Anda di halaman 1dari 13

NAMA : RAHMAWATI

NPM : 202014500014
KELAS : R1A Ekonomi Regular

Tugas Ringkasan Pengajian Kitab Salaf

1. NAJIS
Pengertian najis dalam Islam
Pengertian najis menurut bahasa Arab, najis bermakna al qadzarah ( ‫ ) القذارة‬yang
artinya adalah kotoran. Sedangkan definisi menurut istilah agama (syar'i),
diantaranya:

• Ulama Syafi'iyah mendefinisikan najis:


Secara lughot atau bahasa bermakna segala sesuatu yang terbilang kotor.
Sedangkan najis menurut ulama ahli fiqih adalah sesuatu yang kotor yang dapat
mecegah keabsahan sholat. (Riyadhul Badi’ah, hal : 26 cetakan : dar ihyail kutub
al’arabiyah).

• menurut definisi Al Malikiyah, najis adalah:


“Sifat hukum suatu benda yang mengharuskan seseorang tercegah dari kebolehan
melakukan salat bila terkena atau berada di dalamnya.”

Macam – macam najis


Ditinjau dari cara membersihkannya, najis dibagi menjadi tiga sebagai berikut.

Najis Mukhaffafah (najis ringan)


adalah najis yang cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air di
bagian yang terkena najis, meskipun bekas najisnya masih melekat. Contoh:
air kencing bayi laki-laki yang masih menyusu.

Najis Mutawassithah (najis pertengahan)


adalah najis yang cara membersihkannya dengan mengguyurnya dengan air
sampai bersih, menggosoknya dengan tanah atau benda lain, atau dengan
cara yang lainnya. Contohnya, segala sesuatu yang keluar dari lubang depan
dan lubang belakang manusia/hewan (kecuali air mani manusia), muntahan,
darah, bangkai (kecuali bangkai manusia, belalang, dan ikan), dan minuman
keras yang cair.
Najis Mughallazhah (najis berat)
adalah najis yang cara membersihkannya dengan mencucinya sebanyak tujuh
kali dan di antaranya satu kali menggunakan air yang bercampur tanah.
Contohnya: air liur anjing dan babi.

1. Kencing dan kotoran (tinja) manusia


Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ط ُهور‬ َ ‫ئ أ َ َح ُد ُك ْم بِنَ ْعلَ ْي ِه األَذَى فَإِ َّن التُّ َر‬


َ ُ‫اب لَه‬ َ ِ‫إِذَا َوط‬

“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya,
maka tanahlah yang nanti akan menyucikannya.”

Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis,
kotoran, batu, duri, dsb. Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis,
termasuk pula kotoran manusia. Selain dalil di atas terdapat juga beberapa dalil
tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya kotoran manusia.
Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,

‫ قَا َل‬.» ُ‫ « َدعُوهُ َوالَ ت ُ ْز ِر ُموه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬ُ ‫ض ْالقَ ْو ِم فَقَا َل َر‬ َ َ‫أ َ َّن أَع َْرابِيًّا بَا َل فِى ْال َمس ِْج ِد فَق‬
ُ ‫ام إِلَ ْي ِه بَ ْع‬
‫علَ ْي ِه‬ َ َ‫عا ِب َد ْل ٍو مِ ْن َماءٍ ف‬
َ ُ‫ص َّبه‬ َ ‫فَلَ َّما فَ َر‬.
َ ‫غ َد‬

“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni
sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya)”.

Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah
tidak samar lagi mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering
menelaah berbagai dalil syari’ah.”

2. Madzi dan Wadi

Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih,
tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau
yang khas.

Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika
bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika
berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar
tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan
sama-sama bisa memiliki madzi.
Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan
kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu
‘anhu berkata,
َ َ‫َان ا ْبنَتِ ِه فَأ َ َم ْرتُ ْالمِ ْق َدا َد بْنَ األ َس َْو ِد ف‬
ُ‫سأَلَه‬ ِ ‫ ِل َمك‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َّ ‫ُك ْنتُ َر ُجالً َمذَّا ًء َو ُك ْنتُ أَ ْستَ ْح ِيى أَ ْن أَ ْسأ َ َل النَّ ِب‬
ُ ‫فَقَا َل « َي ْغ ِس ُل ذَك ََرهُ َو َيت ََوضَّأ‬
“Aku termasuk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah)
di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al
Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia
berwudhu”.

Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

ْ‫ِيركَ َوت ََوضَّأ‬ ُ ‫ى َو ْال َم ْذ‬


َ ‫ ا ْغس ِْل ذَك ََركَ أ َ ْو َمذَاك‬: ‫ى فَقَا َل‬ ُ ‫ َوأ َ َّما ْال َو ْد‬، ‫ى فَ ُه َو الَّذِى مِ ْنهُ ْالغُ ْس ُل‬
ُّ ِ‫ أ َ َّما ْال َمن‬، ‫ى‬
ُ ‫ى َو ْال َو ْد‬
ُ ‫ى َو ْال َم ْذ‬
ُّ ِ‫ْال َمن‬
ِ‫صالَة‬َّ ‫وضُو َءكَ لِل‬. ُ

“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi.
Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas
berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”

3. Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan

Contohnya adalah kotoran keledai jinak, kotoran anjing dan kotoran babi.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

َ‫سك‬ ٍ ‫ار فَ َو َجدْتُ لَهُ َح ْج َري ِْن َو َر ْوثَ ِة حِ َم‬


ْ َ‫ار ف‬
َ ‫أم‬ ٍ ‫ إِئْتِنِي بِثَالَث َ ِة أ َ ْح َج‬: ‫سلَّ َم أ َ ْن يَتَبَ َّرزَ فَقَا َل‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُّ ِ‫أ َ َرا َد النَّب‬
َ ‫ي‬
‫ِي ِرجْس‬ َ ‫ ه‬: ‫الر ْوثَةَ َوقَا َل‬ َّ ‫ط َر َح‬ َ ‫ال َح ْج َريْنَ َو‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah batu
untukku.” Kemudian aku mendapatkan dua batu dan kotoran keledai. Lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran tadi. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.

Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam
kotoran keledai jinak adalah najis.

4. Darah haidh

Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata
“Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
berkata,

ْ َ‫ْف ت‬
‫صنَ ُع ِب ِه‬ َ ‫ُصيبُ ث َ ْو َب َها مِ ْن َد ِم ْال َح ْي‬
َ ‫ض ِة َكي‬ ِ ‫ِإ ْح َدانَا ي‬

“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami
perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

‫ص ِِّلى فِي ِه‬ َ ‫صهُ ِب ْال َماءِ ث ُ َّم ت َ ْن‬


َ ُ ‫ض ُحهُ ث ُ َّم ت‬ ُ ‫ت َ ُحتُّهُ ث ُ َّم ت َ ْق ُر‬

“Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah
dengannya.”
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan
mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”

5. Jilatan anjing

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

ِ ‫ت أُوالَه َُّن ِبالتُّ َرا‬


‫ب‬ َ ُ‫ور ِإنَاءِ أ َ َح ِد ُك ْم ِإذَا َولَ َغ فِي ِه ْالك َْلبُ أ َ ْن َي ْغ ِسلَه‬
ٍ ‫س ْب َع َم َّرا‬ ُ
ُ ‫ط ُه‬

“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak
tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”

Yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang termasuk najis
adalah jilatannya saja. Sedangkan bulu dan anggota tubuh lainnya tetap dianggap
suci sebagaimana hukum asalnya.

6. Bangkai

Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang
syar’i. Najisnya bangkai adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari Abdullah bin ‘Abbas,

َ ‫اإلهَابُ فَقَ ْد‬


‫ط ُه َر‬ ِ ‫ِإذَا ُد ِب َغ‬

“Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”


Bangkai yang dikecualikan adalah :

a.) Bangkai ikan dan belalang


Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ان فَ ْال َك ِب ُد َوالطِ ِّ َحا ُل‬


ِ ‫َان فَ ْال ُحوتُ َو ْال َج َرا ُد َوأَ َّما ال َّد َم‬
ِ ‫ان فَأ َ َّما ْال َم ْيتَت‬ ْ َّ‫أُحِ ل‬
ِ ‫ت لَنَا َم ْيتَت‬
ِ ‫َان َو َد َم‬

“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan
dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.”

b.) Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir


Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ َ‫ ث ُ َّم ْلي‬، ُ‫ فَ ْليَ ْغمِ ْسهُ ُكلَّه‬، ‫إِذَا َوقَ َع الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أ َ َح ِد ُك ْم‬
‫ فَإِ َّن فِى أَ َح ِد َجنَا َح ْي ِه ِشفَا ًء َوفِى اآلخ َِر َدا ًء‬، ُ‫ط َرحْ ه‬

“Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah
lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini
terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya.”

c.) Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai


Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada
hukum asal segala sesuatu adalah suci.
Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad),
beliau rahimahullah berkata,

ِ‫سلَفِ ْالعُلَ َماء‬ ً ‫غي ِْر ِه أَد َْر ْكتُ نَا‬


َ ‫سا مِ ْن‬ َ ‫ظ ِام ْال َم ْوت َى نَح َْو ْالفِي ِل َو‬
َ ‫ى فِى ِع‬ ُّ ‫ َوقَا َل‬. ‫يش ْال َم ْيتَ ِة‬
ُّ ‫الز ْه ِر‬ َ ْ ‫َوقَا َل َح َّماد الَ بَأ‬
ِ ‫س بِ ِر‬
ً ْ ‫ الَ يَ َر ْونَ بِ ِه بَأ‬، ‫ َويَ َّد ِهنُونَ فِي َها‬، ‫طونَ بِ َها‬
‫سا‬ ُ ‫يَ ْمت َ ِش‬

“Hammad mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az
Zuhri mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan semacamnya, ‘Aku
menemukan beberapa ulama salaf menyisir rambut dan berminyak dengan
menggunakan tulang tersebut. Mereka tidaklah menganggapnya najis hal ini’.”

2. KISAH PERJALANAN NABI MUHAMMAD SAW HIJRAH KE


MADINAH

Pada September 622, terdapat skenario pembunuhan kepada Nabi Muhammad,


maka secara diam-diam Nabi Muhammad bersama Abu Bakar pergi meninggalkan
kota Mekkah.[3] Sedikit demi sedikit, Nabi Muhammad dan pengikutnya berhijrah ke
Yasrib 320 kilometer (200 mi) utara Mekkah. Yasrib kemudian berubah nama
menjadi Madinat an-Nabi, yang berarti "kota Nabi", tetapi kata an-Nabi menghilang,
dan hanya disebut Madinah, yang berarti "kota"Penanggalan Islam yang
disebut Hijriah dicetuskan oleh Ali bin Abi Thalib pada tahun 638 atau 17 tahun
setelah peristiwa hijrah. Kota tempat tinggal Nabi Muhammad disebut Madinah dan
wilayah sekitarnya disebut Yasrib.

Nabi SAW membutuhkan seorang pemandu disebabkan rute perjalanan yang


mereka tempuh bukan rute perjalanan yang biasa ditempuh oleh kebanyakan orang,
melainkan rute alternatif yang tidak banyak diketahui untuk menghindari pengejaran
kafir Quraisy. Di hari ke-3, Nabi SAW, Abu Bakar beserta Abdullah Arqayat mulai
melakukan perjalanan hijrah dengan menggunakan seekor unta dengan rute
memutar berbalik arah tujuan menuju Yaman.

Di Kota Makkah, kafir Quraisy yang gagal menemukan jejak Nabi Muhammad SAW
mengadakan sayembara yang diumumkan di pasar Oukaz dan sekeling Ka'bah
bahwa siapa saja yang berhasil menangkap Muhammad, baik dalam keadaan hidup
atau mati dia akan mendapatkan hadiah 100 ekor unta.

eorang kafir Quraiys bernama Suraqah bin Malik al-Mudlaji tertarik dengan hadiah
sayembara itu. Dia segera memacu kudanya untuk melakukan penyisiran sekaligus
pengejaran hijrahnya Nabi SAW. Di tengah gurun pasir yang luas, Suraqah
menangkap bayangan tiga orang yang sedang melakukan perjalanan menuju arah
ke Madinah.

Dengan pedang terhunus, dia memacu kudanya dengan penuh semangatnya,


namun beberapa kali kudanya jatuh terjungkal. Suraqah yang berniat membunuh
Nabi SAW terjatuh, hingga ditolong oleh Nabi SAW. Suraqah menyadari
kesalahannya, dia meminta diampuni dan menyatakan masuk Islam.
Pada hari ketiga, hari Kamis, tibalah Nabi Muhammad SAW di Desa Quba, selama
beberapa hari di sana, Nabi sempat mendirikan sebuah masjid. Itulah masjid
pertama kali yang dibangun dalam sejarah Islam. Sampai hari ini dikenal dengan
Masjid Quba.

Pada hari Jum'at, di Quba Nabi Muhammad SAW bertemu kembali dengan
Sayyidina Ali bin Thalib yang menyusulnya. Di sini pula lah Nabi menerima
keislaman Salman al-Farisi; seorang pemeluk agama Kristen yang berasal dari
Persia. Selama 4 hari hari di Quba, Nabi dan para sahabat melanjutkan perjalanan
memasuki Kota Yatsrib.

Sebelumnya, Nabi ditemui oleh Zubair bin Awwam yang ketika itu berusia 21 tahun
yang membawakan jubah putih agar dikenakan Nabi SAW saat memasuki kota
Yatsrib. Perjalanan hijrah Nabi berlangsung selama 14 hari, meski biasanya sudah
bisa sampai dalam waktu perjalanan 10 hari, disebabkan Nabi bertahan di gua Tsur
selama 3 hari. Para penduduk di Madinah selalu menunggu kedatangan Nabi SAW
di sebuah tempat bernama Harrah; di sebuah perbukitan batu hitam yang
memungkinkan bisa melihat rombongan Nabi dari kejauhan.

Tepat pada hari Senin, 16 Rabiul Awwal atau bertepatan 20 September 622 M,
disambut suka cita oleh segenap penduduk Yatsrib dengan sambutan daff atau
tabuhan gendang rebana disertai syair "Thala'al badru 'ala'ina" Nabi SAW memasuki
kota Yatsrib. Kedatangan Rasulullah SAW di Yatsrib diperebutkan oleh penduduk
kaum muslimin, mereka berebut menarik tali kekang unta beliau untuk mengajak
Rasulullah bertempat tinggal di rumah mereka.

Namun, Rasulullah meminta biarlah untanya sendiri yang menentukan dimana


beliau bertempat tinggal. Unta yang ditunggangi oleh Rasulullah, akhirnya berhenti
di pekarangan rumah Abu Ayyub al-Anshari. Di sanalah Rasulullah, memulai
bertempat tinggal beberapa bulan, sebelum akhirnya beliau membangun masjid
Nabawi dan beberapa kamar untuk beliau tinggali di atas sebuah tanah yang dibeli
dari kakak beradik yatim piatu di Yatsrib tersebut.

Tak lama kemudian, Rasulullah mengubah nama Yatsrib menjadi nama baru
"Madinah al-Munawwarah" yang artinya "Kota Baru yang Bersinar". Kemudian,
Khalifah Umar bin Khattab menjadikan peristiwa hijrah pada tahun 622 H atau
bertepatan 20 September 622 M inilah yang dijadikan sebagai momentum awal
tahun baru Islam 1 hijriyyah dalam penanggalan umat Islam hingga hari ini.

Demikian kisah perjalanan dakwah Rasulullah bersama para sahabatnya yang


penuh dengan perjuangan yang sangat menggetarkan demi menegakkan li’ila
kalimatillah, sehingga Islam pun tersebar ke seluruh penjuru dunia hingga hari ini.
3. DARAH HAID ATAU ISTIHADHO
Dalam aturan Islam, terdapat batasan-batasan ibadah untuk perempuan balig yang
mengalami haid atau nifas. Batasan tersebut termasuk gugurnya kewajiban salat,
tidak menjalankan puasa pada saat haid/nifas kemudian mengqadanya, hingga
larangan berhubungan badan dengan suami.
Salah satu indikasi perempuan sudah balig adalah mengeluarkan darah menstruasi
atau haid. Biasanya, usia perempuan mengalami haid ketika dalam usia 10 hingga 16
tahun. Sejak pertama kali haid, perempuan sudah dianggap mukalaf dan hukum Islam
berlaku kepadanya.
Darah haid akan keluar secara periodik karena peluruhan dinding rahim karena tidak
adanya ovulasi. Jika terjadi pembuahan dan kehamilan, perempuan tidak mengalami
haid. Namun, selepas melahirkan, akan keluar darah nifas yang biasanya sekitar 40
hari usai persalinan.

Terdapat beberapa batasan yang tidak dilakukan oleh perempuan yang haid
atau nifas :
1. Salat
Kewajiban salat gugur pada perempuan yang sedang mengalami haid atau nifas, baik
itu salat wajib maupun salat sunah.
Penyebab larangannya adalah syarat sah salat adalah suci dari hadas, sedangkan
perempuan yang sedang haid atau nifas dalam keadaan yang tidak suci sampai
darahnya berhenti dan mandi janabah.
Rujukannya adalah hadis yang diriwayatkan Mu'dzah bahwa ada seorang wanita
bertanya kepada Aisyah, “Apakah kami perlu mengqada salat kami ketika suci?”
Aisyah menjawab "Apakah engkau seorang Haruriah?" Dahulu kami mengalami haid
di masa Nabi masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk
mengqadanya. Atau Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqadanya,” (H.R. Bukhari).
Berdasarkan hadis di atas, perempuan yang tidak mendirikan salat karena halangan
haid atau nifas tidak diperintahkan untuk menqada salat, kendati salat yang
ditinggalkan merupakan salat wajib lima waktu.
2. Puasa
Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak boleh melakukan puasa, baik itu puasa
Ramadan atau puasa sunah. Jikapun dilaksanakan, maka puasanya tidak diterima
oleh Allah SWT.
Dasarnya adalah pertanyaan Mu'adzah juga kepada Aisyah RA: "Kenapa gerangan
wanita yang haid mengqada puasa dan tidak mengqada salat?"
Maka Aisyah menjawab, "Apakah kamu dari golongan Haruriyah? Aku [Mu'adzah]
menjawab, "Aku bukan Haruriyah, namun aku hanya bertanya."
Aisyah menjawab, "Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk
mengqada puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqada salat,” (H.R. Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, perbedaan larangan salat dan puasa bagi perempuan haid
atau nifas adalah kewajiban qada untuk puasa wajib di luar Ramadan, sedangkan
salat tidak disyariatkan mengqadanya. Qadha puasa dilakukan sejumlah hari ketika
wanita tersebut haid.
3. Larangan Berhubungan Suami Istri
Berhubungan badan bagi suami istri dianggap sedekah dan bernilai ibadah. Namun,
bagi perempuan haid atau nifas, hubungan suami istri dilarang dan termasuk dosa
besar.
Dalilnya adalah “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi
wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada
Muhammad saw.,” (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Kendati demikian, bagi suami istri tetap diperbolehkan melakukan aktivitas seksual
selama bisa menahan diri tidak melakukan peneterasi penis ke dalam vagina.
Firman Allah dalam Surah al-Baqarah:222, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah, "Haid itu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita pada waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu."
Selain itu, terdapat hadis yang diriwayatkan dari jalur Aisyah, ia berkata bahwa di
antara istri-istri Nabi Saw., ada yang mengalami haid. Namun, Rasulullah ingin
bercumbu dengannya.
Lantas, beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat
keluarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung).
Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya [untuk
berjima] sebagaimana Nabi Saw. menahannya?” (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Menyentuh Al-Qur'an
Mushaf Al-Qur'an suci. Oleh karenanya, disunahkan untuk berwudu sebelum
menyentuhnya. Sebaliknya, bagi perempuan yang haid atau nifas dilarang menyentuh
Alqur'an karena halangannya tersebut.
Empat mazhab dalam Islam, yaitu Syafi'i, Hambali, Hanafi, dan Maliki sama-sama
berpendapat, menyentuh Al-Qur'an terlarang untuk wanita haid. Dalilnya adalah
sabda Nabi Muhammad SAW: "Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau
dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim).
5. Membaca Al-Qur'an
Pendapat empat mazhab tentang membaca Al-Qur'an lebih beragam daripada
pendapat tentang menyentuh Al-Qur'an.
Dalam kasus membaca Al-Quran tanpa menyentuh mushaf, mazhab Syafi'i, Hambali,
dan Hanafi sepakat bahwa membaca Al-Qur'an dengan suara dilarang untuk wanita
haid dilarang.
Larangan perempuan haid atau nifas membaca Alquran berdasarkan qias keadaan
haid atau nifas dengan keadaan tidak suci dalam kondisi junub. Rujukannya adalah
hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Salamah dari Ali bin Abi Thalib, "Adalah
Rasulullah saw. senantiasa membaca Alqur'an di setiap kondisi kecuali janabah."
Namun, terdapat perkecualian ketika wanita haid membaca Al-Qu'ran tanpa mushaf
untuk doa dan zikir. Mereka boleh membaca karena tujuannya untuk berzikir dan
menjaga diri, bukan diniatkan untuk membaca Al-Qur'an.
Selain itu, wanita haid dapat pula membaca Al-Quran tanpa mushaf, dengan syarat
membacanya dalam hati, menggerakkan bibir, tanpa mengeluarkan suara.
"Membaca Alqur'an serta berzikir boleh dilakukan baik dalam kondisi berwudu
maupun tidak, boleh dilakukan oleh orang yang sedang dalam kondisi junub dan haid."
(hlm. 157).
Alasannya adalah hadis di atas berlaku dalam keadaan junub yang mudah untuk
mengangkat hadasnya. Kondisi tersebut berseberangan dengan haid atau nifas. Dua
hal terakhir ini merupakan fitrah wanita, sehingga dibolehkan bagi perempuan
membaca Al-Qur'an.
6. Berdiam Diri di Masjid
Larangan bagi perempuan haid atau nifas selanjutnya adalah berdiam diri di masjid
berdasarkan firman Allah SWT dalam surah An-Nisa:43, "Wahai orang yang beriman!
Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai sadar
apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula [kamu hampiri masjid ketika kamu] dalam
keadaan junub kecuali sekedar melewati saja, sebelum kamu mandi [mandi junub]."
Sebenarnya tidak ada dalil spesifik yang melarang wanita haid atau nifas masuk
masjid. Ayat di atas melarang orang yang sedang junub (tidak suci) memasuki masjid.
Berdasarkan hal tersebut, para ulama mengqiaskan keadaan junub atau tidak suci
tersebut dengan keadaan haid atau nifas yang dialami perempuan. Oleh karenanya,
wanita dalam kondisi haid atau nifas dilarang berdiam diri di masjid.
7. Tawaf
Perempuan haid atau nifas dilarang melakukan tawaf untuk mengelilingi Ka'bah.
Rujukannya adalah riwayat ketika Aisyah RA mengalami menstruasi saat sedang
berhaji, Nabi Muhammad bersabda padanya, "Lakukanlah segala sesuatu yang
dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan tawaf di Ka’bah hingga engkau
suci kembali,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
4. KITAB SOLAT
Sholat berasal dari bahasa arab yang artinnya ''do'a''. Sedangkan menurut isltilah
sholat adalah ibadah yang dimulai dengan bacaan takbiratul ikhrom dan diakhiri
dengan mengucap salam dengan syarat dan ketentuan tertentu. Segala perkataan
dan perbuatan yang termasuk rukun sholat mempunyai arti dan makna tertentu yang
bertujuan untuk mendekatkan hamba dengan Penciptannya.

َّ ‫َّللا َال إِلَهَ إِ َّال أَنَا فَا ْعبُ ْدنِي َوأَق ِِم ال‬
‫ص َالة َ ِل ِذ ْك ِري‬ ُ َّ ‫إِنَّنِي أَنَا‬

Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan
laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku. ( Surah Taha [20:14] )
Dalam surat Ta Ha (20:14) tersebut menjelaskan bahwa tujuan sholat adalah agar
setiap hambanya senangtiasa selalu berdzikir kepada Allah. Arti berdzikir disini
adalah selalu mengingat Allah dimanapun dan kapanpun. Seperti ketika kita takbir
membaca '' Allahuakbar'' yang beratri Allah maha besar menjelaskan tentang
keagungan Allah. Ketika hati kita selalu mengingat Allah membuat jiwa kita menjadi
tenang dan tentram.

Sholat Wajib
Sholat adalah kewajiban yang mempunyai hukum wajib dan sunah tergantung jenis
sholatnya. Solat yang termasuk fardu ada dua yaitu fardu ain yaitu sholat yang wajib
dikerjakan dan tidak boleh digantikan oleh orang lain seperti sholat 5 waktu dan
sholat jum'at bagi laki-laki sedangkan fardu kifayah adalah sholat yang wajib
dikerjakan dan tidak berkaitan dengan dirinnya seperti solat jenazah. Sholat Wajib
ada 5 yaitu ; Sholat Subuh, Sholat Dzuhur, Sholat Ashar, Sholat Magrib, Sholat Isya.
Sholat Sunah
Sedangkan sholat sunah adalah sholat yang dianjurkan jika dikerjakan mendapat
pahala jika ditinggalkan tidak berdosa. Contoh Sholat sunah yang biasanya
dilakukan setiap hari yaitu Sholat Dhuha, Sholat Tahajud dll. Sholat sunah ada dua
yaitu sunah muakkad yaitu sholat yang dianjurkan dengan penekanan kuat seperti
sholat di hari raya idul fitri dan idul adha sedangkan sholat sunah ghairu muakkad
adalah solat yang dianjurkan tetapi tidak dengan penekanan kuat seperti sholat
rawatib.
Macam-Macam Shalat

1. Shalat Fardu (Shalat Lima Waktu)

Shalat yang yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal adalah
lima kali dalam sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib shalat itu adalah
pada malam Isra, setahun sebelum tahun hijriyah.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang jumlah bilangan shalat
yang difardukan. Jumhur Ulama, termasuk Malik dan Syafi'i, berpendapat Bahwa
jumlah shalat yang wajib hanya lima, sebagai mana yang disebutkan dalam hadist
tentang mi'raj, yaitu : subuh, duhur, ashar, maghrib, dan isya.
Disamping hadist mi'raj, terdapat hadist lain yang meriwayatkan seorang arabiy
datang kepada Nabi dan bertanya tentang islam. Beliau bersabda : " lima shalat
sehar semalam ". ketika orang itu bertanya lagi : "apakah ada yang wajib bagiku
selain itu ?" Nabi menjawab : " tidak ada, kecuali engkau ber-tathawu."

a. Waktu-waktu Shalat
Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 103: "sesungguhnya shalat itu merupakan
kewajiban yang di tentukan waktunya bagi orang-orang beriman."

"Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya."


(Masail Fiqhiyyah. 1993: 274-275)

Adapun waktu bagi masing-masing shalat yang 5 waktu tersebut (Fiqih Islam. 2001:
61-62) adalah sebagai beikut:
1. Shalat Dzuhur. Awal waktunya adalah setelah tergelincir matahari dari
pertengaahan langit. Akhir waktunya apabila bayang-bayang sesuatu telah
sama dengan panjangnya selain dari bayang-bayang ketika matahari
menonggak (tepat diatas ubun-ubun).

2. Shalat Ashar. Waktunya dimulai dari habisnya waktu dzuhur; bayang-


bayang sesuatu lebih dari pada panjangnya selain dari bayang-bayang ketika
matahari sedang menonggak, sampai terbenam matahari.

3. Shalat Maghrib. Waktunya dari terbenam matahari sampai terbenam


syafaq (mega) merah.

4. Shalat Isya. Waktinya mulai dari terbenamnya syafaq merah (sehabis


waktu maghrib) sampai terbit fajar kedua

5. Shalat Shubuh. Waktunya mulai dari terbit fajar kedua sampai terbit
matahari.
b. Syarat wajib shalat 5 waktu Islam
• Suci dari haid (Kotoran dan nifas)
• Berakal
• Baligh,
• Telah sampai dakwah (perintah rasul kepadanya)
• Melihat atau Mendengar
• Terjaga (tidak tidur dan tidak lupa)
• Syarat Sah Shalat
• Suci dari hadats besar dan hadats kecil
• Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis
• Menutup aurat
• Mengetahui masuknya waktu shalat
• Menghadap ke kiblat (ka'bah)

c. Rukun Shalat
• Niat
• Berdiri bagi yang mamapu
• Takbiratul ihram
• Membaca surat Fatihah
• Ruku serta tuma'ninah
• I'tidal serta tuma'ninah
• Sujud dua kali dengan tuma'ninah
• Duduk diantara dua sujud dengan tuma'ninah
• Duduk akhir
• Membaca Tasyahd akhir
• Membaca Shalawat atas Nabi Muhammad
• Memberi salam yang pertama (kanan)
• Menertibkan rukun

d. Hal-hal yang membatalkan Shalat

Meninggalkan salah satu rukun


Meninggalkan salah satu syarat
Sengaja berbicara
Banyak bergerak
Makan dan minum

e. Niat dalam shalat

Shalat (Fiqih Niat. 2006: 260) merupakan ibadah yang tidak bisa di nalar dan para
Ulama telah menyepakati atas kewajiban ibadah ini.
Tidak sedikit Ulama yang mengatakan secara ijma' tentang kewajiban niat dalam
shalat. Mereka tidak membedakan antara shalat fardhu dengan shalat lainnya.,
bahkan niat di wajibkan dalam sujud tilawah dan sujud syukur karena kedua sujud
tersebut merupakan suatu ibadah.
Niat berfungsi untuk membedakan jenis shalat dan tingkatan shalat tersebut,
sehingga shalat dngan memakai niatlah yang di terima olah Allah.
2. Shalat Sunnah

Selain shalat fardhu, ada juga yang di namakan dengan shalat sunnah yang diatur
tersendiri, baik waktu maupun pelaksanaannya. Dikatakan orang, bahwa hikmah
adanya ajaran shalat sunnah sehabis shalat fardhu itu adalah agar menjadi penambah
shalat fardhu yang mungkin kurang tanpa di sengaja seperti kurang adabnya dan
shalat sunnah sebelum shalat fardhu agar lebih konsentrasi dalam memasuki shalat
fardhu itu dengan hati yang lapang mengerjakannya dan siap menghadapinya.

Sengaja di syariatkan shalat sunnat juga ialah untuk menambal kekurangan yang
mungkin terdapat pada shalat-shalat fardhu, juga karena shalat itu mengandung
keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain.

Dalam Islam, Shalat menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah
lainnya. Selain termasuk rukun islam, yang berarti tiang Agama, Shalat juga termasuk
Ibadah yang pertama diwajibkan Allah kepada Nabi Muhammad ketika Mi'raj.
Disamping itu, Shalat memiliki tujuan yang tidak terhingga. Tujuan Hakiki dari Shalat,
sebagaimana dikatakan Al-jaziri, adalah tanda hati dalam rangka mengagungkan
Allah sebagai pencipta. Disamping itu Shalat juga merupakan bukti takwa Manusia
kepada Khaliknya. Dalam salah satu ayat-Nya menyatakan bahwa Shalat bertujuan
menjauhkan orang dari keji dan munkar. (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 23-
24)

Macam-macam Shalat Sunnah:

1. Shalat Idain
2. Shalat Istisqa
3. Shalat Tahiyat masjid
4. Shalat Tahajud
5. Shalat Rawatib
6. Shalat Dhuha

Anda mungkin juga menyukai