Anda di halaman 1dari 42

ARTIKEL TOKOH DAN TEORI SOSIOLOGI

E-Book Sosiologi
Komunitas Braindilog Sociology
Edisi November 2015 – Maret 2017

BUDAYAKAN
MEMBACA
BUDAYAKAN
DISKUSI
BUDAYAKAN
MENULIS 2017
EDISI TOKOH

➢ AUGUSTE COMTE
➢ EMILE DURKHEIM
➢ GEORG SIMMEL
➢ HERBERT SPENCER
➢ IBNU KHALDUN
➢ KARL MARX
➢ MAX WEBER
➢ NORBERT ELIAS

WWW.BRAINDILOGSOCIOLOGY.OR.ID
www.braindilogsociology.or.id
2017
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karuniaNya sehingga komunitas Braindilog Sociology berhasil menyusun artikel hasil diskusi
pemikiran tokoh Sosiologi yang rutin dilakukan sebulan sekali. Ini merupakan salah satu upaya
untuk membantu menyebarkan ilmu Sosiologi di Indonesia dan menyediakan bahan bacaan
pemikiran para tokoh Sosiologi yang mudah dipahami oleh masyarakat umum. Penerbitan
kumpulan Artikel ini memuat beberapa topik sebagai berikut:
1. Pemikiran Auguste Comte. Oleh: Alan Sigit Fibrianto, S.Pd
2. Pemikiran Emile Durkheim. Oleh: Marina Tri Handhani, S.Pd
3. Pemikiran Georg Simmel. Oleh: Dani Bina Margiana, S.Sos
4. Pemikiran Herbert Spencer. Oleh: Marini Kristina Situmeang, S.Sos
5. Pemikiran Sosiologi Ibnu Khaldun. Oleh: Syamsul Bakhri, S.Pd
6. Pemikiran Karl Marx. Oleh: A.Zahid, S.Sos
7. Pemikiran Max Weber. Oleh: Lita Nala Fadhila, S.Sos
8. Pemikiran Norbert Elias. Oleh: Annisa Nindya Dewi, S.Sos
Dengan adanya upaya penyusunan Artikel ini, kami berharap mampu menambah
khasanah pengetahuan Sosiologi di Indonesia serta membuka jalan bagi siapa saja yang akan
mempelajarinya, meneliti, dan mendalami kajian Sosiologi di Indonesia. Berhasilnya
penyusunan ini selain berkat kerja keras para penyusun, juga berkat kritik serta masukan para
pembaca setia web Braindilog. Selain itu, adanya kerja sama yang baik serta bantuan segenap
pengurus, anggota dan dari berbagai elemen mitra Komunitas Braindilog Sociology.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan dari awal Diskusi sampai penyusunan buku kumpulan artikel ini.
Untuk selanjutnya kami mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca, demi
penyempurnaan penyusunan selanjunya. Semoga buku ini memberikan manfaat dan menjadi
wawasan baru mengenai kajian Sosiologi di Indonesia.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, 14 Februari 2017
Penyusun
AUGUSTE COMTE ( 1798 – 1857 )

Sekilas tentang Auguste Comte

Memiliki nama panjang Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte, atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Auguste Comte, yang juga sebagai sosok Bapak Sosiologi. Auguste
Comte lahir di Montpelier, Perancis, pada 19 Januari 1798, dan meninggal pada tanggal 5
September 1857. Comte lahir di keluarga kelas menengah. Meskipun dia adalah mahasiswa yang
terlalu cepat dewasa, Comte tidak pernah menerima gelar tingkat perguruan tinggi. Comte
pernah kuliah di Ecole Polytechnique, namun dia dikeluarkan karena sikap pemberontakannya
dan ide-ide politis darinya.

Pengusiran itu mempunyai efek sebaliknya pada karier akademik Comte. Ia menjadi
sekretaris dan anak angkat Claude Henri Saint-Simon, seorang filsuf senior Comte yang waktu
itu berusia 40 tahun dan waktu itu Comte muda berusia 19 tahun. Comte dan Simon bekerja
sama dengan erat selama bertahun-tahun dan Comte sangat memiliki hutang budi yang sangat
besar kepada Saint-Simon. Comte sangat terpengaruh secara intelektual oleh Saint-Simon.
Pemikirannya menjadi berkembang karena pemikiran-pemikiran dari Saint-Simon.

Namun pada akhirnya mereka berdua mengalami pertengkaran dan perpecahan, karena
Comte percaya bahwa Saint-Simon ingin menghilangkan nama Comte dari salah satu
kontribusinya. Lalu Comte menulis mengenai hubungannya dengan Saint-Simon sebagai
hubungan “pembawa bencana” dan melukiskan Saint-Simon sebagai seorang “pesulap yang
merusak”. Comte berkata tentang Saint-Simon bahwa dirinya sudah tidak lagi memiliki hutang
apapun kepada Saint-Simon sebagai orang yang sangat terkemuka pada saat itu.
Heilbron (1995) melukiskan Comte sebagai pria pendek (mungkin lima kaki, dua inci) atau
tingginya sekitar kurang lebih 157 cm, agak juling, dan sangat resah di dalam situasi-situasi
sosial, khususnya situasi yang melibatkan wanita. Istrinya Caroline Massin adalah anak haram
yang kemudian disebut Comte sebagai “pelacur”. Keresahaan pribadinya kontras dengan
keyakinan Comte akan kecakapan intelektualnya sendiri, dan tampaknya rasa harga dirinya
cukup mantap.

Ingatan Comte yang luar biasa sangat terkenal. Diberkati dengan ingatan fotografis dia
dapat mengeja kata-kata setiap halaman buku yang baru sekali dia baca. Daya konsentrasinya
sedemikian rupa sehingga dia mampu menguraikan dengan ringkas isi sebuah buku tanpa
menuliskannya. Kuliah-kuliahnya semuanya disampaikan tanpa catatan. Ketika duduk untuk
menulis buku-bukunya, dia menulis segalanya berdasarkan ingatan.

Mengenai kematian Comte yang dikatakan meninggal dalam keadaan gila memang
disebabkan karena dia memiliki masalah-masalah mental. Pada 1826, Comte menyiapkan suatu
skema yang dia gunakan untuk menyampaikan serangkaian dari tujuh puluh dua kuliah publik
(yang dilaksanakan di apartemennya) mengenai kuliah filsafat. Kuliah itu menarik perhatian para
pendengar terpandang, tetapi setelah melaksanakan tiga kuliah, Comte menderita gangguan
syaraf dan kuliah dihentikan. Dia terus menderita akibat masalah-masalah mental, dan pernah
melakukan percobaan bunuh diri (tetapi gagal) dengan melemparkan dirinya ke dalam Sungai
Seine.

Ada beberapa karya Comte yang sangat terkenal di antaranya yaitu, Cours de Philosophie
Positive yang terdiri dari enam volume yang membuatnya termasyur. Di dalam karyanya itu,
Comte menguraikan garis besar pandangannya bahwa sosiologi adalah ilmu terakhir. Karyanya
yang lain yaitu, System de Politique Positive yang terdiri dari empat volume, di mana isinya
mempunyai maksud yang lebih praktis, yang menyajikan suatu rencana besar untuk
pengorganisasian kembali masyarakat.

Konsep-konsep Teori Auguste Comte

Revolusi Perancis 1789 abad ke-18 dan abad ke-19, menyebabkan dampak terhadap
bangkitnya teori-teori sosiologis. Dampak Revolusi Perancis sangat besar dan menghasilkan
dampak positif. Akan tetapi, kemudian yang menarik perhatian oleh para teoritisi yaitu, dampak-
dampak negatif yang ditimbulkan yang telah merubah tatanan masyarakat pada waktu itu.
Mereka dipersatukan oleh hasrat untuk memulihkan tatanan masyarakat, yang kemudian
muncullah para teoritisi sosiologi klasik pada waktu itu, antara lain; Auguste Comte, Emile
Durkheim, Talcott Parsons.

Comte mengembangkan pengetahuan yang disebut fisika sosial. Dia juga yang pertama
mengenalkan istilah sosiologi, maka dari itu Auguste Comte disebut sebagai Bapak Sosiologi.
Pandangan ilmiah Comte yaitu mengenai “positivisme” atau filsafat positif. dari fisika sosial,
Comte memodelkan sosiologi menurut “ilmu-ilmu keras”. Ilmu ini kelak menurutnya akan
menjadi ilmu yang dominan, seperti berkenaan dengan statika sosial atau dinamika sosial
(perubahan sosial). Menurut Comte, dinamika sosial lebih penting daripada statika sosial, karena
dengan adanya perubahan akan mencerminkan pada pembaruan sosial. Comte fokus pada
perubahan sesuai dengan minatnya akan pembaruan sosial yang terjadi.

Konsep yang paling terkenal dari Auguste Comte adalah mengenai “teori evolusioner”
tentang hukum tiga tahap yaitu, tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik. Comte
mengusulkan bahwa ada tiga tahap intelektual yang dilalui di sepanjang sejarah dunia, yang akan
berpengaruh pada dunia, dan di dalamnya yang lebih inti, yaitu: kelompok-kelompok,
masyarakat, ilmu, individu, dan bahkan pikiran. Mengenai hukum tiga tahap yang diusulkan
Comte, untuk pengertian yang pertama yaitu, tahap teologis. Tahap teologis ini menurutnya
terjadi pada tahun 1300. Pada tahapan teologis ini, penekanannya yakni mengenai kepercayaan
bahwa akar dari segala sesuatu adalah disebabkan oleh kekuatan-kekuatan supernatural dan
tokoh-tokoh agamis yang diteladani oleh manusia. Secara khusus, dunia sosial dan fisik dianggap
dihasilkan oleh Tuhan. Tahap yang kedua yaitu, tahap metafisik. Pada tahapan ini ditandai oleh
kepercayaan bahwa daya-daya abstrak seperti “alam”, memiliki kekuatan ghaib, dipercaya
sebagai dewa dan diagung-agungkan. Tahap yang terakhir yaitu, tahap positivistik. Pada tahapan
ini ditandai oleh kepercayaan pada ilmu pengetahuan. Segala hal dikaji secara ilmiah dengan
mengedepankan fakta-fakta sosial yang bersifat empiris. Memusatkan perhatian pada
pengamatan dunia sosial dan fisik untuk mencari hukum-hukum yang mengaturnya. Hal ini
harus bersumber pada penelitian-penelitian dan pengamatan untuk menguak segala hal.

Menurut Comte, “kekacauan intelektual adalah penyebab kekacauan sosial”. kekacauan


berasal dari sistem-sistem ide yang lebih awal (teologis dan metafisik) yang masih berlanjut ke
dalam zaman positivistik (ilmiah). Menurut Comte, pergolakan sosial baru akan berhenti bila
positivisme telah mendapat kendali total. Dengan sosiologi, dapat mempercepat kedatangan
positivisme, sehingga membawa keteraturan kepada dunia sosial.

Pendirian Auguste Comte bagi perkembangan sosiologi klasik. Sebenarnya ada beberapa
konsep yang diusung Comte dalam perkembangan ilmu sosial. Konsep teori Auguste Comte
yaitu, antara lain: Konservatif dasar, Reformisme, Saintisme, dan Pandangan Evolusionernya
mengenai dunia (Hukum Tiga Tahap).

Comte menekankan pada perlunya melakukan teorisasi abstrak dan turun ke lapangan dan
melakukan riset sosiologis. Melakukan pengamatan, eksperimentasi, dan analisis historis
komparatif. Comte percaya bahwa pada akhirnya sosiologi akan menjadi kekuatan ilmiah yang
dominan di dunia karena kemampuan khasnya untuk menafsirkan hukum-hukum sosial dan
untuk mengembangkan pembaruan-pembaruan yang ditujukan untuk memperbaiki masalah-
masalah yang ada di dalam sistem.

Comte berada di garis terdepan perkembangan sosiologi positivistik. Positivisme Comte


menekankan bahwa, “semesta sosial selaras dengan perkembangan hukum-hukum abstrak yang
dapat diuji melalui penghimpunan data yang cermat”, dan “hukum-hukum abstrak itu akan
menunjukkan sifat-sifat dasar dan umum semesta sosial dan akan merinci ‘hubungan-hubungan
alamiah’-nya”.

Pemikiran – Pemikiran Comte

A. Hukum Tiga Tahap Perkembangan Evolusi Dunia


Teologi, Metafisika, dan Positivisme
Misalnya masyarakat pada zaman dahulu ketika akan berlayar atau melaut melakukan
pemujaan dan menaruh sesaji di pohon atau tempat tempat yang dianggap keramat (teologi),
tetapi ternyata tetap saja kapalnya tenggelam dan ketika terjadi bencana tempat-tempat pemujaan
tersebut juga ikut hancur sehingga dianggap bukan merupakan sesuatu yang istimewa lagi.
Masyarakat mulai berfikir bahwa yang paling berkuasa adalah alam (metafisika) maka ketika
akan berlayar melihat alam sedang bersahabat atau tidak. Tetapi, tetap saja walaupun berlayar
dalam keadaan alam yang bersahabat ada juga kapal yang tenggelam sehingga masyarakat mulai
berfikir kritis dengan menerapkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman-
pengalaman para pelaut untuk memperkokoh kapalnya dengan berlayar memanfaatkan kompas,
kapal yang tidak lagi hanya dari kayu (mulai dibuat lebih kokoh ditambahkan besi atau dibuat
dari besi, dan berlayar menggunakan peta dengan menghindari tempat-tempat rawan
(positifistik).

B. Fokus Perhatian Comte


Aliran Konservatif Dasar, Reformisme, Saintisme, dan Hukum Tiga Tahap Perkembangan
Evolusi Dunia.

Referensi

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

( Oleh: Alan Sigit Fibrianto )


EMILE DURKHEIM

Fakta Sosial

Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis pada 15 April 1858 yang masih keturunan rabi
(pendeta Yahudi). Ia dibesarkan di Perancis dan menjadi seorang akademisi yang sangat
berpengaruh karenaberhasil melembagakan sosiologi sebagai satu disiplin akedemisi yang sah.
Durkheim memberikan pengaruh yang besar dalam aliran fungsionalisme sosiologi. Karya
Durkheim antara lainThe Division of Society, The Rules of Sociological Methods, The
Elementary Forms of Religious Life, dan The Structure of Social Action.Dalam bukunya The
Rule of Sociological Methods,Ia menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari fakta–
fakta social yang memiliki karakteristik, pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap
individu, misalnya nilai, norma, bahasa. Kedua, bersifat memaksa individu dimana individu
dibimbing, didorong dan dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.
Ketiga, bersifat umum atau terbesar secara meluas dalam satu masyarakat. Fakta sosial
dibedakan menjadi dua tipe yaitu material dan non-material. Meski ia membahas keduanya
dalam karyanya, perhatian utamanya lebih tertuju pada fakta sosial non material (misalnya
kultur, instrusi sosial) ketimbang pada fakta sosial material (birokrasi, hukum). Fakta sosial non
material terdiri dari moralitas, nurani kolektif, representasi kolektif dan arus sosial. Perhatiannya
tertuju pada upaya membuat analisis komparatif mengenai apa yang membuat masyarakat bisa
dikatakan berada dalam keadaan primitif atau modern. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat
primitif dipersatukan terutama oleh fakta sosial non-material. Tetapi kesadaran sosial dalam
masyarakat akan semakin menurun seiring dengan pergerakan masyarakat yang makin kompleks
pada masyarakat modern.

Solidaritas dalam Struktur sosial


Seiring berjalannya waktu masyarakat juga akan berkembang dari primitive atau
tradisional menjadi modern begitu juga dengan system hubungannya yang disebut sebagai
solidaritas. Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara anggota masyarakat yang
didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama kemudian diperkuat
pengalaman emosional masyarakat. Penjelasan Durkheim mengenai solidaritas tertuang dalam
bukunya The Division of Labour in Society.Menurutnya, pertumbuhan dalam pembagian kerja
meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial masyarakat yang awalnya dari solidaritas
mekanik kemudian berkembang menjadi solidaritas organik. Menurut Durkheim, solidaritas
mekanik terbentuk atas dasar kesadaran kolektif, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan–
kepercayaan dan sentimen–sentimen bersama yang rata – rata ada pada warga yang sama itu.
Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah homogen dalam kepercayaan atau
sentimen dan memiliki tingkat pembagian kerja yang minim.Sedangkan solidaritas organik,
muncul atas dasar pembagian kerja bertambah besar dan saling ketergantungan yang sangat
tinggi, ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat restitutif (menekankan pada ganti rugi
kesalahan) dari pada yang bersifat represif (menindas).

Bunuh Diri
Selanjutnya dalam bukunya yang berjudul Suicide, Durkheim berpendapat bahwa bila ia
dapat menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri itu dengan fakta sosial. fakta sosial
yang satu dengan fakta sosial yang lain memiliki hubungan interdependensi. Durkheim
memperlihatkan analisisnya tentang kekuatan sosial yang mempengaruhi perilaku manusia
dengan melakukan penelitian yang membandingkan angka bunuh diri pada beberapa negara di
Eropa dan didapati bahwa angka bunuh diri di tiap negara berbeda kemudian dari itu semua
Durkheim menarik kesimpulan yang menyatakan bahwa bunuh diri bukan terjadi karena alasan
pribadi melainkan terdapat faktor sosial yang melandasi tindakan bunuh diri. Durkheim
mengelompokkan 4 tipe bunuh diri yang terjadi dalam masyarakat. yang pertama adalah bunuh
diri egoistis yang terjadi karena lemahnya integrasi sosial kemudian membuat individu merasa
dirinya bukan bagian dari masyarakat dan masyarakat bukan bagian dari individu. Kedua, bunuh
diri altruistik yang terjadi karena kuatnya integrasi sosial masyarakat yang menjadikan individu
malu apabila melakukan hal – hal yang memperburuk citra masayarakat atau kelompoknya.
Ketiga, bunuh diri anomik yang terjadi karena lemahnya regulasi dalam masyarakat yang
ditandai dengan banyaknya kekacauan akibat terganggunya kekuasaan – kekuasaan pengatur
masyarakat. keempat adalah bunuh diri fatalistic yang justru terjadi karena terlalu kuatnya
regulasi dalam masyarakat.

Agama
Dalam bukunya yang berjudul The Elementary Form of Religious Life,Durkheim
memandang bahwa agama berhubungan dengan suatu Dunia yang suci atau sacral (sacred).
Durkheim mendefinisikan agama sebagai suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaan-
kepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan benda-benda suci dalam bentuk simbol
dimana agama dapat menjadi salah satu kekuatan untuk menciptakan integrasi sosial.
Kepercayaan dan ritus agama dapat memperkuat ikatan - ikatan sosial dimana kehidupan
kolektif tersebut ada. Sehingga menunjukkan bahwa hubungan antara agama dan masyarakat
memiliki ketergantungan yang sangat kuat. Menurut Durkheim, kepercayaan-kepercayaan
memperlihatkan kenyataan masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis. Ritus - ritus
mempersatukan individu dalam kegiatan bersama dengan satu tujuan bersama dan memperkuat
kepercayaan, perasaan dan komitmen moral yang merupakan dasar struktural sosial. Durkheim
menjelaskan bahwa anggota-anggota komunitas berkumpul bersama untuk memperkuat kembali
nilai-nilai dasar atau memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah mereka bersama.

Pembaruan sosial dan Pendidikan Moral


Seperti yang telah kita ketahui bahwa tulisan – tulisan Durkheim mengacu pada isu – isu
sosial. baginya, masyarakat hanya aka nada dalam dua kondisi yaitu masyarakat yang normal
dan masyarakat yang patologis, masyarakat yang normal cenderung tertata dengan baik dan para
anggota masyarakatnya menjalankan nilai dan norma ideal. Sedangkan masyarakang patologis
dianggap sebagai masyarakat yang memiliki berbagai masalah seperti penyimpangan –
penyimpangan dan kekacauan. Dalam hal ini, Durkheim memberikan sebuah solusi pembaruan
sosial dengan melakukan adanya pendidikan moral yang harus ditanamkan kepada anak – anak
dalam hal moralitas

Referensi
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

( Oleh: Marina Tri Handhani )


GEORG SIMMEL

Georg Simmel memiliki 4 teori besar yang akan dibahas yakni Pemikiran Dialektis,
interaksi sosial, kebudayaan subjektif dan objektif. Seperti tokoh pemikiran dialektis lainnya
Hegel dan Marx apakah terdapat perbedaan dari analisa Simmel tentang pemikiran dialektis ?
dan bagaimana konsep interaksi sosial milik Simmel, apakah seperti Baudrillard tentang yang
membahas adanya I and Me? Kemudian konsep terakhir dari Simmel adalah studi kasus.

Kehidupan Georg Simmel, beliau lahir pada tanggal 1 Maret 1858 di Berlin, tumbuh
sebagai seorang yang menggeluti bidang filsafat di Universitas Berlin. Perjalanan karier Georg
Simmel diawali dengan menjadi pengajar tidak tetap di Universitas Berlin dan tidak dibayar.
Meskipun secara finansial tidak mendapatkan hasil yang setimpal, namun Simmel memiliki
prestasi tersendiri, karena beliau dalam mengajar menyenangkan, mengangkat hal-hal yang baru
dan hal ini membuat para mahasiswa menyukai gaya mengajar Simmel. Selain menjadi pengajar
tidak tetap, Simmel juga menjadi private dosen untuk mahasiswa-mahasiswanya dengan bayaran
yang cukup tinggi, sehingga perlahan kariernya mulai naik. Setelah mendapatkan gear doktoral,
Simmel diangkat sebagai staff pengajar tetap di Universitas Berlin. Kondisi kemudian mulai
berubah karena pada saat itu di Jerman terjadi gerakan anti semitisme yang menyebabkan kaum
Yahudi menjadi terpinggirkan. Alhasil Simmel pindah ke sebuah universitas kecil si Strasbourg
pada tahun 1914, meskipun keadaan akademik disana tidak seperti di Jerman, bahkan
mahasiswa-mahasiswa Simmel menyayangkan kepindahan Simmel dari Universitas Berlin.
Karier Simmel di Strasbourg tidak berjalan mulus karena pada tahun tersebut terjadi Perang
Dunia I yang memporak-porandakan kehidupan di Strasbourg sehingga berimbas pada karier
Simmel yan terpaksa berhenti hingga beliau wafat pada tahun 1918.

Beberapa pokok perhatian Simmel adalah tentang pemikiran dialektis (gaya, kebudayaan
objektif dan subj ektif), interaksi sosial, the philosophy of money, studi kasus.
Pemikiran dialektis Simmel memiliki kemiripan dengan Marx dan Weber, Simmel menangkap
fakta namun mengkaji secara mikro dan lebih menganalisa secara psikologi. Misalnya adalah
konsep tentang Gaya. Gaya merupakan suatu esensi yang menarik dan dualistis. Gaya
merupakan suatu bentuk relasi yang memungkinkan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan
keinginan kelompok. Gaya dikatakan sebagai proses historis, dimana pada tahap awal setiap
orang akan menerima gaya, kemudian mulai memilah-milah mana yang cocok baginya, pada
tahap akhir seseorang dapat saja melenceng dari gaya yang ada dan menciptakan gaya sendiri.
Gaya juga bersifat dialektis, dimana persebaran gaya dinilai sebagai sebuah keberhasilan yang
berujung pada kegagalan. Adanya perbedaanlah yang menyebabkan kecocokan, semakin banyak
orang yang menerima maka gaya akan kehilangan daya tariknya. Dan sebagai wujud dualitas,
gaya juga digunakan sebagai upaya untuk keluar dari gaya. Secara garis besar, gaya merupakan
fenomena mikro yang menjadi kajian pemikiran dialektis Simmel.

Kesadaran Objektif dan Kesadaran Subjektif. Kesadaran objektif menurut Simmel


adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia, seperti barang, benda, iptek, budaya, dan
lain-lain. Kesadaran subjektif adalah kemampuan manusia untuk menggunakan, mengelola dan
menguasai hasil dari kebudayaan objektif.

Kapan suatu kebudayaan dikatakan sebagai kebudayaan subjektif dan kebudayaan


objektif? Kebudayaan dikatakan sebagai kebudayaan objektif adalah saat “aku menciptakan
sesuatu” , dan kebudayaan subjektif adalah saat “ aku menggunakan sesuatu”. Bukan pada
kapan, tapi pada apa yang dilakukan, jika menciptakan maka hasilnya berupa kebudayaan
onjektif dan apabila menggunakan maka hasilnya adalan pemanfaatan hasil manusia
(kebudayaan subjektif).

Kesadaran individu, menurut Simmel basis dari kehidupan sosial adalah individu atau
kelompok yang sadar dan berinteraksi satu sama lain untuk beragam motif, tujuan dan
kepentingan. Sehingga disini, kesadaran individu akan terus terjadi selama terdapat bentuk
interaksi, menurut Simmel masyarakat bukan hanya perwujudan dari nilai-nilai yang ada di luar
dari dirinya, melainkan sebagai bentuk representasi diri atas berbagai pengetahuan maupun
pengalaman yang ada daam dirinya. Seseorang dikatakan menggunaan kesadaran individunya
adalah saat manusia sebagai aktor dapat mengambil dorongan eksternal, menjajaki, dan
memutuskan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan melalui kemampuan internal yang dimiliki.

Interaksi Sosial. Simmel cukup tertarik dengan adanya interksi, salah satunya adalah
mengenai geometri sosial. Geometri relasi sosial melihat dampak jumlah dan jarak terhadap
kualitas interaksi sosial. Menurut Simmel terdapat dua konsep yag berkaitan dengan geometri
sosial, yakni dyad dan triad. Dyad adalah kelompok yang terdiri dari dua orang. Sedangkan triad
adalah kelompok yang terdiri dari 3 orang. Tambahan orang ketiga dalam suatu kelompok
mengakibatkan perubahan yang radikal dan fundamental. Pola tambahan orang ke empat, lima
dst hampir sama dengan keberadaan orang ketiga. Dyad memiliki ciri tidak memperoleh makna
di luar dua individu yang ada di dalamnya, level individualitas tinggi dan mudah dipisahkan,
tidak ada struktur kelompok independen. Triad memiliki ciri, memungkinkan orang di dalam
kelompok mendapatkan makna diluar mereka sendiri, terciptanya struktur kelompok independen,
kehadiran orang ketiga merupakan ancaman bagi kondisi individualitas anggotanya, namun
kemunculan orang ketiga bisa berperan sebagai mediasi jika terjadi perselisihan namun juga bisa
memanfaatkan situasi yang sedang terjadi diantara anggota kelompok lainya. Kaitannya dengan
jumlah kelompok, bahwa semakin besar jumlah kelompok maka semakin kecil kontrol sosialnya,
dan semakin kecil kelompok maka semakin terikat kontrol sosialnya. Superordinasi dan
subordinat merupakan relasi dominasi yang saling timbal balik, menurut Simmel bahwa
Superordinasi bisa saja mengambil secara penuh independensi pihak yang tersubordinasi, namun
pihak suborniasi masih memiliki kebebasan dan pihak superordinasi menghendaki adanya
insiatif yang datang dari pihak subordinasi. Keduanya merupakan hubungan timbal balik.

Apakah Simmel itu bukan tokoh sosiologi klasik? Karena ranah bahasannya bersifat
psikologis? Sedangkan Sigmund Freud, dia membahas psikologi tapi kenapa tidak dimasukkan
ke dalam salah satu tokoh sosiologi? Sedangkan yang kita tahu bahwa sosiologi bersifat fakta
sosial dan empiris.

Simmel melihat masyarakat lebih ke individu, jadi tidak dapat dikatakan sepenuhnya dia
mengkaji tentang psikologi, hanya ketertarikan Simmel memang di ranah yang berlevel mikro.
Menurut Sigmund Freud bahwa antara psikologi, sosiologi dan histori merupakan tiga cabang
ilmu yang saing berkaitan dan tidak bisa lepas, karena masing-masing dari keilmuan ini
menciptakan sebuah irisan dan pada irisan itulah terdapat kaitan antara ketiganya. Selalu ada
irisan antara psikologi dan sosiologi, dan mungkin di ranah tersebutlah Simmel menggunakal
analysis frame untuk mengkaji berbagai ketertarikannya. Hal yang berlevel mikro itu ranahnya
psikologi. Psikologi dan Sosiologi itu sama-sama objeknya adalah manusia. Bedanya psikologi
membahas sesuatu yang tidak nampak dari individu yakni emosi, jiwa, karakter, dll. Sedangkan
sosiologi lebih membahas hal yang nampak dari individu/ kelompok yakni aksi, interaksi,
konflik, dan lain-lain.

Teori of Money. Dalam teori yang berkaitan dengan uang ini, Simmel sedikit
menggunakan sentuhan Marxis karena melihat uang sebagai sebuah fenomena kapitalistik.
Simmel mengkaji uang yang bertransformasi menjadi sebuah nilai. Jadi segala hal yang dapat
dinilai harganya menggunakan parameter uang. Subjek yang dalam melakukan usahananya
untuk menjangkau objek memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi maka dikatakan memiliki
nilai yang besar, dan nilai yang besar ini dapat diuangkan menjadi pendapatan yang lebih besar.
Namun terdapat beberapa hal dialektis yang kemudian muncul dari bagaimana uang
bertransformasi menjadi nilai, kaitannya dengan usaha maka jarak juga ikut memberikan
pengaruh. Kemampuan seseorang atau subjek dalam mengjangkau objek dilihat dari jaraknya,
sesuatu yang berjarak terlalu dekat maka tidak akan memiliki nilai, demikian pula dengan
sesuatu yang berjarak terlalu jauh maka nilainya pun akan hilang karena terlampau tidak bisa
dijangkau. Ada gigitan dari Karl Marx tentang kapitalisme, hanya saja Simmel membuatnya
lebih halus seakan menyembungikan kapitalisme dalam wadah transformasi uang menjadi nilai.
Apakah ada kaitannya antara uang dengan perilaku? Iya, kedua hal tersebut memang saling
mempengaruhi. Misalnya, dilihat dari profesi Doktor dan PNS, dokter memiliki nilai yang lebih
tinggi dibandingkan dengan PNS, sehingga Dokter memiliki uang yang lebih banyak, tentu saja
hal tersebut berhubungan dengan perilakunya.

Ada peristiwa dimana buruh berdemo besar-besaran untuk menuntut gaji, sedangkan bidan,
dokter, guru merasa hal tersebut tidak perlu dilakukan oleh mereka, mereka cenderung menerima
hasil yang mereka miliki. Meskipun harga atau gaji yang didapatkan tidak jauh beda dengan
standar upah buruh. Karena ada nilai lain yang dimiliki Bidan dibandingkan dengan Buruh,
profesi Bidan menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan buruh, sehinhgga mereka
memiliki prestige yang lebih baik.

Tragedi Kebudayaan. Kaitannya dengan Theory of Money, dimana uang menjadi


parameter untuk mengukur nilai sesuatu. Tragedi kebudayaan pun ikut mengiringi, dimana
terciptanya segmentasi, pembagian kerja, terciptanya spesialisasi sehingga kekuatan intelektual
semakin mempertegas posisi seseorang melalui pelapisan tersebut. Hal ini termasuk dalam
bentuk kapitalisme dan imperalisme yang berbalut pada intelektual, sehingga kemampuan
seseorang dalam hal ilmu merupakan sebuah komodifikasi sehingga laku di pasar dunia kerja.

Studi Kasus. Simmel memiliki konsep atas studi kasus yang menarik dan berbeda dari
yang lain, dimana studi kasus menurut Simmel dapat diuraikan sebagai sebuah spesifik atau
kerahasiaan. Simmel mengatakan bahwa interaksi tidak mungkin terjadi apabila antara orang
yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengetahui sesuatu hal dari lawan interaksi mereka.
Padahal orang akan menyembunyikan kerahasiaannya dari pihak luar dan pihak luar selalu
berusaha untuk mengungkapkan rahasia itu dengan cara tertentu. Jadi menurut Simmel, sebuah
kasus dapat saja dibuka karena setiap orang memiliki potongan-potongan petunjuk yang dapat
mengurai suatu kasus, dan dengan ini Simmel menggunakan premis tersebut sebagai studi kasus.

Tragedi kebudayaan itu lebih menghargai intelektualitas, seperti kasus adanya ijazah abal-
abal dan prosesi wisuda abal-abal. Pendidikan di Indonesia memberikan akses yang besar hanya
pada kaum yang memiliki intelektualitas tinggi, kita terlalu memberikan nilai yang mahal
terhadap pendidikan bagaimana kita bisa menebus dosa pendidikan, yakni dengan memfasilitasi
bagi semua orang yang ingin mengakses ke dunia pendidikan. Karena sejauh ini spesialisasi
kerja menuntut kompetensi di bidang intelektualitas sehingga pendidikan menjadi sesuatu yang
bernilai dan bahkan di perjual-belikan.

Referensi

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

( Oleh: Dani Bina Margiana )


HERBERT SPENCER
(1820–1903)

Jika kita berbicara mengenai teori evolusi dan perkembangannya, barang kali kebanyakan
orang akan menyebutkan nama seorang ilmuwan Klasik Charles Darwin sebagai tokoh dalam
teori Evolusi yang terkenal dengan karyanya “Seleksi Alamiah”. Akan tetapi, jauh sebelum
Darwin, ada seorang tokoh sosiologi yang berpengaruh terhadap perkembangan sosiologi di
Inggris, adalah dia Herbert Spencer yang pertama kali menemukan ungkapan “kelangsungan
hidup yang paling kuat” sebelum karya Darwin mengenai seleksi alamiah. Dalam hal
pengaruhnya terhadap perkembangan teori sosiologi, Spencer sering dikategorikan bersama
Comte sebagai ilmuwan sosiologi yang konservatif. Meskipun sulit sekali untuk
mengkategorikan Spencer sebagai ilmuwan yang konservatif karena pandangan awalnya yang
liberal dan politis, namun sepanjang perjalanan hidupnya serta pengaruhnya yang mendasar
terhadap perkembangan sosiologi menjadikan Spencer kemudian dikategorikan sebagai salah
satu ilmuwan klasik yang konservatif.

Spencer lahir di Derby, Inggris, pada 27 April 1820. Dalam perjalanannya, Spencer sendiri
awalnya adalah seorang yang menekuni bidang teknis dan praktis. Tahun 1837 ia bekerja sebagai
seorang Insyinyur sipil untuk kereta api, pekerjaan ini ia lakoni hingga tahun 1846. Selama
periode tersebut, Spencer kemudian melanjutkan studinya dan memulai menerbitkan karya-
karyanya yang bersifat ilmiah dan politis. Sebenarnya, Spencer sendiri tidak pernah dididik di
bidang seni maupun ilmu humaniora, namun ketertarikan itu muncul manakala pada saat itu
Spencer dalam pekerjaannya menemukan adanya potongan-potongan rel kereta api yang lambat
laun mengalami perubahan.

Pada tahun 1848, Spencer memulai karirnya di bidang Jurnalistik, pada saat itu ia ditunjuk
sebagai editor majalah the economist, yaitu sebuah tabloid mingguan keuangan yang terkenal
dan sangat berpengaruh pada kelas menengah saat itu. Setelah ia menekuni bidang jurnalistik,
pada saat itu pula karya-karyanya mulai mengental dan dikenal oleh banyak orang. Kemudian di
tahun 1850, ia mengeluarkan karya pertamanya “the social statics” , dimana karyanya tersebut
banyak membahas dan mengupas tentang politik dan evolusi manusia. Meskipun dalam proses
penulisan karyanya yang pertama Spencer sempat mengalami Insomnia yang mengakibatkan ia
mengalami masalah mental (Kemacetan Saraf), lantas hal tersebut tidak membuat Spencer
berhenti menghasilkan karya-karyanya dalam bidang humaniora. Setelah karyanya yang
pertama, pada tahun 1852 Spencer dipercaya untuk bekerja dalam dunia pemerintahan dan
berperan sebagai mediator. Dibalik kesibukannya dalam dunia pemerintahan, Spencer tetap
menyempatkan untuk manulis karya-karyanya dan kembali berhasil menerbitkan artikel
mengenai “The Development Hyphothesis.”

Pada tahun 1853, beliau disarankan untuk meninggalkan pekerjaan dan menjalani sisa
hidupnya sebagai seorang sarjana gentleman (sarjana dengan penghasilan yang independen) oleh
sebab masalah saraf yang dialaminya. Namun, ketika Spencer mulai menyendiri akibat sakit fisik
dan mentalnya yang semakin parah, produktivitas Spencer dalam mengahasilkan karya semakin
meningkat, yang menjadikan namanya semakin tenar di Inggris pada saat itu. Pada tahun 1855,
bergerak dalam bidang psikologi dan evolusi, Spencer kembali mengeluarkan karyanya tentang
“The Principle Of Physchology Edisi Pertama”. Berangkat dari karyanya tersebutlah, pada tahun
1858 Spencer memulai ketertarikannya dalam bidang sosiologi the shyntetic philosophy, dan
menyusun karyanya dari sudut pandang evolusi tentang tahap perkembangan masyarakat yang
diterbitkan sekitar tahun 1862.

Sepanjang karirnya, Spencer terkenal sebagai ilmuwan yang sama halnya seperti Comte,
yakni mempratikkan “Kebersihan Otak.” Dimana dalam menghasilkan karya-karyanya Spencer
tidak pernah membaca buku, tulisan, atau gagasan dari orang lain. Baginya, sepanjang hidupnya
ia adalah seorang pemikir bukan pembaca, sehingga ia tak membutuhkan ide atau gagasan dari
orang lain untuk menguatkan karya-karyanya. Hal ini lah yang kemudian menjadikan runtuhnya
intelektual Spencer yang berujung pada kekuatan teorinya yang diragukan oleh ilmuwan-
ilmuwan saat ini. Dalam penelitiannya, Spencer membayar peneliti untuk membaca dan meneliti
tentang persoalan etnografi maupun sejarahnya. Setelah semuanya didapat barulah kemudian ia
mengatur penelitiannya dengan sistemnya sendiri. Hasil dari usaha tersebut, pada tahun 1873-
1881 beliau berhasil menerbitkan karyanya mengenai “the descriptive of sociology” beserta buku
“The Study of Sociology” tentang tatanan sosial dan sistem sosial masyarakat. Kedua karya
tersebut itulah yang merupakan karya terbesar Spencer sepanjang perjalanannya dalam bidang
sosiologi.

Spencer sendiri adalah seorang ilmuwan yang tidak pernah mendapat gelar universitas
ataupun memegang suatu posisi akademik, baik sebagai insinyur teknik maupun ilmuwan dalam
bidang humaniora. Ketekunannya dalam mempelajari suatu bidang keilmuan serta karya-
karyanya yang banyak dipakai sejak tahun 1867 pada Oxfort University, menjadikan Spencer
sempat mendapatkan tawaran mengajar di 32 Universitas terkemuka di Inggris, namun ia
menolaknya. Beberapa karya-karya luar biasa yang dihasilkannya lewat pemikirannya sendiri itu
kemudian menjadikan Spencer dinobatkan sebagai seorang filsuf yang terhormat.
Pandangan yang mendasari Spencer mengenai Evolusi

Seperti yang telah disampaikan penulis di awal, Spencer adalah seorang ilmuwan yang
sering sekali disamakan dengan raksasa sosiologi, Auguste Comte, dari segi pengaruhnya
terhadap perkembangan sosiologi, yakni sama-sama merupakan dua ilmuwan yang konservatif.
Konservatif Spencer terletak pada penerimaannya terhadap doktrin “laisses-faire” yang mana
negara hanya berhak mencampuri urusan-urusan perlindungan hak yang pasif, namun tidak
dengan urusan individu. Sebagai seorang “social darwinist” ia menganut paham evolusioner
yang memiliki pandangan bahwa dunia terus tumbuh semakin baik. Kehidupan manusia
seharusnya bebas dari pengaruh dan pengendalian luar, campur tangan dari luar hanya akan
memperburuk situasi. Lembaga-lembaga sosial, tumbuhan, hewan, akan menyesuaikan diri
secara progressif dan positif kepada lingkungan sosialnya. Kelangsungan hidup manusia adalah
suatu proses seleksi alamiah “Kelangsungan Hidup bagi yang paling kuat” artinya adalah sejalan
dengan adanya rintangan intervensi eksternal, maka yang “kuat” akan bertahan hidup dan
berkembang biak, sementara mereka yang “tidak kuat” akan punah. Pandangan Spencer yang
berada pada level individu inilah yang menjadi perbedaannya terhadap pandangan Comte yang
lebih berfokus kepada satuan-satuan yang lebih besar seperti keluarga.

Kesamaan lain diantara keduanya adaah kecenderungan Spencer dan Comte dalam melihat
masyarakat sebagai suatu organisme. Dalam hal ini, Spencer meminjam perspektif-perspektif
dan konsep-konsep sosiologi untuk menjelaskan pandangannya mengenai evolusi. Menurut
Spencer masyarakat dapat dipandang secara ilmiah dan dapat pula dipandang secara evolusioner.
Melalui perspektif biologi, Spencer menjelaskan pandangannya mengenai masyarakat melalui
evolusi yang sistematik pada alam semesta, yakni terdiri dari materi dan energi. Seperti halnya
dalam istilah yang ia keluarkan “evolution is a change from a state or relatively indefinite,
incoherent, homogenity to a state of relatively devinite, coherent, and heterogenity.” Perubahan
itu dalam pandangan evolusi oleh Spencer dilihat sebagai suatu hal yang bergerak dari hal yang
sederhana menuju ke hal yang rumit, dan berturut-turut. Manusia dapat diibaratkan seperti
struktur lapisan tanah, iklim, dan bumi. Kemudian dapat dilihat pula adanya kumpulan ras,
peradaban individu, politik, ekonomi, agama, dan tingkat akktifitas manusia yang beragam,
konkrit dan abstrak. Perbedaan-perbedaan serta hal-hal yang beragam inilah oleh sebab
perbedaan kepentingan antar manusia yang kemudian memunculkan adanya seleksi alam,
mereka yang “kuat” akan bertahan, sedangkan mereka yang “lemah” akan tersingkirkan dan
punah.

Evolusi dalam pendekatan sosiologi menurut pandangan Spencer adalah lebih menjurus
kepada evolusi tingkah laku manusia yang dituliskannya dalam buku the principles of sociology.
Dalam bukunya tersebut ia mengatakan bahwa kemajuan organisme masyarakat dari jenis rendah
ke tinggi adalah jenis kemajuan dan keseragaman struktur. Dalam hal ini, Spencer
mempertahankan pola sebab akibat, dan memandang suatu masalah dari segi perilaku
masyarakat itu sendiri maupun yang berasal dari alam. Seperti halnya Evolusi dalam pandangan
politik menurut Spencer berada pada sistem politik itu sendiri. Sistem politik pada suatu negara
hendaknya berdasarkan pada kondisi masyarakat yang ada dan tidak memaksakan sistem. Dalam
pandangan pernikahan antar manusia, Spencer melihat evolusi manusia melalui perkembangan
perkawinan, bentuk-bentuk keluarga, konsep harta milik dan sebagainya. Pada masa sekarang,
ayah merupakan faktor penentu garis keturunan. Hal ini adalah suatu bentuk perubahan yang
mana pada masyarakat primitif terdahulu (matrilineal) ayah adalah penerima keturunan.

Teori Evolusioner Spencer

Dalam teorinya ini ada dua perspektif utama evolusioner yang menjadi dasar
pemikirannya. Pertama, berkenaan dengan ukuran manusia yang semakin bertambah. Bertumbuh
dari pelipatgandaan individu, maupun kelompok yang bercampur. Pertumbuhan ukuran-ukuran
masyarakat ini kemudian menunculkan struktur-struktur yang lebih besar dan dan
terdeferensiasi, termasuk dalam fungsinya. Hal inilah yang menurut Spencer kemudian makin
lama akan makin menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan, yang berujung kepada
perubahan masyarakat dari yang sederhana ke penggabungan masyarakat yang semakin banyak
dan kompleks.

Dalam pembahasan mengenai sistem sosial, Spencer menyebutkan bahwa masyarakat


awalnya adalah organisme atau atau superorganis yang hidup berpencar-pencar. Dimana antara
masyarakat dan badan-badan yang ada disekitarnya terdapat suatu keseimbangan tenaga, suatu
kekuatan yang seimbang antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain, antara
kelompok sosial satu dengan kelompok sosial lainnya. Dalam upaya menuju keseimbangan,
masyarakat dengan masyarakat lainnya, masyarakat dengan lingkungan mereka, akan berjuang
satu sama lain demi eksistensi mereka diantara warga masyarakat. Proses mempertahankan
eksistensi ini yang akirnya memunculkan konflik dan menjadi suatu kegiatan masyarakat yang
lazim. Perjuangan mempertahankan eksstensi ini kemudian memunculkan rasa takut di dalam
hidup bersama serta rasa takut untuk mati. Rasa takut mati dalam hal ini oleh spencer adalah
pangkal kontrol terhadap agama. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh
kontrol politik dari agama menjadi militerisme.

Kedua, Spencer menjelaskan perkembangan evolusi masyarakat dari masyarakat militan


menuju industrial. Pada mulanya masyarakat militan terstruktur guna melakukan perang. Pada
masyarakat militan perang yang bersifat ofensif dan defensif, bermanfaat dalam penyatuan
masyarakat. Perang yang dilakukan adalah difungsikan sebagai cara untuk menaklukan militer
dan menghimpun masyarakat yang lebih besar guna membantu perkembangan masyarakat
industri. Dalam upaya menyatukan masyarakat yang takut hidup bersama, militan
menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang kecil menjadi kelompok sosial yang lebih
besar, dan kelompok-kelompok tersebut memerlukan integrasi sosial. Proses semacam inilah
yang menurut Spencer akan memperluas medan integrasi sosial yang akan memupuk rasa
perdamaian antar sesama serta kegotongroyongan.

Sejalan dengan proses perkembangan masyarakat dari militan menuju masyarkat industri ,
kemudian akhirnya menjadikan masyarakat tidak menyukai perang dan menganggap perang
adalah suatu tindakan yang tidak bermanfaat. Kebiasaan berdamai dan bergotong-royong
membentuk sifat, tingkah laku, serta organisasi sosial yang suka pada hidup tenteram dan penuh
rasa kesetiakawanan. Pada tipe masyarakat yang penuh dengan perdamaian, rasa spontanitas
serta inisiatif akan semakin bertambah. Dalam hal ini masyarakat dapat saja dengan leluasa
pindah dari satu tempat ke tempat lain dan mengubah hubungan sosial mereka, namun hal ini
tidak merusak kohesi sosial yang telah ada. Perubahan masyarakat dari militan menuju
masyarakat industri menjadikan masyarakat memiliki semangat pekerja keras. Semangat kerja
keras yang disertai dengan penuh rasa perdamaian akan membentuk keseimbangan antara
elemen masyarakat yang hidup dalam bingkai struktur sosial yang sama. Dalam hal inilah
Spencer memandang masyarakat militan berkembang menuju ke keadaan moral yang paling
ideal dan sempurna.

Begitulah sekilas pembahasan mengenai Herbert Spencer dalam Teori Evolusi Masyarakat.
Ada banyak lagi sebenarnya pembahasan mengenai teori Evolusi Spencer yang dapat dibahas
dengan membandingkannya berdasarkan teori evolusi dari tokoh-tokoh lain. Dalam tulisan
selanjutnya, kita akan membahas lebih dalam. Semoga tulisan lewat bahasa yang sederhana ini
dapat memperkaya dan memberikan pemahaman kepada pembaca tentang awal perkembangan
teori evolusi.

Referensi

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

( Oleh: Marini Kristina Situmeang )


IBNU KHALDUN

Ada 5 (lima) poin penting dari pemikiran Ibnu Khaldun, di antaranya: 1) Ilmu Masyarakat
Manusia; 2) Masyarakat Badui dan Hadar; 3) Asabiyyah/ Solidaritas Sosial Masyarakat/
Perasaan Kelompok/ Loyalitas Kelompok; 4) Perkembangan Akal Budi Masyarakat; dan 5)
Metode Analisis Sosial Terpadu Ibnu Khaldun.

Beliau dikenal sebagai ulama multidisipliner (sejarah, sosiologi, politik, ekonomi, hukum,
dan agama). Di Timur dijuluki sebagai Al Alamah (Maha Guru) dan di barat bergelar the
Polymath (Penghimpun berbagai ilmu pengetahuan). Beliau lahir di Tunisia 1 Ramadhan
732H/1332M, dari lahir hingga berumur 20 tahun beliau mengenyam pendidikan atau fokus
untuk belajar Tajwid, Qiroah, dan menghafal Al-Qur,an. Beliau juga mempelajari fikih mazhab
Maliki, Hadist Rasul, dan Puisi. Beliau mempelajari Hadist dari Abu ‘Abd Allah Muhammad
b.Jabir b.Sultan al-Qaisi al-Wadiyashi (otoritas hadist terbesar dari Tunisia) yang
menganugerahkan ijazah (lisensi) kepada Ibnu Khaldun untuk mengajar bahasa dan hukum.
Beliau juga menerima ijazah dari guru-guru lain dari sarjana-sarjana terkemuka yang mengungsi
ke Tunisia setelah pendudukan wilayah Irfikiyah oleh Sultan Mariniyun, Abu al-Hasan pada
748M/1347H (Alatas, 2017: 17).

Figur paling berpengaruh terhadap perkembangan intelektual Ibn Khaldun adalah guru
utamanya, Muhammad b.Ibrahim al-Abili, guru besar ilmu-ilmu rasional. Al-Abili membuat Ibn
Khaldun menyadari bahwa praktik-praktik pengajaran tertentu justru merugikan proses transmisi
pengetahuan: penyebarluasan buku bacaan bisa berdampak negatif bagi penyajian ilmu
pengetahuan; ketersediaan buku tidak memadai untuk pemerolehan ilmu, orang tetap
memerlukan perjalanan, menemui para pakar dan belajar dibawah petunjuk mereka; ketersediaan
buku ringkasan tidak dapat menyingkap hal-hal untuk dipelajari secara mendalam, sungguh
penting untuk mencari ilmu dari sumber-sumber aslinya secara langsung (Alatas, 2017:18). Hal
ini yang mendasari pembangunan dan gagasan pendidikan menurut Ibnu Khaldun yang ditulis
dalam Muqaddimah-Nya.

Setelah itu, perjalanan hidup beliau mulai memasuki dunia ketatanegaraan dengan menjadi
sekertaris pribadi sultan abu ishaq 751 H/1350 M, dan pada tahun 755 H/1354 M diangkat oleh
sultan Abu Enan sebagai sekertaris dan pengurus rumah tangga istana. Setelah kerajaan Sultan
Abu Enan runtuh beliau tinggal di afrika utara (Maroko) dan Andalusia (Spanyol) sebagai
penasehat raja, kurang lebih selama 15 tahun.

Salah satu perjalanan hidup beliau yang paling menarik adalah pertemuan dengan Timur
Leng. Menurut Alatas (2017: 27-28) Saat Timur Leng berhasil merebut suriah dan Aleppo,
Penduduk mesir sangat ketakutan sehingga menghimpun kekuatan dibawah kepemimpinan
sultan al-Tahhir al-Barquq untuk mengusir bangsa Tartar. Ibnu khaldun juga ikut berperang atas
dasar permintaan sang sultan. Karena setelah peperangan antara Mesir dengan Timur Leng
selama lebih dari satu bulan tetapi tidak ada pihak yang menang secara mutlak, Ibn khaldun
akhirnya menemui Timur Leng di Damaskus pada Maulud 803H/ 5 oktober 1400 M, mereka
bercakap-cakap cukup lama; antara Timur Leng bertanya tentang pekerjaan Ibnu khaldun,
tentang sejarah afrika utara, dan karena Timur Leng terkesan dengan pengetahuan Ibnu Khaldun
memerintahkannya menulis sejarah Afrika Utara. Ibnu khaldun menjelaskan pandangannya
tentang kebangkitan dan keruntuhan negara, ia juga mendiskusikan penyerahan damaskus,
karena setelah pertemuan bersejarah ini damaskus menyerah. Setelah selesai menulisnya ibnu
khaldun menyerahkan sejarah tentang Afrika Utara yang diserahkan kepada Timur Leng dalam
bentuk sebelas buku kecil. Ibnu Khaldun juga menyerahkan hadiah kepada Timur Leng berupa
Al-Qur’an yang Indah, sajadah, salinan kitab Burdah (kitab yang berisi syair tentang
pujian/sholawat kepada Nabi Muhammad S.A.W; Syair tersebut dicipkan oleh Imam Al Busyiri
dari mesir, di Indonesia Burdah sering dilntunkan oleh kaum Nahdiyin), dan makanan Mesir.

Setelah berumur 45 tahun beliau memutuskan untuk menyendiri dan berhenti dari
berkecimpung di dunia politik. Secara menakjubkan beliau berhasil menyelesaikan karya
pertamanya yaitu Muqaddimah pada pertengahan 779 H/1377 M, hanya dalam waktu 5 bulan
(Enan, 2013). Setelah itu beliau hijrah ke mesir dengan tujuan berhaji 784-808H/1382-1406 M,
selain itu alasan hujrahnya adalah peradaban ilmu pengetahuan di mesir yang sangat didukung
oleh sang sultan. Sebelum hijrah ke mesir beliau telah selesai merampungkan karya pertamanya
yaitu muqaddimah, oleh karena itu saat hijrah kemesir beliau sudah sangat dikenal oleh
mahasiswa, dosen, dan sultan. Di Mesir Ibn Khaldun dijadikan hakim dan Dosen oleh sang
Sultan.

Posisi intelektual Ibn Khaldun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan menurut Jurdi
(2012: 40) merujuk kepada wahyu yang menjadi sumber utama untuk memperoleh pengetahuan.
Khaldun memadukan pendekatan ilmu pengetahuan dengan agama atau antara wahyu dan ilham
sebagai sumber ilmu pengetahuan, tradisi ini dapat di sebut sebagai upaya dalam menjelaskan
epistemologi islam. Beliau membangun jenis ilmu yang sepenuhnya baru, yang disebutnya
sebagai ilmu masyarakat-manusia (‘ilm al-ijtima’ al-insani) atau ilmu organisasi-sosial manusia
(‘ilm ‘al umran al-basyari).

Ilmu masyarakat-manusia (‘ilm al-ijtima’ al-insani) atau ilmu organisasi-sosial manusia


(‘ilm ‘al umran al-basyari) Menurut Ibnu Khaldun dalam Alatas (2017:76) Masyarakat manusia
itu niscaya, Mengatakan bahwa masyarakat manusia niscaya berarti juga mengatakan manusia
secara kodrati bersifat polits dan bahwa mereka tidak dapat dipisahkan dengan sejenis organisasi
sosial yang dalam istilah filosofis disebut sebagai polis (madinah). Inilah makna organisasi sosial
(‘umran) mereka tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara individual, mereka
didorong untuk berkerjasama agar kebutuhannya terpenuhi, dan manusia juga harus bersatu demi
mempertahankan diri. Manusia terpengaruh secara fisik, psikologis, dan sosial oleh lingkungan
fisik, dan Manusia terhubung dengan dunia spiritual, yang berada di luar persepsi indra.

Karya besar Ibn Khaldun adalah Kitab Al Ibrar dan At-Ta’rif (auto biografi ibn khaldun
yang ditulis oleh ibn khaldun sendiri). Kitab Al-Ibrar terdiri dari 7 Jilid/Bab, Jilid pertama adalah
Muqaddimah; disana dijelaskan mengenai Assabiyah yang di dalamnya dijelaskan secara detail
mengenai masyarakat Badui (Beduouin) dan Hadar (Sedentary Society). Ibnu khaldun memberi
nama kajian mengenai kesukuan tersebut ‘Ilm-Al Umran. Pada Jilid ke 2-5 adalah tentang sejarah
bangsa arab, sedangkan jilid ke 6-7 adalah sejarah bangsa barbar dan suku-suku lainnya.

Masyarakat nomaden (Badui) sama seperti halnya masyarakat menetap membentuk sebuah
kelompok alami. Ragam mata pencaharian mempengaruhi keadaan masyarakat. Mereka yang
berkerja dengan cocok tanam atau berternak tinggal di daerah gurun. Organisasi sosial mereka
sekedar memenuhi kebutuhan untuk hidup secara subsisten. Jika ada peningkatan kemakmuran
mereka mulai hidup diatas level subsisten. Mungkin membangun kota, mengembangkan seni
kuliner, seni murni, seni arsitektur, serta menikmati kemewahan dan kenyamanan yang besar.
Orang nomaden lebih baik atau lebih bermoral dari pada orang yang hidup menetap (Hadar).
Alasannya jiwanya yang alami lebih mudah meresap kebaikan atau keburukan, bergantung mana
yang lebih berkesan dan berpengaruh. jiwa orang menetap mengenal kejahatan lebih awal karena
mereka lebih terbuka terhadap kemewahan dan sukses duniawi. Orang nomaden lebih
pemberani, gaya hidup bermukim orang yang menetap cenderung malas dan santai, mereka
bergantung pada otoritas penguasa untuk perlindungan.

Berikut merupakan Tipologi dualistik khaldunian dengan sosiolog barat menurut Dhaouadi
dalam Pribadi (2014:21):

No Tokoh Jenis Tipologi dualistik


Sosiologi

1 Ibn Beduoin/Sedentary Society


Khaldun (Badui-hadar)
2 Tonnies Gemeinschaft/Gesellschaft
Society

3 Durkheim Mechanic/Organic Solidarity


Society

4 Cooley Primary/Secondary Group


Society

5 Redfield Folk/Urban Society

6 Howard Sacred/Secular Society


Becker

7 D.Lerner Traditional/Modern Society

8 Parsons Pattern variabels


(Particularism/universalism
oriented Society)

Selain badui dan hadar Ibnu Khaldun juga membahas mengenai konsep Asabiyyah/
Solidaritas Sosial Masyarakat/ Perasaan Kelompok/ Loyalitas Kelompok. Menurut ibnu khaldun
Assabiyah adalah sebuah perasaan tentang kesamaan dan kesetiaan kepada sebuah kelompok
yang terutama dibangun berdasarkan ikatan darah. Memang ada tiga jenis hubungan yang
membentuk Asabiyyah: Hubungan darah (Shilat al-rahim), Hubungan patron-klien (wala), dan
aliansi (hilf). Assabiyah ditentukan dari unsur mana yang lebih dominan dari tiap-tiap unsur,
ikatan darah merupakan Asabiyyah yang paling kuat dan terpercaya serta menciptakan
solidaritas yang kuat. Namun, ketika unsur kekeluargaan melemah maka hubungan patron-klien
dan afiliasi/aliansi bisa menjadi unsur-unsur dominan dalam hubungan kelompok, mengangkat
bentuk Asabiyyah yang lebih lemah. Kepemimpinan sebaiknya dari keturunan yang sama dan
memiliki perasaan kelompok yang unggul/besar. Sehingga setiap anggota kelompok bersedia
untuk mengikuti dan mematuhinya.

Selain itu Ibnu Khaldun Juga merumuskan Teori Kebangkitan dan kemerosotan negara
(Muqaddimah, 2016 ;10-11): Pertama, Tahap pendirian negara; tahap untuk mencapai tujuan,
penaklukan, dan merebut kekuasaan. Negara tidak akan tegak kecuali dengan adanya Asabiyyah.
Kedua, Tahap memusatkan kekuasaan; memonopoli kekuasaan dan menjatuhkan anggota-
anggota Asabiyyah dari roda pemerintahan. Ketiga, Tahap kekosongan; Tahap untuk menikmati
buah kekuasaan seiring dengan watak manusia, seperti mengumpulkan kekayaan, mengabadikan
peninggalan-peninggalan dan meraih kemegahan. Keempat, Tahap ketundukan dan kemalasan;
negara dalam keadaan statis, tidak ada perubahan apapun. Kelima, Tahap foya-foya dan
penghamburan kekayaan; negara telah memasuki masa ketuaan dan telah diliputi penyakit kronis
yang tidak dapat dihindari dan akan menuju keruntuhan.

Menurut Alatas (2017:69) apa yang disajikan Ibn khaldun (Kitab Muqaddimah) sejatinya
merupakan sebuah ilmu tersendiri dengan pokok bahasan tersendiri (maudhu), yaitu organisasi-
sosial manusia (‘ilm ‘al umran al-basyari) dan ilmu masyarakat-manusia (‘ilm al-ijtima’ al-
insani), ilmu tersebut memiliki masalah tersendiri (masa’il) yaitu penjelasan tentang kondisi-
kondisi dasar masyarakat. Ibnu Khaldun sangat sadar bahwa ia sedang menemukan sebuah ilmu
baru, beliau menganggap diskusi tentang tujuan ini menjadi sesuatu yang baru, luar biasa, dan
bermanfaat. Beliau juga mengklaim bahwa ilmu ini belum ada dikalangan ilmuan yang telah
mendahuluinya entah orang Yunani, Persia, Suriah, Kaldea, atau Arab. Ilmu ini tidak termasuk
kedalam ilmu retorika yang telah didiskusikan oleh Aristoteles dalm Organom, yang
membicarakan daya persuasif dari bahasa. Ilmu ini juga tidak masuk kategori ilmu politik,
karena politik berurusan dengan administrasi berikut basis etika dan filosofisnya.

Suatu hal yang menarik dari hasil membaca karya Ibn khaldun adalah tentang konsep
evolusi pemikiran dan perkembangan manusia, padahal beliau hidup 500 tahun sebelum Comte
tapi konsep tersebut sudah jauh melampaui zamannya. Konsep tersebut mirip dengan 3 tahap
perkembangan evolusi pemikiran yang digagas Comte yaitu teologi, metafisika, dan positifistik.
Khaldun dalam Pribadi (2014:195) menjelaskan konsep dan perkembangan manusia sebagai
berikut:

1. Akal Tamyizi (pembeda) adalah akal budi manusia bersifat religi, kepercayaan, dan
keimanan;
2. Akal Tajribi (Mencoba) adalah percobaan, pengalaman, dan pengulangan (keberagaman
pengetahuan yang bersifat subjektif);
3. Akal Nazari (Rasional) adalah memahami objek dengan baik dan memiliki persepsi
spesifik mengenai yang ada atau objek dunia baik yang empiris atau metafisis.

Dijelaskan oleh Alatas (2017:108) tingkat pertama adalah kemampuan untuk memahami
dan menata hal-hal di dunia eksternal yang tampak acak dan tak beraturan, melalui kecerdasan
pembeda (‘aql al-tamyizi) manusia mampu membedakan apa yang mendatangkan manfaat dan
mudarat. Tingkat kedua adalah kemampuan membentuk gagasan dan mengembangkan perilaku
yang diperlukan dalam berinteraksi dengan sesama manusia, tingkat berfikir ini melibatkan
apersepsi atau pembenaran (tashdiqat) yang berkembang melalui pengalaman, ini disebut
sebagai kecerdasan eksperimental (‘aql al-tajribi). Tingkat ketiga adalah kemampuan berfikir
yang memasok pengetahuan atau opini (zann) tentang hal-hal diluar persepsi indraa, itu
melibatkan persepsi dan apersepsi, ini disebut sebagai kecerdasan spekulatif (‘aql al-nazari).

Perbedaan Khaldun dengan Comte hanya terletak pada tahap berfikir positifistik, kalau
Comte menghilangkan sebab metafisis, khaldun pada tahap terakhir justru menempatkan sebab
metafisis dalam tahap nazari karena sebab metafisis memang sulit dianalisis secara rasional tapi
bukan berarti tidak bisa, khaldun berpendapat segala sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh
pengtahuan dalam menjelaskannya, ada campur tangan Allah yang maha tau dan maha kuasa,
oleh karena itu khaldun menggunakan analisis sosial terpadu dalam mengenalisis data dan fakta
sosial dikaitkan dengan agama (Al-Qur’an dan Hadist).

Selain mengenai konsep evolusi pemikiran, konsep integrasi ilmu menurut ibn khaldun
menjadi hal yang menarik bagi para ilmuan yang meneliti pemikiran ibn khaldun. Yaitu Konsep
‘Ilm-Al umran yang dianggap menjadi cikal bakal ilmu sosial. Berikut merupakan konsep
integrasi ilmu oleh Ibn Khaldun dalam Pribadi (2014):

1. Naqliyah dan Qauniyah adalah Ilmu dari Al-Qur’an dan Hadist;


2. Aqliyah/Kauniyah adalah Ilmu yang dihasilkan dari aktifitas berfikir manusia, yaitu
jenis ilmu alam dan eksata;
3. Umran/Nafsiyah adalah Ilmu mengenai Civilization atau kehidupan sosial.

Jika diilustrasikan sebagai berikut:

Metodologi yang digunakan Ibn Khaldun dikenal sebagai metode analisis sosial terpadu,
yaitu penggabungan data dan fakta sosial dengan agama (Al-Qur’an dan Hadist). Dalam hal ini
menggunakan pendekatan ‘Ilm al-Umran yaitu memahami manusia maka senantiasa melihatnya
dikaitkan dengan masyarakat. Mirip dengan konsep Berger dalam konstruksi sosial.

Menarik bagi saya disaat sekarang para sosiolog memperdebatan mengenai paradigma
sosiologi atau ilmu sosial yang mengerucut pada paradigma terpadu, jauh melampaui zamannya
Khaldun telah menggunakan metode tersebut. kita mengenal 3 gerbong besar filsafat aristetolian,
galilean, dan cartesian, di dalam sosiologi ada 3 paradigma besar yaitu fakta sosial, definisi
sosial, dan perilaku sosial, perkembangannya sekarang beberapa tokoh teoritisi sosiologi modern
dan post modern keluar dari 3 paradigma besar tersebut. Boerdieu menggabungkan paradigma
fakta sosial dan definisi sosial dalam teori strukturalisme konstruktif, Derrida dan Giddens tidak
mendasar hanya pada satu paradigma, dan terakhir karya Ritzer yang menawarkan paradigma
baru dengan nama paradigma integratif (terpadu) yaitu melihat permasalahan sosial secara
menyeluruh dengan menggabungkan paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.
Hal tersebut menjadikan saya semakin kagum denga Ibn Khaldun, tokoh peletak dasar ilmu-ilmu
sosial yang pada zamannya ilmu pengetahuan masih sangat umum dan belum terspesifikasi.
Dengan pemaparan diatas, telah terbukti beliau merupakan peletak dasar ilmu sosiologi dan bisa
disebut dengan bapak sosiologi dunia, sayangnya selama ini kurang dikenal dan tidak banyak
referensi tentang karya-karyanya yang sangat menakjubkan. Ibnu Khaldun wafat di Kairo Mesir,
pada 25 Ramadan 808 H/19 Maret 1406 (Khaldun, 2016:1087).

Referensi

Alatas, S. F. 2017. “Ibnu Khaldun Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi”.
Mizan: Bandung.

Enan, M. A. 2013. “Biografi Ibnu Khaldun Kehidupan dan Karya Bapak Sosiologi Dunia”
Zaman: Jakarta.

Jurdi, S. 2012 “Awal Mula Sosiologi Modern Kerangka Epistemologi, Metodologi, dan
Perubahan Sosial Perspektif Ibn Khaldun ” Kreasi Wacana: Bantul.

Khaldun, I. 2016. “Muqaddimah Ibnu Khaldun”. Pustaka Al Kautsar: Jakarta Timur.

Pribadi, M. 2014 “Pemikiran Sosiologi Islam Ibn Khaldun”. SUKA Press: Yogyakarta.

( Oleh: Syamsul Bakhri )


KARL MARX

Trier, prusia 5 Mei 1818, sebagai saksi dari lahirnya tokoh yang sangat berpengaruh di
dunia yaitu, Karl Heinrich Marx, dengan pengetahuannya yang sangat kritis dalam bidang
keilmuan. Dengan latar belakang keluarga rabbi, Marx muda dilahirkan oleh sosok ibu yang taat
akan agama dan ayahnya seorang pengacara. Pada tahun 1841, Marx menerima gelar doktornya
di bidang filsafat dari Universitas Berlin. Pemikiran Marx dalam bidang filsafat sangat di
pengaruhi oleh G.W.F. Hegel (1770-1831) dengan corak filsafat Jerman, akan tetapi sebelum
Hegel menyempurnakan dari filsuf Jerman seperti Kant dengan filsafat kritisnya, Fichte dengan
filsafat Wissenshaftslehre dan Scheling dengan corak filsafat mempertentangkan “Aku” dan
“Non-Aku”. Pola pikir Hegel sebagai tolak ukur filsafat Jerman pada waktu itu, Hegel sangat
mengutamakan rasio, namun rasio yang dimaksud Hegel bukan pada individu, akan tetapi rasio
yang melekat pada subjek absolut (dalam bahasa lain yaitu roh). Dengan demikian, terkenallah
sebuah dalil “all that is real is rational, and all that is rational is real”.

Bukan hanya Hegel yang mempengaruhi pemikiran Marx, akan tatapi L. A. Feuerbach
(1804-1872) yang sedikit berbeda cara pandang dengan Hegel, salah asatu ungkapan yang di
lontarkan Feuerbach adalah manusia beragama karena terikat oleh alam, manusia lemah
sedangkan alam yang didapatinya kuat dan ganas, cara filsafat dari Feurbach masuk dalam
kerangka berfikir teologis. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dan pola pikir Marx semakin
kritis, pola dari kedua filsuf sedikit demi sedikit di tentang oleh Marx.

Menulis tentang Marx dengan teorinya merupakan sebuah tantangan bagi para penulisnya,
bahkan memahami pola pikir Marx itu sendiri tidak segampang membalikkan telapak tangan.
Pola pikir yang sulit diterka, mengandung multi-interpretasi, dan dengan bahasa yang sangat jeli
yang dilontarkan dalam tulisan-tulisan Karl Marx, maka tidak heran bagi mahasiswa untuk
memahami seorang Marx dengan karya dan teorinya, butuh usaha ekstra dan kerja keras dalam
memahami maksud dan setiap makna gagasannya. Akan tetapi, kita sedikit demi sedikit belajar
memahami pola pikir Marx dengan perlahan-lahan.

Sebelum berbicara lebih jauh tentang Marx, perlu lebih awal kita ketahui terlebih dahulu
mengenai Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis. Secara sederhana materialisme
dialektik adalah dialektika terjadinya di dunia nyata atau dunia materi, sedangkan materialisme
historis adalah bahwa manusia dapat dipahami sejauh ia ditempatkan dalam konteks sejarah.
Definisi sederhana ini bisa dibilang tidak sempurna dalam pandangan materialisme dialektik dan
materialism historis dengan penjabaran filsafat yang sebenarnya, karena ketika dijabarkan secara
panjang penulis masih ragu dengan kapasitas pemahaman mengenai Marx itu sendiri. Dalam
kancah keilmuan Sosiologi Marx, terkenal dengan teori Kelas Sosial dan Alienasinya. Kelas
sosial bagi Marx dibedakan dalam dua kelas. Kelas Borjuis atau disebut dengan kaum pemilik
modal, dan Kelas Proletar atau dikenal sebagai kelas buruh dan masyarakat miskin. Pada bagian
ini, pembagian kelas mempengruhi sikap pertentangan kelas karena di dalam kelas tersebut ada
imperialisme dan penindasan dari kaum pemilik modal sebagai penguasa alat-alat pabrik dan
pemilik dari kaum pekerja, dalam hal ini bisa disebut dengan dialektika dalam kapitalisme.

Dengan pertentangan kelas tersebut Marx menganalisis akan lahir sebuah zaman di mana
tidak ada kelas-kelas sosial, tidak adanya pertentangan, tidak adanya imperialisme dan monopoli
kekuasaan. Marx mengatakan zaman ini disebut dengan Komunisme. Komunisme, sebagai cita-
cita Marx dalam hidupnya –bisa dibilang seperti itu– karena di setiap pembahasan mengenai
pertentangan kelas Marx, dia selalu ingin membuat sebuah revolusi besar-besaran dalam kelas
tersebut (red.kelas proletar). Kaum proletariat digambarkan oleh Marx sebagai sekumpulan
Prometheus. Prometheus adalah manusia yang ditindas tetapi akan menguasai masa depan, hal
ini terbukti dalam ajaran revolusi seorang Marx seperti terjadianya revolusi Bolshevik di Rusia,
sebagai penentang akan kapitalis pada tahun 1903 dan tahun 1917 sebagai puncaknya. Kaum ini
di dasari atas ideologi Marxisme dan Leninisme sebagai acuan revolusi ekomoni di Rusia,
Manifest der komunistichen partey (1848) sebagai pijakan revolusi dalam politik dan Das Capital
(1850-1866) sebuah karya monumental dan termasuk salah satu buku merubah dunia.

Pembahasan Marx tidak selesai pada pertentangan kelas dan revolusi, di balik pertentangan
kelas, masyarakat harus mempunyai satu pekerjaan, Marx mengatakan bahwa kerja adalah
pengembangan kekuasaan-kekuasaan dan potensi-potensi manusiawi kita yang sejati. Marx
sering mawanti-wantikan pentingnya materi dalam kehidupan kita, karena manusia
membutuhkan makan untuk keberlangsungan hidupnya, secara harfiah manusia adalah zoon-
politikon, bukan hanya makhluk sosial, tetapi makhluk yang berkembang dan bersifat dinamis di
masyrakat.

Ketika individu dalam ruang lingkup masyarakat dan kerja, maka secara otomatis akan
terjadi alienasi dalam kehidupannya. Kata alienasi ini berasal dari karya awal Marx yang tidak
lain masih berhubungan erat dengan kapitalisme yang mengakar dalam masyarakat, sehingga
alienasi menjadi suatu keprihatinan sendiri bagi Marx. Marx menggunakan alienasi sebagai
konsep untuk menyingkap efek dari produksi kapitalis yang bersifat menghancurkan terhadap
manusia dan masyarakat. Alienasi dalam kamus sosiologi adalah keterasingan individu dari diri
mereka sendiri dan orang lain. Pada dasarnya kata alienasi ini memiliki makna filosofis dan
bersifat religius, tapi Marx mentransformasikannya ke dalam konsep sosiologi dan Ekonomic
and Philosophical Manuscripts of 1844, keterasingan berakar dalam struktur sosial yang
menyangkal esensi manusia, Marx percaya bahwa esensi manusia adalah sesuatu yang
diwujudkan dalam konteks kerja.

Marx membagi alenasi dalam 4 (empat) macam yaitu, antara lain:

1. Individu teralienasi dari aktivitas produksi


2. Individu teralienasi dari temannya
3. Individu teralienasi dari pekerjaannya
4. Individu teralienasi oleh dirinya sendiri

Alienasi sebagai salah satu contoh pertentangan antara hakekat manusia dalam diri
manusia itu sendiri, pertentangan dalam alienasi memang dirancang oleh kaum kapitalis dalam
ranah nilai tukar dan nilai produksi. Buruh atau satu individu akan tersudut ketika berbicara nilai
tukar, antara gaji buruh dengan majikannya dalam satu produksi, sedangkan hasil dari produksi
adalah gejala yang dilahirkan oleh alienasi kita, yang hanya bisa di tiadakan melalui perubahan
sosial.

Referensi

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

( Oleh: A Zahid )
MAX WEBER

Biografi

Max Weber lahir pada tanggal 21 April 1864 di Erfurt, Thuringia (Jerman Timur). Weber
merupakan anak sulung dari keluarga terpandang yang memiliki penilaian tinggi pada
pendidikan dan kebudayaan. Dari kecil Weber telah terbiasa membaca berbagai literatur. Pada
usia 14 tahun, Weber telah membaca hasil karya Homer, Virgil dan Livy dalam bentuk aslinya
secara lancar. Setelah Gymnasium (setingkat SMA), Weber telah membaca 14 jilid karya Goethe
edisi Weimar; menyajikan hasil karya Shakespeare dalam bahasa Inggris; dan mengulas hasil
karya Spinoza, Schopenhauer dan Kant. Weber sempat mengambil kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Heidelberg selama tiga tahun. Selain hukum, Weber tertarik mempelajari Filsafat,
Ekonomi, Sejarah dan Sosiologi.

Weber lahir di keluarga yang saling bertolak belakang. Ayahnya adalah seorang birokrat
yang cenderung mencintai dunia dan berhasil mencapai posisi politis yang penting. Sedangkan
Ibunya adalah pemeluk Calvinis (Protestan) yang sangat taat dengan menjalankan kehidupan
asketis (menjauhi dunia). Latar belakang keluarganya yang sangat berbeda membentuk pola
berfikir dan sikap Weber. Awalnya Weber mengikuti jejak sang Ayah dengan gaya hidup yang
jauh dari idealisme, setelah mengikuti wajib militer, Weber mengikuti jejak sang Ibu yang
tertarik dengan dunia asketisme.

Methodological Essay (1902)


Verstehen

Methodological Essay (1902) adalah tulisan pertama Weber. Di dalam tulisannya, Weber
menjelaskan bahwa Sosiologi adalah ilmu yang berupaya untuk memahami tindakan sosial.
Upaya (metode) untuk memahami tindakan sosial tersebut dikenal dengan Verstehen. Verstehen
berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai makna pengertian atau pemahaman
(understanding).

Metode Verstehen diadopsi dari metode Hermeneutika. Metode Hermeneutika sendiri


merupakan pendekatan khusus untuk memahami dan menafsirkan apa yang terkandung di dalam
suatu tulisan atau teks. Weber ingin menerapkan metode Hermeneutika untuk menafsirkan
makna dibalik tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu maupun sosial.

Melalui tulisannya, Weber membahas mengenai penggunaan metode verstehen untuk


menjelaskan mengenai konsep tindakan sosial. Berbeda dari kaum fungsionalis dengan fungsi
laten dan manifesnya; serta kaum Marxis dengan kesadaran palsunya yang melihat bahwa
struktur sosial mempengaruhi tindakan sosial. Weber justru melihat bahwa struktur terbentuk
karena adanya tindakan sosial yang dilakukan individu. Dengan kata lain, struktur sosial adalah
produk dari tindakan-tindakan sosial individu.

Tindakan Sosial

Tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subyektif bagi pelakunya.
Tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain
dan berorientasi pada perilaku orang lain. Tindakan dikatakan tindakan sosial jika dilakukan
sebagai bentuk interaksi dan komunikasi terhadap individu yang lain.

Tahapan tindakan sosial adalah adanya kehendak dari individu _ ada sasaran yang dituju
oleh individu _ ada kegiatan memperhitungkan keadaan _ melakukan tindakan sosial.Tujuan dari
memahami tindakan sosial adalah memahami realitas sosial yang dihasilkan oleh tindakan sosial
sehingga dapat menjelaskan mengenai mengapa manusia menentukan pilihan.

Rasionalitas

Di beberapa literatur menyebutkan bahwa definisi tindakan dan rasionalitas adalah sama.
Tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa rasionalitas adalah alasan dibalik tindakan atau alasan
manusia menentukan pilihan.

Rasionalitas meliputi alat (means) yang menjadi sasaran utama serta tujuan (ends) yang
meliputi aspek kultural. Orang yang memiliki pola pikir rasional akan memilih alat mana yang
paling benar untuk mencapai tujuannya.

Rasionalitas terbagi menjadi 4 (empat) macam, antara lain: 1) Rasional Tradisional; 2)


Rasional Afektif; 3) Rasional Berorientasi Nilai; 4) Rasional Instrumental. Rasional tradisional
dan rasional afektif termasuk jenis rasional yang irasional. Sedangkan rasional berorientasi nilai
dan rasional instrumental termasuk jenis rasional yang rasional.

Rasional tradisional merupakan tipe rasionalitas yang memperjuangkan nilai yang berasal
dari tradisi kehidupan masyarakat. contoh dari tindakan rasional tradisional adalah upacara
melarung kepala kerbau ke laut sebagai simbol perwujudan syukur dari masyarakat nelayan
(pesisir) kepada penguasa laut. Tindakan rasional tradisional ini didasarkan nilai tradisi
masyarakat pesisir yang dilakukan turun-temurun dan masih berlaku sampai sekarang.

Rasional afektif adalah tipe rasionalitas yang bermuara dalam hubungan emosi atau
perasaan yang sangat mendalam. Sehingga ada hubungan khusus yang tidak dapat diterangkan di
luar lingkaran tersebut. Contoh dari tindakan rasional afektif adalah perasaan cinta dan kasih
sayang yang dimiliki orang tua kepada anaknya. Meskipun bisa jadi anaknya tidak berbakti
kepada orang tuanya; atau mungkin anaknya mengecewakan orang tuanya, tetapi orang tua
tersebut tetap mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.

Rasional yang berorientasi pada nilai melihat nilai sebagai potensi atau tujuan hidup
meskipun tujuan itu tidak nyata dalam kehidupan keseharian. Contoh dari tindakan rasional yang
berorientasi pada nilai adalah seseorang yang mempertahankan ideologi berupa kejujuran
ditengah sistem kerja di lingkungannya yang korup. Tindakan yang dilakukan berupa tidak
menerima gratifikasi, dan lain sebagainya.

Rasionalitas instrumental adalah rasionalitas yang paling tinggi. Manusia tidak hanya
menentukan tujuan hidupnya yang ingin dicapai. Tetapi juga telah mampu menentukan alat/
instrumen yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Contoh dari rasional
instrumental adalah seseorang dari status sosial rendah ingin berubah ke status sosial tinggi.
Orang tersebut menggunakan saluran mobilitas sosial berupa pendidikan. Dengan menggunakan
pendidikan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut, orang tersebut berhasil menduduki
status sosial yang menjadi tujuannya.

The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1902-1904)

Salah satu karya tulis dari Weber yang terkenal adalah the Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism. Di dalam karya tulis itu, Weber memperkenalkan konsep mengenai
kausalitas.Kausalitas adalah hukum sebab-akibat, suatu peristiwa akan disusul dan disertai oleh
peristiwa lain. Konsep kausalitas berbeda dengan konsep dialektika dari Marx dimana ada
hubungan timbal-balik atau dialogis antara peristiwa satu dengan peristiwa yang lain.

Karena latar belakang pendidikan dan pengetahuan Weber yang beranekaragam, Weber
juga menerapkan dalam melihat kausalitas. Tidak hanya satu kausalitas yang bisa digunakan
untuk memahami tindakan sosial, tetapi Weber menggunakan pendekatan multi sebab dari faktor
sosial berupa ekonomi, politik, organisasi, agama, stratifikasi sosial, masyarakat dan lainnya.

Konsep kausalitas inilah yang digunakan Weber untuk melihat Kapitalisme. Menurut
Weber, salah satu penyebab munculnya kapitalisme di Eropa Barat berasal dari ajaran protestan
sekte kalvinis.Etika protestan mengajarkan kepada manusia jika ingin dicintai Tuhan harus
memakmurkan bumi yang ditempatinya. Cara untuk memakmurkan bumi adalah dengan bekerja
keras. Dengan menerapkan etos kerja yang tinggi, penganut Kalvinisme kebanyakan menjadi
sukses. Kesuksesan itu terus terakumulasi karena ajaran kalvinisme juga menuntut untuk hidup
hemat sehingga keuntungan yang di dapat dari bekerja tidak digunakan untuk foya-foya.

Dengan adanya etos kerja yang tinggi yang menjadi tindakan rasionalitas yang dilakukan
oleh pengikut kalvinisme, menjadi salah satu dari faktor penyebab munculnya kapitalisme
modern.

Economy and Society (1910-1914)

Stratifikasi Sosial (Kelas, Status, Partai)

Weber dan Marx mempunyai pandangan yang sama mengenai stratifikasi sosial, yaitu ada
hubungan tidak setara sebagai sentral kehdupan manusia; dan tidak ada masyarakat yang tanpa
kelas. Bedanya, jika Marx lebih menekankan ketidaksetaraan kelas dalam bidang ekonomi.
Weber melihat tiga bentuk ketidaksetaraan, yaitu berdasarkan ekonomi (Kelas), sosial (Status)
dan politik (Partai).

Kelas adalah kelompok orang yang ditemukan di dalam situasi stratifikasi ekonomi yang
sama. Pembagian kelas berdasarkan kepemilikan alat-alat produksi.Sedangkan status
mengandung prestige tertentu. Status berhubungan dengan gaya hidup dalam hubungan sosialnya
dengan anggota komunitasnya. Status dilihat dari cara individu tersebut melakukan
konsumsi.Yang ketiga, stratifikasi kekuasaan didasarkan pada partai-partai yang menjadi sumber
keuntungan signifikan anggota kelas. Partai merupakan struktur yang berjuang untuk
mendapatkan dominasi.

Dominasi dan Wewenang

Dominasi merupakan wilayah kajian kekuasaan yang dibahas lebih spesifik oleh Weber.
Dominasi adalah kedudukan yang tidak sama dan tidak seimbang di dalam kelas, status,
kekuasaan dan yang lainnya. Wewenang adalah salah satu bentuk dominasi yang sah dan diakui
oleh anggota masyarakat atau komunitas. Wewenang (authority) adalah suatu hak yang telah
ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk menetapkan kebijakan, menentukan keputusan
mengenai masalah penting, atau untuk menyelesaikan pertentangan.

Wewenang dibagi menjadi 3 (tiga), antara lain: 1) Wewenang Karismatik, berdasarkan


karisma/ kemampuan khusus (wahyu), contoh: Nabi, Rasul, Rahib, Santa; 2) Wewenang
Tradisional, dimiliki oleh anggota kelompok yang sudah lama sekali mempunyai kekuasaan yang
telah melembaga, ada kesetiaan dan kepatuhan dari anggota kepada pemimpin kekuasaan,
contoh: Raja Kasultanan Ngayogyakarta; 3) Wewenang Legal-Rasional, berdasarkan sistem
hukum yang berlaku dalam masyarakat, ditaati oleh masyarakat dan diperkuat oleh negara,
contoh: Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Surakarta.
Birokrasi

Menurut Weber, Birokrasi adalah alat yang paling rasional yang diketahui bagi pelaksaan
otoritas atau wewenang atas manusia. Jika wewenang yang paling rasional adalah legal-rasional,
maka alat yang paling rasional adalah birokrasi. Birokrasi yang paling ideal adalah organisasi.
Birokrasi mempunyai unit dasar berupa jabatan yang diatur secara hirarkis; ada aturan, fungsi,
dan dokumen tertulis; serta ada alat pemaksa.

Referensi

Giddens, Anthony, dkk. 2004. Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikiranya. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.

Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Pustaka Obor.

Soekanto, Soerjono. 1984. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta:
Rajawali.

Soekanto, Soerjono. 2011. Mengenal 7 Tokoh Sosiologi. Jakarta: Grafindo.

( Oleh: Lita Nala Fadhila )


NORBERT ELIAS

Civilizing Process

Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam sosiologi dewasa ini adalah Norbert Elias.
Dalam teori proses peradabannya, Norbert Elias menggunakan data empiris dari sejarah Eropa
abad pertengahan. Elias juga menunjukkan bagaimana kebangsawanan dan masyarakat kerajaan
menjadi semakin beradab.Hal ini ditunjukkan dalam tingkah laku yang halus, penggunaan
bahasa yang tinggi dan perkembangan budaya kerajaan. Tetapi proses peradaban ini bermula dari
dalam diri masyarakat sendiri sebagai proses psikologis pengendalian batin yang semakin
meningkat. Jika pada zaman dahulu kala penduduk perlu dikendalikan dan diarahkan melalui
tindakan-tindakan yang drastis, melalui pertempuran yang kejam, serta melalui kontrol dari luar,
sekarang kehidupan sosial, politis dan ekonomis dapat dimantapkan karena pengedalian diri telah
tersebar luas (Evers, 1988: 16).

Elias mengartikan civilization sebagai pemberadaban (civilizing process), sebuah proses


menuju suatu masyarakat yang beradab. Kenyatannya, tulis Elias, seringkali proses
pemberadaban tidak lebih dari suatu usaha pengeteknikan (technization) yang dari suatu tindakan
beradab, bahkan cenderung biadab (decivilized) karena kerapkali usaha pemberadaban dilakukan
secara dominatif, bahkan kekerasan oleh satu kelompok pada kelompok lain. Elias diakui sebagai
salah satu sosiolog abad ke-20 yang memiliki pengaruh kuat, tidak hanya di Universitas
Leicester, Inggris tempatnya mengajar, tapi juga di Jerman, Prancis dan Belanda. Beberapa tokoh
yang terpengaruh oleh Ellias antara lain Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu. Elias diakui telah
membuka kebuntuan yang dialami sosiologi dengan menawarkan formula untuk mengatasi
dikotomi makro-mikro atau struktur-agen dalam teori-teori sosiologi (Novenanto, 2011: 183).
Perbedaan konsepsi peradaban (civilization) dengan budaya (culture) merupakan salah satu
topik serius bagi Elias sehingga dia memasukkan tema ini dalam bab pembuka The Civilizing
Process. Dalam antropologi, diskusi tentang perbedaan konsepsi peradaban dan budaya bukan
hal baru.Ada delapan kesalahan yang kerap dilakukan oleh para etnografer atau antropolog saat
melakukan studi lapangan (fieldwork) di suatu komunitas.Salah satunya, yang paling krusial
adalah kebiasaan para etnografer yang kerap mencampuradukkan penggunaan konsepsi budaya
dan peradaban. Seolah-olah makna keduanya sama saja, padahal keduanya itu memiliki
perbedaan yang sangat fundamental (mendasar). Setiap komunitas memiliki budaya tertentu
yang menjadi ciri khas atau pembeda dengan budaya komunitas lain. Hukumnya, posisi budaya
suatu komunitas tidak pernah lebih tinggi daripada budaya komunitas lain. Saat seseorang
mengucapkan bahwa sebuah komunitas belum berbudaya, bisa jadi yang ada di benak orang itu
bukanlah konsepsi tentang budaya, melainkan peradaban.Berbicara tentang peradaban yang
muncul adalah sebuah tahapan bahwa manusia atau masyarakat sedang menuju pada suatu tahap
yang lebih beradab (kemajuan) atau semakin meninggalkan keberadaban (kemunduran).

Pada bab 1 dalam buku The Civilizing Process, Elias mengungkapkan perbedaan antara
culture dan civilization dalam bahasa Jerman. Bagi Elias, konsepsi budaya dan peradaban perlu
dibedakan secara tegas, dan tidak bisa dicampuradukkan apalagi dipertukarkan. Kata peradaban
berpretensi (berdalih) untuk mengukur derajat moralitas dari suatu komunitas, tingkat
keberadaban dari suatu kebudayaan. Bagaimanapun juga, tidak semua kebudayaan dari suatu
komunitas memiliki tingkat keberadaban yang sama. Akan tetapi, setiap komunitas sangat
mungkin memiliki kebudayaan yang menjadikannya berbeda dengan komunitas yang lain. Pada
titik ini, Elias mengajak para sosiolog untuk juga masuk ke dalam sebuah diskusi sosiologi
tentang moralitas dan etika dalam masyarakat, tidak berkutat pada perihal modernisasi (proses
menuju yang modern atau baru). Pokok perhatian sosiologi Elias bukanlah pada gerak
modernisasi, atau pembudayaan, melainkan pada proses pemberadaban untuk mewujudkan suatu
peradaban (Bauman, 1979).

Bagi banyak orang, pola-pola perilaku tersebut seakan masalah yang bersumber dari
masing-masing diri, tapi dalam penelusuran lebih lanjut lahirnya perilaku-perilaku tersebut
sangatlah problematik. Elias membuktikan bahwa pola-pola perilaku telah dikembangkan dalam
sebuah proses perubahan sosio-psikologis yang berlangsung selama beberapa generasi. Diskusi
dilanjutkan dengan mempertanyakan prosesi kelas-kelas tertentu di negara-bangsa di Eropa
(Barat) yang berpikir sebagai diri merekalah yang paling beradab.Elias mengkritik superioritas
Eropa (Barat) vis-a-vis budaya-budaya non-Barat.Sebuah pemikiran superior bahwa Baratlah
yang paling beradab, sementara yang hidup di luar Barat tak lebih dari sekumpulan manusia
yang tidak beradab (bahkan barbar).Inilah yang kemudian menjelaskan pembenaran terjadinya
kolonialisme oleh bangsa Eropa (Barat) dalam kerangka ideologis memberadabkan bangsa-
bangsa yang dianggap tidak beradab itu untuk dijadikan koloni mereka (Novenanto, 2011: 189).

Elias menelusuri proses transformasi rezim kesopanan dan pola-pola berbudaya sebagai
suatu proses yang terintegrasi saat internalisasi larangan-larangan. Suatu model budaya yang
sopan kemudian secara bertahap menjadi berlaku umum dalam pelbagai lapisan sosial dalam
masyarakat. Usaha-usaha transfer kesopanan yang dilakukan tanpa dosa, bahkan dianggap
sebagai pekerjaan mulia oleh bangsa-bangsa superior itulah yang menjadi subjek perhatian
dalam jilid I The Civilizing Process. Pada jilid I itu, Elias lebih banyak berkutat pada
pembentukan habitus.Usaha pembentukan perilaku-perilaku individual (psychogenesis) yang
kelihatannya sangat sepele dan remeh-temeh, ternyata sangat berhubungan erat dengan
permasalahan tata-krama atau kesopanan, seperti: membuang ingus, kentut, hubungan seks,
aturan di meja makan (table manner) (Novenanto, 2011:189).

Dalam jilid II, Elias melanjutkan pembahasannya yang spesifik bahwa proses internalisasi
larangan-larangan dan transfer kesopanan dalam habitus yang beradab (psychogenesis), yang
banyak dibahas sebelumnya, ternyata sangat terhubung erat dengan kondisi sosial (sociogenesis)
seperti perubahan-perubahan dalam pembagian kerja dari kelompok ksatria perang ke kelompok
aristokrat, pergeseran demografi, proses rekonsiliasi, urbanisasi, serta pertumbuhan perdagangan
dan ekonomi uang. Pada Abad Pertengahan, peran para aristokrat atau bangsawan menjadi
sangat penting. Elias mengungkapkan bahwa terjadi perubahan identitas para anggota kelas
menengah, dari para ksatria perang (warlords) menjadi aristokrat yang cenderung bertindak
seperti birokrat penarik pajak (clerk).Di tangan para aristokrat inilah segala aturan tentang
kesopanan (manner) ditentukan, khususnya kesopanan ketika menghadap raja dan ratu
(Novenanto, 2011: 189).

Usaha penelusuran psychogenesis dan sociogenesis tidak hanya menjadi topik utama Elias
dalam The Civilizing Process, tapi juga dalam karyanya yang lain, yaitu The Loneliness of the
Dying.Dalam karya ini, Elias membahas masalah pengetahuan tentang kematian sebagai sumber
permasalahan manusia. Kematian adalah sebuah fakta biologis yang bisa dialami manusia mana
pun, namun perbincangan tentang kematian (proses kematian, mempersiapkan kematian, dan
bahkan kehidupan setelah kematian) menjadi sesuatu yang tidak sopan (tabu) untuk dibicarakan
dalam masyarakat. Pertanyaan yang muncul di benak Elias adalah bagaimana manusia bisa siap
menghadapi kematian jika perbincangan tentang bagaimana mempersiapkan diri menghadapi
kematian adalah sesuatu yang tidak sopan untuk dibicarakan (Novenanto, 2011: 189).

Di sinilah, Elias mengungkap penyebab frustasi para orang lanjut usia ataupun mereka
yang sedang menghadapi kematian. Kemajuan ilmu kedokteran dan biologi yang seharusnya
membantu manusia mempersiapkan psikis seseorang menghadapi kematian yang adalah sebuah
proses biologis yang akan dialami oleh setiap orang, justru memunculkan individualisasi dalam
masyarakat modern. Analisis sosiologi Elias menyebutkan dua hal penting, yaitu kondisi
psikologis (psychogenesis) dan kondisi sosial (sociogenesis), yang perlu diperhatikan betul oleh
para sosiolog dalam melakukan studi tentang proses pemberadaban. Sekalipun kondisi sosial
sudah sangat mendukung lahirnya peradaban, namun selama kondisi psikologis belum siap,
maka peradaban hanyalah sebuah utopia (bayangan).Sementara itu, jika kondisi psikologis sudah
siap namun kondisi sosial belum, maka lahirlah sebuah peradaban yang prematur yang
membutuhkan tambal-sulam di pelbagai sektor (Novenanto, 2011: 189).
Elias dalam Ritzer (2008: 564) mengatakan bahwa yang terpenting dalam proses peradaban
adalah sosialisasi orang-orang muda sehingga mereka dapat mengembangkan “kekangan diri”.
Namun sebagaimana yang banyak terjadi, meningkatnya “kekangan diri” mengandung sejumlah
masalah bahwa proses peradaban orang-orang berusia muda, tidak pernah menjadi proses yang
sepenuhnya tanpa menimbulkan penderitaan, ia selalu meninggalkan luka. Aspek menarik dari
argument Elias adalah ia mengakui bahwa kontrol atas nafsu (kemampuan individu bertindak
berdasarkan emosi bagi Elias hal tersebut bukanlah perilaku yang beradab) bukanlah satu
kebaikan mutlak. Kehidupan semakin kurang kadar bahayanya, namun hidup pun menjadi
semakin kurang asyik. Tidak mampu mengekspresikan emosi mereka secara langsung, orang
perlu menemukan gerai lain, seperti dalam mimpi mereka atau melalui buku.

Jadi, kendati kontrol yang lebih besar terhadap nafsu memungkinkan berkurangnya
kekerasan, ia pun semakin melahirkan rasa bosan dan gelisah. Rantai ketergantungan pada diri
individu di dalam masyarakat yang lebih panjang diasosiasikan tidak hanya dengan lebih
besarnya kontrol efektif, namun juga dengan meningkatnya sensitivitas terhadap orang lain dan
pada diri. Terlebih lagi, penilaian orang menjadi semakin disamarkan dan bernuansa
halus.Sebelum lahirnya masyarakat bangsawan, orang harus melindungi diri mereka dari
kekerasan dan kematian.Setelah itu, ketika bahaya ini hilang, orang mampu tumbuh lebih sensitif
pada ancaman dan tindakan yang jauh lebih cerdik. Semakin besarnya sensitivitas ini adalah
aspek kunci dari proses peradaban dan menjadi kontributor kunci bagi perkembangan
selanjutnya (Ritzer, 2008: 256).

Pembatasan diri adalah kunci bagi proses pemberadaban, Elias dalam Power and Civility
(Ritzer 2012: 880-881)membahas pemberadaban adalah perubahan-perubahan di dalam
pembatasan sosial yang dikaitkan dengan kemunculan hal itu di dalam pengendalian diri.
Jaringan dasar yang dihasilkan dari banyak recana tunggal dan tindakan-tindakan manusia dapat
memunculkan perubahan dan pola-pola yang tidak pernah dirancang atau diciptakan
individu.Dari interdependensi orang-orang ini muncullah suatu tatanan sui generis, suatu tatanan
yang lebih memaksa dan lebih kuat daripada kehendak dan akal manusia individual yang
mengubahnya. Perintah dorongan-dorongan hati dan kerja keras manusia yang berkaitan, tatanan
sosial itulah yang menentukan jalannya perubahan historis, inilah yang mendasari proses
peradaban.

Elias berbicara tentang proses-proses pemberadaban dalam dua level. Yang pertama adalah
level individual dan uraian ini tidak terlampau kontroversial. Melalui proses belajar, bayi dan
anak-anak harus belajar menerima standar-standar orang dewasa dalam hal perilaku dan perasaan
yang lazim dalam masyarakatnya. Dengan menamakan ini sebagai proses pemberadaban kurang
lebih adalah menggunakan istilah lain yang sama maksudnya dengan “sosialisasi”. Level yang
kedua lebih kontroversial. Datangnya standar-standar itu nyatanya tidak selalu ada, pun tidak
selalu sama. Elias berpendapat bahwa tidak mustahil untuk mengidentifikasi proses-proses
pemberadaban jangka panjang sebagai pembentuk standar-standar perilaku dan perasaan secara
turun-temurun di dalam kebudayaan tertentu (Beilharz, 2002: 117-118).
Ide bahwa standar-standar itu mengalami perubahan tidaklah kontroversial yang menjadi
kontroversial adalah apakah perubahan itu berupa proses-proses perubahan terstruktur dengan
arah yang meskipun tidak direncanakan tetapi bisa diamati dari waktu ke waktu. Pada abad ke-
19, cara orang Barat menggunakan kata peradaban menunjukkan bahwa mereka sebagian besar
telah lupa akan proses pemberadaban. Karena yakin akan keunggulan mereka sendiri yang kini
tampak sebagai standar internal dan abadi, maka mereka berniat untuk hanya “memberadabkan”
kaum pribumi di negara-negara yang mereka jajah (atau kalangan yang lebih rendah dalam
masyarakat mereka sendiri). Mereka tidak sadar bahwa nenek moyangnya sendiri pun menjalani
proses belajar, suatu proses pemberadaban yang dengannya mereka mendapatkan karakteristik
yang kini dianggap sebagai ciri-ciri keunggulan bawaan yang dibayangkan (Beilharz, 2002: 118-
119).

Peradaban mengubah kelakuan dan perasaan manusia secara terarah. Namun ternyata
proses peradaban itu bukan hasil dari rencana yang ada pada suatu saat di masa silam pernah
disusun oleh sekelompok orang dan kemudian berdasarkan konsep rasional secara perlahan-
lahan dilaksanakan melalui tindakan-tindakan yang sesuai. Peradaban seperti juga rasionalisasi
bukanlah “rasio” manusia ataupun hasil dari pelaksanaan rencana matang yang pernah disusun
jauh di masa silam. Proses peradaban sesungguhnya tidak lain merupakan masalah hakiki dalam
proses perubahan terus-menerus yang berlangsung sepanjang sejarah. Proses perubahan itu
secara keseluruhan tidak direncanakan secara rasional, namun tidak juga terdiri hanya atas
rangkaian peristiwa tak beraturan yang muncul dan hilang serta tokoh yang tak jelas tampaknya
(Evers, 1988: 3-4).

Maksud, perbuatan, emosi dan pikiran rasional tiap-tiap manusia selalu berkaitan secara
positif ataupun negatif.Hubungan kait-mengkaitkan yang selalu ada antara masing-masing
rencana dan perbuatan manusia dapat menimbulkan perubahan atau menciptakan hal-hal baru
yang tidak pernah direncanakan atau diciptakan dengan sengaja oleh seorang pun juga.Maka dari
hubungan itu, dari saling ketergantungan manusia, tumbuhlah tatanan yang khas, yang lebih
mengikat dan lebih kuat daripada kemauan dan rasio masing-masing manusia yang menjadi
bagian atau pendukungnya. Tata hubungan yang kait-mengkaitkan itulah yang menentukan arah
dan laju perubahan dalam sejarah dan menjadi dasar bagi proses peradaban (Evers, 1988: 4).

Pada tingkat perkembangan peradaban itu sistem kegiatan anggota masyarakat telah
menjadi sangat rumit dan luas, sehingga kesiagaan yang dituntut dari setiap anggota masyarakat
untuk berlaku secara “benar” dalam rangka sistem itu juga menjadi amat tinggi. Hal ini pada
gilirannya menyebabkan timbulnya mekanisme pengendalian kelakuan secara sadar di dalam diri
manusia, di samping mekanisme pengendalian kelakuan yang bersifat otomatis dan berakar
dalam bawah sadar. Mekanisme yang disebut terakhir berfungsi mencegah kelakuan yang
melanggar norma masyarakat (Evers, 1988: 7).

Dalam kenyataannya hasil proses peradaban individu jarang sekali dengan jelas bersifat
positif dan negatif. Kebanyakan orang “beradab” berada di garis tengah antara kedua kutub
ekstrim itu.Dalam tabiatnya terdapat sifat yang positif dan negatif untuk masyarakat, ciri yang
mendukung tercapainya kepuasan subyektif dan ciri yang menghambatnya.Semua itu bercampur
dengan proporsi yang berbeda-beda.(Evers, 1988: 23-24).Elias mengembangkan suatu teori
sosiogenetik yang canggih mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan.Dalam perspektif
perkembangan pengetahuan manusia di sepanjang sejarah spesies ini, “simpul ganda” dalam
hubungan antara sejumlah bahaya yang dihadapi manusia dengan rasa cemas yang mereka alami
merupakan kendala-kendala awal yang besar untuk terbebas dari bentuk pengetahuan yang
memiliki kandungan emosional, muatan fantasi dan “pelik”.Pembebasan itu tidak pernah lengkap
sepenuhnya, tetapi penguasaan atas bahaya dan kecemasan sosial tertinggal di belakang
penguasaan atas kekuatan-kekuatan alam sehingga ilmu-ilmu sosial tetap relative kuang otonom
dan “terpisah’ dari ilmu-ilmu alam (Sobur, 2015: 186).

Berdasarkan penjelasan Norbert Elias mengenai peradaban bahwasannya peradaban


merupakan proses pembentukan jiwa individu yang hidup di dalam suatu masyarakat yang
tinggal menyatu dengan lingkungan alam di sekitar huniannya. Proses peradaban merupakan
masalah hakiki dalam proses perubahan suatu masyarakat secara terus-menerus yang
berlangsung sepanjang hidupnya hingga menciptakan sebuah kebudayaan yang memiliki nilai
tinggi, halus, indah dan maju. Tidak hanya bersifat seperti barang, bangunan dan benda-benda,
tetapi juga merujuk pada wujud gagasan, ide dan perilaku manusia yang tinggi, halus dan maju,
pada akhirnya membentuk suatu peradaban. Secara keseluruhan proses tersebut tidaklah
direncanakan secara rasional, hal tersebut terjadi mengalir secara alami dan bahkan tidak disadari
oleh pelakunya sendiri yaitu masyarakat.

Referensi

Beilharz. Peter. 2002. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Evers, Hans Dieter. 1988. Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Modern.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Novenanto, Anton. 2011. Sejarah Pemberadaban: Mengenalkan Norbert Elias Pada Sosiologi
Indonesia. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 24, No. 3.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sobur, Alex. 2015. Kamus Besar Sosiologi. Bandung: Pustaka Setia.

( Oleh: Annisa Nindya Dewi )

Anda mungkin juga menyukai