2. Aborsi
Aborsi adalah tindakan medis yang ditujukan untuk penghentian atu pengeluaran
hasil kehamilandari rahim sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau
pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan tumbuh. Dalam dunia
kedokteran dikenal tiga macam bentuk aborsi yaitu, aborsi alamiah, aborsi buatan dan
aborsi terapeutik atau medis.
Aborsi yang aman adalah aborsi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, baik
perawat, bidan, atau dokter yang benar-benar terlatih. Dalam pelaksanaannya
menggunakan alat-alat kedokteran yang layak dan harus dilakukan dalam kondisi
bersih dan dilakukan 3 bulan atau 12 minggu sesudah pasien mendapatkan haid yang
terakhir. UN Declaration of the Rights of the Child dan Covention on the Rights of
the Child, memberikan perlindungan hukum kepada setiap anak baik sebelum
dilahirkan hingga mereka lahir.
Berdasarkan hukum Indonesia Aborsi dilarang. Berdasarkan KUHP aborsi
dengan alasan apapun tidak boleh dilakukan. Pasal 229 KUHP melarang tindakan
aborsi baik oleh tenaga medis legal maupun oleh orang yang tidak mempunyai
kemampuan medis, sebagai berikut:
a. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa
karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat
puluh lima ribu rupiah.
b. Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika
dia seorang tabib, bidan atau juru Obat, pidananya dapat ditambah sepertiga
c. Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalakukan pencarian itu.
Bahkan Pasal 349 KUHP menyatakan bahwa apabila seorang tabib, bidan, atau
juru obat membantu melakukan kejahatan yang terdapat Pasal 346 KUHP atau
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diatur dalam Pasal
347 dan Pasal 348 maka pidana yang diberikan ditambah sepertiga dan dicabut hak
untuk atas pekerjaannya. 81 Selain itu seorang ibu yang memutuskan untuk aborsi pun
dapat dipidana berdasarkan Pasal 341 KUHP, seorang ibu yang sengaja merampas
nyawa anaknya pada saat anak dilahirkan maka diancam pidana paling lama 7 tahun.
Apabila perbuatan direncanakan terlebih dahulu maka menurut Pasal 342 KUHP sang
ibu dapat diancam hukuman paling lama 9 tahun.
Ibu yang sengaja menggugurakan atau mematikan kandungannyanya atau
menyuruh orang lain untuk melakukan aborsi maka dapat diancam pidana paling
lama 4 tahun. Larangan aborsi sendiri berdasarkan Pasal 347 KUHP dengan tidak
adanya izin dari si ibu dan Pasal 348 KUHP dengan mendapat izin dari si ibu.
Larangan aborsi ini adalah untuk memenuhi hak hidup bagi janin yang berada dalam
kandungan.
Berbeda dengan KUHP, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan mengatur lebih sepesifik tentang aborsi itu sendiri. Walaupun aborsi
dilarang secara umum dalam Pasal 75 ayat (1) tetapi ayat (2) memperbolehkan aborsi
jika memang hak untuk hidup si ibu terancam, secara kesehatan. 86Undang-Undang
Kesehatan ini dapat dilihat sebagai "lex specialis derogat lex generali" dalam
ketentuan hukum.
Tabel 1. Pengaturan Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
Pengaturan tentang Aborsi
Pasal 75 (l) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat
dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak
usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa
ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun
yang tidakdapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat
menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau
penasehatan pratindakan dan diakhiri dengan
konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi
kedaruratanmedis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 76 Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat
dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu
dihitung darihari pertama haid terakhir, kecuali
dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki
keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi s arat
an diteta kan oleh Menteri.
Pasal 77 Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan
dariaborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2)
dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma
agama dan ketentuan raturan perundang-undangan.
Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak R
1.000.000.000,00 (satu miliarru iah)
Perbandingan ketentuan hukum tentang aborsi di Indonesia
UU No. 36 tahun 2009 tentang
KUHP
Kesehatan
Pasal 346, Pasal 75,
Pasal 347 Pasal 76,
Pasal 348 Pasal 77,
Pasal 194
Pelarangan Aborsi secara Pelarangan Aborsi dengan
mutlak Pengecualian
3. Eutanasia
Eutanasia adalah tindakan yang dilakukan dengan menghilangkan nyawa orang
tanpa penderitaan terhadap pasien yang sudah tidak dapat lagi diharapkan. Makna
dari eutanasia dari waktu ke waktu berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan Pasal 7 (d) Kode Etik Kedokteran Indonesia
memberikan pengertian eutanasia sebagai berpindah ke alam baka dengan tenang dan
aman tanpa penderitaan, atau dari pengertian sebagai waktu hidup berakhir (sakaratul
maut), penderitaannya diringankan dengan memberikan obat penenang. Eutanasia
dapat juga diartikan pertolongan untuk melakukan bunuh diri. Hal ini dapat diketahui
jika adanya permintaan dalam beberapa definisi eutanasia. Pada dasarnya eutanasia
merupakan tindakan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa yang merupakan
dasar dari tindakan pembunuhan.
Hukum HAM internasional terkait dengan hak untuk hidup tidak mengenal hak
untuk mati, namun eutanasia tidak dilarang secara eksplisit dalam pengaturannya.
Penekanan perlindungan atas hak untuk hidup adalah bahwa negara harus melakukan
segala cara untuk menghargai dan melindungi hak untuk hidup yang dimiliki setiap
orang melalui peraturan perundang-undangan masing-masing negara. Adanya
legalisasi eutanasia dibeberapa negara yang memungkin seseorang untuk melakukan
penghilangan nyawa atas seseorang yang tidak disebabkan oleh sebab-sebab yang
alamiah, sebagai hak seseorang menimbulkan perdebatan mengenai perlindungan hak
untuk hidup.
Pada dasarnya eutanasia dilarang dilakukan di Indonesia. Pasal 344 KUHP
merumuskan bahwa, Barang siapa merampas nyawa orang Iain atas permintaan orang
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
Dengan demikian maka melakukan penghilangkan nyawa orang Iain walaupun
atas permintaan orang yang bersangkutan merupakan suatu tindak pidana yang
dilarang. Ancaman pidana yang adalah paling lama 12 tahun penjara.
Namun berdasarkan Surat Keputusan Direktur RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo,
Nomor 1 190/TU.K/34/II/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penentuan Mati dan
Penghentian Resusitasi Darurat serta Penghentian/Penundaan Bantuan Hidup RS
Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa pasien dan
keluarga pasien (atas nama pasien) dapat meminta dokter untuk melakukan
penghentian penggunaan alat pendukung kesehatan atau menilai keadaan pasien
untuk tujuan tersebut. Ayat (3) clari Pasal 18 menyatakan bahwa permintaan itu harus
dipenuhi.
Ketentuan ini tentunya harus didasari atas ketentuan yang ada pada Undang Undang
Nomor 36 tahun 2009, Pasal 56 ayat (1),Setiap orang berhak menerima atau menolak
sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
Dengan demikian pilihan ada pada pasien/keluarga pasien terkait dengan
tindakan yang diberikan oleh tenaga medis. Tetap tentunya bahwa tindakan tersebut
harus didasarkan pada perlindungan atas hak untuk hidup.