Editin Donkk, Udh Ni

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 5

“ANALISIS KASUS PENCEMARAN SUNGAI MALINAU MENURUT TEORI

ANTROPOLOGI HUKUM”

Disusun oleh:
Nama Lengkap
NIM. 185010107111127
Mata Kuliah Antropologi Hukum
Kelas D

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
MALANG
2021
ANALISIS KASUS PENCEMARAN SUNGAI MALINAU MENURUT TEORI
ANTROPOLOGI HUKUM

Ariel Ebenhaizer Tandian


Mahasiswa Fakultas Hukum
Email : arieltandian@gmail.com

Abstrak

Sungai mempunyai peran vital bagi berlangsungnya kehidupan. Mengingat


begitu pentingnya sungai bagi kehidupan, keberadaan sungai telah menarik
minat sejumlah peneliti untuk mengangkatnya dalam penulisan sejarah. Kajian-
kajian historis tentang sungai cenderung melihat peran sentral sungai sebagai
fondasi peradaban dan sungai sebagai sumber bencana dalam bentuk banjir.
Belum banyak kajian sejarah yang menyoroti sungai sebagai elemen lingkungan
yang sedang sekarat. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud untuk mengkaji
problem pencemaran Sungai Malinau dan upaya penanggulangannya dalam
perspektif antropologi hukum. Sungai Malinau dijadikan sebagai fokus kajian
dengan pertimbangan bahwa sungai ini merupakan sungai yang memiliki peran .
Tulisan ini bertujuan: 1) Menjelaskan penyebab dan mengapa sengketa tersebut
terjadi serta pihak yang terlibat 2) Menjelaskan upaya-upaya yang telah
dilakukan untuk mengatasi problem pencemaran Sungai Malinau.

Latar Belakang Sengketa

Warga Desa Langap Sengayan, pada 8 Februari terkejut karena banyak


ikan mati mengapung di Sungai Malinau pada 8 Februari lalu. Usut punya usut,
ternyata kolam limbah tambang batubara milik PT Kayan Putra Utama Coal
(KPUC) jebol. Air limbah mengalir ke sungai.
Limbah tambang itupun mengalir dan mencemari Sungai Malinau ini
setidaknya berdampak pada warga yang tersebar di 14 desa sekitar DAS
Malinau. Yakni, Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang,
Setarap, Setulang, Setaban). Lalu, DAS Mentarang (Lidung Keminci dan Pulau
Sapi) dan DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan
Malinau Kota).
Kasus pencemaran sungai dan jebol kolam limbang tambang batubara
bukan kali pertama, Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam
mengatakan, tindakan hukum jangan hanya penghentian sementara tetapi
harus naik ke level pencabutan izin dan usut pidana.
Dalam laporan Jatam pada 2018 berjudul “Oligarki Ekstraktif dan
Penurunan Kualitas Hidup Rakyat” menyebutkan, perubahan terjadi pada
sungai sejak pertambangan batubara beroperasi di hulu Sungai Malinau dan
limbah masuk ke sungai. Perubahan paling mudah teramati, kata Merah, adalah
perubahan warna air sungai. Kini, air jadi keruh. Dari laporan warga
menyatakan kalau ikan-ikan sungai berkurang dan mulai susah ditemukan.
Penyebab Sengketa dan Pihak yang Bersengketa

Kasus ini bermula saat tanggul penampung limbah bara diduga dari kolam
Tuyak milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) jebol pada Minggu (7/2/21),
sekitar pukul 21.00 waktu setempat. Limbah tambang itu pun mengalir dan
mencemari Sungai Malinau. Kondisi ini Setidaknya berdampak pada warga yang
tersebar di 14 desa sekitar DAS Malinau. Yakni, Desa Sengayan, Langap, Long
Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban). Lalu, DAS
Mentarang (Lidung Keminci dan Pulau Sapi) dan DAS Sesayap (Desa Tanjung
Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota).
Bahkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Apa’ Mening
menghentikan layanan air bersih sejak Senin, 8 Februari 2021 karena sumber
air baku PDAM dari Sungai Malinau yang tercemar ini.
Pihak yang bersengketa dalam kasus ini adalah masyarakat yang tinggal di
sekitar Sungai Malinau, seperti Desa Langap Sengayan, Malinau Selatan yang
terkena dampak negatif dikarenakan adanya pencemaran sungai Malinau karena
limbah batubara dengan PT Kyan Putra Utama Coal (KPUC) yang kolam limbah
tambang batubara miliknya jebol dan air tersebut mengalir ke Sungai.

Penyelesaian Sengketa

Saat ini, kasus sengketa pencemaran Sungai Malinau masih merupakan


kasus yang belum terselesaikan. Jatam mendesak pemerintah dan aparat segera
lakukan investigasi atas kejadian ini. Dia yakin, bukan hanya KPUC yang
berperan mencemari lingkungan hidup termasuk sungai seperti terjadi 2017.
Bagi para pencemar DAS Malinau, dan DAS lain di Kaltara, berikut aktor-aktor
di baliknya, harus ditindak tegas, tuntas dan terbuka, terutama jika mengutip
dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, gunakan asas
premium remedium. Dengan begitu, katanya, upaya hukum administrasi
bersamaan dengan pidana. “Ada sanksi administrasi, ada sanksi pidana.”.

Analisis Kasus Dari Sudut Pandang Teori Antropologi Hukum Marc Galanter

Pada masa itu terjadi dua pandangan yang berbeda tentang hukum, di
satu sisi dilihat dalam kacamata sentralisme hukum, sedangkan yang lain
melihatnya dari dimensi pluralisme hukum. Galanter melihat bahwa pada masa
dimensi sentralisme terdapat kelemahan-kelemahan, seolah-olah keadilan itu
produk eksklusif dari lembaga yang mendapat wewenang yuridis dari negara.
Marc Galanter berpendapat “setiap komunitas biasanya mempunyai self
regulation termasuk dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di antara mereka”.
Teorinya yaitu Justice in Many Rooms yang mengatakan bahwa keadilan itu
dapat ditemukan di berbagai tempat, tidak hanya di lembaga peradilan yang
dibentuk oleh pemerintah.
Mekanisme lain, sebagai alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi
dan mediasi. Negosiasi sesungguhnya istilah yang telah dikenal sejak lama,
terutama di kalangan usahawan. Negosiasi sesungguhnya merupakan suatu
upaya verbal antara pihak-pihak yang terlibat dalam menyelesaikan sengketa.
Sedangkan mediasi pada prinsipnya adalah negosiasi yang dihadiri oleh pihak
ketiga netral yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan. Pihak ketiga ini
disebut sebagai mediator, yang berfungsi membantu memfasilitasi pihak-pihak
yang bersengketa, agar mencapai kesepakatan melakukan negosiasi. Mediasi
tampaknya lebih memberikan peluang menguntungkan beberapa hal, yaitu: (1)
ruang lingkup permasalahan dapat dibahas secara luas dan menyeluruh, (2)
penyelesaiannya dapat dilakukan secara lebih singkat, (3) proses berjalan luwes,
(4) menghemat biaya.
Dari segi waktu penyelesaian sengketa yang cukup singkat (setidaknya
sebagaimana terjadi pada sebagian besar studi kasus), dapat dikatakan bahwa
mediasi lebih efektif apabila dibandingkan dengan litigasi. Namun, setidaknya
ada tiga kualifikasi untuk kesimpulan ini. Pertama, perlu diingat bahwa
kesepakatan yang dihasilkan oleh sebuah proses mediasi tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat. Sementara apabila dilihat dari aspek pemenuhan
ganti rugi, mediasi merupakan forum yang dapat digunakan oleh korban
pencemaran untuk memperoleh ganti rugi walaupun kadang kala tidak sesuai
harapan. Sedangkan kedua, dilihat dari aspek perlindungan lingkungan, forum
mediasi ternyata belum cukup efektif untuk menghentikan terjadinya
pencemaran dan sengketa. Dan ketiga, keberhasilan mediasi sebagai alat untuk
menyelesaikan sengketa lingkungan sebagian besar tergantung pada kemauan
dari pelaku pencemaran untuk berpartisipasi dalam proses mediasi. Dengan
demikian, sebagai sebuah forum penyelesaian sengketa yang diharapkan dapat
memenuhi rasa keadilan sekaligus melindungi kepentingan lingkungan,
pelaksanaan mediasi di Indonesia dapat dikatakan belum efektif.

Kesimpulan dan Saran

Pencemaran sungai merupakan sesuatu yang disayangkan mengingat


bahwa sungai merupakan aspek penting dalam hidup masyarakat terutama
masyarakat adat dan pedesaan, pencemaran Sungai Malinau yang telah terjadi
dari tahun 2017 sampai sekarang harus diselesaikan terlebih melihat bahwa
pencemaran ini telah merubah warna air sungai, membunuh ikan-ikan dan
menjauhkan warga Long Loreh dari sungai sampai membuat rakyat tidak lagi
bisa memasak dari sungai tersebut, membuat sungai tersebut rusak dan
kehilangan manfaat praktikalnya.
Tentunya dibutuhkan penyelesaian sengketa agar kehidupan masyarakat
dan ekosistem lingkungan Kaltara terutama Sungai Malinau kembali seperti
semula. ,sesuai dengan teori Marc Galanter yang menjabarkan penyelesaian
sengketa dapat diselesaikan dengan cara litigasi atau dengan hukum maupun
non-litigasi dengan kesepakatan atau diluar hukum, Mengingat dampak yang
masif dari pencemaran Sungai Malinau ini, sengketa yang terjadi harus
diselesaikan berdasarkan jalur litigasi atau pengadilan. dimana PT Kayan Putra
Utama Coal (KPUC) harus bertanggung jawab di hadapan hukum dan
mendapatkan sanksi administratif dalam bentuk pencabutan hak operasional
serta sanksi pidana sesuai dengan ketentuan UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Melihat perkembangan Kaltara, setelah berpisah dengan Kalimantan Timur
pada Oktober 2012. Seharusnya, Kaltara tak meniru Kaltim dalam pola
pembangunan yang bertumpu ekstraktif. Tujuan pemekaran Kaltara haruslah
untuk menyelamatkan ekosistem.

Daftar Pustaka

● https://kaltim.idntimes.com/news/kaltim/sri-wibisono/pencemaran-
sungai-malinau-jatam-ingatkan-akan-dampak-lingkungan/2
● https://www.mongabay.co.id/2021/02/13/ketika-kolam-limbah-
perusahaan-batubara-jebol-cemari-sungai-malinau/
● http://www.psmbupn.org/article/mereduksi-risiko-bencana-dan-
konflik.html
● http://media.leidenuniv.nl/legacy/policy-brief-vvi-%26-bappenas---
efektivitas-penyelesaian-sengketa-lingkungan-hidup-di-indonesia---
februari-2011.pdf
● https://jdih.esdm.go.id/storage/document/UU%2032%20Tahun
%202009%20(PPLH).pdf

Anda mungkin juga menyukai