Anda di halaman 1dari 10

TEKNIK ENZIM IMMUNOASSAY

Sri Suryo Adiyanti


Departemen Patologi Klinik FKUI-RSCM

1. PENDAHULUAN
Enzyme immunoassay (EIA) dan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
digunakan secara luas sebagai alat diagnostik dalam bidang kedokteran dan sebagai standar
quality control pada berbagai industri, selain itu juga sebagai alat analitik dalam penelitian
biomedik untuk mendeteksi antigen atau antibodi spesifik pada suatu sampel secara kuantitatif.
Kedua prosedur ini mempunyai prinsip dasar yang serupa yang bermula dari radioimmunoassay
(RIA). RIA pertama kali diperkenalkan oleh Berson dan Yalow dan kemudian dikembangkan
menjadi teknik baru untuk mendeteksi dan melakukan pengukuran molekul biologis yang terdapat
dalam jumlah yang sedikit, sehingga memungkinkan untuk melakukan analisis dan deteksi
molekul biologis lainnya termasuk hormon, peptida dan protein. Penggunaan radioaktif kemudian
menimbulkan adanya masalah isu safety sehingga kemudian dimodifikasi dengan menggantikan
radioisotop dengan enzim.1
Pada Enzyme Immunoassay (EIA), molekul enzim berkonjugasi dengan antibodi detektor
sekunder, yang akan berikatan dengan kompleks antigen-antibodi primer. Ketika substrat
ditambahkan maka enzim akan mengkatalisasi produksi end-product yang berwarna, yang dapat
diamati dan diukur. Sistem EIA yang paling banyak tersedia secara komersial memerlukan
pemisahan antigen spesifik dari kompleks non spesifik. Sistem tersebut disebut solid phase
immunosorbent assay (SPIA) atau enzyme-linked imunosorbent assay (ELISA). Pemisahan
dapat dicapai dengan ikatan antigen atau capture antibody pada permukaan solid/padat seperti
polistiren mikrotiter plate, latex bead, atau magnetik bead. Matriks padat juga memungkinkan
pemisahan dengan melakukan pencucian ulang untuk meminimalisir ikatan nonspesifik.2

2. PRINSIP DASAR
EIA/ELISA menggunakan konsep dasar imunologi yaitu terikatnya suatu antigen terhadap
antibodinya yang spesifik, yang kemudian dapat mendeteksi antigen dalam jumlah yang sangat
sedikit seperti protein, peptida, hormon atau antibodi pada sampel. EIA dan ELISA menggunakan
antigen berlabel enzim dan antibodi untuk mendeteksi molekul biologis, enzim yang paling
banyak dipakai adalah alkaline phosphatase dan glucose oxidase. Antigen dalam fase cair di
immobilisasi ke dalam sumur 96-well microtiter plate. Antigen dapat berikatan dengan antibodi
spesifik, dimana kemudian ikatan tersebut akan dideteksi menggunakan antibodi sekunder yang
berlabel enzim. Substrat kromogenik untuk enzim tersebut memberikan perubahan warna atau
fluoresen yang visible yang menunjukkan adanya antigen. Pengukuran secara kuantitatif dan
1
kualitatif dapat dilakukan dengan pembacaan kolorimetrik. Substrat fluorogenik mempunyai
sensitivisitas yang lebih tinggi dan dapat mengukur dengan akurat konsentrasi antigen pada
sampel. Berbagai macam ELISA telah dilakukan dengan modifikasi dimana langkah
terpentingnya adalah deteksi antigen secara direct atau indirect dengan menempelkan atau
imobilisasi antigen atau antigen spesifik antibody-capture, langsung ke dinding permukaan. Untuk
meningkatkan sensitivisitas dan ketajaman pengukuran, antigen dapat dipilih dari sampel yang
terdiri dari antigen campuran melalui antibodi “capture”. Antigen kemudian di’sandwich’ antara
antibody capture dan antibodi detektor. Jika antigen yang akan diukur berukuran kecil atau hanya
mempunyai 1 epitop untuk berikatan dengan antibodi, maka metode kompetitif digunakan dimana
antigen yang dilabel berkompetisi dengan kompleks antigen-antibodi yang tidak berlabel atau
antibodi berlabel berkompetisi dengan antigen yang terikat dan yang berada dalam sampel.1
Imunoassay umumnya terdiri atas berlabel dan tidak berlabel. Umumnya yang tidak
berlabel bekerja berdasarkan reaksi imun sekunder, yaitu presipitasi dan aglutinasi yang diukur
dengan penyebaran cahaya atau metode perhitungan partikel. Immunoassay berlabel bekerja
berdasarkan reaksi imun primer. Terdapat 2 tipe tergantung prinsip reaksinya yaitu tipe 1 reagent-
observed dan tipe 2 analit-observed. Pada tipe 1 terdapat antibodi berlebih sebagai pengikat,
yang membatasi reaksi pada tipe 2 yang mempunyai analit berlebih. Tidak seperti tipe 2 yang
digunakan untuk menentukan hapten dan substansi molekul dengan berat yang tinggi, tipe 1
memerlukan substansi untuk digunakan sebagai analit dengan sedikitnya 2 epitop yang berbeda,
untuk membedakan epitop yang berlabel dengan tidak berlabel.3
EIA merupakan tes yang cepat dan sensitif untuk deteksi antigen spesifik terhadap
penyakit atau antibodi dalam serum pasien. Salah satu target yang paling umum dalam
laboratorium klinik adalah hepatitis B (HBV). Terdapat sejumlah marker serologis untuk hepatitis
B termasuk hepatitis B surface antigen (HbsAg), antibodi anti-HbsAg, antigen hepatitis B
(HbeAg), antibodi Ig M ke Hb core antigen (HBc) dan semuanya mempunyai serological time
tertentu yang memungkinkan untuk menentukan tahap dan time course penyakit pada pasien.
Tes HIV komersial HIV EIA menggunakan metode indirect antibody capture dan sandwich.
Perkembangan terkini tes ini dapat mendeteksi infeksi virus sebelum antibodi terhadap HIV-1
terdeteksi.2

2
Gambar 1. Prinsip Uji Imunosorben Enzim Fase Padat4

Variasi labeling enzim melibatkan molekul penghubung seperti biotin ke antibodi primer
sinyal kemudian dideteksi dengan enzim berlabel streptavidin yang ditambahkan ke dalam
sistem. Interaksi avidin dan biotin akan cenderung memperbesar sinyal dan meningkatkan
sensitivitas. Jenis lain sistem avidin biotin kini digunakan pada berbagai pemeriksaan dengan
sensitivisitas yang meningkat dan waktu inkubasi dapat diperpendek. Pada pemeriksaan yang
sudah dimodifikasi, biotnylated capture antibody terikat pada permukaan padat melalui avidin
(atau streptavidin) (Gambar 2) yang dapat mengamplifikasi deteksi analit pada kadar yang
rendah.2

Gambar 2. Antibodi yang Terbiotinilasi dapat Diikat melalui Streptavidin.


Empat Situs Pengikatan Biotin pada 1 Molekul Streptavidin Memfasilitasi
Peningkatan Sensitivitas Uji melalui Amplifikasi2
3
3. JENIS-JENIS ELISA

3.1. ELISA INDIRECT


Sampel yang harus dianalisis untuk antigen spesifik ditempelkan ke sumur microtiter
plate, diikuti oleh larutan protein non reacting seperti bovine serum albumin untuk memblok area
sumur yang tidak dilapisi antigen. Antibodi primer yang terikat secara spesifik dengan antigen
ditambahkan diikuti dengan antibodi sekunder yang berlabel enzim. Substrat untuk enzim
ditambahkan untuk mengukur antibodi primer dengan perubahan warna. Konsentrasi antibodi
primer yang berada dalam serum berkorelasi secara langsung dengan perubahan warna.
Keterbatasan utamanya adalah kurang spesifik. Ketika serum digunakan sebagai antigen yang
diperiksa, semua protein dalam sampel dapat menempel ke sumur microplate. Keterbatasan ini
dapat diatasi menggunakan capture antibody terhadap tes antigen secara spesifik.1

3.2. ELISA KOMPETITIF


Terjadi proses reaksi kompetitif antara antigen sampel dengan antigen yang melekat pada
sumur plate microtiter dengan antibodi primer. Pertama, antibodi primer diinkubasi dengan
antigen sampel dan menghasilkan kompleks antigen-antibodi yang ditambahkan dalam sumur
yang sudah dilapisi antigen yang sama. Setelah inkubasi, antibodi yang tidak terikat akan tercuci.
Makin banyak antigen dalam sampel, makin banyak antibodi primer yang terikat pada antigen
sampel. Maka jumlah antibodi yang lebih sedikit akan dapat berikatan pada antigen yang berada
pada sumur. Antibodi sekunder berlabel enzim kemudian ditambahkan, diikuti oleh substrat untuk
menghasilkan sinyal kromogenik atau fluoresen. Tidak adanya warna menunjukkan adanya
antigen dalam sampel. Keuntungan ELISA kompetitif adalah sensitivisitasnya yang tinggi
terhadap komposisi kompleks antigen yang berbeda, walaupun antibodi spesifik yang mendeteksi
hanya terdapat dalam jumlah yang kecil.1

3.3. ELISA SANDWICH


Digunakan untuk mengidentifikasi antigen sampel spesifik. Permukaan sumur dilapisi
dengan antibodi yang terikat dengan jumlah yang diketahui untuk menangkap antigen yang
diinginkan. Setelah non spesific binding sites diblok dengan bovine serum albumin, sampel yang
mengandung antigen diaplikasikan pada plate. Antibodi primer spesifik kemudian ditambahkan
sehingga akan melapisi (sandwich) antigen tersebut. Antibodi sekunder yang terikat enzim
kemudian ditambahkan untuk mengikat antibodi primer. Konjugat unbound antibody-enzyme
kemudian tercuci. Substrat ditambahkan dan secara enzimatik diubah menjadi warna yang dapat
diukur. Keuntungannya adalah mengurangi kebutuhan untuk memurnikan antigen dari campuran
antigen lainnya, sehingga menyederhanakan pemeriksaan dan meningkatkan sensivisitas dan
spesifisitas.1
4
Syarat untuk terlaksananya pemeriksaan sandwich dengan benar adalah antigen yang
cukup besar yang terdiri atas epitop yang berbeda untuk sedikitnya 2 antibodi yang berbeda. Jika
analitnya merupakan molekul yang kecil, immunoassay kompetitif dapat digunakan. Pada format
ELISA kompetitif, tiruan struktural antigen dilapisi pada dinding sumur mikrotiter plate. Tiruan
tersebut biasanya merupakan antigen yang berkonjugasi dengan protein dengan suatu ‘handle’
yang spesifik. Sampel bersama dengan antibodi yang spesifik antigen kemudian diinkubasi dalam
wells/sumur, dimana kemudian antigen dalam sampel akan berkompetisi dengan antigen
permukaan terhadap antibodi yang terbatas jumlahnya dalam larutan. Setelah pencucian,
antibodi spesifik sekunder yang terkonjugasi ditambahkan dan setelah penambahan substrat
akan terbentuk warna. Intensitas warna akan proporsional berbanding terbalik dengan jumlah
antigen dalam larutan. Semakin banyak antigen, maka semakin sedikit antibodi yang berikatan
ke permukaan dan warna yang terbentuk lebih muda.2

4. INTERFERENSI
Penggunaan antibodi monoklonal kini lebih disukai karena sensitivisitasnya meningkat,
rentang pengukuran lebih lebar, dan interferensi yang berkurang.2 Interferensi adalah efek dari
suatu substansi dalam sampel yang dapat menganggu nilai akurat dari suatu hasil, biasanya
diekspresikan sebagai konsentrasi atau aktivitas, pada analit. Immunoassay mempunyai
sensitivisitas yang tinggi namun kekurangan dalam spesifisitas dan akurasi. Spesifisitas
immunoassay tidak hanya tergantung dari sifat pengikatan antibodi namun juga komposisi
antigen dan matriksnya. Substansi yang dapat menganggu konsentrasi analit dalam sampel atau
menganggu proses berikatannya antibodi dapat berpotensi menginterferesi hasil. Interferensi
dapat berupa analit-dependen atau analit independen dan dapat membuat interferensi positif /
hasil meningkat atau interferensi negatif / hasil menurun. Interferensi yang umum seperti
hemolisis, ikterus, lipemia, efek antikoagulan dan penyimpanan sampel tergantung dari
konsentrasi analit. Interferensi pada analit-dependen disebabkan oleh interaksi antara komponen
dalam sampel dengan satu atau lebih reagen antibodi, termasuk antibodi heterophilic, antibodi
manusia anti-animal, antibodi auto analit, rheumatoid factor dan protein lainnya.5

4.1. INTEFERENSI ALAMI/NATURE


Interferensi yang disebabkan oleh interaksi dengan 1 atau lebih langkah pada prosedur
immunoassay dan konsentrasi analit atau terganggunya proses berikatannya antibodi. Interferen
endogen dapat berupa protein pengikat yang tidak diduga bisa menganggu reaksi antara analit
dan antibodi. Perubahan konfirmasi antigen dapat diinduksi oleh antibodi yang dapat menganggu
spesifisitas antibodi. Interferen eksogen adalah interferensi yang disebabkan oleh faktor atau
kondisi eksternal in vivo atau in vitro, tidak normal terdapat secara alami seperti hemolisis,

5
lipemia, ikterus, zat aditif pada tabung, adanya komponen radioaktif atau fluoresen, obat, herbal,
suplemen, penyimpanan sampel dan transport.5

4.2. REAKSI SILANG


Reaksi silang merupakan interferensi paling umum dalam immunoassay, namun
umumnya terjadi pada kompetitif. Dimana terdapat pengaruh non spesifik dari suatu sampel yang
secara struktural mirip dengan analit (mempunyai epitop yang sama atau yang mirip dengan
analit) dan berkompetisi pada binding site antibodi mengakibatkan over atau under estimasi
konsentrasi analit. Contohnya pada pengukuran hormon, obat dan alergen spesifik Ig G. Hormon
TSH, LH dan hCG mempunyai analog alfa chain, dan beta chain yang menentukan spesifisitas.
Tes immunoassay hCG terdahulu dapat bereaksi silang dengan LH, namun perkembangan terkini
sudah dapat diminimalisir. Contoh lain adalah reaksi silang dengan obat dan metabolitnya masih
dapat menimbulkan masalah pada pengukuran steroid dengan struktur yang mirip seperti kortisol
yang dapat bereaksi silang dengan derivat fluocortisone sehingga menyebabkan peningkatan
kadar kortisol pada pasien yang diterapi dengan obat ini.5

5. GANGGUAN/PERUBAHAN PADA PENGUKURAN KONSENTRASI SAMPEL

5.1. FAKTOR PRE ANALITIK

5.1.1. PENGAMBILAN DARAH


Komponen dalam tabung termasuk substansi dalam dinding tabung, surfaktan,
antikoagulan, gel separator dan clot aktivator dapat menimbulkan interferensi. Kini penggunaan
tabung plastik sudah menggantikan tabung kaca yang cocok untuk analit kimia rutin, hormon dan
monitoring terapi.5

5.1.2. JENIS SAMPEL


Pada kebanyakan tes imunologi, serum merupakan pilihan utama, namun plasma juga
dapat digunakan sebagai alternatif, karena mengurangi waktu ekstra yang diperlukan untuk
terjadinya pembekuan, dan dapat mengurangi waktu pra analitik keseluruhan. Tabung dengan
antikoagulan harus diisi sampai mencapai batas, kalau tidak maka konsentrasi antikoagulan akan
terlalu tinggi dan dapat mempengaruhi pemeriksaan terutama karakter antigen antibodinya. Jenis
sampel dapat mempengaruhi konsentrasi analit dengan hasil berbeda dengan sampel yang
diambil menggunakan lithium heparin, EDTA dan sodium fluoride/potassium oxalat atau tabung
dengan antikoagulan pada analit seperti troponin dan hormon.5

6
5.1.3. HEMOLISIS, LIPEMIA DAN IKTERUS
Umumnya immunoassay tidak dipengaruhi oleh hemolisis dan ikterus, tidak seperti analit
yang diukur oleh spektra atau kimia. Namun hemolisis tidak dapat diterima pada immunoassay
yang relatif labil seperti insulin, glukagon, calcitonin, parathyroid hormon, ACTH dan gastrin
karena adanya pelepasan enzim proteolitik dari eritrosit yang akan mendegradasi analit.
Hemolisis juga dapat menganggu beberapa langkah pesinyalan pada beberapa tipe
immunoassay yang berbeda. Lipemia dapat menganggu pemeriksaan terutama yang
menggunakan nefelometridan turbidimetri. Lipemia atau serum dengan kadar trigliserida yang
tinggi dan kolesterol dapat menimbulkan error pada beberapa pemeriksaan dengan menganggu
pengikatan antigen, walaupun antibodi terhubung pada permukaan padat. Idealnya pasien
berpuasa dulu semalam sebelum pengambilan darah untuk mengurangi interferensi dengan lipid.
Bilirubin juga dapat mempengaruhi pemeriksaan termasuk immunoassay.5

5.1.4. STABILITAS DAN PENYIMPANAN


Umumnya analit akan stabil bila disimpan pada suhu dingin atau suhu beku. Hormon
peptida seperti insulin, C peptida, gastrin, glukagon, ACTH dan vitamin D disimpan pada suhu -
20 C sedangkan ACTH stabil dalam plasma EDTA pada suhu 4 C selama 18 jam, sedangkan
hormon lain stabil >120 jam. Proses pembekuan/pencairan berulang dapat menyebabkan
denaturasi, agregasi dan kehilangan sifar antigenitas pada beberapa protein. 5

5.1.5. CARRY OVER


Potensi terjadinya carry over dapat disebabkan oleh pencucian yang kurang adekuat atau
kegagalan untuk mendeteksi bekuan pada sampel juga dapat menyebabkan hasil yang over atau
under estimate. Jika sampel yang diperiksa sebelumnya terdapat misalnya hCG, tumor marker
dengan konsentrasi tinggi maka analit dari sampel pertama pada probe instrumen dapat
meningkatkan konsentrasi analit pada sampel berikutnya.5

5.2. HORMONE BINDING PROTEIN


Hormon binding globulin dapat menganggu pengukuran konsentrasi analit dengan
memindahkan atau memblok analit. Endogen binding globulin yang penting adalah albumin
(karena kadarnya yang tinggi), sex hormone binding globulin (SHBG), thyroid binding globulin
(TBG) dan cortisol binding globulin (CBG) maka perlu diperhatikan untuk memindahkan semua
hormon terikat dari endogen binding site dan untuk mencegah ikatan hormon ke endogen binding
site dengam cara ekstraksi solven, denaturasi binding protein dengan menambahkan blocking
agent atau ekstrais imunoaffinitas.5

7
5.3. ANTIBODI AUTOANALIT
Anutoantibodi telah diketahui dapat menyebabkan interferensi beberapa analit termasuk
hormon tiroid, tiroglobulin, insulin, prolaktin dan testosteron.5

6. GANGGUAN PADA ANTIBODY BINDING

6.1. HETEROPHILIC ANTIBODIES


Adalah antibodi yang diproduksi terhadap antigen yang lemah yang mempunyai sifat
antibodi multispesifik pada respons imun awal dan umumnya menunjukkan afinitas rendah dan
ikatan yang lemah. Antibodi ini bereaksi dengan banyak antigen dan berbagai region pada
antibodi lainnya. Antibodi Ig M berperan penting dalam interferensi serum dari pasien rheumatic
karena dapat mengikat fragmen FC dari antibodi manusia. Antibodi endogen disebut heterofilik
ketika tidak terdapat riwayat atau terapi media dengan imunoglobulin hewan atau imunogen
lainnya. Pada kasus Rhematic Factor (RF), peningkatan hasil palsu disebabkan adanya ikatan
RF ke domain Fc dari kompleks antigen antibodi. Adanya RF dalam serum dapat menyebabkan
peningkatan palsu hasil troponin, tes fungsi tiroid dan tumor marker dan positif palsu pada HCV
Ig M.5

6.2. HUMAN ANTIANIMAL ANTIBODIES (HAAA)


Mempunyai afinitas yang tinggi, merupakan antibodi poliklonal spesifik yang dihasilkan
setelah kontak dengan imunoglobulin hewan. Menunjukkan ikatan yang kuat dan diproduksi
dalam titer yang tinggi. HAAA dapat berupa Ig G, Ig A, Ig M atau Ig E (lebih jarang). Antibodi ini
kemudian berkompetisi dengan antigen yang dites dengan cara bereaksi silang dengan reagen
antibodi spesies yang sama untuk menghasilkan sinyal palsu. HAAA yang paling umum adalah
human anti-mouse antibodi (HAMA). HAAA diperhatikan bila terdapat riwayat terapi dengan
imunoglobulin.5

6.3. HIGH-DOSE HOOK EFFECT


Hook effect terjadi berdasarkan kurva saturasi antibodi dengan antigen yang disebabkan
oleh konsentrasi analit tinggi yang berlebihan yang akan membuat jenuh antibodi capture dan
detektor. Effect high dose terjadi umumnya pada imunometrik satu langkah (sandwich) membuat
penurunan sinyal pada analit dengan konsentrasi yang tinggi. Pada immunoassay dengan
rentang konsentrasi analit yang lebar (ferritin, growth hormone, hCG, PRL, Tg, tumor marker
PSA, CA 19-9, CA 125) reaksi antigen antibodi dapat menimbulkan antigen yang berlebih dan
mengakibatkan hasil yang menurun dan berpotensi misdiagnosis. Efek ini dapat dikurangi dengan
meningkatkan jumlah reagen antibodi dan mengurangi jumlah sampel yang diperlukan dengan
melakukan pengenceran sampel.5

8
7. NICE TO KNOW: LABELED ANTIBODY TECHNIQUES
EIA menggunakan antibodi berlabel enzim dalam reaksinya (Gambar 3). Tes dirancang
untuk mendeteksi baik antibodi dalam spesimen pasien atau antigen, seperti antigen virus dalam
spesimen pasien. Tahapan awal EIA adalah prosedur yang kompleks tetapi tes ini banyak
digunakan dan meskipun canggih dalam desain internalnya, relatif mudah dilakukan. Uraian
berikut tentang tes untuk mengukur antibodi rubella dan menentukan kekebalan terhadap
rubella adalah contoh dari cara kerja EIA.6
1. Reaction well atau tabung dilapisi dengan antigen
virus rubela, serum pasien ditambahkan, dan tes
diinkubasi untuk memberikan waktu bagi setiap antibodi
anti-rubela dalam serum pasien untuk mengikat antigen
virus. Sumur uji kemudian dibilas untuk menghilangkan
antibodi tidak terikat yang tidak spesifik.
2. Anti-human IgG (antibodi yang diarahkan terhadap
IgG manusia) dengan label enzim yang melekat pada
daerah Fc ditambahkan ke sumur dan diinkubasi (Jika
anti-rubella hadir dalam serum pasien dan terikat pada
antigen virus, maka antibodi berlabel enzim akan
mengikat anti-rubella. Jika tidak ada anti-rubella hadir
dalam serum, antibodi berlabel enzim tidak akan punya
sesuatu untuk diikat). Sumur dibilas lagi untuk
menghilangkan antibodi berlabel enzim yang tidak
terikat.
3. Substrat tidak berwarna yang spesifik untuk enzim
ditambahkan ke dalam sumur dan dibiarkan bereaksi.
Gambar 3. Prinsip Reaksi dari
Teknik Pelabelan EIA6 4. Interpretasi uji: Jika tidak ada warna yang terbentuk
setelah penambahan substrat enzim, tes ini negatif / tidak
ada enzim yang tersisa yang menyebabkan perubahan
warna pada substrat. Jika substrat enzim diubah menjadi
bentuk berwarna, tes ini positif / menunjukkan bahwa
terdapat antibodi sekunder berlabel enzim.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gan SD, & Patel KR. Enzyme Immunoassay and Enzyme-Linked Immunosorbent Assay.
Journal of Investigative Dermatology. 2013;133(12):1-3. doi:10.1038/jid.2013.287
9
2. Koivunen ME, & Krogrud RI. Principles of Immunochemical Techniquws Used in Clinical
Laboratories. LABMEDICINE. 2006;37(8):490-7. doi:10.1309/MV9RM1FDLWAUWQ3F
3. Porstmann T, & Kiessig ST. Enzyme Immunoassay Tachniques An Overview. Journal of
Immunological Methods. 1992;150:5-21. doi:10.1016/0022-1759(92)90061-W
4. Turgeon ML. Immunology & Serology Ed 5th. St. Louis, Missouri. 2014.
5. Chiu NHL, & Christopoulos TK. Advances in Immunoassay Technology. Croatia, HR.
2012.
6. Estridge BH, & Reynolds AP. Basic Clinical Laboratoty Techniques Ed 6th. Delmar:
Cengage Learning. 2012.

10

Anda mungkin juga menyukai