laila M. Rasyid & Herinawati, 2015:31). Penetapan hakim
adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan (volunter), misalnya
penetapan dalam perkara dispensasi menikah, izin nikah, poligami, perwalian, dan
sebagainya. Penetapan merupakan jurisdiction valuntari (bukan peradilan
sesungguhnya) karena pada penetapan hanya ada pemohon, tidak ada lawan
hukum. Dalam penetapan hakim tidak menggunakan kata “mengadili” namun
library.uns.ac.id 67
digilib.uns.ac.id

cukup dengan menggunakan kata “menetapkan”. Trangender yang berkeinginan


untuk merubah jenis kelaminnya dapat melakukan prosedur ganti jenis kelamin
setelah mendapatkan penetapan hakim. Transgender yang sudah mendapat
penetapan hakim harus melaporkan peristawa dan mencatatkan padapejabat
Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana setempat
sesuai dengan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil. Pergantian jenis kelamin adalah tindakan yang memberikan
identitas yang berbeda dari sebelumnya untuk menjamin mereka mendapatkan
perlindungan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 28D bahwa setiap orang mempunyai hak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum. Hal ini di pertegas juga dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165), Pasal 3 ayat (3) bahwa
setiap orang mempunyai hak yang sama atas perlindungan hak asasi manusia,
kebebasan tanpa diskriminasi, dan memperoleh perlakuan yang sama di depan
hukum.Indonesia sendiri belum memiliki peraturan khusus untuk peristiwa
perubahan kelamin, tetapi dapat menggunakan Republik Indonesia, telah
diterbitkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan. Perubahan kelamin di Indonesia dapat
di golongkan sebagai Peristiwa Penting dalam Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU
Administrasi Kependudukan). Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU Administrasi
Kependudukan yang merupakan peristiwa luar biasa adalah kelahiran, kematian,
lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak,
pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.
library.uns.ac.id 68
digilib.uns.ac.id

B. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Pemenuhan Hak-Hak Bagi Transgender


Transgender menurut Katie Koch & Richard Bales dalam (UCLA
women'slaw journal, Vol. 17, 01 January 2008: 244) Transgender generally
means that a person's physiological sex is at odds with his or her psychological
view of his or her sex, yang berarti Transgender adalah orang yang memiliki
pandangan atau perasaan yang berbeda dari gender yang dia yakini dengan jenis
kelamin yang dimiliki. Transgender pada dasarnya berhubungan dengan identitas
gender mereka, terbentuknya identitas gender dapat dijelaskan berdasarkan 3
(tiga) teori psikologi yaitu (Nurdelia. Jurnal Equilibrium, Vol. III No. 1 Mei
2015: 22):
1. Teori psikoanalisis pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-
1939). Teori ini menjelaskan secara konseptual bagaimana identitas gender
terjadi pada seorang individu. Teori psikoanalisis atau teori Freud, sesuai
dengan nama pencetusnya, Sigmund Freud, menjelaskan perilaku seseorang
dengan mengaitkanya pada faktor biologis itu misalnya evolusi, gen, dan
anatomi.
2. Teori belajar sosial (social-learning theory) menjelaskan berdasarkan konsep
nature-nurture dan melihat bahwa perbedaan peran gender merupakan hasil
dari tuntutan dan harapan lingkungan. Identitas gender merupakan hasil
struktur masyarakat yang patriarchal.
3. Teori perkembangan kognitif adalah teori interaksi yang menekankan pada
interaksi antara keadaan organism, terkait perkembangan kognitifnya, dan
informasi yang ada dalam lingkungan budaya. Perilaku yang khas bagi salah
satu gender-gender specific behavior atau traits- adalah interaksi antara
pengetahuan kognitif didalam diri seseorang dan informasi yang ada dalam
lingkungan budaya.
Faktor seseorang menjadi Transgender bisa seperti yang dijabarkan diatas, dari
penjabaran tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Transgender memiliki
library.uns.ac.id 69
digilib.uns.ac.id

berbagai jenis, walapun begitu, pada umumnya hanya dibagi menjadi 2 (dua) jenis
saja yaitu Transwomen dan Transman. Transgender yang dimaksudkan penulis
adalah orang yang memilih dan mengakui dirinya sebagai seorang Transgender
baik secara psikologis yaitu dirinya yakin dia memiliki identitas yang berbeda
dengan jenis kelaminnya ataupun seorang yang memiliki alasan kesehatan
sehingga mengaburkan jenis kelamin ketika lahir. Untuk seorang mengakui
bahwa dirinya seorang Transgender memang hal yang sulit, tidak sedikit
Transgender merasa menjadi Transgender adalah sebuah penyakit seperti dari
data wawancara dari laporan kajian pandangan Transgender terhadap status
gender dan persamaan hak asasi manusia di Jakarta, Bogor, Depok dan
Tangerang, 2015 yang menyatakan sebagai berikut:
“Saya kayak gini karena saya mempunyai penyakit bukan karena, ‘ini loh gue,
gini nih gue apa adanya.” (WM, TG, KK 21 Jakarta) (Rita Damayanti, 2015: 9).
Ada juga yang menganggap bahwa mereka menjadi seorang Transgender adalah
sebuah kodrat Tuhan, seperti pernyataan berikut ini:
“Waria itu nyimpang bagaimana orang dari hatinya yang penting jangan
nyakitin orang aja, udah pada ngerti orang-orang juga. Kalo sakit demam flu
bisa disembuhin, kalo hati disembuhin? Menurut saya bukan nasib, kodrat kalo
nasib bisa dirubah kalo kodrat?” (WM, TG, RK 33 Jakarta) (Rita Damayanti,
2015: 9).
Melalui penjabaran diatas, penulis menganalisa bagaimana pelaksanaan
perlindungan dan pemenuhan hak Transgender, Transgender yang dimaksud oleh
penulis sesuai dengan penjelasan diatas. Pelasanaan perlindungan dan pemenuhan
hak Transgender dilihat dari beberapa aspek yaitu sebagai berikut:
a. Kesamaan Hak Warga Negara
Perlindungan hukum merupakan salah satu hak asasi manusia hal ini
tercantum dalam Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
pasal ini tidak mengatur secara langsung tetapi dari penekanan kata semua
library.uns.ac.id 70
digilib.uns.ac.id

orang berarti Transgender termasuk dalam kategori yang berhak mendapatkan


perlindungan hukum. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama
terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini,
dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam
ini.”
karena perlindungan hukum merupakan hak asasi manusia berarti semua
manusia berhak mendapatkan perlindungan hukum yaitu perlindungan dari
semua tindak diskriminasi. Manusia merupakan mahkluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa begitu juga Transgender. Setiap manusia yang lahir memiliki harkat
martabat, pikiran, hati nurani dan hak asasi manusia begitu pula Transgender.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas
oleh siapapun. Transgender sebagai seorang manusia juga memiliki hak asasi
yang sama dengan yang lain dengan begitu Transgender juga berhak
mendapatkan perlindungan hukum dalam hal ini perlindungan hukum yaitu
perlindungan dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi menurut Pasal 1 Ayat
(3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yaitu
“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas
dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya. dan aspek kehidupan lainnya.”
Pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau penegakan hak asasi manusia
di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, terutama bagi Transgender.
library.uns.ac.id 71
digilib.uns.ac.id

Perlindungan dan pengakuan hak asasi manusia bagi Transgender memang


tidak diterangkan secara jelas pada peraturan perundang-undangan di
Indonesia, tetapi secara tidak langsung peraturan yang ada di Indonesia dapat
diberlakukan untuk Transgender yang ada di Indonesia karena mereka masih
merupakan warga Negara Indonesia. Pelaksanaan yang belum maksimal
karena isu mengenai Transgender memang tidak jauh dari LGBT (Lesbian,
Gay, Bisex, Trangender) adalah isu yang sensitif bukan hanya di Indonesia
tetapi di berbagai Negara. Transgender semakin sulit untuk diterima karena
bertentangan dengan ideologi dan agama mayoritas di Indonesia. Sebenarnya
Transgender bukan lagi suatu hal yang baru di Indonesia mereka sudah ada
sejak dulu dan pada tahun 1965 Transgender mulai terdengar pada saat itu
penyebutan istilah Transgender berbeda dari sekarang dan padal 1969
dibentuklah kelompok pertama yang memang mewadahi para Transgender
yang ada di Indonesia. Eksistensi Transgender yang memang sudah ada sejak
dari dulu tidak membuat kehidupan seorang Transgender semakin terlindungi
namun sebaliknya kehidupan Transgender sangat rawan atas tindak
diskriminasi. Ironinya tindak diskriminasi ini tidak hanya berasal dari
masyarakat sekitar, organisasi masyarakat, tetapi juga dari beberapa tokoh
penting yang ada di Indonesia dan dari pemerintah Negara Indonesia sendiri.
Pemerintah yang seharusnya sebagai perwakilan Negara dalam melindungi
warga negaranya justru menjadi pelaku diskriminasi tersebut, berdasarkan
Deklarasi Universal Hak Asasi Mnusia (DUHAM) penjamin perlindungan
hukum kepada setiap warga negara termasuk Transgender yang ada di
Indonesia adalah Negara Indonesia, karena perlindungan hak asasi manusia
merupakan tanggung jawab Negara. Tanggung jawab negara merupakan suatu
prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin
kedaulatan dan persamaan hak antar negara. Tanggung jawab negara timbul
apabila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu
library.uns.ac.id 72
digilib.uns.ac.id

perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional. Kewajiban


negara dalam memberikan perlindungan, pemajuan serta penghormatan
terhadap HAM, yang menjadi perhatian seluruh dunia dewasa ini, merupakan
konsep dunia modern setelah Perang Dunia Kedua (Muhammad Jailani.
Jurnal Syiar Hukum Vol. XIII. No. 1 Maret 2011: 83-84).
Pertanggungjawaban Negara Indonesia diatur dalam Pasal 28I Ayat 4
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi:
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
Dan diatur lebih jelas pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Nomer 39 Tahun 1945 Pasal 71 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-
undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional
tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.”
Melihat penjabaran pasal diatas adalah pemerintah bertanggung jawab atas
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia warga
negaranya. Pada dasarnya pemerintah memang harus melindungi warga
negaranya tanpa adanya pembedaan. Dengan adanya sikap pemerintah yang
masih acuh tak acuh, dan cenderung melakukan tindak diskriminasi kepada
Transgender membuat posisi Transgender di Indonesia semakin tidak
menguntungkan.
b. Pengelompokan Khusus Bagi Transgender
Transgender merupakan kelompok minoritas yang ada di Indonesia.
Kelompok minoritas pada dasarnya merupakan kelompok yang lebih
membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Pengelompokan
Transgender sebagai kelompok minoritas di Indonesia bukan tanpa dasar
karena pada tahun 2016 Komnas HAM menggolongkan Transgender menjadi
library.uns.ac.id 73
digilib.uns.ac.id

kelompok minoritas di Indonesia yang tergabung dalam Kelompok Minoritas


berdasarkan Identitas Gender dan Orientasi Seksual. Perlindungan kelompok
minoritas didasarkan oleh Resolusi No. 47/135 tentang Deklarasi Hak Orang-
orang yang termasuk Kelompok Minoritas Bangsa atau Suku Bangsa, Agama
dan Bahasa (Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or
Ethnic, Religious and Linguistic Minorities) yang dikeluarkan oleh Majelis
Umum PBB pada tahun 1992. Semakin berkembangnya waktu pada tahun
2010 PBB menilai dan mengkaji kembali Deklarasi Hak Orang-orang yang
termasuk Kelompok Minoritas Bangsa atau Suku Bangsa, Agama dan Bahasa
(Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic,
Religious and Linguistic Minorities) bahwa (Choirul Anam, dkk, 2016:14):
1) Sekalipun kelompok target yang dilindungi awalnya oleh Deklarasi Hak
Minoritas (1992) ini terbatas pada tiga identitas, namun tidak bisa
dipungkiri bahwa, kelompok minoritas ini bisa mengalami diskriminasi
ganda dengan jenis diskriminasi lain seperti gender, orientasi seksual,
disabilitas. Selain itu, kelompok minoritas ini bisa berada di kelompok
yang dimarjinalkan yang kadang tidak terlihat, tapi ada. Oleh karena itu,
cakupan kelompok minoritas harus diperluas untuk memastikan mereka
ada, terlihat (eksis) dan patut dilindungi.
2) Untuk memastikan bahwa individu ini adalah orang yang masuk dalam
kelompok minoritas, maka umumnya negara-negara menyepakati dua
kriteria untuk menentukan seseorang berhak mendapatkan perlindungan
atas hak minoritasnya:
a) Kriteria objektif yaitu kriteria sebagaimana tertera dalam definisi
Capotorti;
b) Kriteria subjektif yaitu dimana anggota kelompok minoritas yang
dimaksud secara sadar menginginkan memelihara karakteristiknya
yang berbeda, dan individu itu sendiri yang secara sadar menyatakan
dirinya bagian dari kelompok yang dimaksud.
library.uns.ac.id 74
digilib.uns.ac.id

Peraturan tentang minoritas di Indonesia terdapat pada Pasal 5 Ayat


(3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:
“Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.”
Maka dari itu pemerintah wajib melakukan pengakuan dan perlindungan
paling tidak terhadap 4 aspek sebagai berikut (Choirul Anam, dkk, 2016:14-
15):
1) Kemampuan bertahan dan eksistensi (Survival and Existence).
Aspek ini merupakan bentuk penikmatan terkait eksistensi
(pengakuan atas keberadaan) sebagai “kelompok penyandang hak” dalam
suatu negara. Pengakuan atas eksistensi merupakan pengakuan secara
sosiologis (keberadaan fisik) dari kelompok minoritas. Sedangkan
pengakuan identitas merupakan pengakuan sebagai entitas legal dalam
suatu negara. Aspek pengakuan tersebut meliputi, antara lain hak untuk
mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan dan identitas
kebangsaan atau etnis, budaya, agama, dan bahasa. Dalam berbagai situasi
baik konflik atau pun tidak, kelalaian melindungi keberadaan individu
kelompok minoritas bisa berujung pada kondisi displacement (terusir dan
hilangnya ruang hidup) bagi mereka, yang bahkan bisa berdampak pada
hancur atau musnahnya kelompok tersebut.
2) Pemajuan dan Perlindungan Identitas kelompok minoritas (Promotion and
Protection of the Identity of Minorities).
Aspek ini merupakan bentuk penikmatan yang diperlukan untuk
memajukan identitas kelompok dan mencegah upaya-upaya yang dapat
mengakibatkan lenyapnya dan hancurnya identitas dan kebudayaan
mereka. Sebagai contoh, larangan terhadap asimilasi secara paksa. Hal ini
tidak saja menekankan pada keharusan sikap toleran, melainkan juga
library.uns.ac.id 75
digilib.uns.ac.id

keharusan untuk melindungi dan menghormati identitas mereka. Bahkan


untuk memastikan pemulihan hak suatu kelompok minoritas yang
terabaikan, apabila dibutuhkan negara wajib memberikan perlakuan
khusus (affirmative) terhadap mereka sebagai bentuk keberpihakan. Aspek
Promosi dan Perlindungan meliputi antara lain hak untuk
mengekspresikan budaya.
3) Kesetaraan dan Non-diskriminasi (Equality and Non-Discrimination)
Di depan hukum, kedua prinsip ini sangat mendasar, dan bahkan
tidak diperlukan pembuktian terhadap intensi atau niat diskriminasi
tersebut. Jika ada tindakan afirmatif, maka itu harus dipastikan untuk
menggantikan kerugian atas diskriminasi yang pernah terjadi, ataupun
untuk memperbaiki ketidaksetaraan yang terjadi saat ini.
4) Partisipasi yang Efektif dan Bermakna (Effective and Meaningful
Participation).
Partisipasi kelompok minoritas dalam berbagai aspek di ruang
publik dan privat sangat penting untuk mempertahankan identitas mereka.
Partisipasi ini tidak hanya bersifat formalitas, tapi harus efektif dan
bermakna. Bahkan dalam forum-forum terkait masalah minoritas,
ditegaskan kembali bahwa agar partisipasi bisa efektif, maka Negara pihak
harus memastikan adanya partisipasi formal, yaitu memastikan partisipasi
representasi kelompok minoritas yang memiliki pengaruh substantif pada
keputusan yang diambil sehingga terbangun perasaan memiliki atas
keputusan yang dibuat. Partisipasi berarti juga adanya mekanisme yang
memastikan keragaman masyarakat terwujud dalam institusi publik seperti
parlemen, polisi, maupun peradilan. Dengan demikian, individu anggota
kelompok minoritas bisa terwakili, terkonsultasikan dan memiliki suara
dalam keputusan institusi publik yang berpengaruh pada mereka atau di
wilayah dimana mereka tinggal.
library.uns.ac.id 76
digilib.uns.ac.id

c. Pelaksanaan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Transgender Melalui


Kasus-Kasus
Berikut ini adalah beberapa kasus yang dipilih oleh penulis untuk
menunjukkan bagaimana pelaksanaan perlindungan kepada Transgender di
Indonesia:
1) Kasus perlindungan dan pemenuhan hak belum terlaksana
a) Pondok Pesantren untuk waria Al-Fatah di Bantul, Yogyakarta,
akhirnya ditutup oleh aparat pemerintah setempat karena dianggap
tidak berizin dan meresahkan warga setempat. Penutupan ini
dipertanyakan oleh LBH Yogyakarta, kuasa hukum pesantren tersebut,
yang menilainya sebagai bentuk penghakiman secara sepihak.
Keputusan penutupan pesantren ini dilakukan setelah ada pertemuan
pengelola pesantren, perwakilan warga, dan pimpinan Front Jihad
Islam (FJI), Rabu (24/02) malam, di kantor Balai Desa Jagalan,
Banguntapan, Bantul, DIY. “Ponpes akhirnya ditutup,” kata Camat
Banguntapan, Jati Bayubroto, Kamis (25/02), kepada wartawan
setempat Yaya Ulya, yang melaporkan untuk BBC Indonesia.
Alasannya, selain tidak memiliki izin, lokasi pesantren waria tersebut
adalah rumah tinggal Shinta Ratri, yang berada di pemukiman warga
(https://www.bbc.com/Indonesia/berita_Indonesia/2016/02/160225_In
donesia_ponpes_waria_ditutup diakses pada 17 Juli 2018 pukul 14.30
WIB).
b) Bupati Aceh Besar Mawardi Ali mengeluarkan intruksi yang berisi
tentang larangan waria dan LGBT bekerja atau pun mengelola salon
atau rumah kecantikan. Mawardi mengaku di wilayah yang
dipimpinnya tidak boleh sama sekali ada perilaku menyimpang dan
harus jelas laki-laki dan perempuan. Bupati Aceh Besar Mawardi
menjelaskan bahwa waria dan kelompok LGBT tidak dibolehkan
membuka tempat usaha yang kemudian memperkerjakan orang lain.
library.uns.ac.id 77
digilib.uns.ac.id

Surat intruksi tersebut sudah disampaikan ke Satpol PP dan Wilayatul


Hisbah (WH/Polisi Syariat) untuk melakukan sosialisasi. Surat edaran
tersebut berisi Pencabutan perizinan terhadap usaha
pangkas/salon/rumah kecantikan yang dikelola dan didami oleh
kelompok LGBT dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar
(https://news.detik.com/berita/d-3865020/larang-lgbt-kerja-di-salon-
bupati-mawardi-sosialisasi-1-bulan diakses pada 11 Mei 2018 pukul
17.33 WIB).
c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memberikan sanksi terhadap
program acara variety show "Brownis Tonight" yang tayang di Trans
TV. Keputusan pemberian sanksi itu dirilis oleh KPI melalui laman
resminya. KPI menilai program acara Brownis Tonight, yang
ditayangkan pada 28 Maret 2018 pukul 19.00 WIB dan 29 Maret 2018
pukul 18.52 WIB telah menampilkan muatan yang membahas isu
Transgender. Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano mengatakan,
keputusan itu diambil berdasarkan pengaduan masyarakat dan hasil
analisis pihaknya. Pasal yang dilanggar adalah Pasal 13, Pasal 14 Ayat
(2), dan Pasal 15 Ayat (1) huruf b Pedoman Perilaku Penyiaran (P3),
dan Pasal 13 Ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 Ayat (1), serta Pasal 17 Ayat
(2) huruf b Standar Program Siaran (SPS). Hardly menjabarkan,
pembahasan tentang isu Transgender alias LGBT (Lesbianan, gay,
biseksual, dan Transgender) dalam program siaran telah melanggar
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS)
KPI tahun 2012. Jenis pelanggaran itu dikategorikan sebagai
pelanggaran atas ketentuan tentang penghormatan terhadap hak
privasi, perlindungan anak, dan perlindungan kepada orang dengan
identitas gender tertentu. "Aturan dalam P3 & SPS itu sudah jelas,
baik tentang penghormatan terhadap nilai dan norma kesusilaan dan
kesopanan, ataupun tentang perlindungan anak dan remaja yang
library.uns.ac.id 78
digilib.uns.ac.id

melarang adanya muatan yang mendorong anak dan remaja belajar


tentang perilaku tidak pantas dan/atau membenarkan perilaku tersebut.
(https://entertainment.kompas.com/read/2018/04/10/140739110/angka
t-isu-Transgender-kpi-tegur-program-brownis-transtv diakses pada 14
Mei 2018 pukul 12:02 WIB).
d) Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menyatakan penolakan
LBGT (Lesbian, Bisex, Gay, Transgender) sebagai mahasiswa di
Universitas Andalas adalah hak Universitas, tidak perlu perda untuk
untuk hal ini mahasiswa berhak mendapat pendidikan yang aman dan
bebas dari penyimpangan social (https://news.detik.com/berita/d-
3490698/gubernur-sumbar-bicara-soal-unand-yang-tolak-mahasiswa-
lgbt diakses pada 20 Juli 2018 pukul 23.26 WIB).
e) penutupan-penutupan secara paksa kelompok yang dibuat khusus
untuk Transgender.
Analisis kasus diatas adalah sebagai berikut, ketiga kasus diatas
terlihat adanya pelanggaran hak asasi Transgender dan ketidaksesuaian
dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yaitu prinsip kesetaraan adanya
perlakuan yang setara, di mana pada situasi sama harus diperlakukan
dengan sama, dan dengan perdebatan, di mana pada situasi yang berbeda
diperlakukan dengan berbeda pula, asas non-diskriminasi (non-
discrimination) adalah asas ini memastikan bahwa tidak seorangpun dapat
meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar, misalnya ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya,
dan asas tanggung jawab negara (state responsibility) yaitu Negara dan
para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati dan
melindungi hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini, mereka harus tunduk
pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum didalam instrumen-
instrumen HAM. Seandainya mereka gagal dalam melaksanakan tanggung
jawabnya, pihak-pihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan
library.uns.ac.id 79
digilib.uns.ac.id

secara layak sebelum tuntutan itu diserahkan pada sebuah pengadilan yang
kompeten atau adjudikator (penuntut) lain yang sesuai dengan aturan dan
prosedur hukum yang berlaku. Pada kasus pertama yaitu pelarangan dan
penutupan paksa pesantren yang dibangun dan dibuat khusus untuk
Transgender ini menandakan tidak ada kesetaraan antara Transgender dan
warga negara dalam menganut agama yang dipercayai. Transgender dan
warga negara Indonesia yang lain yaitu sama, sama sebagai mahkluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sejak lahir diberikan hati nurani dan
pikiran untuk menyakini dan menganut agama yang dia percayai hal ini
ditegaskan dalam pasal Pasal 22 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang berbunyi:
(2) “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Dalam pasal ini menunjukan setiap orang bebas untuk memeluk agamanya
sendiri termasuk Transgender walapun mereka tidak bertinkah laku sesuai
kodrat pada saat dilahirkan bukan berarti mengurangi hak mereka untuk
dapat memeluk agama dan beribadat kepada Tuhan yang mereka percayai.
Hak untuk dapat memeluk agamanya adalah merupakan hak yang dimana
pemerintah harus melakukan suatu hal agar setiap warganya dapat
terpenuhi hak tersebut. Selain itu penutupan pesantren tersebut diawali
dengan adanya ancaman oleh ormas Front Jihad Islam (FJI) karena
menurut mereka pesantren ini melanggar atau menyalahi aturan hukum
islam yang ada dan meresahkan masyarakat. Perbuatan ormas ini
merupakan perbuatan diskriminasi hanya karena Transgender beda dari
keadaan yang seharusnya mereka jalani. Akhirnya pemerintah dalam hal
library.uns.ac.id 80
digilib.uns.ac.id

ini diwakilkan oleh Polri menutup paksa pesantren tersebut karena tidak
berizin dan meresahkan warga setempat. Hal ini menunjukkan bahwa ada
tindak diskriminasi dari pemerintah yang secara tidak langusng
menghalangi Transgender untuk memeluk dan beribadat kepada Tuhan.
Menurut penulis beragama adalah sebuah urusan pribadi setiap manusia
dan tidak boleh dicampurtangankan oleh orang lain selama cara beragama
tersebut tidak mengganggu ketentraman dan keamanan negara. Pada kasus
kedua terdapat pelanggaran beberapa hak Transgender yang saling
berhubungan yaitu hak untuk bekerja, hak untuk memperoleh penghasilan,
hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan hidup. Setiap orang untuk
dapat hidup dan meneruskan kehidupannya membutuhkan sumber
penghasilan yang diperolehnya dari bekerja jika mereka tidak dapat
bekerja maka kemampuan mereka untuk melangsungkan hidup juga
terganggu. Kebijakan ini melanggar Pasal 11 Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh
dan berkembang secara layak.”
Kebijakan terebut menutupi atau merampas Transgender dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya untuk dapat melanjutkan dan berkembang menjadi
lebih baik.
Kasus kedua tidak ada prinsip kesetaraan dan prinsip non
diskiriminasi oleh kebijakan Bupati Aceh Besar. Prinsip kesetraan hilang
ketika beliau menerangkan bahwa Aceh besar tidak mengenal waria atau
perilaku menyimpang yang ada di Aceh Besar adalah laki-laki dan
perempuan. Penutupan dan pencabutan ijin yang dilakukan merupakan
tindakan diskriminasi yang tidak membolehkan seseorang bekerja apalagi
kebijakan Bupati Aceh Besar ini bisa mematikan hak kewarganegaraan
Transgender yang berada di Aceh Besar. Sama seperti pada kasus pertama
library.uns.ac.id 81
digilib.uns.ac.id

hak untuk berkerja ini merupakan hak yang harus ada campur tangan dari
negara yaitu pemerintah agar semua warga negara dapat mendapat
pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan menerima upah yang
sesuai. Peraturan ini ada dalam kovenan internasional hak-hak sosial,
ekonomi dan budaya pada Pasal 6 yang berbunyi:
(1) “Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan,
termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah
melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan
akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi
hak ini.
(2) Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada
Kovenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus
meliputi juga bimbingan teknis dan kejuruan serrta program-program
pelatihan, kebijakan, dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan
ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang
penuh dan produktif, dengan kondisi-kondisi yang menjamin
kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar bagi perorangan.”
Seperti pada Ayat (2) sudah dijelaskan bahwa jika memang Transgender
belum mampu untuk mendapat pekerjaan yang layak maka pemerintah
wajib memberikan pelatihan kepada Transgender agar dapat memenuhi
standar kerja dan menyediakan lapangan kerja untuk mereka bukan
melarang seorang Transgender untuk bekerja. Mungkin memang Bupati
Aceh Besar melarang untuk mendirikan salon kecantikan dan bekerja pada
salon kecantikan dan Transgender dapat bekerja ditempat lain tetapi jika
memang kemampuan mereka khusus pada hal tersebut ini yang menjadi
masalah dan dapat membuat memaksa Transgender bekerja pada
pekerjaan yang tidak seharusnya.
Pada kasus kasus ketiga terdapat pelanggaran prinsip kesetaraan,
prinsip non diskriminasi dan prinsip pertanggungjawaban negara.
Pelarangan menampilkan atau mengangkat isu Transgender pada layar
televisi telah melanggar hak untuk menyampaikan pendapat dan
memperoleh informasi seperti yang diatur pada Pasal 14 Undang-Undang
library.uns.ac.id 82
digilib.uns.ac.id

Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia yaitu:
(1) “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.”
Pada pasal ini dijelaskan setiap orang dapat memperoleh informasi yang
diperlukan dengan adanya larangan pengangkatan isu Transgender pada
televisi menghalangi hak Transgender yang lain untuk dapat memperoleh
informasi melalui televisi yang kebanyak warga negara Indonesia masih
bergantung dengan televisi untuk mendapatkan informasi-infirmasi yang
mereka inginkan. Selain itu juga melanggar Pasal 25 Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum,
termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Larangan tersebut menghalangi Transgender atau orang yang paham akan
Transgender untuk membagikan informasi mengenai Transgender kepada
masyarakat bukan hanya kepada sesama Transgender. Penghalangan ini
berdampak buruk akan citra Transgender dimata masyarakat apalagi
dengan penjabaran yang dilakukan oleh Komisioner KPI Pusat Hardly
Stefano yang menjabarkan:
“Bahwa pembahasan tentang isu Transgender alias LGBT (Lesbianan,
gay, biseksual, dan Transgender) dalam program siaran telah melanggar
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI
tahun 2012. Jenis pelanggaran itu dikategorikan sebagai pelanggaran
atas ketentuan tentang penghormatan terhadap hak privasi, perlindungan
anak, dan perlindungan kepada orang dengan identitas gender tertentu.
Aturan dalam P3 & SPS itu sudah jelas, baik tentang penghormatan
terhadap nilai dan norma kesusilaan dan kesopanan, ataupun tentang
library.uns.ac.id 83
digilib.uns.ac.id

perlindungan anak dan remaja yang melarang adanya muatan yang


mendorong anak dan remaja belajar tentang perilaku tidak pantas
dan/atau membenarkan perilaku tersebut.”
Hal ini adanya penjabaran peraturan yang membuat Transgender menjadi
suatu perilaku yang tidak pantas atau menyimpang terhadap nilai dan
norma kesusilaan dan kesopaan dan dapat mengancam generasi anak dan
remaja. Citra Transgender yang pada awalnya memang tidak terlalu bagus
di masyarakat dengan ini semakin memperparah keadaan dan membuat
seolah-olah Transgender adalah sesuatu hak yang harus dibasmi padahal
Transgender dengan orang Transgender itu adalah sama saja yaitu sama-
sama seorang manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki hak
dan kewajiban yang tidak jauh berbeda.
Kasus keempat adanya penolakan penerimaan mahasiswa LGBT
secara tidak langsung mengurangi akses Transgender untuk dapat
memperoleh pendidikan yang layak untuk dapat mengembangkan dirinya.
Penolakan ini melanggar Pasal 12 Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
berbunyi:
“Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya,
untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan
kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa,
bertanggung jawab, berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai
dengan hak asasi manusia.”
Sudah jelas bahwa setiap orang termasuk Transgender berhak atas
pelindungan untuk mengembangkan diri dengan memperoleh atau
mendapat pendidikan yang setinggi mungkin sesuai dengan kemampuan
dan sesuai dengan hak asasi Transgender. Pernyataan Gubernur Sumatera
Barat melanggar Pasal 2 Ayat (2) Kovenan Internasioal Hak-Hak Sosial,
Ekonomi dan Budaya yang berbunyi:
library.uns.ac.id 84
digilib.uns.ac.id

“Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak
yang diatur dalamKovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi
apapun sepertii ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
kelahiran atau status lainnya.”
Gubernur Sumatera Barat adalah salah satu wakil dari anggota kovenan ini
yang seharusnya tidak melakukan tindak diskriminasi apapun termasuk
atas status gender mereka.
Kasus nomor 5 (lima) adalah penutupan kelompok masyarakat
pendukung Transgender, penutupan ini melanggar Pasal 24 Ayat (1)
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk
maksud-maksud damai”
Kelompok ini memiliki tujuan yang damai yaitu membela nasib
Transgender, memberikan informasi-informasi penting soal transgeder dan
yang lain kepada Transgender dan membantu Transgender dalam
memberikan bantuan hukum kepada Transgender yang memiliki masalah.
Penutupan ini membuat berkurangnya kelompok masyarakat yang peduli
dan berjuang atas hak-hak Transgender yang belum terpenuhi kepada
negara.
Analisis kasus-kasus diatas dapat disimpulkan bahwa perlindungan
terhadap Transgender masih jauh dari harapan dan Transgender masih dan
semakin bertambah banyak mendapat tindakan diskriminasi dan perilaku
tidak menyenangkan. Pelaku tindak diskriminasi itu didominasi oleh
negara, negara dalam hal ini seharusnya melakukan kewajiban dan
perlindungan hak gagal dalam menjalankan tugasnya. Kelima kasus
tersebut hanyalah contoh masih banyak kasus yang lain dimana
Transgender memperoleh tindakan diskriminasi dan perilaku tidak
library.uns.ac.id 85
digilib.uns.ac.id

menyenangkan. Transgender harus diperlakukan sama seperti warga


negara yang lain.
2) Kasus pelindungan dan pemenuhan hak sudah terlaksana
Pelaksanaan perlindungan yang kurang maksimal berarti terdapat
beberapa atau sebagian masyarakat dan aparat negara yang berusaha dan
berjuang agar Transgender mendapatkan haknya dan mendapatkan
kehidupan yang lebih layak di Indonesia. Aparat negara yang sampai
sekarang masih memperjuangkan hak Transgender adalah Komnas HAM.
Komnas HAM dalam Pasal 1 Ayat (7) adalah:
“Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas
HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.”
Memberikan perlindungan kepada trandgender akan hak asasi mereka
merupakan tugas Komnas HAM yang diatur dalam Pasal 75 Undang-
Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang berbunyi:
“Komnas HAM bertujuan:
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi
manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945.
dan Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, serta Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.”
Salah satu tindakan Komnas HAM yang dapat dilihat secara langsung
melindungi hak asasi transgeder pada saat kasus penerimaan CPNS
Kejaksaan yaitu, Kejaksaan melarang Transgender dan orang yang
memiliki kelainan seksual untuk dapat melamar di instansinya pada tes
CPNS tahun 2017 dengan meneluarkan persyaratan khusus yang berbunyi
"Tidak buta warna baik parsial maupun total, tidak cacat mental termasuk
library.uns.ac.id 86
digilib.uns.ac.id

kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (Transgender), dan bebas


Narkoba serta mempunyai postur…". Kebijakan Kejaksaan Agung
tersebut mendapat teguran dari Komnas HAM dengan mengeluarkan Surat
Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor: 45/WATUA II/IX/2017 tanggal 1 September 2017,
Perihal Rekomendasi untuk Proses Rekrutmen CPNS Kejaksaan Agung
Republik Indonesia. Kejaksaan Agung Negara Republik Indonesia
sehubungan dengan surat teguran dari Komnas HAM mengambil tindakan
yaitu meralat persyaratan khsusus bagi semua pelamar pada website resmi
Kejaksaan Agung sebagai berikut yaitu salah satu persyaratan khusus bagi
semua pelamar (nomor 3) yang semula berbunyi: "Tidak buta warna baik
parsial maupun total, tidak cacat mental termasuk kelainan orientasi seks
dan kelainan perilaku (Transgender), dan bebas Narkoba serta mempunyai
postur..." berubah menjadi "Tidak buta warna baik parsial maupun total,
tidak cacat mental, dan bebas Narkoba serta mempunyai
postur..."(http://makassar.tribunnews.com/2017/09/14/cpns-2017-sempat-
dilarang-Transgender-dan-kelainan-seksual-bisa-lamar-di-sini-ada-1000-
formasi?page=all diakses pada tanggal 11 Mei 2018 pukul 22:02 WIB).
Pada kasus diatas secara jelas Kejaksaan mencatumkan syarat
bahwa yang boleh mendaftar adalah tidak buta warna baik parsial maupun
total, tidak cacat mental termasuk kelainan orientasi seks dan kelainan
perilaku (Transgender), dan bebas Narkoba serta mempunyai postur.
Syarat tidak cacat mental termasuk kelainan orientasi seksual dan kelainan
perilaku (Transgender) adalah tindak diskriminasi secara langsung yang
dilakukan oleh Kejaksaan padahal Transgender sudah tidak lagi
merupakan penyakit mental pernyataan ini dikeluarkan oleh WHO.
Kejaksaan secara langsung melanggar Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
yang berbunyi:
library.uns.ac.id 87
digilib.uns.ac.id

“Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan,


berhak atas pekerjaan yang layak.”
Jika memang seorang Transgender mampu, layak dan sesuai denga
persyaratan untuk mendaftar jadi seharusnya kejaksaan tidak menghalangi
hal tersebut. Beruntung Komnas HAM tanggap dan langsung menegur
Kejaksaan yang langsung mengganti persyaratan tersebut dengan
menghilangkan klausa tidak cacat mental termasuk kelainan orientasi
seksual dan kelainan perilaku (Transgender).
Pemenuhan hak asasi transgeder juga dilakukan oleh dinas
kesehatan yang memberikan bantuan layanan kesehatan kepada
Transgender. Menurut penulis selain kelompok masyarakat yang
tergabung dalam kelompok untuk kepentingan Transgender, kelompok
masyarakat yang sadar bahwa Transgender perlu dilindungi, dinas
kesehatan dan Komnas HAM tidak ada lagi yang berperan aktif dalam
pembelaan trangender.
Perlindungan yang telah diberikan kepada Transgender tidak mampu
memenuhi minimal hak yang harus didapat sebagai warga negara yaitu:
a) hak atas pengakuan bahwa Transgender sama seperti warga negara
yang lain
b) hak untuk tidak mendapat perlakuan diskrimisi
c) hak mendapat perlindungan dari negara
d) hak untuk hidup
e) hak untuk melanjutkan hidup dengan layak dan hak atas kebebasan
memilik kelangsungan hidupnya
f) hak untuk mendapat pekerjaan
g) hak untuk beragama dan beribadat
h) hak untuk memperoleh pendidikan
i) hak untuk berkumpul dan berserikat
library.uns.ac.id 88
digilib.uns.ac.id

j) hak untuk menyampaikan pendapat dan hak untuk memperoleh


informasi.
d. Pembatasan Pemenuhan Hak Transgender
Pelindungan hak asasi manusia tidak lepas dari pembatasan hak asasi
tersebut. Pembatasan hak asasi di atur pada Pasal 73 Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi yang berbunyi:
“Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat
dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan
dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”
Pembatasan dilakukan berdasarakn peraturan yang ada dan pembatasan
dilakukan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia
itu sendiri disamping itu pembatasan dilakukan untuk menyesuaikan keadaan
negara masing-masing agar tetap tercipta keamanan negara dan terlindunginya
kepentingan negara. Pembatasan hak asasi manusia di Indonesia berdasarkan
Pancasila sebagai dasar negara. Negara Indonesia merupakan negara hukum
yang menjunjung agama seperti sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa. Agama di Indonesia masih memiliki pengaruh kuat dalam
pemerintah dan masyarakat. Untuk dapat mengakui Transgender secara
hukum memang susah paling utama adalah terganjal oleh agama. Pandangan
Transgender di masyarakat tidak baik. Masyarakat luas mengetahui bahwa
Transgender selalu berputar pada perubahan kelamin, waria, homoseksual,
hubungan badan dengan sesama jenis. Transgender berbeda dari homoseksual.
Transgeder memiliki masalah atas identitas gender mereka yang berbeda dari
jenis kelamin pada saat lahir. Sedangkan homoseksual memiliki masalah
dengan ketertarikan seksual mereka. Transgender belum tentu seorang
transsekseual (orang yang melakukan prosedur ganti kelamin) dan belum
tentu seorang homoseksual. Perlu adanya perubahan pandangan dari
masyarakat terhadap Transgender untuk dapat membuat Transgender merasa
library.uns.ac.id 89
digilib.uns.ac.id

lebih diterima di lingkungan msyarakat dan meresa hidup dengan normal.


Cara berpikir masyarakat bahwa hanya ada dua jenis gender atau kelamin
yang diterima yaitu laki-laki dan perempuan membuat Transgender sulit
diterima. Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum dan
status hukum yang sah yaitu dengan membolehkan Transgender untuk
melakukan perubahan kelamin memalui gugatan permohonan di pengadilan.
Ketetapan hakim yang menetapkan seseorang berubah kelamin menjadi
gender yang diinginkan merupakan hal penting dalam mencari status yang sah
secara hukum setelah operasi perubahan kelamin. Pencatatan kembali
kependudukan seorang Transgender yaitu diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Pencatatan perubahan kelamin di pencatatan kependudukan merupakan
peristiwa penting. Yang lain Peristiwa penting menurut Pasal 56 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
yang berbunyi:
(1) “Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat
Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah
adanya penetapan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(2) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan
penetapan pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan
Peristiwa Penting lainnya diatur dalam Peraturan Presiden. dalam pasal
diatas memang tidak disebutkan.”
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan pencatatan perubahan kelamin diatur lebih lanjut
library.uns.ac.id 90
digilib.uns.ac.id

pada Pasal 97 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008


tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
merupakan penjelasan dan tata cara pencatatan perubahan jenis kelamin. Pasal
tersebut berbunyi:
(1) “Pencatatan pelaporan peristiwa penting lainnya dilakukan oleh pejabat
Pencatatan Sipil pada Instansi, pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana
tempat terjadinya peristiwa penting lainnya.
(2) Peristiwa penting lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain perubahan jenis kelamin.
(3) Pencatatan peristiwa penting lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan setelah memenuhi syarat berupa:
a. penetapan pengadilan mengenai peristiwa penting lainnya;
b. KTP dan KK yang bersangkutan; dan
c. Akta Pencatatan Sipil yang berkaitan peristiwa penting lainnya.
(4) Pencatatan peristiwa penting lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dengan tata cara:
a. pelapor mengisi dan menyerahkan Formulir Pencatatan Peristiwa
Penting Lainnya dengan melampirkan persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada Instansi Pelaksana atau UPTD
Instansi Pelaksana;
b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi
Pelaksana melakukan verifikasi dan validasi berkas pelaporan
peristiwa penting lainnya, dan mencatat serta merekam dalam register
peristiwa penting lainnya pada database kependudukan;
c. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi
Pelaksana membuat catatan pinggir pada Register Akta Pencatatan
Sipil dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.”
Pencatatan pergantian kelamin adalah merupakan jenis perlindungan yang
diberikan oleh Negara terhadap Transgender yang ingin mengekspresikan
gender mereka dengan merubah jenis kelamin mereka. Pencatatan ini
membuat Transgender terlindung hak asasinya dan diakui secara hukum
sebagai jenis kelamin yang dia inginkan dan menjadi seorang warga negara
utuh. Pencatatan ini juga memperkuat jaminan hak-hak Transgender di mata
hukum Indonesia, bukan hanya hukum mempermudah dalam mencari
pekerjaan dan melanjutkan hidup mereka.
library.uns.ac.id 91
digilib.uns.ac.id

e. Penghambat Pelaksanaan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Bagi


Transgender
Penghambat terhadap pelaksanaan perlindungan terhadap Transgender
di Indonesia terdapat 3 faktor utama yaitu antara lain:
1) Tidak adanya peraturan khusus yang mengatur Transgender
Tidak adanya peraturan yang khusus untuk Transgender memang
membuat posisi Transgender sulit. Secara tersirat tidak ada peraturan yang
membolehkan dan mengakui transgdender di Indonesia membuat
Transgender sebagai kelompok yang rawan mendapatkan perlakuan
diskriminasi. Ditambah lagi penggolongan Transgender sebagai ke
kelompok minoritas yang membuthkan perhatian dan perlindungan yang
khusus agar tujuan perlindungan hak asasi itu sendiri dapat berjalan
dengan lancar. Peraturan yang ada yang dapat digunakan untuk
Transgender belum mampu untuk memberikan perlindungan seperti yang
diharapkan karena persturan tersebut dapat dijelaskan kembali yang
penjelasan ini bisa jadi berbalik arah untuk membuat Transgeder tidak
dilindungi oleh peraturan tersebut.
2) Sikap dan peran pemerintah dalam pelaksanaan perlindungan Transgender
Pemerintah adalah kunci dari bagaimana berjalannya pelaksanaan
perlindungan Transgender di Indonesia. Perlindungan hak asasi warganya
merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara yang dalam ini
diwakilkan oleh pemerintah. Sikap pemerintah Indonesia tentang
Transgender seolah tutup mata dan tidak tahu menahu, hal ini sangat
disayangkan apalagi Indonesia sudah meratifikasi Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia dan Kovenan Hak Sipil dan Politik ditambah lagi
meratifikasi Kovenan Hak-hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya. Ketiga
peraturan internasional itu sudah sangat jelas untuk negara berperan dalam
pelaksaan perlindungan hak asasi. Disamping dengan adanya pembatasan
tetap ada kewajiban yang harus dilakukan. Menurut penjelasan diatas
library.uns.ac.id 92
digilib.uns.ac.id

pemerintah di Indonesia bukan sebagai pelindung tetapi justru berperan


sebagai pelaku tindak diskriminasi di Indonesia mulai dari tindakan,
perkataan, bahkan peraturan dan kebijakan yang di keluarkan oleh aparat
pemerintah banyak yang memojokan Transgender.
3) Sikap dan peran masyarakat dalam pelaksanaan perlindungan Transgender
Sikap masyarakat di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yaitu (Rita
Damayanti, 2015:18-19):
a) Masyarakat yang setuju dan mengakui dan ikut melakukan
perlindungan Transgender
Masyarakat ini memiliki presentasi yang kecil. Masyarakat ini
dapat menghasilkan lingkungan masyarakat yang nyaman bagi
Transgender. Tidak banyak masyarakat yang menjadi kelompok ini
karena biasanya mereka juga rentan akan diskriminasi karena
mendukung gerakan Transgender.
b) Masyarakat yang tidak setuju dan tidak mengakui kehadiran
Transgender
Kelompok masyarakat ini dapat dibilang memiliki presentasi
paling banyak di Indoensia. Masyarakat ini ada karena pandangan
negatif yang sudah melekat pada Transgender. Hal ini karena adanya
kurangnya informasi mengenai Transgender, perilaku Transgender
yang dianggap menyimpang dari norma dan agama yang mereka
percayai dan Transgender adalah sebuah penyakit yang harus
disembuhkan.
c) Masyarakat yang bersikap netral, acuh dan tidak mengambil tindakan
apapun selama Transgender tidak mengganggu
Kelompok masyarakat ini berada ditengah kedua kubu biasa
mereka tidak akan bertindak untuk menolong dan tidak bertindak juga
dalam pemberian perlakuan diskriminasi kepada Transgender.
library.uns.ac.id 93
digilib.uns.ac.id

Tipe yang mayoritas di masyarakat adalah yang tidak setuju dan yang
berlaku apatis kepada seorang Transgender. Peran msyarakat sangat
penting dalam faktor penghambatan perlindungan Transgender karena
Transgender berinteraksi langsung kepada Transgender.

Anda mungkin juga menyukai