DISUSUN OLEH:
Agung Prasetyo I4061192005 Nanda Eka Putri I4061192020
Zulfikar D. K. Nindo I4061192012 Margareta Silvia I4061192021
Tasia R. L. Simaremare I4061192014 Khairunnisa I4061192022
Solideo Gloria Tering I4061192015 Irmaningsih I4061192023
Shafira Kurnia Warianti I4061192016 Dellaneira Ananda I4061192026
Rodiah I4061192017 Andri Muhrim Siddiq I4061192028
Ponco Cahyawaty I4061192018 Gerry Albilardo I4061192061
Pembimbing:
dr. Wahyu Dwi Atmoko, Sp.F
NIP. 19770224 201001 1 005
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal
Oleh:
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian mendadak menurut World Health Organization (WHO) adalah kematian yang
terjadi pada 24 jam sejak gejala-gejala timbul, namun pada kasus kasus forensik, sebagian
besar kematian terjadi dalam hitungan menit atau bahkan detik sejak gejala pertama timbul.
Kematian mendadak tidak selalu tidak terduga, dan kematian yang tak diduga tidak selalu
terjadi mendadak, namun amat sering keduanya ada bersamaan pada suatu kasus. Pengertian
mati mendadak sebenarnya berasal dari sudden unexpected natural death yang didalamnya
terkandung kriteria penyebab yaitu natural (alamiah, wajar). Mendadak disini diartikan
sebagai kematian yang datangnya tidak terduga dan tidak diharapkan.1
Ilmu kedokteran forensik pada dasarnya tidak hanya berhubungan dengan kasus kematian
tidak wajar (unnatural death) seperti pembunuhan, bunuh diri dan kecelakaan, namun kasus
kematian yang alami dapat menjadi kasus forensik bila kematian itu mendadak atau
dicurigai adanya faktor-faktor luar sebagai faktor pencetus kematian (undetermined death).2
Akhir- akhir ini kasus kematian mendadak yang disebabkan oleh penyakit menunjukkan
peningkatan. Data di Amerika Serikat menyebutkan kematian mendadak dialami oleh
setidaknya 300.000 orang setiap tahunnya. Pada umumnya kematian mendadak setelah
dilakukan investigasi diketahui penyebabnya adalah penyakit. Pada kasus kematian
mendadak yang disebabkan oleh penyakit, seringkali mendatangkan kecurigaan baik bagi
para penyidik, masyakat atau keluarga yang disertai dengan kecurigaan mengenai adanya
unsur kriminal pada kasus kematian mendadak. Kecurigaan tersebut terutama disebabkan
masalah TKP (tempat kejadian perkara) yaitu bukan di rumah korban atau di rumah sakit
melainkan di tempat umum. Karena alasan tersebut, kematian mendadak termasuk kedalam
kasus forensik, walaupun hasil otopsinya menunjukkan kematian yang diakibatkan oleh
misalnya penyakit jantung koroner, perdarahan otak atau pecahnya aneurisma serebri.
Menurut buku romans forensic penyakit yang dapat menimbulkan kematian yang mendadak
dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu menurut sistem kardiovaskular, sistem pernafasan,
sistem saraf pusat, sistem saluran cerna, serta sistem urogenital.3,4 Di Indonesia, seperti yang
dilaporkan Badan Litbang Departemen
Kesehatan RI, persentase kematian akibat penyakit ini meningkat dari 5,9% (1975) menjadi
9,1% (1981), 16,0% (1986) dan 19,0% (1995).5
Meskipun kematian mendadak biasanya disebabkan oleh penyakit jantung koroner,
perdarahan otak ataupun pecahnya aneurisma serebri sebaiknya sebagai tenaga kesehatan
tidak langsung menyatakan kematian tersebut sebagai kematian yang disebabkan secara
alami oleh penyakit, dimana pada beberapa kasus juga bisa ditemukan kematian mendadak
karena disengaja atas dasar kriminalitas. Dengan demikian, dokter harus mampu
mengidentifikasi kematian sehingga kematian yang terjadi dapat ditentukan termasuk wajar
atau diduga tidak wajar. Dalam proses identifikasi kematian sangat diperlukan pemeriksaan
standar kedokteran forensik. Pemeriksaan ini dapat dilakukan apabila diminta oleh penyidik
seperti yang dijelaskan di pasal 133 KUHAP ayat 1 berbunyi “Dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”.
Keterangan ahli disini adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter yaitu disebut
Visum et Repertum (VeR).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Menjelaskan tentang kematian mendadak dan asfiksia
b. Menjelaskan tentang aspek forensik pada kematian mendadak dan asfiksia
c. Menjelaskan pemeriksaan yang dapat dilakukan pada kematian secara mendadak
dan asfiksia
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pemeriksaan luar pada korban
b. Melakukan pemeriksaan dalam pada korban
c. Mengetahui penyebab, dan mekanisme kematian pada korban
C. Manfaat
a. Bagi penulis
Sebagai sarana pembelajaran mengenai visum pemeriksaan luar dan pemeriksaan
dalam
b. Bagi pembaca
Mengetahui tentang kematian mendadak dan asfiksia
Mengetahui tentang aspek forensik pada kematian
c. Bagi kepolisian
Hasil pemeriksaan luar dan dalam dilaporkan dalam visum et repertum sebagai bukti
yang sah secara hukum mengenai keadaan terakhir korban
BAB II
PEMERIKSAAN JENAZAH
A. Identitas
Nama : Sumiyati
Tempat, tanggal lahir : Solo, 1 Juli 1950
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Dk. Sanggrahan RT 04 RW 01 Ds. Grogol Kec. Grogol
Kab. Sukoharjo
Pemeriksaan luar dan otopsi dilakukan sesuai surat permintaan visum sebagai berikut:
B. Kronologis
Dari keterangan penyidik, pada tanggal 10 Februari 2021, korban tersebut
ditemukan telah meninggal dunia di dalam toko kelontong milik korban.
C. Pemeriksaan
Luar
1. Keadaan jenazah
Jenazah terletak di atas meja otopsi tampak kantong jenazah berwarna kuning
berbahan terpal tidak ada tulisan dan tidak berlogo. Kantong jenazah dibuka
tampak satu jenazah dalam keadaan utuh. Jenazah memakai pakaian di bagian
bawah, cincin emas di jari manis kanan dan cincin perak di jari manis kiri, di
kedua daun telinga terpasang anting.
3. Kaku jenazah
Tidak terdapat kaku jenazah pada seluruh persendian, mudah digerakan.
4. Bercak jenazah
Tidak terdapat bercak jenazah pada seluruh tubuh jenazah.
5. Pembusukan jenazah
Terdapat tanda pembusukan lanjut pada seluruh tubuh jenazah.
6. Ukuran jenazah
Panjang badan seratus lima puluh sentimeter.
7. Kepala
a. Rambut
Berwarna hitam tak beruban, lurus, mudah dicabut dalam keadaan basah.
Depan panjang, samping kanan panjang, samping kiri panjang, belakang
panjang ukuran tiga puluh sentimeter. Bagian yang tertutup rambut terdapat
pembusukan lanjut.
c. Dahi
Tidak ditemukan adanya luka, memar, dan tidak teraba derik tulang,
terdapat pembusukan lanjut.
d. Mata kanan
Terbuka satu sentimeter, kelopak mata, kelopak mata bagian luar sewarna
kulit sekitarnya, kelopak mata bagian dalam pucat. Sekitar mata tampak
berwarna hitam kehijauan, pada perabaan teraba kenyal, tidak teraba derik
tulang, terdapat pembusukan lanjut.
f. Hidung
Dari kedua lubang tidak keluar cairan, tidak tampak luka, memar, dan
tidak teraba derik tulang, terdapat pembusukan lanjut.
g. Mulut
Mulut dalam keadaan terbuka delapan sentimeter ditemukan gigi palsu
pada bagian atas. Dari lubang mulut tidak keluar cairan. Bibir atas dan bawah
tampak kehitaman. Tidak ada luka, memar, dan tidak teraba derik tulang.
Lidah menjulur. Kondisi dalam mulut dan gigi geligi sulit dievaluasi karena
tertutup oleh lidah.
pembusukan lanjut.
10. Perut
Permukaan perut lebih tinggi sepuluh sentimeter daripada permukaan dada.
Pada perut sebelah kanan dan kiri bawah tidak terlihat perubahan warna. Pusar
terlihat datar. Tidak didapatkan luka dan memar. Pada perabaan teraba keras. Pada
ketukan terdengar suara redup pada seluruh lapang perut, terdapat tanda
pembusukan.
Gambar 13. Perut jenazah.
11. Alat kelamin
Jenis kelamin perempuan. Tidak didapatkan rambut kelamin. Dari lubang
kelamin tidak keluar cairan.
b. Kiri
Tidak terdapat luka. Memar dan derik tulang tidak teraba. Jaringan
dibawah kuku jari merah kebiruan dan kuku tumbuh tidak melewati ujung
jari. Terdapat tanda-tanda pembusukan lanjut.
15. Pantat
Tidak terdapat luka, memar dan tidak teraba derik tulang. Terdapat tanda-
tanda pembusukan lanjut.
16. Dubur
Tidak terdapat luka maupun memar. Terdapat tanda-tanda pembusukan lanjut.
D. Pemeriksaan Dalam
1. Setelah kulit dada dibuka
Tidak terdapat luka. Tidak terdapat patah tulang. Tinggi sekat rongga dada
kanan setinggi ruang antar rusuk empat dan dada kiri setinggi ruang antar rusuk
lima. Setelah tulang dada dibuka, tidak terdapat pelebaran pembuluh darah.
Bagian jantung yang terlihat pada bagian atas selebar delapan sentimeter dan pada
bagian bawah selebar dua belas sentimeter. Tidak terdapat adanya luka. Jantung,
paru-paru beserta jalan napas diangkat, tidak ditemukan cairan.
3. Paru kanan
Terdiri dari tiga bagian. Terdapat perlekatan, mudah dilepas, berwarna merah
kehitaman, konsistensi menyerupai spons, tepi lancip, permukaan tidak rata.
Ukuran panjang dua puluh dua sentimeter, lebar tujuh belas sentimeter, tinggi dua
koma lima sentimeter, berat tiga ratus tujuh puluh satu gram. Pada pengirisan,
warna jaringan berwarna merah kehitaman dan pada pemijatan keluar cairan merah
kehitaman tanpa disertai buih.
4. Paru kiri
Terdiri dari dua bagian. Terdapat perlekatan, mudah dilepas, berwarna merah
kehitaman, konsistensi menyerupai spons, tepi lancip, permukaan tidak rata.
Ukuran panjang delapan belas sentimeter, lebar empat belas sentimeter, tinggi tiga
sentimeter, berat dua ratus lima puluh enam gram. Pada pengirisan, warna
jaringan berwarna merah kehitaman dan pada pemijatan keluar cairan merah
kehitaman tanpa disertai buih.
TINJAUAN PUSTAKA
A. ASFIKSIA
1. Definisi Asfiksia
Asfiksia berasal dari bahasa Yunani, a yang berarti "tanpa", dan sphygmos yang
berarti "denyut". Istilah ini digunakan untuk kondisi kurangnya suplai oksigen yang
berat sebagai akibat kegagalan pernapasan secara normal.6
Asfiksia adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh berkurangnya oksigen dan
berlebihnya karbon dioksida dalam darah. Hal ini terjadi oleh karena adanya gangguan
pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah
kapiler paru-paru.3 Secara umum asfiksia disebabkan oleh karena penyumbatan saluran
pernapasan, trauma dan keracunan bahan kimiawi.8 Kasus kematian akibat asfiksia
cukup mendapatkan perhatian karena mekanisme kematiannya sangat cepat. Penurunan
kesadaran dapat terjadi dalam waktu 40 detik kemudian korban meninggal setelah
beberapa menit.9
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik,
dibandingkan dengan penyebab yang Iain seperti penyebab alamiah ataupun
keracunan.
3. Epidemiologi Asfiksia
Asfiksia merupakan salah satu penyebab kematian yang sering ditemukan dalam
kasus kedokteran forensik di dunia. Menurut data dari Centers for Disease Control
(CDC) tahun 1999-2004 di Amerika Serikat didapatkan sekitar 20.000 kasus kematian
disengaja maupun tidak disengaja.12 Di Pakistan, menunjukkan bahwa jumlah total
kematian akibat asfiksia sebanyak 130 kasus kematian dari total 3.265 kasus kematian.
Kematian akibat gantung diri merupakan yang paling banyak terjadi.13 Studi yang
dilakukan di India mendapatkan hasil kematian akibat asfiksia sebanyak 3960 kasus
(21,23%) dari total kematian 18.648 pada tahun 2009-2011. 14 Di Indonesia sendiri
kematian akibat asfiksia berada pada urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas (KLL)
dan trauma mekanik.15 Berdasarkan data yang dilaporkan di Bagian Kedokteran
Forensik FK UI RSUP Cipto Mangunkusumo tahun 1995- 2004, angka bunuh diri di
Jakarta mencapai 5,8%. Dari
1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% bunuh diri dengan minum
obat serangga, dan sisanya 356 tewas karena overdosis obat-obatan terlarang. Kasus
bunuh diri tersebut disebabkan karena masalah psikologis, sosial, dan ekonomi.16
4. Patofisiologi Asfiksia17
Hipoksia Kehilangan oksigen bisa bersifat parsial (hipoksia) atau total (anoksia).
Hipoksia dapat diberi batasan sebagai suatu keadaan dimana sel gagal untuk dapat
melangsungkan metabolism secara efisien. Dahulu untuk keadaan ini disebut anoksia
yang setelah dipelajari ternyata pemakaian istilah anoksia itu sendiri tidak tepat. Dalam
kenyataan sehari-hari merupakan gabungan dari 4 kelompok. Kelompok tersebut
adalah:
1) Hipoksik-hipoksia (dahulu anoksik-anoksia) Keadaan dimana oksigen tidak dapat
masuk aliran darah atau tidak cukup bisa mencapai aliran darah, misalnya pada
orang-orang yang menghisap gas inert, berada dalam tambang atau pada tempat
yang tinggi dimana kadar oksigen berkurang.
2) Stagnan-hipoksia (dahulu stagnant circulatory anoxia) Terjadi karena gangguan
sirkulasi darah (embolism).
3) Anemik-hipoksia (dahulu anemic anoxia) Darah tidak mampu mengangkut oksigen
yang cukup. Bisa karena volume darah kurang.
4) Histotoksik-hipoksia (dahulu histotoxic tissue anoxia) Pada keadaan ini sel-sel tidak
dapat mempergunakan oksigen dengan baik, hal ini dapat disebabkan oleh faktor-
faktor berikut:
a. Extra celluler: sistem enzim oksigen terganggu. Misalnya pada keracunan
HCN, barbiturate dan obat-obatan hypnotic. Pada keracunan HCN, cytochrome
enzim hancur sehingga sel-sel mati. Sedangkan barbiturate dan hypnotic hanya
sebagai sistem cytochrome enzim yang terganggu. maka jarang menimbulkan
kematian sel kecuali pada overdosis.
b. Intra celluler: terjadi karena penurunan permeabilitas sel membrane, seperti
yang terjadi pada pemberian obat-obatan anesthesia yang larut dalam lemak
(chloroform, ether, dan Iain-lain).
c. Metabolit: sisa-sisa metabolism tidak bisa dibuang, misalnya pada uremia dan
keracunan CO2.
d. Substrat: bahan-bahan yang diperlukan untuk metabolism kurang. Misalnya
pada hipoglikemia.
Pada tahun-tahun terakhir ini, penyebab kematian tersering pada kasus kematian
mendadak adalah penyakit kardiovaskular, sedangkan pada beberapa dekade yang lalu
dilaporkan bahwa penyebab kematian tersering adalah penyakit infeksi saluran pernapasan.
Sebagai perbandingan, dapat dilihat bahwa penyakit kardiovaskular ditemukan pada 61,6%
dari 17.653 kasus kematian mendadak yang diperiksa di Hamburg dari tahun 1936 hingga
1964. Sedangkan Helpem dan Rabson melaporkan sebesar 44,9% dari 2030 kasus, oleh
Weyrich sebesar 42% dari 2668 kasus dan Lauren sebesar 51% dari 403 kasus.
PENYAKIT KARDIOVASKULAR18
Lebih dari 50% penyakit kardiovaskular adalah penyakit jantung iskemik akibat sklerosis
koroner. Urutan berikutnya adalah miokarditis, kelainan katup, refleks viserovagal,
hipersensitifitas karotid, sinkope vasovagal, ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit.
MIOKARDITIS18
Miokarditis biasanya tidak menunjukkan gejala dan sering terjadi pada dewasa muda.
Diagnosis miokarditis pada kematian mendadak hanya dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan histopatologik. Otot jantung harus diambil sebanyak minimal 20 potongan dari
20 lokasi yang berbeda untuk pemeriksaan ini. Pada pemeriksaan histopatologik tampak
peradangan interstisial dan/atau parenkim, edema, perlemakan, nekrosis, degenerasi otot
hingga miolisis. Infiltrasi lekosit berinti jamak dan tunggal, plasmosit dan histiosit tampak
jelas.
HIPERTONI18
Hipertoni ditegakkan dengan adanya hipertrofi otot jantung disertai dengan tanda-tanda
lain seperti: (a) perbendungan atau tanda-tanda dekompensasi; (b) sklerosis pembuluh
perifer serebral (2/3 kasus); (c) status lakunaris pada ganglia basal; (d) sklerosis arteria
folikularis limpa; dan (e) arteriosklerosis ginjal. Hipertrofi jantung tersendiri belum dapat
menjelaskan kematian, meskipun dikatakan bahwa berat 500 gram adalah batas berat
jantung yang disebut sebagai berat kritis (critical weight). Hipertrofi jantung juga tidak
selalu merupakan penyakit (misalnya penyakit hipertensi menahun), tetapi dapat pula
bersifat fisiologis, yang dapat dijumpai pada sebagian atlet.
ANALISIS KASUS
Jenazah perempuan usia 70 tahun ditemukan meninggal dunia di dalam toko milik korban
kelontong pada hari Rabu, 10 Februari 2021 di Dk. Sanggrahan RT 04 RW 01 Ds. Grogol Kec.
Grogol Kab. Sukoharjo. Korban dibawa ke Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal
RSUD Dr. Moewardi pada hari Kamis, 10 Februari 2021 untuk dimintakan visum pemeriksaan
luar dan dalam sesuai dengan surat permintaan Visum et Repertum dari Kepolisian Resor
Sukoharjo. Tujuan dari visum kasus ini adalah untuk mengetahui penyebab kematian,
mengeliminasi kemungkinan kematian karena kriminalitas, dan mengonfirmasi waktu kematian
untuk pembuatan surat kematian.
Jenazah terletak di atas meja otopsi tampak kantong jenazah berwarna kuning berbahan
terpal tidak ada tulisan dan tidak berlogo. Tidak terdapat kaku jenazah pada seluruh persendian
dan mudah digerakkan. Kaku jenazah mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis dari otot-
otot kecil (bagian luar tubuh) menuju bagian dalam tubuh. Kaku jenazah menjadi lengkap setelah
mati klinis 12 jam dan dipertahankan hingga 24 jam, kemudian menghilang. Kaku jenazah terjadi
karena pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi telah habis. Energi ini
digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Jika cadangan glikogen dalam otot telah habis,
maka energi tidak dapat terbentuk, kompleks aktin-miosin selama kontraksi menjadi tetap dan
tidak berubah, menyebabkan otot gagal untuk berelaksasi dan menjadi kaku. Setelah mencapai
fase akhir, protein aktin dan miosin mengalami degradasi, menyebabkan kaku mayat
menghilang.21,22 Pada kasus tidak menunjukkan adanya kaku jenazah, kaku jenazah sudah
melewati waktu lengkap dan terdapat pembusukan sehingga waktu kematian diperkirakan >24
jam.
Lebam jenazah tidak terdapat pada seluruh tubuh. Lebam jenazah mulai tampak 20-30
menit sesudah mati, makin lama intensitasnya semakin bertambah dan menjadi lengkap dan
menetap di seluruh tubuh setelah 8-12 jam. Lebam masih dapat ditekan dan berubah pucat sekitar
6-8 jam post mortem.18,23 Perubahan warna ini terjadi karena saat seseorang meninggal, maka
sirkulasi akan terhenti dan tertahan, kemudian darah akan bergerak pada bagian tubuh yang lebih
rendah mengikuti gravitasi dan mengisi vena dan venula. Hal ini mengakibatkan muncul warna
merah kebiruan pada bagian-bagian tubuh tersebut.23 Kasus menunjukkan tidak terdapat
lebam pada
seluruh bagian tubuh dikarenakan sudah terjadi pembusukan, waktu kematian diperkirakan >12
jam.
Terdapat tanda pembusukan lanjut pada seluruh tubuh jenazah dan adanya larva lalat.
Pembusukan jenazah ini disebabkan oleh autolisis dan aktivitas mikroba. Mikroba yang paling
sering ditemukan yaitu Clostridium welchii. Pembusukan dimulai sekitar 24 jam dengan perut
kanan bawah di daerah yang berubah warna menjadi kehijauan dan terisi oleh cairan dan
bakteri.18 Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan gas pembusukan nyata, yaitu kira-kira
36-48 jam pasca mati. Kumpulan telur lalat telah dapat ditemukan beberapa jam pasca mati, di
alis mata, sudut mata, lubang hidung dan diantara bibir. Telur lalat tersebut kemudian akan
menetas menjadi larva (belatung) dalam waktu 24 jam. 18,2 Kasus menunjukkan adanya
pembusukan lanjut menyeluruh pada jenazah dan terdapat larva lalat, sehingga waktu kematian
diperkirakan 36-48 jam.
Pemeriksaan kepala didapatkan rambut mudah dicabut dalam keadaan basah, bagian yang
tertutup rambut dan dahi terdapat pembusukan lanjut. Mata kanan dan kiri terbuka 1 cm, kelopak
mata, kelopak mata bagian luar sewarna kulit sekitarnya, kelopak mata bagian dalam pucat,
terdapat pembusukan lanjut. Pemeriksaan hidung menunjukkan pembusukan lanjut. Pemeriksaan
mulut menunjukkan mulut dalam keadaan terbuka 8 cm, dari lubang mulut tidak keluar cairan,
bibir atas dan bawah tampak kehitaman, serta lidah menjulur. Pemeriksaan telinga tidak
menunjukkan adanya keluar cairan dan terdapat pembusukan lanjut. Pemeriksaan leher tidak
terdapat jejas jerat dan terdapat pembusukan lanjut. Rambut menjadi mudah dicabut, kuku
mudah terlepas, wajah menggembung dan berwarna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak,
pipi membengkak dan sering terjulur diantara gigi.18,2 Pada kasus jenazah sudah menunjukkan
tanda pembusukan lanjut.
Pemeriksaan dada tidak tampak adanya luka, memar, dan tidak teraba derik tulang. Pada
ketukan terdengar suara redup pada seluruh lapang dada, terdapat tanda pembusukan lanjut.
Pemeriksaan perut menunjukkan perut lebih tinggi sepuluh sentimeter daripada permukaan dada.
Pada perut sebelah kanan dan kiri bawah tidak terlihat perubahan warna. Pusar terlihat datar.
Tidak didapatkan luka dan memar. Pada perabaan teraba keras. Pada ketukan terdengar suara
redup pada seluruh lapang perut, terdapat tanda pembusukan. Pembentukan gas dimulai dari
lambung dan usus sehingga mengakibatkan perut menjadi tegang. Gas akan menyebabkan
pembengkakan tubuh yang menyeluruh, tetapi ketegangan terbesar berada pada daerah dengan
jaringan longgar seperti
skrotum dan payudara.18,2 Kasus menunjakkan tanda pembusukan lanjut dengan adanya
pembengkakan di daerah perut dan dada sehingga pada saat ketukan suara redup dan teraba
keras. Pemeriksaan jantung menunjukkan adanya pembesaran organ jantung. Jantung
berwarna merah kekuningan, konsistensi kenyal, dan tertutup jaringan lemak. Pembuluh darah
nadi
koronaria dibuka, terdapat sumbatan, pada perabaan teraba kenyal.
Pemeriksaan paru kanan terdiri dari tiga bagian. Terdapat perlekatan, mudah dilepas,
berwarna merah kehitaman, konsistensi menyerupai spons, tepi lancip, permukaan tidak rata.
Pada pengirisan, warna jaringan berwarna merah kehitaman dan pada pemijatan keluar cairan
merah kehitaman tanpa disertai buih. Pemeriksaan paru kiri rerdiri dari dua bagian. Terdapat
perlekatan, mudah dilepas, berwarna merah kehitaman, konsistensi menyerupai spons, tepi
lancip, permukaan tidak rata. Pada pengirisan, warna jaringan berwarna merah kehitaman dan
pada pemijatan keluar cairan merah kehitaman tanpa disertai buih.
Pemeriksaan dalam leher ketika kulit leher dibuka, tidak terdapat memar. Otot leher dibuka
tidak terdapat memar. Lidah berwarna hitam kehijauan, konsistensi kenyal, dan tidak terdapat
luka. Saluran nafas berwarna merah kehitaman, Permukaan bagian dalam jalan nafas terdapat
bintik- bintik perdarahan.
Pada pemeriksaan dalam jenazah, darah berwarna lebih gelap dikarenakan fibrinolisin
darah yang meningkat pasca mati. Bendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah. Ptekie ditemukan di
bagian dalam jalan nafas akibat dari rusaknya endotel kapiler sehingga dinding kapiler akan
pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan Tardieu’s spot. Edema paru sering
terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia. 18, 24
Pembesaran organ jantung dan
sumbatan pada pembuluh darah nadi koronaria diperkirakan karena penyakit yang diderita
korban.
Pemeriksaan histopatologi dengan sediaan kulit leher menunjukkan jaringan ikat dengan
jaringan lemak, ekstravasasi eritrosit, serta tidak didapat jaringan epidermis. Pada pemeriksaan
sediaan paru didapatkan jaringan nekrosis (pembusukan) dan ekstravasasi darah. Pada sediaan
kerongkongan terdapat jaringan tulang rawan, jaringan ikat, jaringan otot, jaringan lemak, dan
ekstravasasi darah. Diagnosa PA yaitu histopatologi mendukung “kongesti” saluran napas.
BAB V
KESIMPULAN
2. Saukko P, Knight B. Knight’s forensic pathology 4th edition. Boca Raton: Crc Press; 2016.
3. Idries, A.M. Pedoman ilmu kedokteran forensic, edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997:
210-213.
4. Yandi, Fahriza, Riana, Elly. Roman’s forensic. Banjarmasin: Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat; 2009.
5. Knight B. Simpson’s forensic medicine. 11th edition. New York: Arnold; 1997
6. DiMaio, Vincent. Forensic pathology, 2nd edition. CRC Press, USA; 2001.
7. Michael AG, Denton JS, editors. Pathology of asphyxial death. Epidemiolgy. [Online].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1988699-overview
8. Ajay KS, Chandan V, Rudresh VY, Govindaraju HC, Gouda S. Study of violent asphyxia
deaths in Chitradurga district of Karnataka. IJBAR; 2013: 4(12):868-71.
9. Grey TC, McCance KL. Pathophysiology: The biologic basis for disease in adult and
children, 5th edition. Philadelphia: Mosby; 2006: p.67
10. Reddy N, Murty O.P. The essentials of forensic medicine and toxicology, 33th edition. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publichers (P) Ltd; 2014: p338-376.
11. Ferris, J.A.J. Asphyxia. pathology.ubc.ca. Archived from the original (DOC) on June 14,
2006. Retrieved February 19, 2021.
12. Prabowo KN. Gambaran kasus asfiksia mekanik yang ditangani di Instalasi Kedokteran
Forensik RSUP Dr. Sardjito Tahun 2007-2012. Gadjah Mada University [Online]; 2013.
Available from: http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act
=view&typ=html&buku_id=62982
13. Dhoble SV, Dhoble SS, Kukde HG. Sociodemographic profile of asphyxial deaths in female
2 yr study. IJSR; 2016: 5(2):51-4.
14. Waghmare PB, Chikhalkar BG, Nanandkar SD. Analysis of asphyxial deaths due
to hanging. J Indian Acad Forensic Med; 2014: 36(4):343-5.
15. Patel JB, Bambhaniya AB, Chaudhari KR, Upadhyay MC. Study of death due to
compression of neck by ligature. IJHSR; 2015: 5:76-81.
16. Nikolov D, Michich IB, Goshev M, Alexandrov A, Hristov S. A case of neonaticide-manual
strangulation of a newborn. Medicine; 2015: 5(1):310-3
17. Apuranto, H. Buku ajar ilmu kedokteran forensik dan medikolegal. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga; 2007: h71- 99.
18. Budiyanto A., Widiatmaka W., Sudiono S, dkk. Jakarta: Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1997.
19. Knight, B. Forensic pathology 2nd edition. New York: Oxford University Press; 1996.
20. Amir, A. Autopsi medikolegal, edisi 2. Medan: Ramadhan; 2007: h43-44.
21. Thorsen K, K. G. Ringdal, K. Strand. Clinical and cellular effects of hypothermia, acidosis
and coagulopathy in major injury. British Journal of Surgery; 2011: 98; 894–907.
22. Stansby D, Maclennan, Hamilton. Manegement of massive blood loss: a template guideline;
2017.
23. Shedge R, Krishan K, Warrier V, Kanchan T. Postmortem [Internet]. Treasure Island:
StatPearls Publishing; 2020.
24. Aflanie I, Nirmalasari N, Arizal MH. Ilmu kedokteran forensik dan medikolegal, edisi 1.
Jakarta: Rajawali Press; 2017.