1. PENDAHULUAN
Enzyme immunoassay (EIA) dan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
digunakan secara luas sebagai alat diagnostik dalam bidang kedokteran dan sebagai standar
quality control pada berbagai industri, selain itu juga sebagai alat analitik dalam penelitian
biomedik untuk mendeteksi antigen atau antibodi spesifik pada suatu sampel secara kuantitatif.
Kedua prosedur ini mempunyai prinsip dasar yang serupa yang bermula dari radioimmunoassay
(RIA). RIA pertama kali diperkenalkan oleh Berson dan Yalow dan kemudian dikembangkan
menjadi teknik baru untuk mendeteksi dan melakukan pengukuran molekul biologis yang terdapat
dalam jumlah yang sedikit, sehingga memungkinkan untuk melakukan analisis dan deteksi
molekul biologis lainnya termasuk hormon, peptida dan protein. Penggunaan radioaktif kemudian
menimbulkan adanya masalah isu safety sehingga kemudian dimodifikasi dengan menggantikan
radioisotop dengan enzim.1
Pada Enzyme Immunoassay (EIA), molekul enzim berkonjugasi dengan antibodi detektor
sekunder, yang akan berikatan dengan kompleks antigen-antibodi primer. Ketika substrat
ditambahkan maka enzim akan mengkatalisasi produksi end-product yang berwarna, yang dapat
diamati dan diukur. Sistem EIA yang paling banyak tersedia secara komersial memerlukan
pemisahan antigen spesifik dari kompleks non spesifik. Sistem tersebut disebut solid phase
immunosorbent assay (SPIA) atau enzyme-linked imunosorbent assay (ELISA). Pemisahan
dapat dicapai dengan ikatan antigen atau capture antibody pada permukaan solid/padat seperti
polistiren mikrotiter plate, latex bead, atau magnetik bead. Matriks padat juga memungkinkan
pemisahan dengan melakukan pencucian ulang untuk meminimalisir ikatan nonspesifik.2
2. PRINSIP DASAR
EIA/ELISA menggunakan konsep dasar imunologi yaitu terikatnya suatu antigen terhadap
antibodinya yang spesifik, yang kemudian dapat mendeteksi antigen dalam jumlah yang sangat
sedikit seperti protein, peptida, hormon atau antibodi pada sampel. EIA dan ELISA menggunakan
antigen berlabel enzim dan antibodi untuk mendeteksi molekul biologis, enzim yang paling
banyak dipakai adalah alkaline phosphatase dan glucose oxidase. Antigen dalam fase cair di
immobilisasi ke dalam sumur 96-well microtiter plate. Antigen dapat berikatan dengan antibodi
spesifik, dimana kemudian ikatan tersebut akan dideteksi menggunakan antibodi sekunder yang
berlabel enzim. Substrat kromogenik untuk enzim tersebut memberikan perubahan warna atau
fluoresen yang visible yang menunjukkan adanya antigen. Pengukuran secara kuantitatif dan
1
kualitatif dapat dilakukan dengan pembacaan kolorimetrik. Substrat fluorogenik mempunyai
sensitivisitas yang lebih tinggi dan dapat mengukur dengan akurat konsentrasi antigen pada
sampel. Berbagai macam ELISA telah dilakukan dengan modifikasi dimana langkah
terpentingnya adalah deteksi antigen secara direct atau indirect dengan menempelkan atau
imobilisasi antigen atau antigen spesifik antibody-capture, langsung ke dinding permukaan. Untuk
meningkatkan sensitivisitas dan ketajaman pengukuran, antigen dapat dipilih dari sampel yang
terdiri dari antigen campuran melalui antibodi “capture”. Antigen kemudian di’sandwich’ antara
antibody capture dan antibodi detektor. Jika antigen yang akan diukur berukuran kecil atau hanya
mempunyai 1 epitop untuk berikatan dengan antibodi, maka metode kompetitif digunakan dimana
antigen yang dilabel berkompetisi dengan kompleks antigen-antibodi yang tidak berlabel atau
antibodi berlabel berkompetisi dengan antigen yang terikat dan yang berada dalam sampel.1
Imunoassay umumnya terdiri atas berlabel dan tidak berlabel. Umumnya yang tidak
berlabel bekerja berdasarkan reaksi imun sekunder, yaitu presipitasi dan aglutinasi yang diukur
dengan penyebaran cahaya atau metode perhitungan partikel. Immunoassay berlabel bekerja
berdasarkan reaksi imun primer. Terdapat 2 tipe tergantung prinsip reaksinya yaitu tipe 1 reagent-
observed dan tipe 2 analit-observed. Pada tipe 1 terdapat antibodi berlebih sebagai pengikat,
yang membatasi reaksi pada tipe 2 yang mempunyai analit berlebih. Tidak seperti tipe 2 yang
digunakan untuk menentukan hapten dan substansi molekul dengan berat yang tinggi, tipe 1
memerlukan substansi untuk digunakan sebagai analit dengan sedikitnya 2 epitop yang berbeda,
untuk membedakan epitop yang berlabel dengan tidak berlabel.3
EIA merupakan tes yang cepat dan sensitif untuk deteksi antigen spesifik terhadap
penyakit atau antibodi dalam serum pasien. Salah satu target yang paling umum dalam
laboratorium klinik adalah hepatitis B (HBV). Terdapat sejumlah marker serologis untuk hepatitis
B termasuk hepatitis B surface antigen (HbsAg), antibodi anti-HbsAg, antigen hepatitis B
(HbeAg), antibodi Ig M ke Hb core antigen (HBc) dan semuanya mempunyai serological time
tertentu yang memungkinkan untuk menentukan tahap dan time course penyakit pada pasien.
Tes HIV komersial HIV EIA menggunakan metode indirect antibody capture dan sandwich.
Perkembangan terkini tes ini dapat mendeteksi infeksi virus sebelum antibodi terhadap HIV-1
terdeteksi.2
2
Gambar 1. Prinsip Uji Imunosorben Enzim Fase Padat4
Variasi labeling enzim melibatkan molekul penghubung seperti biotin ke antibodi primer
sinyal kemudian dideteksi dengan enzim berlabel streptavidin yang ditambahkan ke dalam
sistem. Interaksi avidin dan biotin akan cenderung memperbesar sinyal dan meningkatkan
sensitivitas. Jenis lain sistem avidin biotin kini digunakan pada berbagai pemeriksaan dengan
sensitivisitas yang meningkat dan waktu inkubasi dapat diperpendek. Pada pemeriksaan yang
sudah dimodifikasi, biotnylated capture antibody terikat pada permukaan padat melalui avidin
(atau streptavidin) (Gambar 2) yang dapat mengamplifikasi deteksi analit pada kadar yang
rendah.2
4. INTERFERENSI
Penggunaan antibodi monoklonal kini lebih disukai karena sensitivisitasnya meningkat,
rentang pengukuran lebih lebar, dan interferensi yang berkurang.2 Interferensi adalah efek dari
suatu substansi dalam sampel yang dapat menganggu nilai akurat dari suatu hasil, biasanya
diekspresikan sebagai konsentrasi atau aktivitas, pada analit. Immunoassay mempunyai
sensitivisitas yang tinggi namun kekurangan dalam spesifisitas dan akurasi. Spesifisitas
immunoassay tidak hanya tergantung dari sifat pengikatan antibodi namun juga komposisi
antigen dan matriksnya. Substansi yang dapat menganggu konsentrasi analit dalam sampel atau
menganggu proses berikatannya antibodi dapat berpotensi menginterferesi hasil. Interferensi
dapat berupa analit-dependen atau analit independen dan dapat membuat interferensi positif /
hasil meningkat atau interferensi negatif / hasil menurun. Interferensi yang umum seperti
hemolisis, ikterus, lipemia, efek antikoagulan dan penyimpanan sampel tergantung dari
konsentrasi analit. Interferensi pada analit-dependen disebabkan oleh interaksi antara komponen
dalam sampel dengan satu atau lebih reagen antibodi, termasuk antibodi heterophilic, antibodi
manusia anti-animal, antibodi auto analit, rheumatoid factor dan protein lainnya.5
5
lipemia, ikterus, zat aditif pada tabung, adanya komponen radioaktif atau fluoresen, obat, herbal,
suplemen, penyimpanan sampel dan transport.5
6
5.1.3. HEMOLISIS, LIPEMIA DAN IKTERUS
Umumnya immunoassay tidak dipengaruhi oleh hemolisis dan ikterus, tidak seperti analit
yang diukur oleh spektra atau kimia. Namun hemolisis tidak dapat diterima pada immunoassay
yang relatif labil seperti insulin, glukagon, calcitonin, parathyroid hormon, ACTH dan gastrin
karena adanya pelepasan enzim proteolitik dari eritrosit yang akan mendegradasi analit.
Hemolisis juga dapat menganggu beberapa langkah pesinyalan pada beberapa tipe
immunoassay yang berbeda. Lipemia dapat menganggu pemeriksaan terutama yang
menggunakan nefelometridan turbidimetri. Lipemia atau serum dengan kadar trigliserida yang
tinggi dan kolesterol dapat menimbulkan error pada beberapa pemeriksaan dengan menganggu
pengikatan antigen, walaupun antibodi terhubung pada permukaan padat. Idealnya pasien
berpuasa dulu semalam sebelum pengambilan darah untuk mengurangi interferensi dengan lipid.
Bilirubin juga dapat mempengaruhi pemeriksaan termasuk immunoassay.5
7
5.3. ANTIBODI AUTOANALIT
Anutoantibodi telah diketahui dapat menyebabkan interferensi beberapa analit termasuk
hormon tiroid, tiroglobulin, insulin, prolaktin dan testosteron.5
8
7. NICE TO KNOW: LABELED ANTIBODY TECHNIQUES
EIA menggunakan antibodi berlabel enzim dalam reaksinya (Gambar 3). Tes dirancang
untuk mendeteksi baik antibodi dalam spesimen pasien atau antigen, seperti antigen virus dalam
spesimen pasien. Tahapan awal EIA adalah prosedur yang kompleks tetapi tes ini banyak
digunakan dan meskipun canggih dalam desain internalnya, relatif mudah dilakukan. Uraian
berikut tentang tes untuk mengukur antibodi rubella dan menentukan kekebalan terhadap
rubella adalah contoh dari cara kerja EIA.6
1. Reaction well atau tabung dilapisi dengan antigen
virus rubela, serum pasien ditambahkan, dan tes
diinkubasi untuk memberikan waktu bagi setiap antibodi
anti-rubela dalam serum pasien untuk mengikat antigen
virus. Sumur uji kemudian dibilas untuk menghilangkan
antibodi tidak terikat yang tidak spesifik.
2. Anti-human IgG (antibodi yang diarahkan terhadap
IgG manusia) dengan label enzim yang melekat pada
daerah Fc ditambahkan ke sumur dan diinkubasi (Jika
anti-rubella hadir dalam serum pasien dan terikat pada
antigen virus, maka antibodi berlabel enzim akan
mengikat anti-rubella. Jika tidak ada anti-rubella hadir
dalam serum, antibodi berlabel enzim tidak akan punya
sesuatu untuk diikat). Sumur dibilas lagi untuk
menghilangkan antibodi berlabel enzim yang tidak
terikat.
3. Substrat tidak berwarna yang spesifik untuk enzim
ditambahkan ke dalam sumur dan dibiarkan bereaksi.
Gambar 3. Prinsip Reaksi dari
Teknik Pelabelan EIA6 4. Interpretasi uji: Jika tidak ada warna yang terbentuk
setelah penambahan substrat enzim, tes ini negatif / tidak
ada enzim yang tersisa yang menyebabkan perubahan
warna pada substrat. Jika substrat enzim diubah menjadi
bentuk berwarna, tes ini positif / menunjukkan bahwa
terdapat antibodi sekunder berlabel enzim.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gan SD, & Patel KR. Enzyme Immunoassay and Enzyme-Linked Immunosorbent Assay.
Journal of Investigative Dermatology. 2013;133(12):1-3. doi:10.1038/jid.2013.287
9
2. Koivunen ME, & Krogrud RI. Principles of Immunochemical Techniquws Used in Clinical
Laboratories. LABMEDICINE. 2006;37(8):490-7. doi:10.1309/MV9RM1FDLWAUWQ3F
3. Porstmann T, & Kiessig ST. Enzyme Immunoassay Tachniques An Overview. Journal of
Immunological Methods. 1992;150:5-21. doi:10.1016/0022-1759(92)90061-W
4. Turgeon ML. Immunology & Serology Ed 5th. St. Louis, Missouri. 2014.
5. Chiu NHL, & Christopoulos TK. Advances in Immunoassay Technology. Croatia, HR.
2012.
6. Estridge BH, & Reynolds AP. Basic Clinical Laboratoty Techniques Ed 6th. Delmar:
Cengage Learning. 2012.
10