Anda di halaman 1dari 23

KEGIATAN BELAJAR 1

Hak Untuk Hidup


Hak untuk hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) adalah
hak yang paling mendasar dan fundamental. Sehingga tidak seorang pun
dapat direnggut hak untuk hidupnya secara sewenang-wenang dan
semenamena. Hak untuk hidup sebagai hak paling dasar dilindungi oleh
hukum. Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup. Oleh şebab itu hak
untuk hidup sama tidak dapat dihilangkan, dicabut dan tidak dapat
dipindahkan. Hak untuk hidup adalah hak paling dasar dalam HAM karena
itu hak-hak lain menjadi tidak berguna jika hak untuk hidup tidak dilindungi.
Maka dari itu perlindungan atas hak untuk hidup menjadi suatu hal yang
sangat penting. Sebagaimana pendapat John Rawls, bahwa hak asasi manusia
adalah sebagai suatu norma masyarakat yang penting maka pelanggaran atas
hak asasi manusia adalah suatu hal yang dilarang baik oleh masyarakat,
sesama individu bahkan oleh negara. Hak asasi yang dianggap penting
menurut Rawls adalah hak untuk hidup, hak kebebasan individual dan
kesamaan kedudukan di hadapan hukum. Hak ini tidak dapat dikecualikan
dalam keadaan apapun dalam perlindungannya untuk mencapai keadilan
yang ideal.
Sebagai bagian dari hak asasi manusia, hak untuk hidup merupakan hak
yang dilindungi sejak awal pengaturan HAM dibentuk. Walaupun dalam
beberapa instrumen HAM baik pada tingkat internasional maupun pada
tingkat nasional terdapat beberapa perbedaan, hak untuk hidup selalu
menjadi bagian dari HAM yang dilindungi baik secara nasional maupun
internasional.
Perlindungan atas HAM diberikan sejak manusia lahir hingga wafat,
maka dengan demikian hak untuk hidup adalah awal dari perlindungan
HAM. Hak untuk hidup adalah core human rights yang merupakan esensi
dari HAM itu sendiri. Hak asasi yang esensi adalah merupakan hak yang
melindungi integritas mental moral dan fisik dari setiap manusia. Integritas
dalam konteks ini adalah untuk menimbulkan rasa keutuhan, kenyamanan,
dan keamanan bagi setiap manusia dalam menjalankan HAM yang mereka
miliki.
Hak untuk hidup sebagai HAM yang paling dasar, tidak dapat
dilepaskan dari hak-hak yang lain yang mempunyai kaitan yang sangat erat
dengan hak tersebut. Bahkan hak-hak itu tidak dapat dipisahkan dari hak
untuk hidup itu sendiri, sehingga hak itu akan mengikut hak untuk hidup
dalam penerapannya. Hak-hak tersebut di antaranya adalah hak atas
kebebasan, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak dihukum secara keji, hak
untuk tidak diperbudak, dan hak untuk tidak diperhamba. Untuk menjamin
hak untuk hidup di dalam penerapannya, terdapat beberapa instrumen baik
nasional maupun internasional yang mengatur.

A. HAK UNTUK HIDUP DALAM INSTRUMEN HAK ASASI MANUSIA


INTERNASIONAL
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM terikat oleh
beberapa instrumen HAM internasional. Instrumen hukum internasional
yang mengatur mengenai HAM terdapat berbagai macam bentuk di
antaranya adalah perjanjian internasional (treaty), deklarasi, dan Iain
sebagainya. Melalui cara inilah negara-negara di dunia membentuk hukum
internasional yang salah satu di antaranya adalah hukum HAM. Negara dapat
menjadi bagian atau terikat terhadap instrumen HAM internasional melalui
ratifikasi atau melalui aksesi. Negara yang melakukan ratifikasi atau aksesi
terhadap instrumen HAM internasional harus melakukan perubahan atas
hukum nasionalnya melalui berbagai macam cara diantaranya adalah dengan
membuat atau mengubah undang-undang yang terkait dengan HAM.
Intrument HAM internasional ini dapat digunakan oleh pemerintah
untuk menegakan hak untuk hidup melalui undang-undang yang relevan.
Instrumen HAM yang tidak mengikat seperti, deklarasi atau resolusi, dapat
digunakan untuk menekan pemerintah yang tidak mau menegakan hak untuk
hidup, karena negara pada dasarnya harus menjaga citra di dalam masyarakat
internasional.

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia


Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)/the Universal
Declaration of Human Rights, adalah resolusi Majelis Umum PBB yang
diadopsi pada tahun 1948. Sebagai sebuah resolusi DUHAM tidaklah
mengikat negara-negara sebagaimana halnya perjanjian internasional.
Walaupun hal ini menjadi perdebatan karena resolusi disetujui oleh lebih dari
50% negara-negara dalam sidang Majelis Umum PBB DUHAM membentuk
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang sangat penting yang selanjutnya
dielaborasi lebih lanjut melalui perjanjian internasional. Bahkan beberapa
ketentuan yang ada di dalam DUHAM menjadi hukum kebiasaan
internasional. Pasal 3 DUI-IAM menyatakan bahwa, "Everyone has the right
to life, liberty, and security ofperson.
Dalam membaca Pasal 3 DUHAM, sudah seharusnya dikaitkan dengan
Pasal 1 dan Pasal 2 DUHAM, yang menyatakan bahwa:
All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are
endowed with reason and conscience and should act towards one another in a
spirit of brotherhood. (Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.)
Everyone is entitled to all the rights and freedoms setforth in this
Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex,
language, religion, political or other opinion, national or social origin,
property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on
the basis of the political, jurisdictional or international status of the country
or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust,
nonself-governing or under any other limitation of sovereignty.
(Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada kekecualian apa pun,
seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran ataupun kedudukan lain.Selanjutnya, tidak akan diadakan
pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan
internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari
negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan
atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.)
Dengan demikian maka hak untuk hidup merupakan hak yang integral
bagi setiap manusia di mana pun dia berada tanpa adanya diskriminasi
berdasarkan apapun baik ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak
milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Hak asasi yang sangat berkaitan erat dengan hak untuk hidup yang
diatur dalam Pasal 3 DUHAM adalah:
i.Pasal 4, merumuskan mengenai larangan atas perhambaan, perbudakan, dan
perdagangan budak dalam bentuk apapun;
ii. Pasal 5, merumuskan mengenai larangan penyiksaan, memperlakukan
seseorang secara keji/tidak manusiawi atau merendahkan martabat;
iii. Pasal 6, merumuskan bahwa hak setiap orang untuk diakui sebagai
pribadi di depan hukum di manapun ia berada;
Pasal 7, menjamin adanya persamaan di hadapan hukum tanpa diskriminasi,
dan perlindungan atas hak-hak yang diatur dalam DUHAM.

2. International Covenant on Civil and Political Rights


Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political
Rights melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Maka Indonesia
terikat dengan segala hak dan kewajiban yang diatur di dalam International
Covenant on Civil and Political Rights. International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR)/ Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, adalah
perjanjian multilateral dalam bidang HAM yang mengatur mengenai
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak sipil dan politik.
Majelis Umum PBB, mengadopsi Kovenan ini pada tanggal 16 Desember
1966. Keberlakuan dari ICCPR ini adalah 23 Maret 1976.
ICCPR ini secara spesifik mengatur mengenai hak untuk hidup dan
hukuman mati. Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 dari ICCPR ini, mengatur
mengenai perlindungan atas hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan dari
setiap orang. Fokus perlindungan tersebut adalah Pasal 6 mengenai hak
untuk hidup. Dalam ICCPR terkait dengan hak untuk hidup, yaitu
menetapkan batas tertentu mengenai hukuman mati yang sah dan dapat
dilakukan oleh negara yang belum menghilangkan hukuman matinya.
Terdapat larangan yang bersifat khusus yaitu terkait penyiksaan, percobaan
medis ilegal, perbudakan, dan kerja paksa. Pasal 6 ICCPR merumuskan hak
untuk hidup sebagai sebagai berikut:
l. Every human being has the inherent right to life. This right shall be
protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death
may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law
in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the
provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention
and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried
out pursuant to a final judgement rendered by a competent court.
3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood
that nothing in this article shall authorize any State Party to the present
Covenant to derogate in any way from any obligation assumed under the
provisions of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime
of Genocide.
4. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or
commutation of the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the
sentence of death may be granted in all cases.
5. Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons
below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women.
6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition
of capital punishment by any State Party to the present Covenant. Article 4
further asserts that states are not able to derogate from the article 6 even in
times of a public emergency.
1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya.
Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas
hak untuk hidupnya secara sewenang-wenang.
2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan
hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang
paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya
kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan
dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida.
Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang
dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
3. Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida,
harus dipahami, bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberikan
kewenangan pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk
mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan
dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan
Genosida.
4. Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak untuk memohon
pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau
penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan
oleh seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh
dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung.
6. Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda
atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi
Pihak dalam Kovenan ini.
ICCPR disusun dengan tujuan untuk membuat suatu prinsip bahwa tidak
boleh seorang pun dapat diambil hak untuk hidupnya dalam situasi apapun.
Di Sisi lain Kovenan ini adalah suatu perjanjian yang realistis yang menjadi
dasar bahwa dalam kondisi-kondisi khusus penghilangan nyawa atas
seseorang dapat dibenarkan. Pengecualian ini sebagai suatu bagian dari
perlindungan bukan sebagai suatu kebolehan pelanggaran atas pelanggaran
hak untuk hidup. Untuk perlindungan hak untuk hidup dalam Pasal 6 ICCPR
menegaskan bahwa kehidupan seseorang tidak dapat diambil secara
semenamena, melalui cara melanggar hukum atau tidak berdasarkan pada
keadilan. Hak untuk hidup harus dilindungi oleh hukum untuk menekankan
kewajiban negara dalam melindungi hak untuk hidup itu sendiri, dengan
pertimbangan bahwa negara harus melindungi hak untuk hidup dari tindakan
yang dapat melanggarnya baik oleh negara atau orang.
Pasal 6 ICCPR, dalam pelaksanaannya hak untuk hidup merupakan hak
yang paling tinggi dan tidak ada pengecualian yang diperbolehkan walaupun
dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa sekalipun, hal ini
dinyatakan dalam Pasal 4 ICCPR,
(l) In time of public emergency which threatens the life of the nation and
the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to
the present Covenant may take measures derogating from their
obligations under the present Covenant to the extent strictly required
by the exigencies of the situation, provided that such measures are
not inconsistent with their other obligations under international law
and do not involve discrimination solely on the ground of race,
colour, sex, language, religion or social origin.
(2) No derogation from articles 6...
(l) Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan
keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara
Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang
mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini,
sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut,
sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan
tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
(2) Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal Human Rights Committee
(Komite HAM) menyatakan bahwa hak untuk hidup tidak dapat
diartikan secara sempit atau terbatas pada definisi tertentu mengenai
hidup. Hal ini dinyatakan dalam dalam travaux preparatoires dari
ICCPR Internasional Hak Sipil dan Politik,
"There was general agreement regarding the importance of
safeguarding the right of everyone to life through the covenant
although various opinions were held as to how the right should be
formulated"
(Terdapat kesepakatan bersama bahwa sangat penting menjadi hak
untuk hidup setiap orang melalui perjanjian internasional walaupun
terdapat berbagai pendapat bagaimana hak tersebut harus
diformulasikan)
Perlindungan terhadap hak untuk hidup dalam Pasal 6 (l), secara tegas
dinyatakan bahwa perampasan atas hak untuk hidup secara sewenangwenang
dilarang. Untuk itu Komite HAM menyatakan negara harus mengambil
langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mencegah dan menghukum
perampasan hak untuk hidup baik dalam hukum pidana maupun dalam
tindakan yang dilakukan oleh aparat negara. Untuk negara harus secara tegas
mengontrol dan membatasi keadaan yang membolehkan aparat negara
menghilangkan nyawa seseorang.
Hak untuk hidup juga tidak dapat ditafsirkan secara terbatas dan sempit,
perlindungan atas hak untuk hidup mensyaratkan negara untuk mengambil
langkah-langkah positif agar perlindungan dapat diterapkan. Maka Komite
HAM juga bahwa negara juga harus mengambil tindakan yang mungkin
mengurangi kematian bayi dan meningkatkan harapan hidup, terutama dalam
men;adopsi langkah-langkah yang perlu untuk menghilangkan kekurangan
gizi.
Pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat 6 Konvensi, menyatakan bahwa
negara tidak mempunyai kewajiban untuk menghapuskan hukuman mati
secara penuh, tetapi negara diwajibkan membatasi penggunaan hukuman
mati hanya untuk "tindak pidana yang paling serius." Walaupun ICCPR tidak
mendefinisikan apa yang dapat dikategorikan sebagai "tindak pidana „ yang
paling serius. Negara juga harus meninjau kembali hukum pidana hukum
positif dan membatasi penggunaan hukuman mati. Komite HAM dalam hal
ini menegaskan bahwa penghapusan harus dianggap kemajuan dalam
pelaksanaan hak untuk hidup sesuai dengan Pasal 40 ICCPR, dan hal ini
harus dilaporkan kepada Komite HAM.
Terkaid hak untuk hidup terdapat ketentuan lebih lanjut yang berkaitan
dengan penghapusan hukuman mati diatur dalam Second Optional Protocol
dari ICCPR. Pasal 1 dari Second Optional Protocol menyatakan secara tegas
penghapusan hukuman mati;
l. No one within the jurisdiction of a State Party to the present Protocol
shall be executed.
2. Each State Party shall take all necessary measures to abolish the death
penalty within its jurisdiction.
Ketentuan di atas sebagai ketentuan tambahan dari ketentuan yang
terdapat di Pasal 6 ICCPR. Negara wajib menghapuskan hukuman mati di
wilayah kedaulatan dari negara pihak Second Optional Protocol. Negara
yang dapat meratifikasi Second Optional Protocol adalah negara-negara yang
sudah meratifikasi ICCPR. Hal ini disebabkan Second Optional Protocol
adalah bagian dari ICCPR walaupun ratifikasinya terpisah dari ICCPR.
Indonesia sampai saat ini belum mengkasesi Second Optional Protocol.
2. Convention on the Rights of the Child
Hak untuk hidup tidak hanya dirumuskan perlindungannya dalam
ICCPR, tetapi juga di dalam Convention on the Rights of the Child/Konvensi
Hak Anak (CRC). Hal ini tertuang dalam Pasal 6, yang menyatakan bahwa,
I. States Parties recognize that every child has the inherent right to life.
2. States Parties shall ensure to the maximum extent possible the
survival and development of the child.
Pasal 6 ayat (1) CRC, menegaskan bahwa hak untuk hidup bagi anak
adalah suatu hak yang tidak dapat dipisahkan dari anak itu sendiri. Dalam
perumusan dari hak untuk hidup bagi anak tidak dapat dipisahkan dari Pasal
6 ICCPR. Hak untuk hidup adalah salah satu dari "peremtory norms of
general international law" atau "jus cogens". Sehingga perlindungan hak
untuk hidup bagi anak adalah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
pengaturan pada Pasal 6 ICCPR.
Pasal 6 ayat (2) CRC Hak Anak merupakan pencerminan dari
pendekatan yang sangat luas terkait dengan interpretasi atas hak untuk hidup.
Ketentuan ini lebih inovatif dibandingkan dengan instrumen HAM
internasional lainnya karena memberikan kewajiban bagi negara untuk
memastikan bahwa tindakan yang maksimal dalam memberikan
perlindungan atas kelangsungan hidup dan perkembangan dari anak. Pasal 6
CRC Hak Anak juga berlaku bagi anak-anak yang masih dalam kandungan
dalam hal perlindungan atas hak untuk hidup mereka.
B. HAK UNTUK HIDUP DALAM INSTRUMEN HAK ASASI MANUSIA
REGIONAL
Hak untuk hidup tidak hanya diatur dalam instrument hukum
internasional tetapi juga regional. Sebagai perbandingan bagaimana hak
untuk hidup sebagai sebuah HAM yang paling dasar yang mendasari
ketentuan HAM di dalam beberapa instrumen HAM regional. Indonesia
sebagai salah satu negara anggota Association of Southeast Asian Nations
(ASEAN) terikat dengan ASEAN Human Rights Declaration.
1. ASEAN Human Rights Declaration
ASEAN Human Rights Declaration (AHRD) diadopsi oleh
negaranegara ASEAN pada November 2012, pada ASEAN Summit ke-21 di
Phnom Penh, Kamboja. Tujuan dari AHRD adalah untuk meningkatkan
perlindungan HAM di wilayah Asia Tenggara. Dalam pernyataan dari kepala
negara dan kepala pemerintahan negara-negara ASEAN menyatakan bahwa
"pelaksanaan dari AHRD akan sesuai dengan semua instrumen HAM
internasional dan juga komitmen negara-negara asean dalam Vienna
Declaration and Program of Action (VPDA). Berdasarkan bagian Hak Sipil
dan Politik, Pasal 11, menyatakan bahwa,
Every person has an inherent right to life which shall be protected
by lavv. No person shall be deprived of life save in accordance With
law.
Pernyataan dalam Pasal 11 dari AHRD pada kalimat pertama
memberikan perlindungan atas hak untuk hidup sebagai suatu hak
yang melekat pada setiap manusia, hal ini sesuai dengan ketentuan
internasional seperti DUHAM dan Pasal 6 ICCPR. Tetapi kalimat
kedua dari Pasal 11 ini sangat berbeda dengan sebagian besar
instrumen HAM internasional, yang mensyaratkan bahwa
perampasan hak untuk hidup harus sesuai hukum dan juga tidak
semena-mena. Hal ini memunculkan kebingungan terkait dengan
perlindungan hak untuk hidup, karena penghilangan kata
"pelarangan perampasan semena-mena" seperti halnya yang ada di
dalam DUHAM dan ICCPR.
2. African Charter of Human and Peoples' Rights
African Charter of Human and Peoples' Rights (ACHPR) adalah Piagam
HAM bagi negara-negara di benua Afrika. Piagam ini diadopsi oleh sebagian
besar negara-negara Afrika pada tahun 1981 dan mulai berlaku pada tahun
1986. Piagam ini memberikan perlindungan hak-hak fundamental dan juga
kebebasan setiap orang di benua Afrika. Salah satu yang diatur adalah
mengenai hak untuk hidup, dalam Pasal 4, menyatakan bahwa
Human beings are inviolable. Every human being shall be entitled
to respect for his life and the integrity of his person. No-one shall be
arbitrarily deprived of this right.
Seperti yang tertulis di atas hak untuk hidup di dalam ACHPR tidak
dinyatakan secara eksplisit, terminologi yang digunakan adalah "respect for
life", penghormatan atas kehidupan. Hal inilah yang berbeda dengan ICCPR
dan juga DUHAM. Tetapi ketentuan di dalam ACHPR tetap menjamin hak
untuk hidup.
3. American Convention on Human Rights
American Convention on Human Rights (ACHR) adalah perjanjian
HAM diantara negara-negara anggota dari Organization of Amercan States
(OAS) sebuah organisasi di benua Amerika. ACHR diadopsi oleh negara-
negara OAS pada 22 November 1969 dan mulai berlaku pada tahun 1978.
Paling tidak sudah ada 25 negara yang meratifikasi ACHR. Tujuan clari
ACHR adalah konsolidasi negara-negara di benua Amerika atas demokrasi
kebebasan individu dan keadilan sosial untuk penghormatan terhadap HAM.
Hak untuk hidup dirumuskan dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa,
Every person has the right to have his life respected. This right shall
be protected by law and, in general from the moment of conception.
No-one shall be arbitrarily deprived of his life.
Bahwa setiap orang mempunyai hak atas kehidupannya. Hak untuk
hidup harus dilindugi oleh hukum dan secara umum sejak orang tersebut
dalam kandungan. Maka dari itu tidak seorang pun dapat dirampas hak untuk
hidupnya secara sewenang-wenang. Ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal
4 dari ACHR tidak jauh berbeda dengan yang dirumuskan di dalam Pasal 6
ICCPR.
4. European Convention on Human Rights
European Convention on Human Rights atau secara resmi disebut
sebagai Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms (ECHR) adalah perjanjian international HAM bagi negara-negara
di wilayah Eropa. ECHR pertama kali dirancang pada tahun 1950 dan mulai
berlaku tiga tahun setelah itu yaitu 1953. 39 Hampir seluruh negara anggota
Dewan Eropa adalah pihak dari ECHR. Konvensi ini memberikan
perlindungan secara individual kepada seluruh warga dari negara-negara
Eropa, sehingga individu yang merasa HAMnya dilanggar dapat secara
langsung mengajukan permasalahannya melalui European Court of Human
Rights (ECtHR). Seperti halnya instrumen HAM Iain hak untuk hidup
merupakan hak yang paling dasar yang diatur dalam ECHR. Hak untuk
hidup diatur pada Pasal 2 ECHR yang menyatakan bahwa,
1. Everyone's right to life shall be protected by law. No one shall be
deprived of his life intentionally save in the execution of a sentence of a
court following his conviction of a crime for which this penalty is provided
by law.
2. Deprivation of life shall not be regarded as inflicted in contravention
of this article when it results from the use of force which is no more than
absolutely necessary:
a. in defense of any person from unlawful violence;
b. in order to effect a lawful arrest or to prevent the escape of a
person lawfully detained;
c. in action lawfully taken for the purpose of quelling a riot or
insurrection.
Pasal ini memberikan perlindungan hak untuk hidup kepada setiap
orang. Namun dalam beberapa kasus perlindungan hak untuk hidup dalam
ECHR tidak menjangkau pada bayi yang masih di dalam kandungan.
Berdasarkan pada putusan ECtHR, terdapat kewajiban negara terkait dengan
hak untuk hidup:
1. kewajiban untuk mencegah atau menghentikan pembunuhan yang
tidak sah;
2. kewajiban untuk melakukan penyidikan atas kematian yang
mencurigakan; dan
3. dalam keadaan tertentu, kewajiban untuk mencegah adanya
kehilangan jiwa yang mungkin terjadi.
Ketentuan yang ada pada Pasal 2 ayat (1) ECHR tentang hukuman mati
sudah tidak beralaku lagi dengan adanya Protocol 6 tentang penghapusan
hukuman mati pada saat damai dan Protocol 13 tentang penghapusan
hukuman mati dalam keadaan apapun. Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2)
tentang kematian yang disebabkan oleh membela diri, penangkapan saat
terjadi kerusuhan atau melarikan diri tidak bertentangan dengan ketentuan .
Hak Untuk Hidup Dalam Peraturan Perundang-
Undang Nasional
A. HAK UNTUK HIDUP DALAM INSTRUMEN HAK ASASI
MANUSIA NASIONAL KHUSUS
1. Undang-Undang Dasar 1945
Perumusan mengenai hak untuk hidup di Indonesia terdapat dalam beberapa
peraturan perundang-undangan. Tetapi yang mendasari peraturan perundang-
undangan adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), melalui beberapa kali
perubahan UUD 1945 merumuskan hak untuk hidup sebagai berikut:
a. Pasal 28 A menyatakan bahwa, "Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b. Pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa, "Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup tumbuh, dan berkemban serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
c. Pasal 28 H ayat (1) menyatakan bahwa, "Setiap orang berhak untuk hidup
sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
d. Pasal 28 1 ayat (1) menyatakan bahwa, "Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.,,

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


Peraturan perundang-undangan yang berkaitan sebagai tindak lanjut dari
ketentuan yang terdapat di UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tetang Hak Asasi Manusia (HAM). Melalui Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999, hak untuk hidup diatur dalam beberapa pasal:
a. Pasal 4 menyatakan,
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
b. Pasal 9 menyatakan:
(l) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak untuk hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir, dan bathin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
c. Pasal 53 ayat (l) menyatakan, "Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak
untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup.”

B. HAK UNTUK HIDUP DALAM INSTRUMEN HAK ASASI


MANUSIA NASIONAL UMUM

I. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Dalam peraturan perundang-undangan yang lain hak untuk hidup juga
mendapatkan jaminan seperti di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang
secara tegas melarang melakukan pembunuhan/menghilangkan nyawa orang lain.
Bahkan pelaku yang melakukan pelanggaran ini diancam dengan hukuman mati atau
penjara seumur hidup atau penjara selama 20 tahun. Walaupun KUHP sebagai dasar
hukum pidana ada lebih dulu dari pasal-pasal tentang hak untuk hidup yang berada di
UUD 1945, tetapi dalam membaca ketentuan KUHP haruslah dijiwai dengan
kententuan yang ada dalam pasal-pasal di UUD 1945.
Tindak pidana pembunuhan dirumuskan dalam KUHP antara lain dalam Pasal
338, menyatakan bahwa:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena
makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 339 KUHP menyebutkan mengenai pembunuhan yang diikuti, disertai,
atau didahului dengan perbuatan yang dapat dihukum, yang perbuatan itu
dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu maka ancaman hukuman adalah penjara
seumur hidup ataru penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Sedangkan Pasal 340
KUHP terdapat tiga pilihan hukuman yang dapat dikenakan terdapat pelaku
pembunuhan berencana yaitu, di samping dua pilihan di atas (hukuman seumur hidup
atau hukuman penjara selama-lamanya dua puluh tahun), pilihan hukuman lain
adalah hukuman mati.
Pasal 341 dan 342 KUHP adalah mengenai pembunuhan yang dilakukan seorang
ibu terhadap anaknya pada saat lahir atau bebarapa lama sesudah anaknya lahir
dengan alasan tertentu. Pada Pasal 341 yang pembunuhan dilakukan tanpa rencana
lebih dahulu ancaman hukumannya adalah penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Sedangkan pada Pasal 342, apabila adanya rencana ancaman hukumannya adalah
selama-lamanya sembilan tahun. Pemberatan hukuman bagi mereka yang turut
campur dalam kejahatan yang tertem dalam Pasal 341 dan 342 KUHP, pada Pasal
343 yang ancaman hukumannya sama dengan yang tertem dalam Pasal 338 dan 340
KUHP.
Pasal 344 memberikan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun bagi
siapa saja yang menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
dengan sungguh-sungguh. Pada Pasal 345 KUHP bagi mereka yang menghasut
orang lain untuk melakukan bunuh diri, jika orang yang dihasut benar-benar
melakukan bunuh diri maka orang tersebut diancam hukuman penjara selama-
lamanya empat bulan.
Bebarapa pasal, seperti Pasal 346 sampai dengan Pasal 350 memberikan
rumusan larangan dilakukannya pengguguran kandungan (aborsi) atau mematikan
kandungan, baik dilakukan oleh perempuan yang mengandung ataupun dengan
bantuan orang lain. Bagi mereka yang melakukan sendiri diancam dengan hukuman
penjara 4 tahun, sedangkan bagi yang membantu dalam hukumannya bervariasi
antara tujuh sampai 15 tahun penjara. Bahkan bila tenaga kesehatan seperti bidang
atau dokter ancaman hukumannya dapat ditambah dengan pemecatan dari profesi
jabatannya.Perlindungan atas hak untuk hidup tidak hanya berkaitan dengan
penghilangan nyawa orang lain atau pembunuhan tetapi juga terkait dengan tindakan
penganiayaan. Penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 sampai dengan Pasal 358
KUHP memberikan ancaman hukuman mulai dari tujuh bulan sampai dengan 20
tahun, bahkan dimungkinkan untuk ditambahkan dengan berupa pencabutan hak-hak
tertentu.
Beberapa perbuatan yang dapat menghilangkan nyawa orang lain seperti yang
diuraikan di atas adalah didasarkan atas kesengajaan. Berdasarkan Pasal 359 KUHP
jika perbutan yang dapat menghilangkan nyawa orang lain diakibatkan oleh
ketidaksengajaan juga diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
Dalam KUHP masih terdapat pasal-pasal yang dapat dijadikan dasar
perlindungan atas hak untuk hidup bagi setiap orang. Dalam Pasal 304 KUHP
merumuskan bahwa melarang siapapun untuk secara sengaja membiarkan orang lain
dalam kesengsaraan, sedangkan berdasarkan hukum, ataupun atas dasar perjanjian,
orang tersebut mempunyai kewajiban untuk memberikan kehidupan, perawatan
ataupun pemeliharaan kepada orang lain.Bagi mereka yang melanggar kewajiban
dapat diancam dengan hukuman selama-lamanya 2 tahun 8 bulan. Pasal-pasal
berikutnya yaitu Pasal 305 sampai dengan Pasal 309 terkait erat dengan Pasal 304
KUHP, dengan memberikan ancaman hukuman yang berbeda-beda.Ancaman
hukuman yang paling berat adalah Pasal 307 yang memberikan ancaman hukuman
penjara selama-lamanya 12 tahun penjara bagi orang tua baik bapak maupun ibu
yang menaruh anaknya di bawah umur 7 tahun di suatu tempat dengan maksud untuk
dipungut oleh orang lain, atau dengan maksud supaya terbebas dari pemeliharaan
anak, namun anak tersebut meninggal dunia.
Rumusan-rumusan yang terdapat di dalam KUHP tersebut harus dibaca dengan
mengacu kepada UUD 1945 dan juga dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM, sebagai suatu cara negara memberikan perlindungan atas hak
untuk hidup setiap orang secara bersamaan juga memberikan kewajiban kepada
orang lain untuk menghargai dan melindungi hak untuk hidup orang lain.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hak untuk hidup
merupakan suatu prinsip yang melandasi dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam
perlindungan atas hak anak. Pasal 2 dari undang-undang ini menyatakan bahwa:
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsipprinsip dasar
Konvensi Hak-Hak Anak meliputi
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam penjelasan dari undang-undang ini dinyatakan bahwa hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah salah satu dari asasasas yang
merupakan yang wajib dalam pelaksanaan dari perlindungan hak anak yang utuh,
menyeluruh dan konprehensif. Hak untuk hidup yang dimaksud dalam Pasal ini
adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Kesehatan


Dalam Undang-Undang Kesehatan secara jelas diatur tentang larangan aborsi,
yang dinyatakan dalam Pasal 75 ayat (1)"Setiap orang dilarang
KEGIATAN BEL AJ AR 3
Isu-isu Kontemporer Terkait Hak Untuk Hidup
Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat padanya yang harus
dilindungi oleh hukum. Tetapi dalam praktiknya hak untuk hidup tidak selalu tidak
dapat diganggu gugat. Prinsip utama dari hukum HAM adalah bahwa tidak boleh
seorang pun kehidupannya diambil secara semenamena secara melawan hukum dan
keadilan (no one shall be arbitrarily deprived of his life) artinya adalah negara dapat
menghilangkan nyawa orang berdasarkan pada hukum dan prosedur yang berlaku.
Terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan negara untuk menghilangkan
nyawa orang tanpa melanggar instrumen HAM baik nasional maupun internasional.
Hal ini biasanya didasarkan atas pengecualian dan justifikasi atas tindakan tersebut,
seperti misalnya membela diri.
Negara sebagai bagian dari perjanjian internasional terikat pada kewajiban untuk
melaksanakan ketentuan yang diatur di dalamnya, maka negara harus menyesuaikan
hukum nasionalnya berdasarkan perjanjian internasional tersebut. Dalam kaitannya
dengan hak untuk hidup maka negara yang terikat dengan berbagai instrumen HAM
internasional, seperti ICCPR, CRC, dan Iain-lain, maka hukum nasionalnya harus
menyesuaikan pada ketentuan HAM yang diatur. Beberapa isu-isu kontemporer
terkait dengan hak untuk hidup adalah seperti hukuman mati, aborsi, dan eutanasia.
1. Hukuman Mati
Hukuman mati (death penalty/capital punishment) masih dipraktikkan di
beberapa negara sebagai bentuk hukuman di dunia. Beberapa negara telah
menghilangkan hukuman mati kecuali untuk beberapa tindak pidana yang sangat luar
biasa seperti kejahatan yang dilakukan pada saat perang. Beberapa negara walaupun
tidak menghilangkan hukuman mati tetapi secara praktik mereka tidak
memberlakukan hukuman mati. Beberapa aktifis HAM, seperti Amnesty
Internasional misalnya berusaha melindungi para terpidana yang akan dihukum mati
karena tindak pidana politik.
Hukuman mati pada kenyataan terlihat seperti suatu pelanggaran atas hak untuk
hidup tetapi HAM gagal memaksa hukuman mati sebagai sebuah tindakan yang
melanggar HAM. Instrumen HAM internasional memberikan pilihan kepada negara
terkait hukuman mati tetapi mengarahkannya untuk menghapus hukuman mati dan
memberikan batasan bagaimana hukuman mati diterapkan oleh negara-negara.
Batasan penerapan human mati yang diatur secara internasional adalah:
a. hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang serius, yang sudah
mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap dan tidak melanggar
hukum HAM;
b. setiap yang dipidana mati harus mendapatkan kesempatan untuk grasi atau
keringanan hukuman;
c. hukuman mati tidak diberikan kepada anak di bawah 18 tahun atau
perempuan yang sedang hamil.
Bahkan bagi negara yang sudah menghapuskan hukuman mati hukum HAM
tetap ambigu dengan memperbolehkan penerapan hukuman mati pada saat perang.
Pada saat yang sama penerapan hukuman mati dilarang penerapan di pengadilan
internasional, seperti ICTY, ICTR, dan ICC
Pendapat mengenai hukuman mati di antara para ahli berbeda-beda. Adaya yang
setuju dengan hukuman mati seperti Lombroso dan Garofalo, yang berpendapat
bahwa hukuman mati adalah alat yang mutlak harus ada dalam masyarakat untuk
menghukum para individu yang tidak dapat diperbaiki lagi. Berbeda pendapat dari
Enrico Ferri yang berpendapat bahwa tindak pidana tidak perlu dicegah melalui
hukuman mati tetapi melalui pidana penjara seumur hidup. Dari kedua pendapat
tersebut di atas, ada melihat hukuman mati dari dua sisi yaitu Roling, berpendapat
bahwa hukuman mati mempunyai daya bangun dan daya rusak. Daya bangun yang
dimaksud adalah perbaikan masyarakat sehingga tindak pidana dapat berkurang
karena hukuman mati benar-benar dijalankan. Daya rusak yang dimaksud adalah
hilangnya penghargaan oleh negara terhadap nyawa seseorang.
Hasil penelitian secara konsisten menunjukan bahwa hukum mati gagal
memberikan efek jera dan efektif dibandingkan hukuman lain. Penelitian ini
dilakukan oleh PBB pada tahun 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik
hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan yang hasilnya hukuman mati tidak
memberikan efek jera pada masyarakat dan mengurangi tindak pidana pembunuhan.
Berdasarkan I-JUD 1945, setelah perubahan ke-2 Pasal 28 A menegaskan
bahwa:
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
Dari pasal di atas diperkuat lagi oleh Pasal 28 1 yang menegaskan bahwa,
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.
Hal yang sama ditegaskan juga dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999 tentang HAM. Namun sampai saat ini Indonesia masih menetapkan hukuman
mati sebagai salam satu hukuman di Indonesia. Tata cara pelaksanaan hukuman mati
tertuan dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan
Umum dan Militer. Penetapan Presiden tersebutlah yang dijadikan dasar dalam
pelaksanaan putusan kasus yang menetapkan hukuman mati. Disamping itu di
Indonesia beberapa peraturan perundang-undangan yang masih memasukan hukuman
mati di antaranya adalah:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b. Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
c. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959
d. Peraturan pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1959
e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976
f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
h. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
i. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Hukuman mati di Indonesia diberikan berdasarkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap. Terpidana mati juga masih dimungkinkan untuk mengajukan Grasi.
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau
penghapusan pelaksanaan pidana terhadap terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Selama pengajuan Grasi ini terpidana mati, ditangguhkan pelaksanaan pidananya
sampai dengan diterima atau ditolaknya permintaan Grasi tersebut. Melihat pada
praktiknya, Indonesia mengupayakan segala cara agar seseorang yang dihukum mati
merupakan orang yang memang dianggap pantas menerima hukuman tersebut.
Hal Iain yang terkait dengan hukuman mati di Indonesia tidak ditentukan batas
umurnya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak
secara eksplisit menentukan pelarangan hukuman mati bagi mereka yang belum
mencapai usia 18 tahun, tetapi Pasal 16 ayat (1) dari undang-undang ini menyatakan
bahwa,
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Maka dengan interpretasi bahwa hukuman mati adalah hukuman yang tidak
manusiawi maka Indonesia menjamin bahwa anak tidak akan dihukum dengan
hukuman mati.
Sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi Second Optional Protocol dari
ICCPR, tentang penghapusan hukuman mati, maka dari itu hukuman mati masih
mungkin untuk dilaksanakan dan ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Walaupun dalam masyarakat masih ada pro dan kontra terkait perlu tidaknya
hukuman mati tetap dianut Oleh Indonesia.

2. Aborsi
Aborsi adalah tindakan medis yang ditujukan untuk penghentian atu pengeluaran
hasil kehamilandari rahim sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau
pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan tumbuh. Dalam dunia
kedokteran dikenal tiga macam bentuk aborsi yaitu, aborsi alamiah, aborsi buatan dan
aborsi terapeutik atau medis.
Aborsi yang aman adalah aborsi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, baik
perawat, bidan, atau dokter yang benar-benar terlatih. Dalam pelaksanaannya
menggunakan alat-alat kedokteran yang layak dan harus dilakukan dalam kondisi
bersih dan dilakukan 3 bulan atau 12 minggu sesudah pasien mendapatkan haid yang
terakhir. UN Declaration of the Rights of the Child dan Covention on the Rights of
the Child, memberikan perlindungan hukum kepada setiap anak baik sebelum
dilahirkan hingga mereka lahir.
Berdasarkan hukum Indonesia Aborsi dilarang. Berdasarkan KUHP aborsi
dengan alasan apapun tidak boleh dilakukan. Pasal 229 KUHP melarang tindakan
aborsi baik oleh tenaga medis legal maupun oleh orang yang tidak mempunyai
kemampuan medis, sebagai berikut:
a. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa
karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat
puluh lima ribu rupiah.
b. Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika
dia seorang tabib, bidan atau juru Obat, pidananya dapat ditambah sepertiga
c. Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalakukan pencarian itu.
Bahkan Pasal 349 KUHP menyatakan bahwa apabila seorang tabib, bidan, atau
juru obat membantu melakukan kejahatan yang terdapat Pasal 346 KUHP atau
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diatur dalam Pasal
347 dan Pasal 348 maka pidana yang diberikan ditambah sepertiga dan dicabut hak
untuk atas pekerjaannya. 81 Selain itu seorang ibu yang memutuskan untuk aborsi pun
dapat dipidana berdasarkan Pasal 341 KUHP, seorang ibu yang sengaja merampas
nyawa anaknya pada saat anak dilahirkan maka diancam pidana paling lama 7 tahun.
Apabila perbuatan direncanakan terlebih dahulu maka menurut Pasal 342 KUHP sang
ibu dapat diancam hukuman paling lama 9 tahun.
Ibu yang sengaja menggugurakan atau mematikan kandungannyanya atau
menyuruh orang lain untuk melakukan aborsi maka dapat diancam pidana paling
lama 4 tahun. Larangan aborsi sendiri berdasarkan Pasal 347 KUHP dengan tidak
adanya izin dari si ibu dan Pasal 348 KUHP dengan mendapat izin dari si ibu.
Larangan aborsi ini adalah untuk memenuhi hak hidup bagi janin yang berada dalam
kandungan.
Berbeda dengan KUHP, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan mengatur lebih sepesifik tentang aborsi itu sendiri. Walaupun aborsi
dilarang secara umum dalam Pasal 75 ayat (1) tetapi ayat (2) memperbolehkan aborsi
jika memang hak untuk hidup si ibu terancam, secara kesehatan. 86Undang-Undang
Kesehatan ini dapat dilihat sebagai "lex specialis derogat lex generali" dalam
ketentuan hukum.
Tabel 1. Pengaturan Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
Pengaturan tentang Aborsi
Pasal 75 (l) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat
dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak
usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa
ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidakdapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat
menyebabkan trauma psikologis bagi korban

perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau
penasehatan pratindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi
kedaruratanmedis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 76 Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat
dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu
dihitung darihari pertama haid terakhir, kecuali
dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki
keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi s arat
an diteta kan oleh Menteri.
Pasal 77 Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan
dariaborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma
agama dan ketentuan raturan perundang-undangan.
Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak R
1.000.000.000,00 (satu miliarru iah)
Perbandingan ketentuan hukum tentang aborsi di Indonesia
UU No. 36 tahun 2009 tentang
KUHP
Kesehatan
Pasal 346, Pasal 75,
Pasal 347 Pasal 76,
Pasal 348 Pasal 77,
Pasal 194
Pelarangan Aborsi secara Pelarangan Aborsi dengan
mutlak Pengecualian
3. Eutanasia
Eutanasia adalah tindakan yang dilakukan dengan menghilangkan nyawa orang
tanpa penderitaan terhadap pasien yang sudah tidak dapat lagi diharapkan. Makna
dari eutanasia dari waktu ke waktu berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan Pasal 7 (d) Kode Etik Kedokteran Indonesia
memberikan pengertian eutanasia sebagai berpindah ke alam baka dengan tenang dan
aman tanpa penderitaan, atau dari pengertian sebagai waktu hidup berakhir (sakaratul
maut), penderitaannya diringankan dengan memberikan obat penenang. Eutanasia
dapat juga diartikan pertolongan untuk melakukan bunuh diri. Hal ini dapat diketahui
jika adanya permintaan dalam beberapa definisi eutanasia. Pada dasarnya eutanasia
merupakan tindakan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa yang merupakan
dasar dari tindakan pembunuhan.
Hukum HAM internasional terkait dengan hak untuk hidup tidak mengenal hak
untuk mati, namun eutanasia tidak dilarang secara eksplisit dalam pengaturannya.
Penekanan perlindungan atas hak untuk hidup adalah bahwa negara harus melakukan
segala cara untuk menghargai dan melindungi hak untuk hidup yang dimiliki setiap
orang melalui peraturan perundang-undangan masing-masing negara. Adanya
legalisasi eutanasia dibeberapa negara yang memungkin seseorang untuk melakukan
penghilangan nyawa atas seseorang yang tidak disebabkan oleh sebab-sebab yang
alamiah, sebagai hak seseorang menimbulkan perdebatan mengenai perlindungan hak
untuk hidup.
Pada dasarnya eutanasia dilarang dilakukan di Indonesia. Pasal 344 KUHP
merumuskan bahwa, Barang siapa merampas nyawa orang Iain atas permintaan orang
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
Dengan demikian maka melakukan penghilangkan nyawa orang Iain walaupun
atas permintaan orang yang bersangkutan merupakan suatu tindak pidana yang
dilarang. Ancaman pidana yang adalah paling lama 12 tahun penjara.
Namun berdasarkan Surat Keputusan Direktur RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo,
Nomor 1 190/TU.K/34/II/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penentuan Mati dan
Penghentian Resusitasi Darurat serta Penghentian/Penundaan Bantuan Hidup RS
Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa pasien dan
keluarga pasien (atas nama pasien) dapat meminta dokter untuk melakukan
penghentian penggunaan alat pendukung kesehatan atau menilai keadaan pasien
untuk tujuan tersebut. Ayat (3) clari Pasal 18 menyatakan bahwa permintaan itu harus
dipenuhi.
Ketentuan ini tentunya harus didasari atas ketentuan yang ada pada Undang Undang
Nomor 36 tahun 2009, Pasal 56 ayat (1),Setiap orang berhak menerima atau menolak
sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
Dengan demikian pilihan ada pada pasien/keluarga pasien terkait dengan
tindakan yang diberikan oleh tenaga medis. Tetap tentunya bahwa tindakan tersebut
harus didasarkan pada perlindungan atas hak untuk hidup.

Anda mungkin juga menyukai