Editin Donkk
Editin Donkk
ANTROPOLOGI HUKUM”
Disusun oleh:
Nama Lengkap
NIM. 185010107111127
Mata Kuliah Antropologi Hukum
Kelas D
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
MALANG
2021
ANALISIS KASUS PENCEMARAN SUNGAI MALINAU MENURUT TEORI
ANTROPOLOGI HUKUM
Abstrak
Warga Desa Langap Sengayan, pada 8 Februari terkejut karena banyak ikan mati
mengapung di Sungai Malinau pada 8 Februari lalu. Usut punya usut, ternyata kolam limbah
tambang batubara milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) jebol. Air limbah mengalir ke
sungai.
Limbah tambang itupun mengalir dan mencemari Sungai Malinau ini setidaknya
berdampak pada warga yang tersebar di 14 desa sekitar DAS Malinau. Yakni, Desa
Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban). Lalu,
DAS Mentarang (Lidung Keminci dan Pulau Sapi) dan DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang,
Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota).
Kasus pencemaran sungai dan jebol kolam limbang tambang batubara bukan kali
pertama, Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam mengatakan, tindakan hukum jangan
hanya penghentian sementara tetapi harus naik ke level pencabutan izin dan usut pidana.
Dalam laporan Jatam pada 2018 berjudul “Oligarki Ekstraktif dan Penurunan Kualitas
Hidup Rakyat” menyebutkan, perubahan terjadi pada sungai sejak pertambangan batubara
beroperasi di hulu Sungai Malinau dan limbah masuk ke sungai. Perubahan paling mudah
teramati, kata Merah, adalah perubahan warna air sungai. Kini, air jadi keruh. Dari laporan
warga menyatakan kalau ikan-ikan sungai berkurang dan mulai susah ditemukan.
Penyelesaian Sengketa
Saat ini, kasus sengketa pencemaran Sungai Malinau masih merupakan kasus yang
belum terselesaikan. Jatam mendesak pemerintah dan aparat segera lakukan investigasi atas
kejadian ini. Dia yakin, bukan hanya KPUC yang berperan mencemari lingkungan hidup
termasuk sungai seperti terjadi 2017. Bagi para pencemar DAS Malinau, dan DAS lain di
Kaltara, berikut aktor-aktor di baliknya, harus ditindak tegas, tuntas dan terbuka, terutama
jika mengutip dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, gunakan asas
premium remedium. Dengan begitu, katanya, upaya hukum administrasi bersamaan dengan
pidana. “Ada sanksi administrasi, ada sanksi pidana.”.
Analisis Kasus Dari Sudut Pandang Teori Antropologi Hukum Marc Galanter
Pada masa itu terjadi dua pandangan yang berbeda tentang hukum, di satu sisi dilihat
dalam kacamata sentralisme hukum, sedangkan yang lain melihatnya dari dimensi pluralisme
hukum. Galanter melihat bahwa pada masa dimensi sentralisme terdapat kelemahan-
kelemahan, seolah-olah keadilan itu produk eksklusif dari lembaga yang mendapat
wewenang yuridis dari negara.
Marc Galanter berpendapat “setiap komunitas biasanya mempunyai self regulation
termasuk dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di antara mereka”. Teorinya yaitu Justice
in Many Rooms yang mengatakan bahwa keadilan itu dapat ditemukan di berbagai tempat,
tidak hanya di lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah.
Mekanisme lain, sebagai alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi dan
mediasi. Negosiasi sesungguhnya istilah yang telah dikenal sejak lama, terutama di kalangan
usahawan. Negosiasi sesungguhnya merupakan suatu upaya verbal antara pihak-pihak yang
terlibat dalam menyelesaikan sengketa. Sedangkan mediasi pada prinsipnya adalah negosiasi
yang dihadiri oleh pihak ketiga netral yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan.
Pihak ketiga ini disebut sebagai mediator, yang berfungsi membantu memfasilitasi pihak-
pihak yang bersengketa, agar mencapai kesepakatan melakukan negosiasi. Mediasi
tampaknya lebih memberikan peluang menguntungkan beberapa hal, yaitu: (1) ruang lingkup
permasalahan dapat dibahas secara luas dan menyeluruh, (2) penyelesaiannya dapat
dilakukan secara lebih singkat, (3) proses berjalan luwes, (4) menghemat biaya.
Dari segi waktu penyelesaian sengketa yang cukup singkat (setidaknya sebagaimana
terjadi pada sebagian besar studi kasus), dapat dikatakan bahwa mediasi lebih efektif apabila
dibandingkan dengan litigasi. Namun, setidaknya ada tiga kualifikasi untuk kesimpulan ini.
Pertama, perlu diingat bahwa kesepakatan yang dihasilkan oleh sebuah proses mediasi tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Sementara apabila dilihat dari aspek pemenuhan ganti
rugi, mediasi merupakan forum yang dapat digunakan oleh korban pencemaran untuk
memperoleh ganti rugi walaupun kadang kala tidak sesuai harapan. Sedangkan kedua, dilihat
dari aspek perlindungan lingkungan, forum mediasi ternyata belum cukup efektif untuk
menghentikan terjadinya pencemaran dan sengketa. Dan ketiga, keberhasilan mediasi sebagai
alat untuk menyelesaikan sengketa lingkungan sebagian besar tergantung pada kemauan dari
pelaku pencemaran untuk berpartisipasi dalam proses mediasi. Dengan demikian, sebagai
sebuah forum penyelesaian sengketa yang diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan
sekaligus melindungi kepentingan lingkungan, pelaksanaan mediasi di Indonesia dapat
dikatakan belum efektif.
Daftar Pustaka
● https://kaltim.idntimes.com/news/kaltim/sri-wibisono/pencemaran-sungai-
malinau-jatam-ingatkan-akan-dampak-lingkungan/2
● https://www.mongabay.co.id/2021/02/13/ketika-kolam-limbah-perusahaan-
batubara-jebol-cemari-sungai-malinau/
● http://www.psmbupn.org/article/mereduksi-risiko-bencana-dan-konflik.html
● http://media.leidenuniv.nl/legacy/policy-brief-vvi-%26-bappenas---efektivitas-
penyelesaian-sengketa-lingkungan-hidup-di-indonesia---februari-2011.pdf
● https://jdih.esdm.go.id/storage/document/UU%2032%20Tahun
%202009%20(PPLH).pdf