Anda di halaman 1dari 10

ARTIKEL PENELITIAN

MATA KULIAH RETORIKA


“DESKRIPSI PROFESI PRANATACARA BAHASA JAWA”
Dosen Pengampu :
Isbandi Sutrisno, S. Sos., M. Si.
Yudhy Widya Kusumo, S. Sos., M. A.

Disusun oleh :
1. Mitsal Helmi 153160042
2. Annisa Fatayatun N J 153160137
3. Dhika Fajar Kurniawan 153160138
4. Berlian Faluthia K. 153160166
5. Frizka Naura Alifa 153170119

KELAS B

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
a. Pengertian Pranatacara

Pranatacara adalah seseorang yang bertugas mengatur dan


memandu jalannya acara ataupun membawakan acara baik pada acara
resmi maupun adat khususnya dengan menggunakan bahasa Jawa dalam
penyampaiannya. Adapun syarat atau ketentuan untuk menjadi seorang
pranatacara antara lain harus memiliki penguasaan bahasa dan sastra Jawa
yang halus dengan teknik vokal dan olah suara yang bagus serta tingkah
laku dan penampilan yang baik dan sopan. Selain hal tersebut masih ada
ketentuan-ketentuan khusus yang perlu diperhatikan bagi pranatacara yang
akan dibahas lebih dalam lagi dalam artikel ini.

Menurut Triwahyu Putro salah seorang pranatacara muda dari


daerah Wonogiri mendefinisikan pranatacara atau pambiwara atau disebut
juga dengan dalang manten adalah seseorang yang ditugaskan mengatur
jalannya sebuah acara upacara adat dari awal hingga akhir seperti mantu
dan ngunduh mantu. Sedangkan makna menjadi seorang pranatacara itu
sendiri menurut Tohari salah seorang pranatacara yang ada di Purworejo,
pranatacara lebih mempunyai makna rasa kebersamaan serta memupuk
rasa cinta pada budaya bahasa Jawa sekaligus membuktikan rasa cinta
tanah air.

Menurut penuturan ketua Ketua Paguyuban Panatacara


Yogyakarta, Ki Abeje Janoko, yang membedakan pranatacara dengan
pemandu acara pada umumnya pada acara-acara pernikahan yaitu seorang
pranatacara harus mengetahui dan memiliki kemampuan keilmuan tentang
upacara adat yang digunakan, seperti pada pernikahan adat Yogyakarta
dan Surakarta. Ilmu tersebut sebagai dasar pedoman bagi seorang
pranatacara selain harus pandai bertuturkata dengan bahasa Jawa dengan
halus, baik, dan benar. Untuk upacara formal, pranatacara juga harus
memahami ilmu-ilmu tentang protokoler.
b. Persiapan Menjadi Pranatacara

Menurut Triwahyu Putro yang juga sebagai seorang guru bahasa


Jawa di SMP N 4 Pracimantoro, peraturan sebenarnya jika acaranya itu
pakem atau komplit seperti peraturan dari kraton menggunakan urutan dan
aturan dari kraton. Untuk busana menggunakan busana adat seperti
beskap. Adapun etika saat berbicara menurut Tohari, pranatacara selalu
menggunakan falsafah bahwa yang diajak berbicara selalu lebih dihormati
sebagai etika dalam berbahasa Jawa.

Untuk persiapan yang biasa dilakukan oleh Triwahyu Putro yang


sudah menekuni profesi sebagai pranatacara sejak duduk di bangku kelas 2
SMA yaitu lebih kepada persiapan yang berkaitan dengan naskah sesorah
atau pidato yang harus dikuasai. Perlu persiapan dalam memahami
deskripsi tempat, suasana, busana yang dikenakan pengantin, dan
rangkaian acara adat yang dikemas dengan kata-kata yang indah berbahasa
Jawa. Selain itu memahami tembang-tembang atau lagu pengiring. Setiap
prosesi adat menggunakan pengiring gending-gending tersendiri.
Persiapan iringan bisa langsung dari karawitan jadi harus berkoordinasi
dengan pengiring karawitan atau bisa juga dengan pengiring tidak
langsung dengan rekaman yang disiapkan oleh pranatacara untuk prosesi
adat Jogja dan Solo biasanya seperti itu. Namun, prosesi adat Jawa dan
Solo pengiring gendingnya berbeda.

Sedangkan untuk persiapan saat akan melaksanakan profesi


pranatacara di suatu acara pernikahan menurut Ki Abeje Janoko,
pranatacara harus koordinasi dengan tuan rumah. Di era modern sudah
WO atau Wedding Organizer harus sinergi juga dengan pranatacara yang
memandu acara. Selain itu pranatacara pernikahan juga harus bersinergi
dengan bagian tata riasnya, catering, dan pihak fotografer/videografer.
Semuanya harus saling bersinergi sejak sebelum acara sampai pada saat
acara berlangsung agar tercipta kerjasama yang baik dan lancar.
c. Paguyuban Pranatacara di DIY

Menurut artikel yang dikutip dari dalam website Jogja TV


(Bincang Hari Ini, Jumat 01/12/17) :

Keberadaan panatacara atau MC di Daerah Istimewa Yogyakarta


jumlahnya cukup banyak tetapi para MC ini belum membentuk sebuah
paguyuban sebagai wadah untuk menjalankan profesi MC dengan baik.
Bertolak dari hal ini maka para panatacara di DIY berinisiatif mendirikan
sebuah Paguyuban untuk menghimpun para panatacara di Yogyakarta.
Paguyuban Panatacara Yogyakarta (PPY)   didirikan pada 09 Juni 2015
dan telah diresmikan oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY. Paguyuban
Panatacara Yogyakarta (PPY) menjadi tempat belajar terkait upacara adat
pengantin bagi para MC di Yogyakarta dan sekitarnya. Sekretaris PPY
Cabang Sleman, Budi Sutowiyoso mengatakan anggota PPY saat ini
mencapai sekitar 200 orang. Mereka tidak hanya berasal dari DIY tetapi
juga ada yang berasal dari kota-kota lain seperti Semarang, Solo, Malang,
Banyumas, Kudus dan sebagainya.

Bidang yang dikaji oleh PPY adalah kebudayaan yang terkait


dengan tata upacara pengantin baik gaya Yogyakarta, Surakarta maupun
nasional. Dengan adanya PPY diharapkan pengetahuan yang terkait
dengan tata upacara adat pengantin akan dapat diketahui oleh masyarakat.
Terkait tata upacara pengantin klasik PPY mengadakan sarasehan budaya
yang membahas tentang upacara adat panggih gaya Yogyakarta. Sarasehan
yang mendatangkan narasumber MC kondang, dr. Wigung Wratsangka
tersebut diselenggarakan pada 05/12/17 di Dinas Kebudayaan Kabupaten
Sleman.  Sarasehan yang digelar oleh PPY ini mendapat fasilitas dari
Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman sehingga para peserta yang sudah
menjadi anggota PPY tidak ditarik biaya. Demikian ungkap Budi
Sutowiyoso.
Kegiatan budaya yang dilakukan oleh PPY mendapat dukungan
dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman karena PPY berkomitmen
menjaga nilai dan tradisi budaya Jawa. Dinas Kebudayaan Kabupaten
Sleman melalui Bidang peninggalan budaya nilai dan tradisi siap
mewadahi persoalan-persoalan budaya dan tradisi seperti yang dilakukan
oleh PPY. Dinas pun menanggapi kiprah PPY dengan secara positif, “ Kita
mengucapkan terimakasih karena inilah roh dari kebudayaan yang berbasis
pada masyarakat, kata Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman, Aji
Wulantoro, S.H.,M.Hum.

Paguyuban Panatacara Yogyakarta menjadi tempat menimba ilmu


bagi siapa saja yang ingin belajar tentang upacara adat pengantin baik gaya
Yogyakarta, Surakarta maupun nasional. Tidak hanya para panatacara atau
MC saja yang bisa belajar di PPY tetapi para perias pengantin maupun
Wedding Organiser (WO) juga bisa menambah ilmu di PPY. Ketua
Paguyuban Panatacara Yogyakarta, Ki Abeje Janoko  mengatakan bahwa
untuk bisa menjadi MC yang professional maka seorang MC harus
memiliki 15 kompetensi, diantaranya harus menguasai olahraga, olah
busana, olah swara, tembang dan sebagainya. Dengan terbentuknya PPY
ini maka para MC bisa meningkatkan kompetensinya tersebut sehingga
mampu menjadi MC professional. Salah satu anggota  yang juga
merupakan pengurus PPY, Ki Rahardjo Cermo Susilo mengaku bisa
menambah ilmu setelah bergabung ke dalam PPY. “Jadi apa yang belum
saya punya bisa saya dapatkan di PPY,” kata Ki Rahardjo Cermo Susilo.
Untuk mengembangkan kebudayaan di DIY rencananya PPY akan
menggandeng guru-guru MGMP bahasa Jawa agar dapat bersinergi
mencapai satu tujuan yang sama. Demikian ungkap Ketua Paguyuban
Pranatacara Yogyakarta, Ki Abeje Janoko.

Informasi terbaru yang diperoleh dari Ketua Paguyuban


Pranatacara Yogyakarta, Ki Abeje Janoko yang ditemui pada hari Kamis,
25 April 2019, anggotanya cukup banyak baik daerah DIY dan luar DIY
seperti Bekasi, Malang, Semarang, hingga Kudus. Anggota Paguyuban
Pranatacara saat ini berjumlah sekitar 250 orang lebih di DIY. Untuk
acara-acara ceremonial utama dari Paguyuban Panotocoro Yogyakarta
meliputi jasa pembawa acara adat-adat tradisi mulai dari rangkaian adat
manten, adat tedak siten, kehamilan, tingkepan, dll.

d. Tantangan Menjadi Pranatacara

Menurut Tohari tantangan itu ada karena sastra bahasa Jawa


memang dianggap lebih sulit daripada bahasa Indonesia. Menurutnya
sebagian pembicara bahasa Jawa merasa takut dianggap salah. Sedangkan
menurut Ki Abeje Janaka tidak ada tantangan yang berarti, baginya yang
penting punya hobi dan berprofesi sebagai pranatacara serta siap untuk
hadir kegiatan-kegiatan rutin, juga ada iuran rutin. Kegiatan-kegiatan
sarasehan untuk menambah wawasan juga sesekali perlu diikuti sebagai
penggiat budaya Jawa. Kegiatan tersebut diadakan setiap dua bulan sekali
yaitu pelapanan dualapanan sarasehan yang dilaksanakan di Pendopo
Kantor Dinas Kebudayaan Daerah Yogyakarta. Kini kegiatan tersebut
sudah mulai berkembang di masing-masing daerah kabupaten/kota di DIY.
Baginya karena sudah menjadi hal yang biasa, tidak ada kesulitan.
Alhamdulilah sejauh ini tidak ada kesulitan. Karena ada mental pede dan
yang kedua kemampuan menguasai tata upacara adat, keilmuan itulah
yang harus kita dapatkan. Gerogi itu dikarenakan, ketika tidak menguasai
materi, biasanya seperti itu. Prinsip menumbuhkan rasa percaya diri
seolah-olah pembawa acara adalah penguasa audiens. Jika gugup diatasi
dengan tarik nafas dalam-dalam.

Ki Abeje Janaka mengatakan, “Ketika saya dulu, saya aktif di


pramuka jadi panitia nasional, dan saya harus menyambut didepan
hadapan presiden megawati dan dihadapan puluhan ribu orang.
Alhamdulilah. Ya mungkin karena sudah dibesarkan di organisasi, itulah
yang nantinya menjadi dasar kemampuan kita untuk tampil di depan
publik. Maka satu hal yang saya sampaikan ke mahasiswa untuk belajarlah
tampil di depan publik dan tampil di depan publik itu menjadikan kita
percaya diri dan mampu. Dari hal itu diimbangi dengan ilmu yang kita
dapatkan. Akan tetapi jika kita tidak memiliki ilmu yang cukup, yang akan
kita jual dalam artian sebagai MC maka yang terjadi adalah tidak percaya
diri, seperti itu. Bagi mahasiswa saya yakin semuanya bisa.”

Pendapat Triwahyu Putro yang mewakili pranatacara generasi


muda berbeda dengan seniornya. Menurutnya pengalamannya selama ini
tidak ada tantangan atau hambatan. Namun sebagai pelaku budaya Jawa
harus mengikuti kemauan pelestari budaya atau orang yang memakai jasa
pranatacara. Seperti orang yang memiliki hajat suatu acara memiliki
inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan acara seperti menggabungkan
upacara keagamaan dengan upacara adat atau upacara nasional yang saat
ini sudah banyak dilakukan di desa-desa. Jadi sebagai pranatacara harus
menyesuaikan sesuai permintaan penyelenggara acara. Pranatacara
sekarang tidak harus kaku terikat dengan peraturan atau pakem dari kraton
jika luar wilayah kraton karena memang harus menyesuaikan keadaan di
lapangan.

Untuk mengatasi masalah gugup, tidak percaya diri atau tidak


focus, Triwahyu Putro mengatakan, “Bagi saya waktu saya belajar dulu
untuk mengatasinya yaitu dengan mempersiapkan materi pidato atau
naskah dengan matang. Selain itu sebelum tampil harus menguasai materi-
materi yang akan disampaikan. Jika tidak siap dan belum menguasi maka
gugup itu pasti. Kalau sudah siap sebelum tampil maka akan lebih percaya
diri dan lebih dapat menguasai audiens.”

Pendapat hampir sama juga dikemukakan oleh Tohari yang


mengatakan bahwa sebagai pranatacara harus percaya diri, audiens
dianggap teman sejawat sehingga tidak merasa minder dan topik
pembicaraan tidak boleh lepas dari tema.
e. Pengalaman Menjadi Pranatacara
Tohari mengatakan, “Karena pranatacara merupakan pembicara
tunggal maka apabila audiens bisa mengerti makna dan suka dengan
sastra Jawa yang saya sampaikan maka saya sebagai MC merasa berhasil
mempertahankan sastra jawa. Menjadi pranatacara sangat berkesan apabila
masyarakat banyak yang memuji keindahan satra jawa sekaligus cinta
sastra jawa sehingga bisa tumbuh rasa nasionalisme yaitu cinta tanah air.”

Menurut pengalaman Triwahyu Putro, menjadi pranatacara


menjadi dikenal banyak orang. Biasanya penyelenggara menjadi saudara
dan jaringan sosial untuk mempromosikan jasa pranatacara yang
ditawarkan. Jadi pihak-pihak yang pernah menggunakan jasanya menjadi
merekomendasikan jasa tersebut ke kerabat-kerabat dekatnya.

Sedangkan pengalaman dari Ki Abeje Janaka sebagai ahli dan


praktisi pranatacara tentu sudah memiliki banyak pengalaman dalam
memandu acara seperti pada saat acara presiden dan wakil presiden pada
masa SBY dan menteri-menteri sebagai MC formal. Untuk pranatacara
sebagian besar memandu acara yang diselenggarakan oleh kepala-kepala
daerah dan pejabat lainnya.
Identitas Nara Sumber

1. Nama : Ki Abeje Janoko - Sleman

Pekerjaan : MC Pranatacara, MC Formal/Non-formal, dan Dosen


FKIP UST
2. Nama : Triwahyu Putro (25 tahun) - Wonogiri

Pekerjaan : MC Pranatacara, Guru bahasa Jawa SMP N 4


Pracimantoro, Dalang, dan Penyanyi campursari

3. Nama : Tohari (66 tahun) - Purworejo

Pekerjaan : MC Pranatacara, Pensiunan PNS ( Guru SD )

Refernsi :

http://jogjatv.tv/paguyuban-panatacara-yogyakarta/

Anda mungkin juga menyukai