Anda di halaman 1dari 14

Nama : Chindy Oktavinita

NIM : P07220420010
Ners Reguler

LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

A. Konsep Dasar Waham


1. Pengertian
Waham adalah suatu kepercayaan yang terpaku dan tidak dapat dikoreksi atas
dasar fakta dan kenyataan. Tetapi harus dipertahankan, bersifat patologis dan tidak terkait
dengan kebudayaan setempat. Adanya waham menunjukkan suatu gangguan jiwa yang
berat, isi waham dapat menerangkan pemahaman terhadap faktor-faktor dinamis
penyebab gangguan jiwa. Terbetuknya kepercayaan yang bersifat waham adalah sebagai
perlindungan diri terhadap rasa takut dan untuk pemuasan kebutuhan (Sutini dan Yosep,
2014). Waham merupakan bagian dari gangguan orientasi realita pada isi pikir dan pasien
skizofrenia menggunakan waham untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya yang tidak
terpenuhi oleh kenyataan dalam hidupnya. Misalnya : harga diri, rasa aman, hukuman
yang terkait dengan perasaan bersalah atau perasaan takut mereka tidak dapat mengoreksi
dengan alasan atau logika (Kusumawati, 2010).

2. Klasifikasi Waham
Waham terdiri dari beberapa klasifikasi, menurut Kusumawati dan Hartono (2012) antara
lain:
a. Waham agama: keyakinan klien terhadap suatu agama secara berlebihan.
b. Waham kebesaran: keyakinan klien yang berlebihan tentang kebesaran dirinya atau
kekuasaannya.
c. Waham somatik: keyakinan klien bahwa tubuh/bagian tubuhnya terserang penyakit
atau di dalam tubuhnya terdapat binatang.
d. Waham curiga: keyakinan klien bahwa ada seseorang atau kelompok tertentu yang
berusaha merugikan atau mencederai dirinya.
e. Waham nihilistik: keyakinan klien bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia atau
meninggal dunia.
f. Waham bizar (waham yang aneh-aneh), berisi sebagai berikut:
1) Sisip pikir: keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan pada
pikirannya.
2) Siar pikir: keyakianan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan
walaupun ia tidak pernah menyatakan apa yang dipikirkannya kepada orang
tersebut.
3) Kontrol pikir: keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari luar
dirinya.

3. Faktor Penyebab Waham


Menurut Keliat (1998; dalam Damaiyanti dan Iskandar, 2014), terdapat dua faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya waham, yaitu:
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi ini meliputi perkembangan sosial kultural psikologis, genetik, dan
biokimia. Jika tugas perkembangan terganggu maka individu mengalami stres dan
kecemasan. Berbagai faktor masyarakat dapat membuat seseorang merasa terisolasi
dan kesepian yang mengakibatkan kurangnya rangsangan eksternal. Stres yang
berlebihan dapat mengganggu metabolisme dalam tubuh sehingga membuat
ketidakmampuan dalam proses stimulus internal dan eksternal.
b. Faktor Presipitasi
Rangsangan dari lingkungan yang sering menjadi pencetus terjadinya waham seperti
klien mengalami hubungan yang tidak baik, terlalu lama diajak berbicara, objek di
lingkungannya, dan suasana sepi (isolasi). Suasana ini dapat meningkatkan stres dan
kecemasan.

4. Tanda dan Gejala Waham


Manifestasi klinis yang dapat muncul pada klien yang menderita waham menurut Yusuf,
Fitryasari, Nihayati (2015) antara lain:
a. Kognitif
1) Tidak mampu membedakan antara kenyataan dan khayalan
2) Klien sangat mempercayai keyakinannya
3) Tidak dapat berpikir secara realita
4) Sulit dalam mengambil keputusan
b. Afektif
1) Situasi tidak selaras dengan kenyataan
2) Afek tumpul
c. Perilaku dan hubungan social
1) Hipersensitif
2) Hubungan interpersonal dengan orang lain tidak terjalin dengan baik
3) Depresif
4) Ragu-ragu
5) Mengancam secara verbal
6) Aktivitas tidak tepat
7) Stereotip
8) Impulsif
9) Mudah curiga
d. Fisik
1) Kebersihan kurang
2) Wajah pucat
3) Sering menguap
4) Berat badan menurun
5) Nafsu makan berkurang dan sulit tidur
5. Rentang Respon Neuroiologis

6. Fase Waham
Proses ternjadinya waham menurut Yusuf, Fitryasari, dan Nihayati (2015) adalah sebagai
berikut:
a. Fase Terbatasnya Kebutuhan Manusia (Lack of Human Need)
Terjadinya waham diawali oleh terbatasnya berbagai kebutuhan pasien secara fisik
dan psikis. Secara fisik, waham dapat terjadi pada individu dengan status sosial dan
ekonomi terbatas. Klien merasa menderita. Klien bisa saja melakukan kompensasi
yang salah karena adanya kesenjangan antara kenyataan dengan apa yang diharapkan.
b. Fase Rendahnya Kepercayaan Diri (Lack of Self Esteem)
Setiap orang pasti memiliki ideal diri yang mereka bentuk sesuai keinginan dan
kebutuhan mereka, contohnya keinginan akan terpenuhinya kebutuhan. Ketika
kebutuhan tidak terpenuhi dapat terjadi kesenjangan antara ideal diri dengan apa yang
dialami individu, maka individu akan merasa menderita, malu, dan tidak berharga.
c. Fase Pengendalian Internal dan Eksternal (Control Internal and External)
Pada fase ini, klien mencoba berpikir secara rasional apa yang diyakini adalah
kebohongan, hanya untuk menutup kekurangan, dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Tetapi, menghadapi kenyataan bagi klien adalah hal yang berat karena kebutuhan
untuk diakui, dianggap penting, dan diterima lingkungan menjadi prioritas hidup.
Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan penilaian bahwa apa yang dikatakan
klien tidak benar, namun hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya
toleransi dan keinginan menjadi perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar
pasif namun tidak mau bertolak belakang secara berkepanjangan dengan alasan apa
yang diyakini klien tidak merugikan orang lain.
d. Fase Dukungan Lingkungan (Environment Support)
Dukungan lingkungan sekitarnya yang mempercayai apa yang diyakini klien
menyebabkan klien merasa didukung, sehingga pasien menganggap apa yang diyakini
sebagai sebuah kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Karena itu, mulai terjadi
kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya superego yang ditandai dengan tidak
ada lagi perasaan dosa saat berbohong.

e. Fase Nyaman (Comforting)


Dalam fase ini, klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap semua orang akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering
disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya, klien
lebih sering menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
f. Fase Peningkatan (Improving)
Ketika klien waham yang telah mengalami fase comforting dan merasa didukung oleh
lingkungan karena tidak ada yang mengonfrontasi keyakinannya, maka klien akan
masuk pada fase peningkatan ini.

7. Mekanisme Koping
Menurut Direja (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman berhubungan dengan respon neurobioligi :
a. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang tertinggal untuk
aktivitas hidup sehari-hari
b. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
c. Menarik diri

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pertama yang dilakukan dalam pemberian asuhan
keperawatan. Ini dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai klien yang
sedang dirawat sehingga perawat mengetahui masalah keperawatan apa yang sedang
dialami oleh klien. Umumnya klien yang mengalami gangguan orientasi realitas dibawa
ke rumah sakit karena sering mengucapkan kata-kata ancaman, mengatakan bahwa ia
membenci seseorang. Klien sering membentak bahkan menyerang orang yang
dianggapnya mengganggu ketika ia kesal. Klien juga sering merusak barang dan
kehilangan kontrol atas dirinya (Damaiyanti dan Iskandar, 2014).
Data yang didapat langsung oleh perawat dari klien disebut data primer,
sedangkan data yang didapat dari keluarga atau catatan tim kesehatan disebut data
sekunder. Setelah perawat mendapat data pengkajian, perawat melakukan analisis data
untuk mengelompokkan datanya untuk menyimpulkan masalah keperawatan yang ada
pada klien. Secara teori, menurut Doenges, Townsend, Moorhouse (2007) etiologi dari
terjadinya waham pada seseorang adalah:

a. Psikodinamika
Perkembangan emosi terhambat karena kurangnya rangsangan/perhatian ibu.
Seorang bayi mengalami penyimpangan rasa aman dan gagal untuk membangun
dasar rasa percaya. Ego yang rapuh sebagai akibat dari kerusakan harga diri yang
parah, perasaan kehilangan kendali, takut, dan ansietas berat. Sikap curiga terhadap
seseorang dimanifestasikan dan dapat berlanjut selama hidup. Proyeksi merupakan
mekanisme paling umum yang digunakan sebagai pertahanan melawan perasaan.

b. Biologis
Pola keterlibatan keluarga relatif kuat yang muncul dikaitkan dengan gangguan ini.
individu dari anggota keluarga yang dimanifestasikan gejala gaangguan ini berada
pada risiko lebih tinggi untuk mengalaminya dibandingkan dengan populasi umum.
Studi pada manusia kembar juga menunjukkan bahwa ada keterlibatan faktor
genetik.

c. Dinamika Keluarga
Beberapa ahli teori meyakini bahwa individu paranoid memiliki orang tua yang
dingin dan perfeksionis, sering menimbulkan kemarahan, perasaan mementingkan
diri sendiri yang berlebihan, dan tidak percaya pada individu. Klien menjadi orang
dewasa yang rentan karena pengalaman ini.
Data dasar untuk pengkajian klien waham:

a. Aktivitas atau istirahat


Gangguan tidur karena halusinasi dan pikiran delusi, bangun lebih awal, insomnia,
dan hiperaktivitas.

b. Kebersihan diri
Kebersihan personal kurang, terlihat kusut/tidak terpelihara.

c. Integritas ego

 Dapat timbul dengan ansietas berat; ketidakmampuan untuk rileks, kesulitan


yang dibesar-besarkan, mudah agitasi.
 Mengekspresikan perasaan tidak adekuat, perasaan tidak berharga, kurang
diterima, dan kurang percaya pada orang lain.
 Menunjukkan kesulitan koping terhadap stres, menggunakan mekanisme koping
yang tidak sesuai (misal penggunaan proyeksi yang berlebihan dn perilaku
agresif, melakukan kewaspadaan yang tidak perlu, menghindari penerimaan rasa
bersalah)

d. Neurosensori

 Sistim delusi yang tidak ganjil dalam durasi paling sedikit satu bulan.

 Mengalami emosi dan perilaku kongruen dengan isi sistim keyakinan/ketakutan


bahwa diri sendiri ataupun orang terdekat berada dalam bahaya karena diracuni
atau diinfeksi;mempunyai penyakit; merasa tertipu oleh pasangan individu,
dicurangi oleh orang lain, dicintai atau mencintai dari jarak jauh.
 Timbul afek yang terkontrol, dingin, tidak emosi; perilaku
terjaga/mengelak/perasaan tidak percaya.
 Bersikap waspada, mencari motif-motif tersembunyi; setiap orang/kejadian
berada dalam kecurigaan klien.
 Menunjukkan persepsi yang tajam; menunjukkan gangguan pengambilan
keputusan tentang persepsi.
 Delusi referens atau kontrol yang mungkin bekerja sama dengan FBI, CIA,
TV/radio
 Halusinasi lihat atau dengar yang mencolok tidak selalu ada.

e. Keamanan
Dapat menunjukkan perilaku berbahaya/menyerang.

f. Interaksi social

 Kerusakan bermakna dalam fungsi sosial/perkawinan mungkin terlihat; perilaku


dalam semua area kehidupan lain biasanya normal.
 Umumnya bermasalah dengan hukum.

g. Pengajaran atau pembelajaran

 Awitan paling sering pada kehidupan dewasa pertengahan atau lansia.

 Dapat memiliki riwayat penyakit fisik/penyalahgunaan zat.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Waham (D.0105)

3. Rencana Keperawatan
No Diagnosa SLKI SIKI
Keperawatan
1. Waham (D.0105) Status orientasi Manajemen waham
(L.09090) (I.09295)
Kriteria hasil: Observasi:
1. Verbalisasi waham 1.1 Monitor waham
menurun (5) yang isinya
2. Perilaku waham membahayakan
menurun (5) diri sendiri, orang
3. Khawatir menurun lain dan
(5) lingkungan
4. Curiga menurun 1.2 Monitor efek
(5) terapeutik dan
5. Tegang menurun efek samping obat
(5) Terapeutik:
6. Perilaku sesuai 1.3 Bina hubungan
realita membaik interpersonal
(5) saling percaya
7. Isi pikir sesuai 1.4 Tunjukkan sikap
realita membaik tidak menghakimi
(5) secara konsisten
8. Pembicaraan 1.5 Hindari
membaik (5) perdebatan tentang
9. Konsentrasi keyakinan yang
membaik (5) keliru, nyatakan
10. Proses pikir keraguan sesuai
membaik (5) fakta
1.6 Sediakan
lingkungan yang
aman dan nyaman
1.7 Berikan aktivitas
rekreasi dan
pengalihan sesuai
kebutuhan
1.8 Lakukan
intervensi
pengontrolan
perilaku waham
Edukasi:
1.9 Anjurkan
mengungkapkan
dan memvalidasi
waham dengan
orang yang
dipercaya
1.10 Anjurkan
melakukan
rutinitas harian
secara konsisten
1.11 Latih
manajemen stress
Kolaborasi;
1.12 kolaborasi
pemberian obat,
sesuai indikasi

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


A. Strategi Komunikasi dan Pelaksanaan (latihan fase orientasi, kerja dan terminasi setiap SP)
1. SP 1 pasien: Membina hubungan saling percaya; mengidentifikasi kebutuhan yang tidak
terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan; mempraktikkan pemenuhan kebutuhan yang
tidak terpenuhi.
Orientasi:
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya S, saya perawat yang dinas pagi di ruang Gelatik.
Saya dinas dari jam 7 pagi sampai jam 3 siang nanti, saya yang akan merawat anda hari
ini. Nama anda siapa, senagnya dipanggil apa?”
“Boleh kita berbincang-bincang tentang apa yang B rasakan sekarang?”
“Berapa lama B mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 30 menit?”
“Di mana enaknya kita berbincang-bincang, B?”
Kerja:
“Saya mengerti B merasa bahwa B adalah seorang nabi, tetapi sulit bagi saya untuk
mempercayainya karena setahu saya semua nabi sudah tidak ada lagi. Bisa kita lanjutkan
pembicaraan yang tadi terputus B?”
“Tampaknya B gelisah sekali, bisa B ceritakan apa yang B rasakan?”
“O... jadi B merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya hak untuk
mengatur diri B sendiri?”
“Siapa menurut B yang sering mengatur-atur diri B?”
“Jadi, ibu yang teralu mengatur-atur ya B, juga kakak dan adik B yang lain?”
“Kalau B sendiri, inginnya seperti apa?”
“Bagus, B sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri!”
“Coba kita tu;iskan rencana dan jadwal tersebut B”
“Wah, bagus sekali jadi setiap harinya B ingin ada kegiatan di luar rumah karena bosen
kalau di rumah terus ya?”
Terminasi
“Bagaimana perasaan B setelah berbincang-bincang dengan saya?”
“Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus!”
“Bagaimana kalau jadwal ini B coba lakukan, setuju?”
“Bagaimana kalau saya datang kembali dua jam lagi?”
“Kita bercakap-cakap tentang kemampuan yang pernah B miliki?”
“Mau dimana kita bercaap-cakap?”
“Bagaimana kalau disini lagi?”

2. SP 2 pasien: Mengidentifikasi positif pasien dan membantu mempraktikkannya.


Orientasi:
“Selamat pagi B, bagaimana perasaannya saat ini? Bagus!”
“Apakah B sudah mengingat-ingat apa saja hobi B?”
“Bagaimana kalau kita bicarakan hobi tersebut sekarang?”
“Di mana enaknya kita berbincang-bincang tentang hobi B terebut?”
“Berapa lama B mau kita berbincan-bincang? Bagaimana kalau 20 menit?”
Kerja:
“Apa saja hobi B? Saya catat ya B, terus apa lagi?”
“Wah, rupanya B pandai main bola voli ya, tidak semua orang bisa bermain voli seperti
itu lho B
“Dapatkah B ceritakan kepada saya kapan pertama kali belajar main voli, siapa yang
dulu mengajarkannya kepada B, dimana?”
“Dapatkah B peragakan kepada saya bagaimana bermain voli yang baik itu?”
“Wah, baik sekali permainannya.”
“Coba kita buat jadwal untk kemampuan B ini ya, berapa kali sehari/seminggu B mau
bermain voli?”
“Apa yang B harapkan dari kemampuan bermain voli ini?”
“Ada tidak hobi B yang lain selain bermain voli?”
Terminasi
“Bagaimana perasaan B setelah kita bercakap-cakap tentang hobi dan keampuan B?”
“Setelah ini, coba B lakukan latihan voli sesuai dengan jadwal yang telah kita buat ya!”
“Besok kita ketemu lagi ya B? Bagaimana kalau nanti sebelum makan siang? Di kamar
makan saja ya?”
“Nanti kita akakn membicarakan tentang obat yang harus B minum, setuju?”

3. SP 3 pasien: Mengajarkan dan melatih cara minum obat yang benar.


Orientasi:
“Selamat pagi B, bagaimana B sudah dicoba latihan volinya? Bagus sekali!”
“Sesuai dengan janji kita dua hari yang lalu, bagaimana kalau sekarang kita
membicarakan tentang obat yang B minum?”
“Dimana kita mau berbicara?”
“Berapa lama B mau kita berbicara? Bagaimana kalau 30 menit?”
Kerja:
“B, berapa macam obat yang diminum? Jam berapa saja obat diminum?”
“B perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya juga tenang. Obatnya ada
tiga macam, yang berwarna putih ini namanya CPZ gunanya untuk menenangkan, yang
berwarna putih ini namanya THP gunanya agar rileks, dan yang berwarna merah jambu
ini HLP gunanya agar pikiran B tenang. Semuanya ini diminum 3 kali sehari jam 7 pagi,
jam 1 siang, dan jam 7 malam. Jika nanti setelah minum obat mulut B terasa kering,
untuk membantu mengatasinya B bisa banyak minum dan mengisap-isap es batu.
Sebelum minum obat ini, B mengecek dulu label kotak obat apakah benar nama B
tertulis disitu, berapa dosis atau butir yang harus diminum, jam berapa saja harus
diminum. Baca juga apakah nama obatnya sudah benar”
“Obat-obat ini harus diminum secara teratur dan kemungkinan besar harus diminum
dalam waktu yang lama. Agar tidak kambuh lagi, sebaiknya B tidak menghentikan
sendiri obat yang harus diminum sebelum membicarakannya dengan dokter.”
Terminasi
“Bagaimana perasaan B setelah kita bercakap-cakap tentang obat yang Bharus minum?”
“Apa saja nama obat? Jam berapaminum obat?”
“Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan B. Jangan lupa minum obatnya dan nanti saat
makan minta sendiri obatnya pada suster?”
“Jadwal yang telah kita buat kemarin dilanjutkan ya B?”
“B, besok kita ketemu lagi untuk melihat jadwal kegiatan yang telah dilaksanakan.
Bagaimana kalau seperti biasa, jam 10 pagi dan ditempat sama? Sampai besok!”

Sumber:
Keliat, Budi Anna. 2006. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta : FIK,
Universitas Indonesia

Aziz R, dkk. 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo.
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Bandung, RSJP
Bandung.

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai