DOSEN PEBIMBING
NAMA ANGGOTA
S1 KEPERAWATAN
SEMESTER 04 SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INSAN
CENDEKIA MEDIKA JOMBANG 2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Defisit Perawatan
Diri ini tepat pada waktunya
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Keperawatan Jiwa 2. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Defisit Perawatan Diri bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua teman-teman anggota yang
telah membagi waktu dan pengetahuannya sehingga kita dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR................ ......................................................................ii
DAFTAR ISI............................... ...................................................................iii
BAB 1
PENDAHULUAN......................................................................................................1
LATAR BELAKANG..................................................................................................2
RUMUSAN MASALAH.............................................................................................2
TUJUAN....................................................................................................................2
BAB 2
PEMBAHASAN............................................................................................................2
2.1 DEFINISI PERAWATAN DIRI .........................................................................3
2.2 ASUHAN KEPERAWTAN TEORITIS...............................................................6
2.3 KARAKTERISTIK BERMAIN...................................................................8
2.4 PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN………………………………………….
BAB 3 PENUTUP
KESIMPULAN............................................................................................................26
SARAN...................................................................... .........................................27
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................2
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa itu deficit perawatan diri
b. Bagaimana penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan defisit
perawatan diri
c. Seperti apa peran perawat dalam membantu
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui apa itu deficit perawat diri
b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan defiit perawatan diri
c. Untuk mengetahui seperti apa peran perawat dalam membantu
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defisit Perawatan Diri
Nurjannah (2004, dalam Dermawan, 2013) Defisit perawatan diri adalah gangguan
kemampuan seseorang untuk melakukan aktifitas perawatan diri seperti mandi,
berhias/berdandan, makan dan toileting. Defisit perwatan diri adalah suatu keadaan seseorang
mengalami kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, tidak
menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas dan penampilan tidak rapi. Defisit
perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Pasien
gangguan jiwa kronis sering mengalami ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini
merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam keluarga
maupun masyarakat (Yusuf, 2015).
Proses Terjadinya Masalah Defisit Perawatan Diri Menurut Depkes (2000, dalam
Dermawan, 2013), penyebab defisit perawatan diri adalah :
A. Faktor predisposisi
1) Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya
dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4) Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
B. Faktor presipitasi Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri. Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan,
2013),
6
faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
1) Body image Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu
tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik sosial Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status sosial ekonomi Personal hygiene memerlukan alat dan bahan
seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya
memerlukan uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada
pasien menderita diabetes melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk
tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-
lain.
7) Kondisi fisik atau psikis Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
C. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri Menurut Nurjannah (2004, dalam Dermawan
(2013) Jenis-jenis defisit perawatan diri terdiri dari:
Harga Diri Rendah Faktor Presipitasi - Kurang penurunan motivasi -
Kerusakan kognisi atau perceptual - Lelah/lemah yang dialami individu
Kemampuan melakukan aktivitas menurun Faktor Predisposisi - Perkembangan :
keluarga terlalu memanjakan klien - Biologis : penyakit kronis - Kemampuan
realitas menurun : ketidakpedulian dirinya - Sosial : kurang dukungan dan latihan
Data Subyektif - Pasien mersa lemah - Malas untuk beraktivitas - Merasa tidak
berdaya Data Obyektif - Rambut kotor, acak-acakan - Badan dan pakaian kotor
dan bau - Mulut dan gigi bau - Kulit kusam dan kotor - Kuku panjang dan tidak
terawat Defisit Perawatan Diri Koping individu tidak efektif Menarik diri, merasa
7
tidak berguna, rasa bersalah Ketidakpedulian merawat diri Menghindari interaksi
stress dengan orang lain kesepian Koping individu tidak efektif Isolasi sosial
a) Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan Kurang perawatan diri
(mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
mandi / kebersihan diri.
b) Kurang perawatan diri : mengenakan pakaian / berhias Kurang
perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan
kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
c) Kurang perawatan diri : makan Kurang perawatan diri (makan)
adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan.
d) Kurang perawatan diri : toileting Kurang perawatan diri (toileting)
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan.
D. Tanda dan Gejala Defisit Perawatn Diri
Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013) tanda dan gejala klien dengan
defisit perawatan diri adalah :
a) Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor.
2) Rambut dan kulit kotor.
3) Kuku panjang dan kotor.
4) Gigi kotor disertai mulut bau.
5) Penampilan tidak rapi.
b) Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif.
2) Menarik diri, isolasi diri.
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
c) Sosial
1) Interaksi kurang.
2) Kegiataan kurang.
3) Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
8
4) Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembaraang tempat,
gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
9
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisk yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stresor, misalnya: menjauhi,
sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Reaksi psikologis individu menunjukkan
perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan
bermusuhan (Dermawan, 2013).
d. Intelektualisasi, suatu bentuk penyekatan emosional karena beban emosi dalam suatu
keadaan yang menyakitkan, diputuskan, atau diubah (distorsi) misalnya rasa sedih karena
kematian orang dekat, maka mengatakan “sudah nasibnya” atau “sekarang ia sudah tidak
menderita lagi” (Yusuf dkk, 2015)
10
e. Psikososial
1) Genogram Biasanya menggambarkan pasien dengan anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, dilihat dari pola komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh.
2) Konsep diri
a) Citra tubuh Biasanya persepsi pasien tentang tubuhnya, bagian tubuh yang disukai, reaksi
pasien terhadap bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai.
b) Identitas diri Biasanya dikaji status dan posisi pasien sebelum pasien dirawat, kepuasan
pasien terhadap status dan posisinya, kepuasan pasien sebagai laki-laki atau perempuan ,
keunikan yang dimiliki sesuai dengan jenis kelamin dan posisinnya.
c) Peran diri Biasanya meliputi tugas atau peran pasien dalam keluarga/ pekerjaan/
kelompok/ masyarakat, kemampuan pasien dalam melaksanakan fungsi atau perannya,
perubahan yang terjadi saat pasien sakit dan dirawat, bagaimana perasaan pasien akibat
perubahan tersebut.
d) Ideal diri Biasanya berisi harapan pasien terhadap kedaan tubuh yang ideal, posisi, tugas,
peran dalam keluarga, pekerjaan atau sekolah, harapan pasien terhadap lingkungan sekitar,
serta harapan pasien terhadap penyakitnya
e) Harga diri Biasanya mengkaji tentang hubungan pasien dengan orang lain sesuai dengan
kondisi, dampak pada pasien berubungan dengan orang lain, fungsi peran tidak sesuai
harapan, penilaian pasien terhadap pandangan atau penghargaan orang lain.
f) Hubungn sosial Biasanya hubungan pasien dengan orang lain sangat terganggu karena
penampilan pasien yang kotor sehingga orang sekitar menghindari pasien. Adanya hambatan
dalam behubungan dengan orang lain, minat berinteraksi dengan orang lain.
g) spiritual
1) Nilai dan keyakinan Biasanya nilai dan keyakinan terhadap agama pasien terganggu karna
tidak menghirauan lagi dirinya.
2) Kegiatan ibadah Biasanya kegiatan ibadah pasien tidak dilakukan ketika pasien menglami
gangguan jiwa.
h) Status mental
1) Penampilan Biasanya penampilan pasien sangat tidak rapi, tidak tahu cara berpakaian, dan
penggunaan pakaian tidak sesuai.
11
2) Cara bicara/ pembicaraan Biasanya cara bicara pasien lambat, gagap, sering
terhenti/bloking, apatisserta tidak mampu memulai pembicaraan.
3) Aktivitas motorik Biasanya klien tampak lesu, gelisah, tremor dan kompulsif.
4) Alam perasaan Biasanya keadaan pasien tampak sedih, putus asa, merasa tidak berdaya,
rendah diri dan merasa dihina.
5) Afek Biasanya afek pasien tampak datar, tumpul, emosi pasien berubah-ubah, kesepian,
apatis, depresi/sedih dan cemas.
6) Interaksi selama wawancara Biasanya respon pasien saat wawancara tidak kooperatif,
mudah tersinggung, kontak kurang serta curiga yang menunjukan sikap atau peran tidak
percaya kepada pewawancara atau orang lain.
7) Persepsi Biasanya pasien berhalusinasi tentang ketakutan terhadap hal-hal kebersihan diri
baik halusinasi pendengaran, penglihatan serta halusinasi perabaan yang membuat pasien
tidak mau membersihkan diri dan pasien mengalami depersonalisasi.
8) Proses pikir Biasanya bentuk pikir pasien otistik, dereistik, sirkumtansial, kadang
tangensial, kehilangan asosiasi, pembicaraan meloncat dari topik satu ke topik lainnya dan
kadang pembicaraan berhenti tiba-tiba.
i) Kebutuhan pasien pulang
1) Makan Biasanya pasien kurang makan, cara makan pasien terganggu serta pasien tidak
memiliki kemampuan menyiapkan dan membersihkan alat makan.
2) Berpakaian Biasanya pasien tidak mau mengganti pakaian, tidak bisa menggunakan
pakaian yang sesuai dan tidak bisa berdandan.
3) Mandi Biasanya pasien jarang mandi, tidak tahu cara mandi, tidak gosok gigi, tidak
mencuci rambut, tidak menggunting kuku, tubuh pasien tampak kusam dan bdan pasien
mengeluarkan aroma bau.
4) BAB/BAK Biasanya pasien BAB/BAK tidak pada tempatnya seperti di tempat tidur dan
pasien tidak bisa membersihkan WC setelah BAB/BAK.
5) Istirahat Biasanya istirahat pasien terganggu dan tidak melakukan aktivitas apapun setelah
bangun tidur.
6) Penggunaan obat Apabila pasien mendapat obat, biasanya pasien minum obat tidak teratur.
7) Aktivitas dalam rumah Biasanya pasien tidak mampu melakukan semua aktivitas di
dalam maupun diluar rumah karena pasien selalu merasa malas.
12
j) Mekanisme koping
1) Adaptif Biasanya pasien tidak mau berbicara dengan orang lain, tidak bisa menyelesikan
masalah yang ada, pasien tidak mampu berolahraga karena pasien selalu malas.
2) Maladaptif Biasanya pasien bereaksi sangat lambat atau kadang berlebihan, pasien tidak
mau bekerja sama sekali, selalu menghindari orang lain.
3) Masalah psikososial dan lingkungan Biasanya pasien mengalami masalah psikososial
seperti berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Biasanya disebabkan oleh kurangnya
dukungan dari keluarga, pendidikan yang kurang, masalah dengan sosial ekonomi dan
pelayanan kesehatan.
4) Pengetahuan Biasanya pasien defisit perawatan diri terkadang mengalami gangguan
kognitif sehingga tidak mampu mengambil keputusan.
k) Sumber Koping Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan
strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggunakan
sumber koping yang ada di lingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan sebagai modal
untuk menyelesaikan masalah. Dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu
seorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stressdan mengadopsi strategi
koping yang efektif.
2.3 peran dalam membantu deficit perawatan diri
Defisit perawatan diri merupakan keadaan di mana individu mengalami suatu kerusakan
fungsi motorik atau kognitif, yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri yang merupakan gejala negatif dari pasien gangguan jiwa. Perawat
jiwa sangat berperan penting dalam penanganan masalah perawatan diri pada individu yang
mengalami disabilitas karena gangguan jiwa. Tujuan penelitian untuk mengetahui peran
perawat dalam penanganan deficit perawatan diri pada pasien gangguan jiwa di BLUD RSJ
Aceh yang di lakukan pada tanggal 26 sampai dengan 28 Juni 2016. Jenis
penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Populasinya seluruh perawat pelaksana
yang bekerja di BLUD RSJ Aceh berjumlah 124 orang. Teknik pengambilan sampel pada
penelitian ini adalah purposive sampling dan propotional sampling, berjumlah 60 responden.
Teknik pengumpulan data berupa kuesioner dengan metode pembagian angket dan
menggunakan analisis distribusi frekuensi untuk mengetahui frekuensi dan persentase. Hasil
penelitian diketahui bahwa: peran perawat sebagai pendidik berada pada kategori baik yaitu
13
38 responden (63,3%), peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan berada pada
kategori baik dan kurang berjumlah 30 responden (50%). Diharapkan kepada perawat di
BLUD RSJ Aceh dapat meningkatkan lagi peran perawat dalam penanganan defisit
perawatan diri pada pasien gangguan jiwa sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan
dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan kemajuan profesi keperawatan
Menurut Orem (1991), asuhan keperawatan untuk klien skizofrenia sangat beragam,
bergantung pada tingkat ketergantungan klien apakah mereka memerlukan perawatan total,
perawatan sebagian, atau hanya pemberian dukungan-edukasi. Situasi yang berbeda ini
menentukan metode intervensi keperawatan. Contohnya, klien dalam perawatan total
mengharuskan perawat memberikan bantuan yang menyeluruh: melakukan, memandu, mendukung
secara fisik ataupun psikologis, menyediakan lingkungan yang mendukung, dan memberikan
pendidikan kesehatan. Berbeda dengan klien dalam perawatan parsial, dalam hal ini perawat
memberikan asuhan keperawatan seperti halnya terhadap klien dengan perawatan total, namun ada
unsur keterlibatan klien. Terakhir, klien dalam perawatan pemberian dukungan – edukasi hanya
memfokuskan pada memandu dan memberikan pendidikan kesehatan.
Paradigma rehabilitasi menekankan pentingnya status kemandirian klien, oleh karenanya
perawatan rehabilitasi untuk klien skizofrenia dengan ketidakmampuan perawatan diri
harus ditingkatkan, dari ketergantungan total, ketergantungan sebagian, dan kebutuhan akan
dukungan dan edukasi. Dittmar (1989) menyebutkan bahwa dua katergori terakhir menentukan
pusat rehabilitasi hanyalah untuk individu dengan ketidakmampuan. Namun, harus diingat bahwa
proses perkembangan individu dengan skizofrenia dapat fluktuatif pada beberapa klien
sehubungan dengan episode skizofrenia yang dialami.
Kekambuhan pada individu dengan skizofrenia dapat diakibatkan oleh ketidakpatuhan dalam
pengobatan atau stresor lingkungan (Gournay, 2000; Johnson, 1997). Sangat mungkin
terjadi, klien akan memperlihatkan gejala skizofrenia tingkat lanjut, walaupun mereka sedang
berada di pusat rehabilitasi, baik itu di masyarakat ataupun di rumah sakit. Untuk itu, penting bagi
14
perawat spesialis di pusat rehabilitasi psikososial bersikap fleksibel dalam menurunkan tingkat
ketergantungan klien. Perawat perlu mengetahui waktu yang tepat ketika klien tidak lagi
membutuhkan panduan yang intensif dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Meskipun
demikian, perawat harus
sensitif dalam memberi intervensi darurat saat dibutuhkan untuk meyakinkan klien sudah
mampu mencapai syarat minimal melakukan perawatan diri.
Sebagai gambaran, ketika klien memperlihatkan gejala waham serius yang berakibat adanya
penolakan untuk makan karena kecurigaan bahwa makanan tersebut beracun, perawat
sebaiknya tidak menawarkan makanan yang biasa dimasak oleh staf pusat rehabilitasi. Akan
lebih tepat untuk memberi mereka makanan kalengan dan memberi kesempatan pada klien untuk
membuka sendiri makanan tersebut (Townsend, 2005). Intervensi penting lain yang dapat
dilakukan selama periode kritis adalah memonitor hasil laboratorium, seperti elektrolit dan jumlah
sel darah putih, karena kekurangan nutrisi dapat berakibat dalam ketidakseimbangan fungsi tubuh
(Johnson, 1997).
Selain fleksibel, perawat spesialis jiwa juga harus mampu memutuskan sumber yang dapat mem-
pengaruhi keberhasilan dari intervensi keperawatan yang dipersiapkan. Idealnya, fasilitas
rehabilitasi harus siap untuk membantu klien dalam kondisikritis, terlebih bagi pusat rehabilitasi di
daerah perkotaan. Namun, Lucca, Allen, dan George (2001) mengkritik bahwa fasilitas
kesehatan yang disediakan oleh rumah sakit dengan peraturan tradisional hanya mampu untuk
memaksimalkan komunikasi interdisiplin, dan hal ini tidak sesuaidenganfilosofi rehabilitasi
psikososial yang mendorong integritas klien dalam komunitas. Sehingga mereka menyarankan untuk
mengembangkan tempat rehabilitasi sesuai dengan situasi nyata di masyarakat.
Selain itu, perawat spesialis jiwa yang bekerja di pusat rehabilitasi berbasis komunitas perlu
memiliki kemampuan untuk mengobservasi tanda dan gejala awal dari kekambuhan, dan
merujuk klien ke unit akut secepatnya.Sebagai alternatif, perawat perlu mengembangkan
peran manajerialnya untuk bernegosiasi dengan pembuat kebijakan untuk menyediakan
fasilitas yang dibutuhkan untuk memastikan klien dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
15
Ruang observasi sangat penting untuk mencegah klien mencederai dirinya sendiri atau orang lain
dan melakukan supervisi atas pemenuhan ke- butuhan dasarnya, sebelum ditransfer ke unit akut.
16
BAB 3
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan seseorang untuk melakukan aktifitas
perawatan diri seperti mandi, berhias/berdandan, makan dan toileting. penyebab defisit
perawatan diri adalah : Faktor predisposisi dan Faktor presipitasi Yang merupakan faktor
presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau
perceptual, cemas, lelah.
tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah :
a. Fisik : Badan bau, pakaian kotor, Rambut dan kulit kotor, Kuku panjang
dan kotor.
b. Psikologis : Malas, tidak ada inisiatif, Menarik diri, isolasi diri, Merasa
tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
c. Sosial: Interaksi kurang, Kegiataan kurang, Tidak mampu berperilaku
sesuai norma.
3.2 saran
Kami selaku penulis sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna
dengan ini kami menghrapkan saran dan kritik dari para pembaca.
17
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.ums.ac.id/25691/2/BAB_I.pdf
http://ners.fkep.unand.ac.id/index.php/ners/article/view/87
http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/repository/DINO_SAPUTRA.pdf
18