Anda di halaman 1dari 52

GAMBARAN PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO)

PADA PASIEN TB MDR DI KOTA BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk mencapai Gelar


Sarjana keperawatan

ERNI NURYANI
NPM : AK 216069

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2018
ABSTRAK

Tugas PMO adalah mengawasan dan memberikan dorongan pada


penderita TB agar minum obat secara teratur selain itu PMO harus memberi
dorongan pada pasien untuk berobat secara teratur hingga tuntas (Kemenkes,
2014). Baik buruknya peran PMO akan mempengaruhi kepatuhan dari penderita
TB untuk melakukan pengobtan sampai tuntas.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran peran PMO pada penderita TB
MDR di Kota Bandung.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif survey.sampel
pada penelitian ini pasien TB MDR yang ada di Kota Bandung.Instrumen yang
digunakan kuesioner atau skala yang disebarkan kepada pasien dengan jumlah item
20 pernyataan.semua data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis
deskriptif dan Analisa prosentase
Hasil penelitian menunjukan lebih dari setengahnya(77%) PMO berperan sebagai
pengawas rendah, lebih dari setengahnya (67%) PMO sebagai motivator rendah,
lebih dari setengahnya(77%) PMO sebagai penyuluh rendah,.Hasil tersebut
menggambarkan peran PMO di Kota Bandung rendah, baik sebagai Pengawas,
Motivator dan sebagai penyuluh. Hal tersebut menjadi penguat bahwa peran PMO
merupakan salah satu faktor yang bisa menyebabkan MDR di Kota Bandung,
Untuk meningkatkan peran PMO di butuhkan untuk bisa mengatur waktu antara
bekerja dan pengawasan terhadap pasien TB.

Kata Kunci : Pengawas Menelan Obat, Tuberkulosis Multi Drug Resistein


Daftar Pustaka : 14 Buku (2012- 2017 )
: 7 Jurnal (2013 -2017)
ABSTRACT

The task of PMO (a Supervisor who makes sure the TB patient take the
medicine) is to supervise and motivate the Tuberculosis patient to take the regular
medication and complete the medical treatment (Kemenkes,2014). The role of
PMO will affect to the patients obedience during having the care without
interuption.

This research to the observe the description of the role of PMO in supervising
the patien with MDR TB (Multidrug Resistant Tuberculosis) in Kota Bandung.
The method used in this study is survey descriptive. The sample is patients of TB
MDR in Kota Bandung. The research applies questionnaire to collect data, with
20 items of question which is filled in by the patients. The collected data isthe
analyzed using descriptive and percentage analysis.

The result of the study shows that the percentage of PMO as the supervisor is
77% as the motivator is 67%, and as the extension agent is 77%. This finding
exposes the fact that the role of PMO in Kota Bandung is still low. It strengthens
the data that the aspect of PMO is one of the factors which cause the Resistant
Multi Drug cases in Kota Bandung. Therefore, it is highly needed to have a good
time management between working and doing supervision towards the TB
patients.

Keyword : Drug Swallowing Supervisor, Multi Drug Resistant Tuberculosis


Reference : 14 Books (2012-2017)
7 jurnals (2013-2017)
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat

serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi dengan judul

“Gambaran Peran Pengawas Menelan Obat TB MDR di Kota Bandung” sebagai

salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Ners Stikes

Bhakti Kencana Bandung.

Proses penyusunan Skripsi ini tentunya tidak terlepas dari peranan

pembimbing dan bantuan semua pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. H. Mulyana, SH, MPd., MHKes., selaku Ketua Yayasan Adhi Guna Kencana

Bandung.

2. R Siti Jundiah S.Kp.,M.Kep., selaku Ketua STIKES Bhakti Kencana

Bandung, sekaligus selaku pembimbing I yang telah memberi bimbingan

,saran,dan arahan yang bersifat membangun dalam penyusunan skripsi in.

3. Yuyun sarinengsih S.Kep.,Ners.,M.Kep., selaku Ketua Pogram Studi Ners

STIKES Bhakti Kencana Bandung.

4. Sri Wulan Megawati S.Kep.,Ners.,M.Kep., selaku Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, saran, dan arahan yang bersifat membangun dalam

penyusunan Skripsi ini.

5. Ike Puri Purnama Dewi, dr., selaku Kepala UPT Puskesmas Ujungberung

Indah yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk meningkatkan

keilmuan sebagai perawat.

i
6. Sumbara S.Kep.,Ners.,M.kep selaku dosen wali kelas yang senan tiasa

menampung keluh kesah kami dengan solusi yang bijaksana .

7. Seluruh dosen pengajar pada Program Studi sarjana keperawatan STIKES

Bhakti Kencana Bandung.

8. Orangtua dan mertua serta seluruh keluarga yang selalu memberikan

dukungan serta do’a hingga terselesaikannya Skripsi ini.

9. Suami dan ketiga putraku tercinta, atas segala pengertian, kesabaran,

dukungan serta kasih sayang yang senantiasa tercurah memberikan semangat

dalam proses perkuliahan dan penyusunan Skripsi penelitian ini.

10. Seluruh rekan dan sahabat seperjuangan di STIKES Bhakti Kencana Bandung

yang telah memberikan semangat dan dukungan hingga terselesaikannya

Skripsi ini.

11. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, yang telah

memberikan bantuan baik moril maupun materiil. Semoga Allah SWT

membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga penulis

mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan serta

kemajuan ilmu keperawatan di masa yang akan datang.

Bandung, Agustus 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................... iii

DAFTAR TABEL................................................................................. v

DAFTAR BAGAN................................................................................ vI

DAFTAR SINGKAT............................................................................ vii

DAFTAR LAMPIRRAN...................................................................... viii

BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 7

1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian...................................................................... 8

BAB II: TINJAUAN TEORITIS

2.1 Kajian Pustaka……..................................................................... 9

2.2 Kerangka Konseptual.................................................................. 25

2.3 Review Literature ....................................................................... 29

BAB III: METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian................................................................... 32

3.2 Paradigma Penelitian..................................................................... 32

3.3 Kerangka Penelitian...................................................................... 33

3.4 Variabel Penelitian....................................................................... 34

3.5 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional.............................. 34

3.5.1 Definisi Konseptual…………………………………………… 34

i
3.5.2 Definisi Operasional…………………………………………... 35

3.6 Populasi dan Sempel...................................................................... 35

3.7 Pengumpulan Data......................................................................... 36

3.7.1 Instrumen Penelitian................................................................. 36

3.7.2 Uji Validitas dan Reabilitas...................................................... 37

3.7.3 Tehnik Pengumpulan Data....................................................... 40

3.8 Langkah –Langkah Penelitian....................................................... 43

3.9 Pengolahan Data dan Analisa Data................................................ 44

3.10 Etika Penelitian.............................................................................. 46

3.11 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………. 48

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian…………………………………………………… 49

4.2 Pembahasan………………………………………………………. 52

BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan……………………………………………………….. 59

5.2 Saran……………………………………………………………… 59

DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 61

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………

i
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pemantauan Kemajuan Pengobatan melalui Pemeriksaan


Dahak......................................................................................... 12
Tabel 3.1 Definisi Operasional................................................................... 35
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Konsep........................................................................32

Bagan 3.1 Kerangka Penelitian…………………………………………….54


DAFTAR SINGKATAN

BKBPM : Badan Kesatuan Bangsa dan Pemberdayaan Masyarakat


BTA : Basil Tahan Asam

DOTS : Directly Observed Treatment Short-course

Kemenkes : Kementrian Kesehatan

MDR : Multi Drug Resistant

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PMO : Pengawas Menelan Obat

P2TB : Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

TB : Tuberkulosis

WHO : World Health Organization

R Rifampicin

H Isoniazid

Lfx Lefoploxa
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Informasi

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Responden

Lampiran 3 Kisi-kisi Kuesioner Penelitian

Lampiran 4 Kuesioner Pasien

Lampiran 5 Uji Validitas

Lampiran 6 Analisa Jawaban Responden Per Pertanyaan

Lampiran 7 Lembar Bimbingan

Lampiran 8 Lembar Oponen

Lampiran 9 Lembar Persyaratann Sidang Akhir

Lampiran 10 Lembar Matrikulasi

Lampiran 11 Surat Rekomendasi Penelitian Bakesbangpol

Lampiran 12 Surat Keterangan Penelitian Dinkes Kota Bandung

Lampiran 13 Surat Bukti Persetujuan Lahan Praktek

Lampiran 14 Lembar Daftar Riwayat Hidup


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Microbacterium Tuberkulosis pada saluran pernapasan bagian bawah.

Tuberkulosis paru sampai saat ini masih merupakan masalah utama kesehatan

masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

Observed treatment Shortcourse (DOTS) telah diterapkan di banyak negara sejak

1995 (Kemenkes, 2014).

Secara global Tuberkulosi (TB) paru masih menjadi isu kesehatan di semua

negara. Besarnya tantangan dalam penanggulangan penyakit TB dapat dilihat dari

hasil survei prevalensi TB yang dilakukan oleh Badan Litbangkes Kemenkes

tahun 2013 – 2014, angka insiden TB adalah 399 per 100.000 penduduk, dan

angka prevalensi TB sebesar 647 per 100.000 penduduk (WHO, 2015). Jika

jumlah penduduk Indonesia berkisar 250 juta orang, maka diperkirakan ada

sekitar 1 juta pasien TB baru dan ada sekitar 1.6 juta pasien TB setiap tahunnya.

Sedangkan jumlah kematian karena TB 100.000 orang per tahun, atau 273 orang

perhari. Situasi tersebut menyebabkan Indonesia menempati peringkat ke 2 negara

yang memiliki beban TB tinggi di dunia, setelah India (Kemenkes, 2017).

Laporan World health Organization (WHO 2015) bahwa angka kasus TB

baru yang tidak ditemukan 32% atau 324.000 kasus dari total 1.000.000 kasus TB.

Berdasarkan data tersebut berarti masih ada sekitar 676.000 atau 68% kasus baru

yang masih belum ditemukan, diobati dan dilaporkan. Kerjasama yang baik antara
pemerintah, sektor swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Civil

Organization (CSO) sangat diperlukan, sehingga dapat mendorong peningkatan

penemuan kasus TB, agar TB dapat segera didiagnosis dan diobati hingga sembuh

(Kemenkes RI, 2017).

Indikator nasional yang dipakai untuk memantau pencapaian target program

nasional TB yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2015-2016 adalah tercapainya penemuan (case notification

rate/CNR) di atas 70% dan angka keberhasilan pengobatan (Treatment succes

rate/TSR) di atas 85% (Kemenkes RI, 2015).

Profil kesehatan Indonesia (Pusdatin, 2015) data hasil cakupan penemuan

kasus baru TB terkonfirmasi BTA di Jawa Barat mencapai 31,46% hal ini

merupakan urutan tertinggi di Indonesia, namun pencapaian tersebut mengalami

penurunan bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Selama 3 tahun

terakhir memiliki cakupan Case Notification Rate (CNR) yang stagnan yakni pada

tahun 2013 sampai dengan 2015 mencapai angka yang sama yaitu 135 per

100.000 penduduk.

Laporan monitoring, evaluasi dan validasi data Penanggulangan Penyakit TB

(P2TB) Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2017 dalam pencapaian

CNR, Dinas Kesehatan Kota Bandung mencapai 386 per 100.000 penduduk,

jumlah penderita TB seluruh kasus di kota Bandung pada tahun 2017 adalah 9.632

orang, dan angka keberhasilan pengobatan 79,92% dari target 90%. Artinya masih

banyak penderita TB tidak menuntaskan pengobatannya menyebabkan angka

kesembuhan penderita rendah, angka kematian tinggi dan kekambuhan meningkat

serta yang lebih fatal adalah terjadinya resistren kuman terhadap beberapa obat
anti tuberkulosis atau Multi Durg Resistance (MDR) sehingga penyakit

tuberkulosis paru sangat sulit disembuhkan. Disini di butuhkan peran Pengawas

Menelan Obat (PMO) yang baik sebagai mana tugas nya, PMO yang akan

mengawasi pasien waktu minum obat, PMO akan mengingatkan waktu kontrol ,

PMO akan memotivasi pasien jika pasien merasa jenuh minum obat, atau pasien

merasa sembuh jika keluhan nya sudah tidak ada lagi ,ini sesuai dengan hasil

penelitian (Sumarman , 2011) yaitu salah satu faktor yang berhubungan dengan

penderita yang tidak patuh melakukan pengobatan sampai tuntas di pengaruhi

oleh Peran Pengawas Minum Obat (PMO) yang kurang baik.

Kasus tuberkulosis resisten obat (TB-MDR) di kota Bandung bertambah tiap

tahunnya. tahun 2012 ada 18 kasus, tahun 2013 menjadi 26 kasus. Tahun 2014

ada 30 kasus dan tahun 2015, 27 kasus, (Susatyo, 2015). Tahun 2017 sebanyak 50

kasus , Tersebar di beberapa Puskesmas diantaranya Puskesmas Garuda 3 kasus,

Pukesmas Pasirkaliki 2 Kasus, Puskesmas Cibuntu 1 kasus, puskesmas Citarip 3

kasus, Puskesmas Sukapakir 3, Puskesmas Cibolerang 1 kasus,Puskesmas Astana

anyar 1 kasus, Puskesmas Muhammad Ramdan 1 kasus, Puskesmas Dago 2

kasus, Puskesmas Ciumbuleuit 1 kasus, Puskesmas Puter 3 kasus, Puskesmas

Neglasari 1 kasus, Puskesmas Ibrahim aji 1 kasus, Puskesmas Babakan sari 4

kasus, Puskesmas Margahayu raya 3 kasus, Puskesmas Sekejati 2 kasus,

Puskesmas Padasuka 3 kasus, Puskesmas Salam 1 kasus, Puskesmas Rusunawa 3

kasus, Puskesmas Ujungberung Indah 8 kasus, Puskesmas Panyileukan 1 kasus

dan Puskesmas Cipadung 2 kasus, dan kasus yang tahun sebelumnya hanya

beberapa kecamatan yang terpapar penyakit TB MDR, (Monev TB, April 2018).
Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR-TB) adalah merupakan suatu jenis

resistensi bakteri TB terhadap minimal 2 obat anti TB lini pertama, yaitu

rifampicin dan isoniazide yang merupakan obat yang paling efektif. TB MDR

menjadi tantangan baru dalam program pengendalian TB karena penegakan

diagnosis yang sulit, tingginya angka kegagalan terapi dan kematian (Kemenkes

RI, 2011). Pengobatan bagi penderita TB-MDR lebih sulit diobati karena dengan

durasi yang cukup lama, jumlah obat yang lebih banyak, efek samping

pengobatan yang lebih buruk dan akhirnya tingkat kesembuhan relatif rendah

dengan angka keberhasilan sekitar 50% dan biaya pengobatannya yang mahal bisa

sampai 100 kali lebih mahal, sehingga bagi negara berkembang menjadi beban

yang sangat berat dalam penanggulangannya. Ada beberapa faktor yang

menyebabkan MDR 1. Faktor dokter meliputi seberapa baik dokter dalam

memberikan edukasi tentang penyakit TB itu sendiri, pengobatan maupun TB

MDR, atau kemungkinan terjadinya resisten obat. 2. Faktor Pasen meliputi ada

tidaknya PMO, dukungan keluarga, tingkat kemampuan ekonomi, tingkat

Pendidikan dan pengetahuan pasien terhadap TB. 3. Faktor Obat meliputi

Pengetahuan pasien mengenai jeni, dosis, cara pemakaian, dan efek samping dari

Obat anti TB (OAT). 4. Faktor sistim Pelayanan Kesehatan meliputi Jarak rumah

ke tempat pelayanan kesehatan, Program Kesehatan, Ketersediaan Obat.dengan

demikian untuk mencegah terjadinya TB MDR di perlukan kesungguhan dalam

pengobatan TB sebelumnya , pasien harus disiplin dalam pengobatan nya dan

yang terpenting harus menjalani pengobatan sampai tuntas , Ini sesuai dengan

hasil penelitian (Sumarman 2011) yaitu salah satu faktor yang berhubungan
dengan pasien yang tidak patuh melakukan pengobatan sampai tuntas di

pengaruhi oleh Peran Pengawas Menelan Obat ( PMO ) yang kurang baik.

PMO adalah seseorang yang sukarela membantu pasien TB dalam masa

pengobatan (Kemenkes, 2009). Untuk itu di perlukan seorang Pengawas Menelan

Obat (PMO), karena seorang PMO berkewajiban mengawasi minum obat ,dimana

setiap hari nya PMO mengawasi dan mengingatkan pada pasien untuk minum

obat dengan tepat, Seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) salah satu komponen

dari DOTS adalah pengobatan panduan Anti Obat Tuberkulosis

(OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung . Untuk menjamin

keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Sebaiknya PMO adalah petugas

kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi,

dan lain-lain.Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat

berasal dari kader kesehatan, Guru, anggota Persatuan Pemberantasan

Tuberkulosis Indonesia (PPTI), PKK, atau tokoh masyarakat lainnya, atau

anggota keluarga.Tugas seorang PMO adalah mengawasi pasien TB agar menelan

obat secara teratur sampai selesai pengobatan.Memberikan dorongan kepada

pasien agar mau berobat teratur. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang

dahakpada waktu yang telah di tentukan.Memberi penyuluhan pada anggota

keluarga pasien TB yang mempunyai gejala – gejala yang mencurigakan TB

untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.Tugas seorang

PMO bukan lah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit

pelayanan.Adapun informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk

disampaikan kepada pasien dan keluarganya adalah Bahwa TB disebabkan

kuman, bukan penyakit kutukan ataupun turunan.TB dapat disembuhkan dengan


berobat teratur. Cara penularan TB, gejala – gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahannya, dan cara meminta pertolongan ke Unit Pelayanan kesehatan

(UPK)

Sesuai dengan hasil penelitian Syahrezki (2015), terdapat 4 faktor yang

mempengaruhi terjadinya TB-MDR di antaranya faktor dokter seberapa baik

dokter dalam memberikan edukasi meliputi penyakit TB itu sendiri, Pengobatan

maupun TB-MDR atau kemungkinan terjadinya resisten obat. Faktor pasien ada

tidaknya PMO, dukungan keluarga, tingkat kemampuan ekonomi pasien,tingkat

Pendidikan dan pengetahuan pasien terhadap TB itu sendiri. Faktor obat meliputi

jenis, dosis,pemakaian,serta efek samping dari Obat anti TB (OAT),Faktor

pelayanan kesehatan meliputi jarak dari rumah ke tempat pelayanan

kesehatan,program kesehatan,dan ketersediaan obat.

Tugas PMO adalah mengawasi dan memberikan dorongan pada penderita TB

agar minum obat secara teratur selain itu PMO harus memberi dorongan pada

pasien untuk berobat secara teratur hingga tuntas (Kemenkes, 2014). Baik

buruknya peran PMO akan mempengaruhi kepatuhan dari penderita TB untuk

melakukan pengobtan sampai tuntas. Hasil penelitian menemukan bahwa

penderita TB yang dipantau langsung PMO lebih patuh terhadap pengobatan dan

pemeriksaan ulang dahak (Sukmah, 2013) .

Pada studi pendahuluan kasus TB MDR yang ada di kota Bandung bahwa

pasien TB MDR terdiri dari Usia 2 bulan sampai Usia Lanjut, dan setelah

mewawancaai terhadap 10 orang penderita TB MDR, didapat 8 responden

mengatakan tidak mengetahui tentang adanya TB MDR, dari 2 pertanyaan tentang

faktor yang mempengaruhi terjadinya MDR, 8 responden menyatakan tidak tahu


bila pengobatan yang tidak tuntas akan menjadi MDR dan 7 responden

menyatakan bahwa di daerahnya tidak ada yang bertugas sebagai Pengawas

Menelan Obat ( PMO).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran Peran Pengawas Menelan Obat

(PMO) pada pasien TB MDR di Kota Bandung ?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Peran Pengawas

Menelan Obat (PMO) pada Penderita TB MDR di Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui Gambaran Peran Pengawas menelan Obat (PMO)

sebagai Pengawas

2) Untuk mengetahui Gambaran Peran Pengawas menelan Obat (PMO)

sebagai Motivator

3) Untuk mengetahui Gambaran Peran Pengawas menelan Obat (PMO)

sebagai Penyuluh

4) Usntuk mengetahui Gambaran Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)

pada Penderita TB MDR di Kota Bandung


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

1. Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat sumbangan

pemikiran bagi Dunia kesehatan Khususnya Program P2TB.

2. Penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan pengetahuan

masyarakat tentang gambaran Peran Pengawas menelan Obat (PMO)

TB MDR.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat di gunakan sebagai informasi yang berguna dalam

menambah wawasan dan pengetahuan mengenai Gambaran Peran

Pengawas Menelan Obat (PMO) TB MDR.

2. Bagi Kota Bandung

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi dalam

upaya peningkatan program TB di kota Bandung

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengetahui Peran

yang diharapkan dari seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) TB

MDR.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Definisi Tuberculosis

Tuberculosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang di sebabkan bakteri

Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama

paru-paru (Kemenkes RI).

2.1.2 Etiologi

Penyakit Tuberculosis di sebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis.

Secara umum sifat bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah:

1) Berbentuk batang dengan panjang 1 - 10 mikron, lebar 0,2 - 0,6 mikron.

2) Bersifat tahan asam dengan pewarna dengan metode Ziehl Neelsen.

3) Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,

Ogawa.

4) Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan di

bawah mikroskop.

5) Tahan terhadap suhu rendah hingga dapat bertahan hidup dalam jangka

waktu lama pada suhu antara 4oC sampai minus 70oC.

6) Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.

7) Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan

mati dalam waktu beberapa menit.


8) Dalam dahak pada suhu antara 30oC – 37oC akan mati dalam waktu lebih

kurang 1 minggu.

9) Kuman dapat bersifat domant (tidur/tidak berkembang). (Kemenkes,

2014).

2.1.3 Cara Penularan TB

Dahak manusia adalah sumber yang paling penting. Batuk, berbicara

dan meludah memproduksi percikan sangat kecil berisi TB yang

melayang-layang di udara.

2.1.4 Cara lain yang menyebabkan penularan TB:

1) Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percikan

dahak yang dikeluarkan.

2) Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan

menularkan penyakit TB.

3) Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang

mengandung percikan dahak yang infeksius tersebut.

4) Pada waktu batuk dan bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara

dalam bentuk percikan dahak (droplet/ percik renik).

2.1.5 Ketergantungan Tingkat Penularan.

Tingkat penularan TB sangat bergantung pada hal-hal sebagai berikut:

1) Jumlah basil TB yang dikeluarkan.

2) Virulensi dari basil TB.

32
33

3) Terjadinya aerosolasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat

bernyanyi.

4) Tindakan medis dengan resiko tinggi seperti pada waktu otopsi,

intubasi atau pada waktu melakukan bronkoskopi (Chin, 2009).

Pemberian obat anti tuberkulosis yang efektif mencegah terjadinya penularan

dalam beberapa minggu paling tidak dalam lingkungan rumah tangga (Chin,

2009).

2.1.6 Multidrug-Resistant Tuberculosis (TB MDR)

1. Pengertian

Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR-TB) adalah keadaan di mana

kuman M. Tuberculosis sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti

TB (OAT). Resistensi ini yaitu terhadap minimal 2 obat anti TB lini

pertama, yaitu rifampicin dan isoniazide yang merupakan obat yang paling

efektif. TB MDR menjadi tantangan baru dalam program pengendalian TB

karena penegakan diagnosis yang sulit, tingginya angka kegagalan terapi

dan kematian (Kemenkes RI, 2011). Pengobatan bagi penderita TB-MDR

lebih sulit diobati karena dengan durasi yang cukup lama, jumlah obat

yang lebih banyak, efek samping pengobatan yang lebih buruk dan

akhirnya tingkat kesembuhan relatif rendah dengan angka keberhasilan

sekitar 50% dan biaya pengobatannya yang mahal bisa sampai 100 kali

lebih mahal, sehingga bagi negara berkembang menjadi beban yang sangat

berat dalam penanggulangannya.


34

2. Kategori Resistansi Terhadap OAT

1) Monoresistance : resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resitan

isoniazid (H).

2) Polyresistance : resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain

kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan

isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazid

etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan

streptomisin (RES).

3) Multi Drug Resistance (MDR) : resistan terhadap isoniazid dan

rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya

resistan HR, HRE, HRES.

4) Extensively Drug Resistance (XDR) : TB MDR disertai resistansi

terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari

OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).

5) TB Resistan Rifampisin (TB RR) : Resistan terhadap rifampisin

(monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi

menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan

OAT lainnya.

2.1.7 Diagnosis TB Resistan Obat

1. Kriteria terduga TB Resistan Obat

Terduga TB resistan obat adalah semua orang yang mempunyai gejala TB

yang memenuhi satu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini:

1) Pasien TB gagal pengobatan ketgori 2.


35

2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan

pengobatan.

3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak

standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua

minimal selama 1 bulan.

4) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal.

5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan

pengobatan.

6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2.

7) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai

berobat/default).

8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB

MDR.

9) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian

OAT.

2. Alur Diagnosis TB Resistan Obat

Diagnosis TB Resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji

kepekaan M. Tuberkulosis dengan metode standar yang tersedia di

Indonesia yaitu metode tes cepat (rapid test) dan metode konvensional.

Saat ini ada 2 metode tes cepat yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan

Gen Expert (uji kepekaan untuk rifampisin) dan LPA (uji kepekaan untuk

rifampisin dan isonizid). Sedangkan metode konvensional yang digunakan

adalah Lowensten Jensen/ LJ dan MGIT.


36

Dengan tersedianya alat diagnosis TB Resistan obat dengan metode cepat,

maka alur diagnosis TB resistan obat yang berlaku di Indonesia adalah

sebagai berikut :

1) Pasien terduga TB resisten obat akan mengumpulkan 3 spesimen

dahak, 1 spesimen dahak untuk pemeriksaan SgeneXpert ( sewaktu

pertama atau pagi ) dan 2 spesimen dahak ( sewaktu -pagi /pagi -

sewaktu ) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum BTA, pemeriksaan

biakan dan uji kepekaan.

2) Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi

terhadap kemungkinan lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB,

lanjutkan pengobatan TB sampai selesai. Pada pasien dengan hasil

Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuat terhadap TB

MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi

pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesi

mendahak yang memenuhi kualitas pemeriksaan. Jika terdapat

perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang menjadi

acuan tindakan selanjutnya.

3) Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau

lanjutkan tatalaksana pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2,

sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya.

4) Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai

pengobatan standar TB MDR. Pasien akan dicatac sebagai pasien TB

RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman

Mtb.
37

5) Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif

Mycrobacterium tuberculosis (Mtb tumbuh), lanjutkan dengan

pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus. Jika

laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepeekaan

lini-1 dan lini-2, maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus

(bersamaan). Jika laboratorium rujukan hanya mempunyai

kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji

kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan

untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk

mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya.

6) Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan

hasil pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan

GeneXpert menjadi dasar penegakan diagnosis.

7) Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukan TB MDR (hasil uji

kepekaan menunjukan adanya tambahan resistan terhadap INH), catat

sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan pengobatan TB MDR-nya

8) Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukan hasil XDR (hasil uji

kepekaan menunjukan adanya resistan terhadap ofloksasin dan

Kanamisin/Amikasin), sesuaikan paduan pengobatan pasien (ganti

paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan pengobatan TB

XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR.


38

2.1.8 Pengobatan TB MDR

Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/ TB MDR mengacu

kepada strategi DOTS.

1) Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/ TB MDR adalah paduan

standar yang mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.

Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji

kepekaan M. Tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh

TAK.

2) Penetapan untuk mulai, pengobatan pada pasien TB RR/ TB MDR

serta perubahan dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan

oleh TAK dengan masukan dari tim tarapeutik.

3) Semua pasien TB RR/ TB MDR harus mendaptkan pengobatan

dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal.

Tidak ada kriteria klinis tertentu yang menyebabkan pasien TB RR/ TB MDR

harus ekslusi dari pengobatan, namun ada beberapa kondisi khusus yang harus

diperhatikan oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB RR/ TB MDR misalnya

pasien dengan penyakit penyerta yang berat seperti kelainan fungsi ginjal,

kelainan fungsi hati, epilepsy, spikosis dan ibu hamil.

Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk

melaukan beberapa pemeriksaan penunjang. Persiapan sebelum pengobatan

dimulai adalah:

1) Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan

kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti


39

hepatitis, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang,

kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer) dll.

2) Pemeriksaan: penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi

pendengaran.

3) Pemeriksaan kondisi kejiwaan.

4) Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam

sistem pencatatan yang digunakan (eTB manager dan pencatatan manual).

5) Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah untuk

memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung

pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal.

Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan meliputi:

1. Pemeriksaan darah lengkap.

2. Pemeriksaan kimia darah:

1) Faal ginjal: ureum, kreatinin.

2) Faal hati.

3) Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida).

4) Asam urat.

5) Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan).

3. Pemeriksaan Thyroid Stimulating Hormon (TSH).

4. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur.

5. Foto toraks.

6. Tes pendengaran (pemeriksaan audiometer).

7. Pemeriksaan EKG.

8. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui).


40

2.1.9 Paduan OAT MDR di Indonesia

Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized

treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua

pasien TB RR/TB MDR.

1. Paduan standar OAT MDRyang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:

1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan

standar adalah sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluoroquinolon maka

paduan standar adalahsebagai berikut:

Km – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan

fluoroquinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai

berikut:

Cm – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)

2. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB

RR/MDR secara laboratoris.

3. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan

tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan

dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi

biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.
41

4. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi

konversi biakan. Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.

2.1.10 Pemantauan kemajuan pengobatan TB MDR

Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk

menilai respon pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala

TB (batuk, berdahak, demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam

beberapa bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan

indikator respon pengobatan. Definisi konversi biakan adalah pemerikasaan

biakan dua kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukan hasil

negatif.

2.1.11 Evaluasi akhir pengobatan TB MDR

1. Sembuh

1) Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman

pengobatan TB MDR tanpa bukti terdapat kegagalan.

2) Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak

pemeriksaan minimal 30 hari selama fase lanjutan.

2. Pengobatan lengkap

Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan

TB MDR tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal.

3. Meninggal

Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR

4. Gagal
42

Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan

pengobatan TB MDR yaitu ≥ 2 obat TB MDR yang disebabkan oleh salah

satu dari beberapa kondisi di bawah ini yaitu:

1) Tidak terjadi konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan.

2) Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi).

3) Terbukati terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR

golongan kuinolon atau obat injeksi lini kedua.

4) Terjadi efek samping obat yang berat.

5. Lost to Follow-Up

Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih.

6. Tidak di Evaluasi

Pasien yang tidak mempunyai/tidak diketahui hasil akhir pengobatan TB

MDR termasuk pasien TB MDR yang pindah ke fasyankes di daerah lain

dari hasil akhir pengobatan TB MDR nya tidak diketahui.

2.1.12 Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap

Pemantauan juga dilakukan meskipun pasien sudah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap dengan tujuan untuk mengevaluasi kondisi pasien pasca

pengobatan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik,

pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks, dilakukan setiap 6 bulan sekali selama

dua tahun kecuali timbul gejala dan keluhan TB.


43

2.1.13 Tatalaksana TB Resistan Obat pada Anak

1. Diagnosis TB Resistan Obat Pada Anak

TB resistan obat pada anak dan remaja umumnya terjadi sebagai

akibat dari adanya kontak dengan orang dewasa yang menderita TB

resistan obat, sehingga sebagian besar dari mereka menderita TB resistan

primer. Tidak mudah untuk melakukan uji kepekaan obat pad anak karena

umumnya jumlah kuman yang sedikit (paucy-bacillary) dan ketidak

mampuan mengeluarkan dahak sehingga perlu upaya khusus untuk

mendapatkan contoh uji seperti induksi sputum dan bilas lambung. Pilihan

metode diagnosis pada anak yang diduga TB resistan obat adalah

menggunakan tes cepat. Pada anak dengan riwayat pengobatan TB

sebelumnya (kambuh, Lost to Follow-Up, gagal, tidak ada perbaikan

klinis) atau anak dengan gejala klinis yang sangat mendukung TB serta

ada riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR harus dilakukan tes cepat,

pengobatan yang diberikan adalah pengobatan standar TB RR/MDR atau

merujuk pada hasil uji kepekaan dari sumber penularan (bila diketahui

sumbernya). Penggunaan OAT lini kedua bukan merupakan kontra

indikasi dan pada umumnya toleransi anak kepada obat lebih baik di

bandingkan orang dewasa. Diagnosis TB –MDR pada anak tidak mudah

dan perlu kecermatan alur diagnosis skrining faktor resiko TB-MDR pada

anak yang di duga atau sudah terdiagnosis sebagai pasien.


44

Kriteria terduga TB -MDR anak:


1. Memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya ( > 1 bulan )
1) Kambuh :Pernah di obati sampai selesai (sembuh/lengkap) datang lagi
dengan keluhan dan gejala TB
2) Putus berobat ( Lost to follow up)
3) Gagal : tidak menunjukan respon klinis yang memadai setelah
menjalani pengobatan TB secara teratur lebih dari 2-3 bulan termasuk
BTA /biakan tetap positif, menetapnya gejala -gejala dan kegagalan
untuk menaikan berat badan.
2. Memiliki kontak erat dengan pasien yang telah diketahui menderita TB
MDR
3. Kontak erat dengan terduga TB MDR yang memiliki propabilitas tinggi
sebagai pasien TB MDR yaitu pasien gagal K2, Pasien gagal K1dan
pasien kambuh

Penilaian klinis dan diagnosis TB MDR dengan tes cepat


( sesuai dengan pedoman MTPTRO )

Konfirmasi Konfirmasi TB Tidak ada konfirmasi


TB MDR saja bakteriologis TB/TB
MDR

Terapi TB Terapi OAT Penegakan diagnosis


MDR Kat anak secara klinis bila
secara klinis tetap
mengarah ke TB anak

Bagan 2.1 Tata Laksana TB Resistan Obat Pada Anak

2 Pengobatan TB Resisten obat pada anak

Prinsip dasar panduan terpai pengobatan untuk anak sama dengan panduan

terapi dewasa pasien MDR,Obat – obatan yang di pakai untuk anak MDR TB juga

sama dengan dosisdisesuaikan dengan berat badan pada anak.Bagaimanapun,

kebanyakan obat lini kedua tidak child friendly.


45

Anak –anak dengan MDR TB harus di tatalaksana sesuai dengan prinsip

pengobatan pada dewasa. Yang meliputi :

1.) Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang masih sensitif, terdiri dari satu dari

golongan injectable,satu golongan Fluorokuinolon di tambah dua golongan

bakteriostatik lini kedua.

2). Ethambutol dan PZA sebaiknya di berikan tetapi tidak di hitung sebagai obat

baru

3). Gunakan high-end dosing bila memungkinkan.

4). Pemberian obat harus dalam pengawasan seorang PMO.

5). Obat diminum setiaphari,durasi pengobatan harus 18-24 bulan

6). pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada dewasa

dengan TB MDR.

2.1.14 Faktor –faktor yang mempengaruhi TB MDR

1. Faktor Dokter

Seberapa baik dokter dalam memeberikan edukasi meliputi Penyakit TB

,Pengobatan,TB maupun TB MDR,atau kemungkinan terjaduinya

resistensi obat.

2. Faktor Pasien

1) Ada tidaknya PMO

2) Dukungan Keluarga

3) Tingkat Kemampuan ekonomi pasien

4) Tingkat Pendidikan dan pengetahuan pasien terhdap TB


46

3. Faktor Obat

1) Pengetahuan pasien mengenai jenis obat

2) Pengetahuan pasien mengenai Dosis obat

3) Cara Pemakaian Obat

4) Efek samping dari Obat Anti TB ( OAT )

4. Faktor Pelayanan system Kesehatan

1) Jarak Rumah ke tempat Pelayanan kesehatan

2) Program Kesehatan

3) Ketersediaan Obat

2.2. Kerangka Konseptual

Peran Pengawas Menelan Obat ( PMO )TB MDR di Kota Bandung.

Memperhatikan deskripsi dan data dari kemenkes RI dan WHO bahwa TB

merupakan penyakit yang mematikan, secara global termasuk 10 besar penyakit

yang berbahaya terhadap ancaman kematian. Karena tingkat pemahaman yang

berbeda dalam penanggulangan pengidap penyakit TB, sehingga berdampak

terhadap perkembangbiakan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menjadi

kebal terhadap obat anti TB (OAT), yang pada akhirnya lambat laun pasien TB

akan mengidap Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR-TB).

Kondisi pasien yang mengidap penyakit TB menjadi TB-MDR di Kota

Bandung akhir-akhir ini mengalami peningkatan dari tahun 2012.yang mengidap

TB-MDR 18 .orang menjadi 50 orang di tahun 2017. Hal ini terjadi disebabkan
47

oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya, diantaranya yaitu Peran Pengawas

Menelan Obat ( PMO).

2.2.1 Pengawas Menelan Obat (PMO)

Untuk tercapainya penyembuhan sangat penting dipastikan bahwa pasen

menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran, dengan cara pengawasan

langsung oleh seorang PMO ( Pengawas Menelan Obat) agar mencegah

terjadinya resistensi obat.

1. Definisi

Peran adalah kumpulan dari perilaku yang secara relatif homogen

dibatasi secara normatif yang diharapkan dari seseorang (Nye, 1976 dalam

Friedman, 2010). PMO adalah seseorang yang secara sukarela membantu

pasien TB dalam masa pengobatan (Kemenkes, 2009). Peran PMO adalah

perilaku yang diharapkan dari seseorang untuk membantu pasien TB dalam

masa pengobatan. Pengobatan TB dengan menggunakan strategi DOTS,

penderita TB harus diawasi oleh PMO agar menjamin pengobatannya selesai

dengan mengingatkan penderita dalam minum obat samapai sembuh.

2.Persyaratan PMO

1) Seseorang yang dikenal ,dipercaya dan disetujui,baik oleh petugas

kesehatan maupun pasien ,selain itu harus disegani dan dihormati

oleh pasien

2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien

3) Bersedia membnatu pasien dengan sukarela


48

4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan Bersama – sama

dengan pasien.

2.Siapa yang bias jadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,

Perawat, Pekarya, sanitarian, Juru Imunisasi, dan lain – lain. Bila tidak

ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari

kader kesehatan, guru,anggota PPTI, PKK,atau tokoh masyarakat lainnya

atau anggota keluarga.

5. Tugas seorang PMO

1) Mengawasi Pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai

selesai pengobatan

2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

telah ditentukan.

4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang

mempunyai gejala – gejala mencurigakan TB untuk segera

memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

Tugas seorang bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien

mengambil obat dari Unit Pelayanan kesehatan.

4.Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepda pasien

dan keluarganya

1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan


49

2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

3) Cara penularan TB, gejala -gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahan nya

4) Cara pemberian pengobatan pasien ( tahap intensif dan lanjutan )

5) Penting nya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera

meminta pertolongan ke Fasilitas pelayanan Kesehatan.

2.3 Review literature

Menurut hasil penelitian Sarwani,Nurlela, dan Zahrotul (2012) faktor yang

terbukti berpengaruh pada kejadian TB-MDR adalah Motivasi yang rendah.

Seseorang yang mempunyai motivasi yang rendah untuk minum obat mempunyai

resiko 4,2 kalilebih besar untuk menderita TB –MDR di bandingkan dengan yang

mempunyai motivasi yang tinggi. Di National Tuberculosis Institute ( NTI ) dan

juga The National Reports on DTPs menunjukan bahwa hanya 30-35% dari

pasien TB yang melakukan pengobatan secara teratur dengan periode yang telah

di tentukan, salah satu alasan nya adalah kemungkinan mereka dipengaruhi oleh

anggota keluarga dan teman–teman mereka ketika mereka kembali ke

rumahsetelah pengobatan awal dan pengobatan wajib bulan pertama. Oleh karena

itu, jika kemungkinan motivasi pasien berasal dari lingkungan rumah mereka dan

kehadiran/peran keluarga lain, kemungkinan ini dapat menolong kelanjutan

pengobatan. Motivasi dari anggota keluarga lain mungkin berpengaruh ke pasien

untuk mendukung program pengobatan TB secara tuntas.


50

Alasan utama gagalnya pengobtan adalah pasien tidak mau minum obat

secara teratur dalam waktu yang di haruskan. Pasien biasanya bosan harus minum

banyak obat setiap hari selama beberapa bulan lamanya waktu pengobatan TB

paru yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat saja dijadikan beban oleh

penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Salah

satu kesadaran utama dalam penanganan kasus TB adalah bagaimana memotivasi

penderita agar mereka mau menyelesaikan pengobatannya sesuai waktu yang

telah ditetapkan. Kurangnya motivasi dan kesadaran ini dapat terjadi karena

kurangnya pengetahuan penderita tentang penyakitnya dan bagaimana

mengobatinya, pelayan yang kurang memuaskan dari pihak penyelenggara

fasilitas kesehatan, faktor sosio budayadan lain-lain.

Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukan ada hubungan antara

keteraturan minum obat dengan kejadian MDR-TB. Seseorang yang

mengkonsumsi obat TB tidak teratur mempunyai resiko 2,3 kali lebih besar untuk

menderita MDR-TB dibandingkan yang mengkonsumsi obat secara teratur. Hasil

ini sesuai dengan penelitian Ti T et al., (2006) menyatakan bahwa orang yang

melakukan pengobatan tidak teratur memiliki risiko terkena MDR-TB 4,8 kali

lebih besar dibandingkan dengan yang melakukan pengobatan teratur. Penelitian

Baroso (2003), juga menyebutkan bahwa orang yang melakukan pengobatan tidak

terarut memiliki risiko terkena MDR-TB 5,1464 kali lebih besar dibandingkan

dengan yang melakukan pengobatan terartur.

Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Fauzian dan M.korib Sudaryo (2013 )

faktor risiko TB – MDR adalah (1) Faktor pelayanan kesehatan ,Kurangnya

pendanaan dan fasilitas seperti untuk terkultur dan sensivitas yang tidak tersedia
51

sering menjadi hambatan utama dalam penanggulangan TB-MDR selain itu

guideline yang telah dikeluarkan oleh WHO seringkali disortir kembali untuk

memilih pengobatannya.Program untuk mengontrol Tuberculosis dengan terapi

lini pertama dan DOTS dilakukan pada 467pasien dengan BTA + disebuah

penjara.Setelah dilakukan observasi dihasilkan kesimpulan bahwa efektivitas dari

program DOTS dengan terafi lini ke pertama menurun dari 85%target yabf di buat

oleh WHO ( sharma Sk dan Mohan A, 2004 )masih lemahnya kotrolpada infeksi

TB di pusat – pusat kesehtan dan dan kurangnya pelatihan dari petugas kesehatan

juga menjadi risiko untuk terjadi TB MDR ( WHO, 2008) (2 ) Faktor Obat,

dalam sebuah observasi yang dilakukan diantara pasien TB –MDR,dari 35 pasien

terdapat kesalahan managemenpada 28 pasien dengan rata – rata kesalahan nya

3,93 tiap pasien.kesalahan paling banyak adalah pada penambahan obat yang

tidak berhasil,kegagalan dalam mengidentifikasi yang ada sebelumnya atau

resistensi obat yang ada,inisiasi dari rejimen primer yang di inadequat, Kegagalan

dalam mengidentifikasi dan mengenai ketidaksesuaian obat dan ketidaktepatan

terapi pencegahan dengan isoniazid. Menggunakan obat yang kurang dipercaya

dengan bioavailabilitasyang buruk juga menjadi risiko untuk terjadinya TB _

MDR (Sharma SK, dan mohan A, (2004). Menurut Mwinga ketersediaan obat

adalah penyebab inadequat obat dan palinering (Jain dan dixit,2008)


52

2.3 Kerangka konseptual

PERAN PMO

Sebagai Sebagai Motifator Sebagai


Pengawas Penyuluh

Peran
Memberi
PMO
Tidak mengawasi Motifasi kurang Penyuluhan
Tidak Maksimal
tidak
dengan baik jelas

Minum Pasien merasa tidak Pasien kurang


Obat Tidak ada yg mendukung mengerti maksud
Teratur dlm menjalani dari penyuluhan
pengobatan

- Pengobatan
Pengobatan tidak
tidak teratur
tuntas - Pengobatan
tidak tuntas

Kuman kebal
terhadap OAT

MDR

Bagan 3.2 Kerangka Konseptual


53

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian

deskriptif merupakan penelitian survei yang dilakukan pada sekelompok orang

atau masyarakat untuk mendapatkan gambaran dari fenomena yang terjadi pada

populasi tertentu dan mempunyai tujuan untuk membuat penilaian suatu program

pada masa sekarang yang kemudian hasilnya akan digunakan pada perencanaan

program di masa yang akan datang (Notoatmodjo, 2010). Dengan demikian

penulis beranggapan bahwa metode penelitian deskriptif sesuai dengan penelitian

yang dilaksanakan oleh penulis,karena dalam penelitian ini penulis berusaha

mendeskripsikan sebuah masalah atau fenomena. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui gambaran Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) TB MDR di Kota

Bandung.

3.2 Paradigma penelitian

Paradigma penelitian merupakan pola pikir yang menunjukan hubungan

antara variabel yang akan di teliti yang sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah

rumusan masalah yang perlu di jawab melalui penelitian, teori yang digunakan

untuk hipotesis,jenis dan jumlah hipotesis yang akan di gunakan (Sugiono,2011).

TB-MDR merupakan permasalahan utama di dunia, banyak faktor yang

memberikan kontribusi terhadap resisten obat pada negara berkembang termasuk


54

ketidak-tahuan pasien terhadap penyakitnya,kepatuhan pasien buruk, pemberian

monoterapi atau regimen obat yang tidak efektif, dosis tidak adekuat, intruksi

yang buruk, keteraturan berobat yang rendah, motivasi penderita kurang, suplai

obat yang tidak teratur,bioavailibity yang buruk dan kualitas obat memberikan

kontribusi terjadinya resistensi obat sekunder (Masniari dkk, 2007). Berikut ini

merupakan paradigma penelitian yang berlaku dalam penelitian ini:

3.3 Kerangka Penelitian Gambaran Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)


pada psien TB -MDR

Faktor dokter :

Seberapa
Faktor baik dokter memberikan edukasi tentang
Dokter
penyakit TB, cara pengobatan, dan akibat bila
pengobatan tidak tuntas

Faktor Pasien :

1.Peran PMO TB MDR


2.Dukungan Keluarga
3.Tingkat Kemampuan ekonomi Pasien
4.Tingkat pendidikan dan Pengetahuan Pasien
TB terhadap TB

Faktor Obat :

Faktor Pelayanan kesehatan

Gambar 3.1 Kerangka Penelitian


Gambaran Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) pada Pasen TB MDR
Sumber Jurnal Syahrezki (2015)
55

3.4 Variabel Penelitian

Variabel digunakan sebagai ukuran atau ciri, sifat yang dimiliki oleh suatu

penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu yang merupakan ukuran atau

ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan

kelompok yang lain (Notoatmodjo, 2010). Variabel dalam penelitian ini adalah

Peran Pengawas menelan Obat (PMO) TB MDR.

3.5 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional

3.5.1 Definisi Konseptual

Definisi konseptual merupakan pengertian atau pemaparan dari variabel yang

akan di teliti. Definisi konseptual dari masing – masing variabel penelitian ini

adalah:

Definisi Peran PMO

Peran adalah kumpulan dari perilaku yang secara relatif homogen

dibatasi secara normatif yang diharapkan dari seseorang (Nye, 1976 dalam

Friedman, 2010). PMO adalah seseorang yang secara sukarela membantu

pasien TB dalam masa pengobatan (Kemenkes, 2009). Peran PMO adalah

perilaku yang diharapkan dari seseorang untuk membantu pasien TB dalam

masa pengobatan. Pengobatan TB dengan menggunakan strategi DOTS,

penderita TB harus diawasi oleh PMO agar menjamin pengobatannya selesai

dengan mengingatkan penderita dalam minum obat samapai sembuh.


56

3.5.2 Definisi Oprasional

Tabel 3.1 : Definisi Operasional


Variabel Definisi Oprasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Peran PMO Peran /dukungan Kuesioner 1. Peran PMO Ordinal


PMO terhadap tinggi
pasien dalam bentuk Jika ≥ 60
1. Mengawasi pasien
TB agar menelan 2. Peran PMO
obat secara teratur Rendah
sampai selesai Jika < 60
pengobatan.
2.Memberi
dorongan pada
pasien agar mau
berobat teratur.
3.Memberikan
penyuluhan pada
anggota keluarga
TB yang
mempunyai gejala-
gejala TB untuk
segera
memeriksakan diri
ke unit pelayanan
kesehatan

3.6 Populasi dan sampel

3.6.1 Populasi

Populasi adalah setiap sejumlah besar subjek yang mempunyai karakteristik

tertentu (Sastroasmoro, 2011). Pada penelitian ini populasinya adalah semua

pasien TB MDR yang ada di Puskesmas wilayah Bandung tengah dan Bandung

timur Kota Bandung sebanyak 30 orang.


57

3.6.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang di pilih dengan cara tertentu hingga

dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 2011). Pengambilan sampel

pada penelitian ini menggunakan teknik total sampling adalah teknik pengambilan

sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi (Sugiyono, 2007). Alasan

mengambil total sampling karena menurut Sugiyono (2007) jumlah populasi yang

kurang dari 100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya.

3.7 Pengumpulan Data

3.7.1 Instrumen penelitian

1. Peran PMO

Untuk mengukur peran PMO dapat diukur dengan menggunakan

kuesioner berupa pertanyaan dalam bentuk Skala likert, dimana setiap

pernyataan disiapkan jawabannya berupa pilihan berhubungan dengan

Peran PMO dalam bentuk jawaban Sangat Sering (SS), Sering

(S),Jarang (J), tidak Pernah (TP) pada pertanyaan positif ( favourable ),

pilihan jawaban Sangat Sering (SS) diberi skor 4 Sering (S) diberi 3,

Jarang (J) diberi skor 2, dan Sangat Jarang (SJ) diberi skor 1, Sedangkan

pada pertanyaan negative ( Infavouribel ) pilihan jawaban Sangat Sering di

beri skor 1, Sering (S) diberi skor 2, Jarang (J) di beri skor 3 dan Tidak

pernah (TP) di beri skor 4


58

Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

3.7.1.1 Uji validitas

Uji Validitas dilakukan di Puskesmas Ujungberung Indah dengan

jumlah responden 20 orang. Penelitian ini diukur menggunakan rumus

koefisien korelasi point biserial karena rumus ini dapat digunakan untuk

mencari korelasi item dengan seluruh pertanyaan yang berbentuk soal tes

(Arikunto, 2006:283). Berikut ini merupakan rumus koefisien korelasi

point biserial.

Keterangan:

rpbis = koefisien korelasi Point Biserial

S = standar deviasi

meanb = mean jawaban benar

means = mean jawaban salah

p = proporsi jawaban benar

q =1–p

Metode pengambilan keputusan pada uji validitas yaitu menggunakan

Batasan r, table dengan signifikansi 0,05dan uji 2 sisi atau menggunakan Batasan

0,3 (Azwar dalam priyatno,2010 :27, priyatno (2010:27) menyatakan bahwa “

Jika nialai korelasi lebih dari Batasan yang di tentukan maka item di anggap tidak

Valid”. Data yang sudah terkumpul dianalisis menggunakan bantuan SPSS versi
59

20. Metode uji validitas insyrumenyang digunakan adalah metode Coorected item

total correlation yaitu uji validitas internal butir tes dengan mengkorelasikan

antar scor tiap butir soal yang didapatkan dengan skor total respondennya

(Priyanto,2010:24)

Berdasarkan hasil analisis validitas dengan menggunakan metode

Corrected item total correlation, dari 30 item yang diuji cobakan terdapat 9

instrumen yang mempunyai nilai kurang dari 0,3 yaitu pada no item 6, item 10,

item 11, item 13, item 18, item 20, item 22, item 23, item 26, item 28, sedangkan

sisanya sebanyak 21 mempunyai nilai yang melebihi 0,30, artinya item tersebut

dinyatakan valid. Hal tersebut menunjukan bahwa item yang bisa digunakan

untuk penelitian sebanyak 21 item.

3.7.1.2 Uji Reabilitas

Metode yang di gunakan dalam uji reabilitas pada penelitian ini adalah

Metoda Cronbach Alpha. Arikunto (1996: 190) Mengemukakan “ Untuk mencari

reabilitas instrument yang skor butirnya bukan 1 atau 0 melainkan skala

bertingkat atau rating scale di gunakan rumus alpha dari Cronbach sebagai

berikut:

r 11 = [ ][ ]
60

Dimana:

r11 = Reliabilitas instrumen

k = Banyaknya butir pertanyaan (item)

∑ s2b = Skor rata-rata

S2t = Varians total

Reabilitas yang didapat selanjutnya disesuaikan dengan r table. Jika r hitung

> r table maka instrument tersebut reliabel dan dapat digunakan dalam penelitian.

Menurut Sekaran ( dalam Priyatno, 2010:32) “reabilitas kurang dari 0,6 adalah

kurang baik, sedangkan 0,7 dapat di terima dan diatas 0,8 adalah baik.”Berikut

hasil analisis reabilitas dengan menggunakan bantua SPSS.

Reliability Statistics

Cronbach’s Alpha Cronbach’s Alpha Based N of Items

on Standardized Items

0,712 0,679 30

Berdasarkan hasil analisis reliabilitas dengan menggunakan teknik analisis

alpha cronbach diperoleh nilai reliabilitas instrument sebesar 0,712. Nilai tersebut

sudah masuk pada kriteria diterimanya batas minimalnya reliabilitas yang harus

diatas 0,70 (0,70 > 0,71) artinya instrument yang digunakan untuk mengukur

Peran PMO sudah reliable.


61

3.7.2 Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan pada responden penderita TB

MDR di Puskesmas Wilayah Bandung tengah dan Bandung timur Kota Bandung.

Pengumpulan data diawali dengan:

1. Peneliti menghubungi Petugas TB masing – masing Puskesmas yang ada di

Wilayah Bandung tengah dan Bandung timur Kota Bandung.

2. Memberi penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian kepada Petugas TB

dan menjelaskan isi dari instrument.

3. Petugas TB memberi penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian kepada

responden

4. Meminta kesediaan responden untuk terlibat dalam penelitian

5. Peneliti memberikan penjelasan tentang cara pengisian kuesioner

6. Responden dipersilahkan mengisi kuesioner

7. Kuesioner ini harus di isi oleh responden dengan lengkap dan jujur sesuai

persepsi masing-masing responden

8. Selama pengisian kuesioner, petugas TB mendampingi responden, sehingga

bila ditemukan ada pernyataan yang kurang jelas dapat ditanyakan langsung

Tahap selanjutnya pengolahan data melalui editing, coding, entry data dan

kemudian dilakukan teknik analisa (Hidayat, 2007).

a. Editing

Editing data dilakukan langsung pada pada saat pengambilan data. Setelah

responden menyerahkan kuesioner kemudian dilakukan pengecekan terlebih

Anda mungkin juga menyukai