Anda di halaman 1dari 46

Modul

POTENSI
PAJAK DAERAH

Kementerian Keuangan Republik Indonesia


Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2018

DJPK | MODUL POTENSI 1


DAFTAR ISI

1. Perencanaan Target Penerimaan Pajak Daerah………………………......... 3

1.1 Pengertian Target Penerimaan Pajak Daerah................. 3

1.2 Menaksir Pertumbuhan dengan Teknik Ekstrapolasi....................... 3

2. Analisis Potensi Pajak Daerah…………………………………………........... 9

3. Perhitungan Potensi Pajak Daerah……………………………………........... 21

11 Jenis Potensi Pajak Daerah..................................................... 21

4. Profiling Wajib Pajak Hotel dan Restoran………………………………........ 26

4.1 Pengertian Profiling Database Wajib Pajak………………….... 26

4.2 Tujuan Profiling Database Wajib Pajak Hotel dan Restoran.. 26

4.3 Elemen Profile WP Hotel dan Restoran…………………………...... 27

4.4 Pengumpulan Data…………………………………………………..... 42

4.5 Kendala dan permasalahan dalam pengumpulan data.................. 43

4.6 Pemanfaatan Profiling WP Hotel dan Restoran…………….... 44

DJPK | MODUL POTENSI 2


Perencanaan Target Penerimaan Pajak
Daerah
1.1 Pengertian Target Penerimaan Pajak Daerah
1.2 Menaksir Pertumbuhan dengan Teknik Ekstrapolasi
Ada banyak teknik yang dapat digunakan untuk melakukan
penaksiran pertumbuhan, mulai dari yang sederhana sampai yang
kompleks. Intinya, penaksir yang baik adalah penaksir yang paling
kecil simpangannya terhadap data yang diwakili oleh penaksir
bersangkutan (ordinary least square estimation = OLSE).
Salah satu teknik sederhana untuk melakukan penaksiran
pertumbuhan, adalah teknik ekstrapolasi, yaitu melakukan penaksiran
dengan menggunakan dua data terpilih untuk mewakili sebaran data
yang akan disusun penaksirnya. Dengan demikian, teknik
ekstrapolasi mengasumsikan bahwa pertambahan nilai variabel terikat
untuk setiap satuan perubahan nilai variabel bebas, bersifat tetap
(linear). Tentu saja oleh karena kesederhanaannya, teknik ini bisa
menghasilkan nilai taksiran yang rendah akurasinya bahkan kadang -
kadang dapat menyesatkan. Namun, pada kondisi tertentu (misalnya
ketika sedang berada di lapangan yang jauh dari fasilitas teknis,
atau oleh karena keterbatasan data yang tersedia sebagai dasar
penaksiran), teknik ekstrapolasi dapat sangat membantu untuk melihat
gambaran kasar.
Teknik ekstrapolasi tidak lain adalah mencari persamaan penaksir
berupa garis lurus yang melalui 2 titik: A(xA,yA) dan B(xB,yB)
Yt −YA Xt −XA
YB −YA
= XB −XA

YB −YA
Yt − YA = XB −XA
(X t − X A )

YB −YA
Yt = XB −XA
(X t − X A ) + YA atau

Yt = {(YB − YA )/(X B − X A )}(Xt − YA ) + YA

DJPK | MODUL POTENSI 3


Tingkat pertumbuhan diperoleh dengan membandingkan
perubahan nilai Y (yaitu: Yt-Yt-1) dengan nilai Yt-1. Jadi, tingkat pertumbuhan
t

berdasarkan persamaan garis lurus Yt adalah:

rt = {(Y t-Tt-1)/Y t-1)}x100%

Ambil contoh data hipotesis penerimaan pajak daerah Kabupaten


ABC sebagai berikut:

No Tahun X Penerimaan Pajak Daerah Koordinat


1. 2012 0 (Juta Rp) 300.000 C (0; 300.000)
2. 2013 1 310.000 D (1; 310.000)
3. 2014 2 ? E (2; ?)
4. 2015 3 ? F (3;?)

Persamaan garis lurus penaksir penerimaan pajak daerah


Kabupaten ABC dengan menggunakan data tahun 2012 dan 2013 yang
tersebut di tabel di atas adalah:
𝑌𝑡 = {(310.000-300.000)/(1-0)}( X t -1) + 300.000
Yt = 10.000 ( 𝑋𝑡 -0) + 300.000
𝑌𝑡 = 10.000 𝑋𝑡 + 300.000
Penerimaan pajak daerah Kabupaten ABC pada tahun 2014
berdasarkan persamaan penaksir di atas adalah sebesar:
𝑌2014 = 10.000 ( X 2014 ) + 300.000
Y2014 = 10.000 ( 2) + 300.000 = 320.000

Tingkat pertumbuhan pada tahun 2014, ditaksir sebesar:


𝑟2014 = {( 𝑌2014 - 𝑌2013 )/ 𝑌2013 )} x 100%
𝑟2014 = {( 320.000 − 310.000)/ 310.000}x 100%
r2014 = 3,22%

Bagaimana dengan taksiran besarnya penerimaan ( 𝑌2015 ) dan


pertumbuhan penerimaan ( 𝑋2015 ) pajak daerah Kabupaten ABC untuk
tahun 2015? Penyelesaiannya sama dengan penaksiran untuk tahun
2014 di atas, yaitu:
𝑌2015 = 10. 000 ( 𝑋2015 ) + 300.000

DJPK | MODUL POTENSI 4


𝑌2015 = 10.000 ( 3) + 300.000 = 330.000

Tingkat pertumbuhan pada tahun 2015, ditaksir sebesar:


𝑟2015 = {( 𝑌2015 - 𝑌2014 )/ 𝑌2014 )} x 100%
𝑟2015 = {( 330.000 − 320.000)/ 320.000}x 100%
𝑟2015 =3,12%

Berdasarkan dua penaksiran tersebut di atas (untuk tahun 2014


dan tahun 2015), terlihat bahwa pertambahan nilai y bersifat
konstan (yaitu sebesar 10.000 per tahun), namun tingkat
pertumbuhannya berbeda dari tahun ke tahun, yaitu 3,22% pada
tahun 2014 dan menurun menjadi 3,12% pada tahun 2015. Hal
yang sama akan diperoleh untuk penaksiran tahun 2016 dan
seterusnya.
Dalam hal pertambahan nilai y secara faktual memang (relatif)
konstan, penaksiran dengan menggunakan teknik ekstrapolasi tersebut
memang tidak (terlalu) bermasalah. Permasalahan serius akan muncul
jika secara faktual, nilai y untuk tahun-tahun yang akan dipergunakan
sebagai basis penaksiran, ternyata berfluktuasi atau tidak beraturan
perubahannya.
Berikut ini contoh menghitung perkiraan pertumbuhan penerimaan
pajak daerah Kabupaten ABC untuk tahun 2014, dengan data
hipotesis tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 sebagai berikut
(dibulatkan):

No Tahun x Penerimaan Pajak Daerah (Juta Rp) Koordinat

1. 2010 0 300.000 A (0; 300.000)

2. 2011 1 332.000 B (1; 332.000)

3. 2012 2 310.000 C (2; 310.000)

4. 2013 3 320.000 D (3; 320.000)

5. 2014 4 ? E (4; ?)

Jika data tersebut kita sebarkan ke dalam diagram sebar (scatter


diagram), akan diperoleh grafik sebagai berikut:

DJPK | MODUL POTENSI 5


Jika digunakan teknik ekstrapolasi untuk menaksir penerimaan pajak
daerah Kabupaten ABC pada tahun 2014, muncul persoalan: 2 data mana yang
akan digunakan sebagai basis penyusunan fungsi penaksir? Kemungkinan
pilihan data dan impilikasi yagn dapat timbul oleh karenanya, yaitu:
a) Menggunakan data tahun 2012 dan tahun 2013 sebagai basis (garis
penaksir CDE1), dengan implikasi terjadi penaksiran terlalu optimis atau
terlalu tinggi (over estimate) karena dalam kenyataannya terjadi penurunan
penerimaan pajak daerah pada tahun 2012.
CDE1 = Yt = {(320.000-310.000)/(3-2)}( X t -2) + 310.000
CDE1 = Yt = 10.000 ( X t -2) + 310.000
CDE1 = Yt = 10.000 X t + 290.000
𝑌2014 = 10.000 (4) + 290.000 = 330.000
𝑟2014 = {( 𝑌2014 - 𝑌2013 )/ 𝑌2013 )} x 100%
𝑟2014 = {( 330.000 − 320.000)/ 320.000}x 100%
𝑟2014 = 3,12%
b) Menggunakan data tahun 2011 dan tahun 2013 sebagai basis (garis
penaksir BDE2), dengan implikasi terjadi penaksiran terlalu pesimis atau
terlalu rendah (under estimate) karena dalam kenyataannya selama kurun
waktu 2010-2013, lebih sering terjadi kenaikan dibandingkan penurunan
penerimaan pajak daerah.

DJPK | MODUL POTENSI 6


BDE2 = Yt = {(320.000-332.000)/(3-1)}( X t -1) + 332.000
BDE2 = Yt = -6.000 ( X t -1) + 332.000
BDE2 = Yt = -6.000 X t + 338.000
𝑟2014 = {( 𝑌2014 - 𝑌2013 )/ 𝑌2013 )} x 100%
𝑟2014 = {( 314.000 − 320.000)/ 320.000}x 100%
𝑟2014 = - 1.88% (pertumbuhan negatif)

c) Menggunakan data tahun 2010 dan tahun 2013 sebagai basis (garis
penaksir ADE2), dengan implikasi terjadi penaksiran yang optimis namun
tidak terlalu optimis sebagaimana penaksir CDE1. Pilihan ini memang
menghasilkan penaksir terbaik diantara tiga penaksir yang kita buka
kemungkinannya (CDE1, BDE3, ADE2), namun belum tentu penaksir ini
merupakan penaksir yang baik (memenuhi syarat OLSE).
ADE2 = Yt = {(320.000-300.000)/(3-0)}( X t -0) + 300.000
ADE2 = Yt = 6.667 ( X t -0) + 300.000
ADE2 = Yt = 6.667 X t + 300.000
𝑦2014 = {( 𝑌2014 - 𝑌2013 )/ 𝑌2013 )} x 100%
𝑟2014 = {( 𝑌2014 - 𝑌2013 )/ 𝑌2013 )} x 100%
𝑟2014 = {( 326.668 − 320.000)/ 320.000}x 100%
𝑟2014 = 2,08%

Untuk lebih memperhalus hasil penaksiran, dalam praktek


biasanya digunakan data rata- rata dari setiap 2 data yang berurutan,
sehingga pada akhirnya hanya tertinggal 2 data saja yang selanjutnya
digunakan sebagai basis data penaksiran.

Dalam contoh, data tahun 2010 dan tahun 2011 diambil nilai rata-
ratanya (d i p e r o l e h data AB 2010-2011) kemudian data tahun 2012 dan
tahun 2013 juga diambil nilai rata-ratanya (diperoleh data CD 2012-2013).

No Tahun x Penerimaan Pajak Koordinat


Daerah (Juta Rp)

1. 2010 - 2011 0,5 316.000 AB (0,5; 316.000)

2. 2012 – 2013 2,5 315.000 CD (2,5; 315.000)

3. 2014 4 S? E (4; ?)

DJPK | MODUL POTENSI 7


Dengan dua data hasil perhitungan rata-rata tadi, yaitu AB (0,5;
316.000) dan CD (2,5;315.000), dapat dilakukan penaksiran
pertumbuhan penerimaan pajak daerah Kabupaten ABC sebagai
berikut:
Yt = {(315.000-316.000)/(2,5-0,5)}( X t -0,5) + 316.000
Yt = -500 ( X t -0,5) + 316.000
Yt = -500 X t + 316.250
𝑌2014 = -500 (4) + 316.250 = 314.250
𝑟2014 = {( 𝑌2014 - 𝑌2013 )/ 𝑌2013 )} x 100%
𝑟2014 = {( 314.250 − 315.000)/ 315.000}x 100%
𝑟2014 = -0,24%

DJPK | MODUL POTENSI 8


Analisis Potensi Pajak Daerah
Ada beberapa kriteria yang biasa digunakan dalam menetapkan
pajak daerah yaitu:
1) Hasil: memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya
dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah
tidaknya memperkirakan hasil pajak tersebut, perbandingan hasil
pajak dengan biaya pungut, elastisitas hasil pajak terhadap inflasi
dan pertambahan pendapatan.
2) Keadilan (equity): kewajiban membayar pajak daerah harus jelas
dan tidak sewenang- wenang, pajak harus adil secara horizontal
artinya beban pajak harus sama antara berbagai kelompok yang
berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama, adil secara
vertikal artinya beban pajak harus lebih banyak ditanggung oleh
kelompok yang memiliki sumber daya yang lebih besar.
3) Efisiensi ekonomi: pajak daerah hendaknya mendorong penggunaan
sumber daya secara efisien dan efektif dalam kehidupan ekonomi,
mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan produsen menjadi
salah arah, dan memperkecil beban lebih pajak.
4) Kemampuan melaksanakan: pajak daerah harus dapat dilaksanakan
baik dari aspek politik maupun administratif.
5) Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah.
Meskipun UU No. 28 Tahun 2009 sudah berlaku, pedoman yang
dapat diterapkan terkait dengan kronologi yuridis, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, penetapan potensi pajak daerah harus
memperhatikan prinsip sebagai berikut:
(a) Bersifat pajak dan bukan retribusi;
(b) Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta
hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan;
(c) Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum;
(d) Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak provinsi dan/atau obyek
pajak pusat;

DJPK | MODUL POTENSI 9


(e) Potensinya memadai;
(f) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
(g) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
(h) Menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan memperhatikan prinsip tersebut, potensi pajak yang
ditetapkan sebagai target penerimaan akan lebih mendekati
realisasi yang diharapkan. Selain juga harus berpedoman pada
asas pemungutan pajak secara umum, yaitu: asas equity (asas
keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan); asas certainly (asas
kepastian hukum), asas convenience of payment (asas pemungutan pajak yang
tepat waktu atau asas kesenangan); dan asas efficiency (asas efisiensi atau
asas ekonomis).
Pajak daerah secara teori hendaknya memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain:
a) Tidak bertentangan atau searah dengan kebijakan pemerintah
pusat.
b) Sederhana dan tidak banyak jenisnya.
c) Biaya administrasinya rendah.
d) Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat.
e) Kurang dipengaruhi oleh “business cycle” tapi dapat berkembang
dengan meningkatnya kemakmuran.
f) Beban pajak relatif seimbang dan “tax base” yang sama
diterapkan secara nasional.
Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung
pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan
desentralisasi, yang juga berarti memberikan suatu local taxing power.
Untuk itu pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus
tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya, yaitu:
1) Fungsi Budgeter, adalah fungsi anggaran, yaitu sebagai sumber
penerimaan untuk membiayai pengeluaran. Fungsi ini
mempunyai sifat tetap dan selalu meningkat. Kriteria tetap dalam
arti selalu dapat diharapkan sebagai sumber penerimaan,
sedangkan kriteria selalu meningkat, artinya akan selalu
mengalami kenaikan penerimaan.

DJPK | MODUL POTENSI 10


2) Fungsi Regulerent (Fungsi Pengaturan), yaitu sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi (mengatur redistribusi barang dan jasa), dalam
hal ini termasuk layanan.
Hal yang juga tidak dapat dipungkiri adalah terdapatnya berbagai
kendala dalam melaksanakan pemungutan pajak daerah, antara lain:
a. Kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pembayaran
pajak.
b. Banyak masyarakat yang belum memahami apa kegunaan
pajak.
c. Kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat. Kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap pembayaran pajak
semestinya ditindaklanjuti degan sosialisasi.
d. Banyak petugas pajak yang belum mempunyai keterampilan
yang memadai dalam melaksanakan tugasnya.
e. Sarana dan prasarana yag masih kurang.
f. Belum diterapkannya sanksi hukum yang optimal terhadap
pelanggaran di bidang pajak daerah.
Solusi untuk mengatasi kendala tersebut, diantaranya adalah
dengan melakukan:
a) intensifikasi pemungutan pajak daerah dengan melibatkan SKPD
secara aktif; dan
b) penyelidikan pada objek/subjek pajak yang tidak membayar atau
kurang membayar pajak daerah dengan yang telah ditetapkan
dalam Surat Ketetapan Pajak daerah, dengan melakukan
kerjasama dengan lembaga penegak hukum yang terkait.
Dalam perencanaan penerimaan pajak terdapat tiga pendekatan,
yaitu:
a) makro,
b) mikro, dan
c) inkremental.
Pendekatan inkremental lebih praktis dan pragmatis untuk
diterapkan pada perencanaan penerimaan pajak daerah. Metode yang
digunakan dalam pendekatan inkremental ini dilakukan melalui
perhitungan realisasi penerimaan tahun sebelumnya dengan

DJPK | MODUL POTENSI 11


penyesuaian terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi.
Penyesuaian dapat juga dilakukan terhadap variabel lain seperti
bunga, harga dan produkasi migas, PDRB, kurs rupiah terhadap
dollar, dan faktor lain.
Sementara pola variabel tax base dapat dijadikan sebagai pilihan
dalam melakukan proyeksi penerimaan pajak dengan memperhatikan
faktor yang mempengaruhinya antara lain:
1) Kondisi ekonomi Makro
2) Daya beli masyarakat;
3) Penyediaan jasa;
4) Kebijakan publik;
5) Mobilisasi penduduk.

Sebagai gambaran dalam pendekatan inkremental, digunakan


contoh berikut:
Realisasi penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor pada tahun tertentu
adalah sebesar Rp.100.000.000,00. Berdasarkan berbagai faktor yang
mempengaruhi pendapatan tersebut di atas diasumsikan penerimaan
akan meningkat sebesar 5%; maka target penerimaan Pajak Kendaraan
Bermotor tahun berikutnya dapat ditetapkan sebesar Rp.105.000.000,00.
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 tarif pajak daerah ditetapkan
dalam persentase tertentu dengan batasan maksimal atau interval yang
harus ditetapkan secara definitif didalam Perda tentang pajak daerah.
Batasan dalaM penentuan tarif ini, memberikan diskresi kepada daerah
untuk menetapkan tarif pajak daerah sesuai dengan potensi dan
kemampuan masyarakatnya.
Contoh:
a) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor:
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, tarif pajak kendaraan
bermotor atas kepemilikan kendaraan bermotor yang pertama
adalah paling rendah 1% dan paling tinggi 2%.
Dalam Perda dapat ditetapkan tarif Pajak Kendaraan
Bermotor atas kepemilikan kendaraan bermotor yang
pertama sebesar 1,2%.

DJPK | MODUL POTENSI 12


b) Tarif Pajak Hotel:
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, tarif Pajak Hotel
ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
Dalam Perda dapat ditetapkan tarif Pajak Hotel sebesar 10% atau
lebih rendah.
Dalam melakukan penetapan proyeksi penerimaan pajak daerah,
perlu ditentukan klasifikasi potensi penerimaan untuk setiap jenis pajak
daerah. Klasifikasi ini secara umum dapat digunakan untuk jenis
pungutan lainnya (retribusi daerah). Klasifikasi potensi penerimaan
pajak dapat digolongkan menjadi:
a. Penerimaan Prima
Pajak daerah yang termasuk klasifikasi penerimaam prima jika
rasio tambahan
(pertumbuhan) lebih besar atau sama dengan satu.
b. Penerimaan Potensial
Pajak daerah yang termasuk klasifikasi penerimaan potensial jika
rasio tambahan (pertumbuhan) lebih kecil atau sama dengan satu
dan ratio proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata total
penerimaan pajak atau retribusi daerah lebih besar atau sama
dengan satu.

c. Berkembang
Pajak daerah yang termasuk klasifikasi berkembang jika rasio
tambahan (pertumbuhan) lebih besar atau sama dengan satu
dan ratio proporsi atau sumbangannya terhadap rata- rata total
penerimaan pajak daerah lebih besar atau sama dengan satu.
d. Terbelakang
Pajak daerah yang termasuk klasifikasi berkembang jika rasio
tambahan (pertumbuhan) atau sumbangannya terhadap rata-rata
total penerimaan pajak daerah keduanya lebih kecil atau sama
dengan satu.
Untuk menentukan potensi penerimaan pajak daerah ke dalam
klasifikasi tersebut di atas diperlukan 2 indikator pokok, yaitu:
a) Ratio Proporsi

DJPK | MODUL POTENSI 13


Penentuan ratio proporsi dilakukan dengan membandingkan
antara realisasi penerimaan jenis pajak daerah tertentu
dengan rata-rata penerimaan pajak daerah. Rata-rata pajak
daerah diperoleh dari perhitungan jumlah seluruh penerimaan
pajak daerah dibagi dengan jumlah jenis pajak daerah.
b) Ratio Tambahan
Penentuan ratio tambahan dilakukan dengan membandingan
pertumbuhan jenis pajak tertentu dengan pertumbuhan total
pajak daerah.
Selama ini penentuan target penerimaan pajak daerah lebih
didasarkan pada kaidah inkremental (dinaikkan sekian persen dari
penerimaan tahun lalu), bukan didasarkan pada potensi
penerimaan. Potensi penerimaan daerah untuk masing masing jenis
pajak daerah belum dihitung secara menyeluruh.
Pengukuran prestasi kerja dalam penerimaan pajak daerah
masih didasarkan pada rasio pengumpulan (collection ratio), yaitu
rasio yang digunakan untuk mengukur persentase realisasi
penerimaan pajak daerah dari target penerimaan pajak daerah,
bukan ukuran rasio cakupan (coverage ratio), yang meliputi rasio
proporsi dan rasio pertumbuhannya. Sedangkan rencana tindakan
(action plan) peningkatan pendapatan daerah lebih dianggap
sebagai kegiatan rutin instansi pemungut.

Rumus rasio pengumpulan (collecting ratio) pajak daerah:

RPPxi = Realisasi xi x 100%


Target xi

Dimana:
RPPxi = Rasio Pengumpulan Pajak
xi = Jenis pajak daerah tahun bersangkutan

Contoh: Pajak Hotel


Target penerimaan Pajak Hotel Tahun 2011 sebesar Rp.400.000.000,-
Realisasi penerimaan Pajak Hotel Tahun 2011 sebesar Rp.450.000.000,-

DJPK | MODUL POTENSI 14


RPPxi = 450.000.000 x 100%
400.000.000

Artinya: realisasi penerimaan Pajak Hotel pada tahun 2011 mencapai


112,5% dari target penerimaan.

Sedangkan untuk mengetahui berapa persen pertumbuhan Pajak Daerah


dari tahun lalu dapat dipakai rumus sebagai berikut:

PPxi(t) = xi(t) - xi(t-1) x 100%


xi(t-1)

Dimana:
PP xi(t) = Pertumbuhan Pajak Daerah
xi(t) = Penerimaan Pajak Daerah tahun ke t
xi(t-1) = Penerimaan Pajak Daerah tahun ke t -1 (tahun sebelumnya)

Contoh: Pajak Hotel


Target penerimaan Pajak Hotel Tahun 2010 sebesar Rp.400.000.000,-
Realisasi penerimaan Pajak Hotel Tahun 2011 sebesar Rp.450.000.000,-

PPxi (2011) = 450.000.000-400.000 x 100%


400.000.000

Artinya: pertumbuhan pajak hotel tahun 2011 = 12,5%, atau terjadi


pertumbuhan penerimaan pajak hotel pada tahun 2011 sebesar 12,5%
dari tahun 2010.

Rumusan Matriks Klasifikasi Potensi Penerimaan Pajak Daerah adalah:

Rasio Proporsi
Rasio Pertumbuhan
Xi Xi
Rata−rata X
>1 Rata−rata X
<1

PPXi Prima Berkembang


PPXTotal
>1

DJPK | MODUL POTENSI 15


PPXi Potensial Terbelakang
PPXTotal
<1

PPxi = Pertumbuhan penerimaan jenis Pajak Daerah


PPxTotal = Pertumbuan total penerimaan seluruh Pajak Daerah
Rata − rata xi = Rata-rata penerimaan seluruh Pajak Daerah

Artinya:

o Jika Rasio Proporsi > 1 dan Rasio Pertumbuhan > 1, maka


penerimaannya prima atau sangat potensial.
o Jika Rasio Proporsi > 1 dan Rasio Pertumbuhan < 1, maka
penerimaannya potensial.
o Jika Rasio Proporsi < 1 dan Rasio Pertumbuhan > 1, maka
penerimaannya berkembang atau masih ada potensi untuk
dikembangkan.
o Jika Rasio Proporsi < 1 dan Rasio Pertumbuhan < 1, maka
penerimaannya terbelakang atau kurang potensial

DJPK | MODUL POTENSI 16


Contoh: Penentuan Tarif Bagi Pengusaha Kecil (WP yang Sulit
Dikenakan Pajak)

kecil seperti warung nasi wajib pajak yang sulit


kewajiban karena tingkat
dan mereka. Pada
kecil warung nasi
menggunakan karcis yang luas
bukan 10% dari penjualan nilai

DJPK | MODUL POTENSI 17


Contoh proyeksi potensi penerimaan 8 jenis Pajak Daerah:
1) Pertumbuhan jenis Pajak Daerah Tahun 2011 dari Tahun 2010
Realisasi Penerimaan
Pertumbuhan
Tahun 2010 Tahun 2011
No. Jenis Pajak Daerah
(Rp) (Rp)
1 Pajak Hotel 300.000.000 350.000.000 0,17
2 Pajak Restoran 250.000.000 260.000.000 0,04
3 Pajak Hiburan 100.000.000 120.000.000 0.20
4 Pajak Reklame
75.000.000 80.000.000 0.07
5 Pajak Penerangan Jalan
50.000.000 60.000.000 0,20
6 Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
80.000.000 85.000.000 0,06
7 Pajak Parkir
90.000.000 95.000.000 0,06
8 Pajak Air Tanah
40.000.000 45.000.000 0,13

Total 1.095.000.000

Rata rata 136.875.000

2) Rasio Proporsi dan Rasio Pertumbuhan 8 jenis Pajak Daerah:


Rasio Rasio
No. Jenis Pajak Daerah Keterangan
Proporsi Pertumbuha
1 Pajak Hotel 2,19 1,73
n Prima
2 Pajak Restoran 1,63 0,42 Potensial
3 Pajak Hiburan 0,75 2,08 Berkembang
4 Pajak Reklame 0,50 0,69 Terbelakang
5 Pajak Penerangan Jalan 0,38 2,08 Berkembang
6 Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 0,53 0,65 Terbelakang
7 Pajak Parkir 0,60 0,58 Terbelakang
8 Pajak Air Tanah 0,28 1,30 Berkembang

Dari contoh hasil perhitungan tersebut di atas, dapat diketahui


pertumbuhan penerimaan dari tahun sebelumnya, rasio proporsi, dan
rasio pertumbuhan 8 jenis pajak daerah, sehingga dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1) Pajak Hotel dengan rasio proporsi 2,19 dan rasio
pertumbuhan 1,73 merupakan pajak daerah yang
penerimaannya prima artinya penerimaannya sangat potensial,
karena rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya lebih dari
satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan pajak
daerah ini kedepan sangat layak untuk diteruskan
pemungutannya, karena penerimaannya sangat potensial.

DJPK | MODUL POTENSI 18


2) Pajak Restoran dengan rasio proporsi 1,63 dan rasio
pertumbuhan 0,42 merupakan pajak daerah yang penerimaannya
potensial, karena rasio proporsinya lebih dari satu sedangkan
rasio pertumbuhannya kurang dari satu, sehingga untuk proyeksi
potensi penerimaan pajak daerah ini kedepan masih layak untuk
diteruskan pemungutannya, karena penerimaannya yang
potensial.
3) Pajak Hiburan dengan rasio proporsi 0,75 dan rasio pertumbuhan
2,08, Pajak Penerangan Jalan dengan rasio proporsi 0,38 dan
rasio pertumbuhan 2,08, dan Pajak Air Tanah dengan rasio
proporsi 0,28 dan rasio pertumbuhan 1,30 merupakan pajak
daerah yang penerimaannya berkembang artinya masih ada
potensi untuk dikembangkan, karena rasio proporsinya kurang
dari satu sedangkan rasio pertumbuhannya lebih dari satu,
sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan pajak daerah ini
kedepan dapat dipertimbangkan untuk diteruskan
pemungutannya, karena potensinya masih dapat dikembangkan.
4) Pajak Reklame dengan rasio proporsi 0,5 dan rasio pertumbuhan
0,69, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dengan rasio
proporsi 0,53 dan rasio pertumbuhan 0,65, dan Pajak Parkir
dengan rasio proporsi 0,60 dan rasio pertumbuhan 0,58,
merupakan pajak daerah yang penerimaannya terbelakang
artinya kurang potensial, karena rasio proporsi dan rasio
pertumbuhannya kurang dari satu, sehingga untuk proyeksi
potensi penerimaan pajak daerah ini kedepan dipertimbangkan
kembali untuk diteruskan pemungutannya, karena potensinya
kurang.
Upaya untuk meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah
agar mendekati atau bahkan bahkan sama dengan potensinya,
secara umum ada dua cara, yaitu dengan cara instensifikasi dan
ekstensifikasi.
a) Cara intensifikasi adalah melakukan pemungutan secara efektif
dan efisien pada objek dan subjek pajak daerah yang sudah ada
misalnya melakukan perhitungan potensi, penyuluhan,
peningkatan pengawasan dan pelayanan.

DJPK | MODUL POTENSI 19


b) Cara ekstensifikasi adalah melakukan usaha-usaha untuk
menjaring wajib pajak baru melalui pendataan dan pendaftaran
atau menggali pajak baru.
Alternatif kebijakan atau upaya yang dapat diambil atau diterapkan
dalam usaha meningkatkan setiap jenis klasifikasi yang disebut diatas
akan berbeda-beda. Jika jenis pajak daerah termasuk prima, maka
kebijaksanaan yang telah diterapkan pada tahun-tahun
sebelumnya dapat tetap digunakan dengan mempertahankan
tingkat pertumbuhan dan kontribusinya. Jika jenis pajak termasuk
penerimaan yang potensial, maka upaya yang perlu dilakukan adalah
dengan mengintensifkan pemungutan dari sumber penerimaan yang
ada sehingga terjadi pertumbuhan penerimaan. Untuk pajak
daerah dengan klasifikasi berkembang, upaya peningkatan yang
dilakukan adalah dengan menggali sumber-sumber baru dengan
tingkat pertumbuhan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Jika
pajak daerah dalam klasifikasi terbelakang, maka upaya
peningkatannya dilakukan dengan menggali sumber-sumber
penerimaan baru dan meningkatkan penerimaan dari tahun
sebelumnya dari sumber peneriman yang ada.

DJPK | MODUL POTENSI 20


PERHITUNGAN POTENSI PAJAK DAERAH
3.1. 11 Jenis Potensi Pajak Daerah
Potensi pajak daerah juga dapat dihitung dengan cara menghitung
potensi pajak daerah untuk masing-masing objek pajak. Potensi pajak daerah
tersebut dihitung dengan cara:

Potensi Pajak Daerah = Basis Pajak x Tarif Pajak Daerah

Tarif pajak yang dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan


perundangan yang tercantum dalam undang-undang pajak daerah dan
retribusi daerah atau peraturan daerah tentang pajak daerah. Basis pajak
daerah harus dapat dihitung secara objektif sehingga perhitungan potensi
pajak daerah menggambarkan potensi pajak daerah di lapangan.

Berikut ini adalah contoh cara perhitungan potensi pajak daerah.


Potensi Pajak Hotel
Langkah-langkah yang dilakukan dalam perhitungan potensi pajak hotel, yaitu:
1. Mengidentifikasi objek pendapatan pajak hotel, yakni identifikasi seluruh
hotel yang ada meliputi hotel bintang, hotel melati, motel, wisma, dan
sebagainya.
2. Menentukan hotel yang akan diteliti. Jika memungkinkan seluruh hotel
disurvei dan dimasukkan dalam database potensi pendapatan. Namun jika
karena keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya maka dapat dilakukan
pengambilan sampel.
3. Melakukan observasi untuk memperoleh data :
a. Kelas/jenis kamar
b. Tarif kamar
c. Jumlah kamar
d. Tingkat hunian kamar
e. Menghitung rata-rata hunian kamar
f. Menghitung potensi pajak
4. Menghitung rata-rata hunian kamar
5. Menghitung potensi pajak

DJPK | MODUL POTENSI 21


Untuk memberikan gambaran cara menghitung potensi pendapatan pajak
hotel, beriktu adalah contoh data hotel SANTAI:
Tipe Kamar Jumlah Tarif Kamar

VVIP 1 1.000.000

VIP 4 750.000

Superior 25 400.000

Delux 30 300.000

Standar 10 200.000

Jumlah Kamar 70

Tingkat Hunian (Bed Occupancy Rate) 45%

Tarif Pajak Hotel 10%

Langkah 1: Menghitung Rata-rata Hunian Kamar

Berdasarkan data tersebut, langkah selanjutnya adalah menghitung rata-


rata hunian kamar. Untuk menghitung rata-rata hunian kamar maka perlu
diobservasi jumlah kamar terpakai pada kondisi pengunjung ramai, normal, sepi,
dan musim liburan. Selanjutnya berdasarkan data jumlah kamar terpakai, maka
dilakukan penghitungan rata-rata hunian kamar yang dapat dihitung dengan dua
cara, yaitu:

a. Rata-rata hunian kamar dengan metode rata-rata


Situasi Jumlah Kamar Terpakai (JKT) Keterangan

Ramai 50 Rata-rata hunian kamar :


 JKT = 93/3 = 31
Normal 30
n
Sepi 13

Jumlah 93

b. Rata-rata hunian kamar dengan metode rata-rata tertimbang


Frekuensi JKT x
Situasi JKT Keterangan
(Jml Hari) Frekuensi

Ramai 50 100 hari 5.000 Rata-Rata Tetimbang

DJPK | MODUL POTENSI 22


Normal 30 170 hari 5.100  JKT x Frek
 hari
Sepi 13 90 hari 1.170
= 14,250 =
Jumlah 360 hari 11.270
31,30
360

Berdasarkan penghitungan rata-rata tingkat hunian kamar, maka diperoleh


tingkat hunian kamar dengan metode rata-rata sebesar 31, sedangkan tingkat
hunian kamar menggunakan metode rata-rata tertimbang sebesar 31,30 atau 31
kamar. Dengan demikian tidak ada perbedaan tingkat hunian kamar antara
kedua metode tersebut.

Langkah 2: Menghitung Tarif Rata-Rata Kamar

Penghitungan rata-rata kamar dilakukan sebagai berikut:


Jenis Kamar Jumlah (N) Tarif Kamar (T) TxN

VVIP 1 1.000.000 1.000.000

VIP 4 750.000 3.000.000

Superior 25 400.000 10.000.000

Delux 30 300.000 9.000.000

Standar 10 200.000 2.000.000

Jumlah Kamar 70 25.000.000

Tarif Rata-Rata per  (TxN) = 25.000.000 / 70 = 357,143


Kamar  N

Langkah 3: Menghitung Potensi Pajak Hotel

Potensi Pajak Hotel = Rata-Rata Hunian Kamar x Tarif Rata-rata x 360 hari x
Tarif Pajak Hotel
= 31 kamar x Rp 357.143 x 360 hari x 10%
= Rp 398.571.588 per tahun

Potensi Pajak Restoran


Langkah-langkah yang dilakukan dalam perhitungan potensi pajak restoran,
yaitu:

DJPK | MODUL POTENSI 23


– Mengidentifikasi objek pendapatan pajak restoran, yakni identifikasi seluruh
restoran yang ada
– Menentukan restoran yang akan diteliti potensi pajak restorannya
– Melakukan observasi untuk memperoleh data omzet penjualan, jumlah
pengungjung restoran, jumlah meja/kursi tersedia, daftar menu dan harga,
dan sebagainya.
– Menghitung potensi pajak restoran

Langkah 1: Menghitung Rata-rata Omzet Penjualan

Data omzet penjualan dapat diperoleh dari hasil observasi dan wawancara
dengan pemilik objek restoran. Sama seperti objek tingkat hunian kamar hotel,
omzet penjualan restoran juga dapat dibedakan menjadi ramai, normal, dan
sepi. Sebagai contoh, di bawah ini penghitungan rata-rata omzet penjualan per
hari retoran Mantap:

Rata-Rata Omzet Penjualan Perhari Metode Rata-rata

Situasi Omzet Penjualan Keterangan

Ramai 3.000.000 =Rata-rata Omzet Penjualan


=  Jml Omzet
Normal 2.000.000
n
Sepi 850.000
=5.850.000 / 3 = 1.950.000
Jumlah 5.850.000

Rata-Rata Omzet Penjualan Perhari Metode Rata-rata Tertimbang


Frekuensi- Omzet x
Situasi Omzet Keterangan
Jumlah Hari Frekuensi

Ramai 3.000.000 110 hari 330.000.000 Rata-rata tertimbang


=  Jml Omzet
Normal 2.000.000 150 hari 300.000.000
 hari
Sepi 850.000 100 hari 85.000.000
=715.000.000/360
Jumlah 360 hari 715.000.000 = 1.986.111

DJPK | MODUL POTENSI 24


Berdasarkan penghitungan rata-rata omzet penjualan, maka dapat dipilih
salah satunya misalkan diambil yang terendah. Selanjutnya dapat dihitung data
potensi pajak, yaitu:

Langkah 2: Menghitung Potensi Pajak Restoran

Potensi Pajak Restoran = Rata-Rata Omzet Penjualan x 360 hari x Tarif Pajak
Restoran
= 1.950.000 x 360 hari x 10%
= 70.200.000 per tahun

DJPK | MODUL POTENSI 25


Profiling Wajib Pajak Hotel dan Restoran
Profiling Wajib Pajak (WP) Hotel dan Restoran dipergunakan oleh Pemda

sebagai acuan untuk menyusun peraturan perundangan-undangan (Peraturan

Kepala Daerah/Peraturan Kepala Badan) sebagai dasar hukum mendukung

proses collecting, pengolahan dan analisis data serta penyajian informasi


untuk mendukung berbagai fungsi organisasi berbasis teknologi informasi.

Diharapkan proses collecting database yang selama ini masih menggunakan

cara manual, seperti survey atau visit/sensus langsung ke lapangan semakin

berkurang intensitasnya. Profiling Wajib Pajak berisikan elemen database

wajib pajak yang minimal harus ada dalam sistem informasi di unit pengelola

pajak daerah. Profiling juga dapat menjadi acuan bagi Pemda untuk mengatur
kewajiban pihak-pihak terkait (instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak

lain/ILAP) untuk menyampaikan data WP khususnya WP hotel dan restoran.


4.1 Pengertian Profiling Database Wajib Pajak
Profile WP merupakan informasi mengenai WP yang memuat
antara lain berupa identitas pokok, kegiatan usaha, riwayat
aktivitas perpajakannya dan data pendukung lainnya secara
berkesinambungan yang dapat diklasifikasikan atas data pokok,
data akumulatif dan data lain. Profile memuat hal-hal yang
dipandang perlu untuk diketahui oleh pengelola pajak.
Tujuan pembuatan profile WP adalah untuk menyajikan
informasi yang dapat digunakan terutama untuk bahan analisis,
mengukur tingkat resiko dan kepatuhan WP serta untuk lebih
mengenal WP yang terdaftar di instansi kerjanya dan dapat
memonitor perkembangan usaha WP bersangkutan dan
melakukan pengawasan, penggalian potensi dan pelayanan
yang lebih baik.
4.2 Tujuan Profiling Database Wajib Pajak Hotel dan Restoran
Adapun tujuan dari pelaksanaan profiling pajak hotel dan
restoran adalah sebagai berikut:

DJPK | MODUL POTENSI 26


a. Menggali dan mengumpulkan data profil WP menjadi satu

database yang dapat dengan mudah diolah dan disajikan menjadi

suatu informasi pajak yang valid.


b. Profil WP yang tersusun akan menjadi salah satu bahan

pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan

Pajak Hotel dan Restoran.

c. Terjalinnya kerjasama dengan pemerintah pusat, pemda lainnya

serta instansi publik lainnya seperti bank/lembaga non bank,

asosoasi dan pihak lainnya dalam hal pertukaran data yang terkait

dengan kepentingan perpajakan, sehingga potensi pajak dapat

terus digali dan meminimalisir potensial lost.

d. Dapat dilakukannya monitoring dan evaluasi bersama dengan


instansi pajak lainnya terkait kebenaran data yang dilaporkan oleh

WP.

e. Dapat dilakukan kerjasama investigasi antar aparat pengelola

pajak terhadap data yang terindikasi tidak dilaporkan oleh WP.

f. Pada akhirnya, diharapkan penerimaan pajak dari hotel dan

restoran menjadi lebih optimal sesuai dengan potensi yang ada.


4.3 Elemen Profile WP Hotel dan Restoran
1. Data Pokok

Data Pokok dalam Profile WP Hotel dan Restoran merupakan

informasi tentang identitas WP secara umum dalam melaksanakan

hak dan kewajiban perpajakan antara lain:


a. Identitas WP antara lain berupa:

1) Nama WP;
WP pribadi diisi nama terang secara lengkap tidak

singkat, WP badan diisi sesuai nama pada akta pendirian

tanpa mencamtumkan bentuk hukumnya, dan pemungut

diisi nama bendaharawan pada instansi yang

bersangkutan.

DJPK | MODUL POTENSI 27


2) Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD);

Diisi menggunakan nomor NPWP yang diberikan oleh


Kantor Pelayanan Pajak yang berisi 15 digit nomor unik
yang masing-masing mempunyai arti tersendiri.
 Dua digit pertama menunjukkan jenis WP, contohnya

a) Kode 01, 02, 21, dan 31 menunjukkan WP

badan.

b) Kode 00 dan 20 menunjukkan WP Bendahara.

c) Kode 04, 05, 06, 07 sampai dengan 97

menunjukkan WP orang pribadi.

 Enam digit selanjutnya menunjukkan nomor urut


tertentu yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan

Pajak kepada WP,

 Satu digit berikutnya adalah cek digit yang diberikan

untuk KPP yang menerbitkan agar tidak terjadi


pemalsuan NPWP,

 Tiga digit selanjutnya menunjukkan Kantor Pelayanan

Pajak tempat WP terdaftar misalnya kode 521 berarti

KPP Pratama Purwokerto, dan

 Tiga digit terakhir menunjukkan kode cabang atau

pusat. Kode 000 berarti pusat dan 001 dan


seterusnya berarti NPWP cabang.

Selain 15 digit nomor identitas NPWP di atas sebagai


identitas NPWPD menggunakan atribut yang diinput

dengan menambahkan 6 digit kode dengan uraian

sebagai berikut:

 [XX] Kode dan Uraian Provinsi,

 [XX] Kode dan Uraian Kabupaten/Kota,

 [XX] Kode dan Uraian Kecamatan.

DJPK | MODUL POTENSI 28


Adapun contoh kartu NPWPD adalah sebagai berikut:

a) Desain kartu NPWPD untuk WP orang pribadi

b) Desain kartu NPWPD untuk WP Badan

DJPK | MODUL POTENSI 29


NPWP merupakan identitas yang sudah umum dan

dipakai secara luas di masyarakat dan dunia usaha, maka

NPWP bisa digunakan sebagai identitas tunggal untuk


digunakan dan diadopsi sebagai NPWPD. Dalam proses

legalisasi yang dilakukan di notaris mensyaratkan adanya

NPWP dalam penerbitan akta pendirian suatu unit usaha.

Saat ini pihak notaris dengan Kantor Pelayanan Pajak

setempat sudah online terhubung dengan aplikasi e-

registration dalam rangka mempercepat proses

penerbitan NPWP.

Dengan menggunakan NPWP, Pemda akan jauh lebih

mudah dalam melakukan recording NPWPD dan potensi


hasilnya lebih banyak dalam rangka pencarian dan

collecting data yang diperlukan dalam proses profiling

WP. Hal tersebut disebabkan karena NPWP sudah

banyak digunakan di dunia usaha daripada harus

menciptakan NPWPD sendiri.

3) Tanggal Terdaftar/Pemberian NPWPD;

Diisi tanggal pada waktu pemberian NPWPD.

4) Nomor Identitas Kependudukan (NIK);

Diisi dengan 16 digit nomor unik yang masing-masing

mempunyai arti tersendiri.

 2 digit pertama kode provinsi,

 2 digit kedua kode Kabupaten/Kota,

 2 digit Ketiga kode Kecamatan,

 2 digit Keempat kode tanggal lahir,

 2 digit Kelima kode bulan lahir,

 2 digit Keenam kode tahun lahir,

 4 digit Ketujuh nomor random dari program komputer.


DJPK | MODUL POTENSI 30
5) Contact Person;

a) Nomor Telepon dan Faksimili

b) Nomor HP

c) Alamat email/situs

6) Jenis Usaha:

a) Hotel

b) Restoran

Dibedakan sesuai peraturan perundang-undangan

yang mengatur usaha jasa perhotelan dan restoran.

7) Merk/pengenal usaha;

Berisikan nama pengenal usaha/merk yang menjadi

sebutan dan dikenal oleh masyarakat.

8) Nomor dan tanggal SIUP;

Berisikan nomor dan tanggal dari SIUP yang diperoleh.

9) Klasifikasi bidang usaha

Berisikan empat digit kode klasifikasi bidang usaha,


maksimum dalam satu SIUP tiga bidang usaha.

10) Status usaha tunggal/pusat/cabang;

Berisikan data keterangan status dari suatu unit usaha.

11) Alamat usaha (alamat pusat, alamat cabang);

Berisikan alamat jelas baik kantor pusat maupun kantor


cabang.

12) Denah lokasi/koordinat map;

Berisikan data denah lokasi unit usaha disertai posisi

koordinatnya (map)

13) Akta pendirian/perubahan;

DJPK | MODUL POTENSI 31


Diisikan data tanggal, nomor, dan nama notaris penerbit

akta notaris terkait pendirian suatu unit usaha dan

perubahannya.
b. Struktur organisasi;

Struktur Organisasi adalah suatu susunan dan hubungan

antara tiap bagian serta posisi yang ada pada suatu

organisasi atau unit usaha dalam menjalankan kegiatan

operasional untuk mencapai tujuan. Struktur Organisasi

menggambarkan dengan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan

antara yang satu dengan yang lain dan bagaimana hubungan

aktivitas dan fungsi dibatasi. Dalam struktur organisasi yang

baik harus menjelaskan hubungan wewenang siapa melapor


kepada siapa.

c. Nomor rekening bank (jika ada);

Nomor rekening yang digunakan dalam operasional suatu unit

usaha.

d. Status modal (PMA/PMDN/BUMN/BUMD/Swasta lainnya);

Berisikan data keterangan untuk status modal suatu unit

usaha.

e. Pemegang saham dan struktur pemodalan;


Berisikan data mengenai daftar pemegang saham dan struktur

besaran permodalannya.
f. Pengurus dan komisaris;

Berisikan data pengurus (dewan redaksi) dan dewan

komisaris sesuai akta pendirian PT dibuat oleh Notaris.

g. Proses produksi;

Adalah gambaran proses atau urutan pelaksanaan ataupun

kejadian yang terjadi secara alami atau didesain,

menggunakan waktu, ruang, metode, keahlian atau sumber

DJPK | MODUL POTENSI 32


daya lainnya, dalam rangka menghasilkan suatu produk dari

suatu unit usaha.

h. Kapasitas produksi;
Kapasitas produksi dapat diartikan sebagai jumlah maksimum

output yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam satuan

waktu tertentu, Hotel memiliki kapasitas kamar 200 rooms,

restoran memiliki kapasitas tempat duduk 500 orang.

i. Input/bahan baku;

Berisikan data semua bahan baku yang digunakan oleh unit

usaha dalam memproduksi suatu produk.

j. Supplier utama;

Berisikan data pemasok bahan baku dan bahan yang


digunakan dalam proses produksi yang paling dominan.

k. Ouput/hasil produksi;

Berisikan data jenis-jenis produksi baik barang maupun jasa

yang dihasilkan dari suatu unit usaha.

l. Customer utama;

Berisikan data pelanggan yang secara komersial merupakan

pelanggan potensial.

m. Prospektus.
Gabungan antara profil unit usaha dan laporan tahunan yang

menjadikannya sebuah dokumen resmi yang digunakan oleh


suatu lembaga/ unit usaha untuk memberikan gambaran

mengenai saham yang ditawarkannya untuk dijual

kepada publik.

Suatu prospektus umumnya berisikan informasi material

tentang reksadana, saham, obligasi dan investasi lainnya seperti

misalnya penjelasan tentang bidang usaha perseroan, laporan

keuangan, biografi dari dewan komisaris dan dewan direksi,

informasi terinci mengenai kompensasi mereka, perkara-perkara

DJPK | MODUL POTENSI 33


yang sedang dihadapi perseroan, daftar aset perseroan, dan lain-

lain informasi yang bersifat material.

2. Data Akumulatif
a. Data Series atau bulanan SPTPD

1) Laporan Laba Rugi (L/R)

Laporan Laba Rugi (L/R) adalah bagian dari laporan

keuangan unit usaha yang dihasilkan pada suatu periode


akuntansi yang menjabarkan unsur-unsur pendapatan

dan beban unit usaha sehingga menghasilkan suatu laba

atau rugi bersih. Elemen-elemen laporan laba rugi hotel,

antara lain:

a) Penjualan
Ini menjelaskan tentang jumlah penjualan atas jasa

dan/atau produk yang ditawarkan oleh hotel atau


restoran setiap periode. Jasa dan/atau produk yang

umumnya ditawarkan oleh hotel antara lain: jasa

kamar, jasa laundry, jasa penyewaan ruangan, jasa

transportasi dan komunikasi serta jasa lainnya.

Sedangkan di restoran, jasa dan/atau produk yang

umumnya ditawarkan oleh restoran antara lain jasa

penyediaan makanan dan minuman.

b) Harga Pokok dan Biaya Operasional


Ini menjelaskan tentang jumlah harga pokok produksi

dan biaya-biaya operasional yang telah dikeluarkan

untuk menghasilkan pendapatan dalam setiap

periode. Harga pokok produksi merupakan biaya-

biaya yang dikeluarkan langsung berhubungan dalam

rangka proses menghasilkan produk, seperti Bahan

Baku, Tenaga Kerja dan Biaya overhead. Biaya-biaya

DJPK | MODUL POTENSI 34


operasional yang terdapat pad hotel dan restoran

antara lain biaya gaji, upah serta bahan habis pakai.

c) Neraca
Neraca melaporkan posisi kekayaan dan kewajiban

baik hotel maupun restoran pada periode tertentu.

Dalam neraca terdapat akun-akun antara lain kas,

piutang, aktiva lancar, aktiva tetap, utang lancar,

utang jangka panjang serta modal. Informasi terkait

neraca unit usaha harus termuat dalam profile WP

Hotel dan Restoran.

d) Rencana Kerja Anggaran Perusahaan/unit usaha

(RKAP)/Laporan Kegiatan Usaha (LKU)


RKAP disusun oleh Unit usaha untuk mencapai

tujuan unit usaha di masa mendatang (plan for

future). RKAP dalam pengelolaan pajak hotel dan

restoran dapat digunakan untuk menganalisis potensi

pajak hotel dan restoran. Informasi terkait RKAP

harus termuat dalam profile WP Hotel dan Restoran.

b. Data Perkembangan usaha

Sektor hotel dan restoran memegang peranan penting dalam


pertumbuhan ekonomi Indonesia. Umumnya, jumlah hotel

maupun restoran mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.


Hal ini menimbulkan potensi bagi pendapatan bagi daerah.

Oleh karena itu, diperlukan data-data yang komprehensif

terkait profile WP Hotel dan Restoran.

1) Pembukuan dan pencatatan

Setiap WP hotel atau restoran wajib membuat pencatatan

atau pembukuan atas usahanya. Pembukuan adalah

suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur

untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang

DJPK | MODUL POTENSI 35


meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya,

serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang

atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan


keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk

periode Tahun Pajak tersebut. WP yang wajib

menyelenggarakan pembukuan sebagai berikut:

a) WP Badan.

b) WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha

kecuali WP Orang Pribadi yang peredaran brutonya

sebesar yang diatur dalam Perda.

Pencatatan yaitu pengumpulan data yang dikumpulkan

secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto


dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk

menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk

penghasilan yang bukan objek pajak.

2) Hal-hal yang harus diatur dalam pembukuan atau

pencatatan untuk penghitungan Pajak Hotel minimum

adalah sebagai berikut:

a) Data tingkat hunian (occupation rate) dari Biro Pusat

Statistik;
b) Jumlah kamar yang tersedia per jenis/type kamar;

c) Jumlah kamar yang terisi per jenis/type kamar;


d) Harga kamar per jenis/type kamar;

e) Jumlah pembayaran yang terdiri:

(1) Persewaan kamar;

(2) Penjualan makanan dan minuman;

(3) Fasilitas hotel; dan

(4) Pelayanan penunjang

f) Jumlah tamu hotel yang sarapan pagi;

g) Jumlah air mineral (compliment) yang terpakai;

DJPK | MODUL POTENSI 36


h) Data dukung lainnya misalnya data dari Perhimpunan

Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI); dan

i) Laporan SPT WP orang pribadi atau badan.


3) Sedangkan untuk penghitungan Pajak Restoran adalah

sebagai berikut:

a) Harga makanan per jenis makanan;

b) Harga minuman per jenis makanan;

c) Jumlah pembayaran makanan dan minuman yang

terjual;

d) Jumlah kursi, meja, meja lesehan, piring dan gelas

yang tersedia;

e) Data tingkat kunjungan dari Biro Pusat Statistik;


f) Data dukung lainnya misalnya data dari Perhimpunan

Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI); dan

g) Laporan SPT WP orang pribadi atau badan.

c. Data Kewajiban Perpajakan

1) Pelaporan

Sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-

undangan perpajakan daerah, Surat Pemberitahuan Pajak

Daerah (SPTPD) mempunyai fungsi sebagai suatu sarana


bagi WP di dalam melaporkan dan

mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak


yang sebenarnya terutang. SPTPD berfungsi untuk

melaporkan pembayaran atau pelunasan Pajak baik yang

dilakukan WP sendiri maupun melalui mekanisme

pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak

pemotong/pemungut. Selain itu juga untuk melaporkan aset

dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotong atau

pemungut tentang pemotongan dan pemungutan Pajak

yang telah dilakukan. Oleh karena itu, SPTPD mempunyai

DJPK | MODUL POTENSI 37


makna yang cukup penting baik bagi WP maupun

pengelola Pajak.

2) Pembayaran

WP berkewajiban untuk membayar pajak daerah.

Pembayaran pajak daerah dilakukan di Unit Pelayanan

terkait di daerah. Formulir yang digunakan untuk membayar

pajak berupa Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD). SSPD

merupakan surat setoran pajak yang digunakan WP untuk

melakukan penyetoran atau pembayaran pajak ke kas

daerah melalui unit pelayanan atau media pembayaran

pajak lainnya. Fungsi dari SSPD adalah sebagai bukti


pembayaran pajak. SSPD dianggap sah apabila sudah

disahkan pejabat unit pelayanan penerima pembayaran

atau divalidasi pembayarannya.

3) Ketetapan

Ketetapan pajak melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah

(SKPD) berfungsi sebagai:

a) Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP

tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil


pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan

atau kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan


perpajakan.

b) Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi

perpajakan.

c) Sarana administrasi untuk melakukan penagihan

pajak.

d) Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam

hal lebih bayar.

DJPK | MODUL POTENSI 38


e) Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang
terutang.

Jenis-jenis ketetapan pajak adalah sebagai berikut:

a) Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar

(SKPDKB) adalah surat ketetapan pajak daerah yang

menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah

kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok


pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak

yang masih harus dibayar.

b) Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar

Tambahan (SKPDKBT) adalah surat ketetapan pajak

yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang


telah ditetapkan sebelumnya.

c) Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar (SKPDLB)


adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah

kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit

pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau

tidak seharusnya terutang.

d) Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN) adalah

surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok

pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau

pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.


4) Restitusi

Restitusi adalah permohonan WP atas kelebihan

pembayaran pajak yang dikembalikan melalui proses:

a) penelitian untuk pengembalian kelebihan pembayaran

pajak,

b) verifikasi untuk pengembalian pajak yang seharusnya

tidak terutang,

DJPK | MODUL POTENSI 39


c) pemeriksaan dengan ketentuan bahwa apabila

ternyata WP mempunyai utang pajak, langsung

diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang


pajak tersebut.

Restitusi terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah

pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang

terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak

seharusnya terutang, dengan catatan WP tidak punya

hutang pajak lain.

5) Tunggakan

Tunggakan Pajak adalah sejumlah pajak yang belum

dilunasi berdasarkan STPD yang di dalamnya terdapat


pokok pajak yang terutang, SKPDKB, SKPDKBT, SK

Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan

Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak

yang masih harus dibayar bertambah. Termasuk pajak

yang seharusnya tidak dikembalikan, sebagaimana diatur

dalam Peraturan perundang-undangan tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan Daerah.

6) Keberatan atau Banding


WP mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas

suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan


secara tertulis paling lambat 3 bulan sejak:

a) tanggal dikirim surat ketetapan pajak,

b) tanggal pemotongan atau pemungutan kecuali apabila

WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut

tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar

kekuasaannya.

Apabila WP masih belum setuju dengan Surat Keputusan

Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka WP

DJPK | MODUL POTENSI 40


masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan

Pajak.

Atas keberatan atau banding tersebut Kepala Daerah atau


pejabat yang ditunjuk dapat menolak, menerima sebagian

atau menerima seluruhnya dan akan memberikan

keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas)

bulan sejak surat keberatan diterima.

7) Pemeriksaan

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun

dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang

dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan

suatu standar pemeriksaan. Pemeriksaan juga untuk


menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan

dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Data yang dimasukkan di sini antara lain Laporan Hasil

Pemeriksaan Pajak (LHP), Risalah/Ikhtisar hasil

pembahasan akhir pemeriksaan dan dokumen lain yang

diperlukan dari unit usaha yang bersangkutan.

8) Tindakan Penagihan Pajak


Penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu

penagihan pajak aktif dan penagihan pajak pasif.


Penagihan pajak pasif dilakukan melalui penerbitan STPD

atau SKPD. Penagihan pajak aktif atau penagihan pajak

dilakukan dengan surat paksa yang merupakan kelanjutan

dari penagihan pajak pasif, dimana fiskus berperan aktif

dalam arti tidak hanya mengirim surat tagihan atau surat

ketetapan pajak tetapi akan diikuti dengan tindakan sita,

dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang sebagaimana

DJPK | MODUL POTENSI 41


diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang penagihan pajak.

3. Data Lain-Lain/Pihak Lainnya


a. Data transaksi dari pihak lain

Berisikan data transaksi dari pihak ketiga (Supplier, Customer,

Instansi, Lembaga, Asosiasi dan pihak lain).

b. Data Anggaran dan Realisasi PAD Pemda dari tahun 2010

Berisikan data target dan realisasi PAD dari tahun 2010

sampai dengan sekarang (Kalau bisa bulanan).

4.4. Pengumpulan Data


1. Sumber Data

a. Data Internal
Data yang diperoleh dari database perpajakan (misalnya dari

pendaftaran NPWPD, SPTPD, permohonan keberatan dan


lampirannya, hasil pemeriksaan dan lain sebagainya)

b. Data Eksternal
Data dan informasi yang diperoleh dari pihak lain, baik dari

Instansi lainnya maupun dari pihak ketiga, misalnya otoritas

pengawas, media massa, internet dan lawan transaksi.

2. Cara yang dilakukan dalam Collecting Data:

a. Download data dari sistem informasi yang ada untuk

mengumpulkan semua data tentang WP tersebut.


b. Mengumpulkan data dari berkas WP.

c. Mengumpulkan data dari bagian lain dalam instansi yang


bersangkutan.

d. Mengumpulkan data dari otoritas pengawas (misalnya data WP

BUMN yang diperiksa BPKP, data Unit usaha Go Public ke

BEJ)

e. Observasi (misalnya Visitation)

DJPK | MODUL POTENSI 42


f. Kuesioner

g. Wawancara (misal Konseling, Focus Group Discussion per

wilayah, Industrial Partnership).


h. Explorasi data sekunder.

i. Kerjasama dengan pihak lain.

4.5. Kendala Dan Permasalahan Dalam Pengumpulan Data:

1. Internal

a. Jumlah dan kompetensi SDM yang kurang memadai.

b. Data tersebar dimasing-masing bagian dan masih dalam bentuk

hardcopy.

c. Belum ada SOP/bisnis proses yang mengatur pengumpulan dan


updating, pengolahan data dan penyajian informasi perpajakan pada

satu bagian yang ditunjuk.

d. Belum ada perangkat sistem/teknologi informasi yang terintegrasi

untuk mengolah data, menyajikan dan mendistribusi informasi guna

mendukung kinerja berbagai tugas dan fungsi administrasi

perpajakan.

2. Eksternal

a. Adanya kecenderungan WP Hotel dan Restoran menghindar saat


dilakukan pendataan. Hal ini menyebabkan proses pemutakhiran data

hanya dapat dilakukan dengan menggunakan informasi dari pihak


ketiga dan pihak lainnya yang mendukung kelengkapan data.

b. Adanya WP Hotel dan Restoran yang tidak menyampaikan data

secara benar sehingga informasi yang diberikan tidak akurat.

Misalnya, terdapat hotel dan restoran yang menggunakan billing yang

terpisah antara penghasilan utama dan penghasilan lainnya.

Penggunaan billing yang terpisah dapat menjadi indikasi

penggelapan jumlah peredaran usaha yang sebenarnya.

DJPK | MODUL POTENSI 43


c. Adanya usaha-usaha yang tidak memiliki izin sehingga pendata tidak

memiliki informasi terkait dengan telah berdirinya usaha hotel dan

restoran. Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam pengumpulan


data.

d. Kurangnya pengetahuan WP dalam melakukan pembukuan sehingga

masih terdapat usaha-usaha yang belum memiliki pembukuan untuk

keperluan perpajakan.

e. Belum adanya peraturan yang mengatur kewajiban instansi atau

pihak ketiga yang diharuskan untuk memasok data perpajakan yang

diperlukan.

f. Belum ada sistem informasi berbasis web/online yang digunakan

untuk menerima dan mengolah informasi dari WP maupun dari pihak


ketiga/pihak lain (ILAP).

4.6. Pemanfaatan Profiling WP Hotel dan Restoran


1. Analisis Data Pajak Hotel dalam rangka penggalian potensi
penerimaan pajak daerah.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka analisis data


Pajak Hotel sebagai berikut:

a. Melakukan pengumpulan informasi/data pajak hotel, antara lain:

1) Jumlah kamar yang tersedia per jenis/tipe kamar;

2) Jumlah kamar yang terisi per jenis/tipe kamar;

3) Harga kamar per jenis/tipe kamar;

4) Jumlah pembayaran yang terdiri dari:


a) Persewaan kamar;

b) Penjulan makanan dan minuman;


c) Fasilitas hotel, dan

d) Pelayanan penunjang

5) Jumlah tamu hotel yang sarapan pagi;

6) Jumlah air mineral (compliment) yang terpakai;

DJPK | MODUL POTENSI 44


7) Data tingkat hunian (occupation rate) dari Biro Pusat

Statistik;

8) Laporan SPT Tahunan WP orang pribadi atau badan;dan


9) Data dukung lainnya misalnya data dari Perhimpunan Hotel

dan Restoran Indonesia (PHRI).

b. Menganalisa tingkat hunian dan peredaran usaha (omzet) objek

pajak hotel.

c. Membandingkan tingkat hunian hasil analisis dengan data-data

sebagai berikut:

1) Jumlah tamu yang memanfaatkan fasilitas hotel berupa

sarapan pagi dengan jumlah kamar yang terisi; dan

2) Jumlah air mineral (compliment) yang terpakai berdasarkan


informasi data yang diperoleh.

d. Melakukan perbandingan tingkat hunian dan analisis peredaran

usaha objek pajak hotel dengan:

1) Data tingkat hunian per jenis objek pajak hotel dari Badan

Pusat Statistik berdasarkan data yang diperoleh;

2) Data tingkat hunian dan analisis peredaran usaha objek

pajak hotel sejenis pada wilayah yang sama yang telah

dilakukan analisis sebelumnya; dan


3) Peredaran usaha pajak hotel berdasarkan SPT Tahunan

WP orang pribadi/badan yang diperoleh.

2. Analisis Data Pajak Restoran dalam rangka penggalian penggalian

potensi penerimaan pajak daerah.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka analisis data

Pajak Restoran sebagai berikut:

a. Mengumpulkan informasi data pajak restoran, yaitu sebagai

berikut:

1) Jumlah meja dan kursi yang tersedia;

DJPK | MODUL POTENSI 45


2) Jumlah pembayaran yang terdiri dari:

a) Pembayaran atas makanan

b) Pembayaran atas minuman


3) Jumlah tamu restoran;

4) Data tingkat kunjungan dari Biro Pusat Statistik; dan

5) Laporan SPT Tahunan WP orang pribadi atau badan.

6) Data dukung lainnya misalnya data dari Perhimpunan Hotel

dan Restoran Indonesia (PHRI).

b. Menganalisa tingkat kunjungan dan peredaran usaha (omzet)

objek pajak restoran.

c. Membandingkan tingkat kunjungan hasil analisis dengan data-

data sebagai berikut:


1) Jumlah tamu/konsumen yang datang ke restoran/rumah

makan;

2) Paket menu minimal yang biasa dikonsumsi.

d. Melakukan perbandingan tingkat kunjungan dan analisis

peredaran usaha objek pajak restoran dengan:

1) Data tingkat kunjungan per jenis objek pajak restoran dari

Badan Pusat Statistik berdasarkan data yang diperoleh;

2) Data tingkat kunjungan dan analisis peredaran usaha objek


pajak restoran sejenis pada wilayah yang sama yang telah

dilakukan analisis sebelumnya; dan


3) Peredaran usaha pajak restoran berdasarkan SPT Tahunan

WP orang pribadi atau badan yang diperoleh.

DJPK | MODUL POTENSI 46

Anda mungkin juga menyukai