Anda di halaman 1dari 10

KAWASAN EKOLOGI PADA PERENCANAAN PEMBANGUNAN

KOMPLEK ISTANA KESULTANAN BULUNGAN DI TANJUNG


PALAS KALIMANTAN TIMUR

PROPOSAL
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah arsitektur

Disusun oleh :
ADITYA TRI RANGGARURI
NIM. 0810653021-65

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
MALANG
2011
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.1.1 Rencana Pembangungan Komplek Istana Kesultanan Bulanan
Kesultanan Bulungan merupkan kesultanan yang berada di wilayah Kalimantan timur
tepatnya di Kecamatan Tanjung Palas Kabupaten Bulungan. Kesultanan Bulungan
terbentuk dari pertemuan antara Asung Luwang seorang gadis Suku Dayak Kayan yang
bertemu dengan Datuk Mencang seorang perantau dari Kerajaan Brunei yang mencari
wilayah untuk ekspansi wilayah kerajaannya yang kemudian membentuk sistem
pemerintahan suku . Datu mencang yang memimpin suku bulungan ini bergelar Ksatria
Wira (1555 – 1595) , sejak itu islam berkembang di daerah ini yang pusat
pemerintahannya di Busang Arau. Kepemimpinan kesultanan Bulungan kemudian
diteruskan oleh sang menantu, Singa Laut (1595 – 1631) bangsawan Kesultanan Sulu,
Philipina Selatan. Selanjutnya dari sinilah kekuasaan kesultanan di bulungan ini
berlangsung turun – menurun. Bentuk pemerintahan suku berubah menjadi bentuk
Kesultanan oleh Wira Amir yang bergelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777).
Dalam perkembangannya Kesultanan Bulungan menguasai wilayah pesisir
Kaliamantan Timur diantaranya Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten
Nunukan dan Kota taran (sekarang). Masuknya Belanda ke wilayah Bulungan (1850)
setelah menaklukkan Berau (1834) dan dikenakan kedaulatan Belanda terhadap kutai
pada tahun 1848, menuntut Sultan Bulungan untuk membuat Kontrak Politik dengan
belanda pada tahun 1850. Pada tahun 1853, Bulungan sudah dimasukkan dalam wilayah
pengaruh Belanda. Ditemukannya minyak di pulau Bunyu dan Tarakan memberikan
peran penting bagi Bulungan untuk orang belanda, karena Tarakan pada saat itu ibukota
daerah. Pada massa ini pengaruh industri serta perdagangan Hindia-Belanda di
Kesultanan bulungan menjadi meningkat. Kegiatan ini mulai berpengaruh terhadap
masuknya budaya Belanda terhadap kehidupan keseharian masyarakat Bulungan
Khususnya di Bidang Arsitektural yang sudah disesuaikan dengan iklim setempat.
Munculnya bentukan “Dormer” pada atap bangunan, bentuk bangunan yang megah dan
simetris, terdapat motif bunga serta pengolahan landscaping yang formal.
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari kerajaan Belanda, wilayah
Kesultanan Bulungan menerima status Wilayah Swapraja Bulungan atau “wilayah
otonom” di Republik Indonesia pada tahun 1950,dan menjadi Wilayah Istimewa atau
“Wilayah Khusus” pada tahun 1955. Sultan terakhir, jalaluddin meninggal pada tahun
1958. Kesultanan ini dihapuskan pada tahun 1959 dan wilayah ini menjadi kabupaten
yang sederhana. Sejalan dengan berakhirnya Kesultanan seolah berakhir juga peradaban
kebudayaan suku Bulungan ditambah dengan hancurnya situs peninggalan Kesultanan
karena terjadinya tragedi G30SPKI pada tahun 1964 . Pada tahun 1998 dibangunlah
Museum Bulungan yang berdiri di atas tanah bertuah bekas Istana Kesultanan Bulungan
sebagai upaya pelestarian warisan budaya Bulungan.
Pembangunan Museum Bulungan belum berhasil menggerakkan kembali budaya suku
Bulungan. Mengingat model museum sekarang yang cenderung statis dan hanya wujud
permodelan masa lampau. Perlu adanya upaya menghidupkan tradisi adat-istiadat yang
mampu mengubah paradigma museum sebagai pameran benda mati, mengingat setiap
individu memliki interpretasi yang berbeda-beda. Antusias warga terhadap budayanya
seakan memburam sejalan dengan berhentinya konsep kesultanan serta hilangnya situs
sejarah mereka.
Dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) no 39 tahun 2007
yang membahas tentang pedoman fasilitas organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan
, keraton, dan lembaga adat dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Keberadaan
keraton dalam undang – undang dimaknai sebagai organisasi kekerabatan yang dipimpin
oleh Raja/Sultan/Panembahan atau sebutan lain yang menjalankan fungsi sebagai pusat
pelestarian dan pengembangan adat budaya dan nilai-nilai sosial budaya yang terkandung
di dalamnya, serta mengayomi lembaga dan anggota masyarakat. 
Dalam undang – undang ini juga disebutkan bahwa perlu adanya peran masyarakat
luas di wilayahnya masing – masing untuk ikut melestarikan serta mengembangkan
kebudayaan setempat melalui keraton sebgai pusat kebudayaan serta dukungan dari
segala lapisan pimpinan daerah baik Bupati,Walikota hingga tingkat provinsi (Gurbenur).
Arahan pelestarian situs peninggalan sejarah maupun fisik bangunan Keraton sebagai
langkah awal untuk mengembangkan sejarah-kebudayaan di setiap daerah diperkuat
dengan adanya (Permendagri) no 39 tahun 2007 pada BAB IV yang membahas tentang
tata cra pelaksanaan kegiatan pelestarian yang dilakukan oleh kepala daerah dan Ormas
serta perangkat kerja yang lain dengan pembinaan langsung dari Departemen Kementrian
Dalam Negeri.

Menindaklanjuti Permendagri no 39 tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Bulungan


melalui Dinas Pekerjaan Umum mengajak pemangku adat Kesultanan Bulungan untuk
menyusun perencanaan pembangunan kembali komplek Istana kesultanan Bulungan yang
terletak pada lokasi yang sama dimana berdirinya Kesultanan Bulungan pada masa
lampau yang dituangkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) Perencanaan
Pembangunan Komplek Istana Kesultanan Bulungan Di Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan. Disini Dinas PU sebagai pelaksana kegiatan pembangunan menyerahkan
kepada pihak kesultanan yang diwakili oleh Datuk hamid sebagai Pemangku Kesultanan
Bulungan untuk menentukan arahan rencana pembangunan Komplek Kesultanan
Bulungan. Melalui Datuk Hamid Dinas PU mendapatkan gambaran besar arahan
pembangunan komplek Istana Kesultanan. Pada site yang memiliki luas sekitar 5 h.a
tersebut akan dibangun Tiga Istana ( satu istana merupakan museum yang sudah ada pada
site) , Alun – Alun yang memiliki dua air mancur, coffe shop, Rumah Sultan, perumahan
keluarga kerajaan berbentuk “couple”, serta Rumah Tanduk.

Untuk pembangunan istana 2 dan Istana 3 diarahkan pada bentuk rekonstruksi Istana
lama yang sudah hancur pada tragedi G30SPKI pada tahun 1964 dengan fungsi yang
sudah disesuaikan dengan kebutuhan sekarang yaitu sebagai tempat penginapan tamu
Kesultanan. Rumah Tanduk memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai tempat penginapan
namun ada penambahan fungsi Aula sebagai ruang serbaguna pada lantai dua. Sedangkan
arahan coffe shop, Rumah Sultan serta perumahan “couple” bersifat menyesuaikan
terhadap lingkungan sekitar.

Arahan – arahan perencaan serta perancangan telah di jelaskan pada Kriteria Umum
didalam KAK yang telah ditentukan. Arahan Perencanaan dan perancangan diharapkan
memenuhi persyaratan – persyaratan antara lain ;

A. Persyaratan Arsitektur dan Lingkungan


1. Menjamin terwujudnya tata ruang dan tata bangunan yang dapat
memberikan keseimbangan dan keserasian bangunan komplek Kesultanan
Bulungan terhadap lingkungannya

2. Menjamin bangunan gedung dibangun dan dimanfaatkan dengan baik


tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

B. Persyaratan Ketahanan Terhadap Kebakaran

1. Menjamin terwujudnya bangunan yang dapat mendukung beban yang


timbul akibat perilaku alam dan manusia
2. Menjamin terwujudnya bangunan gedung yang dbangun sedemikian rupa,
secara struktur stabil selema kebakaran sehingga :

a. Cukup waktu bagi penghuni untuk melakukan evakuasi secara aman

b. Cukup waktu bagi pasukan pemadam kebakaran memasuki lokasi


untuk memadamkan api

c. Dapat menghindari kerusakan pada properti lainnya

C. Persyaratan Ventilasi dan Pengkondisian Udara

1. Menjamin terpenuhinya kebutuhna udara yang cukup, baik bersumber dari


alam maupun Buatan dalam penunjang terselenggaranya kegiatan dalam
bangunan sesuai dengan fungsinya

2. Menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan pencahayaan


secara baik

D. Persyaratan Pencahayaan

1. Menjamin terpenuhinya kebutuhan pencahayaan yang cukup, baik


bersumber dari alam maupun buatan dalam menunjang terselenggaranya
kegiatan dalam bangunan sesuai dengan fungsinya.

2. Menjamin upaya beroperasinya peralatan dan perlengkapan pencahayaan


secara baik

Gambaran tentang arsitektur asli Bulungan sesungguhnya sudah coba di re-


interpretasikan melalui pembangunan musium Bulungan yang mengadopsi dari tiga
Karakteristik Istana Bulungan yang memiliki gaya yang berbeda satu sama lainnya. Ada tiga
karakteristik yang mampu bercerita tentang fungsi, zaman, serta keterkaitan budaya yang
terimplementasi dalam gaya fasade, selubung bangunan, atap dan detail ragam hias. Untuk
penelusuran organisasi ruang susah didapatkan karena kurangnya dokumentasi yang
membahas perihal tersebut. Karakteristik bangunan Dayak, Melayu, Islam dan Belanda
pernah mempengaruhi gaya bangunan di Bulungan sesuai jaman dan bentuk sosial yang
dilakukan pada jaman tersebut yang akhirnya di aplikaskan pada bentuk museum. Pada muka
bangunan terdapat tiga atap limasan segitiga yang menandakan pernah beridri tiga Istana
pada zaman kesultanan Bulungan, pada bagian sisi kanan-kiri belakang bangunan memiliki
gaya atap dengan sentuhan gevel khas arsitektur Belanda yang berkembang pada tahun 1800-
an yaitu The Empire Style yang berkesan megah dengan kolom – kolom yang berjajar pada
teras bangunan.

Untuk mewakili budaya Dayak dapat dilihat pada bentuk Rumah Tanduk yang
merupakan Rumah Adat suku Bulungan, namun belum ada penjelasan secara teoritis tentang
langgam bentuk Rumah Tanduk sesungguhnya, gambaran terhadap Rumah Tanduk hanya
bisa di lihat di samping Museum Bulungan sekarang yang mencoba untuk mereplika
bangunan Rumah Tanduk khas adat Bulungan. Bangunan panggung dengan pola simetris
memamanjang, mirip dengan Rumah Lamin ( Rumah adat suku Dayak ). Adanya perbedaan
karakter bangunan pada komplek Istana Kesultanan Bulungan yang akan direncanakan,
menjadikan perlu adanya unity atau kesatuan untuk merepresentasikan Istana Kesultanan
Bulungan secara keseluruhan.

Hilangnya bentuk fisik asli Istana Kesultanan Bulungan, serta kurangnya dokumentasi
yang memuat tentang kiprah – peranan Istana pada masa kesultanan Bulungan mempersulit
dalam proses rekontruksi Istana Bulungan. Dokumentasi yang berada pada museum berupa
foto suasana serta perabot peninggalan merupakan sumber data yang masih bisa
dikembangkan. Perlu adanya metode yang mampu mengumpulkan langgam, karakteristik
filosofi budaya yang seragam – sejaman yang mampu memberikan gambaran keterkaitan
antara budaya satu dan yang lain sebagai acuan dalam perancangan Istana Kesultanan
Bulungan. dalam kasus ini dapat digunakan metode kritik historis untuk menelusuri sistem
yang bekerja dan saling keterkaitan pada ruang, budaya serta spiritual yang berlaku pada
suatu jaman yang sama.

1.1.2 Penyelamatan Iklim Mikro Dengan Pendekatan Ilmu Ekologi


Indonesia merupakan salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia yang
bertanggungjawab atas pemanasan global, terutama akibat deforestasi, degradasi hutan
dan lahan gambut serta kebakaran hutan. FAO menyatakan bahwa Indonesia kehilangan
sekitar 24% tutupan hutan dan sekitar 60% biomassa hutan antara tahun 1990 dan 2005.
Secara global, hampir seperlima dari emisi gas rumah kaca terkait dengan hutan.
(http://forclime.org/index.php/in/latar-belakang) .
Laporan World Bank menyebutkan bahwa selama 35 ( tiga puluh lima tahun)
terakhir telah terjadi deforestasi seluas 1,6 ( satu koma enam ) – 1,7 ( satu koma tujuh )
juta, bahkan mencapai 2,0 ( dunia koma nol ) juta per tahun. Justeru kondisi tersebut pada
era otonomi daerah semakin meningkat jumlahnya, yakni mencapai lebih dari 3,0 ( tiga
koma nol ) juta per tahun ( www.greenpeace.com ). Adanya penyebab dari deforestasi
( kehilangan hutan ) kebanyakan terjadi karena praktek industri perkayuan yang
berlebihan, pembalakan liar ( Illegal Loging ), ekspansi lahan perkebunan dan pertanian,
disamping karena masalah kebijakan yang kurang mendukung kelestarian hutan dan
kegagalan penegakan hukum di bidang kehutanan. (Abdul Khakim. ( 2005 ). Pengantar
Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah. PT.Citra Aditya Bakti :
Bandung..Hal.3. )
Dalam laporan penilaian keempat dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan
Iklim (IPCC) (Parry et al. 2007), para ilmuwan menegaskan bahwa kenaikan suhu global
harus dibatasi sampai 2°C, jika kita ingin mencegah efek perubahan iklim yang
berpotensi membawa bencana. Untuk mencapai hal ini, IPCC merekomendasikan bahwa,
pada tahun 2020, negara-negara industri harus mengurangi emisinya sebanyak 40 persen
dari tingkat tahun 1990. Selain itu, meskipun upaya pengurangan emisi hingga saat ini
telah terfokus pada sektor energi, target masa depan tidak dapat dicapai kecuali perubahan
pemanfaatan hutan dan lahan digabungkan secara komprehensif dalam pengaturan
perubahan iklim yang progresif, dan skema insentif yang memadai direalisasikan.
Pulau Kalimantan yang memiliki hutan mencapai 29.616.787 ha (Dephut.go.id) dari
total luas hutan di Indonesia yang mecapai 133.300.543,98 ha ini berarti menunjukkan
bahwa pulau Kalmantan memiliki peran besar untuk tetap melindungi serta melestarikan
Hutan beserta sistem ekologinya. Arahan pembangunan kawasan kedepannya hendaklah
tetap berpacu pada konteks ekologi lingkungan setempat.
Pengetahuan tentang hidup bersama dengan membaca peran alam (lingkungan) dalam
kehidupan sudahlah diajarkan oleh nenek moyang terdahulu. Hal ini dapat dilihat dari
peradaban budaya peninggalan masyarakat nusantara yang berbudaya,belajar serta
beradaptasi dengan alam dalam setiap lapisan kehidupan. Rumah – rumah tradisional
adalah kesuksesan peradaban masyarakat Nusantara bagaimana mereka berteduh dari
panas, berlindung dari hujan, bencana alam dan binatang liar. Hal ini merupakan budaya
pemikiran yang patut dikembangkan demi kelanjutan ilmu teknologi dari kebudayaan
lokal.
Sebagai bangunan pemerintahan serta fasilitas publik sekaligus sebagai pusat
perkembangan budaya lokal diharapkan Komplek Istana Kesultanan Bulungan mampu
dijadikan percontohan atau halauan untuk pembangunan – pengambungan berikutnya
untuk mewujudkan wajah kota yang memiliki karakter budaya yang kuat, Berwawasan
Lingkungan serta memberi kontribusi positif bagi perkembangan arsitektur Indonsesia.

1.2 Identifikasi Masalah


Dari pemaparan yang dilakukan pada latar belakang dapat ditemukan permasalahn –
permasalahan yang menjadi karakteristik persoalan kali ini diantaranya :
1. Adanya Perencanaan Pembangunan Komplek Istana Bulungan yang
menekankan pada masalah Sejarah, Budaya, Sosial dan Lingkungan ;
2. Terdapat perbedaan langgam atau gaya arsitektur yang dimiliki setiap
Istananya terdahulu. Hal ini disebabkan karena pengaruh budaya eksternal
serta periode sejarah tertentu ;
3. Pengaruh globalisasi terhadap budaya lokal yang cenderung punah;
4. Pemanasan Global yang mempengaruhi perubahan iklim yang berdampak
negatif terhadap kehidupan manusia;
1.3 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan diselesaikan kali ini adalah :
1. Bagaimana merumuskan tipologi arsitektur dari tiga bangunan Istana
Kesultanan Bulungan dengan pendekatan ekologi untuk pengembangan desain
dalam Komplek Istana Kesultanan
2. Bagaimana mewujudkan kawasan yang mampu memberikan pengaruh positif
terhadap perbaikan iklim (mikro)
1.4 Batasan Masalah
Setelah menemukan rumusa masalah, pada kegiatan kali ini akan dibatasi agar
mempunyai acuan yang jelas serta memudahkan dalam mengidentifikasi permasalahan
lebih mendetail yaitu :
1. Pembahasan akan difokuskan kepada aspek arsitektural
2. Pembahasan serta pengerjaan mengacu KAK yang telah dibuat oleh Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Bulungan
1.5 Tujuan
Tujuan kajian ini adalah untuk memperoleh kesimpulan atau rumusan tipologi
arsitektur khas Kesultanan Bulungan dengan kaitannya untuk mengembangkan konsep
desain berbasis ekologi sebagai upaya perbaikan iklim mikro.
1.6 Manfaat
Kajian ini diharapkan mampu memberi kontibusi positif kepada seluruh lapisan
masyarakat yang nantinya mampu dikembangkan kembali demi kemajuan serta
kesejahteraan kehidupan kedepannya. Dengan manfaat secara khusus bagi setiap bidang
yaitu :
a. Bagi Akademisi
Menjadi kontribusi positif bagi pengembangan keilmuan Arsitektur Ekologi serta
Arsitektur Nusantara di Indonsesia .

b. Bagi Masyarakat
Memberi teladan bahwa pentingnya pelestarian budaya, penjagaan norma – nilai –
nilai kultural serta pentingnya wawasan lingkungan untuk berkehidupan kedepan.

c. Bagi Instansi Terkait


Memberi masukan terhadap pemerintah setempat untuk memperhatikan nilai
kebudayaan yang luhur namun tetap mengikuti perkembangan zaman serta lingkungan
sebagai acuan dalam pengembangan pembangunan kota kedepan.

1.7 Kerangka Pemikiran


Dari penjabaran sebelumnya, dapat dirangkum dalam tabel pola pemikiran
untuk mempermudah dalam memahami maksud pengerjaan tugas berikutnya.

Rencana pembangunan Komplek Istana Kesultanan Bulungan

Penyelamatan dan Perbaikan Iklim Mikro Minimnya dokumentasi Kesultanan


pengembangan budaya lokal Bulungan karena hancurnya Istana
Kesultanan karena tragedi G30SPKI

Bagaiman memperoleh rumusan tipologi arsitektur khas Kesultanan Bulungan


dengan kaitannya untuk mengembangkan konsep desain berbasis ekologi sebagai upaya
perbaikan iklim mikro.
STUDI LITERATUR
SURVEY LAPANGAN
Untuk mengumpulkan bukti – DATA DAN
bukti Sejarah kesultanan observasi lapangan dan
Bulungan dan FAKTA wawancara dengan nara sumber.
terkait,KAK,RTRW, Teori
Ekologi, Arsitektur Nusantara
dan Lansekap arsitektur

Arahan
perencanaan
ANALISA
pembangunan
Menemukan sintesis Tipologi Arsitektur khas Kesultanan
Kesultanan Bulungan dan kaitannya dengan Bulungan dengan
pendekatan Ekologis basis keilmuan
Arsitektur
Ekologi

Anda mungkin juga menyukai