Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

SNAKE BITE

Oleh
dr. Kintan Kamila

Pembimbing :
dr. Gregorius Iwan Budiman Bomba, Sp.B

Pendamping :
dr. Putu Purnama

RSUD SUMBAWA BESAR


NTB
BAB 1
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. MH
Tanggal Lahir : 01 Januari 1975
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Alamat : Kel. Unter Iwes
Tanggal Masuk RS : 15 Maret 2020

II. Anamnesis
Keluhan utama :
Nyeri pada kelingking tangan kiri

Keluhan tambahan :
-

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien laki-laki, usia 45 tahun, datang ke IGD RSUD Sumbawa dengan keluhan nyeri
pada kelingking tangan kiri setelah digigit ular sekitar 1 jam sebelum datang ke IGD.
Dari penglihatan pasien, ular tersebut berwarna hitam dan berbadan kecil. Pasien
mengatakan bekas gigitan ular berwarna kebiruan dan bengkak serta terasa panas.
Demam, mual, muntah, pusing, lemah otot, sesak nafas dan kesulitan menelan
disangkal. BAB dan BAK tak ada keluhan.

Riwayat penyakit dahulu :


• Pasien tidak pernah digigit ular sebelumnya
• Riwayat HT, DM , kolesterol, asma, dan alergi di sangkal

Riwayat penyakit keluarga :


Di dalam keluarga pasien, tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang
sama seperti pasien.

1
III. Pemeriksaan Fisik

A. Keadaan Umum dan Tanda-tanda vital


Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tinggi badan : 170 cm
Berat Badan : 78 Kg
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Nadi : 88x / menit (reguler, kuat angkat, isi cukup)
Pernafasan : 20x / menit ( regular, retraksi -)
Suhu : 36,4˚ C

B. Status Generalis
Kepala :

• Kepala : Normocepali, Jejas -.


• Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
• Mata : Konjungtiva tidak pucat, kelopak mata cekung -/- sklera
ikterik -/-, pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+, oedem
palpebra -/-
• Telinga : Liang telinga lapang +/+, serumen -/-, sekret -/-
• Hidung : Cavum nasi lapang, sekret -/-, deviasi septum -, pernafasan
cuping hidung -
• Bibir : Mukosa bibir kering +, sianosis –
• Lidah : Coated tongue -
• Tonsil : T2 – T2, hiperemis -/-
• Faring : Hiperemis -
• Leher : Kelenjar Getah bening tidak teraba membesar
JVP distensi (-), trakea ditengah, kelenjar tiroid dalam batas
normal.

2
Dada :
Paru
• Inspeksi : Pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris
Retraksi (-)
• Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama
• Perkusi : Perkusi perbandingan kanan dan kiri sama sonor
• Auskultasi : Bunyi napas dasar bronkovesikuler
Ronkhi -/- , Wheezing -/-
Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus cordis teraba di IC V lateral midclavicula sinistra
• Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
• Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur -, gallop –

Abdomen
• Inspeksi : Perut tampak datar
• Auskultasi : Bising usus (+) 6x/menit
• Perkusi : nyeri ketuk (-)
• Palpasi : supel, nyeri tekan - , hepatosplenomegali -

Kulit : Warna sawo matang, ikterik -, petechie –


Ekstremitas : Akral hangat, edema +/- pada ekstremitas atas sianosis – ,
CRT <2”

C. Status lokalis
• Status lokalis: Regio manus sinistra
• Inspeksi : Vulnus morsum et region digiti V manus sinistra, fang mark
(+), hiperemis disekitar gigitan, edema (+), kehitaman (-)
• Palpasi : Nyeri tekan(+)

IV. Pemeriksaan Penunjang

 Tidak dilakukan

3
V. Resume

Pasien laki-laki, usia 45 tahun, datang ke IGD RSUD Sumbawa Besar dengan
keluhan nyeri pada kelingking tangan kiri setelah digigit ular sekitar 1 jam sebelum
datang ke IGD. Dari penglihatan pasien, ular tersebut berwarna hitam dan berbadan
kecil. Pasien mengatakan bekas gigitan ular berwarna kebiruan dan bengkak serta
terasa panas. Demam, mual, muntah, pusing, lemah otot, sesak nafas dan kesulitan
menelan disangkal. BAB dan BAK tak ada keluhan.

Pasien tidak pernah digigit ular sebelumnya. Riwayat HT, DM , kolesterol, asma,
dan alergi di sangkal.

Kesadaran : Compos mentis, pasien lemas


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda Vital :-
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Nadi : 88x / menit (reguler, kuat angkat, isi cukup)
Pernafasan : 20x / menit ( regular, retraksi -)
Suhu : 36,3˚ C

A. Status Generalis
Kepala :
• Bibir : Mukosa bibir kering +, sianosis –
• Paru : Pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris retraksi (-). Bunyi
napas dasar bronkovesikuler ronkhi -/- , Wheezing -/-
• Jantung : Batas jantung dalam batas normal
• Abdomen : Bising usus (+) 6x/menit supel, nyeri tekan - ,
• Kulit : Warna sawo matang, petechie-.
• Ekstremitas : Akral hangat, edema -/+ pada ekstremitas superior ,
sianosis – , CRT <2”

B. Status lokalis (region cruris dextra)


• Status lokalis : REGIO MANUS SINISTRA
• Inspeksi : Vulnus morsum et region digiti V manus sinistra, fang mark (+),

4
hiperemis disekitar gigitan, edema (+), kehitaman (-)
• Palpasi : Nyeri tekan(+)

VI. Diagnosa Kerja


• Snake bite derajat II

VII. Penatalaksanaan

Tindakan :
• Perawatan luka
• SABU 1 ampul drip dalam PZ 500cc 30tpm
• Ceftriaxone 2x1 gr (i.v)
• Inj. Dexamethasone 1x1
• Ketolorac 3x1 amp prn nyeri(i.v)

Follow up Pasien :

Hari/
Tanggal/ Subyektif Obyektif Assesment Rencana Terapi
Jam

TD: 140/80 mmHg Snake bite


15/03/20 Nyeri pada Observasi TTV,
Nadi : 88x / menit derajat II
kelingking kiri, reaksi SABU, edema
RR : 20x / menit
mual (-)Muntah(-)
Suhu 36,4˚ C
pusing(-) sesak(-)
Nyeri telan(-)

TD: 130/70 mmHg Snake bite


15/03/20 Nyeri pada Observasi TTV,
Nadi : 87x / menit derajat II
kelingking kiri, reaksi SABU, edema
RR : 20x / menit
mual (-)Muntah(-)
Suhu 36,4˚ C Rencana pemberian
pusing(-) sesak(-) SABU ke dua
Edema sampai
Nyeri telan(-)
dengan antebrachii
sinistra

5
TD: 120/80 mmHg Snake bite
16/03/20 Nyeri pada Inf RL
Nadi : 80x / menit derajat II
kelingking kiri, 1000cc/24jam
RR : 22x / menit
mual (-)Muntah(-) Inj. Santagesik 3x1
Suhu 36,2˚ C
pusing(-) sesak(-)
Edema sampai Observasi TTV,
Nyeri telan(-)
dengan antebrachii keluhan nyeri dan
sinistra edema

TD: 120/70 mmHg Snake bite


17/03/20 Nyeri pada Terapi lanjut
Nadi : 84x / menit derajat II
kelingking kiri,
RR : 22x / menit
mual (-)Muntah(-)
Suhu 36,3˚ C Observasi TTV,
pusing(-) sesak(-)
Edema sampai keluhan nyeri dan
Nyeri telan(-)
dengan antebrachii edema
sinistra

TD: 120/70 mmHg Snake bite


18/03/20 Nyeri pada KRS
Nadi : 84x / menit derajat II
kelingking kiri
RR : 22x / menit
berkurang, mual
Suhu 36,3˚ C
(-) Muntah(-)
Edema sampai
pusing(-) sesak(-)
dengan antebrachii
Nyeri telan(-)
sinistra

6
BAB II
PEMBAHASAN

I. Definisi
Snake bite adalah luka yang disebabkan oleh gigitan ular, terutama ular
berbisa. Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia.
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat
saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan
atau intramuskular. Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk
melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri ular.1,2

II. Klasifikasi
Snake Bite grading.

GRADE Manifestasi klinik


0 Tidak tanda-tanda keracunan, nyeri lokal pada daerah gigitan
1 Nyeri, bengkak dan eritem pada daerah gigitan, tanpa
perburukan dan manifestasi sistemik.
2 Nyeri, bengkak dan eritem pada daerah gigitan, dengan
manifestasi sistemik dan koagulopati ringan
3 Nyeri, bengkak dan eritem pada sepanjang ekstremitas yang
terkena, dengan manifestasi sistemik dan koagulopati berat
4 Terdapat gangguan tanda vital, hipotensi, tanda-tanda syok
dan DIC

III. Etiologi
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari
kira - kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari
golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia.
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang
berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:1,3

7
1. Famili Elapidae misalnya ular kobra, ular weling, ular welang, ular
sendok, ular anang dan ular cabai

2. Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular
bandotan puspo

3. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut

4. Familli Colubridae, misalnya ular pohon

8
Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat
dipakai rambu ± rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan
sebagai berikut:

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di
Indonesia adalah jenis ular :
• Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon
rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae
menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan
memicu kaskade pembekuan)
• Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok),
ular kobra, ular laut. Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan
cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan
neurotoxin prasinaps seperti bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin
merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada
neuromuscular junction. Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae
memproduksi rabdomiolisin sistemik . Sementara spesies yang lain
menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan3

IV. Patofisiologi
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya
tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Bisa ular terdiri
dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP ase, 5 nukleotidase,
kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan
hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase
merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun.

9
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata.
Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah
sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada
waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran
mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan
ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang Respon lubang hidung untuk pancaran
panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang
dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat
merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada
racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa.
Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah :
1) Hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan
dengan menghancurkan mukopolisakarida.
2) Fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder
untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan
nekrosis otot.
3) Enzim trombogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan
mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan
konsekuensi hemoragik.3,4

V. Manifestasi Klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan
hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding
sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan.
Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat
karena efek racun langsung pada otot jantung.
Gigitan oleh Viperidae/ Crotalidae seringkali menimbulkan gejala pada tempat
gigitan berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi dalam beberapa menit, bisa
akan menjalar ke proksimal, selanjutnya terjadi edem dan ekimosis. Pada kasus berat
dapat timbul bula dan jaringan nekrotik, serta gejala sistemik berupa mual, muntah,
kelemahan otot, gatal sekitar wajah dan kejang. Pasien jarang mengalami syok,
edem generalisata atau aritmia jantung, tetapi perdarahan sering terjadi.

10
Gigitan akibat Elapidae biasanya tidak menimbulkan nyeri hebat. Namun
demikian tidak adanya gejala lokal atau minimal, tidak berarti gejala yang lebih
serius tidak akan terjadi. Gejala yang serius lebih jarang terjadi dan biasanya gejala
berkembang dalam 12 jam. Bisa yang bersifat neurotoksik, mempunyai dapat sangat
cepat dalam beberapa jam, mulai dari perasaan mengantuk sampai kelumpuhan
nervus kranialis, kelemahan otot dan kematian karena gagal napas.1 Pemeriksaan
laboratorium biasanya menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil, limfopenia,
koagulopati dengan PT dan PTT memanjang, serta penurunan jumlah fibrinogen.
Kadar kreatinin kinase serum normal pada hari pertama dan kedua setelah
perawatan. Mioglobin plasma dan kadar kreatinin mempunyai korelasi yang kuat.
Hasil EEG abnormal ditemukan pada 96% dan berhubungan dengan ukuran ular,
tetapi tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit di lokasi gigitan, adanya
manifestasi neurologis atau keadaan gagal ginjal. Perubahan EEG segera terjadi
setelah gigitan dan akan kembali normal dalam 1-2 minggu.Pada pemeriksaan EKG,
umumnya terjadi kelainan seperti bradikardia dan inversi septal gelombang T. Hasil
EKG yang abnormal termasuk tanda-tanda utama gejala gigitan ular berbisa, selain
perdarahan, koagulopati dan paralisis.2-4

VI. Diagnosis
Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi ular
yang menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit sebaiknya
dibawa dalam keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh tubuh ular. Perlu
juga dibedakan apakah gigitan berasal dari ular yang tidak berbisa atau binatang
lain, dari pemeriksaan fisik pada luka gigitan yang ditinggalkan. Bila tidak dapat
mengidentifikasi ular yang menggigit, manifetasi klinis menjadi hal yang utama
dalam menegakkan diagnosis.2,3
Pemeriksaan penunjang :
• Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, Ddimer, uji
faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.
• Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
• EKG
• Foto dada

11
VII. Penatalaksanaan
Terapi yang dilakukan terbagi menjadi tata laksana di tempat gigitan dan di
rumah sakit. Tata laksana di tempat gigitan termasuk mengurangi atau mencegah
penyebaran racun dengan cara menekan tempat gigitan dan imobilisasi ekstremitas.
Selain itu diusahakan transportasi yang cepat untuk membawa pasien ke rumah sakit
terdekat, pasien tidak diberikan makan atau minum. Saat ini eksisi dan penghisapan
bisa tidak dianjurkan bila dalam 45 menit pasien dapat sampai di rumah sakit.
Di rumah sakit diagnosis harus ditegakkan dan segera pasien dipasang dua
jalur intravena untuk memasukkan cairan infus dan jalur yang lain disiapkan untuk
keadaan darurat. Segera dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti darah perifer
lengkap, PT, APTT, fibrinogen, elektrolit, urinalisis dan kadar ureum serta kreatinin
darah. Pasien diberikan suntikan toksoid tetanus dan dipertimbangkan pemberian
serum anti bisa ular. Pengukuran pada tempat gigitan perlu dinilai untuk mengetahui
progresivitasnya. Kadang perlu dilakukan eksisi dan penghisapan bisa pada saat luka
dibersihkan. Saat ini masih diperdebatkan tentang tindakan operasi (fasciotomy) pada
pasien gigitan ular berbisa. Fasciotomy dilakukan bila ada edem yang makin luas dan
terjadi compartment syndrome (keadaan iskemik berat pada tungkai). Pada semua
kasus gigitan ular, perlu diberikan antibiotik spektrum luas dan kortikosteroid,
meskipun pemberian kortikosteroid masih diperdebatkan. Di Amerika hanya terdapat
3 anti bisa yang diproduksi dan disetujui oleh FDA, yaitu antivenim polyvalen
crotalidae, antivenon untuk coral snake (Elapidae) dan antivenon untuk black widow
spider.1 Semua anti bisa ular adalah derivat serum binatang, tersering berasal dari
serum kuda, berupa imunoglobulin yang mengikat secara langsung dan menetralkan
protein dari bisa. Produk hewan ini bila terpapar pada pasien dalam jumlah besar
dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe cepat dan tipe III. Reaksi akut berupa
reaksi anafilaktik dapat terjadi pada 20-25% pasien, bahkan dapat terjadi kematian
karena hipotensi dan bronkospasme. Reaksi tipe lambat dapat terjadi pada 50-75%
pasien dengan gejala serum sickness seperti demam, ruam yang difus, urtikaria,
artralgia, hematuria dan dapat bertahan dalam beberapa hari. Reaksi yang paling
sering terjadi adalah urtikaria, namun efek samping yang serius jarang terjadi.17
Pemberian anti bisa ular harus dilakukan di rumah sakit yang tersedia alat-alat

12
resusitasi.1 Penggunaan adrenalin, steroid dan antihistamin dapat mengurangi reaksi
yang terjadi akibat anti bisa antara 12,5-30%.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada
bagian luka. Pedoman terapi SABU : monitor keseimbangan cairan dan elektrolit,
ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom Jika koagulopati
tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap
memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam
berikutnya. Gangguan koagulopati berat berikan antivenin spesifik, plasma fresh-
frozen, cryoprecipitate (fibrinogen, factor VIII), fresh whole blood or platelet
concentrates. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan
menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk
memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi
kemungkinan koagulopati berulang.

VIII. Komplikasi
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang
berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala.
Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan
mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu
memerlukan skin graf. 2-4

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Arif Mansyoer, Dkk. 2006. Kapita Selecta Kedokteran. Ed 3, Jakarta : Media


Aesculapius Daley.B.J., 2006.
2. Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical
Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
3. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen
Ilm
4. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.

14

Anda mungkin juga menyukai