Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Multiple trauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada
regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi
dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas
fungsional (Lamichhane P, et al., 2011). Trauma masih menjadi penyebab kematian nomor
satu pada kelompok usia muda dan produktif di seluruh dunia. Di Indonesia, trauma
merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun
merupakan penyebab kematian utama. Cedera atau trauma adalah permasalahan yang
berkembang dengan tiga penyebab utama kematian secara global. Tiga hal tersebut adalah
kecelakaan lalu lintas, pembunuhan dan bunuh diri. Ketiga hal tersebut diperkirakan akan
meningkat dibandingkan dengan penyebab kematian lain. Kasus trauma terbanyak
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan
olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan.

2.1.1 Triad trauma


1. Koagulasi
Koagulopati pada trauma masih menjadi masalah besar dalam kesehatan
masyarakat. Kematian yang terjadi pada saat awal trauma biasanya disebabkan oleh
adanya perdarahan dalam jumlah besar. Perdarahan yang masif pada kasus trauma
mengakibatkan terjadinya koagulopati. Koagulopati adalah proses patologis yang
menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan. Koagulopati adalah kerusakan atau gangguan pada sistem
koagulasi yang menyebabkan peningkatan bleeding time (BT) atau peningkatan waktu
pembekuan darah (Thorsen et al.,2011).
Pada tahun 1982, Universitas Colorado di USA menerbitkan gagasan tentang
"bloody vicious cycle ", sebagai data penelitian klinis dan eksperimental
menunjukkan bahwa hipotermia dan asidosis merupakan faktor yang berperan dengan
kematian dini pada pasien trauma dengan koagulopati. "bloody vicious cycle" ini
kemudian disebut oleh orang lain sebagai lethal triad atau trias of death dan yang
terbaru telah diintegrasikan ke dalam konsep “Trauma Koagulopati Iatrogenik”.
Konsep ini merupakan dasar fundamental dari damage control surgery yang

40
diperkenalkan pada tahun 1983. Damage control surgery memprioritaskan manajemen
awal koagulopati, hipotermia, dan asidosis, meminimalkan waktu operasi hanya untuk
mencari sumber perdarahan yang signifikan dan minimalkan kontaminasi
gastrointestinal.
Penurunan konsentrasi sirkulasi protein koagulasi telah diteliti pada sukarelawan
sehat setelah pemberian cairan infus dan transfusi sel darah merah (PRC). Hasilnya
adalah adanya korelasi antara jumlah cairan resusitasi dengan penurunan sirkulasi
konsentrasi faktor koagulasi. Terjadinya dilusi atau pengenceran oleh karena cairan
resusitasi dan transfusi darah mengakibatkan sistem hemostasis semakin
memburuk(Thorsen et al.,2011).

Gambar. Mekanisme koagulopati pada trauma (John et al., 2008)

Gambar di atas menunjukkan mekanisme yang menyebabkan terjadinya


koagulopati pada trauma. Trauma menyebabkan adanya perdarahan sehingga
membutuhkan resusitasi. Resusitasi menyebabkan terjadinya hemodilusi dan
hipotermia sehingga terjadi koagulopati dan kembali menyebabkan perdarahan. Syok
yang terjadi akibat perdarahan menyebabkan terjadinya asidosis dan hipotermia yang
merangsang koagulopati dan kembali lagi terjadi perdarahan dan hal ini dikenal
dengan trias kematian pada trauma. Trauma dan syok berhubungan dengan konsumsi
faktor-faktor koagulasi dan fibrinolisis yang berakhir pada koagulopati. Selain itu,
koagulopati yang terjadi pada trauma dipengaruhi oleh inflamasi, genetik, medikasi
dan penyakit lain. (John et al., 2008).

2.2 Etiologi

Secara keseluruhan mengenai mekanisme cedera untuk sistem organ spesifik terus
meningkat. CIREN (Crash Injury Research and Engineering Network) telah berperan
penting dalam meningkatkan pengetahuan kita tentang cedera pada MCV. Misi dari

40
program ini adalah untuk meningkatkan pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi cedera
MCV, dengan demikian mengurangi kematian, cacat, dan biaya manusia dan ekonomi.
CIREN disponsori oleh Administrasi Keselamatan Lalu Lintas Jalan Raya Nasional dan
menggunakan pendekatan multidisiplin untuk menyelidiki kecelakaan. Informasi dari
program ini menunjukkan bahwa pengekangan sabuk pengaman yang tepat mengurangi
cedera kepala akibat tabrakan frontral, tetapi bukan tabrakan lateral, dan cedera intrusi
kontak yang umumnya menyebabkan cedera otak, hati, dan paru-paru. Banyak perubahan
rekayasa dalam desain kendaraan dapat ditelusuri ke temuan yang dibuat oleh investigasi
CIREN.
2.2.1 Trauma tumpul
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas. Pada
suatukecelakaan lalulintas, misalnya tabrakan mobil, maka penderita yang berada didalam
mobilakan mengalami beberapa benturan (collision) berturut-turut sebagai berikut :
1. Primary Collision
Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada pada posisi
masing-masing.Tabrakan dapat terjadi dengan cara : tabrakan depan (frontal), tabrakan
samping (TBone), tabrakan dari belakang, terbalik (roll over)
2. Secondary Collision
Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil (atau sabuk
pengaman).Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan sangat tergantung dari
arah tabrakan.
3. Tertiary Collision
Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam rongga
tubuh akanmelaju kearah depan dan mungkin akan mengalami perlukaan langsung
ataupun terlepas(robek) dari alat pengikatnya dalam rongga tubuh tersebut.
4. Subsidary Collision
Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang mengalami
tabrakanterpental kedepan atau keluar dari mobil. Selain itu barang-barang yang berada
dalam mobilturut terpental dan menambah cedera pada penderita.
2.2.2 Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak, sedangkan
bagian dalam tetap bergerak kedepan. Organ-organ terjepit dari belakang oleh bagian
belakang dinding torak oabdominal dan kulumnavetrebralis, dan didepan oleh struktur

40
yang terjepit. Pada organ yang berongga dapat terjadi apayang trauma. Mekanisme trauma
yang terjadi pada pengendara sepeda motor dan sepeda meliputi :
1. Benturan frontal
Bila roda depan menabrak suatu objek dan berhenti mendadak maka kendaraan akan
berputarkedepan,dengan momentum mengarah kesumbu depan. Momentum kedepan akan
tetap, sampai pengendara dan kendaraannya dihentikan oleh tanah atau benda lain.Pada
saat gerakan kedepan ini kepala, dada atau perut pengendara mungkinmembentur stang
kemudi. Bila pengendara terlempar keatas melewati stang kemudi, makatungkainya
mungkin yang akan membentur stang kemudi, dan dapat terjadi fraktur femurbilateral.
2. Benturan lateral
Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur terbuka atau tertutup tungkai
bawah. Jika sepeda / motor tertabrak oleh kendaraan yang bergerak maka akan rawan
untukmenglami tipe trauma yang sama dengan pemakai mobil yang mengalami tabrakan
samping.Pada tabrakan samping pengendara juga akan terpental karena kehilangan
keseimbangansehingga akan menimbulkan cedera tambahan.
3. Laying the bike down
Untuk menghindari terjepit kendaraan atau objek yang akan ditabraknya pengendara
mungkinakan menjatuhkan kendaraannya untuk memperlambat laju kendaraan dan
memisahkannyadari kendaraan. Cara ini dapat menimbulkan cedera jaringan lunak yang
sangat parah.

4. Helm (helmets)
Walaupun penggunaan helm untuk melindungi kepala agak terbatas
namunpenggunaannya jangan diremehkan. Helm didesain untuk mengurangi kekuatan
yangmengenai kepala dengan cara mengubah energi kinetik benturan melalui kerja
deformasi daribantalannya dan diikuti dengan mendistribusikan kekuatan yang menimpa
tersebut seluasluasnya.Secara umum petugas gawat darurat harus berhati-hati dalam
melepas helm korbankecelakaan roda dua, terutama pada kecurigaan adanya fraktur
servical harus tetap menjaga kestabilan kepala dan tulang belakang dengan cara teknik
fiksasi yang benar.
Secara umum keadaan yang harus dicurigai sebagai perlukaan berat (walaupun
penderitamungkin dalam keadaan baik) adalah sebagai berikut :
a. Penderita terpental , antara lain :
i. Pengendara motor

40
ii. Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor
iii. Tabrakan mobil dengan terbalik
iv. Terpental keluar mobil
b. Setiap jatuh dari ketinggian > 6 meter
c. Ada penumpang mobil (yang berada didalam satu kendaraan) meninggal.
2.2.3 Trauma ledakan (Blast Injury)
Ledakan terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu bahan dengan
volume yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi produk-produk gas. Produk
gas ini yang secara cepat berkembang dan menempati suatu volume yang jauh lebih besar
dari pada volume bahan aslinya. Bilamana tidak ada rintangan, pengembangan gas yang
cepat ini akan menghasilkan suatu gelombang tekanan (shock wave). Trauma ledakan
dapat diklasifikasikan dalam 3 mekanisme kejadian trauma yaitu primer, sekunder dan
tersier.
Trauma ledak primer merupakan hasil dari efek langsung gelombang tekanan dan
paling peka terhadap organ –organ yang berisi gas. Membran timpani adalah yang paling
peka terhadap efek primer ledak dan mungkin mengalami ruptur bila tekanan melampaui 2
atmosfir. Jaringan paru akan menunjukan suatu kontusi, edema dan rupture yang dapat
menghasilkan pneumothoraks. Cedera ledak primer ruptur alveoli dan vena pulmonaris
dapat menyebabkan emboli udara dan kemudian kematian mendadak. Pendarahan
intraokuler dan ablasio retina merupakan manifestasi okuler yang biasa terjadi, demikian
juga ruptur intestinal.
Trauma ledak sekunder merupakan hasil dari objek-objek yang melayang dan
kemudian membentur orang disekitarnya. Trauma ledak tersier Terjadi bila orang disekitar
ledakan terlempar dan kemudian membentur suatu objek atau tanah. Trauma ledak
sekuder dan tertier dapat mengakibatkan trauma baik tembus maupun tumpul secara
bersamaan.
2.2.4 Trauma tembus (Penetrating Injury)
1. Senjata dengan energi rendah (Low Energy)
Contoh senjata dengan energi rendah adalahpisau dan alat pemecah es. Alat ini
menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena energi rendah, biasanya
hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder. Cedera pada penderita dapat diperkirakan
dengan mengikuti alur senjata pada tubuh. Pada luka tusuk, wanita mempunyai kebiasaan
menusuk ke bawah, sedangkan pria menusuk keatas karena kebiasaan mengepal.Saat
menilai penderita dengan luka tusuk, jangan diabaikan kemungkinan luka tusuk multipel.

40
Inspeksi dapat dilakukan dilokasi, dalam perjalanan ke rumah sakit atai saat tiba di rumah
sakit, tergantung pada keadaan disekitar lokasi dan kondisi pasien.
2. Senjata dengan energi menengah dan tinggi (medium and high energy)
Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan senjata dengan
energi tinggi seperti senjata militer dan senjata untuk berburu. Semakin banyak jumlah
mesiu, maka akan semakin meningkat kecepatan peluru dan energi kinetiknya. Kerusakan
jaringan tidak hanya daerah yang dilalui peluru tetapi juga pada daerah disekitar alurnya
akibat tekanan dan regangan jaringan yang dilalui peluru.
2.3 Patofisiologi

Mekanisme cedera terkait dengan jenis kekuatan luka dan respon jaringan tersebut.
Pemahaman yang menyeluruh tentang dua aspek cedera ini membantu dalam menentukan
tingkat dan sifat kerusakan. Cedera terjadi ketika kekuatan merusak jaringan di luar batas
kerusakannya. Ini dapat menyebabkan kerusakan anatomis dan fisiologis. Kerusakan
anatomi, seperti patah tulang, biasanya akan sembuh dan fungsinya akan kembali.
Kerusakan fisiologis, seperti cedera sistem saraf pusat, mungkin permanen meskipun
terdapat proses penyembuhan. Mekanisme cedera dapat membantu menjelaskan jenis
cedera, memprediksi hasil akhirnya dan mengidentifikasi kombinasi cedera umum.
Pengetahuan tentang informasi ini meningkatkan manajemen trauma pada pasien.
Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi cedera adalah kecepatan tumbukan,
bentuk objek, dan kekakuan jaringan. Jaringan tubuh memiliki resistensi inersia serta
kekuatan tarik, elastis, dan tekan. Kekuatan tarik sama dengan jumlah ketegangan yang
dapat ditahan oleh suatu jaringan dan kemampuannya untuk menahan kekuatan regangan.
Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk melanjutkan bentuk dan ukuran aslinya
setelah diregangkan. Kekuatan tekan mengacu pada kemampuan untuk menahan gaya
terjepit atau tekanan ke dalam. Setiap kali kekuatan melebihi kekuatan jaringan
maksimum, fraktur atau robekan terjadi.
Kekuatan adalah faktor fisik yang mengubah gerakan tubuh baik saat istirahat atau
sudah bergerak. Itu dihitung dengan persamaan berikut:

Kekuatan = Massa x Akselerasi

Semakin lambat gaya diterapkan, semakin lambat energi dilepaskan, dengan


deformasi jaringan yang lebih sedikit. Jika gaya yang sama hilang di area permukaan yang

40
luas, gangguan jaringan akan berkurang. Gaya yang paling sering diterapkan adalah
akselerasi, deselerasi, geser, dan kompresi. Akselerasi adalah perubahan kecepatan atau
kecepatan benda yang bergerak. Saat kecepatan meningkat, demikian juga kerusakan
jaringan. Deselerasi adalah penurunan kecepatan benda yang bergerak. Gaya geser terjadi
melintasi pesawat, dengan struktur tergelincir relatif satu sama lain. Resistansi tekan
adalah kemampuan suatu benda atau struktur untuk menahan gaya terjepit atau tekanan ke
dalam.

40
2.5 Manifestasi

Manifestasi klinis cedera kepala pada klien yang mengalami multiple trauma menurut
Baughman (2010), meliputi:
a. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur.
b. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pengembangan pada area tersebut.
c. Fraktur pada basal tulang tengkorak seringkali menyebabkan hemoragi dari hidung,
faring, atau telinga, dan darah mungkin akan terlihat pada konjungtiva.
d. Ekimosis mungkin terlihat diatas mastoid (tanda Battle).
e. Drainase cairan serebro spinal dan telinga dan hidung menandakan fraktur basal
tulang tengkorak.
f. Drainase CSF dapat menyebabkan infeksi serius, y.i., meningitis melalui robekan
dura meter.
g. Cairan serebro spinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi otak atau
kontusio.
2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik pada klien Multiple Vehicle Accident, tergantung deri cedera
yang dialami klien. Menurut Satyanegara (2010), kecelakaan lalu lintas adalah
penyebab tersering (49%) seseorang mengalami cedera kepala. Maka pemeriksaan
diagnostiknya meliputi (Muttaqin 2008):
1. Pemeriksaan Sken Komputer Tomografi Otak (CT scan)
Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostic standar terpilih (gold standard) untuk
kasus cedera kepala mengingat selain prosedur ini tidak invasive (sehingga aman),
juga memiliki kehandalan yang tinggi. Dalamhal ini dapat diperoleh informasi yang
lebih jelas tentangkondisi lokasi dan adanya perdarahan intrakranial, edema, kontusi,
udara, benda asing intracranial, serta pergeseran struktur di dalam rongga tengkorak.
2. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI memiliki keunggulan untuk melihat perdarahan kronis maupun kerusakan otak
yang kronis.
3. Angiografi serebral.

40
4. EEG berkala.
5. Foto rontgen, mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. PET, mendeteksi perubahan aktivitas metabolic otak.
7. Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi: dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
8. Kadar elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intrakranial.
9. Skrining toksikologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
10. Analisa Gas Darah (AGD), adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan status
respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini
adalah status oksigenasi dan status asam basa.
2.7 Penatalaksanaan

Manajemen cedera diprioritaskan untuk mengobati cedera yang mengancam nyawa


terlebih dahulu, mengikuti urutan ABCDE. Pengecualian ini adalah korban yang
menderita perdarahan perifer. Hal ini telah menyebabkan pengembangan dari urutan
CABC, di mana C merupakan singkatan untuk bencana perdarahan (Hodgetts, 2002).
Mengancam jiwa, perdarahan eksternal dikendalikan, maka urutan ABC yang biasa
diikuti.
Pada korban dengan obstruksi jalan napas dalam beberapa menit, mengamankan
jalan napas pasien selalu menjadi prioritas. Setelah jalan napas terbuka, korban harus
diberi oksigen dan dipasang ventilasi jika napas tidak memadai (ATLS, 2004).
Selama manajemen berlangsung, asumsi selalu dibuat dimana kerusakan servikal
dan tulang belakang lumbal thoraco mungkin terjadi. Stabilitas tulang belakang leher
harus dilindungi sampai leher dijamin bebas dari risiko cedera (Hodgetts, 2006).
1. Primary survey
1) Airway
Napas dibuka awalnya dengan 'manuver tangan ' angkat dagu dan dorong rahang,
kepala tidak boleh dimanipulasi dan harus dalam posisi netral. Jika darah, air liur atau
muntah ada dalam napas, suction harus digunakan. Jika 'tangan kosong' teknik yang tidak
memadai, saluran udara orofaringeal atau nasofaring (NP) jalan napas harus hati-hati
ditempatkan untuk mencegah aspek posterior lidah menghalangi faring. NP saluran udara

40
sangat berguna bagi korban dalam menghalangi saluran udara yang dipertahankan dari gag
refleks untuk menahan orofaringeal, namun mereka harus digunakan hati-hati pada korban
dengan patah tulang tengkorak basal dengan klinis jelas. Jika manuver ini tidak berhasil,
ada perangkat seperti Laringeal Mask Airway (LMA), yang dapat dimasukkan ke dalam
situasi sulit (Hodgetts, 2002).
Definitif nafas securement dengan intubasi atau krikotiroidotomi sangat sulit dalam
korban terjebak. Tanpa penggunaan obat bius dan otot relaksan, korban hanya dapat
diintubasi.
Penilaian patensi jalan nafas terjadi dengan cara biasa dimulai dengan membuka
jalan nafas dan mencari bukti obstruksi jalan nafas. Mungkin juga ada cedera langsung
pada area maksilofasial, laring, atau trakea. Selama manajemen jalan nafas, gerakan yang
berlebihan dari putaran serviks harus dihindari, dan leher harus diimobilisasi baik dengan
peralatan stabilisasi dengan kerah keras, karung pasir dan selotip atau stabilisasi in-line
manual, di mana asisten memegang kepala dan leher. posisi netral. Ini membatasi manuver
pembukaan jalan napas yang dapat dilakukan untuk mengangkat dagu dan dorong rahang,
dan dapat membuat saluran udara orofaring lebih sulit untuk dimasukkan. Saluran napas
nasofaring harus dihindari jika ada risiko fraktur tengkorak basal.
Membangun jalan napas definitif
Tanda-tanda obstruksi jalan napas, gangguan pernapasan, atau perlindungan jalan
napas yang tidak adekuat untuk mengurangi tingkat kesadaran berarti yang diperlukan
untuk mengamankan jalan napas definitif. Membangun jalan napas definitif pada pasien
trauma dengan induksi urutan cepat dapat menjadi tantangan. Setidaknya tiga asisten
diperlukan: satu orang untuk mempertahankan stabilisasi in-line tulang belakang leher,
satu untuk memberikan tekanan krikoid dan peralatan jalan nafas kepada ahli anestesi, dan
satu orang untuk memberikan obat-obatan. Agen induksi harus dipilih dengan hati-hati;
thiopentone dan propofol harus digunakan dengan hati-hati pada pasien hipovolemik
karena risiko kolaps kardiovaskular, ketamin dapat meningkatkan tekanan intrakranial
(meskipun penelitian lebih lanjut sedang berlangsung) dan etomidat sekarang dikenal
secara luas sebagai penyebab supresi adrenal. Laringoskopi langsung dengan pisau
Macintosh mungkin sulit karena kurangnya gerakan leher. Adjuncts seperti bougie dapat
menjadi peralatan jalan nafas yang tak ternilai dan sulit seperti jalan nafas laring intubasi
atau laringoskop tidak langsung seperti Glidescope, McGrath atau Airtraq, di mana
visualisasi pita suara dicapai secara tidak langsung baik melalui sistem optik atau video,
harus disediakan. Bahkan di tangan operator yang paling terampil, kadang-kadang

40
mustahil untuk mengintubasi trakea. Dokter anestesi harus mengingat bor intubasi yang
gagal, dan bersiaplah untuk melakukan jarum cricothyroidotomy jika perlu.
2) Breathing
Dalam praktiknya, pengkajian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi sering
dilakukan secara bersamaan oleh anggota tim trauma yang berbeda. Semua pasien trauma
diberikan oksigen aliran tinggi dan dipantau dengan oksimetri nadi. Jika gangguan
pernapasan tidak berkurang dengan membersihkan jalan napas, maka cari etiologi lain
dengan:
- Observasi - cari gerakan dada asimetris, segmen flail, luka dada terbuka,
deviasi trakea, dan urat leher buncit.
- Auskultasi - dengarkan gerakan udara di kedua sisi.
- Perkusi - perkusi jika ada hiper-resonansi atau dull percussion notes (mungkin
sulit di ruang trauma yang bising).
Tension pneumotoraks ditangani dengan dekompresi jarum segera di ruang
interkostal kedua mid-klavikula, diikuti oleh insersi drainase dada. Pneumo- dan
haemothoraces dikelola dengan thoracocentesis. Pastikan akses vaskular dengan lubang
besar tersedia sebelum drainase hemotoraks karena kolaps kardiovaskular dapat terjadi
pada saat dekompresi. Cacat terbuka yang besar pada dinding dada dapat menghisap udara
sehingga menyebabkan pneumotoraks terbuka. Ini dapat dikelola pada awalnya dengan
menerapkan pembalut oklusif steril yang ditempel di tiga sisi, dan kemudian letakkan
drainase dada yang jauh dari luka sesegera mungkin. Segmen flail menyebabkan hipoksia
melalui nyeri saat bernafas dan kontusio paru yang mendasarinya dan pasien cenderung
memburuk sebelum membaik. Pasien dengan trauma dada harus dipantau secara ketat dan
diberikan analgesia yang memadai. Harus ada ambang batas rendah untuk intubasi dan
ventilasi.
Setelah jalan napas dibuka dan aman, penilaian pernapasan korban dibuat. Jika
bernapas baik, oksigen diberikan dengan laju alir 5 L/menit. Jika ada keraguan bahwa
pernapasan tidak memadai, maka ventilasi harus didukung dengan bag-valve-mask
(BVM). Ini harus memiliki reservoir yang melekat dengan oksigen mengalir dari 15 L /
menit. Kecukupan oksigenasi harus dinilai oleh penilaian klinis seperti warna bibir untuk
mendeteksi sianosis, atau menggunakan pulse oksimetri. Kecukupan ventilasi dapat dinilai
oleh penilaian klinis ekspansi dada dan suara napas, atau penggunaan elektronik end tidal
karbon dioksida (EtCO2) monitor (Clasper, 2004).

40
Tidak adanya bunyi nafas menunjukkan pneumothoraks atau hemothoraks. Sebuah
pneumothoraks harus diperbaiki secepatnya karena merupakan cedera yang mengancam
jiwa, dan harus segera didekompresi dengan jarum besar (14 gauge) kanula intravena
melalui interkostal kedua di garis mid – clavicularis pada sela iga VVI.
Open atau Sucking pneumothoraks harus ditutup dengan plester pada tiga sisi -sisi
keempat terbuka untuk mencegah tension pneumotoraks berkembang. Ventilasi tekanan
positif kemungkinan untuk mempercepat konversi tension pneumothoraks menjadi
pneumothorax sederhana. Jika korban yang diintubasi dan berventilasi, dan
pneumothoraks dicurigai, simple thoracostomy dibuat di ruang intercostal 5, anterior garis
mid-clavikularis. Hal ini memungkinkan tension pneumothoraks untuk di dekompresi
3) Circulating
Syok pada trauma sebagian besar disebabkan oleh hipovolemia sekunder akibat
perdarahan. Syok kardiogenik karena tamponade mungkin sulit dideteksi secara klinis,
tetapi secara klasik menyebabkan hipotensi, urat leher buncit dan bunyi jantung yang
teredam. Syok neurogenik terjadi akibat gangguan pada jalur simpatis menurun di sumsum
tulang belakang. Hal ini menyebabkan hilangnya tonus vasomotor dan persarafan simpatis
ke jantung, sehingga menyebabkan hipotensi dan bradikardia. Syok septik saat masuk
jarang terjadi, tetapi mungkin ada jika transfer ke rumah sakit telah ditunda atau jika
rongga peritoneum terkontaminasi dengan isi usus.
Tanda-tanda klinis syok hipovolemik yang paling dapat diandalkan adalah periferal
yang dingin dan waktu pengisian kapiler yang tertunda. Takikardia mungkin tidak selalu
ada (misalnya jika pasien menggunakan agen penghambat beta) dan hipotensi adalah tanda
terlambat. Basis defisit dan pengukuran laktat adalah penanda sensitif untuk
memperkirakan dan memantau tingkat perdarahan dan syok. Akses vaskular dengan
lubang besar harus dilakukan; dalam kasus di mana ini sulit, alat penyisipan intra-osseous
untuk orang dewasa mulai populer atau akses femoral, subklavia atau jugular internal
dapat diupayakan. Pencarian menyeluruh harus dilakukan untuk lokasi perdarahan di dada,
perut, panggul, dan tulang paha, dan sumbernya harus dikontrol sesegera mungkin.
Pemeriksaan sonografi terfokus pada trauma (FAST) sekarang digunakan di samping
tempat tidur di ruang trauma untuk mendeteksi hemoperitoneum atau tamponade
perikardial. CT scan dapat memberikan pencitraan yang lebih rinci, tetapi mengharuskan
pasien untuk secara hemodinamik stabil untuk transfer. Kegagalan syok hemoragik untuk
merespon pemberian cairan dan darah di unit gawat darurat merupakan indikasi untuk
intervensi operasi segera. Fraktur panggul yang tidak stabil yang menyebabkan perdarahan

40
mayor dapat distabilkan dengan melilitkan selembar panggul sebagai selempang atau
dengan menggunakan pakaian anti kejut pneumatik, dan embolisasi mungkin diperlukan.
Perdarahan eksternal dikendalikan terutama oleh tekanan langsung dengan
dressing, dan anggota tubuh di elevasi jika memungkinkan. Metode lain yang digunakan
adalah penggunaan tourniquet, dressintag hemostatik juga dapat digunakan pada setiap
tahap (Hodgetts, 2002).
Torniket tidak dianjurkan dalam perawatan pra-rumah sakit, karena signifikan
menimbulkan risiko komplikasi serius. Tidak tepat diterapkan torniket dalam perdarahan
karena hasil di distal ekstremitas menjadi iskemia, dan menyebabkan kerusakan tekanan
langsung pada kulit, otot dan saraf. Namun, dengan cedera ekstremitas dapat
mengakibatkan perdarahan (Hodgetts, 2006).
Shock cenderung merupakan hasil dari perdarahan yang tidak terkendali baik
eksternal atau ke internal (dada, perut, panggul, dan beberapa tulang panjang). Kehilangan
cardiac output juga dapat disebabkan oleh tension pneumothorax atau tamponade jantung.
Tamponade jantung paling sering dikaitkan dengan trauma tembus dada pada garis putting
anterior atau scapula posterior.
Shock berat menyebabkan aktivitas listrik pulseless (PEA) atau henti jantung
asystolic merupakan indikasi untuk thoracostomy bilateral dan atau pembukaan clamshell
dada.
Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian
oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung
dan alat-alat vital lainnya. Ini adalah prosedur darurat menyelamatkan nyawa yang
dilakukan ketika pernapasan seseorang atau detak jantung telah berhenti. Hal ini mungkin
terjadi setelah sengatan listrik, serangan jantung, atau tenggelam(Hazinski MF, Samson R,
Schexnayder S. 2010). Berdasarkan Advanced Trauma Life Support, Dosis awal
pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak
dengan tetesan cepat. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap
pemberian cairan awal:
a. Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan

40
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih
diperlukan
b. Respon sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah
c. Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau
kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya (ATLS, 2008)
4) Disabilitas
Pemeriksaan neurologis yang cepat menentukan tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, dan tingkat cedera sumsum tulang belakang.Glasgow Coma Score (GCS)
kurang dari atau sama dengan 8 adalah indikasi untuk intubasi untuk perlindungan jalan
napas. Bahkan dengan GCS yang lebih tinggi, jika pasien gelisah dan tidak dapat
ditenangkan, intubasi mungkin diperlukan untuk memungkinkan penyelidikan dan
manajemen yang tepat untuk melanjutkan. Ingatlah bahwa penurunan tingkat kesadaran
juga mungkin disebabkan oleh penurunan oksigenasi dan perfusi otak, dan masalah lain
seperti hipoglikemia, keracunan alkohol, atau penyalahgunaan obat. Pasien harus benar-
benar terpapar untuk memungkinkan pemeriksaan menyeluruh tanpa membiarkan
hipotermia berkembang, dan pada tahap ini di mana, jika stabil, pasien biasanya digulung
untuk memungkinkan pemeriksaan tulang belakang dan tulang belakang serta
pengangkutan tulang belakang. naik.
Clearance of the cervical spine
Cidera tulang belakang leher dapat dikecualikan pada pasien yang secara neurologis
normal jika tidak ada rasa sakit, kelembutan atau kelainan bentuk di sepanjang tulang
belakang dan tidak ada cedera yang mengganggu. Namun, jika semua kriteria ini tidak
terpenuhi maka pembersihan lebih bermasalah, dan risiko kehilangan cedera yang
signifikan pada koma, pasien poltrauma di ICU harus ditimbang terhadap morbiditas dan
mortalitas tindakan pencegahan tulang belakang dalam hal ulserasi kulit, pneumonia dan
sepsis. Sebagian besar pusat trauma sekarang melakukan CT scan leher, dan risiko

40
kehilangan cedera tulang belakang leher yang tidak stabil dengan pemindai modern kurang
dari 0,5%. MRI memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk ketidakstabilan ligamen,
tetapi memiliki spesifisitas yang rendah. Sebagian besar rumah sakit sekarang memiliki
protokol sendiri untuk prosedur dalam situasi ini. The Intensive Care Society
menyarankan bahwa tulang belakang dapat dibersihkan berdasarkan CT saja, dan yang
tidak dianggap penting untuk secara rutin melakukan MRI untuk menyingkirkan cedera
ligamen
2. Secondary survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk
mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi setelah
survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan perawatan definitif
(JRCALC,2008). Sangat membantu untuk menentukan prioritas untuk evaluasi dan
manajemen lanjutan. Ini harus dilakukan setelah survei utama, dan stabilisasi awal selesai.
Tujuan dari survei sekunder adalah untuk memperoleh data historis terkait tentang pasien
dan cederanya, serta untuk mengevaluasi dan mengobati cedera yang tidak ditemukan
selama survei primer. Survei tidak boleh dilakukan sampai:
- Survei utama telah selesai
- Resusitasi telah dimulai
- Normalisasi tanda-tanda vital telah dimulai.
Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat ditemukan selama
survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan jangka panjang morbiditas jika diabaikan,
misalnya dislokasi sendi kecil. Komponen dari survei sekunder adalah:
- Riwayat cedera
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan neurologis
- Tes diagnostik lebih lanjut
- Evaluasi ulang
Pasien yang secara hemodinamik tidak stabil harus distabilkan sebelum dipindahkan
ke ruang operasi atau ruang angiografi, kecuali jika mereka perlu dipindahkan ke pusat
trauma yang ditunjuk negara. Upaya harus dilakukan untuk mendapatkan riwayat pasien
mengenai mekanisme cedera, karena mekanisme tertentu dapat meningkatkan kecurigaan
untuk cedera tertentu seperti:
- Trauma tumpul (penggunaan sabuk pengaman, penyebaran kantung udara,
tingkat kerusakan pada mobil, ejeksi, dan jarak yang dikeluarkan)

40
- Trauma tembus (yang senjata api dan berapa banyak suara tembakan).
Pemeriksaan head to toe:

1) Pemeriksaan kepala dan wajah


Periksa kepala untuk mengetahui hematoma kulit kepala, depresi tengkorak, atau
laserasi. Kulit kepala harus diraba, karena laserasi kulit kepala atau step-off tulang hanya
dapat diidentifikasi dengan palpasi yang cermat. No nasogastric tube (NG) harus
dimasukkan jika ada trauma wajah atau bukti fraktur tengkorak basilar. Selain itu, telinga
harus dievaluasi untuk hemotympanum atau ecchymosis retro-auricular (tanda
Pertempuran). Adanya darah atau drainase yang jernih dari saluran telinga menunjukkan
fraktur tengkorak basilar dengan kebocoran serebrospinal (CSF).
Ukuran dan respons pupil, serta gerakan mata, harus dinilai. Pemeriksaan mata juga
harus mencakup mobilitas mata / jebakan, atau ekiorosis periorbital (mata rakun).
2) Pemeriksaan leher
Leher harus diperiksa dan diraba dengan cermat. Hati-hati karena cedera di bawah
kerah keras mungkin tidak jelas. Diasumsikan bahwa setiap pasien dengan trauma tumpul
mungkin mengalami cedera pada tulang belakang leher, sampai terbukti sebaliknya. C-
spine dapat dibersihkan baik secara klinis dengan menerapkan aturan keputusan, atau
dengan mendapatkan studi pencitraan, seperti foto polos atau CT scan.
3) Pemeriksaan dada
Palpasi seluruh dinding dada untuk krepitus (emfisema subkutan) dan nyeri tekan.
Area di atas sternum dan klavikula membutuhkan perhatian khusus karena fraktur yang
melibatkan tulang ini mungkin menunjukkan kekuatan yang signifikan dan perlu evaluasi
lebih lanjut untuk cedera intratoraks lain. Kaji setiap upaya pernapasan dan bekerjalah saat
bernafas. Evaluasi apakah bunyi napas simetris dan bunyi jantung normal dan tidak
teredam
4) Pemeriksaan perut
Perut harus diperiksa untuk distensi, bising usus, memar atau nyeri tekan. Kehadiran
temuan ini membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Juga, adanya tanda sabuk pengaman atau
tanda lain ke perut harus mendorong evaluasi lebih lanjut. Penting untuk diingat bahwa
tidak adanya kelembutan perut tidak menghilangkan kemungkinan cedera perut. Selain itu,
pemeriksaan perut mungkin tidak dapat diandalkan dalam kasus-kasus berikut:
- Populasi lansia
- Adanya cedera yang mengganggu

40
- Kondisi mental yang berubah
- Pasien hamil, terutama kehamilan lanjut
- Pemeriksaan rektum dan genitalia.
Perineum harus diperiksa jika ada bukti cedera. Pemeriksaan rektal digital harus
dilakukan ketika ada kecurigaan cedera uretra atau menembus cedera rektum. Seperti:
- Darah kotor di ruang dubur, yang mungkin mengindikasikan cedera usus
- Prostat yang mengungsi atau berkuda, yang mungkin menunjukkan cedera uretra
- Nada sfingter abnormal, yang mungkin disebabkan oleh cedera tulang belakang.
Jika ada darah di meatus, cedera uretra harus dicurigai. Dalam situasi ini,
urethrography retrograde harus dilakukan sebelum kateter Foley
dimasukkan.Pertimbangkan cedera vagina pada pasien dengan nyeri perut bagian bawah,
fraktur panggul, atau laserasi perineum. Dalam situasi seperti itu, pemeriksaan vagina
harus dilakukan.
5) Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas harus dinilai untuk fraktur dengan meraba setiap ekstremitas secara hati-
hati pada seluruh panjangnya untuk nyeri tekan dan mengurangi rentang gerak. Nilai
integritas sendi yang tidak terluka oleh gerakan aktif dan pasif. Sendi yang tidak terluka
harus diimobilisasi, dan radiografi harus diperoleh. Sendi yang terluka juga harus
diimobilisasi, dan radiografi harus diperoleh.
Status neurovaskular setiap ekstremitas harus dinilai dan didokumentasikan. Periksa
pulsa, waktu pengisian kapiler dan evaluasi setiap kompartemen. Adanya kompartemen
nyeri atau tegang yang signifikan. Nyeri dengan gerakan pasif dapat mengindikasikan
perkembangan sindrom kompartemen.
6) Pemeriksaan panggul
Pubis dan duri iliaka anterior harus dievaluasi untuk tanda-tanda ketidakstabilan
panggul. Kehadiran ekimosis di atas sayap iliaka, pubis, labia, atau skrotum dan nyeri
tekan di sepanjang cincin panggul juga, membutuhkan evaluasi diagnostik.
7) Pemeriksaan kulit
Pemeriksaan ini harus mencakup lokasi laserasi, lecet, ekimosis, hematoma, tanda
atau memar. Perhatikan daerah kulit kepala, lipatan perut dan gluteal aksila, perineum,
punggung harus dievaluasi dengan menggulung log pasien, dan tulang belakang harus
dipalpasi untuk step-off atau kelembutan fokus.

40
.

40

Anda mungkin juga menyukai