Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH pH dan SUHU terhadap AKTIVITAS ENZIM

1. PENDAHULUAN
1.1. Tinjauan Pustaka

Metabolisme merupakan salah satu ciri kehidupan yang merupakan bentuk transformasi
tenaga atau pertukaran zat melalui serangkaian reaksi biokimia. Dalam mahkluk hidup, reaksi
metabolisme berlangsung dengan melibatkan suatu senyawa protein yang disebut enzim.
Enzim merupakan protein yang khusus disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi
yang berlangsung di dalamnya. Fungsi khusus dari enzim adalah untuk menurunkan energi
aktivasi, mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan yang tetap tanpa mengubah besarnya
tetapan keseimbangan dan sebagai pengendali reaksinya (Martoharsono, 1994).

Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berperan sebagai katalisator
pada reaksi kimia yang berlangsung dalam organisme. Katalisator adalah substansi yang
mempercepat reaksi tetapi pada hasil reaksi, substansi tersebut tidak berubah. Enzim
mempunyai ciri dimana kerjanya dipengaruhi oleh lingkungan. Salah satu lingkungan yang
berpengaruh terhadap kerja enzim adalah pH. pH optimal enzim adalah sekitar pH 7 (netral)
dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami inaktivasi
(Gaman & Sherrington, 1994).

Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan hilangnya secara
total aktivitas enzim. Pada sel hidup, perubahan pH sangat kecil. Enzim hanya aktif pada
kisaran pH yang sempit. Oleh karena itu media harus benar-benar dipelihara dengan
menggunakan buffer (larutan penyangga). Jika enzim memiliki lebih dari satu substrat, maka
pH optimumnya akan berbeda pada suatu substrat (Tranggono & Sutardi, 1990). Tiap enzim
memiliki karakteristik pH optimal dan aktif dalam range pH yang relatif kecil, dalam banyak
kasus, bentuk kurva menandakan dari keaktifan enzim berbanding pH yang terkandung di
dalamnya (Almet & Trevor, 1991).

Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat
diartikan sebagai segolongan enzim yang merombak pati, glikogen dan polisakarida yang
lain. Tumbuhan mengandung α dan β amilase, hewan memiliki hanya α amilase, dijumpai
dalam cairan pankreas dan juga (pada manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah.
Amilase memotong rantai polisakarida yang panjang, menghasilkan campuran glukosa dan
maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang terdiri dari 100-1000 molekul glukosa yang
saling berikatan membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan iodin
memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991).

Ada beberapa faktor untuk menentukan aktivitas enzim berdasarkan efek katalisnya yaitu
persamaan reaksi yang dikatalis, kebutuhan kofaktor, pengaruh konsentrasi substrat dan
kofaktor, pH optimal, daerah temperatur, dan penentuan berkurangnya substrat atau
bertambahnya hasil reaksi. Penentuan ini biasa dilakukan di pH optimal dengan konsentrasi
substrat dan kofaktor berlebih, menjadikan laju reaksi yang terjadi merupakan tingkat ke 0
(zero order reaction) terhadap substrat. Pengamatan reaksinya dengan berbagai cara kimia
atau spektrofotometri. Ada dua teori tentang mekanisme pengikatan substrat oleh enzim,
yaitu teori kunci dan anak kunci (lock and key) dan teori induced fit (Wirahadikusumah,
1989).

Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan. Akibatnya daya
kerja enzim menurun. Pada suhu 45°C efek predominanya masih memperlihatkan kenaikan
aktivitas sebagaimana dugaan dalam teori kinetik. Tetapi lebih dari 45°C menyebabkan
denaturasi ternal lebih menonjol dan menjelang suhu 55°C fungsi katalitik enzim menjadi
punah (Gaman & Sherrington, 1994). Hal ini juga terjadi karena semakin tinggi suhu semakin
naik pula laju reaksi kimia baik yang dikatalisis maupun tidak. Karena itu pada suhu 40 oC,
larutan tidak ada gumpalan, begitu juga pada suhu ruang, sedngkan pada suhu 100oC masih
ada gumpalan – gumpalan yang menunjukkan kalau enzim rusak. Pada suhu ruang, enzim
masih dapat bekerja dengan baik walaupun tidak optimum (Gaman & Sherrington, 1994).

Amilase adalah enzim pemecah karbohidrat dari bentuk mejemuk menjadi bentuk yang lebih
sederhana. Misalnya, pati dan glikogen dipecah menjadi maltosa, maltotriosa atau
oligosakarida. Enzim ini terdapat dalam air liur (ptialin) dan getah pankreas yang membantu
pencernaan karbohidrat dalam makanan. Darah normal juga mengandung sedikit amilase dari
hasil pemecahan sel yang berlangsung secara normal. Pada penyakit radang pankreas,
gondongan, kencing manis, kadarnya dalam darah meningkat. Sebaliknya pada penyakit hati,
kadarnya menurun (Anonim, 1990).

Sifat-sifat enzim antara lain :


1. Spesifitas
Aktivitas enzim sangat spesifik karena pada umumnya enzim tertentu hanya akan
mengkatalisis satu reaksi saja. Sebagai contoh, laktase menghidrolisis gula laktosa tetapi
tidak berpengaruh terhadap disakarida yang lain. Hanya molekul laktosa saja yang akan
sesuai dalam sisi aktif molekul (Gaman & Sherrington, 1994).
2. Pengaruh suhu
Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim hewan suhu optimal antara
35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktivitas
enzim berkurang. Di atas suhu 50°C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein
terdenaturasi. Pada suhu 100°C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim
tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang (Gaman &
Sherrington, 1994). Enzim memiliki suhu optimum yaitu sekitar 18 0-230C atau maksimal
400C karena pada suhu 450C enzim akan terdenaturasi karena merupakan salah satu
bentuk protein. (Tranggono & Setiadji, 1989).
Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim namun sebaliknya juga akan
mendenaturasi enzim (Martoharsono, 1994). Peningkatan temperatur dapat meningkatkan
kecepatan reaksi karena molekul atom mempunyai energi yang lebih besar dan
mempunyai kecenderungan untuk berpindah. Ketika temperatur meningkat, proses
denaturasi juga mulai berlangsung dan menghancurkan aktivitas molekul enzim. Hal ini
dikarenakan adanya rantai protein yang tidak terlipat setelah pemutusan ikatan yang
lemah sehingga secara keseluruhan kecepatan reaksi akan menurun (Lee, 1992).
3. Pengaruh pH
pH optimal enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau
sangat alkalis enzim mengalami inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi
dalam keadaan asam atau alkalis. Sebagai contoh, pepsin, enzim yang dikeluarkan ke
lambung, hanya dapat berfungsi dalam kondisi asam, dengan pH optimal 2 (Gaman &
Sherrington, 1994).
Enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam ataupun gugus basa terutama pada
residu terminal karboksil dan asam aminonya. Namun dalam suatu reaksi kimia, pH untuk
suatu enzim tidak boleh terlalu asam maupun terlalu basa karena akan menurunkan
kecepatan reaksi dengan terjadinya denaturasi. Sebenarnya enzim juga memiliki pH
optimum tertentu, pada umumnya sekitar 4,5–8, dan pada kisaran pH tersebut enzim
mempunyai kestabilan yang tinggi (Williamson & Fieser, 1992).
4. Ko-enzim dan aktovator
Ko-enzim adalah substansi bukan protein yang mengaktifkan enzim. Beberapa ion
anorganik, misalnya ion kalsium dan ion klorida, menaikkan aktivitas beberapa enzim dan
dikenal sebagai aktivator (Gaman & Sherrington, 1994).

Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase, khususnya pada
tanaman yang mengandung banyak karbohidrat seperti pisang dan beberapa serealia serta
bahan makanan pokok. Dimana amilase ini akan mengkatalis hidrolisis karbohidrat yang
berupa pati menjadi dekstrin dan kemudian menjadi maltosa, yang terjadi saat
perkecambahan serealia. Pati yang merupakan polisakarida dan tidak larut dalam air dingin
serta membentuk koloid pada air panas memiliki reaksi spesifik dengan iodium.
Poligalakturonase, peroksidase dan fosfatase semuanya merupakan enzim yang berfungsi
menguraikan komponen kompleks menjadi sederhana sehingga bisa dikonsumsi
(Kartasapoetra, 1994).

Kecepatan reaksi enzim dipengaruhi oleh berbagai kondisi fisik dan kimia. Beberapa faktor
penting yang mempengaruhi kerja enzim adalah konsentrasi berbagai komponen (seperti
substrat, produk, enzim, kofaktor, dll), pH, temperatur, dan gaya irisan. Kecepatan reaksi
enzim sangat dipengaruhi oleh pH larutan baik secara in vivo maupun secara in vitro. Jenis
hubungan antara kecepatan reaksi dan pH ditunjukkan dengan kurva berbentuk lonceng.
Setiap enzim mempunyai pH optimum yang berbeda–beda (Lee, 1992).

Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim, suhu optimal antara 35 ◦ C dan 40◦
C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktifitas enzim akan
berkurang. Di atas suhu 50◦ C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein
terdenaturasi. Pada suhu 100◦ C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim
tidak benar-benar rusak tetapi aktivasinya sangat banyak berkurang (Gaman & Sherrington,
1994).

Kebanyakan enzim membutuhkan medium cair untuk mendukung aktivitas katalisasi air
penting untuk menyusun struktur enzim. Hasil dari protein dalam air terdiri dari 3 bagian:
Tipe I : molekul air mempunyai penyusun seperti larutan murni dan tidak memiliki interaksi
dengan protein.

Tipe II : molekul air tidak sepenuhnya terikat pada protein.


Tipe III : molekul air terikat kuat dengan protein menghasilkan bagian yang berkembang
dalam struktur protein (Fox, 1991).

Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat
diartikan sebagai segolongan enzim yang merombak pati, glikogen, dan polisakarida yang
lain. Tumbuhan mengandung α dan ß amylase; hewan memiliki hanya α amylase, dijumpai
dalam cairan pankreas dan juga (pada manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah.
Amilase memotong rantai polisakarida yang panjang, menghasilkan campuran glukosa dan
maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang terdiri dari 100-1000 molekul glukosa yang
saling berikatan membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan iodine
memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991). Pada manusia, α amilase pada ludah dan
pankreas berguna dalam hidrolisis pati yang terkandung dalam makanan ke dalam bentuk
aligosakarida, di mana dalam perubahan tersebut dapat dihidrolisis oleh disakarida atau
trisakarida dalam jumlah kecil. Contohnya, α amilase pada mamalia memiliki pH optimum 6-
7, bergantung pada ada atau tidaknya ion halogen (Whitackr, 1994).

α amilase mempunyai beberapa sifat, antara lain :


a. Di dalam larutan pati, kehilangan daya viskositas yang lebih cepat.
b. Warna iodine akan lebih cepat hilang.
c. Proses produksi maltosa lebih lambat.
d. Tidak memproduksi glukosa.
e. Suhu tinggi konsentrasi α amylase akan mempercepat proses kerja dari viskositas dan
perubahan warna iodine (Whitackr, 1994).

Larutan buffer adalah larutan yang tahan terhadap perubahan pH dengan penambahan asam
atau basa. Larutan seperti itu digunakan dalam berbagai percobaan biokimia dimana
dibutuhkan pH yang terkontrol dan tepat ( Fardiaz, 1992 ). Larutan buffer bermanfaat untuk
melarutkan kotoran yang masih terikut di dalam endapan enzim tersebut sekaligus bisa
mencegah enzim dari denaturasi dan kehilangan fungsi biologisnya ( Fox, 1991 ). Buffer
dapat mempertahankan kondisi enzim presipitat agar tidak terjadi perubahan pH dan
mencegah agar enzim tidak mengalami inaktivasi (Winarno, 1995 ).
1.2. Tujuan Praktikum

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui efek dari nilai pH yang berbeda
dan pemanasan terhadap aktivitas enzim.
2. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam pratikum ini adalah water bath, spektofotometer, tabung reaksi,
timbangan analitik, penjepit, pipet volume, pompa, stopwatch, beaker glass, vortex, cawan
dan batang porselin.
2.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah reagen Benedict, larutan Buffer pada pH
3,5,7,9, larutan pati 1%, air destilasi, kacang hijau segar, kacang tanah segar, kecambah
kacang hijau, kecambah kacang tanah dan pepaya (menatah dan mendidih).
2.2. Metode

Kecambah dan buah ditimbang dalam beaker glass sebanyak 15 g. Setelah itu ditambahkan
dengan 30 ml larutan buffer. Larutan campuran tersebut disaring dengan kain mori dan filtrat
yang dihasilkan ditampung. Larutan tersebut ada yang tidak dipanaskan(kelompok 1, 2, 3, 4,
5, 6, 7, 8) dan ada yang dipanaskan (kelompok 9, 10, 11, 12, 13). Kemudian masing-masing
tabung reaksi diberi label dan diisi dengan 2 ml larutan pati dan ditambahkan pula ke
dalamnya masing – masing tabung berbeda yaitu 1 ml aquadestilata, 1 ml buffer pH 3, 1 ml
buffer pH 5, 1 ml buffer pH 7, dan 1 ml buffer pH 9 seperti tabel di bawah ini :

Larutan pati 2 2 2 2 2
Tabung
Enzim = tidak dididihkan 4 4 4 4 4
(setelah inkubasi 2 menit)

1 Aquades 2 - - - -

2 Buffer pH 3 - 2 - - -

3 Buffer pH 5 - - 2 - -

4 Buffer pH 7 - - - 2 -

5 Buffer pH 9 - - - - 2

Kelima tabung reaksi tersebut di-vortex. Kemudian di-inkubasi dalam waterbath 38oC selama
2 menit. Setelah itu, 2 ml larutan enzim yang didinginkan atau dipanaskan tadi ditambahkan
ke masing – masing tabung reaksi dan di-vortex. Inkubasi selama 10 menit dilakukan kembali
terhadap tabung–tabung reaksi tersebut. Setelah itu, 0,5 ml larutan reagen Benedict
ditambahkan ke setiap tabung reaksi dan diukur besar OD ( Optical Density ) pada λ 620.
Grafik hubungan antara nilai pH terhadap OD digambar.
3. HASIL PENGAMATAN
Hasil percobaan tentang pengaruh pH yang berbeda dan pemanasan terhadap aktivitas
enzim, dapat dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1.
Tabel 1. Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan
Tabung
Kel 1 2 3 4 5
aquades pH 3 pH 5 pH 7 pH 9
0,9581 1,1245 0,8719 0,9199 0,9213
B1 + B2
1,3486 1,3844 1,2830 1,4868 1,4480
B3 + B4
0,2706 0,2289 0,1968 0,2388 0,2415
B5 + B6
0,8425 0,3041 0,5631 1,0240 1,1146
B7 + B8
0,1237 0,1879 0,1180 0,1219 0,1552
B9 + B10
0,9948 0,9458 0,8561 0,7878 0,9005
B11 0,3391 0,2412 0,1957 0,2120 0,2080
0,4248 0,2143 0,5701 0,6078 0,6193
B12

B13

Kelompok B1-B8 mengalami perlakuan enzim tidak didihkan dan kelompok B9-B13
mengalami perlakuan enzim didihkan. Dengan perincian kelompok B1 + B2 & B9 + B10
Kacang Hijau Segar, B3 + B4 & B11 Kecambah Kacang Hijau, B5 + B6 & B12 Pepaya
Mentah, B7 + B8 & B13 Pepaya Matang.

Grafik 1. Grafik Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan


Pada Tabel 1 dan Grafik 1 nilai absorbansi yang didapat oleh semua kelompok berbeda satu
dengan yang lain. Dapat dilihat bahwa nilai absorbansi pada kelompok B9-B13 (enzim
mendidih) jika dibandingkan dengan nilai absorbansi kelompom B1-B8 (enzim tidak
mendidih) memiliki nilai yang jauh lebih rendah pada bahan dan pH yang sama.
4. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan di atas, data dan grafik kelompok B1-B8 dengan kelompok
B9-B13 tidaklah sama. Pada percobaan kelompok B1-B8 enzim tidak dididihkan sedangkan
pada percobaan kelompok B9-B13 enzim dididihkan dengan perlakuan pH yang sama dari
percobaan tersebut terdapat perbedaan hasil pengamatan. Pada enzim yang tidak dididihkan
dihasilkan nilai OD berada ditingkat nilai absorbansi yang lebih tinggi, sedangkan pada
enzim yang dipanaskan cenderung nilai OD-nya berada ditingkat absorbansi yang lebih
rendah. Hal tersebut terlihat bahwa enzim dipengaruhi oleh panas atau suhu, yang
ditunjukkan dengan nilai absorbansinya. Semakin tinggi suhunya, nilai absorbansinya
semakin turun, karena enzim mengalami inaktivasi pada suhu tinggi. Enzim memiliki suhu
optimum yaitu sekitar 180-230C atau maksimal 400C karena pada suhu 450C enzim akan
terdenaturasi karena merupakan salah satu bentuk protein, pernyataan ini sesuai dengan
Tranggono & Setiadji (1989). Pada enzim yang dididihkan, enzim akan bertahap menjadi
inaktif karena terjadi perubahan struktur enzim. Sesuai dengan pernyataan Gaman &
Sherrington (1994), bahwa suhu optimal enzim antara 35oC dan 40oC. Sehingga jika suhu
berada di atas optimal, maka aktivitasnya akan berkurang yang terlihat dari menurunnya nilai
absorbansinya.

Sedangkan pada pengaruh pH didapatkan bahwa setiap bahan memiliki nilai pH optimum
untuk melakukan aktivitas enzimnya, yang dapat dilihat dari nilai absorbansinya. Pada bahan
yang tidak dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh bahwa nilai absorbansi
tertinggi diperoleh pada pemberian pH 3, pada kecambah kacang hijau pada pemberian pH 7,
pada pepaya mentah pada pemberian aquades dan pada pepaya matang pada pemberian pH 9.
Sedangkan pada bahan yang dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh
bahwa nilai absorbansi tertinggi diperoleh pada pemberian pH 3, pada kecambah kacang
hijau pada pemberian aquades, pada pepaya mentah pada pemberian aquades dan pada
pepaya matang pada pemberian pH 9. Seharusnya, menurut Gaman & Sherrington (1994)
semakin besar atau basa pH yang digunakan maka semakin rendah nilai OD-nya dikarenakan
enzim mengalami denaturasi. Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim tapi suhu
yang terlalu tinggi pun dapat mendenaturasi enzim. Ketika temperatur meningkat, pH optimal
enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis
enzim mengalami inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan
asam atau alkalis, sedangkan aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Hal ini dapat
terjadi karena terjadi kesalahan saat praktikum saat pengukuran absorbasi atau mungkin juga
setiap bahan yang berbeda memang memiliki pH optimumnya masing-masing.

Untuk enzim hewan suhu optimal antara 35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas
dan di bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu 50°C enzim secara
bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100°C semua enzim rusak.
Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat
banyak berkurang, hal ini sesuai pernyataan Gaman & Sherrington (1994). Enzim sebagai
protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan. Akibatnya daya kerja enzim
menurun. Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan
hilangnya secara total aktivitas enzim. Larutan buffer adalah larutan yang tahan panas
terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau basa. Dengan menggunakan larutan
buffer inilah kita mendapatkan pH yang terkontrol dan tepat.
5. KESIMPULAN
· Enzim pada umumnya memiliki pH optimum 7 atau sekitarnya sehingga kerja enzim
optimum, karena suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein
dan hilangnya secara total aktivitas enzim.
· Suhu optimum enzim yaitu 30-40oC, pada suhu 50oC enzim menjadi inaktif karena protein
terdenaturasi, dan pada suhu 100oC enzim rusak.
· Larutan Buffer digunakan untuk menjaga aktivitas enzim agar tidak rusak dan mengalami
aktivasi saat penambahan pH.
· Nilai absorbansi pada percobaan ini dapat menunjukkan nilai aktivitas enzim yang
dipengaruhi oleh pH dan suhu tertentu.

6. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (1990). Ensiklopedi Nasional Indonesia.PT Cipta Adi Pustaka. Jakarta.


Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Fox, P.F. (1991). Food Enzymology Vol 2. Elsevier Applied Science. London.
Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan
Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Kartasapoetra,A.G. (1994). Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta. Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Martoharsono, S. (1994). Biokimia jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tranggono,B.S. (1989). Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Yogyakarta.
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Gajah Mada university
Press. Yogyakarta.
Williamson,K.L & L.F.Fieser. (1992). Organic Experiment 7th Edition. D C Health ang
Company. United States of America.
Wirahadikusumah, M. (1989). Biokimia : protein, enzim, dan asam nukleat. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
6. LAMPIRAN
6.1. Laporan Sementara
6.2. Lampiran Artikel

Anda mungkin juga menyukai