Anda di halaman 1dari 10

PANDANGAN HIDUP ETNIK MADURA DALAM KUMPULAN PUISI

NEMOR KARA

Royyan Julian
Pembimbing: (1) Prof. Dr. Imam Suyitno, M.Pd., (2) Dr. Roekhan, M.Pd.
E-mail: royyanjulian@yahoo.co.id

ABSTRACT: This research is based on the importance of


introducing Maduranese worldview which becomes nation’s
wealthy. This research aims to describe Maduranese worldview.
This research is conducted by interpreting Nemor Kara poetry
collection to find Maduranese worldview which is included. In
Nemor Kara poetry collection, there are four Maduranese
worldviews; divine views, social views, personal views, and world
views.

Key word: worldview, Maduranese

ABSTRAK: Penelitian ini didasari oleh pentingnya mengenalkan


pandangan hidup etnik Madura yang merupakan kekayaan bangsa.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan hidup
etnik Madura. Penelitian ini dilakukan dengan menafsirkan
kumpulan puisi Nemor Kara untuk menemukan pandangan hidup
etnik Madura yang terkandung di dalamnya. Dalam kumpulan puisi
Nemor Kara ditemukan empat pandangan hidup etnik Madura,
yaitu pandangan ketuhanan, kemasyarakatan, pribadi, dan
kealaman.

Kata kunci: pandangan hidup, etnik Madura

Menurut Dwiwahyuni (2011), pandangan hidup adalah pendapat atau


pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, dan petunjuk hidup di
dunia. Koentjaraningrat (2002:194) menyebut pandangan hidup dengan istilah
ideologi. Ideologi merupakan suatu sistem pedoman hidup atau cita-cita yang
ingin sekali dicapai oleh banyak individu dalam masyarakat. Suatu ideologi dapat
menyangkut sebagian besar dari warga masyarakat, tetapi dapat juga menyangkut
golongan-golongan tertentu dalam masyarakat. Istilah ideologi biasanya dipakai
bukan untuk individu, tetapi lebih pada sebuah golongan: masyarakat, negara.
Puisi sebagai karya sastra juga dapat menggambarkan kondisi budaya
masyarakat. Menurut Aminuddin (2004:188), corak kehidupan sosial masyarakat
yang diangkat menjadi bahan penciptaan puisi dapat beranekaragam. Mungkin
berupa adat kebiasaan, pandangan hidup, maupun perilaku suatu masyarakat yang
tidak ada hubungannya dengan masalah politik, tetapi berhubungan dengan
masalah kehidupan sosial.
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara, falsafah hidup etnik Madura
merupakan landasan pandangan hidup yang diyakini. Pandangan hidup tersebut


Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

1
2

diwujudkan dan menjadi pedoman masyarakat etnik Madura dalam menjalani


hidup di dunia untuk mencapai kehidupan yang baik. Pandangan hidup ini
bermacam-macam, antara lain pandangan ketuhanan, kemasyarakatan, pribadi,
dan kealaman.
Nemor Kara menggambarkan pandangan ketuhanan etnik Madura.
Secara spiritual, masyarakat etnik Madura mayoritas beragama Islam. Menurut
Rozaki (2004:3), masyarakat Madura selalu dicitrakan sebagai masyarakat yang
memperhatikan nilai-nilai keagamaan. Dalam puisi-puisi yang terangkum dalam
antologi tersebut ditemukan bagaimana masyarakat etnik Madura memandang
Tuhan. Pandangan mereka tentang Tuhan yang paling utama adalah dipengaruhi
oleh sikap religius yang bersumber dari agama yang mereka anut, yaitu Islam.
Nemor Kara juga menggambarkan pandangan kemasyarakatan etnik
Madura. Dalam hal ini, pandangan kemasyarakatan yang dimaksud adalah
hubungan individu dengan individu sebagai makhluk sosial dalam sebuah
komunitas. Pandangan hidup kemasyarakatan tersebut terbentuk dari pola hidup
mereka dalam menjalin hubungan antara yang satu dengan yang lain, misalanya
budaya tolong-menolong sebagaimana falsafah rampa’ naong beringin korong
(Ashadi dan Al-Farouk, 1992:83).
Nemor Kara juga menggambarkan pandangan pribadi etnik Madura.
Dalam hal ini pandangan pribadi adalah pandangan hidup tiap individu terhadap
diri mereka sebagai makhluk individu, misalnya tentang etos kerja, masyarakat
etnik Madura memiliki cita-cita, ketangguhan, dan sikap pantang menyerah
betapa pun kerasnya gelombang menggebu (Imron, 2011).
Dalam Nemor Kara juga menggambarkan pandangan kealaman etnik
Madura. Puisi-puisi tersebut memotret bagaimana masyarakat etnik Madura
memandang alam. Menurut Imron (dalam Piliang, 2011:135), masyarakat Madura
pada zaman dahulu kerap berbicara dengan ombak, berbisik-bisik dengan angin,
berdialog dengan ilalang. Mereka berjalan dan mematut-matut segala sesuatu.
Mata mereka terlatih melihat sudut-sudut sebuah tempat.
Sejalan dengan itu, penelitian ini mengaji pandangan hidup etnik Madura
yang meliputi: (1) pandangan ketuhanan, (2) pandangan kemasyarakatan, (3)
pandanganpribadi, dan (4) pandangan kealaman. Berdasarkan masalah yang
dikaji, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan hidup etnik
Madura, antara lain: (1) pandangan ketuhanan, (2) pandangan kemasyarakatan, (3)
pandangan pribadi, dan (4) pandangan kealaman.

METODE
Data penelitian ini adalah teks puisi yang mengandung pandangan hidup
etnik Madura, yaitu pandangan ketuhanan, kemasyarakatan, pribadi, dan
kealaman. Sementara itu, sumber data penelitian ini berupa buku kumpulan puisi
yang berjudul Nemor Kara yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Surabaya pada
tahun 2006. Kumpulan puisi ini ditulis oleh para peserta Lomba Penulisan Puisi
Berbahasa Madura 2006.
Tidak semua puisi di dalam buku ini menjadi data karena ada beberapa
puisi yang tidak mengandung pandangan hidup yang menjadi fokus penelitian.
Dari 25 puisi, yang dijadikan data hanya 23 puisi. Sementara itu, puisi yang tidak
menjadi data, yaitu “Kejung e Asar Maba” karya Sanhaji dan “Sssstt....!!!!” karya
Wike Widya Arista. Kesulitan yang dialami peneliti dalam menafsirkan data
3

adalah penulisan puisi yang tidak menggunakan tata cara penulisan bahasa
Madura yang standar (baku). Pengambilan sumber data didasarkan pada tujuan
penelitian, yaitu memaparkan pandangan hidup etnik Madura dalam Nemor Kara.
Caranya yaitu dengan membaca dengan intensif sumber data tersebut untuk
menemukan data yang diinginkan.
Adapun prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain: (1)
Membaca secara intensif puisi-puisi dalam Nemor Kara; (2) Menerjemahkan
puisi-puisi dalam Nemor Kara ke dalam bahasa Indonesia, (3) Melakukan
interpretasi dan analisis puisi-puisi dalam Nemor Kara untuk menemukan
pandangan hidup etnik Madura yang ada di dalamnya; (4) Melakukan identifikasi,
klasifikasi, dan pencatatan pandangan hidup etnik Madura berdasarkan
interpretasi dan analisis yang telah dilakukan.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode
hermeneutik, karena penelitian ini menafsirkan fenomena di dalam teks. Teks
puisi dalam kumpulan puisi Nemor Kara mengandung makna eksplisit dan
implisit. Oleh karena itu, penelitian ini akan menginterpretasikan teks dan konteks
dengan tujuan melihat fenomena pandangan etnik Madura di dalam data.
Langkah-langkah penelitian hermeneutik menurut Endraswara (2003:45)
antara lain: (1) menentukan arti langsung yang primer, (2) bila perlu menjelaskan
arti-arti implisit, (3) menentukan tema, dan (4) memperjelas arti-arti simbolik
dalam teks. Dari empat langkah tersebut, masih bisa berkembang ke penafsiran-
penafsiran yang lain. Penafsiran akan bergantung pada sisi yang ingin diungkap.

HASIL
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara, ditemukan data tentang
pandangan ketuhanan etnik Madura. Pandangan ketuhanan tersebut antara
lain, Tuhan penguasa nasib manusia dan Tuhan penuntun ke jalan yang lurus.
Pandangan Tuhan penguasa nasib manusia terdapat dalam puisi “Pello Koneng”
karya Kadarisman. Pada puisi “Pello Koneng” tersebut berisi tentang sebuah
pertanyaan doa kepada Tuhan. Doa tersebut mengandung makna tersirat bahwa
Tuhan adalah penguasa nasib manusia. Pandangan ini terdapat dalam puisi
“Ngerrap Aba’” karya Rozakki.
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara juga ditemukan data tentang
pandangan kemasyarakatan etnik Madura. Pandangan kemasyarakatan
tersebut meliputi: bangga akan identitas, tolong-menolong, serta kebersatuan dan
kebersamaan.
Pandangan bangga akan identitas terdapat dalam puisi “Maduraku,
Budayaku dan Tumpah Darahku” karya Abdul Jalal, “Ghending Madura” karya
Lukman Hakim Ag, “Madura” karya Lukman Hakim Ag, dan “Blibis Mole
Karabana” karya Yayan K.S. Pada puisi-puisi tersebut, kebanggaan akan identitas
bangsa ditunjukkan dengan cara mencintai tanah kelahiran, melestarikan kesenian
daerah, bahasa daerah, mengenalkan objek wisata, dan mempertahankan identitas
budaya dari ancaman budaya asing.
Pandangan tolong-menolong terdapat dalam puisi “Madura” karya
Lukman Hakim Ag dan “Kampong Rokon” karya M. Helmi Prasetya. Kedua puisi
tersebut menunjukkan adanya budaya gotong-royong dalam masyarakat etnik
Madura dan budaya tolong-menolong yang bisa dilakukan oleh siapa pun (tidak
4

memang jenis kelami, usia, status sosial, agama, dan lain-lain) tanpa pandang
bulu.
Pandangan kebersamaan dan persatuan terdapat dalam puisi “Blibis Mole
Karabana” karya Yayan K.S., “Kampong Rokon” karya M. Helmy Prasetya, dan
“Ghending Madura” karya Lukman Hakim Ag. Puisi-puisi tersebut menunjukkan
adanya keinginan untuk bersama dengan keluarga setelah sekian lama merantau
dan kebersamaan untuk menciptakan kerukunan dalam komunitas.
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara juga ditemukan data tentang
pandangan pribadi etnik Madura. Pandangan pribadi tersebut meliputi: etos
kerja, penjagaan diri dari perilaku buruk, dan penjunjungtinggian martabat.
Pandangan etos kerja terdapat dalam puisi “Pello Koneng” karya
Kadarisman, “Maduraku, Budayaku dan Tumpah Darahku” karya Abdul Jalal,
“Landuk” karya Kurliyadi, dan “Ngerrap Aba’” karya Kurliyadi. Puisi-puisi
tersebut menunjukkan adanya etos kerja yang tinggi untuk menyambung hidup
meskipun banyak cobaan yang dialami. Manusia juga harus bekerja yang halal
sesuai ajaran agama.
Pandangan penjagaan diri dari perilaku buruk terdapat dalam puisi “Na’
Kana’ Ni’ Keni’ Ko’ Nongko’ Ta’ Akato’” karya Meta Mega Silvia, “Peggel”
karya Salamet Wahedi, “Acethak bato” karya Mahendra, dan “Sonar se Elang”
karya Achmad Faesol. Puisi-puisi tersebut mengisyaratkan bahwa perbuatan
buruk dapat membuat manusia rugi, misalnya perilaku amarah dan carok dapat
membuat diri dan keluarga menanggung akibat. Carok dapat menimbulkan
dendam yang tidak kunjung usai. Perilaku amarah juga dapat membuat hati
manusia menjadi sekeras batu. Selain itu, manusia harus menghindari sifat
sombong karena manusia hanya makhluk ciptaan yang serbaterbatas.
Pandangan penjunjungtinggian martabat terdapat dalam puisi “Kotta
Bababaran” karya Nanik V. Ningsih, “Kampong Rokon” karya M. Helmy
Prasetya, “Nemor Kara” karya Hesbullah, “Taresna Ragapadmi-Bangsacara”
karya M. Ridwan, “Palabbhuwan” karya M. Tauhed Supratman, “Se Akembhang
Duri” karya Suhartatik, dan “Dhika Nyare Are” karya Ra Mamber.
Penjunjungtinggian martabat dalam puisi-puisi tersebut ditunjukkan dengan cara
menghormati orang tua, memuliakan tamu sebagai bentuk menjaga harga diri dan
rasa malu, serta memiliki rasa kesetiaan. Akibat dari sikap khianat (tidak setia)
adalah rasa penyesalan yang dalam.
Selain itu, dalam kumpulan puisi Nemor Kara juga ditemukan data
tentang pandangan kealaman etnik Madura. Pandangan kealaman tersebut
meliputi: alam sebagai hiburan, alam sumber nafkah, dan alam berperilaku seperti
manusia.
Pandangan alam sebagai hiburan terdapat dalam puisi “Pello Koneng”
karya Kadarisman, “Sapasang Sape Kerrabhan Atandhu’” karya M. Tauhed
Supratman, dan “Lombang” karya Ra Mamber. Puisi-puisi tersebut menunjukkan
bahwa alam dapat menjadi sarana hiburan bagi manusia, yaitu penghilang stres,
memberikan rasa lapang, penyegar pikiran, pemberi semangat, dan lain-lain.
Pandangan alam sumber nafkah terdapat pada puisi “Madhura Dhika
Sokmana Bula” karya Yayan K.S. dan “Pello Koneng” karya Kadarisman. Dalam
kedua puisi tersebut, alam menyediakan kebutuhan manusia seperti garam dan
alam juga menjadi tempat bercocok tanam untuk mencari nafkah.
5

Pandangan alam berperilaku seperti manusia terdapat dalam puisi “Fita”


karya Salamet Wahedi, “Sapasang Sape Kerraban Atandhu’” karya M. Tauhed
Supratman, dan “Rebba Adikker” karya Kurliyadi. Dalam puisi-puisi tersebut,
alam dapat berperilaku seperti manusia, misalnya berbisik, menangis, tertawa,
menghamba kepada Tuhan, bahkan murka bila manusia memperlakukan alam
dengan tidak baik.

PEMBAHASAN
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara, pandangan hidup etnik Madura yang
terkandung di dalamnya, yaitu pandangan ketuhanan, kemasyarakatan, pribadi,
dan kealaman. Berikut adalah paparannya.

Pandangan Ketuhanan
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara, terdapat dua pandangan ketuhanan
etnik Madura. Pandangan pertama menyiratkan bahwa Tuhan adalah penguasa
dan yang menguasai nasib manusia, sedangkan pandangan kedua menggambarkan
bahwa Tuhan adalah penuntun ke jalan yang lurus.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “nasib” adalah sesuatu yang
sudah ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang; takdir. Dalam kumpulan puisi
Nemor Kara, Tuhan digambarkan sebagai dzat yang menguasai nasib manusia.
Puisi “Pello Koneng” karya Kadarisman secara tidak langsung mengandung
harapan kepada Tuhan untuk mengubah nasibnya, karena Tuhan memiliki kuasa
untuk mengubah nasib tesebut. Bali’na dhadhar pada puisi tersebut berasal dari
sebuah ungkapan Madura mandar badha’a li’-bali’na dhadhar(semoga ada
bali’na dhadhar). Hal itu berarti kutipan tersebut secara tidak langsung mengakui
bahwa Tuhan merupakan penguasa/pengubah nasib manusia.
Sebagai umat Islam dan menjadikan kitab suci (Al-Quran) sebagai
pedoman hidup, masyarakat etnik Madura percaya pada Al-Quran surat Ar-Ra’d
ayat 11 yang berbicara tentang Tuhan dan hubungannnya dengan nasib manusia.
Ayat tersebut secara tegas menyatakan bahwa Tuhan adalah penguasa
keadaan/nasib manusia. Manusia tidak akan dapat menghindar dari apa yang telah
dikehendaki Tuhan. Namun, ayat tersebut juga menyatakan bahwa sebenarnya
kuasa Tuhan juga bergantung dari usaha manusia itu sendiri.
Penyair adalah individu yang memiliki keinginan untuk senantiasa hidup
di jalan yang lurus. Mereka percaya bahwa dengan memegang teguh ajaran
agama, mereka akan berada pada jalan yang benar, karena Tuhan akan menuntun
mereka ke jalan itu.
Kutipan puisi “Ngerrap Aba’” karya Rozakki menyiratkan bahwa
manusia memiliki potensi yang besar untuk berbuat dosa. Oleh karena itu, mereka
memohon kepada Tuhan agar ketika mereka bekerja, mereka senantiasa bekerja
dengan jalan yang halal, bukan jalan yang haram.
Pandangan Tuhan sebagai penuntun ke jalan yang lurus adalah
perwujudan dari doa yang setiap hari lima kali mereka lafazkan ketika salat. Doa
tersebut terdapat dalam ayat yang berbunyi, “Tunjukilah kami jalan yang lurus.
(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
(Al-Fatihah [1]:6—7, terjemahan Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an
Departemen Agama RI, 2004). Bagi orang yang tidak menjalankan perintah
6

agama, masyarakat Madura menyebutnya edina pangeranna (ditinggal tuhannya)


(Zubairi, 2011).

Pandangan Kemasyarakatan
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara, etnik Madura memiliki pandangan
kemasyarakatan. Pandangan kemasyarakatan tersebut antara lain: bangga akan
identitas; tolong-menolong; dan kebersamaan dan persatuan. Berikut adalah
paparannya.
Puisi “Maduraku, Budayaku dan Tumpah Darahku” karya Abdul Jalal
menyiratkan masyarakat Madura untuk senantiasa bangga akan tanah kelahiran
kekayaan seni budaya dan budaya sopan santun, tanah kelahiran merupakan tanah
tumpah darah yang mesti diakui karena kemuliaannya serta merupakan tempat
para pahlawan,orang yang berbudi pekerti luhur dan dekat dengan yang spiritual
dan ilahiah. Hal ini sesuai dengan ungkapan Madura, yaitu basa nantowagi
bangsa(bahasa menentukan bangsa) yang bermakna keharusan untuk selalu
mengakui dan bangga akan identitas yang melekat pada diri.
Sebagai masyarakat yang komunal, etnik Madura tidak akan pernah
absen dari budaya tolong-menolong antarsesama. Filsafat etnik Madura yang
tertuang dalam peribahasarampa’ naong baringin korong ditunjukkan kepada
orang kaya yang gemar menolong yang lemah (Ashadi dan Al-Farouk, 1992:83).
Bila Indonesia memiliki istilah gotong-royong dalam tolong-menolong
untuk sebuah masyarakat, Madura sebagai salah satu etnik di Indonesia juga
memiliki istilah song-osong lombung, jung-rojung, pak-opak eling se ekapajung
untuk menolong antarsesama. Pak-opak eling memiliki makna tolong-menolong
untuk mengingatkan mereka yang lupa (berbuat salah atau berperilaku tidak baik).
Dengan demikian, bila budaya saling mengingatkan terjalin, akan tercipta
masyarakat yang hidup sesuai dengan tuntunan hukum dan agama.
Ungkapan Madura yang menunjukkan budaya tolong-menolong
masyarakat etnik Madura antara lain berbunyi, mon bagus pabagas (kalau tampan
harus gagah) yang bermakna seseorang yang rupawan harus memiliki semangat
keperwiraan dengan berkorban untuk kepentingan masyarakat (Imron, 2001).
Dalam pandangan kebersaaan dan persatuan, etnik Madura percaya
bahwa kebersamaan merupakan hal yang dapat membuat komunitas mereka
bersatu. Kutipan puisi “Blibis Mole Karabana” karya Yayan K.S tersebut bercerita
tentang seorang anak laki-laki yang pulang ke kampung halamannya (di Madura)
setelah sekian lama merantau ke daerah lain. Hal ini menyiratkan pentingnya
berkumpul bersama sanak keluarga di kampung halaman, karena kebersatuan
dapat terwujud bila semua bagian dari komunitas berkumpul bersama.
Kebersaaman antaranggota keluarga yang harus selalu dijaga tidaklah
mengherankan bila melihat sistem kekerabatan di dalam etnik Madura. Menurut
Wiyata (2006:55), ikatan kekerabatan dalam masyarakat Madura terbentuk
melalui keturunan-keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun
garis ibu (paternal and maternal relatives). Dalam konsep kekerabatan tersebut,
hubungan persaudaraan mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending
generations) dan ke bawah (descending generations) (Wiyata, 2006:56). Oleh
karena itu keutuhan keluarga besar merupakan sebuah keharusan dalam
masyarakat etnik Madura.
7

Kebersatuan untuk menghindari perpecahan yang disebabkan oleh


kekuatan asing tersebut bisa dilihat dari simbol pola pemukiman tradisional
masyarakat Madura. Pola pemukiman tradisional masyarakat Madura dikenal
dengan sebutan kampong meji. Menurut Wiyata (2006:44), konsekuensi sosial
kampong meji yaitu solidaritas internal antarmasing-masing anggota atau
penghuninya menjadi sangat kuat. Pagar rumpun bambun yang mengelilingi
kampong meji bisa menjadi simbol tameng yang dapat menjaga persatuan dari
perpecahan yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan asing.

Pandangan Pribadi
Dalam kehidupan sehari-hari, etnik Madura memiliki pandangan
terhadap pribadi. Pandangan hidup etnik Madura terhadap pribadi dalam kupulan
puisi Nemor Kara antara lain: etos kerja; penjagaan diri dari perilaku buruk; dan
penjunjungtinggian martabat.
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara, etnik Madura memiliki keyakinan
bahwa untuk mencapai kesuksesan di dunia, setiap orang mesti bekerja keras.
Puisi “Pello Koneng” karya Kadarisman memiliki makna bahwa manusia mesti
bekerja keras untuk menyambung hidup yang serba tidak pasti. Hal itu sekaligus
menunjukkan bahwa ketidakpastian hidup di dunia ini merupakan ujian bagi
manusia. Ungkapan Madura abantal omba’ sapo’angin (berbantal ombak
berselimut angin berasal dari ungkapan Madura yang menunjukkan kerja keras
yang tinggi demi mendapatkan apa yang dicapai. Menurut Imron (2011) ungkapan
ini memiliki makna menggambarkan cita-cita, ketangguhan, dan sikap pantang
menyerah kepada laut betapa pun kerasnya gelombang menggebu. Hal ini sesuai
dengan apa yang ditengarai oleh Zubairi (2011), yaitu salah satu hal yang
menggambarkan sifat kerja keras etnik Madura adalah mereka dapat bekerja apa
pun (asal halal) hingga merantau ke daerah lain.
Dalam hidup ini manusia akan berhadapan dengan berbagai masalah.
Oleh karena itu, manusia harus bersabar menghadapi masalah. Jika tidak, manusia
akan terjebak pada perilaku buruk. Masyarakat etnik Madura percaya bahwa
setiap perilaku buruk dapat berdampak buruk.
Amarah dapat menimbulkan perkelahian, sedangkan perkelahian akan
berdampak pada keluarga, misalnya orang tua akan bersedih karena perkelahian
tersebut. Puisi “Na’ Kana’ Ni’ Keni’ Ko’ Nongko’ Ta’ Akato’” karya Meta Mega
Silvia tersebut menyiratkan bahwa akan banyak kesedihan yang ditimbulkan oleh
amarah. Kutipan Reng towa/ Asandadut e penggir labang’/Tampah cangkem…!!!
menunjukkan bahwa orang lain (orang tua) akan rugi (bersedih) karena carok
(perilaku buruk).
Puisi “Peggel” karya Salamet Wahedi menunjukkan bahwa amarah dan
carok dapat meninggalkan bekas yang buruk. Biasanya, akibat carok
(sebagaimana kasus-kasus carok yang dipaparkan dalam buku Carok: Konflik
Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura karya Wiyata, 2006) menimbulkan
dendam yang tak berkesudahan (lingkaran setan).
Untuk mencapai kehidupan yang sempurna, masyarakat etnik Madura
percaya bahwa manusia harus menjunjung tinggi martabat. Menjunjung tinggi
martabat bisa dilakukan bila manusia juga melakukan hal-hal yang baik dan
berperilaku yang baik.
8

Puisi “Kotta Bababaran” karya Nanik V. Ningsih menunjukkan bahwa


manusia harus menuruti nasihat orang tuanya, karena nasihat orang tua tersebut
banyak benarnya. Etnik Madura sebagaimana menurut Sadik (2004:34) percaya
bahwa orang yang pertama harus dihormati adalah orang tua. Hal ini sesuai
dengan ungkapan,buppa’ babu’ guru rato. Ungkapan tersebut bermakna bahwa
yang pertama harus dihormati adalah ibu bapak.
Selain itu, untuk menjunjung tinggi martabat, manusia harus menghormati
orang lain. Cara untuk menjunjung tinggi martabat yaitu dengan menjaga rasa
malu dan harga diri melalui menjamu (menghormati) tamusebagaimana dalam
puisi “Kampong Rokon” karya M. Helmy Prasetya. Memuliakan tamu yang
merupakan perwujudan dari menghargai orang lain merupakan kebiasaan orang
Madura dan telah menjadi falsafah hidup dan adat mereka. Dalam hal ini adat
(tradisi) adalah salah satu hal yang mesti dijaga sesuai dengan kerangka moral
yang tertera di dalam buku Baburugan Becce’ (dalam Imron, 2011).

Pandangan Kealaman
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara, etnik Madura memiliki beberapa
pandangan tentang alam, antara lain: alam sebagai hiburan; alam sumber nafkah;
dan alam berperilaku seperti manusia.
Puisi “Pello Koneng” karya Kadarisman menunjukkan bahwa malam
yang dihiasi bulan purnama dapat membuat manusia lapang dan sejuk. Kutipan
ate rassa tasengkap dan oreng-oreng acora’ jembar dalam puisi tersebut
menunjukkan bahwa alam dapat membuat hati manusia menjadi lapang. Malam
hari merupakan waktu ketika seseorang selesai bekerja. Dengan segala penat dan
letih setelah bekerja, orang-orang yang digambarkan dalam puisi tersebut merasa
lapang saat disuguhi bulan purnama yang baru saja terbit.
Dengan kondisi alam Madura yang panas, orang-orang Madura yang
digambarkan dalam puisi tersebut menikmati udara malam hari yang dingin di
luar rumahnya sambil tidur-tiduran, sedangkan anak-anak bermain petak umpet.
Kebiasaan ini kerap dilakukan oleh masyarakat Madura pedesaan pada malam
hari, duduk-duduk di atas balai-balai, bercengkerama dengan keluarga sambil
menikmati camilan, kopi, dan rokok pada musim kemarau, yaitu ketika malam
hari udara menjadi dingin dan bulan purnama menjadi sempurna.
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara, alam juga dipercaya sebagai objek
yang menjadi sumber nafkah bagi manusia. Di alamlah mereka bekerja untuk
menyambung hidup.
Puisi “Madhura Dhika Sokmana Bula” karya Yayan K.S. menyiratkan
bahwa garam yang berasal dari tanah pesisir menjadi sumber makanan bagi
manusia. Menurut Kuntowijoyo (2002:396), secara ekologis produksi garam
adalah salah satu alternatif dari pertanian. Ketika keadaan cuaca tidak
menguntungkan untuk pertanian, justru untuk produksi garam menguntungkan,
begitu sebaliknya. Bahkan, saat ini pertanian garam menjadi mata pencaharian
utama beberapa masyarakat di Madura.
Alam sebagai sumber nafkah juga terdapat pada kutipan mebacca tana
kerreng (membasahi tanah basah) dalam puisi “Pello Koneng” karya Kadarisman
yang menunjukkan bahwa manusia membutuhkan tanah untuk bertani. Menurut
De Jonge (dalam Wiyata, 2006:39), 70% sampai 80% dari keseluruhan penduduk
masih bergantung pada kegiatan-kegiatan agraris. Aktivitas-aktivitas bidang
9

pertanian tersebut tidak dapat berlangsung sepanjang tahun. Aktivitas menanam


padi hanya dapat dilakukan pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau
lahan-lahan pertanian biasanya ditanami ketela pohon, kacang-kacangan, kedelai,
umbi-umbian, dan tembakau. (Wiyata, 2006:39). Hal ini menunjukkan, seberapa
pun kerasnya alam, orang-orang Madura masih membutuhkan alam sebagai
sumber rejeki.
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara, masyarakat etnik Madura
menggambarkan alam sebagai objek yang memiliki perilaku yang mirip dengan
manusia. Pada kutipan Langngi’ agelle’ dan ombe’ terros ngejhungdalam puisi
“Fita” karya Salamet Wahedi tersebut menunjukkan bahwa alam bisa berperilaku
seperti manusia (tertawa dan menyanyi). Menurut Imron (dalam Piliang,
2011:135), masyarakat Madura pada zaman dahulu kerap berbicara dengan
ombak, berbisik-bisik dengan angin, berdialog dengan ilalang. Mereka berjalan
dan mematut-matut segala sesuatu. Mata mereka terlatih melihat sudut-sudut
sebuah tempat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat etnik Madura
memperlakukan alam sebagaimana manusia dan percaya bahwa alam hidup
seperti manusia.

PENUTUP
Dalam kumpulan puisi Nemor Kara, pandangan ketuhanan etnik Madura
meliputi Tuhan sebagai penguasa nasib manusia dan Tuhan sebagai penuntun ke
jalan yang lurus. Pandangan kemasyarakatan etnik Madura meliputi: bangga akan
identitas, tolong-menolong, serta kebersamaan dan persatuan. Pandangan pribadi
etnik Madura meliputi: etos kerja, penjagaan diri dari perilaku buruk, dan
penjunjungtinggian martabat. Sementara itu, pandangan kealaman etnik Madura
meliputi: alam sebagai hiburan, alam sumber nafkah, dan alam berperilaku seperti
manusia.
Panitia penyelenggara lomba menulis puisi berbahasa Madura bila
hendak mengadakan lomba menulis puisi berbahasa Madura lagi sebaiknya
menentukan tema puisi yang lebih jelas. Pakar budaya Madura dapat menjadikan
penelitian ini sebagai acuan untuk membuat program dan kebijakan mengenai
pelestarian pandangan hidup. Para pendidik dan tenaga kependidikan dapat
menjadikan penelitian ini sebagai referensi untuk menyusun rencana pemuatan
pandangan hidup etnik Madura (sebagai bagian dari karakter bangsa) dalam
kurikulum pendidikan. Temuan penelitian ini juga dapat menjadi bahan dalam
proses kreatif untuk para penyair Madura. Pemerintah dapat menjadikan hasil
penelitian ini sebagai dokumen tertulis tentang kekayaan budaya etnik Madura.
Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan untuk menentukan program
kebijakan-kebijakan yang menyangkut khalayak. Peneliti berikutnya dapat
menjadikan hasil penelitian ini sebagai rujukan dalam mengembangkan atau
menemukan gagasan baru pada objek yang sama.

DAFTAR RUJUKAN
Alwi, Hasan (Pemred). 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Balai
Pustaka: Jakarta.
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
10

Ashadi, Moh. Mahfud & Al-Farouk, Ghazi. 1992. Kosa Kata Basa Madura.
Surabaya: Sarana Ilmu.
Departemen agama RI. Al-Jumanatul Ali: Al-Quran dan Terjemahnya.
Terjemahan Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an. 2004. Bandung: J-Art.
Dwiwahyuni, Ida. 2011. Macam-macam Pandangan Hidup dan Pengertian
Ideologi, (Online), (www.idadwiw.wordpress.com), diakses 26 Januari
2011.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,
Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Imron, D. Zawawi. 2011. Mengenal Padangan Hidup Orang Madura, (Online),
(www.mediamadura.wordpress.com), diakases 4 Maret 2012.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura
1850—1940. Yogyakarta: Matabangsa.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-
batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Rozaki, Abdur. 2004. Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater
sebagai Rezim Kembar di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Sadik, A. Sulaiman. 2004. Busana, Salam & Nama Tempat Khas Pamekasan.
Makalah disajikan pada Sarasehan Pembakuan Busana dan Salam Khas
Pemekasan, Pamekasan, 6 November.
Wiyata, A. Latief. 2006. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang
Madura. Yogyakarta: LKiS.
Zubairi, A. Dardiri. 2011. Hidup Seimbang ala Orang Madura, (Online),
(www.sosbud.kompasiana.com), diakses 4 Maret 2012.

Anda mungkin juga menyukai