Anda di halaman 1dari 21

CRITICAL BOOK REPORT

Pendidikan Agama Kristen Protestan

CRITICAL BOOK REVIEW


MK. PENDIDIKAN AGAMA
KRISTEN
PRODI S1 TEKNIK SIPIL - FT

SKOR NILAI :

DISUSUN OLEH

ROULI YOSABATIN DUMOHAR HUTAPEA(5203250008)

ARDO GABRIEL PURBA (5203250015)

JHONI CHRISTIAN TELAUMBANUA (5203250028)

CHRISTOPHER PANGGABEAN (5203250038)

SHERYNA GRACE SITORUS (5203250029)

CHRISTIAN K. B.P. SIHOMBING (5203250011)

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK-UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN

2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya panjatkan puja dan puji
s yukur a tas kehadirat - Nya, yang te lah melimpahkan kas ih, dan penyertaan-
Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan critical book report ini.

Critikal book report telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat me mperlancar pe mbuatan makalah
ini. Untuk i tu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang te lah berkontribusi dalam pembuatan CBR ini.

Terlepas dari se mua i tu, saya menyadari sepenuhnya bahwa mas ih ada
kekurangan baik dari s egi s us unan kalimat maupun t ata bahasanya . Oleh
karena it u dengan tangan t erbuka saya menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar saya dapat me mperbaiki cbr ini.

Akhir kata saya berharap semoga critical book report ini dapat mem-
berikan manfaat maupun inpirasi terhadap pe mbaca

Medan,29 Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar
Daftar isi
BAB I . PENDAHU LUAN
A. INTRODUCTION

B. Identitas buku y ang dire view:


BAB I I . RINGKASAN ISI BU KU
A. Ringkasan buku mengenai Kehi dupan manusi a menurut ajaran kri sten
BAB I I I. PEMBAHASAN
A. Pembahasan Isi Buku
B. Kele bihan dan ke kur angan buku
BAB IV PENUTU P
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. INTRODUCTION
Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) Pendidikan Agama Kristen pada Perguruan
Tinggi memiliki posisi strategis dalam melakukan transmisi pengetahuan dan
transformasi sikap dan perilaku mahasiswa Indonesia melalui proses pembelajaran
mata kuliah Pendidikan Agama Kristen. Dalam upaya meningkatkan mutu dan
pembentukan karakter bangsa perlu dilakukan peningkatan dan perbaikan materi yang
dinamis mengikuti perkembangan yang senantiasa dilakukan perbaikan terus menerus,
diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perubahan
zaman, dan semangat belanegara dan terakhir diperkaya dengan muatan kesadaran
pajak.
Salah satu upaya meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Agama Kristen
adalah dengan mengembangkan kurikulum baru Pendidikan Agama Kristen yang
berorientasi pada pengembangan sikap beragama yang moderat dan berwawasan
keindonesiaan dan berwawasan global. Di samping itu, kurikulum baru tersebut diarahkan
untuk mentransendenkan ajaran Kristen menjadi nilai-nilai universal yang dapat
diimplementasikan dalam konteks dunia modern. Kurikulum baru tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan penulisan buku yang dapat dijadikan sumber aktivitas
pembelajaran bagi mahasiswa. Sesuai dengan Standar Nasonal Pendidikan Tinggi dan
mengacu kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Pokok-pokok bahasan di
dalam buku ini sengaja disajikan dengan pendekatan aktivitas pembelajaran,
pembelajaran yang diselenggarakan merupakan proses yang mendidik, yang di dalamnya
terjadi pembahasan kritis, analitis, induktif. deduktif, dan reflektif melalui dialog kreatif
partisipatori untuk mencapai pemahaman tentang kebenaran substansi dasar kajian, .
berkarya nyata. dan menumbuhkan motivasi belajar sepanjang hayat

B. Identitas Buku
1. BUKU UTAMA
Judul : Pendidikan Agama Kristen
Penulis : Intan Ahmad
Pencetak : RISTEKDIKTI

4
Tahun : 2016

Kota Terbit : Jakarta

Tebal Buku : 230 Pages

2. BUKU PEMBANDING
Judul : Pendidikan Agama Kristen dalam masyarakat majemuk
Penulis : Talizaro Tafona᾿o
Pencetak : IllumiNation Publishing
Tahun : 2016
Kota Terbit : Yokyakarta
Tebal Buku : 166 Pages

5
BAB II
RINGKASAN BUKU

A. Ringkasan Buku Utama


Mengenai KehidupanManusia Menurut Ajaran Krristen
Pembicaraan tentang manusia adalah hal yang sangat pokok dan sentral dalam
kekristenan karena manusia ada di pusat kehidupan beragamadan pengambilan
keputusan etis. Pembahasan tentang manusia dari perspektif Kristen dapat menolong
kita untuk memahami berbagai aspek dalam kehidupan beragama, bermasyarakat
maupundalam pengembangan ilmu dan teknologi modern, termasuk berbagai
permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia.
Pertama-tama harus diakui bahwa pertanyaan “siapakah manusia?” dalam arti
apa hakikatnya “menantang setiap masa atau abad.” Berbagai pihak apakah dia filsuf,
teolog, biolog, maupun sosiolog telah mencoba menjawab pertanyaan itu dan masing-
masing memberikan jawaban yang berbeda. Hal itu sah-sah saja, karena memang
setiap pihak berusaha memberi jawaban dari perspektifnya masing-masing. Pada
dasarnya jawaban terhadap pertanyaan siapakah manusia akan membawa dampak atau
konsekuensi serius bagi berbagai aspek penting terutama yang berkaitan dengan sikap
dan perlakuan kita terhadap sesama maupun diri sendiri. Misalnya, bila manusia
dianggap sebagai “makhluk ekonomis” yang menghasilkan barang dan jasa, nilai
manusia tergantung pada produktivitasnya. Begitu pula, bila manusia diangap sebagai
makhluk biologis, perhatian utamanya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan-
kebutuhan yang bersifat biologis dan kebutuhan-kebutuhan lain dianggap tidak ada
atau tidak penting. Agama Kristen pun melalui para teolognya sepanjang abad telah
juga memberikan jawaban terhadap pertanyaan tentang hakikat manusia. Ini tidak
berarti bahwa pandangan para teolog Kristen bersifat seragam atau monolitik. Ada
perbedaan-perbedaan misalnya saja tentang arti sesungguhnya dari ungkapan Alkitab,
bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (imago Dei).

1. Menelusuri Pemikira Pemikiran ModernTentang Manusia


A. Manusia Komunis
Filsafat sosial dan politis komunis bersumber dari teori antropologis Karl
Marx (1818-1883). Pemahamannya mengenai hakikat manusia, menempatkan
manusia pada pusat kepentingannya, dan karena itu berpendapat bahwa karena
manusia adalah ciptaan dirinya sendiri, hanya manusia yang dapat menjawab
kepada dirinya sendiri, dan mampu dengan upaya sendiri menemukan tujuannya
dengan kebebasan yang absolut. Marx juga menerima pendapat Ludwig Feuerbach
bahwa “Allah orang Kristen hanya suatu refleksi fantastis, suatu gambaran dalam
cermin dari dirinya sendiri.” Karena itu Marx percaya bahwa Allah adalah
khayalan atau pemenuhan kebutuhan manusia. Hanya dengan membersihkan diri
sendiri dari pengertian suatu hubungan dengan Allah, manusia mampu
mengaktualisasikan dan menjadi diri yang sesungguhnya. Silakan Anda

6
mengamati dan menilai pandangan Marx yang menyatakan manusia adalah
ciptaan dirinya sendiri.
Ada tiga ciri dari antropologi Marxist. Pertama, manusia sebagai suatu produk
alami (natural): karena tiada Tuhan, ditolak juga pendapat bahwa manusia adalah
ciptaan yang khusus. Alternatif cerita asal kehidupan manusia ialah hipotesis
Darwin mengenai evolusi. Kedua, manusia sebagai ciptaannya sendiri yang
bekerja. Dalam istilah Marx, manusia adalah “homo faber” (pembuat). Hakikatnya
adalah untuk bekerja dan menjadi pencipta. Manusia berkembang ketika ia
mengubah tatanan alam dalam kerjasama yang harmonis dengan spesies-spesies
lainnya. Jadi bagi Marx, kerja dianggap otonomi. Ketiga, manusia sebagai unit
yang teralienasi. Ide alienasi adalah tema yang terulang sejak Hegel dan filsafat
pasca Hegelian, dan juga mempunyai tempat yang sentral dalam antropologi masa
kini. Bagi Marx, alienasi adalah kategori kunci, dan ia menjelaskan hal itu dalam
istilah sosio-ekonomis. Yang menyebabkan manusia teralienasi adalah sistem
hubungan dan nilai- nilai kapitalis. Manusia menderita berbagai macam alienasi:
dari hasil produksinya sendiri, dirinya sendiri, dan dari sesamanya. Yang paling
tragis adalah alienasi dengan diri sendiri, yang membuat manusia menjadi tak
manusiawi secara total. Silakan Anda mengamati dan menilai pandangan Marx
yang menyatakan bahwa manusia sebagai unit yang teralienasi!

B. Manusia Humanis
Tak ada pola tunggal pemikiran humanis. Ia bisa mencakup eksistensialis, ilmiah,
positivisme, liberal atau popular yang kadang-kadang saling bertentangan satu
sama lain Dalam pengertian yang luas, humanisme berpusat pada realitas manusia
yang memberi manusia semua kepentingan dan inspirasinya yang memadai/cukup.
Semua humanis percaya bahwa manusia adalah bentuk eksistensi yang paling
tinggi dan, karenanya, adalah satu-satunya objek yang pantas disembah dan
dilayani. Humanisme adalah suatu pengakuan akan rasa percaya kepada hakikat
manusia yang menolak ide tentang Allah sebagai hal yang perlu karena manusia
bisa membentuk kembali dirinya sendiri.

2. Pandangan Kristen Tentang Hakikat Manusia


A. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah (lih Kej. 1 dan Kej. 2)
Fakta yang pertama dari kesaksian Alkitab tentang manusia adalah bahwa
manusia makhluk ciptaan Allah. Hal ini perlu ditegaskan untuk menolak anggapan
bahwa semua hal, termasuk manusia, terjadi dalam proses evolusi, dan karenanya
sulit untuk memberi landasan mengapa manusia adalah makhluk pencari makna.
Sebagai khalik, Allah berdaulat atas hidup dan tujuan hidup manusia. Karena itu,
manusia yang menerima kemakhlukkannya akan menerima kedaulatan Allah atas
hidup dan tujuan hidupnya. Itulah sebabnya secara hakiki, manusia selalu
mendambakan relasi dengan-Nya. Sebagai makhluk, manusia bukan saja
tergantung kepada Allah sebagai sumber hidup, tetapi bahwa Allah berdaulat atas
hidup dan tujuan hidup manusia. Alkitab menggambarkan hubungan manusia
dengan Allah pencipta-Nya, sebagai tanah liat di tangan penjunan. Allah berhak
dan berdaulat untuk tujuan apa benda-benda atau peralatan tanah liat yang dibuat-

7
Nya. Demikianlah manusia di tangan Allah pencipta, tujuan hidupnya ditentukan
oleh khalik-Nya. Agustinus, seorang teolog terkenal mengatakan bahwa “jiwaku
gelisah sampai aku menemukan kedamaian dalam Tuhan.” Ketika manusia
menolak kemakhlukkannya dan penciptaannya oleh Allah, tidak ada alasan apa
pun untuk mencarimakna hidup ini di luar diri sendiri atau masyarakatnya.

B. Manusia Diciptakan Menurut gambar Allah (Imago dei)


Salah satu aspek hakikat manusia berdasarkan ajaran Alkitab adalah bahwa
manusia diciptakan menurut gambar Allah. Gambar Allah inilah yang dikenal dengan
istilah “Imago Dei.” Tradisi Kristen yang mendasarkan dirinya pada cerita Alkitab
dalamKejadian 1, telah menafsirkan makna kesegambaran manusia dengan Allah
dengan bermacam-macam arti. Hal ini bisa juga diartikan secara salah, seolah-olah
manusia mirip dengan Allah. Sebagai makhluk yang diciptakan, manusia akan tetap
berbeda dengan Allah Sang Pencipta. Sudah ada banyak arti diberikan kepada konsep
ini, antara lain sebagai wakil Allah di dunia, dalam arti pelaksana atau mandataris
Allah untuk tugas kebudayaan. Akan tetapi, tugas mandataris menunjuk kepada relasi
manusia dengan ciptaan yang lain serta alam semesta ini. Pada zaman bapa-bapa
Gereja ide ini ditafsirkan sebagai kemampuan rasional manusia yang membedakannya
dengan makhluk- makhluk yang lain. Ada juga yang mengartikan kesegambaran itu
sebagai kemiripan dalam sifat-sifat Allah.

C. Manusia Sebagai Makhluk Sosial


Manusia sebagai makhluk sosial menunjuk kepada kenyataan bahwa manusia
adalah tidak sendirian dan selalu dalam keterhubungan dengan orang lain dan
berorientasi kepada sesama (Kej.2:18). Perdebatan mengenai hakikat manusia
dalam dimensi individual dan kolektif telah berjalan lama yang menghasilkan dua
ideologi besar yang memengaruhi sistem kemasyarakatan, politik, dan ekonomi
dari penganutnya. Negara-negara dunia pertama yang sangat mengagungkan
dimensi individual dengan memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan individu
telah melahirkan sistem masyarakat dan ekonomi yang kapitalis dengan ideologi
pasar bebasnya. Ideologi ini berpendapat bilamana manusia diberi kebebasan,
manusia akan bekerja keras untuk menjadi efisien, dan kalau semua bekerja
efisien, semua akan maju.
Ada ahli teologi bahkan yang mengatakan bahwa hanya dalam hubungan
dengan orang lain kita memahami dan menemukan hakika tkita sebagai manusia.
Hal ini membawa implikasi bahwa manusia selamanya dan selalu berorientasi
kepada sesamanya. Manusia tak tahan dalam kesendirian. Orientasi kepada
sesama juga menyebabkan lahirnya berbagai pranata dan lembaga sosial (misalnya
keluarga, komunitas darilokal sampai internasional, maupun pranata politik,
ekonomi, dan lain-lain). Dengan kata lain, lahirnya berbagai pranata sosial
merupakan konsekuensi logis dari penciptaan manusia sebagai makhluk sosial.
Orientasi kepada sesama manusia juga turut berperan dalam berbagai tindakan
religius dan pertimbangan serta pengambilan keputusan etis. Itulah sebabnya
orang tidak bisa beragama sendiri. Agama selalu merupakan fenomena sosial,

8
walaupun hubungan seseorang dengan Tuhan, atau yang dianggap Tuhan sangat
bersifat pribadi. Inilah yang melahirkan komunitas iman: seperti Islam, Kristen,
Hindu, Buddha dll. Beragama tak bisa lepas dari komunitas, karena tak mungkin
beragama secara sendiri. Agama selalu punya dimensi sosial atau komunitas. Hal ini
sehat sejauh komunitas-komunitas dengan identitas agamawi yang berbeda-beda
tersebut tidak membangun tembok-tembok pemisah apalagi prasangka dalam
hubungan antarmereka. Kita harus berhati-hati dengan pandangan yang memutlakkan
dan mengunggulkan dimensi sosial serta meremehkan dimensi individu, dan
karenanya jatuh ke dalam kolektivisme. Sebaliknya, ada juga pendapat yang begitu
mengutamakan dimensi individu di atas dimensi sosial, dan karenanya jatuh ke dalam
individualisme. Sikap yang lebih bertanggung jawab adalah bahwa kita adalah
individu dalam kolektivitas, ada keseimbangan antara dimensi individu dan
kolektivitas manusia. Individu tidak boleh dikorbankan demi kolektivitas, sebaliknya
kolektivitas tidak bisa diabaikan demi individualitas. Kita dipanggil untuk percaya
secara individu, namun kita juga terpanggil untuk menjadi orang percaya dalam
kolektivitas yang kita sebut Gereja. Kita perlu memerhatikan pertumbuhan dan
kepentingan individu, sebaliknya kita juga bertanggung jawab untuk pertumbuhan
bersama-sama. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Efesus 4:11-16, setelah itu,
ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang timbul.

D. Manusia Sebagai Makhluk Rasional Dan Berbudaya


Allah (menurut Alkitab) memberi perintah kepada manusia untuk memerintah,
menaklukkan serta memelihara alam semesta., menunjukkan adanya hubungan
yang tidak terpisahkan antara manusia dengan alam semesta ini. Inilah yang
biasanya disebut sebagai tugas kemandatarisan manusia (manusia sebagai
mandataris Allah) dalam arti pelaksana dan wakil Allah dalam memerintah dan
memelihara alam semesta ini. Jadi, berbudaya adalah perintah atau mandat yang
kita sebut dengan mandat kebudayaan. Mandat itu hanya bisa dilaksanakan karena
Tuhan memperlengkapi manusia dengan potensi rasional (kemampuan rasional)
yang menjadi salah satu ciri khas manusia dibandingkan dengan makhluk ciptaan
yang lain, bahkan dengan binatang paling cerdas sekalipun. Konsisten dengan
tugas sebagai mandataris Allah, manusia diperlengkapi oleh Allah dengan potensi
rasional dan karena itu dapat berbudaya. Ini juga salah satu keunikan manusia
yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain. Bahwa rasionalitas adalah
keunikan manusia ternyata dalam fakta bahwa kebudayaan manusia (dalam arti
yang sempit) sebagaibuah rasionalitasnya mengalami perkembangan maju, dan
perkembangan itu telah membawa kita pada apa yang dikenal dengan zaman ilmu
dan teknologi modern (lih. Kej. 1:16-18; Kej. 2:15). Dengan kata lain, kemajuan
manusia yang membawa manusia kepada abad ilmu dan teknologi modern adalah
konsekuensi logis dari rasionalitas manusia (penciptaan manusia sebagai makhluk
rasional), dan itu sesuai dengan kehendak Tuhan. Hanya saja perlu dipertanyakan,
untuk apa dan untuk siapa kemajuan kita dalam bidang ilmu dan teknologi
modern. Di sinilah berbagai macam isu etis modern muncul yang membutuhkan
pemikiran dan pergumulan yang serius.

9
Dalam kekristenan, kita mengenal “Hukum Kasih” yakni yang kita sebut “Hukum
Utama.” Dalam hukum utama Tuhan Yesus menuntut agar kita “mengasihi Allah
dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwa, dan dengan segenap akal budi” (lih.
Mat.22:37-38). Jadi, potensi rasional manusia dengan segala produk dan hasilnya,
perlu dipakai untuk mengasihi Allah juga. Tanpa itu, kita akan berulang kali
menyaksikan pemusnahan umat manusia dan peradabannya seperti dalam pemboman
Hiroshima dan Nagasaki pada waktu yang lalu.
E. Manusia sebagai Makhluk Etis
Secara klasik, Alkitab menggambarkan bahwa manusia diberi “hukum”
(nomos) oleh Allah dalam bentuk larangan memakan buah pohon pengetahuan hal
yang baik dan jahat. Silakan Anda mengamati dan menafsirkanKej. 2:17. Setelah
itu, ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang timbul. Nomos ini menempatkan
manusia pada persimpangan jalan ketika ia dapat memilih di antara dua alternatif.
Dua alternatif itu adalah ketaatan atau pelanggaran terhadap nomos (dapat juga
berarti berbuat yang baik atau jahat). Kesempatan untuk memilih ini menunjukkan
bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dari dua alternatif yang
diperhadapkan kepadanya. Dengan kata lain, manusia tidak secara determinatif
harus memilih salah satunya. Memang ada pandangan yang mengatakan bahwa
manusia tidak bisa berbuat lain kecuali mengikuti nalurinya. Ajaran Kristen
mengedepankan adanya pilihan yang bebas, dan hanya karena adanya pilihan
bebas itulah manusia tidak saja bertanggung jawab atas pilihannya tetapi juga
diminta mempertanggungjawabkan pilihannya itu. Sebab tanpa pilihan bebas,
manusia tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab. Kesadaran untuk
membedakan yang baik dan yang jahat menunjuk kepada hakikat manusia sebagai
makhluk etis. Ajukanlah beberapa pertanyaan kritis Anda yang berkenaan dengan
manusia sebagai makhluk etis!
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa manusia adalah makhluk etis
dalam arti sebagai berikut. Pertama, manusia mempunyai kesadaran etis yakni
kesadaran untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang
salah, yang bertanggung jawab dan yang tidak bertanggung jawab. Kedua,
manusia mempunyai kebebasan etis yakni memilih secara bebas dari alternatif di
atas. Ketiga, manusia mempunyai pertanggungjawaban etis, yakni bertanggung
jawab atas pilihannya.
3. Paradoks Dalam Kehidupan Manusia Dan Masyarakat
Yang dimaksudkan paradoks adalah pada satu sisi penciptaan manusia sebagai
makhluk religius, sosial, rasional dan berbudaya serta etis menunjukkan sisi
keagungan manusia dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain. Kitab Kej.
1:31 mengatakan: “maka Allah melihat segala sesuatu yang dijadikan- Nya itu,
sungguh amat baik.” Pada sisi yang lain, kita juga belajar atau menyaksikan dan
bahkan mengalami sendiri sisi-sisi kelam dari kehidupan manusia. Berapa perang
yang terjadi karena alasan agama atau ideologi? Berapa banyak koruptor di tanah air
ini yang tega memperkaya diri dan membuat orang lain menderita? Berapa banyak
orang tamak yang hanya menumpuk kekayaan sendiri kalau perlu dengan eksploitasi
orang lain atau alamini? Apakah kata-kata Mahatma Gandi masih mempunyai arti:
“the earth provides enough for everybody’s need but not for everybody’s greed.” Kita

10
umumnya tahu juga apa yang baik yang seharusnya kita lakukan tetapi kita tidak
berdaya melakukannya bahkan yang sebaliknya yang kita lakukan (lih. Rm 7: 21-24).
Inilah paradoks kehidupan manusia. Lalu bagaimana menjelaskannya? untuk
membedakan yang baik dari yang jahat, yang benar dari yang salah, serta memiliki
kebebasan untuk memilih melakukan yang baik atau yang jahat. Hal-hal ini adalah
kemampuan-kemampuan yang bersifat netral dan terdapat pada pengalaman manusia.
Semua yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang
mulia dan baik.
Karena hakikat manusia sebagai makhluk sosial, dosa tidak dapat dibatasi
hanya sebagai dosa pribadi/individu, tetapi juga harus dipahami sebagai dosa sosial.
Gregory Baum dalam Religion and Alienation, mengartikan dosa sosial dalam kaitan
dengan pelakunya: yakni kolektivitas suatu kelompok, suatu komunitas, suatu umat.
Jadi, yang dia maksudkan dosa sosial ialah dosa yang dihasilkan tanpa sengaja atau
pilihan bebas. Dosa tersebut menghasilkan konsekuensi yang jahat tetapi pelakunya
tidak merasa bersalah dalam pengertian yang biasa. Jadi, dosa sosial dilakukan karena
kebutaan/ketidaksadaran kolektif. Orang terlibat dalam tindakan destruktif tanpa
menyadarinya.
Dalam kaitan itu, Baum (1975, 201) juga mencoba mendeskripsikan dosa sosial
dalam berbagai level atau tingkatan. Tingkatan pertama dari dosa sosial terdiri atas
kecenderungan-kecenderungan yang tidak adil dan tidak manusiawi (dehumanizing) yang
terbangun dalam berbagai institusisosial, politis, ekonomi, agamawi, yang merupakan
perwujudan dari kehidupan kolektif manusia. Pada saat kita melakukan pekerjaan harian,
kita memenuhi kewajiban-kewajiban kita, kecenderungan yang destruktif yang terbangun
dalam institusi kita, akan merusak semakin banyak orang dan akhirnya menghancurkan
kemanusiaan kita. Kejahatan sosial ini bisa saja berjalan terus tanpa benar-benar disadari.
Konsekuensinya, butuh waktu yang lama untuk disadari. Tingkatan kedua dari dosa sosial
mengambil bentuk simbol-simbol kultural dan agamawi, yang hidup dalam imajinasi dan
didukung oleh masyarakat, yang membenarkan serta memperkuat (reinforce) lembaga-
lembaga (institutions) yang tidak adil, dan karena itu memperburuk kerugian/ kerusakan
terhadap banyak orang. Lagi-lagi dalam hal inipun kita tak menyadari akibatnya.
Tingkatan ketiga, dosa sosial merujuk kepada kesadaran palsu yang diciptakan oleh
institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang digunakan umat untuk melibatkan diri
mereka secara kolektif, dalam tindakan-tindakan destruktif seolah-olah mereka
melakukan hal yang benar. Kesadaran palsu ini meyakinkan kita bahwa kejahatan yang
kita buat adalah justru hal yang baik untuk menjaga tujuan demi kesejahteraan bersama.

4. Membaharui Hubungan dengan Allah , Sesama,, Dan Alam Ciptaan


Alkitab tidak mengakhiri kesaksiannya dan meninggalkan manusia dalam
kegelapan yang tidak berpengharapan. Alkitab menyaksikan bahwa ada pengharapan
akan kemungkinan restorasi hubungan-hubungan yang telah rusak oleh dosa.
Konsisten dengan kepercayaan akan Allah sebagai penyelamat dan pembaharu,
kekristenan percaya akan penyelamatan dan pembaharuan relasi dengan Allah melalui
Kristus dan Roh-Nya. Keselamatan tidak boleh dipahami hanya bersifat individual
dan di seberang sana tetapi juga dipahami secara sosial, dan berlaku kini dan di sini.

11
Orang Kristen terpanggil untuk menolak berbagai ketidakadilan dalam tatanan sosial
(sosial, ekonomi, politik) dan memperjuangkan adanya keadilan di dalamnya
sehingga ada perdamaian.

5. Pandangan Pandangan Teologi Kontemporer Tentang Manusia Dan


Masa Depannya.
Salah satu aspek yang penting dalam membicaraan manusia dan hakikatnya
adalah manusia dan pengharapannya. Akhir-akhir ini ada tekanan yang kuat tentang
dimensi pengharapan baik dalam pemikiran filosofis maupun dalam teologi. Maksudnya
adalah hakikat manusia harus dikaitkan dengan pengharapannya. Manusia pada dasarnya
adalah makhluk yang berharap akan masa depan yang lebih baik. Karena itu perlu
mencari deskripsi mengenai tekanan ini dalam dua tokoh penting yakni orang ateis seperti
Ernst Bloch dan orang beriman seperti Jurgen Moltman. Ernst Bloch seorang filsuf ateis
berpendapat bahwa manusia hidup dalam suatu dunia yang sedang menjadi, yang belum
terjadi. Karena itu, selalu ada kemungkinan baru. Manusia pada dirinya sendiri adalah
makhluk dengan bermacam kemungkinan (creature of possibility). Ia dapat menciptakan
dunia yang lebih baik bagi dirinya dan dia sendiri menjadi keberadaan yang lebih baik
tanpa batas (McDonald 1981, 123-124).
Teolog ternama Jurgen Moltman dengan Theology of Hope dipengaruhi oleh
prinsip pengharapan dari Bloch. Teologi-teologi yang lebih awal memandang
penggenapan dari pengharapan eskatologis melulu merupakan tindakan dan karunia
Allah. Moltman justru sebaliknya memberi tempat kepada peranan manusia untuk
mewujudkan pengharapan eskatologis tersebut, bukan saja pada dunia di seberang sana,
melainkan juga kini dan di sini. Artinya, bahwa pengharapan eskatologis tidak hanya
menyangkut keselamatan jiwa saja di seberang sana, tetapi juga perdamaian, keadilan,
kebebasan dari penindasan harus diusahakan diwujudkan kini dan di sini meskipun
penyempurnaannya adalah karya Tuhan. Jadi, pengharapan itu menjadi kekuatan
penggerak sejarah untuk mewujudkan apa yang diharapkan kini dan di sini atau dalam
bahasa Moltman “membawa masa depan yang diharapkan ke masa kini.” Tentu saja
pengharapan itu tidak melulu dengan kekuatan dan kehebatan manusia tetapi dalam
persekutuan dengan Tuhan. Bila tidak, pengharapan Kristen akan menjadi ideologis
secara peyoratif (negatif) bagaikan candu bagi mereka yang menderita ketidakadilan.

B Ringkasan Buku pembanding


HAKIKAT DAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
Setuju atau tidak setuju bahwa pendidikan dimulai dari keluarga. Pertama kali
manusia menerima pendidikan adalah dalam lingkungan keluarga, setelah bertambah usia
pendidikan dilanjutkan di sekolah dalam pendidikan formal secara berjenjang. Kita sebagai
anak mengikuti orang tua dan berbagai kebiasaan dan perilaku dalam keluarga. Keluarga
adalah salah satu elemen pokok pembangunan entitas-entitas pendidikan, menciptakan proses
naturalisasi social, membentuk kepribadian-kepribadian serta memberi berbagai kebiasaan
baik pada anak-anak yang akan terus bertahan lama. Dalam Kitab Amsal menegaskan

12
“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya , maka pada masa tuanyapun ia tidak
akan menyimpang dari pada jalan itu. Ams. 22:6.
Dengan demikan hakikat pendidikan yaitu upaya memanusiakan manusia”.42 Dalam
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 1 ayat 1 (2003: 4) diungkapkan bahwa, “Pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
A. Definisi Pendidikan
Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan
sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan
orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak.43 Secara teoritis, para ahli
berpendapat pertama; bagi manusia pada umumnya, pendidikan berlangsung sejak 25
tahun sebelum kelahiran. Pendapat itu dapat didefini sikan bahwa sebel um menikah,
ada kewajiban bagi siapapun untuk mendidik diri sendiri terlebih dahulu sebelum
Istilah Pendidikan adalah salah satu istilah yang sangat populer. Meskipun
demikian, belum ada satu istilah yang dapat memberi definisi yang komprehensip
mengenai apa itu Pendidikan. Jika dilihat dari sudut etimologis, paling tidak ada dua
pengertian pendidikan antara lain:
Pertama, pendidikan adalah terjemahan dari ‘education’ dalam bahasa Inggris.
Kata “education” berasal dari bahasa Latin : ducere yang berarti membimbing (to
lead), ditambah awalan “e” yang berarti keluar (out). Jadi arti dasar pendidikan adalah
suatu tindakan untuk membimbing keluar.45
Kedua, Pendidikan berasal dari kata “didik” ditambahi awalan “pe” menjadi
kata benda “pendidikan” dan ditambahi awalah “me” menjadi kata kerja “mendidik”,
pendidikan adalah pengasuhan, pembinaan atau bantuan untuk tumbuh.
Ada beberapa definisi Pendidikan antara lain:
1. Menurut Kamus dan Ensiklopedi
Pertama, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, seperti proses, cara,
pembuatan mendidik.
Kedua, Menurut Ensiklopedi Wikipedia, education is a social science that
encompasses teaching and learningspecific knowledge, beliefs, and skills. The word
education is derived from theLatin educare meaning "to raise", "to bring up", "to
train", "to rear", via"educatio/nis", bringing up, raising. Pendidikan adalah ilmu sosial
yang meliputi ajaran dan pengetahuan khusus, keyakinan, dan keterampilan. Kata
pendidikan ini berasal dari bahasa Latin "Educare" berarti "untuk meningkatkan",
"untuk membuka", "untuk melatih", "ke belakang", melalui "educatio/nis",
membesarkan, meningkatkan

13
2. Menurut Undang-Undang
Pendidikan menurut UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989 adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Sedangkan menurut UU
SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
3. Menurut Bahasa Pertama,
Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari dari kata “Pedagogi”, yaitu dari
kata “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya
istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and
science of teaching children). Kedua, Orang Romawi melihat pendidikan sebagai
educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak
yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Ketiga, Bangsa Jerman melihat
pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni: membangkitkan
kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Keempat,
Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah,
mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak,
mengubah kepribadian sang anak.
4. Menurut Para Ahli Pertama,
Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pendidikan adalah segala daya
upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang
selaras dengan alam dan masyarakatnya. Kedua, Menurut Prof. Herman H. Horn,
pendidikan adalah proses abadi dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang
telah berkembang secara fisik dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan
seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan
dari manusia.

B. Agama
Secara terminologis, pengertian agama di kalangan para ahli juga berbeda-beda,
tergantung dari sudut pandang dan perspektifnya. Misalanya: Pertama, Soerjono
Soekanto: Pengertian agama ada tiga macam, yaitu: (1) kepercayaan pada hal-hal yang
spiritual; (2) perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai
tujuan tersendiri; dan (3) idiologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.51 Kedua,
Thomas F.O`Dea: Agama adalah pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk
maksud-maksud non empiris atau supra-empiris.
Ketiga, Hendropuspito: Agama adalah suatu jenis system sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang
dipercayainya dan didayagunkanya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan
masyarkat luas umumnya
Ada beberapa definisi dari agama dan kepercayaan, yaitu: Pertama, Kamus Webster’s
New International Dictionary menyebut agama sebagai “The Service and Adoration of

14
God or a god as expressed in forms of worship, in obedience to divine commandments…and
in the pursuit of a way of life regarded as incubent on true believers” artinya pelayanan dan
penyembahan kepada Allah atau ilah yang diekspresikan dalam bentuk-bentuk penyembahan,
ketaatan terhadap perintah yang kuasa… dan yang mencari suatu jalan hidup yang dianggap
sebagai kewajiban bagi orang yang benar-benar beriman. Definisi semacam ini menimbulkan
permasalahan besar khususnya terhadap agama yang tidak mempunyai sistem kepercayaan
tentang Allah (God) seperti Buddhism, Toism dan lain-lain.

Kedua, Lewis M. Hofpe meneliti ratusan agama-agama dan kepercayaan. Hasil


penelitiannya membawanya kepada suatu kesimpulan bahwa agama sebagai hubungan
antara manusia dan dunia roh, dewa-dewa dan setan-setan yang tidak kelihatan.
Hubungan ini mengakibatkan manusia mengembangkan suatu sistem mitos mengenai
dunia yang tidak kelihatan dan upacara-upacara yang dirancang untuk persekutuan
dengan atau menyenangkan roh-roh. Semua ini kemudian dikembangkan dalam ritual
yang teratur, membangun kuil, mengembangkan jabatan-jabatan (Imam), dan kitab suci
dalam sejarah. Kemudian muncullah pengajaran-pengajaran tentang kehidupan diluar
kematian, bayangan-bayangan maut, atau tentang surga dan neraka. Yang memiliki
pengikutnya-pengikut baik dulu dan sekarang.

C. Pendidikan Agama Kristen


Pendidikan Agama Kristen mengajarkan setiap orang Kristen untuk mengenal
Tuhan Yesus dengan dasar iman yang benar berdasarkan Alkitab. Sebab Pendidikan
Agama Kristen dapat mengimplementasikan Firman Tuhan menjadi bagian hidup
setiap orang dan komunitas masyarakat beragama Kristen di dalam seluruh dimensi
kehidupan mereka. Dalam tingkatan tertentu, Pendidikan Agama Kristen bisa diatur
sebagai media penginjilan dan menjadikan semua orang sebagai Kristen yang matang
dan dewasa secara spiritual
Maksudnya adalah Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan yang
mengajarkan tentang moral dan mental serta rohani seseorang (anak didik),
penekanan pendidikan mengarah pada tiga aspek pendidikan yaitu pengetahuan,
keterampilan dan sikap, yang terjadi pada proses belajar mengajar secara sistematis.
Namun, kita perlu menyadari bahwa pendidikan (atau Pengajaran) Agama lebih
menuju kepada kita, tetapi keberatannya ialah nama ini terlampau luas. Di Indonesia
misalnya, agama yang dianut oleh kebanyakan penduduk ialah agama Islam, jadi
mungkin pikiran orang terus terarah kepada pengajaran tentang agama Islam,
seandanya kita hanya mengatakan Pengajaran Agama saja59 maka terjadi pergulatan
pemikiran setiap kita dalam memahami tentang pendidikan agama tersebut. Artinya
kita tidak bisa membedakannya.

D. Tujuan Pendidikan Agama Kristen


Segala sesuatu ada tujuannya, begitu pula dengan Pendidikan Agma Kristen.
Pendidikan agama Kristen bukan hanya sekedar untuk menunjukkan tentang
eksistensi “agama Kristen”, tetapi Pendidikan Agama Kristen adalah diajarkan kepada
semua orang. Pada hakekatnya, Pendidikan Agama Kristen merupakan perintah dari
Tuhan Yesus Kristus yang disebut dengan Amanat Agung dalam Matius 28:18-20.

15
Selain itu, Pendidikan Agama Kristen sangat berbeda dengan pendidikan umum.
Pendidikan umum hanya melibatkan kemampuan manusia semata tanpa melihat karya
Allah di dalamnya, tetapi Pendidikan Agama Kristen bukan hanya melibatkan
manusia semata, tetapi juga melibatkan Allah sebagai dasar pendidikan tersebut,
karena Pendidikan Agama Kristen bukan hanya sekedar mendidik secara ilmu
pengetahuan, namun juga membentuk karakter. Groome mengusulkan tujuan utama
kita sebagai para pendidik agama Kristen adalah untuk menuntun orang-orang ke luar
menuju ke Kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus. Groom memberikan tiga alasan
untuk mendukung usulan ini. Pertama, dalam kitab suci orang Yahudi visi Ke- rajaan
Allah ditempatkan sebagai visi dan rencana Allah sendiri bagi seluruh manusia dan
ciptaan. Kedua, dalam kesinambungan dengan dan dalam tradisi orang Yahudi itu
Yesus memberitakan Kabar baik-Nya. Ketiga, meskipun Kerajaan Alla sebagai tema
utama pemberitaan Kristen, namun mengalami stagnasi. Dengan demikian, tujuan
pendidikan agama Kristen adalah bukan sekedar menjadikan tema “Kerajaan Allah
hanya sebagai slogan”66 melainkan membimbing setiap orang untuk hidup dalam
kerajaan Allah dalam kekinian bersama yang lain.
Jadi, tujuan daripada Pendidikan Agama Kristen ialah untuk mengajak,
membantu, menghantar seseorang untuk mengenal kasih Allah yang nyata dalam
Yesus Kristus, sehingga dengan pimpinan Roh Kudus ia datang ke dalam persekutuan
yang hidup dengan Tuhan. Hal tersebut dinyatakan dalam kasihnya terhadap Allah
dan sesama, yang dihayati dalam hidupnya sehari-hari, baik dengan kata-kata maupun
perbuatan selaku anggota tubuh Kristus. Yesus datang dan menawarkan Kerajaan
Allah. Setiap orang datang untuk menghuni Kerajaan Allah ketika kehendak mereka
sejalan dengan Allah. Dengan demikian, Kerajaan Allah tersedia bagi siapa saja yang
bersedia untuk menyerahkan hidupnya kepada Allah. Selain daripada itu, Allah juga
akan memakai setiap orang percaya sebagai alat ditangan-Nya untuk memeberitakan
Injil Kerajaan Allah itu, agar orang lain menikmati hidup dalam Kerajaan Allah. Pada
tingkat yang paling sederhana, hidup di dalam Kerajaan Allah adalah harus memilih
untuk melakukan apa yang TUHAN inginkan. Ketaatan adalah unsur terpenting.
“Hidup dalam Kerajaan Allah berarti bahwa saya dengan sengaja (akan)
menempatkan hidup saya di tangan TUHAN dan mengejar ketaatan … bahkan
pengalaman jasmaniah dari realitas, keberadaan, kekuasaan dan kebaikan TUHAN”.
Jadi intinya adalah tujuan utama Pendidikan Agama Kristen ialah Kerajaan Allah dan
membawa setiap individu (peserta didik) untuk mengalami perjumpaan dengan
Kristus, mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh, hidup dalam keataatan serta
mampu mempraktekkan imannya dalam kehidupan sehari hari.
E. Manfaat Pendidikan Agama Kristen
Pendidikan Agama Kristen memiliki beberapa manfaat sebagai berikut:
Pertama, dengan adanya Pendidikan Agama Kristen gereja dapat menyampaikan Injil
kepada anak-anak dan pemuda-pemuda yang sulit dikumpulkan dalam Pendidikan
Agama Kristen yang diadakan gereja seperti dalam Sekolah Minggu atau katekisasi.
Kedua, anak-anak yang menerima Pendidikan Agama Kristen disekolah akan merasa
bahwa pendidikan umum dan agama di sekolah bukanlah dua hal yang tidak
berhubungan, melainkan sebaliknya harus berjalan bersama-sama. Ketiga, apalagi jika
gereja tidak mampu membiayai pekerjaan Sekolah Minggu dan Sekolah Kristen
secara besar-besaran, Pendidikan Agama Kristen disejumlah sekolah Negeri akan

16
banyak menolong gereja yang keuangannya lemah. Keempat, dengan masuknya
pengajaran agama dalam rencana pelajaran umum, dengan sendirinya agama itu mulai
menempatkan dirinya sebagai bagian mutlak dari kebudayaan segenap rakyat.
F. Tantangan Dasar Alkitab tentang Pendidikan Agama Kristen
Pendidikan adalah alat yang dikehendaki oleh Allah untuk membantu kekuatan,
pertumbuhan, dan pelayanan umat-Nya. Pendidikan adalah pokok dari pemuridan,
pembentukan pelajar seperti yang ditunjukan oleh Yesus dalam pengajaran-Nya yang
dipenuhi dengan Roh. Proses pengajaran pendidikan yang kita Jalani harus
membentuk apa yang kita percaya, apa yang kita hargai dan apa yang dapat kita
capai. Jika hal itu tidak tercapai, maka yang terjadi adalah sebagai berikut:
Pertama, Kebenaran firman Allah sebagai kebenaran yang mutlak yang
dinyatakan oleh Allah dalam Alkitab akan menjadi kabur dan tidak bermakna. Oleh
karena itu, Alkitab harus berfungsi sebagai pondasi pendidikan Kristen. Setiap
orang (peserta didik) harus mengakui bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan Allah
berdasarkan Alkitab.
Kedua, penerapan iman yang belandaskan pada Alkitab akan mengalami
pergeseran yang sesungguhnya. Hal ini dipengaruhi oleh ketidakmampuan seseorang
dalam memahami karya Allah dan Alkitab secara utuh. Oleh karena itu, Pendidikan
Agama Kristen harus mampu mengakomudir persoalan ini dengan baik, bahwa
kebenaran Alkitab adalah kebenaran Allah yang tidak bisa ditentangb oleh siapapun.

Ketiga, lemahnya keteladanan guru dalam menerapkan nilai-nilai kekristenan


itu sendiri. Guru adalah jajaran pendidik dan nonpendidik yang bukan hanya
mengaku Kristen dan mengenal Kristus, melainkan juga menghadirkan gaya hidup
kristiani yang akan dicontoh oleh peserta didik. Dalam Surat Titus di tegaskan bahwa
"dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau
jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu". Tit. 2:7. Sebab, Sang Pencipta
adalah teladan kita, karena itu kita harus menjadi pengajar yang kreatif75 untuk
mentransfer ilmu itu dengan baik.
Keempat, upaya dalam membangun potensi anak didalam Kristus masih lemah.
Pada hal Alkitab menegaskan bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Dalam kitab Kejadian menulis tentang hal itu demikian: “Berfirmanlah Allah:
“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka
berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas
seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi”. Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-
Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan- Nya mereka” Kejadian 1:26-27.
Artinya lembaga pendidikan kristiani hendaknya menjadi wadah bagi anak- anak
untuk menemukan potensinya sendiri sebagai cipta yang sempurana.

17
BAB III
PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN ISI BUKU


1. TEORI
Dari segi teori yang ada pada Buku tersebut merupakan teori yang benar
mengenai Theory Theory yang ada di dalam pembahasan yang ada pada Buku tersebut.
2. PROGRAM PEMBANGUNAN DI INDONESIA
Dalam Buku ini menjelaskan mengenai pengaruh Theory perkembangan jiwa
manusia dalam hal pengembangan theory pendidikan kristiani, diharapkan bukuini
dapat membantu pembelajaran pada sistem pendidikan di Indonesia dan meningkatkan
daya mutu pendidikan di Indonesia.

3. PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Dalam buku ini pembahasan dan analisis dapat digunakan dalam percobaan-
percobaan yang lebih dapat dipercaya lewat teori-teorinya.

B. Kelebihan dan kekurangan


1. D i l ihat dar i a sp ek t a mp i la n buku ( fa ce va lue) , buk u y a ng
d ir e vie w ad a la h:
bu ku ut a ma :
kelebihan : t a mp i la n buk u cuku p min ima l is , bo d y ya
ng sa ngat kec i l se h ingg a mud a h u nt uk d iba
ca
k ek ur ang an : ma s i h me ng gu na ka n t a mp i la n jad u l

bu ku pe mba nd ing :
k el ebi ha n : t a mp i la n da n bo d y ju ga ma s i h r e la t i f sa ma
de ng a n buk u ut a ma
k ek ur ang an : sed ik it le b ih me nar ik , kar e na t a mp i la n
ya ng sed er ha na

18
2. D a r i a spe k la yo ut da n t a t a le t ak, ser t a t a t a t ulis, t er ma suk
pe ngg u na a n fo nt ada la h:
bu ku ut a ma :
kelebihan : dar i se g i t a t a le t ak c ukup bagu s da n f o nt
kec i l me mber i pe ng i r it a n k er t as
k ek ur ang an : t a t a t ulis d a n fo nt d i bag ia n r u mu s
kur a ng je la s

bu ku pe mba nd ing:
k el ebi ha n : dar i se g i t a t a le t ak c ukup bagu s da n f o nt
ya ng sed er ha na
k ek ur ang an : ba nya k nya pe nu l is a n ya ng ma s i h
se ada n ya, da n pe nu l is a n p ada r u mu s r a da
kur a ng je la s

3. Dar i a spe k is i buku:


bu ku ut a ma :
kel ebi han : is i buku sud a h s a ng a t cukup le ngk ap , pe
ma ka ia n kat a ya ng muda h d ip a ha mi
k ek ur ang an : pe nye le sa ia n s o a l n ya sed ik it s u l it
d ipa ha mi, ma s ih ba nya k per beda a n d ar i
ya ng d ia jar k a n

buku p e mba nd ing :


k el ebi ha n : pe nje la sa n mat er i t er per inc i , mud a h
d ipa ha mi
k ek ur ang an : is i t id ak le ngka p , mat er i ba nya k
kekur a nga n dar i bu ku ut a ma
4. Dar i a spe k t a t a ba has a , buku t er s e but ada la h
bu ku ut a ma :
k el ebi ha n : Ba has a ya ng d ipa ka i ia la h ba ha sa e yd,
se hing ga mud a h d i baca
bu ku pe mba nd ing :
k ek ur ang an : Ba n ya k ba has a t id ak bak u , sus a h d ip a ha m

19
BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN


Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa setiap ciptaanNya pastilah
memiliki kekurangan, baik dari dalam ataupun dari luar. Saran saya dalam CBR
ini yaitu ketika kita ingin menerbitkan sebuah buku sekiranya kita memikirkan
kesukaan pembaca sehingga kita bisa berpikir kreatif lagi dalam menerbitkan
sebuah buku, dari sampul buku, tampilan buku, serta gaya bahasa yang
digunakan pada buku tersebut. Isi dari buku ini sangatlah bermanfaat untuk
menjadi pedoman dalam pengetahuan dan pemahaman dibidang keagamaan,
semoga dengan adanya buku-buku yang luar biasa dapat membuat orang yang
membacanya menjadi orang yang tidak biasa melainkan menjadi orang yang luar
biasa.
Seperti halnya pada buku yang tidak memuat gambar ataupun tidak memiliki
tampilan yang menarik pada sampul buku tersebut, maka pembaca akan merasa tidak
ingin membaca buku tersebut karna merasa tidak tertarik, padahal memang kualitas
suatu buku tidak hanya dilihat dari sampul bukunya saja tetapi kualitas buku tersebut,
namun pada umumnya pembaca kebanyakan memilih buku karna tampilan sampul
buku dan gaya bahasa yang dimuat dalam buku tersebut sehingga pembaca dapat
memahami apa yang ingin disampaikan pada buku tersebut.

20
REFERENSI

Barbour, Ian.1933. Ethics In an Age oftechnology. San Francisco: Harper


Barbour, Ian, 1997. Religion and science: historical and Contemporary issues. San
Fransisco: Harper.
Barbour, Ian.2000. When sceince meet Relegion. San Fransisco: Harper
Banks, James A, Multicultural Education: Characteristics and Goal, in Multicultural
Education: Issues and Perspektif, ed. James A. Branks and Cherry A. Mcgee Banks, New
York: John Willey & Sons, Inc.,2001 Boehlke, Robert R., Sejarah Perkembangan pikiran
dan praktek PAK, Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2011 End, Van den, Sejarah Gereja
Indonesia 1500-1860, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Enns, Paul, The Moody
Handbook of Theology, jilid 1, Terj. Rahmiati Tanudjaja, Malang: SAAT Malang, 2003
Estep, James Riley, The Heritage of Christian Education, New York: College Press, 2003.
Fuchs, Josef, Personal Responsibility and Christian Morality, Washington, D.C.:
Georgetown University Press, 1983. Groome, Thomas H., Pendidikan Agama Kristen,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. Gulo, W, Penampakan Identitas Dan Ciri Khas
Dalam Penyelenggaraan Sekolah Kristen” dalam Weinata Sairin (Penyunting), Identitas
dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia antara Konseptual dan Operasional,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011

21

Anda mungkin juga menyukai