II
Penyair dalam usaha meninggikan emosi kita dan meluaskan pengalaman kita
sering menggunakan lambang-lambang. Sejumlah lambang-lambang itu mudah kita
kenal. Jarang lambang-lambang itu mempunyai arti yang pasti sebab dia hanya
menyarankan kepada suatu arti tertentu. Bunga lily dapat melambangkan kemurnian
atau kecantikan yang lembut pada seseorang tapi oleh juga pelambang kematian
kepada orang lain. Lambang memberikan kesan yang berbeda-beda kepada masing-
masing orang dan dengan cara demikian pulalah sastra menghidangkan pengalaman
yang berbeda-beda kepada para pembacanya. “Laut” merupakan lambang perjuangan
bagi S. Takdir dan jadi lambang ketenangan bagi Sanusi Pane.
5. Pigura bahasa
Barangkali semua orang pernah mendengar atau mengucapkan kalimat: “Nyiur
melambai”, ”mendidih marahnya” atau “razia kupu-kupu malam”, dll. Pigura bahasa
tidaklah selalu sejelas contoh-contoh di atas. Membaca puisi membutuhkan
pengetahuan dan kesadaran akan pigura bahasa yang dipergunakan oleh penyair untuk
mengemukakan idenya.
Walaupun banyak sekali jenis pigura bahasa,tetapi pada dasarnya keseluruhan
jenis itu dapat kita bedakan atas dua bagian besar saja, yakni metapora dan simile.
Yang dimaksud metapora ialah:
a. Gaya pernyataan yang melukiskan suatu benda atau hal dengan menegemukakan
persamaannya dengan benda lain.
b. Gaya pernyataan secara tak langsung terhadap dua hal atau dua benda yang tidak
sama.
c. Gaya penggabungan dua buah benda, dua objek atau dua ide kedalam suatu imagi.
Metapora biasanya tidak memakai kata “seperti” atau “sebagai” dll. Yang dimaksud
simile ialah gaya pernyataan dengan dua objek atau dua hal yang tidak sama. Simile
biasanya dinyatakan dengan memakai perkataan “seperti”, ”sebagai”, ”laksana”, dst.
Contoh-contoh metafora
1. Ia tenggelam dalam lautan duka cita
2. Buah hatinya sedang dirundung malang
3. Ombak pulang memecah pantai
4. Suaranya hilang ditelan malam
5. Pekik “Merdeka” membelah angkasa
6. Palang salib dan bulan bintang membawa perdamaian abadi
7. Mereka terbelenggu oleh utang
8. Terlonjak hatinya mendengar anaknya lulus ujian meja hijau
9. Lintah darat merajalela di kampung itu
10. Hatinya terombang-ambing oleh berita yang tidak pasti itu.
Contoh-contoh simile
1. Ia berjuang seperti harimau kelaparan
2. Kelakuannya seperti binatang jalang
3. Kejadian itu hanyalah seperti ombak kecil dalam segelas air
4. Seperti telur di ujung tanduk
5. Seperti kuda lepas dari kandangnya
6. Laksana bulan kesiangan hari
7. Bagai kerbau dicucuk hidung
8. Laksana air di daun talas
9. Seperti bumi dengan langit
Juga pernyataan-pernyataan berikut termasuk pigura bahasa, walaupun tidak
dapat kita masukkan dengan tepat ke dalam salah satu contoh di atas itu.
Misalnya: 1. Karena laut tak pernah dusta, maka lautlah aku.
2. Keadilan itu memang sudah buta.
3. Ia benar-benar Don Yuan.
4. Kalau dia tertawa bersinarlah mutiara dari giginya.
5. Tahun ini adalah tahun kelabu.
6. Ajal bertahta sambil berkata.
6. Bunyi (Suara)
Ada sejumlah bunyi yang memberikan kesenangan kepada kita, sedangkan yang lain
tidak. Atau dengan perkataan lain, sejumlah musik seperti musik sedang yang lain seperti
ribut. Banyak di antara kita mendengar kerikan kapur di papan tulis. Untuk sebagian besar
kita, kerikan tersebut tidak menyenangkan, malah mengilukan. Dan jika bunyi itu lebih kuat
lagi kita akan takut dan terkejut. Ada sejumlah bunyi yang tenang dan mengejutkan sedang
yang lain menjengkelkan dan memedihkan. Ada orang bersiul, ada bersenandung karena
mereka menyukai bunyi (suara) itu. Banyak kata dipergunakan untuk memperoleh efek dari
kombinasi bunyi yang berbeda.
Di dalam puisi suara kata di samping tugasnya yang pertama sebagai pendukung arti,
digunakan pula sebagai:
a. Peniru bunyi
b. Lambang rasa
c. Kiasan suara
Bagaimana pemakaian suara dalm puisi sebagai jelmaan rasa haruslah dilakukan dengan
kesadaran, biasanya dipergunakanlah oleh penyair yang tajam persaannya. Pemakaian suara
(bunyi) tidak dimaksusdkan sebagai hiasan semata-mata, melainkan sebagai pendukung
maksud, jelmaan rasa.
Bunyi g, j, d, b, adalah bunyi bersuara berat, bunyi i,e adalah bersuara ringan: a, u, o,
bunyi rendah. Atau jika kita lihat dari sudut pandangan yang lain maka bunyi i, e adalah
mengatakan perasaan langsing ,kecil dan bunyi a, o, u menyatakan perasaan keruh, rendah,
dan besar. Bunyi b, d, g, z, v, w lebih lunak, tapi lebih berat dari bunyi p, t, k, c, f (lihat
sanjak lebih “Hanya satu” karya Amir Hamzah pada bab V buku ini).
Menurut catatan dalam bahasa Indonesia jumlah pemakaian bunyi a = 40-50 %, bunyi i, u, e
antara 14-17 % dan bunyi e, o = kurang lebih 1-2 %. Jadi dalam bahasa Indonesia praktis
bunyi vokal yang dipakai hanyalah empat,sedangkan bunyi yang lain jaran dipakai.
7.Rima (Persamaan bunyi)
Rima ialah persamaan bunyi yang berulang-ulang yang kita temukan pada akhir baris
atau pada kata-kata tertentu pada setiap baris. Semua puisi lama Indonesia mempunyai
persamaan bunyi akhir.
Perhatikanlah contoh-contoh berikut:
a. Pantun
Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh
b. Syair
Wajah yang manis pucat berseri
Laksana bulan kesiangan hari
Berjalan tunduk memikirkan diri
Tiada memandang ke kanan dan kiri
c. Talibun
Sejak berbunga daun pandan
Banyaklah tikus pematang
Anak buaya datang pula
Daun selasih tambah banyak
d. Gurindam
Kurang pikir kurang siasat
Tentu dirimu kelak tersesat
Silang selisih jangan dicari
Jika bersua janganlah lari
Dalam rangkaian pembicaraan tentang rima ini,kita kenal pula istilah aliterasi dan asonansi.
Aliterasi ialah persamaan bunyi konsonan,seperti:
Bukab beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak negeri
Musti menurut undangan mair
Asonansi ialah persamaan bunyi vokal,seperti contoh pantun di atas atau seperti contoh kata-
kata berikut:
Teratai-permai
Dunia-mulia
Jika persamaan bunyi atau perulangan bunyi itu terjadi pada bunyi-bunyi yang cerahringan
yang menunjukkan kesenagan,kegembiraan,disebut euphony,seperti bunyi-bunyi i,e,a.
Misalnya: Betapa sari
Tidakkan kembang
Melihat terang
Si mata hari
Jika persamaan bunyi atau perulangan bunyi itu terjadi pada bunyi-bunyi yang
berat,menekan,mencekam,mengerikan,yang menunjukkan kesuraman,kekelaman,keseraman
disebut cacophony,seperti bunyi u,e,o.
Misalnya: Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih mnyebut namamu
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
8. Ritme (irama)
Ritme merupakan bagian yang sangat fundamental pada puisi.Ritme adalah rangakaian alun
suara.Ia adalah naik turunnya suara dalam suatu bahasa.Ritme adalah pengulangan bunyi yang
berulang-ulang dan tersusun rapi.Susunan irama akan kelihatan alamiah dan menyenangkan
sepanjang tidak monoton,dan mendapat penekanan-penekanan tertentu sehingga
menimbulkan kecerahan.Di alam ini kita menyaksikan pengulangan-pengulangan susuanan
yang seperti air laut di tepi pantai.Musim dalam setiap tahun membentuk embusan irama atau
ritme seperti halnya siang berganti dengan malam.Jauh di utara Alaska di mana siang dan
malam pada musim dingin sangat gelap,dan pada musim panas hampir seluruhnya siang
(terang) saja,menimbulkan kebosanan pada masyarakat yang tingal di sana.Irama pakaian
wanita yang diatur dengan baik begitu pula kemeja pria yang diatur dengan bervariasi akan
sangat menyenangkan.Tapi coba kita bayangkan sebuah dinding kamar kerja yang hanya
terdiri dari tempelan koran=koran bekas yang seragam,pasti akan menjemukkan dan
memuakkan.Jadi ritme dapat memberikan kenikmatam tapi juga dapat menjengkelkan.
Dalam bahasa Yunani dan juga bahasa Inggris tanda-tanda untuk tekanan keras dan
lembut ditandain dengan - = tanda keras,u=tanda lembut.Inilah yang disebut kaki sajak
(foot).Kaki sajak bermacam-macam yakni:
a. Jambe = u-/u-
b. Anapes = uu-/uu-
c. Troche = -u/-u
d. Dactylus =-uu/-uu
9. Tema
Setiap puisi tentu ditulis dengan maksud tertentu.Hal itu bisa menyenangkan karena
mengemukakan sesuatu yang menarik atau mengagumkan pandangan penyair tentang suatu
objek atau bisa juga memberi dorongan terhadap moral atau berupa pengajaran akan
kebenaran yang bersifat spiritual dan rohaniah. Apapun tujuannya pastilah setiap puisi
dibangun atas dasar emosi. Pengarang tidak langsung membeberkan pandangannya terhadap
pembaca. Tapi pembaca diberi kesempatan mengambil kesimpulan sendiri dari pengalaman
yang dikemukakan dalam sajak itu. Jika seseorang telah menemukan dari puisi itu sesuatu
dengan pasti, teguh dan bulat dan dapat mentransfer pengalaman itu pada diri sendiri dan pada
peristiwa lainnya, maka penyair telah bekerja dengan baik, dan pembaca telah berhasil
menikmati, menghayati sanjak yang dibacanya tersebut.
Tema suatu sanjak tentulah merupakan kombinasi atau sintesa dari bermacam-macam
pengalaman, cita-cita, ide dan bermacam-macam hal yang ada dalam pikiran penulis.