KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................ii
Daftar Tabel........................................................................................................iv
Daftar Gambar.....................................................................................................v
Petunjuk Penggunaan Modul............................................................................vii
1 Pendahuluan....................................................................................................1
1.1 Deskripsi Mata Diklat..........................................................................1
1.2 Standar Kompetensi............................................................................1
1.3 Kompetensi Dasar...............................................................................1
1.4 Materi Esensial....................................................................................2
1.5 Estimasi Waktu....................................................................................3
2 Kegiatan Belajar 1 Agregat.............................................................................4
2.1 Umum..................................................................................................4
2.2 Sumber Agregat...................................................................................4
2.3 Klasifikasi Batuan.................................................................................5
2.3.1 Batuan Beku.............................................................................5
2.3.2 Batuan Sedimen.......................................................................5
2.3.3 Batuan Metamorpik atau Malihan...........................................6
2.4 Sifat Fisik Agregat dan Kaitannnya dengan Kinerja Campuran
Beraspal..............................................................................................7
2.4.1 Gradasi.....................................................................................7
2.4.2 Ukuran Butir.............................................................................8
2.4.3 Jenis Gradasi Agregat dan Metode Ujinya................................9
2.5 Alat, Proses Produksi dan Penimbunan Agregat................................16
2.5.1 Penyiapan Alat Produksi.........................................................16
2.5.2 Proses Produksi Agregat.........................................................31
2.5.3 Penimbunan Agregat (Stockpile)............................................34
2.6 Rangkuman Langkah Produksi Agregat dalam Gambar.....................35
2.7 Rangkuman........................................................................................40
2.8 Latihan...............................................................................................41
3 Kegiatan Belajar 2 Aspal...............................................................................42
3.1 Umum................................................................................................42
3.2 Jenis-jenis Aspal.................................................................................43
3.2.1 Aspal Hasil Destilasi................................................................43
3.2.2 Aspal Alam.............................................................................49
Diklat Penyiapan Bahan dan Formula Rancangan (Design Mix Formula) | iii
Modul 1 Bahan Campuran Beraspal 2017
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Diklat Penyiapan Bahan dan Formula Rancangan (Design Mix Formula) | vii
Modul 1 Bahan Campuran Beraspal 2017
13) Peserta membaca dengan seksama setiap sub materi pokok dan bandingkan
dengan pengalaman Anda yang dialami di lapangan.
14) Jawablah pertanyaan dan latihan, apabila belum dapat menjawab dengan
sempurna, hendaknya Anda mengulang kembali materi yang belum
dikuasai.
15) Buatlah rangkuman, kerjakan latihan dan diskusikan dengan sesama peserta
untuk memperdalam materi.
Diklat Penyiapan Bahan dan Formula Rancangan (Design Mix Formula) | viii
Modul 1 Bahan Campuran Beraspal 2017
1 PENDAHULUAN
1. Agregat
1.1 Agregat
1.2 Sumber Agregat
1.3 Klasifikasi Batuan
1.3.1 Batuan Beku
1.3.2 Batuan Sedimen
1.3.3 Batuan Metaporik atau Malihan
1.4 Sifat Fisik Agregat dan Kaitannnya dengan Kinerja Campuran Beraspal
1.4.1 Gradasi
1.4.2 Ukuran Butir
1.4.3 Jenis Gradasi Agregat dan Metode Ujinya
1.5 Alat, Proses Produksi dan Penimbunan Agregat
1.5.1 Penyiapan Alat Produksi
1.5.2 Proses Produksi Agregat
1.5.3 Penimbunan Agregat (Stockpile)
2. Aspal
2.1 Jenis-jenis Aspal
2.1.1 Aspal Hasil Destilasi
2.1.2 Aspal Alam
2.1.3 Aspal Modifikasi
2.2 Klasifikasi Aspal
2.2.1 Kelas Viskositas
2.2.2 Kelas Viskositas Setelah Uji Penuaan
2.2.3 Kelas Penetrasi
2.2.4 Kelas Kinerja
2.3 Sifat-Sifat Aspal
2.3.1 Sifat Kimia Aspal
2.3.2 Sifat Fisik Aspal
2.4 Ketentuan Pengujian Aspal Untuk Campuran Beraspal Panas
2.4.1 Aspal Keras Kelas Penetrasi
2.4.2 Aspal Keras Kelas Viskositas (Viscosity Grade)
2.4.3 Aspal Keras Kelas Kinerja (Performance Graded Asphalt)
2.4.4 Aspal Modifikasi
2.4.5 Bahan Anti Pengelupasan
2.5 Hubungan antara Temperatur dan Volume Aspal
2.6 Hubungan antara Sifat Fisik Aspal dengan Perilaku Perkerasan
2.6.1 Pengaruh Sifat Aspal Selama Masa Produksi, Penghamparan dan
Pemadatan
2 KEGIATAN BELAJAR 1
AGREGAT
Kompetensi Dasar yang akan dicapai dalam bahasan tentang Agregat adalah
serta didik mampu memahami mengenai Agregat. Untuk mencapai kompetensi
tersebut perlu mencapai beberapa indikator, Indikator hasil belajar yang harus
dicapai adalah:
Mampu Menjelaskan Sumber Agregat
Mampu Memberikan Contoh Klasifikasi Batuan
Mampu Menjelaskan Proses Gradasi
Mampu Menjelaskan Ukuran Butiran
Mampu Menjelaskan Jenis Gradasi Agregat dan Metode Ujinya
Mampu Menjabarkan Penyiapan Alat Produksi
Mampu Menjabarkan Proses Produksi Agregat
Mampu Menjabarkan Penimbunan Agregat (Stockpile)
Modul 1
2.1 UMUM
Agregat adalah komponen padat dan keras dengan ukuran butir bervariasi yang
merupakan material utama dalam konstruksi perkerasan jalan dan secara
struktural berfungsi sebagai penahan beban. Daya dukung perkerasan jalan
ditentukan sebagian besar oleh jenis agregat yang digunakan karena agregat
memberikan sifat struktural dan yang memberikan konstribusi sebesar sekitar
(90 – 95) % terhadap berat atau (75 – 85) % terhadap volume campuran
beraspal. Pemilihan agregat yang tepat dan memenuhi persyaratan akan sangat
menentukan dalam keberhasilan pembangunan atau pemeliharaan jalan.
Alat produksi agregat, proses produksi agregat di unit pemecah batu ( stone
crusher) dan penyimpanan agregat di timbunan (stock pile) disajikan dalam Butir
2.5.
Batuan beku luar terbentuk dari magma yang keluar ke permukaan bumi selama
aktivitas erupsi vulkanis dan aktivitas geologi lainnya. Karena berada di daerah
terbuka, maka magma ini cepat mendingin dan membentuk struktur
penampakan batuan seperti kaca, contohnya kaolit, andesit, obaldiam, batu
apung dan basal.
Ada 2 istilah yang dipakai pada batuan sedimen yaitu batuan sillika dan
karbonat. Batuan sedimen sillika adalah batuan sedimen yang banyak
mengandung kalsium karbonat disebut batuan sedimen karbonat. Berdasarkan
cara terbentuk batuan sedimen dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Batuan sedimen yang terbentuk secara mekanik, seperti konglomerat,
breksi, batu pasir, batu lempung termasuk batuan sillika.
2. Batuan sedimen yang terbetuk secara kimiawi, seperti batu gamping, garam
dan gypsum.
3. Batuan sedimen yang terbentuk secara organis, seperti batu bara, batu
gamping dan opal.
Beberapa jenis batuan metamorpik memiliki suatu sifat yang berada dengan
susunan mineral yang berbentuk lapisan atau bidang. Membelah batuan jenis
ini sepanjang arah bidang belahnya adalah lebih mudah dari pada membelahnya
dalam arah lainnya. Batuan metamorpik yang memiliki jenis struktur seperti ini
disebut batuan berlapis (berforliasi). Contoh dari batuan berfoliasi adalah skis
dan flit (terbentuk dari material batuan beku) dan shale (terbentuk dari material
batuan sedimen).
adalah jenis umum dari batuan metamorpik tanpa foliasi. Batuan seperti ini
disebut juga batuan metamorpik.
Mineral pengisi dan mineral abu dapat terjadi secara alamiah atau dapat juga
dihasilkan dari proses pemecahan dari proses agregat buatan di unit mesin
pemecaah batu (stone crusher). Mineral ini penting untuk mendapatkan
campuran beraspal yang padat, berdaya tahan dan kedap air.
Agregat kasar ini menjadikan perkerasan lebih stabil dan mempunyai skid
resistance (tahanan terhadap selip) yang tinggi sehingga lebih menjamin
keamanan berkendara.
Agregat kasar yang digunakan sebagai campuran wearing course, harus tahan
terhadap abrasi yang diuji dengan alat Los Angeles Abration Test (SNI
2417:2008), dan angularitas atau butir bidang pecah yang diuji sesuai dengan
SNI 7619:2012, Pada umumnya mutu agregat kasar dalam campuran beraspal
harus memenuhi ketentuan dalam suatu spesifikasi. Metode uji agregat kasar
yang diambil dari Spesifikasi Umum 2010 Versi-3 (2014) disajikan dalam Tabel 2.
Fraksi agregat kasar harus dari batu pecah mesin dan disiapkan dalam ukuran
nominal sesuai dengan jenis campuran yanga direncanakan seperti ditunjukkan
dalam Tabel 3.
Sedangkan pengujian setara pasir (sand equivalent test) merupakan bagian dari
pengujian untuk mengetahui adanya lempung dalam agregat halus.
Agregat dengan nilai keausan yang besar artinya mudah pecah selama
pemadatan atau akibat pengaruh beban lalu-lintas atau hal lainnya tidak
diijinkan karena beberapa sebab:
a) Gradasi akan berubah karena agregat yang kasar akan menjadi butiran yang
halus. Dengan demikian agregat mempunyai gradasi yang tidak memadai.
b) Agregat yang lemah tidak akan menghasilkan lapisan yang kuat karena
bidang penguncian yang bersudut mudah pecah.
Gambar 3 Tipikal Bentuk Butir Bulat, Pecah, Kubikal, Pipih dan Lonjong
Agregat dengan tesktur permukaan yang sangat kasar memiliki koefisien gesek
yang tinggi yang membuat agregat tersebut sulit untuk berpindah tempat
sehingga akan menurunkan workabillitas. Oleh karena itu penggunaan agregat
bertekstur halus dengan proporsi tertentu kadang-kadang dibutuhkan untuk
membantu meningkatkan workabilitas. Di lain pihak, film aspal lebih mudah
melekat pada permukaan kasar sehingga akan menghasilkan ikatan yang baik
antara aspal dan agregat dan pada akhirnya akan menghasilkan campuran aspal
yang kuat. Agregat yang berasal dari sungai (bank run aggregate) biasa memiliki
permukaan yang halus dan berbentuk bulat, oleh sebab itu agar dapat
Kekasaran permukaan agregat dapat diperoleh dari agregat porus namun perlu
dihindari jumlahnya karena mempunyai penyerapan terhadap air yang relatif
tinggi sehingga akan menyerap aspal lebih banyak dan tidak efisien. Pembatasan
nilai penyerapan terhadap air pada agegat kasar dan agregat halus yang diuji
sesuai dengan SNI 1969: 2008 merupakan salah satu parameter untuk
mendapatkan kekasaran makro permukaan agregat.
2439: 2011. Tes lainnya adalah tes perendaman mekanik. Tes ini menggunakan
2 contoh campuran, yaitu contoh pertama direndam dalam air dan diberikan
energi mekanik dengan cara pengadukan, dan contoh lainnya tidak diberikan.
Kemudian kedua contoh diuji kekuatannya. Perbedaan kekuatan antara
keduanya dapat dipakai sebagai indikator untuk dapat mengetahui kepekaan
agregat terhadap pengelupasan.
Dalam Bab tentang campuran beraspal dapat dilakukan uji pengelupasan dalam
air mendidih sesuai dengan ASTM D 3625 (2005).
Sering dijumpai bahan baku batuan yang mengandung lempung masuk ke unit
pemecah batu. Akibatnya kotoran dan tanah lempung tersebut bersatu dengan
agregat hasil pemecah. Secara visual fraksi abu batu akan terlihat menggumpal
dan jika dimasukan ke air akan terlihat kotor (air menjadi keruh). Dengan
mengacu pada spesifikasi mengenai batas kandungan lempung maka agregat
hasil produksi tersebut harus ditolak bila dipakai sebagai agregat untuk
campuran beraspal.
Pemakaian agregat yang kotor akan memberi pengaruh yang negatif pada
kinerja campuran beraspal nantinya, salah satunya adalah campuran beraspal
mudah mengalami retak akibat dari rendahnya ikatan antar agregat dengan
aspal. Untuk membersihkan bahan baku batuan tersebut dapat digunakan
beberapa cara, antara lain dengan pemisahan (scalping), pengerikan (scrubbing)
atau dengan pencucian (dewatering) seperti akan diuraikan pada Sub Bab 2.5.2.
Tipikal skema unit produksi agregat diperlihatkan pada Gambar 4. Bahan baku
batuan disaring terlebih dahulu untuk memisahkan batuan berukuran kecil
dengan yang berukuran besar. Batuan yang berukuran besar selanjutnya masuk
ke pemecah batu primer. Metode pemisahan ini (scalping) dapat meningkatkan
efesiensi alat pemecah batu dan mengurangi kotoran dan lempung yang masuk
ke dalam unit pemecah batu.
Penggerak tunggal umumnya lebih berat tetapi lebih pendek, kapasitas produksi
lebih tinggi dan harganya (20 – 40) % lebih rendah dari pada jenis penggerakan
ganda. Penggerakan ganda relatif lebih mahal dan digunakan untuk memecah
batu yang abrasive seperti kuarsa. Mesin ini dapat memecah batu yang
mempunyai kuat pecah lebih dari 250MN/m, terutama pada batuan beku dan
metamorpik dan beberapa jenis batu greywake dan kuarsa. Perletakan mesin
pemecah batu jenis jaw harus di atas beton bertulang dengan berat paling
sedikit tiga kali berat mesin.
Fly Wheel Eccentric Sheel
Movable Jaw
Jaw crusher adalah jenis pemecah batu yang paling banyak digunakan untuk
pemecah primer (primary crusher). Jenis ini paling efektif digunakan untuk
batuan sedimen sampai batuan yang paling keras seperti granit atau basal. Jaw
crusher merupakan mesin penekan (compression) dengan rasio
pemecahan/pengukurannya (ratio of reduction) adalah 6:1. Untuk material hasil
meledakan, ukuran butir sampai dengan 90% dari kuran atas (top opening)
masih dapat dipecahkan dengan baik. Untuk kerikil, karena umumnya
berbentuk bulat, disarankan pemakaian material dengan ukuran butir 80% dari
bukaan atas (top opening).
Variasi setelah pada jenis jaw adalah pada sudut pergerakan pelat jaw, laju dan
kecepatan gerakan jaw, jarak bantingan/hantaman, dan jarak antar jaw pada
bukaan bawah yang mengendalikan ukuran butir yang dihasilkan.
Produksinya menghasilkan batu yang lebih halus dari pada hasil pemecah jenis
jaw. Beberapa keuntungan dibandingkan dengan pemecah batu jenis jaw adalah
dapat menangani ukuran batu yang beragam, dapat menangani batu yang basah
dan sedikit berlempung. Walaupun jenis mesin ini 3 kali lebih mahal dari pada
pemecah jenis jaw, namun outputnya relatif lebih tinggi.
Pemecah batu jenis konus digunakan secara luas sebagai mesin pemecah batu
sekunder dan tersier seperti halnya jenis jaw yang umum digunakan untuk
pemecah batu primer. Pemecah jenis konus merupakan mesin serba guna untuk
pasir dan kerikil serta material yang memiliki ukuran butir (20 – 25) cm (sebelum
dipecah), yang tidak memerlukan lagi pemecah primer. Untuk batu hasil
ledakan, pemecah jenis konus berfungsi sebagai pemecah lanjutan atau
pemecah akhir setelah pemecah primer. Jenis pemecah batu konus standar
dapat memecah batu dengan rasio pemecahan (6 – 8) : 1, mengurangi ukuran
material menjadi minimum kurang dari 20 mm, sementara jenis konus halus
dapat mengurangi material menjadi kurang dari 6 mm dengan rasio pemecahan
(4 – 6) : 1.
batu bentur (impact) yang paling banyak digunakan baik sebagai pemecahan
primer maupun sekunder. Berikut ini jenis pemecah batu jenis bentur:
D. Pemecah Batu Jenis Bentur Penggiling (Hammer Milis / Lime Millis Impact
Crushers)
Pemecah jenis penggiling merupakan jenis pemecah bentur yang banyak
digunakan sebagai pemecah batu primer atau sekunder. Batu dipecahkan
dengan palu (hammer) yang berputar dengan kecepatan tinggi. Pemecah
batu ini juga sering dipakai untuk memecahkan batu kapur berkualitas tinggi
dan dipakai sebagai pemecah sekunder.
A = 2,54 (0,85 R + B)
Catatan:
A: ukuran butir maksimum yang dapat dipecahkan dengan baik, cm
R: jari-jari silinder (rolls), cm
B: ukuran butir hasil pemecahan, cm
Silinder Triple
Gambar 9 Pemecah Batu Jenis Silinder (Roll Crusher)
Kapasitas dari pemecah batu ini bervariasi tergantung dari jenis batuan, ukuran
bukaan atas (top opening), ukuran butir hasil pemecahan, diameter silinder
(rolls), dan kecepatan putaran silinder. Jika pemecah ini digunakan untuk
memproduksi agregat akhir, maka rasio pengurangan (ratio of reductioun) tidak
lebih dari 4:1 sementara jika digunakan untuk memproduksi agregat (masih
akan dipecahkan lagi) maka rasio pengurangan (ratio of reduction) sebaiknya
tidak lebih dari 7:1.
Pemasok Getar
Gambar 10 Tipikal Pemasok (Feeders) Alat Pemecah Batu
memisahkan ukuran material yang lebih besar (oversize) atau ukuran yang lebih
kecil (undersize), atau untuk mendapatkan ukuran agregat yang disyaratkan.
Tipikal saringan diperlihatkan pada Gambar 11.
Saringan dengan Bahan Karet Saringan Getar Grizzly dengan Dek Ganda
Saringan pada unit pemecah batu yang portable biasanya terdiri atas 2 1/2 dek
atau lembaran saringan. Dek paling atas berfungsi sebagai penerima awal atau
penerima yang pertama. Posisi dek atau lembaran saringan terpisah secara
pararel dengan jarak yang cukup sehingga tidak mengganggu pergerakan
material di atas dek. Material yang tertahan pada dek bagian atas akan dipecah
oleh pemecah primer, material yang lolos dari dek pertama dan tertahan pada
dek bagian kedua akan dipecah oleh unit crusher selanjutnya. Untuk material
berlebihan yang halus (abu batu) akan melalui saringan paling bawah berukuran
½ dek.
Pada umumnya saringan terbuat dari kawat baja yang dianyam berbentuk
bidang persegi empat. Terdapat dua jenis saringan yang biasa dipakai, yaitu
saringai getar (vibrating screen) dan saringan putar (revolving screen). Saringan
putar terdiri atas lembaran atau dek yang rata dan miring ke bawah searah
aliran agregat. Vibrating screen digetarkan oleh sebuah penggetar yang
ditempelkan di atas atau di kiri dan kanan ayakan. Saringan putar biasanya
terbuat dari drum yang dinding-dindingnya berlubang dan berputar.
Kedudukanya miring ke bawah searah aliran agregat.
Untuk menjaga kualitas agregat yang dihasilkan, agregat yang akan diproses
harus mendapatkan penanganan terlebih dahulu, misalnya dengan melakukan
proses pencucian. Jika bahan baku batuan tersebut mengandung tanah atau
kotoran organik lainnya, jika batuan yang mengandung kotoran ini masuk ke
unit pemecah batu maka akibatnya kotoran dan tanah lempung tersebut
bersatu dengan agregat hasil pemecahan sehingga mempengaruhi kualitas
agregat yang dihasilkan. Untuk membersihkan bahan baku batuan tersebut
dapat digunakan beberapa cara, antara lain dengan pemisahan (scalping),
pengerikan (scrubbing) atau dengan pencucian (dewatering).
Metoda pemisahan (scalping) untuk memisahkan batuan yang kecil dan besar
(hanya batuan besar yang dipecah) selain untuk efesiensi alat ini juga dapat
berguna untuk mengurangi masuknya lempung ke unit pemecah batu. Dengan
penggunaan scalping, kapasitas produksi alat pemecah batu dapat ditingkatkan
sampai dengan 15 %.
Pengerikan (scrubbing) dilakukan dalam suatu alat pencuci yang prinsip kerjanya
adalah melepaskan kotoran dan lempung yang menempel pada pasir dan kerikil
dengan cara menyemprotkan air sambil melakukan proses pengadukan. Setelah
kotorannya terlepas, kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan
lempung tersebut dari pasir dan kerikil.
yang disyaratkan. Pada umumnya jenis pemecah batu yang digunakan untuk
tiap urutan tersebut adalah sebagai berikut:
- Pemecah primer: digunakan pemecah batu jenis jaw, gyratory atau
hammer mill
- Pemecah sekunder: digunakan pemecah batu jenis konus, roll atau
hammer mill
- Pemecah tersier: digunakan pemecah batu jenis roll, rod mill atau ball
mill.
Gambar Uraian
Langkah 2:
Pencucian Agregat
Untuk menghilangkan kotoran yang
melekat pada agregat, hendaknya
dicuci terlebih dahulu melalui proses
scalfing, agar daya ikat agregat
menjadi optimal
Langkah 3
3.1 Pemeriksaan rangkaian
pemecah batu
1. Periksa kondisi peralatan
secara visual
2. Lakukan perbaikan bila ada
yang rusak
3. Bila baik nyalakan saklar
sumber listrik, lalu periksa
tekanan oli yang akan
melumasi bantalan-bantalan
crusher
4. Jalankan crusher tanpa
beban
3.2 Pemeriksaan (lanjutan)
1. Periksa seluruh rangkaian
crusher dalam keadaan jalan
tanpa beban dan adakan
perbaikan bila ada yang
kurang sempurna
2. Periksa hopper dan
masukkan batu ukuran
sesuai dengan kemampuan
crusher
3. Masukkan batu kedalam
crusher secara bertahap,
mulai 1/3, ½ dan ¾ beban
Gambar Uraian
a. Saringan
1. Periksa kondisi saringan.
Lubang-lubang pada ayakan
harus sesuai dengan ukuran
agregat yang dibutuhkan
2. Setel amplitudo flat
vibrating screen bila terlihat
batu tidak tersaring dengan
sempurna
3. Bila ayakan dilengkapi
dengan penyiram air
pembersih batu, maka
periksa pompa dan
persediaan airnya
b. Ban berjalan (belt
conveyor)
1. Periksa kondisi ban (belt),
rol, motor penggerak, dan
V-belt, sebelum dan pada
saat berjalan tanpa beban
2. Kekencangan ban perlu
diperhatikan agar tidak slip
3. Kemiringan ban berjalan
agar tidak terlalu tinggi
supaya tidak terjadi
segregasi di tempat
penimbunan agregat
c. Jaw (2 & 15)
1. Periksa kondisi alur jaw.
2. Jaw bisa dibalik, bagian atas
jadi di bawah, karena bagian
bawah lebih cepat aus
daripada bagian atas.
Membalik jaw harus dua-
duanya. Jaw yang mendekati
rata akan banyak
menghasilkan agregat yang
pipih
Gambar Uraian
d. Toggle plate (10 &
13)
1. Periksa kondisi toggle plate
(plat pengaman) 10 dan 11
2. Periksa kekencangan jaw
dan toggle plate, dengan
memutar baut pengencang
pegas 8 (tension rod 11)
3. Setelah mulai beroperasi
periksa kemungkinan ada
yang kurang sempurna
operasinya
e. Ruang pemecah
batu
1. Jaga agar ruang pemecah
batu selalu terisi dengan
penuh (minimum ¾ nya)
dengan mengatur pemasok
(feeder) nya
2. Ukuran batu untuk dipecah
tidak boleh melebihi
kemampuan crusher
(umumnya 70 s.d. 300 mm)
f. Peletakan crusher
1. Posisi crusher harus rata,
horisontal, agar beban
bearing merata.
2. Periksa kerataan dengan
menggunakan spirit level
(waterpass)
Langkah 4
Pelaksanaan Pemecah batu
1. Pelaksanaan
Pemecah batu dimulai dengan
memasukan batu dengan whell
loader ke dalam Hooper dan
pemasok setelah melalui scalfing
2. Setelah itu masuk ke
pemecah primer yang
merupakan pemecah pertama
dimana pemecah ini akan
Gambar Uraian
menghasilkan ukuran batu yang
diinginkan
3. Dari Pemecah batu primer, batu
yang belum terpecahkan sesuai
dengan ukuran yang diingikan
masuk ke pecah sekunder
(pemecah kedua) melalui
penyalur (conveyor), untuk batu
yang mempunyai ukuran lebih
kecil dari ukuran pemecah
sekunder dapat masuk ke
pemecah tersier (pemecah Ke
tiga)
4. Seluruh agregat yang telah
memenuhi ukuran butir yang
diinginkan baik dari pemecah
primer, sekunder dan tersier
akan masuk ke masing-masing
stock pile (timbunan agregat)
melalui penyalur akhir
2.7 RANGKUMAN
Agregat atau batu atau granular material adalah material berbutir yang keras
dan kompak. Istilah agregat mencakup antara lain batu bulat, batu pecah, abu
batu, dan pasir. Agregat adalah komponen padat dan keras dengan ukuran yang
bervariasi yang merupakan material utama dalam konstruksi perkerasan jalan
dan berfungsi sebagai penahan beban.
2.8 LATIHAN
Untuk lebih meningkatkan pemahaman Saudara, mohon kerjakan soal-soal
latihan di bawah ini!
1. Berdasarkan sumbernya, agregat terbagi menjadi 3 (tiga) sebutkan dan
jelaskan !
2. Berdasarkan Klasifikasi batuan, agregat terbagi menjadi 3 (tiga) sebutkan
dan jelaskan !
3. Jelaskan masing-masing sifat agregat di bawah ini !
a. Ukuran Butir
b. Gradasi
c. Kekerasan
d. Bentuk Partikel
e. Tekstur Permukaan
f. Kelekatan terhadap Aspal
4. Jelaskan Perbedaan antara Agregat Kasar dan Halus !
5. Jelaskan Perbedaan antara Gradasi Seragam, Gradasi Seragam dan Gradasi
Rapat !
6. Sebutkan dan Jelaskan Proses Produksi Agregat !
7. Sebutkan Jenis alat Pemecah Batu !
8. Sebutkan beberapa metode sederhana yang bisa mengurangi segregasi !
9. Sebutkan dan jelaskan bagian dari unit produksi agregat dibawah ini !
a. Pemasok
b. Penyalur
c. Saringan/ayakan
d. Bin Penampung
10. Jelaskan yang Anda ketahui tentang Stockpile!
3 KEGIATAN BELAJAR 2
ASPAL
Kompetensi Dasar yang akan dicapai dalam bahasan tentang Aspal adalah pe
serta didik mampu memahami mengenai aspal. Untuk mencapai kompetensi
tersebut perlu mencapai beberapa indikator, Indikator hasil belajar yang harus
dicapai adalah:
Mampu Menjabarkan Aspal Berdasarkan Jenisnya
Mampu Menjelaskan Klasifikasi Aspal
Mampu Membedakan Aspal Berdasarkan Sifat – Sifat Aspal
Mampu Menjabarkan Aspal Keras Kelas Penetrasi
Mampu Menjelaskan Aspal Keras Kelas Viskositas (Viscosity Grade)
Mampu Menjabarkan Aspal Keras Kelas Kinerja (Performance Grade) Aspal
Mampu Menjelaskan Aspal Modifikasi
Mampu Menghitung Hubungan Antaratemperatur Dan Volume Aspal
Mampu Menjelaskan Pengaruh Sifat Aspal Selama Masa Produksi,
Penghamparan Dan Pemadatan
Mampu Menjelaskan Pengaruh Sifat Aspal Pada Masa Pelayanan
Mampu Menjelaskan Hubungan Antara Sifat
Mampu Menjelaskan Kimia Aspal Dengan Perilaku Perkerasan
Mampu Menjelaskan Hubungan Kondisi, Umur dan Biaya Preservasi
Pemeliharaan Perkerasan
Modul 2
3.1 UMUM
Aspal dan bitumen adalah dua kata yang mempunyai makna yang sama. Istilah
aspal umumnya digunakan di Amerika Serikat, sedangkan bitumen umumnya
digunakan di negara-negara Eropa terutama Inggris. Di Indonesia yang dimaksud
dengan aspal adalah sama dengan bitumen. Aspal adalah bahan padat yang
berwarna coklat sampai hitam, yang terdiri dari senyawa hydrocarbon yang
bersifat viskoelastis sehingga akan meleleh bila dipanaskan dan pada kondisi
dingin aspal bersifat padat. Aspal digunakan sebagai salah satu komponen
utama dalam pembuatan campuran beraspal karena aspal mempunyai adhesi
yang kuat dan kedap air.
Dalam campuran beraspal, aspal berfungsi sebagai bahan pengikat agar agregat
tidak lepas dan tidak mudah terabrasi akibat lalulintas. Selain itu aspal juga
berfungsi sebagai lapis kedap yang melindungi agregat dan material lain di lapis
bawahnya dari pengaruh air. Agar aspal dapat berfungsi seperti yang diharapkan
maka secara umum aspal pada perkerasan jalan di antaranya harus memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Aspal homogen atau tidak terlalu bervariasi.
2. Aspal tidak peka terhadap perubahan suhu di lapangan.
3. Aspal harus memberikan lapisan yang elastis atau tidak getas sehingga
perkerasan tidak mudah retak.
4. Aspal aman saat pengerjaan terutama dari bahaya kebakaran.
5. Aspal tidak cepat rapuh atau lapuk akibat penuaan.
6. Aspal mempunyai adhesi yang baik terhadap agregat yang dilapisi.
7. Aspal mudah dikerjakan.
8. Aspal sesuai dengan kondisi daerah yang bersangkutan.
9. Aspal harus dapat melapisi agregat dan mengisi rongga antar agregat
sehingga perkerasan cukup kedap terhadap air.
10. Aspal memberikan kinerja yang baik terhadap campuran beraspal.
Dalam campuran berbahan pengikat aspal, selain sifat agregat, sifat aspal sangat
menentukan kinerja dari campuran tersebut. Oleh sebab itu, sebelum digunakan
kuantitas dan kualitas aspal harus diuji terlebih dahulu di laboratorium. Sifat-
sifat aspal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut:
- Sifat Kimia, ditentukan berdasarkan kandungan aspalten dan
kandungan malten (resin, arumated, saturated).
- Sifat Fisik, yaitu ditentukan berdasarkan: durabilitasnya
(penetrasi, titik lembek, dan daktilitas), adhesi/ kohesi, Kepekaan terhadap
perubahan temperatur, dan pengerasan/ penuaan.
Selain melalui proses destilasi hampa, aspal keras juga dapat dihasilkan melalui
proses ekstraksi zat pelarut. Dalam proses ini fraksi minyak (bensin, solar dan
minyak tanah) yang terkandung dalam minyak mentah (crude oil) dikeluarkan
sehingga meninggalkan aspal sebagai residu. Aspal keras dapat dikelompokan
berdasarkan kekerasan, kekentalan ataupun berdasarkan tingkat kinerja.
Aspal
Keterangan gambar:
C : Cationic (Kationik) 1 : Menandakan viskositas rendah
RS : Rapid Setting (Memantap Cepat) 2 : Menandakan viskositas tinggi
MS : Medium Setting (Memantap Sedang) h : Hard (keras), menandakan
SS : Slow Setting (Memantap Lambat) nilai penetrasi residu rendah
HF : High Float (Konsistensi ApungTinggi) s : Soft (lembek), menandakan
nilai penetrasi residu tinggi.
Gambar 15 Jenis - Jenis Aspal
Tingkat kekentalan aspal cair sangat ditentukan oleh proporsi atau rasio bahan
pelarut yang digunakan terhadap aspal keras yang terkandung pada aspal cair
tersebut. Tingkat kekentalan aspal ini dinyatakan dalam suatu angka, semakin
besar nilainya semakin kental aspal tersebut. Sebagai contohnya aspal cair jenis
MC-800 memiliki nilai kekentalan yang lebih tinggi dari MC-200.
Aspal cair dapat digunakan baik sebagai bahan pengikat pada campuran
beraspal maupun sebagai lapis resap pengikat (prime coat) atau lapis perekat
sekitar 6% dan untuk menjaga kadar air agar minimal tetap konstan, maka
Asbuton jenis ini dipasarkan dalam bentuk zak yang kedap air.
3. Asbuton Butir
Asbuton butir mirip dengan Asbuton mikro dengan ukuran butir maksimum
lebih kecil dari 1,16 mm. Asbuton jenis ini bersifat homogen, halus dan tidak
menggumpal dan memiliki kandungan air yang sangat kecil. Dipasaran
terdapat empat tipe Asbuton butir yang dibedakan berdasarkan nilai
kekerasan dan persentase kandungan bitumen didalamnya. Keempat tipe
tersebut adalah Asbuton Butir B5/20, B 15/20, B15/25 dan B20/25. Angka
awal dari kode ini menunjukkan nilai penetrasi bitumennya dan angka
selanjutnya menyatakan persentase kandungan bitumennya.
5. Asbuton Murni
Asbuton murni adalah bitumen Asbuton yang didapat dari hasil ekstraksi
Asbuton sehingga kandungan mineral yang tersisa sudah sangat kecil (<1%).
Untuk mempermudah proses ekstraksi, Asbuton jenis ini diproduksi dengan
menggunakan Asbuton dari deposit Lawele. Karakteristik dari masing-
masing tipe Asbuton mulai dari Asbuton konvensional sampai dengan
Asbuton hasil ekstraksi secara garis besar seperti yang diberikan pada Tabel
5.
Bahan tambah yang dapat digunakan secara umum dapat diklasifikasikan dalam
beberapa kelompok, yaitu mineral filler, karet (Rubber), plastik, oksidan, anti
oksidan dan hydrocarbon. Aspal polimer (Polimer Modified Asphalt, PMA)
adalah aspal yang sifatnya dimodifikasi menggunakan polimer. Polimer adalah
senyawa kimia yang terdiri atas beberapa rantai monomer. Bentuk struktur
rantai polimer (Gambar 20) tergantung dari monomernya. Penambahan polimer
dimaksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat rheologi aspal keras, antara lain:
penetrasi, kekentalan, titik lembek dan elastisitasnya. Persentase penambahan
bahan tambah (additive) pada pembuatan aspal polimer harus ditentukan
berdasarkan pengujian laboratorium karena penambahan bahan tambah ini
sampai dengan batas tertentu memang dapat memperbaiki sifat-sifat rheologi
aspal dan campuran, tetapi penambahan yang berlebihan justru akan
memberikan pengaruh yang negatif.
Berdasarkan sifatnya, ada dua jenis polimer yang digunakan untuk pembuatan
aspal polimer, yaitu polimer elastomer (karet) dan polimer plastomer (plastik).
Jenis aspal polimer yang dihasilkan biasanya disesuaikan dengan jenis polimer
yang digunakan pada saat pembuatannya, yaitu aspal polimer elastomer dan
aspal polimer plastomer.
Di Indonesia, terdapat jenis lain aspal modifikasi, yaitu aspal yang dimodifikasi
dengan Asbuton. Selain itu pada akhir-akhir ini juga dikenal satu jenis lain dari
aspal modifikasi yang disebut sebagai aspal multigrade.
STANDAR VISKOSITAS
Pengujian Satuan
AC-2,5 AC – 5 AC- 10 AC – 20 AC - 30 AC- 40
- Daktilitas 25o C,
cm 100 100 75 50 40 25
5 cm/menit
umber : The Asphalt Institute, 1983
antara hasil pengujian ini dengan kinerja aspal di lapangan tidak begitu jelas
atau akurat. Untuk itu aspal perlu dikelompokan berdasarkan kinerjanya.
Persyaratan
No. Jenis Pengujian Metode
Plastomer Elastomer
1. Penetrasi, 25 ‘C; 100 gr; 5 SNI 06-2456-1991 50 - 70 50 – 75
dctik; 0,1 mm
2. TitikLembek,°C SNI 06-2434-1991 Min. 56 Min. 54
3. Titik Nyala, °C SNI 06-2433-1991 Min. 232 Min. 232
4. Berat jenis SNI 06-2441-1991 Min. 1,0
0
5. Kekentalan pada 135 C , cSt SNI 06-6721-2002 150-1500 Max.2000
6. Stabilitas Penyimpanan pada SNI 06-2434-1991 Homogen* Max. 2
163 °C selama 48 jam,
Perbedaan Titik Lembek;oC
7. Kelarutan dalam Trichlor RSNI M-04-2004 Min. 99 Min. 99
Ethylen, % berat
8 Penurunan Berat (dengan SNI 06-2440-1991 Max. 1,0 Max. 1,0
RTFOT); berat
9 Perbedaan Penetrasi setelah SNI 06-2456-1991
TFOT; % asli
-Kenaikan Penetrasi Max 10 Max 10
- Penurunan penetrasi Max 40 Max 40
10 Perbedaan Titik Lembek SNI 06-2434-1991
setelah TFOT, % asli Max 6,5 Max 6,5
- Kenaikan titik lembek Max 2 Max 2
Elastic recovery residu RTFOT, Min. 45
11 AASHTO T301-95 -
%
Catatan *: Pada permukaan tidak terjadi lapisan (kulit), kerut dan tidak terjadi endapan.
Analisa kimia aspal sangat sulit dilakukan karena susunan kimia aspal yang
sangat kompleks. Analisa kimia yang dilakukan biasanya hanya dapat
memisahkan molekul aspal secara garis besar, dalam dua fraksi, yaitu aspaltin
(45% – 56%) dan maltin (23% – 34%). Fraksi aspaltin mengandung heteroatom
yg terdiri atas nitrogen, sulfur, oksigen dan unsur logam lainnya. Oleh sebab itu,
besar kecilnya kandungan aspaltin di dalam aspal akan mempengaruhi sifat
spesifik dari aspal tersebut. Viskositas aspal dapat diasumsikan mencerminkan
persentase aspaltin dan maltin, hal ini disebabkan karena aspatin memberikan
kontribusi yg besar terhadap viskositas aspal. Selanjutnya malten dapat dibagi
lagi menjadi saturated, aromatik dan resin. Walaupun begitu, pembagian ini
tidak dapat didefinisikan secara jelas karena adanya sifat yang saling tumpang
tindih antara kelompok-kelompok tersebut. Rostler-Sternberg membagi fraksi
aspal berikut lebih mendetail lagi, dalam basis-basis berbeda.
3.4.1.5 Parafin
Parafin adalah bagian dari fraksi aspal yang bersifat saturated hydrocarbon dan
merupakan komponen yang tidak reaktif (the least reactive class of organic
compounds). Fraksi ini disebut juga Alkanes dan berfungsi sebagai Gelling Agent
dalam massa aspal.
Sedangkan aspal yang bersifat gel (Gel Type Asphalt) memiliki ciri-ciri:
a) Kepekaan terhadap temperatur rendah.
b) Duktilitas rendah.
c) Viskositas tinggi.
d) Lebih elastis.
e) Tingkat penuaan tinggi.
f) Tidak tahan terhadap thermal cracking.
3.4.2.1 Penetrasi
Pengujian penetrasi pertama kali dikembangkan oleh Bowen pada tahun 1889
dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kekerasan aspal. Pengujian standar
penetrasi yang ada pada saat ini adalah hasil peningkatan dan penyempurnaan
alat penetrasi yang dikembangkan oleh Bowen, walaupun begitu prinsip
pengujiannya tidak berubah (Hatherly et al., 1967). Nilai penetrasi didefinisikan
sebagai kedalaman jarum satuan yang masuk ke dalam benda uji aspal akibat
pembebanan dalam jangka waktu tertentu yang dinyatakan dalam 0,1 mm.
Beban yang digunakan termasuk berat jarum adalah 100 gram dan pembebanan
dilakukan selama 5 detik pada temperatur 25 o C, tetapi untuk tujuan tertentu
temperatur pengujian dapat divariasikan. Prosedur pengujian penetrasi secara
lengkap dapat dilihat dalam SNI 06-2456-1991.
3.4.2.2 Viskositas
Spesifikasi perkerasan jalan mensyaratkan pengukuran viskositas aspal harus
dilakukan pada temperatur 135 o C, yaitu temperatur yang dianggap mewakili
temperatur aspal pada saat dicampur dengan agregat dan pada saat
penghamparan di lapangan. Selain untuk pengelompokkan aspal, tujuan lain
dari pengukuran viskositas adalah untuk menentukan temperatur pencampuran
dan pemadatan campuran beraspal. Untuk tujuan terakhir ini, pengujian
viskositas harus dilakukan pada temperatur yang bervariasi dan hasilnya
dinyatakan dalam hubungan antara logaritma viskositas dan temperatur.
3.4.2.3 Durabilitas
Kinerja aspal sangat dipengaruhi oleh sifat aspal tersebut setelah digunakan
sebagai bahan pengikat dalam campuran beraspal dan dihampar di lapangan.
Hal ini disebabkan karena sifat-sifat aspal akan berubah secara signifikan akibat
oksidasi dan volatilisasi yang terjadi baik pada saat pencampuran, pengangkutan
dan penghamparan campuran. Perubahan sifat ini akan menyebabkan aspal
menjadi kurang mulur atau dengan kata lain aspal telah mengalami penuaan.
Kemampuan aspal untuk menghambat laju penuaan ini disebut durabilitas
aspal.
Sifat aspal terutama viskositas dan penetrasi akan berubah bila aspal tersebut
mengalami pemanasan ataupun penuaan. Aspal dengan durabilitas yang baik
hanya sedikit mengalami perubahan.
Uji daktilitas aspal adalah suatu uji kualitatif yang secara tidak langsung dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat adesifnes atau daktilitas aspal keras. Aspal
keras dengan nilai daktilitas yang rendah adalah aspal yang memiliki daya adesi
yang kurang baik dibandingkan dengan aspal yang memiliki nilai daktilitas yang
tinggi.
Viskositas
Setelah TFOT atau RTFOT
Aspal segar
Aspal berdurabilitas
kurang baik
Aspal segar
Temperatur
(skala log)
Gambar 21 Pengaruh Temperatur pada Viskositas Aspal
Uji penyelimutan aspal terhadap batuan merupakan uji kuantitatif lainnya yang
digunakan untuk mengetahui daya lekat (kohesi) aspal terhadap batuan. Pada
pengujian ini, agregat yang telah diselimuti oleh film aspal direndam dalam air
dan dibiarkan selama 24 jam dengan atau tanpa pengadukan. Akibat air atau
kombinasi air dengan gaya mekanik yang diberikan, aspal yang menyelimuti
permukaan agregat akan terkelupas kembali. Aspal dengan daya kohesi yang
kuat akan melekat erat pada permukaan agregat oleh sebab itu pengelupasan
yang terjadi sebagai akibat dari pengaruh air atau kombinasi air dengan gaya
mekanik sangat kecil atau bahkan tidak terjadi sama sekali.
Kepekaan aspal terhadap temperatur dari 2 jenis aspal (aspal A dan aspal B)
dalam Gambar 22 yang memiliki tingkat penetrasi yang sama tetapi berasal dari
minyak bumi yang berbeda sumbernya. Penetrasi kedua aspal tersebut pada
temperatur 25oC mendekati sama, artinya aspal tersebut berada dalam
klasifikasi yang sama. Disini dapat dilihat bahwa kecenderungan perubahan nilai
penetrasi kedua aspal tersebut tidaklah sama. Pada temperatur yang sama,
penurunan nilai penetrasi aspal B lebih kecil dibandingan dengan yang terjadi
pada aspal A. Hal ini menunjukkan bahwa aspal A lebih peka terhadap
perubahan temperatur dibandingkan dengan aspal B.
Penetrasi
25 100 Aspal B
Aspal A
(oC) Temperatur
Gambar 22 Perubahan Penetrasi Aspal Akibat Perubahan Temperatur
Kecenderungan yang sama juga terjadi untuk aspal yang memiliki viskositas
yang sama tetapi berasal dari sumber yang berlainan (lihat Gambar 23). Pada
temperatur 135oC aspal C dan D memiliki viskositas yang sama, tetapi
perubahan viskositas yang terjadi pada aspal C dan D akibat perubahan
temperatur tidaklah sama. Hal ini disebabkan karena aspal C lebih peka
terhadap temperatur dibandingkan dengan aspal D.
Viskositas
Aspal D
Aspal C
Nilai IP aspal berkisar antara -3 sampai +7, aspal dengan nilai IP yang tinggi lebih
tidak peka terhadap perubahan temperatur dan sebaliknya. Pada Gambar 24
dan Gambar 25 diilustrasikan pengaruh nilai IP aspal terhadap kinerja campuran
beraspal di lapangan.
Selain hal tersebut di atas, nilai IP aspal dapat juga digunakan untuk
memprediksi kinerja campuran beraspal, aspal dengan IP yang tinggi akan
menghasilkan campuran beraspal yang memiliki modulus kekakuan dan
ketahanan terhadap deformasi yang tinggi pula.
Resiko
Deformasi E (PI rendah)
Log Penetrasi
F (PI tinggi)
Resiko
Retak
1,20
1,00 y = 0,9721e-0,3524x
0,80 R2 = 0,9896
0,60
0,40
0,20
0,00
-1 1 3 5 7
Indeks Penetrasi
Temperatur titik lembek aspal (TL) dapat digunakan sebagai nilai T 2. Nilai TL
yang digunakan didapat dari pengujian titik lembek cincin-bola (Ring and Ball
Softening Point). Penelitian yang dilakukan oleh Pfeiffer et al. (1936)
menunjukkan bahwa pada temperatur SP, hampir semua jenis aspal memiliki
nilai penetrasi 800. Berdasarkan kenyataan ini, penentuan nilai A dapat
disederhanakan menjadi:
log .Pen.T1 log .800
A
T1 TL
Karena tidak semua jenis aspal pada temperatur TL-nya memiliki nilai penetrasi
800 maka Persamaan di atas tidak sepenuhnya berlaku untuk semua jenis aspal.
Heukelom (1973) melakukan penelitian dengan menggunakan aspal dengan
tingkat kepekaan terhadap temperatur yang bervariasi dan menyimpulkan
bahwa untuk mendapatkan nilai A yang representatif maka T 1 haruslah
temperatur standar pengukuran penetrasi dan T 2 adalah temperatur dimana
aspal memiliki nilai penetrasi 800, sehingga kedua persamaan A tersebut dapat
diubah menjadi:
log .Pen.T25 log .800
A
T25 T pen800
Keterangan:
Pen T25 = Nilai penetrasi aspal yang diuji pada temperatur 25 oC
T25 = Temperatur pengujian 25oC
Tpen800 = Temperatur aspal yang memberikan nilai penetrasi 800
Selain berdasarkan dua nilai penetrasi, nilai A juga dapat dihitung berdasarkan
dua nilai viskositas atau satu nilai penetrasi dan satu nilai viskositas seperti yang
diberikan pada Persamaan berikut (AUSTROAD, 1992).
VisT
(( )
46 , 07 Log 1
1 Vis T 2
A=
T 2−T 1 1300 1300
8,5−Log
Vis T
1
)( 8,5−Log
VisT
2
)
1300
5 , 42 Log
A=
1
T 2−T 1
Log
(800
PenT
+
1 8,5−Log
Vis T 2
1300
VisT 2 )
Selain dengan rumusan di atas, nilai IP aspal dapat pula dihitung dengan
menggunakan nomograph (Shell, 1995). Nomograph ini hanya menggunakan
satu data penetrasi aspal, oleh sebab itu nilai IP yang didapat dengan
menggunakan nomograph ini akan berbeda hasilnya bila dihitung dengan
menggunakan rumus dengan dua nilai penetrasi. Walaupun begitu, karena
adanya rentang nilai penetrasi dalam spesifikasi maka perbedaan nilai ini dapat
diterima.
Akibat panas yang tinggi, pengerasan aspal akibat penuaan lebih cepat terjadi di
daerah yang beriklim tropis dari pada di daerah sub-tropis. Pengerasan ini
terutama terjadi pada permukaan beraspal yang terekspos langsung. Oleh sebab
itu kerusakan jenis retak pada lapis permukaan beraspal di daerah beriklim
tropis lebih cepat terjadi dibandingkan dengan daerah lainnya yang beriklim
subtropis (RN 31, 1993; Rolt et al. 1986).
Dalam dua proses penuaan seperti yang telah disebutkan di atas, oksidasi
merupakan suatu faktor penting yang menentukan kecepatan penuaan.
Kecepatan penuaan jangka panjang semata-mata disebabkan oleh oksidasi.
Kecepatan oksidasi yang terjadi sangat dipengaruhi oleh rongga udara yang
terkandung dalam campuran dan lingkungan dimana campuran ini dihampar.
Dari ke-dua hal tersebut, Glenn et al. (1981) mengatakan bahwa lingkungan
lebih memberikan pengaruh pada penuaan aspal dibandingkan dengan rongga
udara dalam campuran atau porositas agregat yang digunakan. Pendapat yang
sama juga dinyatakan oleh Yau et al. (1985) yang mengatakan bahwa oksidasi
3.5.1.1 Penetrasi
Pengujian ini dimaksudkan untuk menetapkan nilai kekerasan aspal.
Berdasarkan pengujian ini aspal dikategorikan dalam beberapa tingkat
kekerasan. Pengujian ini merupakan mengukuran secara empiris terhadap
konsistensi aspal. Kekerasan aspal diukur dengan jarum penetrasi standar yang
masuk kedalam permukaan bitumen pada temperature 25 0C, beban 100 gram
dan waktu 5 detik.
3.5.1.3 Daktilitas
Daktilitas ditunjukan oleh panjang benang aspal yang ditarik hingga putus.
Pengujian dilakukan dengan alat yang terdiri atas cetakan, bak air dan alat
penarik contoh uji.
3.5.1.4 Viskositas
Viskositas atau kekentalan aspal diuji dimaksudkan untuk menentukan
temperatur campuran dan pemadatan campuran beraspal panas, mencakup
pengujian kekentalan saybolt furol aspal secara empiris pada temperatur antara
(120 – 200) 0C.
yang dilihat adalah nilai penetrasi, titik lembek dan daktailitas. Untuk itu sangat
dianjurkan dalam penyiapan sample dilakukan dibuat dua jenis sample, yaitu
kehilangan berat dan satu kelompok lainnya yang diuji TFOT sebagai yang telah
kehilangan berat.
Aspal modifikasi harus dikirim dalam tangki yang dilengkapi dengan alat
pembakar gas atau minyak yang dikendalikan secara termostatis. Pembakaran
langsung dengan bahan bakar padat atau cair di dalam tabung tangki tidak
diperkenankan dalam kondisi apapun. Pengiriman dalam tangki harus
dilengkapi dengan sistem segel yang disetujui untuk mencegah kontaminasi
yang terjadi apakah dari pabrik pembuatnya atau dari pengirimannya. Aspal
yang dimodifikasi harus disalurkan ke tangki penampung di lapangan dengan
sistem sirkulasi yang tertutup penuh. Penyaluran secara terbuka tidak
diperkenankan.
Jangka waktu penyimpanan untuk aspal modifikasi dengan bahan dasar latex
tidak boleh melebihi 3 hari kecuali jika jangka waktu penyimpanan yang lebih
lama disetujui oleh Direksi Pekerjaan. Persetujuan tersebut hanya dapat
diberikan jika sifat-sifat akhir yang ada memenuhi nilai-nilai yang diberikan
dalam Tabel 12.
pemakaian aditif anti striping dalam rentang 0,2% - 0,4% terhadap berat aspal.
Bahan anti pengelupasan harus digunakan untuk semua jenis aspal tetapi tidak
boleh digunakan pada aspal modifikasi yang bermuatan positif.
Contoh: Sebuah truk mengangkut 20.000 liter aspal pada temperatur 150 o C.
Berat jenis dari aspal tersebut adalah 0,970. Berapa volume aspal tersebut pada
temperatur 15o C?.
Jawab: Karena spesific gravity aspal diatas 0,966. Dari Tabel pada Tata Cara
Penentuan Koreksi Volume Aspal Terhadap Volume pada Temperatur Standar
(SNI 06-6400-2000) diperoleh Fk, Faktor koreksi adalah: 0,9181, maka:
V = Vt . Fk = 20.000 X 0,9181
V = 18362 liter.
Jadi volume Aspal tersebut pada temperatur 15 0 C adalah 18.374 liter
10
8
Indeks Penuaan
6
Indeks Penuaan
1 Waktu (tahun)
0 2 4 6 8 10
Gambar 29 Kecepatan Penuaan Aspal (Shell, 1995)
Gambar 30 Pengaruh Sifat Fisik Aspal Selama Masa Konstruksi dan Pelayanan
(Shell, 1995)
bervariasinya kadar aspal dalam campuran. Oleh karena itu pencampuran aspal
dengan agregat sebaiknya dilakukan pada temperatur dimana viskositas aspal
170 ± 20 cst.
Bila kadar aspal dalam campuran terlalu tinggi atau rongga udara yang terlalu
kecil, konsolidasi agregat yang terjadi dalam campuran aspal akibat beban lalu-
lintas akan menyebabkan jembul dan naiknya aspal ke permukaan perkerasan
campuran beraspal. Gejala ini kebanyakkan terjadi pada temperatur tinggi,
sehingga pembatasan titik lembek aspal pada temperatur 50 oC diharapkan
dapat mengantisipasi masalah ini.
3.10 RANGKUMAN
Aspal adalah bahan padat yang berwarna coklat sampai hitam, yang terdiri dari
senyawa hydrocarbon yang bersifat viskoelastis sehingga akan meleleh bila
dipanaskan dan pada kondisi dingin aspal bersifat padat. Aspal digunakan
sebagai salah satu komponen utama dalam pembuatan campuran beraspal
karena aspal mempunyai adhesi yang kuat dan kedap air.
Berdasarkan perolehannya, aspal dibedakan atas aspal alam dan aspal yang
didapat dari hasil penyulingan (destilasi) minyak bumi. Selain itu, dikenal juga
aspal modifikasi, yaitu aspal hasil penyulingan minyak bumi yang sifat-sifatnya
dimodifikasi.
Aspal keras, baik yang alami, modifikasi ataupun yang didapat dari hasil
destilasi, dapat diklasifikasikan ke dalam tingkatan (grade) atau kelas
berdasarkan empat cara yang berbeda, yaitu viskositas, viskositas setelah
penuaan dan penetrasi dan beradasarkan kinerjanya. Masing-masing cara
mengelompokkan aspal dalam tingkatan atau kelas yang berbeda pula.
Sifat aspal, baik sifat kimia mapun sifat fisiknya akan selalu berubah sepanjang
waktu akibat temperatur dan cuaca. Perubahan sifat aspal ini sangat
mempengaruhi kinerja campuran beraspal yang menggunakan aspal sebagai
bahan pengikatnya.
3.11 LATIHAN
Untuk lebih meningkatkan pemahaman Saudara, mohon kerjakan soal-soal
latihan di bawah ini!
PENUTUP
Modul 1 Bahan Campuran Beraspal ini adalah salah satu bahan ajar Diklat
Penyiapan Bahan dan Formula Rancangan (Design Mix Formula). Namun, harus
dimengerti pula bahwa modul ini bukanlah satu-satunya rujukan bagi peserta
maupun widyaiswara. Untuk melengkapi pengetahuan tentang bahan
campuran beraspal ini, maka sangat disarankan untuk membaca buku referensi
lain yang terkait maupun referensi sumber yang menjadi acuan dalam
penyusunan modul ini.
Semoga modul ini dapat menyajikan materi pembelajaran secara menarik dan
menyenangkan, sehingga proses pembelajaran bisa berlangsung efektif dan
efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Yaw,A., Tuffour, Ishai.I., dan Craus,J., 1985, Relating Asphalt Aging And
Durability To Its Compositional Change, Proceeding Of The Association
Of Asphalt Paving Technology, APT, Vol 54, 163-181.
GLOSARIUM