Anda di halaman 1dari 34

HUBUNGAN JARAK TEMPAT PELAYANAN DAN STATUS

KELENGKAPAN IMUNISASI DENGAN KEJADIAN


CAMPAK PADA KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
DI WILAYAH PUSKESMAS LEBITI

PROPOSAL

SUJIRMAN
201801190

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAHTINGGIILMUKESEHATAN WIDYANUSANTARA PALU
1

2020 BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban


ganda (double burden), yaitu beban masalah penyakit menular dan penyakit
degeneratif. Pemberantasan penyakit menular sangat sulit karena penyebarannya
tidak mengenal batas wilayah administrasi. Imunisasi merupakan salah satu
tindakan pencegahan penyebaran penyakit ke wilayah lain yang terbukti sangat
cost effective. Penyakit campak adalah penyakit yang sangat mudah menular dan
mengakibatkan komplikasi yang berat. Vaksin campak memiliki efikasi kurang
lebih 85%, sehingga masih terdapat anak-anak yang belum memiliki kekebalan
dan menjadi kelompok rentan terhadap penyakit campak1.
Upaya imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956 dan
Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974. Upaya imunisasi
dilakukan dalam rangka pencegahan penularan terhadap Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Walaupun kasus Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I) sudah dapat ditekan, cakupan imunisasi harus
dipertahankan tinggi dan merata di seluruh wilayah. Kegagalan untuk menjaga
tingkat perlindungan yang tinggi dan merata dapat mempermudah terjadinya
Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi2.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 menunjukkan bahwa
terdapat 19,4 juta anak yang tidak mendapatkan imunisasi dan memperkirakan
30.000 anak akan meninggal akibat penyakit campak3. Kejadian campak di
Kawasan Asia Tenggara tahun 2018 bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua
setelah India dengan presentase 20,1%4. Berdasarkan kelompok umur, proporsi
kasus campak terbesar pada kelompok umur 1-4 tahun dan 5-9 tahun dengan
proporsi masing-masing sebesar 25,4%. dan 31,6%. Kasus campak dari 12.681
kasus ternyata hanya 4.466 (35,2%) yang divaksinasi5.
Pada tahun 2015, kejadian Campak di Indonesia dilaporkan terdapat 8.185
kasus campak, lebih rendah dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 12.943 kasus.
Jumlah kasus meninggal sebanyak 1 kasus, yang terjadi di Provinsi Jambi.
Incidence Rate (IR) Campak pada tahun 2015 sebesar 3,20 per 100.000 penduduk,

1
2

menurun dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 5,13 per 100.000 penduduk.
Kondisi di atas dengan catatan data tahun 2015 dari 7 provinsi belum tersedia5.
Campak merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengan
gejala demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit (rash) disertai dengan batuk
dan/atau pilek dan/atau mata merah4. Campak ditularkan melalui dropletdari
hidung, mulut atau tenggorokan orang yang terinfeksi5. Campak dapat dicegah
dengan imunisasi atau disebut dengan Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I)5.
Campak adalah penyakit menular disebabkan oleh virus dan sebagian besar
menyerang pada anak-anak. Hal ini ditularkan melalui tetesan dari hidung, mulut
atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Gejala awal yang biasanya muncul
10-12 hari setelah infeksi, termasuk panas tinggi, pilek, mata merah, dan bintik-
bintik putih kecil di bagian dalam mulut. Beberapa hari kemudian, ruam
berkembang, dimulai pada wajah dan leher atas dan secara bertahap menyebar ke
bawah6.
Cakupan imunisasi secara global untuk imunisasi Dipteri Pertusis Tetatus
(DPT) 3 sebesar 84%, HepB3 sebesar 81% dan campak sebesar 84% pada tahun
2013, belum mencapai target imunisasi global yaitu sebesar 90% dari jumlah anak
usia 0-11 bulan di dunia. Indonesia termasuk negara yang tidak mencapai target
tersebut, dengan cakupan imunisasi Dipteri Pertusis Tetatus (DPT) 3 sebesar 85%,
Hepatitis B3 sebesar 85% dan campak sebesar 84% pada tahun 2013. Oleh karena
itu, dari 194 negara anggota WHO, 65 negara diantaranya memiliki cakupan
imunisasi Dipteri Pertusis Tetatus (DPT) 3 dibawah target global 90%, termasuk
Indonesia7.
Rendahnya cakupan imunisasi tidak lepas dari faktor yang mempengaruhi
imunisasi yaitu perilaku kesehatan. Faktor predisposisi terdiri dari pengetahuan,
pendidikan, sikap, pendapatan, pekerjaan, dan dukungan keluarga. Faktor
pemungkin terdiri dari keterjangkauan tempat imunisasi, ketersediaan sarana dan
prasarana dan ketersediaan waktu. Sedangkan faktor penguat terdiri dari kader,
petugas kesehatan dan pemerintah8.
Kejadian penyakit campak sangat berkaitan dengan keberhasilan program
imunisasi. Indikator yang bermakna untuk menilai ukuran kesehatan di negara
berkembang adalah imunisasi campak. Penelitian Mujiati (2015) menunjukkan
3

bahwa anak yang tidak diimunisasi campak berisiko 3,0 kali untuk terkena
campak dibandingkan anak yang mendapatkan imunisasi campak9.
Berdasarkan laporan hasil imunisasi pada bayi di wilayah kerja Puskesmas
Lebiti pada tahun 2019, cakupan imunisasi dasar diperoleh yakni dari 139 bayi
yang mendapat imunisasi lengkap 106 bayi (76,3%). Data di atas menunjukkan
bahwa cakupan imunisasi di Wilayah kerja Puskesmas Lebiti belum mencapai
target IDL nasional di Indonesia. Infomasi tentang kejadian campak pada tahun
2018 di wilayah kerja Puskesmas Lebiti yaitu 10 kasus. Data diatas menunjukkan
bahwa jumlah kejadian campak cukup banyak.
Berdasarkan uraikan di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian
tentang “Hubungan jarak tempat pelayanan dan status kelengkapan imunisasi
dengan kejadian campak pada Kejadian Luar Biasa (KLB) di Wilayah kerja
Puskesmas Lebiti”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian
ini yaitu
1. Apakah ada hubungan jarak tempat pelayanan dengan kejadian campak pada
Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak di Wilayah kerja Puskesmas Lebiti?
2. Apakah ada hubungan status kelengkapan imunisasi dengan kejadian campak
pada Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak di Wilayah kerja Puskesmas Lebiti?
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
hubungan jarak tempat pelayanan dan status kelengkapan imunisasi dengan
Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak di Wilayah kerja Puskesmas Lebiti.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisis hubungan jarak tempat pelayanan dengan kejadian
campak pada Kejadian Luar Biasa (KLB) di Wilayah kerja Puskesmas
Lebiti
b. Untuk menganalisis hubungan status kelengkapan imunisasi dengan
kejadian campak pada Kejadian Luar Biasa (KLB) di Wilayah kerja
Puskesmas Lebiti.
4

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Ilmu Pengetahuan


Diharapkan dapat menjadi referensi dan dapat menambah wawasan
tentang hubungan jarak tempat pelayanan dan status kelengkapan
imunisasi
dengan kejadian campak pada Kejadian Luar Biasa (KLB).
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat menjadi referensi bacaan dan dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang hubungan jarak tempat pelayanan dan status
kelengkapan imunisasi dengan kejadian campak pada Kejadian Luar Biasa
(KLB).
3. Bagi Instansi Tempat Penelitian
Penelitian ini kiranya dapat menjadi bahan masukan bagi Puskesmas
Lebiti tentang hubungan jarak tempat pelayanan dan status kelengkapan
imunisasi dengan kejadian campak pada Kejadian Luar Biasa (KLB) sehingga
pelayanan dapat dtingkatkan dan kejadian .KLB campak dapat dicegah.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. A. Tinjauan Teori

1. Tinjauan Tentang Campak


a. Definisi
Campak adalah penyakit virus yang sangat menular. Penyakit yang
menjadi penyebab kematian pada anak-anak muda secara global, meskipun
ketersedian vaksin aman dan efektif6. Campak merupakan penyakit yang
disebabkan oleh virus myxovirus viridae measles yang ditularkan melalui
udara dari percikan atau batuk penderita10.
b. Gejala Klinis
Gejala campak umunya muncul sekitar tujuh hingga 14 hari setelah
teinfeksi. Campak biasanya dimulai dengan demam tinggi, batuk, hidung
berair dan mata merah atau berair. Dua atau tiga hari setelah gejala dimulai,
bintik-bintik putih kecil (koplik spots) dapat muncul di dalam mulut 11.
Penyebaran dimulai dari wajah dan leher bagian atas dan secara bertahap
menyebar ke bawah6.
c. Komplikasi
Pneumonia, otitis media dan ensefalitis yang akan mengakibatkan
kecacatan atau kematian12.
d. Tatalaksana Penyakit Campak
1) Penyakit campak tanpa komplikasi umumnya tidak memerlukan rawat
inap. Dapat diberikan vitamin A pada bulan Agustus dan Februari. Jika
belumdiberikan,dapatdiberikan 50.000 IU (<6 bulan), 100.000 IU (6-11
bulan) atau 200.000 IU (12 bulan hingga 5 tahun). Pada pasien gizi
buruk diberikan vitamin A tiga kali. Anak-anak dengan campak
komplikasi memerlukan perawatan di rumah sakit. Kemudian
menjalankan terapi vitamin A sebanyak 3 kali dan obati sesuai dengan
komplikasinya.
2) Penyakit campak dengan komplikasi otitis media dan/atau pneumonia
bakterial dapat diberi antibiotik. Jika komplikasi diare diatasi sesuai
dengan derajat dehidrasinya12.

5
6

e. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan vaksinasi campak ataupun vaksinasi
Measles, Mumps, Rubella (MMR). Sesuai jadwal imunisasi rekomendasi
IDAI tahun 2018, vaksin campak diberikan pada usia 9 bulan. Selanjutnya,
vaksin penguat dapat diberikan pada usia 18 bulan, 6 tahun dan 7 tahun13.
2. Tinjauan tentang Jarak Ke Tempat Pelayanan Kesehatan

Salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian derajat kesehatan,


termasuk status kelengkapan imunisasi dasar adalah adanya keterjangkauan
tempat pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Kemudahan untuk mencapai
pelayanan kesehatan ini antara lain ditentukan oleh adanya transportasi yang
tersedia sehingga dapat memperkecil jarak tempuh, hal ini akan menimbulkan
motivasi ibu untuk datang ketempat pelayanan imunisasi14.
Secara umum jarak adalah letak wilayah (geografis) berhubungan dengan
keterjangkauan tempat dan waktu. Keterjangkauan tempat berhubungan dengan
tempat dan lokasi sarana pelayanan kesehatan dan tempat tinggal masyarakat
dapat diukur dari jarak, waktu dan biaya perjalanan. Tempat tinggal masyarakat
dengan pusat pelayanan kesehatan yang diukur dalam radius kilometer. Jarak
untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dapat dibagi dalam tiga kelompok
yaitu jarak dekat bila dihitung dalam radius kilometer sejauh kurang dari 1 km,
sedang bila dihitung dalam radius kilometer sejauh 1-4 km dan jaraknya jauh
bila dihitung dalam radius kilometer lebih dari 4 km14.
Salah satu faktor pendukung yang memberi kontribusi terhadap perilaku
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan adalah akses terhadap pelayanan
kesehatan yang berarti bahwa pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh
keadaan geografis, keadaan geografis ini dapat diukur dengan jenis transportasi,
jarak, waktu perjalanan dan hambatan fisik lain yang dapat menghalangi
seseorang mendapat pelayanan kesehatan. Semakin kecil jarak jangkauan
masyarakat terhadap suatu tempat pelayanan kesehatan, maka akan semakin
sedikit pula waktu yang diperlukan sehingga tingkat pemanfaatan pelayanan
kesehatan meningkat12.
Pelayanan kesehatan yang lokasinya terlalu jauh dari daerah tempat
tinggal tentu tidak mudah dicapai, sehingga membutuhkan transportasi untuk
menjangkau tempat pelayanan kesehatan, apabila keadaan ini sampai terjadi
7

tentu tidak akan memuaskan pasien, maka disebut suatu pelayanan kesehatan
bermutu apabila pelayanan tersebut dapat dicapai oleh pemakai jasa pelayanan
kesehatan itu. Tempat pelayanan yang jaraknya jauh bisa jadi membuat orang
akan enggan untuk mendatanginya. Jauhnya tempat pelayanan bisa
menyebabkan membengkaknya akomodasi pelayanan, karena selain biaya
pelayanan kesehatan ada biaya tambahan yaitu biaya transportasi. Bagi orang-
orang yang akan berfikir sederhana mungkin akan memutuskan untuk tidak
datang kesarana pelayanan kesehatan. Hal ini mungkin terjadi adalah
ketidakterjangkauan sarana pelayanan kesehatan oleh masyarakat12.
Jarak merupakan seberapa jauh lintasan yang akandilalui oleh seseorang
untuk menuju tempat pelayaan kesehatan yang meliputi rumah sakit,
puskesmas, posyandudan lain-lain. Seseorang yang tidak mengimunisasikan
anak di tempat pelayanan kesehatan dapat disebabkan karena terlalu jauh
dengan pelayanan kesehatan13.
Kemudahan dalam mencapai pelayanan kesehatan ini dapat ditentukan
oleh adanya transportasi yang tersedia sehingga dapat memperkecil jarak
tempuh. Namun, terkadang seseorang berpikir adanya tambahan yaitu biaya
transportasi, sehingga menyebabkan seseorang untuk tidak datang ketempat
pelayanan kesehatan. Semakin kecil jarak ke tempat pelayanan, maka akan
semakin sedikit waktu yang diperlukan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan
meningkat13.
3. Tinjauan tentang Kelengkapan Imunisasi

a. Pengertian Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata “imun” yang berarti kebal atau resisten.
Imunisasi merupakan pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit
dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap
penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang 14. Imunisasi
merupakan proses dimana seseorang dijadikan kebal atau resisten terhadap
penyakit menular, biasanya dengan diberikan vaksin. Vaksin digunakan
untuk sistem kekebalan tubuh sendiri yang melindungi orang terhadap
infeksi atau penyakit berikutnya6
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila
8

suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya
mengalami sakit ringan2.
Imunisasi adalah cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada penyakit tersebut
ia tidak menjadi sakit. Kekebalan yang diperoleh dari imunisasi dapat berupa
kekebalan pasif maupun aktif16. Imunisasi merupakan salah satu cara
pencegahan penyakit menular khususnya Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I) yang diberikan kepada tidak hanya bayi hingga
remaja tetapi juga kepada dewasa5.
b. Tujuan Imunisasi
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu
pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok
masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti
yang kita lihat pada keberhasilan imunisasi cacar variola16. Program
imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar dapat
mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh
penyakit yang sering berjangkit. Program imunisasi mempunyai tujuan
umum yaitu menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Tujuan khusus
program ini adalah sebagai berikut2:
1) Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan
imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh
desa/kelurahan pada tahun 2014.
2) Tervalidasinya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di
bawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2013.
3) Global eradikasi polio pada tahun 2018.
4) Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015 dan pengendalian
penyakit rubella 2020.
5) Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan
limbah medis (safety injection practise and waste disposal
management).
c. Manfaat Imunisasi
Manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dengan
menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat
9

dicegah dengan imunisasi, tetapi juga dirasakan oleh:


1) Untuk Anak
Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan
kemungkinan cacat atau kematian.
2) Untuk Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak
sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin akan
menjalani masa kanak-kanak yang nyaman. Hal ini mendorong
penyiapan keluarga yang terencana, agar sehat dan berkualitas.
3) Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan menciptakan bangsa yang kuat
dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.
d. Dampak Imunisasi
Nilai (value) vaksin dibagi dalam tiga kategori yaitu secara individu,
sosial dan keuntungan dalam menunjang sistem kesehatan nasional. Secara
individu, apabila anak telah mendapat vaksinasi maka 80%-95% akan
terhindar dari penyakit infeksi yang ganas. Makin banyak bayi/anak yang
mendapat vaksinasi (dinilai dari cakupan imunisasi), makin terlihat
penurunan angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) 16.
Kekebalan individu ini akan mengakibatkan pemutusan rantai
penularan penyakit dari anak ke anak lain atau kepada orang dewasa yang
hidup bersamanya, inilah yang disebut keuntungan sosial, karena dalam hal
ini 5%-20% anak yang tidak diimunisasi akan juga terlindung, disebut Herd
Immunit. Menurunnya angka morbiditas akan menurunkan biaya pengobatan
dan perawatan di rumah sakit, mencegah kematian dan kecacatan yang akan
menjadi beban masyarakat seumur hidupnya. Upaya pencegahan penyakit
infeksi pada anak, berarti akan meningkatkan kualitas hidup anak dan
meningkatkan daya produktivitas karena 30% dari anak-anak masa kini
adalah generasi yang akan memegang kendali pemerintahan dimasa yang
akan datang16.
Menunjang sistem kesehatan nasional, program imunisasi sangat
efektif dan efisien apabila diberikan dalam cakupan yang luas secara
nasional. Peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara tentunya akan
lebih baik bila masyarakatnya lebih sehat sehingga anggaran untuk
10

kuratif/pengobatan dapat dialihkan pada program lain yang membutuhkan.


Investasi dalam kesehatan untuk kesejahteraan dan peningkatan kualitas
anak di masa depan16.
e. Jenis-jenis Imunisasi
Imunisasi dapat terjadi secara alamiah dan buatan dimana masing-
masing imunitas tubuh (acquired immunity) dapat diperoleh secara aktif
maupun secara pasif.
1) Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang
sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang
tubuh memproduksi antibodi sendiri. Imunisasi aktif merupakan
pemberian zat sebagai antigen yang diharapkan akan terjadi suatu proses
infeksi buatan sehingga tubuh mengalami reaksi imunologi spesifik yang
akan menghasilkan respon seluler dan humoral serta dihasilkannya sel
memori, sehingga apabila benar-benar terjadi infeksi maka tubuh secara
cepat dapat merespon16.
Vaksin diberikan dengan cara disuntikkan atau per oral/ melalui
mulut. Terhadap pemberian vaksin tersebut, maka tubuh membuat zat-zat
anti terhadap penyakit bersangkutan (oleh karena itu dinamakan imunisasi
aktif, kadar zat-zat dapat diukur dengan pemeriksaan darah) dan oleh
sebab itu menjadi imun terhadap penyakit tersebut Jenis imunisasi aktif
antara lain vaksin BCG, vaksin Difteri-Pertusis Tetanus (DPT) vaksin
poliomielitis, vaksin campak, vaksin typus (typus abdominalis), toxoid
tetanus dan lain-lain. Namun hanya lima imunisasi (BCG, DPT, Polio,
Hepatitis B, Campak) yang menjadi Program Imunisasi Nasional yang
dikenal sebagai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) atau extended
program on immunization (EPI) yang dilaksanakan sejak tahun 1977. PPI
merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi untuk mencapai
komitmen internasional yaitu Universal Child Immunization (UCI)16..
2) Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien,
dimaksudkan untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus
memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya.
Antibodi yang ditujukan untuk upaya pencegahan atau pengobatan
11

terhadap infeksi, baik untuk infeksi bakteri maupun virus. Mekanisme


kerja antibodi terhadap infeksi bakteri melalui netralisasi toksin,
opsonisasi, atau bakteriolisis16.
Kerja antibodi terhadap infeksi virus melalui netralisasi virus,
pencegahan masuknya virus ke dalam sel dan promosi sel natural-killer
untuk melawan virus. Dengan demikian pemberian antibodi akan
menimbulkan efek proteksi segera. Tetapi karena tidak melibatkan sel
memori dalam sistem imunitas tubuh, proteksinya bersifat sementara
selama antibodi masih aktif di dalam tubuh resipien, dan perlindungannya
singkat karena tubuh tidak membentuk memori terhadap patogen/ antigen
spesifiknya. Transfer imunitas pasif didapat terjadi saat seseorang
menerima plasma atau serum yang mengandung antibodi tertentu untuk
menunjang kekebalan tubuhnya16. Imunisasi pasif dimana zat antinya
didapat dari luar tubuh, misalnya dengan suntik bahan atau serum yang
mengandung zat anti. Zat anti ini didapat oleh anak dari luar dan hanya
berlangsung pendek yaitu 2-3 minggu karena zat anti seperti ini akan
dikeluarkan kembali dari tubuh anak16
f. Penyelenggaraan Imunisasi di Indonesia
Program Imunisasi diberikan kepada populasi yang dianggap rentan
terjangkit penyakit menular, yaitu bayi, balita, anak-anak, Wanita Usia Subur
(WUS) dan ibu hamil. Berdasarkan sifat penyelenggaraannya, imunisasi
dikelompokkan menjadi imunisasi wajib dan imunisasi pilihan.
1) Imunisasi Wajib
Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh
pemerintah untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka
melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit
menular tertentu. Imunisasi wajib terdiri atas imunisasi rutin, tambahan
dan khusus2.
2) Imunisasi Rutin
Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang secara rutin dan
terus menerus harus dilaksanakan pada periode tertentu yang telah
ditetapkan. Berdasarkan tempat pelayanan imunisasi rutin dibagi menjadi1:
a) Pelayanan imunisasi di dalam gedung (komponen statis) dilaksanakan
di puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit atau rumah bersalin.
12

b) Pelayanan imunisasi di luar gedung dilaksanakan di posyandu, di


sekolah, atau melalui kunjungan rumah
c) Pelayanan imunisasi rutin dapat juga diselenggarakan oleh swasta
(seperti rumah sakit swasta, dokter praktek dan bidan praktek).
Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan yaitu:
a) Imunisasi Dasar
Imunisasi ini diberikan pada bayi sebelum berusia satu tahun.
Jenis imunisasi dasar terdiri atas Hepatitis B pada bayi baru lahir, BCG,
Difhteria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Difhteria
Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Haemophilus Influenza type B (DPT-HB-
Hib), Polio dan Campak2.
b) Imunisasi Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
melengkapi imunisasi dasar pada bayi yang diberikan kepada anak usia
bawah tiga tahun (batita), anak usia sekolah, dan Wanita Usia Subur
(WUS) termasuk ibu hamil sehingga dapat mempertahankan tingkat
kekebalan atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi
lanjutan pada Wanita Usia Subur (WUS) salah satunya dilaksanakan
pada waktu melakukan pelayanan antenatall.
Jenis imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia bawah
tiga tahun (batita) terdiri atas Difhteria Pertusis Tetanus-Hepatitis B
(DPT-HB) atau Difhteria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Haemophilus
Influenza type B (DPT-HB-Hib) pada usia 18 bulan dan campak pada
usia 24 bulan. Imunisasi lanjutan pada anak usia sekolah dasar diberikan
pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) dengan jenis imunisasi
lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar terdiri atas
campak, Difhteria Tetanus (DT), dan Tetanus Difhteria (Td). Jenis
imunisasi yang diberikan pada wanita usia subur berupa Tetanus
Toxoid2.
c) Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan
atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi.
Kegiatan ini sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus, kegiatan
13

dilaksanakan dalam suatu periode tertentu. Yang termasuk dalam


kegiatan imunisasi tambahan adalah:
(1) Backlog fighting
Merupakan upaya aktif di tingkat Puskesmas untuk
melengkapi Imunisasi dasar pada anak yang berumur di bawah tiga
tahun. Kegiatan ini diprioritaskan untuk dilaksanakan di desa yang
selama dua tahun berturut-turut tidak mencapai Universal Child
Immunization (UCI).
(2) Crash program
Kegiatan ini dilaksanakan di tingkat Puskesmas yang
ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat
untuk mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB).. Kriteria
pemilihan daerah yang akan dilakukan crash program adalah:
(a) Angka kematian bayi akibat Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan imunisasi (PD3I) tinggi;
(b) Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang; dan
(c) Desa yang selama tiga tahun berturut-turut tidak mencapai
Universal Child Immunization (UCI).
Crash program bisa dilakukan untuk satu atau lebih jenis
Imunisasi, misalnya campak, atau campak terpadu dengan polio
(3) Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Merupakan kegiatan Imunisasi massal yang dilaksanakan
secara serentak di suatu negara dalam waktu yang singkat. Pekan
Imunisasi Nasional (PIN) bertujuan untuk memutuskan mata rantai
penyebaran suatu penyakit dan meningkatkan herd immunity
(misalnya polio, campak, atau Imunisasi lainnya). Imunisasi yang
diberikan pada PIN diberikan tanpa memandang status Imunisasi
sebelumnya
(4) Sub Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Merupakan kegiatan serupa dengan Pekan Imunisasi Nasional
(PIN) tetapi dilaksanakan pada wilayah terbatas (beberapa provinsi
atau kabupaten/kota).
14

(5) Catch up Campaign campak


Merupakan kegiatan Imunisasi Tambahan massal yang
dilaksanakan serentak pada sasaran kelompok umur dan wilayah
tertentu dalam upaya memutuskan transmisi penularan agent (virus
atau bakteri) penyebab Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
imunisasi (PD3I). Kegiatan ini biasa dilaksanakan pada awal
pelaksanaan kebijakan pemberian Imunisasi, seperti pelaksanaan
jadwal pemberian Imunisasi baru.
(6) Imunisasi dalam Penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) (Outbreak
Response Immunization/ORI)
Pedoman pelaksanaan Imunisasi dalam penanganan Kejadian
Luar Biasa (KLB) disesuaikan dengan situasi epidemiologis
penyakit masing-masing
d) Imunisasi Khusus
Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang
dilaksanakan untuk melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu
pada situasi tertentu. Situasi tertentu yang dimaksud tersebut antara
lain persiapan keberangkatan calon jemaah haji/umroh, persiapan
perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu dan kondisi
Kejadian Luar Biasa (KLB). Jenis imunisasi khusus antara lain terdiri
atas imunisasi Meningitis Meningokokus, imunisasi Yellow Fever
(demam kuning), dan imunisasi Anti Rabies (VAR)2.
e) Imunisasi Pilihan
Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan
kepada seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka
melindungi yang bersangkutan dari penyakit menular tertentu.
Imunisasi pilihan adalah imunisasi lain yang tidak termasuk dalam
imunisasi wajib, namun penting diberikan pada bayi, anak, dan dewasa
di Indonesia mengingat beban penyakit dari masing- masing penyakit.
Jenis imunisasi pilihan dapat berupa imunisasi Haemophilus Influenza
tipe b (Hib), Pneumokokus, Rotavirus, Influenza, Varisela, Measles
Mump Rubella (MMR), Demam Tifoid, Hepatitis A, Human Papiloma
Virus (HPV), dan Japanese Encephaliti2.
15

f) Imunisasi Dasar Lengkap pada Bayi


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang
penyelenggaraan imunisasi, pasal 6 dinyatakan imunisasi dasar
merupakan imunisasi yang diberikan kepada bayi sebelum berusia 1
(satu) tahun. Adapun jenis imunisasi dasar pada bayi terdiri dari :
(1) Imunisasi Hepatitis B bayi baru lahir
Imunisasi hepatitis B adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B, yaitu
penyakit infeksi yang dapat merusak hati. Tujuan vaksin hepatitis
B diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah
pemberian dan meningkatkan cakupan hepatitis B3 yang masih
rendah16.
Vaksin hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir,
mengingat vaksinasi hepatitis B merupakan upaya pencegahan
yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui
transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Vaksin hepatitis B
diberikan sebaiknya 12 jam setelah lahir dengan syarat kondisi
bayi dalam keadaan stabil, tidak ada gangguan pada paru-paru dan
jantung. Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada
neonatus dan bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada
anak besar dan dewasa, diberikan di regio deltoid. Interval antara
dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan, memperpanjang
interval antara dosis pertama dan kedua tidak akan mempengaruhi
imunogenisitas atau titer antibodi sesudah imunisasi selesai16.
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B
diberikan juga hepatitis immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml di sisi
tubuh yang berbeda dalam 12 jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B
Imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan
proteksi meskipun hanya jangka pendek (3-6 bulan)
Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera
berikan imunisasi kedua, sedangkan imunisasi ketiga diberikan
dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua. Bila dosis
ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan. Efek
samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan
16

dan bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan


demam ringan untuk 1-2 hari 16.
(2) Imunisasi Bacillus Calmette Guerin (BCG)
Imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan kekebalan
aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC) pada anak. Bacille
Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin hidup yang dibuat dari
myobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun
sehingga didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG berisi suspensi
myobacterium bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi
BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi
resiko terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis TB dan
tuberkulosis milier16.
Vaksin BCG diberikan pada umur < 2 bulan, Kementerian
Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur 1
bulan dan sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux (Tuberkulkin)
negatif. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Efek proteksi
timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi
antara 0-80 %, berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu
vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik
atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain)16.
Imunisasi BCG tidak boleh digunakan pada orang yang
reaksi uji tuberkulin > 5 mm, menderita infeksi HIV atau dengan
risiko tinggi infeksi Human Imunodefisiency Virus (HIV),
imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat imuno-
supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang
mengenai sumsum tulang atau sistem limfe, menderita gizi buruk,
menderita demam tinggi, menderita infeksi kulit yang luas, pernah
sakit tubercolusis, dan kehamilan16.
Efek samping reaksi lokal yang timbul setelah imunisasi
BCG yaitu setelah 1-2 minggu diberikan imunisasi, akan timbul
indurasi dan kemerahan ditempat suntikan yang berubah menjadi
pustula, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak perlu
pengobatan khusus, karena luka ini akan sembuh dengan
17

sendirinya secara spontan. Kadang terjadi pembesaran kelenjar


regional diketiak atau leher. Pembesaran kelenjar ini terasa padat,
namun tidak menimbulkan demam.
(3) Imunisasi Diphteria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau
Diphteria Pertusis Tetanus- Hepatitis B-Hemophilus influenza
type B (DPT-HB-HiB)
Vaksin DPT-HB-Hib berupa suspense homogeny yang
berisikan difteri murni, toxoid tetanus, bakteri pertusis inaktif,
antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) murni yang tidak
infeksius dan komponen Hib sebagai vaksin bakteri sub unit
berupa kapsul polisakarida Haemophillus influenza tipe b (Hib)
tidak infeksius yang dikonjugasikan kepada protein toksoid
tetanus2.
Vaksin ini digunakan untuk pencegahan terhadap difteri,
tetanus, pertusis (batuk rejan), hepatitis B dan infeksi
Haemophilus influenza tipe b secara simultan. Strategic Advisory
Group of Expert on Immunization (SAGE) merekomendasikan
vaksin Hib dikombinasi dengan DPT-HB menjadi vaksin
pentavalent (DPT-HB-Hib) untuk mengurangi jumlah suntikan
pada bayi. Penggabungan berbagai antigen menjadi satu suntikan
telah dibuktikan melalui uji klinik, kombinasi tersebut secara
materi tidak akan mengurangi keamanan dan tingkat
perlindungan2.
Pemberian imunisasi DPT-HB-Hib diberikan sebanyak 3
(tiga) kali pada usia 2, 3 dan 4 bulan. Pada tahap awal hanya
diberikan pada bayi yang belum pernah mendapatkan imunisasi
DPT-HB. Apabila sudah pernah mendapatkan imunisasi DPT-HB
dosis pertama atau kedua, tetap dilanjutkan dengan pemberian
imunisasi DPT-HB sampai dengan dosis ketiga. Untuk
mempertahankan tingkat kekebalan dibutuhkan imunisasi lanjutan
kepada anak batita sebanyak satu dosis pada usia 18 bulan2.
Jenis dan angka kejadian reaksi simpang yang berat tidak
berbeda secara bermakna dengan vaksin DPT, Hepatitis B dan Hib
yang diberikan secara terpisah. Untuk DPT, beberapa reaksi lokal
18

sementara seperti bengkak, nyeri dan kemerahan pada lokasi


suntikan disertai demam dapat timbul. Vaksin hepatitis B dan
vaksin Hib dapat ditoleransi dengan baik. Reaksi lokal dapat
terjadi dalam 24 jam setelah vaksinasi dimana penerima vaksin
dapat merasakan nyeri pada lokasi penyuntikkan. Reaksi ini
biasanya bersifat ringan dan sementara, pada umumnya akan
sembuh dengan sendirinya dan tidak memerlukan tindakan medis
lebih lanjut2.
Terdapat beberapa kontraindikasi terhadap dosis pertama
DPT, kejang atau gejala kelainan otak pada bayi baru lahir atau
kelainan saraf serius lainnya merupakan kontraindikasi terhadap
komponen pertusis. Dalam hal ini vaksin tidak boleh diberikan
sebagai vaksin kombinasi, tetapi vaksin DT harus diberikan
sebagai pengganti DPT, vaksin Hepatitis B dan Hib diberikan
secara terpisah2.
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat
alergi berat dan ensefalopalopati pada pemberian vaksin
sebelumnya. Keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian
khusus adalah bila pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan
lain yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada
pemberian pertama dijumpai riwayat demam tinggi, respon dan
gerak yang kurang (hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam, anak
menangis terus selama 2 jam, dan riwayat kejang dalam 3 hari
sesudah imunisasi DPT2.
Pemberian vaksin sebaiknya ditunda pada orang yang
berpenyakit infeksi akut. Vaksin DPT, baik bentuk DtaP maupun
DTwP, tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6 minggu.
Sebab, respons terhadap pertusis dianggap tidak optimal. Vaksin
pertusis tidak boleh diberikan pada wanita hamil2.
(4) Imunisasi Polio
Imunisasi polio merupakan imunisasi yang bertujuan
mencegah penyakit poliomielitis. Vaksin polio telah dikenalkan
sejak tahun 1950, Inactivated (Salk) Poliovirus Vaccine (IPV)
mendapat lisensi pada tahun 1955 dan langsung digunakan secara
19

luas. Pada tahun 1963, mulai digunakan trivalen virus polio secara
Oral Poliovirus Vaccine (OPV) secara luas. Enhanced potency
IPV yang menggunakan molekul yang lebih besar dan
menimbulkan kadar antibodi lebih tinggi mulai digunakan tahun
1988. Perbedaan kedua vaksin ini adalah IPV merupakan virus
yang sudah mati dengan formaldehid, sedangkan OPV adalah
virus yang masih hidup dan mempunyai kemampuan
enterovirulen, tetapi tidak bersifat patogen karena sifat
neurovirulensinya sudah hilang16.
Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I, II, III, IV)
dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio
ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian
pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD
(12 tahun). Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 ml)
langsung kemulut anak. Setiap membuka vial baru harus
menggunakan penetes (dropper) yang baru. Dosis pertama dan
kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer,
sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk
meningkatkan kekuatan antibodi sampai pada tingkat yang
tertinggi.
Pemberian imunisasi polio tidak boleh dilakukan pada
orang yang menderita defisiensi imunitas. Tidak ada efek yang
berbahaya yang ditimbulkan akibat pemberian polio pada anak
yang sedang sakit. Namun, jika ada keraguan, misalnya sedang
menderita diare, maka dosis ulangan dapat diberikan setelah
sembuh. Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan pada keadaan
ketika seseorang sedang demam (>38,5°C), obat penurun daya
tahan tubuh, kanker, penderita HIV, Ibu hamil trimester pertama,
dan alergi pada vaksin polio. Pernah dilaporkan bahwa penyakit
poliomielitis terjadi setelah pemberian vaksin polio. Vaksin polio
pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala pusing, diare
ringan, dan nyeri otot.
20

(5) Imunisasi Campak


Vaksin campak adalah vaksin virus hidup yang
dilemahkan1. Imunisasi campak bertujuan untuk mencegah
penyakit campak diakibatkan penyakit campak menular dan bisa
menyebabkan KLB17
Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap
penyakit campak. pemberian vaksin campak diberikan 1 kali pada
umur 9 bulan secara subkutan walaupun demikian dapat diberikan
secara intramuskuler dengan dosis sebanyak 0,5 ml. Selanjutnya
imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program school
based catch-up campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD
kelas 1 dalam program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)16.
Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi,
infeksi aktif, dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir
dari ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun). Orang-
orang yang rentan terhadap campak adalah bayi berumur lebih
dari 1 tahun, bayi yang tidak mendapatkan imunisasi kedua
sehingga merekalah yang menjadi target utama pemberian
imunisasi campak. kadar antibodi campak tidak dapat
dipertahankan sampai anak menjadi dewasa. Pada usia 5-7 tahun,
sebanyak 29,3% anak pernah menderita campak walaupun pernah
diimunisasi. Sedangkan kelompok 10-12 tahun hanya 50%
diantaranya yang mempunyai titer antibodi di atas ambang
pencegahan. Berarti, anak usia sekolah separuhnya rentan
terhadap campak dan imunisasi campak satu kali saat berumur 9
bulan tidak dapat memberi perlindungan jangka panjang.
Efek samping yang timbul dari imunisasi campak seperti
demam lebih dari 39,5°C yang terjadi pada 5%-15% kasus,
demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 5 hari. Ruam dapat dijumpai pada 5% resipian
timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat imunisasi
yang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada saat
inkubasi penyakit alami. Terjadinya kejang demam, reaksi berat
21

jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti


ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi.diperkirakan risiko
terjadinya kedua efek samping tersebut 30 hari sesudah imunisasi
sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis vaksin16.
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan
imunodefisiensi primer, pasien tuberculosisi yang tidak diobati,
pasien kanker atau transplantasi organ, mereka yang mendapat
pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak
immunocompromised yang terinfeksi Human Imunodefisiency
Virus (HIV). Anak yang terinfeksi HIV tanpa immunosupresi
berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa mendapat
imunisasi campak16.
g. Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap
Sesuai dengan Permenkes Nomor 42 tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi, jadwal pemberian imunisasi dasar pada bayi
dapat dilihat pada tabel dibawah ini16:
Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Bayi Usia (0-11 bulan)
Waktu Pemberian (usia) Jenis imunisasi yang diberikan
0 bulan Hepatitis B0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan Campak

B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat
dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antara
variabel (baik variabel yang diteliti maupun variabel yang tidak diteliti). Kerangka
konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil penemuan dengan teori18.
Berdasarkan tinjauan teori yang telah diuraikan di atas, maka kerangka penelitian
ini dapat digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Jarak ke tempat pelayanan kesehatan


22

Kejadian Campak Pada Kejadian Luar Biasa (KLB)

Kelengkapan Imunisasi

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


Keterangan:

Variabel Independen yang diteliti


Mencari Hubungan
Variabel Dependen yang diteliti
C. Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Ada hubungan jarak tempat pelayanan dengan kejadian campak pada Kejadian
Luar Biasa (KLB) di Wilayah kerja Puskesmas Lebiti
2. Ada hubungan status kelengkapan imunisasi dengan kejadian campak pada
Kejadian Luar Biasa (KLB) di Wilayah kerja Puskesmas Lebiti.

BAB III
METODE PENELITIAN
23

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan


dan pelaksanaan penelitian. Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif
yaitu metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat positivisme, digunakan
untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu19. Desain penelitian yang
dipakai adalah penelitian analitik, dengan pendekatan cross sectional yaitu
penelitian yang dilakukan pada saat yang bersamaan antara variabel independen
dan variabel dependen.
B. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah kerja Puskesmas Lebiti
2. Waktu Penelitian
Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan suatu penelitian
dan penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni tahun 2020.
C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan19. Populasi dalam penelitian
ini adalah semua balita di wilayah kerja Puskesmas Lebiti yaitu berjumlah 139
orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang benar-benar mewakili dan
dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya18. Sampel dalam
penelitian ini adalah sebagian populasi dan besar sampel . dihitung
menggunakan rumus Slovin yaitu sebagai berikut:
N
n=
1 + N (d2)

Keterangan 23
N = besar populasi
24

n = besar sampel
d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan
Dimana :
N = 139
d = 10% (0,1)

139
n =
1 + 139 (0,1)2
139
n = 1 + 139 (0,01)
139
n =
1 + 1,39
139
n =
2,39

n = 58,15 sampel
Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 58 responden
c. Tehnik pengambilan sampel
Penelitian ini menggunakan tehnik pengambilan sampel degan
teknik simple random sampling yaitu teknik pengambilan sampel dari
anggota populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata
yang ada dalam populasi itu16. Proporsi sampel tiap-tiap desa:.

n
Keterangan: x Jumlah balita di masing-masing desa
N
Desa Lebiti : 58 x 28 = 12
139

Desa Pulau Enam : 58 x 13 = 5


139

Desa Awo : 58 x 4 = 2
139

Desa Urulepe : 58 x3= 1


139

Desa Bungayo : 58 x9= 4


139

Desa Benteng : 58 x 3 = 1
139
58
139
25

Desa Bangkagi : x 10 = 4

58
Desa Baulu : x 13 = 5
139

Desa Tongkabo : 58 x 11 = 4
139

Desa Katupat : 58 x 4 = 2
139

Desa Lembanato : 58 x 7 = 3
139

Desa Matobiai : 58 x9= 4


139

Desa Tobil : 58 x 9 = 4
139

Desa Kololio : 58 x7= 3


139

Desa Sampobae : 58 x4= 2


139

Desa Tirpo : 58 x5= 2


139

D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari obyek yang
mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan18. Dalam penelitian ini menggunakan 2 variabel
yaitu:
1. Variabel Bebas (independent variable)
Merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel dependent (variabel terikat). Dalam
penelitian ini yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah jarak
ke tempat pelayanan kesehatan dan kelengkapan imunisasi
2. Variabel Terikat (dependent variable)
Merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena
adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikatnya
adalah Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak di Wilayah Puskesmas Lebiti.

E. Definisi Operasional
26

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati


dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati
(diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat diamati artinya
memungkinkan bagi peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara
cermat terhadap suatru objek atau fenomena yang kemudian dapat diulang oleh
orang lain18.
1) 1. Variabel Independen
a. Jarak pelayanan kesehatan
Definisi : Merupakan jarak yang harus ditempuh oleh ibu untuk
mendapatkan pelayanan imunisasi bagi bayinya
Alat Ukur : Kuesioner
Cara Ukur : Wawancara
Skala ukur : Ordinal
Hasil Ukur : Jauh jika jarak yang harus ditempuh > 4 km
Dekat jarak yang harus ditempuh 1- 4 km
b. Kelengkapan Imunisasi
Definisi : Merupakan tindakan orangtua untuk memenuhi I munisasi
dasar lengkap dan tepat jadwal (meliputi BCG, DPT, Polio,
Hepatitis B, dan Campak) yang tercatan dalam Kartu
Menuju Sehat (KMS).
Alat Ukur : Lembar ceklist
Cara Ukur : Mengisi lembar ceklist
Skala ukur : Ordinal
Hasil Ukur : Tidak lengkap jika ada satu jenis imunisasi tidak
diberikan.
Lengkap jika semua jenis imunisasi diberikan
2. Variabel Dependen
Kejadian Campak Pada Kejadian Luar Biasa (KLB)
Definisi : Merupakan kejadian penyakit campak yang terjadi pada
bayi yang ditandai dengan demam tinggi, batuk, hidung
berair dan mata merah atau berair serta bintik-bintik putih
kecil berdasarkan hasil pemeriksaan dokter yang tercatat
dalam laporan.
Cara Ukur : Wawancara/studi dokumentasi
27

Alat Ukur : Lembar ceklist


Skala Ukur : Ordinal
Hasil Ukur : Mengalami penyakit campak
Tidak mengalami penyakit campak

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner tentang


jarak pelayanan kesehatan dan kelengkapan imunisasi serta kejadian campak pada
Kejadian Luar Biasa (KLB).
G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang akan dilakukan untuk


memperoleh data dan keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penelitian19
1. Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan langsung pada
instansi yang diteliti dengan maksud untuk memperoleh data primer yaitu
data yang diperoleh melalui:
1) Pengamatan (Observation), yaitu teknik pengumpulan data dengan
mengamati secara langsung objek peneliti.
2) Wawancara (Interview), yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan
cara mengajukan pertanyaan secara lisan kepada subjek penelitian
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
3) Kuesioner, yaitu teknik pengumpulan data dengan membuat daftar
pertanyaan yang berkaitan dengan objek yang diteliti, diberikan satu
persatu kepada responden yangberhubungan langsung dengan objek
yang diteliti.
b. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu teknik pengumpulan data
untuk memperoleh data sekunder dengan cara mengadakan studi literatur
guna memperoleh dasar teoritis dalam pemecahan masalah yang diteliti.
Data dari literatur berguna sebagai bahan pertimbangan atas data yang
diperoleh dari penelitian.
28

c. Riset Internet (Online Research) yaitu teknik pengumpulan data yang


berasal dari situs-situs atau website yang dilakukan dengan memanfaatkan
jaringan internetdan situs tersebut berhubungan dengan berbagai informasi
yang dibutuhkan dalam penelitian yang diteliti.
2. Jenis data yang dikumpulkan adalah:
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dengan melakukan wawancara
secara langsung kepada ibu yang memiliki balita di wilayah kerja
Puskesmas lebiti
b. Data sekunder, yaitu data yang digunakan untuk mendukung data primer
yaitu data yang diambil dari Puskesmas lebiti.
H. Analisis Data
A. Sebelum dilakukan analisis, data yang telah dikumpulkan dan
diolah terlebih dahulu melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Editing : memeriksa kembali data-data yang telah dikumpulkan apakah
ada kesalahan atau tidak.
2. Coding : pemberian nomor-nomor kode atau bobot pada jawaban yang
bersifat kategori.
3. Entry : memasukkan data ke program komputer untuk keperluan
analisis.
4. Cleaning : membersihkan data dan melihat variabel yang digunakan apakah
datanya sudah benar atau belum.
5. Describing : Menggambarkan atau menerangkan data.
Selanjutnya data dianalisis secara univariat dan bivariat menggunakan
program komputer.
1. Analisis univariat
Data dianalisis secara univariat. Analisa data dilakukan terhadap tiap
variabel penelitian. Analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase
dari tiap variabel. Analisa data dilakukan dengan formulasi distribusi frekuensi
dengan rumus sebagai berikut20:

P = x 100%
Keterangan : P = Persentase
f = Frekuensi
n = Sampel
29

2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua vriabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi20. Analisis bivariat yang dilakukan untuk melihat
hubungan mutu pelayanan kesehatan dengan kepuasan pasien menggunakan
uji chi square dengan nilai kemaknaan (p ≤ 0,05) dan tingkat kepercayaan
95%. Adapun rumus uji chi square sebagai berikut:
X² = ∑ (o ─ E )²
E
Keterangan : χ² : chi square
fo : frekuensi observasi
fE : frekuensi harapan
Sel yang mempunyai nilai expected lebih kecil dari lima maksimal 20%
dari jumlah sel merupakan syarat uji Chi-Square. Jika syarat uji Chi-Square
tidak terpenuhi, digunakan uji alternatif. Alternatif uji Chi-Square bergantung
pada jenis tabel21.
a. Untuk tabel 2 x 2 alternatif uji Chi-Square adalah uji fisher’s
b. Untuk tabel 2 x k atau B x 2 dimana B dan K adalah data kategorik
nominal lebih dari dua kategori, alternatif uji Chi-Square adalah uji mann
Whitney atau penyederhanaan sel.

I. Bagan Alur Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan sesuai dengan alur yang digambarkan
dalam bentuk skema berikut ini
30

Observasi Lapangan

Pengambilan data awal di Puskesmas Lebiti

Merumuskan masalah penelitian

Telaah Literatur

Penelitian kuantitatif dengan survei cross sectional

Populasi yaitu semua ibu yang memiliki balita


di wilayah kerja Puskesmas Lebiti

Sampel adalah sebagian populasi

Total Sampling

Analisis Univariat
Pengolahan data
Analisis Bivariat

Penyajian hasil penelitian

Gambar 3.1 Skema Bagan Alur Penelitian


Sumber Peneliti 2020

DAFTAR PUSTAKA

1. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12


tahun 2017 tentang penyelenggaraan imunisasi; 2017.
31

2. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI Tentang


Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.

3. World Health Organization (WHO). Global and Regional Immunization Profile).


2016. [Internet] [diunduh 2020 Apri 16]. Tersedia pada
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs378/en/index.html

4. World Health Organization (WHO) SEAR. Immunization and vaccine development


(IVD) SEARO 2018. protecting people from vaccine preventable diseases.
[Internet] [diunduh 2020 Apri 16]. Tersedia pada
http://www.searo.who.int/immunization/data/sear_vpdupdate_week31.pdf.

5. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Situasi imunisasi di indonesia. Hari Imunisasi


2016. Jakarta: Kemenkes RI 2016

6. World Health Organization (WHO). 2018. Immunization health topic. [Internet]


[diunduh 2020 Apri 16]. Tersedia pada http://www.int/topic/immunization/en/.

7. Pusat Data dan Informasi PERSI. Indonesia termasuk Negara yang tak capai Target
Imunisasi. 2015. [Internet] [diunduh 2020 April 16]. Tersedia pada:
http://pdpersi.co.id/content/news.php?catid= 23&mid=5&nid=1930

8. Sari DD. 2018. Faktor-faktor pada ibu yang berhubungan dengan pemberian
imunisasi dasar bayi di wilayah kerja Puskesmas Kopri Kecamatan Sukarame Kota
Bandar lampung [skripsi]. Lampung: Universitas Lampung.

9. Mujiati, Eka. Faktor Resiko Campak Pada Anak Usia 1-14 Tahun DI Kecamatan
Metro Pusat Provinsi Lampung Tahun 2013-2014. 2015. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat Volume 2. Univeristas Sriwijaya

10. Kementerian Kesehatan RI. Buku ajar imunisasi. 2014. Jakarta: Kemenkes RI
2014.

11. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2015. Measles: it isn‟t just a
little rash infographic. Diakses pada tanggal 20 April 2020 dari
https://www.cdc.gov/measles

12. Halim, RG. 2016. Campak pada anak. Kalbe Medical Portal. 43(3):186–189

13. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2017. Jadwal imunisasi 2017. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

14. Prasetyawati AE, 2012. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Yogyakarta (ID). Nuha
Medika
15. Arianti WI. 2017. Pengaruh faktor predisposisi, pendukung dan pendorong ibu
terhadap pemberian imunisasi dasar lengkap
31 pada bayi di wilayah kerja Puskesmas
Sel Apung Kecamatan Tanjung Balai Kabupaten Asahan. [skripsi]. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
32

16. Lisnawati, L. Generasi Sehat Melalui Imunisasi. Jakarta (ID):Trans Info Media.
2011.

17. Ranuh et al. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi kelima.Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014

18. Novitasari, YD. Tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar pada bayi usia 0-
12 bulan di Posyandu Kencana Sendangrejo Grobongan. 2015. [skripsi]. Surakarta:
Stikes Kusuma Husada.

19. Nursalam. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta (ID): Salemba Medika. 2014.

20. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung (ID): Alfabeta. 2017.

21. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta (ID):Rineka Cipta.


2012.

22. Dahlan, S. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta (ID): Salemba
Medika. 2017

KUESIONER

HUBUNGAN JARAK TEMPAT PELAYANAN DAN STATUS KELENGKAPAN


IMUNISASI DENGAN KEJADIAN CAMPAK PADA KEJADIAN LUAR
33

BIASA (KLB) DI WILAYAH PUSKESMAS LEBITI.

A. Identitas Responden
1. No. Responden :
2. Umur Anak ::
B. Jarak ke tempat pelayanan kesehatan:
1. Jarak tempat tinggal
≤ 1 – 4 Kilo Meter
> 4 Kilo Meter
2. Alat tranfortasi yang digunakan
. Kendaraan roda dua
Kendaraan roda empat
Tranforstasi laut
Jalan kaki
3. Waktu yang digunakan ke tempat pelayanan kesehatan
≤ 1 Jam
> 1 Jam

C. Kelengkapan Imunisasi

Jenis imunisasi Waktu Pemberian (usia) Lengkap Tidak Lengkap


Hepatitis B0 0 bulan
BCG, Polio 1 1 bulan
DPT-HB-Hib 1, Polio 2 2 bulan
DPT-HB-Hib 2, Polio 3 3 bulan
DPT-HB-Hib 3, Polio 4 4 bulan
Campak 9 bulan

D. Kejadian Campak
Pernah mengalami campak
Tidak pernah mengalami campak

Anda mungkin juga menyukai