Anda di halaman 1dari 4

Enzim atau fermen adalah suatu protein yang berfungsi sebagai biokatalisator reaksi-

reaksi biokimia pada mahkluk biologi. zat-zat yang diuraikan oleh reaksi disebut substrat, dan
yang baru terbentuk dari reaksi disebut produk. Spesifisitas enzim sangat tinggi terhadap
substratnya, dan enzim mempercepat reaksi kimia spesifik tanpa pembentukan produk samping.
Enzim ini bekerja dalam cairan larutan encer, suhu, dan pH yang sesuai dengan kondisi fisiologis
biologis (Poedjiadi A., & Supriyani, 2006).

Melalui aktivitasnya, sistem enzim terkoordinasi dengan baik sehingga menghasilkan


hubungan yang harmonis diantara sejumlah aktivitas metabolik yang berbeda, semuanya
mengacu atau menunjang kehidupan. Enzim merupakan suatu protein, maka sintesisnya dalam
tubuh diatur dan dikendalikan oleh sistem genetika, seperti halnya dengan sintesis protein pada
umumnya (Wirahadikusumah, M. 2008).

Sebagian besar enzim memiliki suhu optimum yang sama dengan suhu normal sel
organisme tersebut. Tiap enzim memerlukan suhu optimum yang berbeda-beda karena enzim
adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu berubah. Enzim adalah
protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu berubah. Kenaikan suhu di atas suhu
optimum dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan aktivitas enzim. Secara umum, tiap
kenaikan suhu 10° C, kecepatan reaksi menjadi 2 kali lipat dalam batas suhu yang wajar. Hal
tersebut juga berlaku pada enzim. Panas yang ditimbulkan akibat kenaikan suhu dapat
mempercepat reaksi sehingga kecepatan molekuler meningkat. Hasilnya adalah frekuensi dan
daya tumbukan molekuler juga meningkat (Soewoto H, dkk., 2001).

Suhu dan pH merupakan faktor utama yang harus diketahui (Sari, 2008), karena setiap
enzim akan berfungsi secara optimal pada suhu dan pH tertentu. Kecepatan reaksi menurun
tajam di atas suhu optimal karena enzim merupakan protein yang akan terdenaturasi pada suhu
tinggi (Fitriani, 2003). Disamping itu, sedikit pergeseran pH dari pH optimum juga akan
menyebabkan perubahan besar pada reaksi yang dikatalisis enzim (Murray et al., 2003). Hal ini
disebabkan karena asam amino yang merupakan pusat aktif enzim harus berada dalam keadaan
ionisasi yang tetap agar menjadi aktif, karena pada hakekatnya enzim adalah protein yang
tersusun atas asam amino yang dapat melakukan ionisasi (Hames dan Hooper, 2000).

Suhu rendah mendekati titik beku tidak merusak enzim, namun enzim tidak dapat
bekerja. Dengan kenaikan suhu lingkungan, enzim mulai bekerja sebagian dan mencapai suhu
maksimum pada suhu tertentu. Bila suhu ditingkatkan terus, jumlah enzim yang aktif akan
berkurang karena mengalami denaturasi. Kecepatan reaksi enzimatik mencapai puncaknya pada
suhu optimum. Enzim dalam tubuh manusia mempunyai suhu optimum sekitar 37° C. Sebagian
besar enzim menjadi tidak aktif pada pemanasan sampai ± 60° C, Dalam beberapa keadaan, jika
pemanasan dihentikan oleh enzim, didinginkan kembali, aktivitasnya akan pulih, hal ini
disebabkan oleh karena proses denaturasi yang masih reversible. pH dan zat – zat pelindung
dapat mempengaruhi denaturasi pada pemanasan ini (Mutiara Indah, 2004).
Suhu optimal merupakan suhu yang paling tepat bagi suatu reaksi yang menggunakan
enzim (Poedjiadi dan Supriyanti, 1992). Suhu berpengaruh terhadap reaksi enzimatik.
Peningkatan suhu secara umum akan meningkatkan kecepatan reaksi kimia enzim, tetapi
kenaikan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya denaturasi enzim yaitu
berubahnya struktur protein enzim, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan
reaksi yang dikatalisis enzim tersebut (Saropah dkk., 2012).
Hubungan antara aktivitas enzim dan suhu dapat dilihat pada gambar berikut :

Sedangkan, pada suhu yang lebih rendah (sisi A pada gambar), penyebab kurangnya laju
reaksi enzimatik ialah kurangnya gerak termodinamik, yang menyebabkan kurangnya tumbukan
antara molekul enzim dengan substrat. Jika kontak antara kedua jenis molekul itu tidak terjadi,
kompleks enzim – substrat tidak terbentuk. Padahal kompleks ini sangat perlu untuk mengolah
substrat menjadi protein. Oleh karena itu, makin rendah suhu, gerak termodinamik tersebut akan
makin kurang. Pada daerah suhu yang lebih itnggi ( sisi B pada gambar), gerak termodinamik
akan lebih meningkat, sehingga benturan antar molekul niscaya akan lebih sering. Akan tetapi,
alih – alih meningkat laju reaksi malahan manurun dengan cara yang kurang sebanding dengan
nilai suhu dan nilai optimum. Dalam peningkatan suhu ini, selain gerak termodinamik
meningkat, molekul protein enzim juga mengalami denaturasi (Sadikin, 2002).

Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh suhu untuk enzim. Suhu optimal antara 350 C dan
400 C yaitu suhu tubuh pada suhu diatas dan dibawah optimalnya aktivitas enzim dapat
berkurang.
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat
diartikan sebagai segolongan enzim yang merombak pati, glikogen, dan polisakarida yang
lain. Tumbuhan mengandung α dan ß amylase; hewan memiliki hanya α amylase, dijumpai
dalam cairan pankreas dan juga (pada manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah.
Amilase memotong rantai polisakarida yang panjang, menghasilkan campuran glukosa dan
maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang terdiri dari 100-1000 molekul glukosa yang
saling berikatan membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan iodine
memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991). Enzim a-amilase adalah enzim ekstraseluler.
Aktivitas enzimatiknya tergantung pada suhu dan pH eksternal. Menurut Reed (1991),
temperatur optimum untuk enzim α-amilase berkisar 70-900C. Selain itu, enzim α-amilase
aktif pada kisaran pH 5,2 –5,6 (Novozyme, 2010).
Amilase terdiri atas 3 jenis yaitu a-amilase, b-amilase, dan glukoamilase. Enzim a-
amilase bekerja dengan memutus ikatan α-1,4-glikosidik pada rantai lurus amilum sehingga
menghasilkan glukosa dalam konfigurasi alpha, maltosa dan dekstrin. Enzim β-amilase
bekerja dengan memecah ikatan α-1,4 glikosidik dan tidak mampu melewati ikatan
percabangan α-1,6 glikosidik sehingga menghasilkan maltosa dalam konfigurasi beta. Enzim
glukoamilase bekerja dengan menghidrolisis ikatan α-1,4 dan α-1,6 glikosidik dari gugus
non pereduksi sehingga menghasilkan D-glukosa (Moo Yong, 1985).
Mikroorganisme yang paling banyak menghasilkan enzim α-amilase dan paling
banyak digunakan adalah jamur dan bakteri seperti Aspergillus oryzae, Bacillus
amyloliquefaciens, dan Bacillus licheniformis (Sivaramakrishnan, 2006). Sejumlah ragi
dapat memproduksi amilase dengan menggunakan media pati sebagai sumber karbon dan
energi. Kebanyakan α-amilase adalah calcium metallo-enzyme yang mengandung minimal
satu atom kalsium per molekul enzim (Moo Young, 1985).

Daftar pustaka
Poedjiadi, A. 2006. Dasar – Dasar Biokimia. Edisi Revisi. Jakarta: UI - Press.
Wirahadikusumah, M. 2008. Biokimia: protein, enzim, dan asam nukleat. Bandung:
Penerbit ITB.
Hames, B., and Hooper, N. 2000. BioChemistry : The Instant Notes. Hongkong:
Spinger- Verlag.
Hames, D., Hooper, N. 2005. BioChemistry. Ed ke-4. New York: Taylor and Francis
Group.
Saropah, D. 2012. Penentuan Kondisi Optimal Ekstrak Kasar Selulase Bakteri Selulolitik
Hasil Isolasi dari Bekatul. Malang: UIN Malang.
Sadikin M. 2002. Biokimia Enzim. Widya Medika, Jakarta..
Moo-Young, M. 1985. Comprehensive Biotechnolog-y: The Principles, Applications and
Regulations of Biotecnology in Industry, Agriculture and .Afedicine (volume 4). New York:
Pergamon Press.

Anda mungkin juga menyukai