PERTEMUAN 5:
PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN KASUS: LAPORAN
GANDA BANK LIPPO
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
5.1 Mampu mengidentifikasi penyebab dan permasalahan etika dalam kasus
yang dibahas.
B. URAIAN MATERI
Kontroversi
Bank Lippo dan Kelompok Usaha Lippo berhasil tumbuh dan berkembang
menjadi salah satu bank dan konglomerat terkemuka di Indonesia dalam tempo
yang relatif singkat. Namun demikian, keberhasilan yang mengesankan ini diikuti
pula oleh beberapa catatan kontroversi yang terjadi pada bank dan kelompok
usaha ini.
Kontroversi awal dari kelompok usaha Lippo ini bersumber dari strategi Lippo
untuk mengembangkan usahanya dengan memanfaatkan akuisisi internal. Akuisisi
internal merupkan strategi yang populer dilakukan oleh kelompok konglomerat
sejak tahu 1991 di mana perusahaan-perusahaan dalam kelompok usaha yang
sama saling melakukan akuisisi (cross holding) dengan harga yang ditetapkan
secara internal untuk perusahaan yang tidak tercatat di bursa atau menggunakan
harga pasar yang telah direkayasa untuk perusahaan tercatat. Tren akuisisi internal
terjadi karena belum ada peraturan pasar modal yang membatasi strategi tersebut.
Konglomerat memanfaatkan akuisisi internal sebagai strategi pertumbuhannya
karena dengan akuisisi internal, perusahaan dalam satu grup dapat meningkatkan
permodalannya sekaligus memperkuat kekuatannya untuk membuat utang.
Dengan akuisisi, perusahaan dapat mengeluarkan sejumlah saham baru sehingga
kembali mendapat agio. Agio ini kemudian dapat dijadikan saham bonus.
Lippo memulai rekayasa akuisisi internal pada pertengahan tahun 1992 melalui
Lippo Pasific Finance (LPF) yang sudah terdaftar di BEJ sebelum Bank Lippo.
LPF melakukan akuisisi internal terhadap kepemilikan keluarga Mochtar Riady di
enam perusahaan dalam Kelompok Usaha Lippo, yaitu Bank Lippo, Lippo Life,
Lippo Land, Lippo Industries, Multipolar, dan Orient Pride Leasing. Dari akuisisi
internal ini, Lippo berhasil memperoleh dana sebesar Rp 257 miliar dan
meningkatkan aset LPF, 25 kali lipat, dari 129 miliar menjadi Rp 3,4 triliun.
Akuisisi internal yang dilakukan oleh LPF tersebut menduduki peringkat ketiga
pada saat itu, dilihat dari jumlah perusahaan yang diakuisisi dan dan yang
dilibatkan, setelah akuisisi internal yang dilakukan oleh Indocement dan Japfa.
Tiga tahun kemudian, pada tahun 1996, Lippo kembali melakukan restrukturisasi
kepemilikannya di tiga perusahaan, yaitu Lippo Securities, Lippo Life, dan Bank
Lippo melalui sejumlah transaksi rekayasa akuisisi internal. Setelah itu, berkali-
kali kelompok usaha Lippo menggelar aksi penambahan modal melalui penerbitan
saham baru. Akibatnya, di kalangan pasar modal, anak-anak perusahaan
kelompok usahan Lippo dikenal black hole, istilah untuk makhluk yang sellau
rakus menyedot dana publik.
Setelah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998, lebih banyak lagi terjadi
kontroversi pada kelompok usaha Lippo. Kontroversi pertama adalah masuknya
Bank Lippo dalam kelompok pertama program rekapitalisasi yang diumumkan
pada bulan Februari 1999. Pada program rekapitalisasi kelompok pertama ini,
pemerintah akan memberikan penyertaan sebesar Rp 4,26 triliun kepada dua belas
bank yang terdiri atas sepuluh bank pembangunan daerah dan dua bank swasta
nasional. Satu dari dua bank swasta nasional tersebut adalah Bank Lippo yang
akan memperoleh dana rekapitalisasi sebesar Rp 3,75 triliun atau hampir 90% dari
dana yang disediakan. Program rekapitalisasi ini diikat dalam suatu perjanjian
investasi, manajemen, dan kinerja (IMK) yang memberikan keuntungan bagi
kelompok usaha Lippo sebagai pemilik Bank Lippo, yaitu tidak dilarang untuk
tetap terlibat dalam pengelolaan bank dan dapat memiliki kembali bank.
bank pemerintah. Pada akhir bulan Desember 1998, Bank lippo telah melakukan
hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) dan menghasilkan Rp 950 miliar
atau 20% dari kebutuhan tambahan modal yang sebesar Rp 4,75 triliun. Dengan
tambahan modal sebesar 20% dari total kebutuhan tambahan modal, Bank Lippo
telah memenuhi syarat untuk mengikuti program rekapitulasi. Kontroversi terjadi
karena Bank Lippo telah melakukan penambahan modal melalui HMETD ini
sebelum ada ketentuan apa pun mengenai program rekapitulasi termasuk
persyaratan tambahan modal sebesar 20% yang jumlahnya sesuai dengan
penambahan modal yang telah dilakukan.
Kontroversi yang terkait dengan Bank Lippo ini ternyata berlanjut karena hasil
audit bulan April 1999 menunjukkan bahwa Bank Lippo membutuhkan tambahan
dana yang lebih besar, yaitu sebesar Rp 8,7 triliun. Sementara itu, pemerintah
belum melakukan penyetoran modal sebagaimana yang telah diputuskan
sebelumnya. Bank Lippo lalu menyiapkan penerbitan saham baru tahap kedua
untuk memenuhi persyaratan mengikuti program rekapitulasi. Namun, pada saat
proses penawaran disiapkan, pemerintah menyetorkan dana sebesar Rp 7,7 triliun.
Dengan masuknya tambahan modal dari penerbitan saham baru maka Bank Lippo
memperoleh kelebihan dana sebesar Rp 2,9 triliun yang seharusnya segera
dikembalikan kepada pemerintah. Namun, Bank Lippo baru mengembalikannya
pada bulan Maret 2000 sebesar Rp 1,67 triliun, sedangkan sisanya digunkaan
untuk menutupi negative spread yang terjadi antara bulan Maret 1999 sampai
dengan bulan Juli 1999.
pegawai dari Lippo Securities, Ciptadana, dan Intan Artha Pratama memperoleh
sanksi dari Bapepam.
Dalam tulisan-tulisannya yang dianggap mencemarkan nama baik, Lin Che Wei
mengungkapkan bahwa Laporan Ganda Bank Lippo hanyalah bagian kecil dari
rangkaian manuver yang dilakukan oleh Bank Lippo dan Kelompok Usaha Bank
Lippo untuk meguasai kembali aset mereka dengan harga murah yang
mengakibatkan pemerintah harus menanggung kerugian besar.
hingga akhir tahun 1998 kredit bermasalah Bank Lippo mencapai 84,88%.
Sebelum direkapitalisasi, Bank Lippo melakukan pengambilalihan jaminan
(foreclosure) atas kredit bermasalah tersebut. Aset yang diambil alih sekitar Rp
2,4 triliun. Dengan menyita jaminan maka pada nerasa Bank Lippo sudah bersih
dari kredit bermasalah. Pembersihan neraca ini membebaskan Bank Lippo dari
kewajiban menyelesaikan permasalahan Batas Maksimum pemberian Kredit
(BMPK) yang menjadi prasyarat rekapitalisasi sekaligus menghindari
pemeriksaan BI yang berisiko untuk menjadikan pengelola bank sebagai daftar
orang terlarang (DOT). Strategi penyitaan ini memungkinkan kelompok usaha
Lippo serta memungkinkan kelompok usaha Lippo untuk membeli kembali saham
Bank Lippo.
Upaya kelompok usaha Lippo untuk memperoleh kembali AYDA dirintis pada
tahun Agustus 2000. Pada saat itu, dilakukan pengalihan OREO (Other Real
Estate Owned), yang merupakan bagian dari AYDA, senilai Rp 1,2 triliun kepada
Pasific Growth Recovery Fund Ltd., sebuah perusahaan yang berbasis di
Kepulauan Cayman dengan memberikan potongan sebesar 20% dan sisanya
dicicil. Direktur Bank Lippo, Eddi Handoko, mengakui bahwa 40% saham Pasific
Growth Recovery Fund Ltd., tersebut dimiliki oleh kelompok usaha Lippo.
Penjualan ini dilakukan tanpa persetujuan RUPS. Setahun kemudian, transaksi ini
dibatalkan oleh BPPN dengan alasan penjualan tersebut tidak menghasilkan dana
yang masuk ke Bank Lippo.
Upaya untuk memperoleh kembali AYDA dilakukan kembali pada bulan Oktober
2002, pada saat manajemen Bank Lippo menghadap BPPN. Pada saat itu,
dialporkan bahwa kondisi bank mengkhawatirkan karena diperhitungkan akan
merugi sebesar Rp 1,3 triliun pada akhir tahun. Jika perhitungan modal
disesuaikan dengan International Best Practice dan kondisi ekonomi maka pad
akhir tahun 2002 CAR Bank Lippo akan minus sebesar 0,99 persen.
Manajemen Bank Lippo telah membuat tiga skenario untuk penambahan modal.
Skenario pertama, jika hanya untuk memenuhi ketentuan BI, Bank Lippo hanya
memerlukan suntikan modal sebesar Rp 782 miliar. Dengan demikian, pada akhir
tahun 2003, CAR Bank Lippo akan mencapai 8,53 persen. Skenario kedua, Bank
Sesuai dengan dokumen “Rencana Strategis bank, Presentasi kepada BPPN” yang
disampaikan dalam rapat tersebut, manajemen Bank Lippo telah mengusulkan
penambahan modal melalui HMETD, yang didahului dengan reverse stock
(membesarkan nilai nominal saham dengan menjadikan sepuluh saham menjadi
satu saham) dan penjualan AYDA.
Reverse stock yang dilaksanakan pada pertengahan bulan Desember 2002 dinilai
oleh analis pasar mdoal sebagai bagian dari upaya penguasaan kembali Bank
Lippo. Harga saham yang naik sepuluh kali lipat akibat reverse stock
menghindarkan saham Bank Lippo dari ketentuan batas saham minimum yang
boleh diperdagangkan sebesar Rp 10,00. Dengan demikian, reverse stock
memberikan ruang yang lebih leluasa bagi saham Bank Lippo untuk bergerak
turun naik. Reverse stock juga memudahkan saham Bank Lippo untuk dikuasai
karena tingkat penyebarannya relatif rendah.
Bersamaan dengan penjelasan dan paparan publik Bank Lippo mengenai rencana
penambahan modal, Lin Che Wei mengamati beberapa broker secara bergantian
berusaha untuk menekan harga saham Bank Lippo di pasar dengan melakukan
transaksi ganjil satu menit sebelum penutupan pasar selama empat puluh hari
berturut-turut sejak tanggal 4 November 2002 sampai dengan 10 Januari 2003.
Akibatnya, harga saham Bank Lippo jatuh dari Rp 450 pada tanggal 4 November
menjadi Rp 210 (titik terendah).
Dalam tulisannya, Lin Che Wei mempersoalkan turunnya nilai AYDA yang
sangat signifikan. Berdasarkan data yang diperoleh, 70% dari AYDA ini
merupakan properti, sedangkan sisanya adalah saham milik kelompok usaha
Lippo, yaitu Lippo Cikarang, Lippo Karawaci, Lippo Securities, Bukit Sentul,
Hotel Prapatan, dan Panin Insurance. Menurutnya, berdasarkan konsultasi dengan
ahli properti, harga properti di Indonesia tahun 2002 jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun 1998. Dalam banyak kasus, harga tahun 2002 telah
mencapai dua sampai tiga kali harga tahun 1998. Sementara itu, dalam Laporan
Tahunan Bank Lippo dijelaskan bahwa Bank Lippo menggunakan pendekatan
mark-to-market dalam melaporkan nilai aset-aset tersebut, pelaporan aset yang
dinilai mengikuti harga pasar, ia sulit memahami terjadinya penurunan aset yang
sangat signifikan.
Menurut Standar Penilaian Indonesia (SPI) terdapat dua tujuan utama penilaian,
yaitu penilaian untuk laporan keuangan dan penilaian untuk jaminan pelunasan
utang. Basis nilai terdiri atas nilai pasar (market value) dan nilai nonpasar (non-
market value). Basis nilai nonpasar antara lain berupa nilai jual paksa (forced sale
value/liquidation value), nilai realisasi bersih (net realizable value), nilai pasar
untuk penggunaan yang ada (market value for the existing use), dan beberapa
lainnya. Pernyataan Stndar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 31 mengatur
bahwa agunan kredit yang diambil alih diakui sebesar nilai bersih yang dapat
direalisasikan, yaitu nilai wajar agunan kredit yang diambil alih diakui sebesar
nilai bersih yang dapat direalisasikan, yaitu nilai wajar agunan dikurangi dengan
estimasi biaya pelepasan.
Bank Lippo menggunakan nilai jual paksa dalam penilaian AYDA yang dilakukan
pada bulan Desember 2002 karena pada saat itu memang akan dilakukan
penjualan AYDA dalam waktu yang relatif singkat. Dengan demikian, perubahan
nilai AYDA menjadi sangat signifikan akibat pendekatan yang berbeda.
Andang melihat penilaian AYDA yang dilakukan oleh Bank Lippo memiliki
kelemahan. Menurutnya, penilaian AYDA secara keseluruhan harus dilakukan
oleh satu perusahaan penilai saja, atau paling tidak satu konsorsium perusahaan
penilai. Berbagai instrumen penilaian, seperti pendekatan, asumsi, dan
penyesuaian data pembanding yang digunakan dalam penilaian harus sama.
Menurutnya, “Dengan tiga penilai, tidak bisa kalau kemudian penilaian berbagai
aset yang menggunakan pendekatan berbeda-beda tersebut digabungkan begitu
saja. Tidak valid. Apalagi untuk dijadikan dasar untuk laporan keuangan.”
signifikan. Hal serupa juga terjadi dalam penilaian tanah bangunan dan
kelengkapan Water Boom seluas 34.000 meter persegi.
Pada akhir bulan Januari 2003, BPPN meminta Bank Lippo untuk menugasi
Satyagama guna melakukan penghitungan ulang atas AYDA. Dari laporan hasil
revaluasi aset yang disampaikan pada akhir bulan Februari 2001, penurunan nilai
AYDA tidak seperti perhitungan sebelumnya. Dari nilai buku Rp 2,685 triliun,
nilai pasar aset tersebut kini Rp 2,347 triliun. Dengan nilai aset Lippo sebesar Rp
2,347 triliun maka CAR Bank Lippo diperkirakan mencapai di atas 20%. Dengan
pencapaian CAR sebesar itu, Bank Lippo tidak memerlukan suntikan modal baru.
Sementara itu, di kalangan pasar modal dan perbankan muncul wacana bahwa
para pengelola Bank Lippo, termasuk presiden Komisaris dan pendiri Bank Lippo,
Mochtar Riyadi, dapat dimasukkan dalam DOT BI. Hal itu dapat dilakukan jika
Sejumlah pengamat pasar modal dan perbankan, seperti Mirza Adityaswara dan
Lin Che Wei, bahkan bersikap lebih keras. Mereka menyatakan para pengelola
Bank Lippo harus masuk DOT agar Kelompok Usaha Lippo tidak dapat
mengambil kepemilikan saham yang ada di tangan pemerintah dengan cara tidak
wajar.
Sesuai dengan permintaan BEJ, Bank Lippo melakukan pemaparan publik pada
tanggal 11 Februari 2003. Paparan ini dinilai kabur. Banyak pertanyaan yang
tidak diberikan jawaban langsung. Ketika ditanya, apakah AYDA yang kemudian
turun nilainya itu dijual kepada perusahaan afiliasi, Direktur Bank Lippo,
Rachmawati, hanya mengatakan bahwa menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI),
tidak ada aset yang tercatat di buku yang merupakan afiliasi dengan pinjaman
grup. Sebelumnya, Presiden Direktur Bank Lippo, I Gusti Made Mantera, bahkan
mengatakan tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut karena pada saat kejadian
dirinya belum menjabat sebagai Presdir. Lebih lanjut, menjawab pertanyaan
mengenai penurunan nilai merupakan penilaian dari penilai (appraisal) dan
manajemen tidak tahu-menahu mengenai penurunan nilai aset tersebut.
Menurut Mantera, dalam laporan audit, angka-angka setelah tanggal neraca sudah
mengalami perubahan. Laporan ke BEJ pada tanggal 27 Desember tersebut
dilakukan setelah adanya peristiwa setelah tanggal neraca (subsequent event).
Sementara itu, Komisaris Bank Lippo yang merupakan wakil dari BPPN, Anggito
Abimanyu-yang kebetulan ditanya sebelum mengikuti rapat kerja Menteri
Keuangan, Boediono, dan Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-
menyatakan bahwan sebenarnya tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh Direksi
Bank Lippo dalam laporan keuangannya. Kalaupun terjadi kelalaian, itu adalah
kesalahan mencantumkan kata “audited” (sudah diaudit), padahal laporan
keuangan itu sebenarnya belum diaudit (unaudited). Dengan kelalaian itu,
masalahnya sebenarnya sudah jelas dan hanya tinggal menunggu keputusan
Bapepam saja.
Penjelasan yang lebih lengkap dan lugas diberikan oleh Wakil Presiden Komisaris
Bank Lippo, Roy E. Tirtadji, Wakil Presiden Komisaris yang dikenal sebagai
wakil keluarga Mochtar Riady, dalam wawancaranya dengan beberapa media
pada awal bulan Maret 2003. Ia menegaskan bahwa pihaknya sama sekali tidak
memiliki intensi apalagi melakukan apa yang dituduhkan berbagai phak selama
ini dalam kasus Bank Lippo.
Roy tidak bersedia menjawab siapa debitur asli pemilik AYDA. “Ada asas
kerahasiaan bank sehingga saya tidak bisa memberi tahu Anda. Saya profesional
dan harus menuruti peraturan yang berlaku.” Roy membantah bahwa PBI hanya
mewajibkan kerahasiaan nasabah dan simpanannya, bukan soal kredit, dan ia
tidak tahu ada peraturan yang mengharuskan bank memublikasikan aset yang
diambil alih.
Roy mengakui bahwa sebagian dari AYDA berasal dari kelompok usaha Lippo
(Lippo Karawaci). Namun, ia menolak ada keterkaitan antara Lippo Karawai
dengan Bank Lippo karena berdasarkan peraturan yang berlaku, perusahaan
publik yang minimal 30% sahamnya dimiliki oleh masyarakat tidak dianggap
terafiliasi. Ia tidak membantah bahwa Lippo memanfaatkan celah hukum, tetapi
tidak melanggar hukum.
Selanjutnya, Roy menjelaskan bahwa dengan turunnya nilai CAR, Bank Lippo
harus menambah modal agar bank tetap hidup. Pada bank Lippo, ada uang
pemerintah senilai Rp 6 triliun yang harus diselamatkan. Selain itu, Bank Lippo
memiliki nasabah sebanyak 33,5 juta orang dan 6.462 orang karyawan. Roy juga
dengan lugas menjawab tuduhan pengamat mengenai rekayasa harga saham. “
Saya berani mengonfirmasikan bahwa tidak ada pengurus Bank Lippo yang
bermain saham. Cek saja,” ujarnya.
Pergeseran keputusan ini diduga akibat “tekanan” yang diberikan oleh Koalisi
Masyarakat Antiskandal Bank Lippo. Selasa minggu lalu, sehari sebelum rapat di
Kemenkeu itu, Teten Masduki, Faisal Basri, Lin Che Wei, Iskandar Sonhadji, dan
lainnya mendatangi kantor Bapepam di Lapangan Banteng. Menurut Teten
Masduki, koordinator koalisi, kedatangan mereka didasarkan atas kekecewaan
terhadap pernyataan Herwidayatmo sebelumnya yang dinilai terlalu membela
manajemen Bank Lippo.
Dalam pertemuan tertutup itu, Herwidayatmo menjelaskan dua hal. Untuk kasus
laporan keuangan ganda, pihaknya akan mengenakan sanksi administratif saja
meskipun sebenarnya itu tergolong pelanggaran pidana. Langkah itu diambil
karena jika diserahkan kepada kejaksaan maka akan berlarut-larut, belum tentu
berhasil, sedangkan publik meminta hukuman segera dijatuhkan. Penyelidikan
unsur pidana hanya akan diarahkan pada hal manipulasi perdagangan saham
meskipun masih memerlukan dua-tiga bulan lagi untuk dirampungkan. Rencana
keputusa ini kemudian diprotes oleh koalisi karena Undang-Undang Pasar Modal
menyatakan penyesatan informasi masuk ke dalam kategori pelanggaran pidana.
Pada hati yang dijanjikan, yaitu tanggal 17 Maret 2003, Ketua Bapapem,
Herwidayatmo, mengumumkan putusan atas kasus laporan ganda Bank Lippo di
Gedung BI Jakarta. Ia tidak sendiri, tetapi didampingi oleh DGS BI, Anwar
Nasution, Kepala BPPN Syafruddin Temenggung, da Direktur Utama BEJ Erry
Firmansyah-di Gedung BI, Jakarta.
manuver ini bagian dari skenario meloloskan Mochtar Riady agar terbebas dari
kemungkinan tindak lanjut penyelidikan oleh Kejaksaan Agung dan BI.
Dua minggu setelah pemberian sanksi kepada Direksi Bank Lippo dan Auditor
Ruchyat Kosasih, Kemenkeu mengumumkan pemberian sanksi peringatan kepada
Ruchyat Kosasih. Ia dinyatakan bersalah karena tidak menjalankan prosedur
pengujian yang cukup atas informasi manajemen Bank Lippo yang menurunkan
kategori kredit salah satu debitur dan membentuk PPAP untuk kategori tersebut.
Namun demikian, kesalahan tersebut tidak berpengaruh terhadap Laporan
Keuangan Bank Lippo per 30 September 2002 dan secara keseluruhan audit atas
PPAP investasi dalam surat berharga, PPAP kredit yang diberikan , dan AYDA
posisi per 30 September 2002 telah sesuai dengan Standar Profesional Akuntan
Publik (SPAP).
Sementara itu, Kemenkeu memberikan sanksi berupa pencabutan izin selama satu
tahun kepada dua penilai AYDA Bank Lippo, yaitu Andang Kosasih dari
perusahaan penilai PT Provalindo Nusa dan Bagus Wiyono dari perusahaan
penilai PT Pronilai Konsulis Indonesia, dan sanksi peringatan kepada Firman
Sagaf dari PT Satyagama Graha Tara.
Kesalahan lainnya adalah pada penilaian tanah yang di atasnya terdapat bangunan
mal. Dalam laporan penilaian, Bagus Wiyono tidak mengungkapkan dan
memperhitungkan keberadaan mal. Sementara itu, dalam penilaian terhadap ruang
perkantoran delapan lantai seluas 4.668 meter persegi, Bagus Wiyono
Kesalahan Firman Sagaf adalah dalam menilai dua puluh objek tanah kosong. Ia
menggunakan data pembanding yang hanya didasarkan pada harga per meter
persegi. Spesifikasi data lainnya tidak diungkapkan dalam leporan penilaian dan
kertas kerja. Sementara itu, pada penilaian terhadap tiga objek penilaian berupa
hotel, kondominium, dan resor ditemukan ketidakkonsistenan dalam
memperhitungkan unsur beban, yaitu antara data historis dengan data pasar.
Putusan Bapepam ini menimbulkan reaksi tajam dan kritik dari berbagai pihak,
termasuk dari dalam Bapepam sendiri. Tersebar berita bahwa sebenarnya dari
pemeriksaan awal sudah ditemukan indikasi pelanggaran Pasal 91 dan 92
Undang-Undang Pasar Modal. Kedua pasal itu masing-masing mengatur tentang
larangan membuat transaksi semu dan larangan melakukan dua transaksi saham
atau lebih-yang menyebabkan harga saham naik atau turun-dengan tujuan
memengaruhi pihak lain untuk menjual atau membeli.
Indikasi tersebut dapat ditemui pada laporan BEJ kepada Ketua Bapepam pada
tanggal 3 Mei 2003. Laporan tersebut disusun setelah BEJ memeriksa 46
perusahaan sekuritas selama masa perdagangan tanggal 1 Agustus 2002 hingga 25
Februari 2003. Selama masa itu, BEJ menganggap ada transaksi yang tidak wajar,
terutama pada periode yang disebut anomali, dari 28 November hinggan 27
Desember 2002. Laporan tersebut menyebutkan bahwa terdapat enam nasabah
yang sangat aktif melakukan mutasi saham dan mengirimkan hasil dana penjualan
saham ke sebuah rekening di Bank Lippo. Setelah ditelusuri, pemilik rekening itu
ternyata Ciptadana.
Hasil pemeriksaan BEJ juga menunjukkan bahwa saham itu hanya dimiliki oleh
nasabah tertentu. Aliran saham pun menunjukkan sumbernya berasal dari para
nasabah yang mengirimkan dana hasil penjualan saham Bank Lippo ke rekening
milik Ciptadana. Abraham Bastari, Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan
Persengkolan baru dapat dibuktikan jika para pelakunya ketahuan seara bersama-
sama memiliki iktikad dan merencanakan untuk melakukan manipulasi pasar. “ini
yang tidak bisa dibuktikan.” Dengan alasan ini, Bapepam memutuskan tidak
meningkatkan status pemeriksaan menjadi penyidikan pidana. “ Kami bisa
ditertawakan kejaksaan,” begitu dalih Abraham.
C. SOAL DISKUSI
Diskusikanlah kasus di atas dan jawablah pertanyaan di bawah ini:
1. Jelaskan pelanggaran etika apa yang terjadi dan dalam bentu apa?
D. DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Emil, Kasus-Kasus Etika Bisnis dan Profesi, Salemba Empat, 2008.