Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Big Five

1. Sejarah Big Five

Kepribadian menurut Allport (dalam Schultz, 2005) didefinisikan sebagai

suatu organisasi dinamik dalam diri individu yang merupakan sistem

psychophysical yang menentukan karakteristik perilaku dan pikiran individu.

Dalam usaha mempelajari kepribadian manusia muncul pertanyaan mengenai

perbandingan antara individu yang satu dan lainnya. Misalnya: seseorang

mungkin saja mengalami depresi, namun sejauh mana tingkat depresi yang

dialaminya? Para ahli sepakat bahwa cara untuk menjawab pertanyaan itu adalah

dengan mengkategorisasikan individu kedalam kelompok tinggi, sedang atau

rendah. Untuk melakukan hal itu maka kepribadian harus diuraikan menjadi

beberapa tipe. Hal ini mengundang perdebatan mengenai jumlah dimensi dasar

dari kepribadian. Berkaitan dengan hal ini, Allport pada tahun 1937 dan para ahli

kepribadian lain, seperti Eysenck, Cattell, dan Costa dan McCrae melakukan

pembahasan. Mereka kemudian membuat kesepakatan bahwa kepribadian terdiri

dari trait (Coaley, 2010; John & Srivastava, 1999; McCrae & Costa, 2003; dalam

Pervin, 2005).

Sejak kemunculan metode yang bernama analisis faktor, untuk

mengidentifikasi dimensi atau faktor dari sekian banyaknya trait ditahun 1980an,

maka mulailah banyak konsep mengenai trait yang bermunculan, termasuk

konsep dimensi yang dibuat oleh Eysenck (3 dimensi utama) dan Cattell (16

12

Universitas Sumatera Utara


13

dimensi utama) terhadap kepribadian. Tupes, Chrystal, dan Goldberg pada tahun

1981 (dalam Coaley, 2010), adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa

kepribadian bisa dikecilkan menjadi hanya 5 (lima) komponen. Kelima faktor

yang ditemukan tersebut dibentuk dengan metode yang sederhana, yaitu mencoba

menemukan unit dasar dari kepribadian dengan menganalisis kata-kata yang

orang-orang biasa (tidak hanya psikolog) gunakan sehari-hari, untuk

mendeskripsikan kepribadian seseorang. Hasilnya kemudian diurutkan

menggunakan analisis faktor untuk melihat trait yang mana yang bisa berjalan

secara bersamaan (Goldberg, dalam John, O. P., Naumann, L. P., & Soto, C. J.,

2008; Pervin, 2005; Coaley, 2010).

Costa dan McCrae pada tahun 1985, 1992, adalah para peneliti yang

paling terkenal dalam menemukan kelima faktor tersebut melalui analisis faktor

(Coaley, 2010). McCrae & Costa.Jr (dalam Pervin, 2005) menyatakan bahwa pada

trait kepribadian digambarkan dalam bentuk lima dimensi dasar. Lima faktor

tersebut terdiri dari Opennes, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness,

dan Neuroticism, yang biasa disebut OCEAN untuk mempermudah

penghafalannya (John dalam Pervin, 2005).

Penamaan trait mungkin berbeda pada setiap teoris dan dari alat ukur yang

ada, namun ide dan kontennya tetap sama. Hal ini kemudian mengundang

persetujuan bahwa data yang ada mengarah pada kesimpulan bahwa yang

terbentuk adalah kelima faktor tersebut. Dengan kata lain, deskripsi kepribadian

individu dapat secara baik dibentuk dalam lima hal yang luas dan level abstraksi

Universitas Sumatera Utara


14

yang luar biasa, yang dikenal sebagai Big Five (John & Srivastava, 1999; McCrae

& Costa, 2003; dalam Pervin, 2005; Coaley 2010).

Konsep Big Five banyak dilibatkan dalam berbagai penelitian oleh ahli

kepribadian di berbagai negara, dan tetap menghasilkan gambaran 5 dimensi dasar

kepribadian. Fakta ini mendukung munculnya kesepakatan yang menyatakan

bahwa konsep Big Five stabil. (Coaley, 2010; Pervin, 2005). Bahkan terlihat

peningkatan publikasi penelitian-penelitian yang berkaitan dengan Big Five atau

istilah lainnya adalah Five Factor Model (FFM) sejak terbentuknya konsep

tersebut. Tercatat pada tahun 2005-2009 jumlah publikasi mencapai lebih dari

1500an jika dibandingkan pada tahun awal terbentuknya konsep Big Five, yaitu

awal tahun 1990an yang hanya berkisar 250an publikasi (John, O. P., Naumann,

L. P., & Soto, C. J., 2008).

2. Tipe Kepribadian Big Five

Berdasarkan penjelasan mengenai sejarah Big Five, maka dapat

disimpulkan bahwa Big Five Personality adalah suatu pendekatan dalam dunia

psikologi untuk melihat kepribadian manusia dengan menggunakan konsep FFM,

yaitu trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk

dengan menggunakan analisis faktor. Berikut ini adalah trait-trait dalam domain-

domain dari Big Five Personality Costa & McCrae (dalam Pervin, 2005), yaitu:

a. Openness (O)

Openness yang dimaksudkan adalah openness to experience, dimana trait

ini mengidentifikasikan kepribadian individu dari sudut pandang keaktifan dalam

mencari dan mengapresiasi pengalaman hidup, toleransinya terhadap hal-hal yang

Universitas Sumatera Utara


15

baru dan tidak biasa. Orang dengan skor tinggi merupakan orang yang memiliki

rasa ingin tahu, ketertarikan yang luas, kreatif, original, imajinatif, dan menyukai

hal yang bervariasi (tidak tradisional). Sedangkan orang dengan skor rendah

memiliki pemikiran yang konvensional, down-to-earth, ketertarikannya hanya

pada hal tertentu, tidak artistik, dan tidak analitis.

b. Conscientiousness (C)

Trait ini mengidentifikasikan kepribadian individu dari sudut pandang

derajat kemampuan individu terhadap pengorganisasian, daya tahan dan motivasi

berperilaku dalam meraih tujuan, tidak bergantung, tidak tahan dengan orang yang

ceroboh dan tidak bersemangat. Orang dengan skor tinggi dapat dipercaya,

terorganisir dan teratur, pekerja keras, disiplin dan tepat waktu, teliti, rapi,

ambisius, dan gigih. Sedangkan orang dengan skor rendah terlihat tanpa tujuan

dan terlihat tidak perduli akan sesuatu, malas, sulit diandalkan, sembrono dan

tidak teratur, mudah menyerah, dan suka bersenang-senang (hedonis).

c. Extraversion (E)

Trait ini mengidentifikasikan kepribadian individu dari segi kuantitas dan

intensitas interaksi interpersonal, level aktivitas, kebutuhan untuk menstimulasi,

kapasitas untuk memberi kesenangan. Orang dengan skor tinggi merupakan orang

yang bersosial, aktif, talkative, people-oriented, optimis, fun-loving, dan penuh

kasih. Sedangkan orang dengan skor rendah cenderung pendiam, task-oriented,

penyendiri, pasif, dan kurang mengekspresikan perasaannya.

Universitas Sumatera Utara


16

d. Agreeableness (A)

Trait ini mengidentifikasikan kepribadian individu dari segi kualitas

pikiran, perasaan, dan tindakan, terhadap orientasi interpersonal dalam kontinum

(rentang) compassion hingga antagonism. Orang dengan skor tinggi berhati

lembut, good-nature, percaya pada orang lain, pemaaf, penolong, polos dan

terang-terangan/blak-blakan. Sedangkan orang dengan skor rendah lebih kasar,

curiga, sinis, kurang kooperatif, memiliki lebih mungkin dalam menyimpan

dendam, menyebalkan dan terkesan kejam, mementingkan kepentingan sendiri,

serta manipulatif.

e. Neuroticism (N)

Trait ini mengidentifikasi kepribadian individu pada sudut pandang

kestabilan emosi, yang berkaitan dengan distress psikologis, ide yang tidak

realistis, harapan atau dorongan yang berlebihan, dan coping respon yang

maladaptif. Orang dengan skor tinggi akan memiliki rasa khawatir, cemas,

emosional, merasa tidak aman, merasa ada yang kurang, dan perasaan sedih atas

dirinya. Sedangkan orang dengan skor rendah mempunyai bawaan santai, tenang,

tidak emosional, lebih stabil, merasa lebih aman dan merasa puas akan dirinya.

Kelima domain trait pada model Big Five tersebut dibagi kedalam enam

subfaktor oleh Costa & McCrae (dalam Pervin, 2005; John & Srivastava, 1999),

yaitu:

Universitas Sumatera Utara


17

Tabel 1. Sub Faktor pada trait dalam model Big Five

Dimensi Subfaktor
Fantasy (khayalan)
Aesthetics (keindahan)
Openness to Feelings (perasaan)
Experience Actions (tindakan)
Ideas (ide)
Values (nilai-nilai)
Self-discipline (disiplin)
Dutifulness (patuh)
Competence (kompetensi)
Conscientiousness Order (teratur)
Deliberation (pertimbangan)
Achievement striving(pencapaian prestasi)
Gregariousness (suka berkumpul)
Activity level (level aktivitas)
Assertiveness (asertif)
Extraversion Excitement Seeking (mencari kesenangan)
Positive Emotions (emosi yang positif)
Warmth (kehangatan)
Straightforwardness (berterusterang)
Trust (kepercayaan)
Altruism (mendahulukan kepentingan orang lain)
Agreeableness
Modesty (rendah hati)
Tendermindedness (berhati lembut)
Compliance (kerelaan)
Anxiety (kecemasan)
Self-consciousness (kesadaran diri)
Depression (depresi)
Neuroticism Vulnerability (mudah tersinggung)
Impulsiveness (menuruti kata hati)
Angry hostility (amarah)

3. Big five Inventory (BFI)

Ada beberapa alat tes yang dibentuk dengan menggunakan konsep Big

Five, antara lain yaitu Big Five Inventory (BFI), NEO PI-R, International Item

Pool (IPIP), PCI, dan HPI. Mastuti (2005) menyatakan bahwa di Indonesia

penggunaan alat ukur kepribadian Big Five maupun pengembangan alatnya masih

belum begitu populer. Padahal banyak hal yang mampu diprediksi dengan

kepribadian big five. Selain itu, teori big five juga terbukti memiliki konsistensi

(laten kepribadian) meski diterapkan di Indonesia (Widhiarso, 2004).

Universitas Sumatera Utara


18

John, Donahue, dan Kentle menyadari akan kebutuhan suatu instrumen

yang efisien, fleksibel, dan berlaku universal, dalam kepentingannya untuk

mengukur kepribadian individu dengan menggunakan konsep big five. Kemudian,

pada tahun 1991, John, Donahue, dan Kentle menyusun suatu alat ukur yang

kemudian dinamakan Big Five Inventory. Big Five Inventory (BFI) ini terdiri atas

44 (empat puluh empat) aitem, yang dapat direspon dalam waktu 5 (lima) menit,

dan dapat menghasilkan kelima dimensi Big Five yang dibentuk oleh Costa dan

McCrae (John, O. P., Naumann, L. P., & Soto, C. J., 2008; Rammstedt & John,

2006).

Burisch (dalam John, O. P., Naumann, L. P., & Soto, C. J., 2008; John &

Srivastava, 1999) mengatakan, skala pendek tidak hanya menghemat waktu

pengujian, tetapi juga menghindari kebosanan dan kelelahan subjek, karena akan

ada subyek yang tidak memberi respon sesuai harapan jika tes terlihat terlalu

lama. Big Five Inventory (BFI) menggunakan frase pendek berdasarkan kata sifat

yang dikenal sebagai inti dari Big Five. Selanjutnya ditambahkan kata-kata yang

berfungsi sebagai tambahan informasi atau untuk memperjelas kata inti. Big Five

Inventory (BFI) dengan frase kata sifatnya juga memiliki keuntungan dalam

mencegah ambiguitas atau multiple meanings (John, O. P., Naumann, L. P., &

Soto, C. J., 2008).

Banyak penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan Big Five

Inventory (BFI) ini, termasuk di Indonesia, di mana salah satunya adalah

penelitian yang dilakukan oleh Mariyanti dan Rahmawati pada tahun 2011.

Mariyanti dan Rahmawati (2011) melakukan penelitian yang bertujuan untuk

Universitas Sumatera Utara


19

melihat kualitas BFI versi adaptasi Bahasa Indonesia dengan melihat karakteristik

psikometrisnya.

BFI versi Indonesia ini terdiri dari 44 aitem favourable dan unfavourable

yang terdiri dari kalimat pernyataan. Kalimat pernyataan tersebut direspon dengan

memilih angka 1 hingga 5 dan menuliskannya ditempat yang telah disediakan

pada setiap pernyataan. Makna angka “1” adalah “sangat tidak setuju”, “2” adalah

“tidak setuju”, “3” adalah “netral”, “4” adalah “setuju”, dan “5” bermakna “sangat

setuju”. Aitem favourable akan diberi nilai dari angka 1 sampai 5 pada jawaban

STS sampai SS, sedangkan aitem unfavourable akan diberi nilai sebaliknya. BFI

yang sudah diadaptasi oleh Mariyanti dan Rahmawati (2011) ke dalam bahasa

Indonesia ini memiliki reliabilitas yang baik yaitu 0.70 dan juga memiliki

validitas konstruk yang memuaskan dengan nilai loading rata-rata diatas 0.30 dan

varian yang dapat dijelaskan sebesar 41.45%.

Berdasarkan hasil dari penelitian Mariyanti dan Rahmawati pada tahun

2011, terjadi pergeseran definisi dari kelima faktor dalam teori Big Five pada BFI

versi adaptasi Bahasa Indonesia, yaitu :

a. Openness (O) adalah faktor yang melihat keterbukaan individu untuk

mencari tantangan dan hal-hal baru. Seseorang dikatakan open to

experience ketika individu tersebut cerdas dan suka berpikir, memiliki ide-

ide inovatif, percaya diri, mampu mempertimbangkan dan membuat suatu

rencana dan menjalankannya serta memiliki rasa ingin tahu yang besar.

b. Neuroticism (N) adalah faktor yang mengidentifikasi individu yang rentan

terhadap distress psikologis yaitu yang mudah mengalami rasa sedih, takut

Universitas Sumatera Utara


20

dan cemas berlebihan, memiliki dorongan berlebihan, memiliki coping

respon maladptif. Selain itu juga terlihat dalam bentuk perilaku mudah

tersinggung (irritability) dan pemarah (hostile). Seseorang dikatakan

neurotis ketika individu tersebut mudah merasa tertekan dan sedih, tidak

mampu menghadapi situasi stress dengan baik, pencemas, suasana hati

mudah berubah, labil, pemalu dan perhatiannya mudah terganggu.

c. Conscientiousness (C) adalah faktor yang melihat kesadaran diri, motivasi

dan kemampuan mengorganisasikan sesuatu dalam mencapai suatu tujuan.

Seseorang dikategorikan dalam faktor Conscientiousness ketika individu

tersebut teliti, terorganisir, tidak pemalas, menyukai suatu pekerjaan yang

rutin serta mampu bertahan dan mengerjakan suatu tugas hingga selesai.

d. Extraversion (E) adalah faktor yang melihat level aktivitas dan

kemampuan melakukan hubungan interpersonal individu. Seseorang

dikatakan extrovert apabila individu tersebut suka mengobrol, tidak

pendiam, santai, mudah bergaul dan senang bekerjasama dengan orang

lain.

e. Agreeableness (A) adalah faktor yang melihat kualitas trust dan seni

individu. Seseorang dikategorikan dalam faktor Agreeableness ketika

individu tersebut senang membantu dan tidak egois, mudah memaafkan

dan mempercayai orang lain, dan memiliki apresiasi terhadap seni, musik

atau sastra.

Universitas Sumatera Utara


21

Tabel 2. Pengelompokan Aitem-Aitem pada BFI versi Indonesia

Jumlah
No. Faktor Nomor Butir Aitem Persentasi
Aitem

Faktor 1 5, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 20, 25, 26,
1 13 29,55%
(Opennes) 33, 38, 40

Faktor 2
2 4, 9, 14, 19, 24, 29, 31, 34, 37, 39, 43 11 25%
(Neuroticism)
Faktor 3 15.91%
3 2, 3, 8, 18, 23, 28, 35 7
(Conscientiousness)

Faktor 4 13.63%
4 1, 6, 21, 27, 36, 42 6
(Extraversion)

Faktor 5 15.91%
5 7, 17, 22, 30, 32, 41, 44 7
(Agreeableness)

TOTAL 44 100%

B. Differential Item Functioning (DIF)

Analisis aitem merupakan langkah awal yang krusial dalam

pengembangan alat tes, yang meliputi berbagai jenis prosedur evaluasi. Ketika

dilakukan pengembangan, perlu dilakukan pengamatan berkaitan dengan

karakteristik yang diukur. Untuk mengetahui kualitas alat tes, dapat dilihat

karakteristik psikometrisnya, yaitu validitas dan reliabilitas. Kedua hal ini berjalan

beriringan, yaitu tes tidak akan valid jika tidak teruji bahwa tes tersebut reliabel,

akan tetapi hal ini tidak berlaku sebaliknya. Meski demikian, para ilmuan

psikologi menyadari bahwa validitas lebih penting dibandingkan reliabilitas. Hal

ini karena, reliabilitas berfokus pada akurasi hasil tes, sedangkan validitas

berfokus pada nature dari konstruk yang diukur (Coaley, 2010).

Reliabilitas merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan

sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Sedangkan validitas

Universitas Sumatera Utara


22

mengacu pada sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam

melakukan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan

maksud dan tujuan dilakukannya pengukuran tersebut, sehingga berguna untuk

melakukan pengambilan keputusan yang bertujuan untuk pengukuran aspek

mental (Azwar, 2012; American Educational Research Association, dalam

Osterlind, 2010; Coaley, 2010).

Analisis aitem memiliki beberapa istilah, yaitu item impact, DIF, dan juga

bias aitem (Zumbo, 1999). Pada sudut pandang psikometri, perbedaan konsistensi

intrapersonal maupun interpersonal merupakan hal yang krusial terhadap

karakteristik psikometrisnya, yaitu validitas dan reliabilitas (Anastasi & Urbina,

1997). Untuk mendapatkan reliabilitas yang baik, maka eror harus diminimalisir.

Reliabilitas dipengaruhi secara langsung pada random error (kesalahan yang

berasal dari individu peserta tes), sedangkan kesalahan sistematik (systematic

error) merupakan kesalahan yg berasal atas keanggotaan suatu kelompok

(Osterlind, 2010), sehingga berkaitan dengan bias yang terjadi pada tes, yang juga

dapat merusak validitasnya (Coaley, 2010; Osterlind, 2010).

DIF merupakan salah satu konsep dalam pengukuran bias (Sheppard, dkk.,

2006) yang termasuk kesalahan sistematik (systematic error) dan dapat

berpengaruh pada validitas. Meskipun DIF merupakan kesalahan sistematik yang

berpengaruh terhadap validitas, namun didalam kelompok juga terdiri dari

individu yang dapat memberikan kontribusi kesalahan, sehingga akan dapat

berpengaruh pada reliabilitas dimana individu dalam kelompok merespons pada

aitem yang terjangkit DIF tersebut. Selain itu, dalam pemahaman berdasarkan

Universitas Sumatera Utara


23

Osterlind (2010), DIF termasuk dalam sumber bukti validitas berdasarkan struktur

internal.

1. Definisi Differential Item Functioning (DIF)

DIF berbeda dengan bias aitem. Bias aitem terjadi ketika individu dari satu kelompok cenderung

untuk menyetujui pernyataan pada aitem tertentu dibandingkan peserta individu dari kelompok lainnya, karena

beberapa karakteristik dari aitem yang dipakai dalam mengukur atau situasi pengukuran yang tidak relevan

dengan tujuan tes. Sedangkan DIF adalah sebuah kondisi dimana individu dari kelompok yang berbeda,

memiliki kemungkinan/probabilitas berbeda dalam merespon setuju pada suatu pernyataan dalam sebuah

aitem, setelah level atribut/latent trait yang diukur dikondisikan setara (Zumbo, 1999; Widhiarso, 2004;

Osterlind, 2010). Kamata dan Vaughn pada tahun 2004 mengatakan bahwa DIF terjadi

jika suatu kelompok yang berbeda dengan kemampuan/latent trait yang sama

mendapat skor harapan yang berbeda pada aitem yang sama. Millsap dan Everson

mengungkapkan bahwa DIF adalah karakteristik tes yang berbeda secara statistik

pada kelompok yang berbeda yang memiliki kemampuan/latent trait yang sama

pada variabel yang ingin diukur (dalam Rahmawati, 2010).

2. Sumber Differential Item Functioning (DIF)

DIF berhubungan dengan suatu keanggotaan tertentu, seperti perbedaan

antar kelompok, etnis, jenis kelamin, dan juga perbedaan kelas sosial, umur,

daerah tempat tinggal, lingkungan rural, dan urban. DIF mengacu pada

Universitas Sumatera Utara


24

membandingkan dua kelompok yang ada, yang disebut dengan kelompok

referensi (reference group) dan kelompok fokal (focal group) (Hortensius, L.,

2012). Kelompok referensi juga memiliki istilah lain yaitu kelompok mayoritas

atau dapat juga dikenal sebagai kelompok pembanding yang juga disebut dengan

kelompok yang diuntungkan jika berkaitan dengan tes kognitif, sedangkan

kelompok fokal memiliki istilah lain yaitu kelompok minoritas ataupun kelompok

yang menjadi fokus, yang juga dikenal sebagai kelompok yang tidak diuntungkan

jika berkaitan dengan tes kognitif. Terdapat banyak kelompok referensi demikian

halnya pada kelompok fokal, di mana individu mungkin terlibat pada satu atau

lebih. Misalnya saja pada wanita kulit putih, yang memiliki kemungkinan lebih

untuk masuk dalam kelompok referensi pada konteks tertentu, dan masuk

kedalam kelompok fokal pada konteks lainnya atau dengan kata lain dapat ditukar

(Camilli dan Shepard dalam Rahmawati, 2010; Jodoin, M.G. & Gierl, J., 1999).

Penelitian Sacco, dkk. (2010) menemukan bukti bahwa DIF berkaitan

dengan gender, ras/etnis, termasuk usia. Pada penelitian Sacco, dkk., pada

kelompok wanita dewasa dan wanita muda, salah satu kelompok mendapat nilai

tinggi sedangkan kelompok lain mendapat nilai yang rendah. Adapun penelitian

dari Greer pada tahun 2004 menemukan bahwa DIF berkaitan dengan spesifikasi

demografi, seperti pria-wanita dengan kemampuan yang sama, orang asia dan

orang Eropa, dan seterusnya (dalam Acar, 2012).

Perbedaan metode pengadministrasian tes juga dapat mempengaruhi hasil

tes (Lang, dkk). Beberapa bukti menunjukkan bahwa peserta tes lebih nyaman dan

menyukai interaksi dengan komputer dibandingkan dengan tes paper-and-pencil

Universitas Sumatera Utara


25

yang juga bisa disebut dengan administrasi tes manual, termasuk diantaranya tes

manual yang kemudian dirancang menjadi versi administrasi tes online

(Rosenfeld, Doherty, Vicino, Kantor, dkk., 1989; Buchanan & Smith, 1999;

Cronk & West, 2002; dalam Kaplan & Sacuzzon, 2005). Individu menjadi lebih

nyaman dan terbuka (disclose) dalam merespons aitem ketika berinteraksi dengan

komputer (Davis, 1999; dalam Kaplan & Sacuzzo, 2005), lebih jujur, dan tidak

memunculkan efek social desirability ketika dihadapkan pada situasi pelaksanaan

tes tanpa prosedur yang mengharuskan face-to-face (Kaplan & Sacuzzo, 2005).

Penelitian oleh Locke & Gilbert pada tahun 1995 (dalam Kaplan & Sacuzzo,

2005) menyatakan bahwa peserta tes memberikan pengalaman positif dengan

komputer. Terdapat beberapa keunggulan yang diberikan ketika menggunakan

komputer baik administrasi, skoring, dan interpretasi (Britton & Tidwell, 1995;

dalam Kaplan & Sacuzzo, 2005; Anastasi & Urbina,1997), serta eror dalam

pendataan (Pettit, 2002; Miller, dkk., 2002; dalam Kaplan & Sacuzzo, 2005).

Kemajuan teknologi mungkin mempermudah dan meringankan kinerja

individu, namun tetap tidak bisa menggantikan secara penuh keutamaan yang bisa

dilakukan individu itu sendiri. Administrasi tes online memiliki keuntungan-

keuntungan tersendiri, namun masih perlu banyaknya pengujian agar memiliki

cukup bukti untuk dikatakan sama baiknya dengan administrasi tes secara manual

yang merupakan merupakan setting-an asli yang menjadi awal mula, dasar, dan

acuan dalam hal pengadministrasian tes. Inilah alasan mengapa administrasi tes

manual dianggap menjadi kelompok referensi (menjadi acuan) sedangkan

Universitas Sumatera Utara


26

administrasi tes online dianggap sebagai kelompok yang menjadi kelompok fokal

(menjadi fokus).

Guler dan Penfield pada tahun 2009 (dalam Hortensius, L., 2012),

mengatakan bahwa salah satu isu dalam deteksi DIF adalah adanya dampak

(impact). Ketika kelompok fokal dan kelompok referensi berbeda dalam distribusi

kemampuan/latent trait yang mendasarinya, yaitu ketika satu kelompok memiliki

kemampuan yang rata-rata lebih tinggi daripada kelompok lain, hal ini disebut

dengan impact. Kehadiran impact akan mempersulit pendeteksian DIF karena

dapat memunculkan kesalahan tipe I (type I error atau false positive) yaitu

kesalahan dalam mengidentifikasi DIF pada aitem, padahal kenyataannya aitem

tersebut tidak mengandung DIF (Guler dan Penfield , 2009; dalam Hortensius, L.,

2012; Jodoin, M.G. & Gierl, J., 1999).

3. Jenis Differential Item Functioning (DIF)

Terdapat dua kategori DIF, yaitu DIF seragam (uniform DIF) dan DIF

tidak seragam (nonuniform DIF) (Mellenbergh, 1982; dalam Hortensius, L., 2012;

Rahmawati, 2010). DIF seragam (Uniform DIF atau consistent DIF) terjadi ketika

item characteristic curves atau ICC (persinggungan performansi setiap individu

dalam merespons aitem yang sama pada dua kelompok yang berbeda), berbeda

namun tidak berpotongan atau bersinggungan. Dalam hal ini aitem cenderung

direspons setuju atau tidak setuju pada suatu kelompok tertentu dibanding

kelompok lain setelah seluruh kemampuan disetarakan/latent trait sama, sehingga

terdapat perbedaan respons dari kelompok yang berbeda dengan latent trait yang

sama. Sedangkan DIF tidak seragam (Nonuniform DIF atau inconsistent DIF)

Universitas Sumatera Utara


27

terjadi jika ICCs kedua kelompok berbeda, namun ada persinggungan atau adanya

garis yang memotong pada beberapa poin skala θ (Camilli & Shepard, 1994;

Kristjanson, dkk., 2005; dalam Rahmawati, 2010; Zumbo, 1999; Widhiarso, 2012;

Jodoin, M.G. & Gierl, J., 1999).

DIF dapat memberi keseimbangan atau justru malah tidak, pada masing-

masing kelompok pada tingkat tertentu. Singkatnya, hal ini terjadi jika terdapat

interaksi antara tingkat kemampuan dengan identitas kelompok (keanggotaannya),

sehingga aitem akan menjadi sulit pada satu kelompok dengan tingkat

kemampuan yang lebih rendah dan menjadi lebih sulit pada kelompok lain dengan

tingkat kemampuan yang lebih tinggi, atau aitem menjadi cenderung direspons

setuju atau tidak setuju pada kelompok tertentu (Camilli & Shepard, 1994;

Kristjanson, dkk., 2005; dalam Rahmawati, 2010; Hortensius, L., 2012).

4. Metode Analisis DIF

Gierl, Khaliq, dan Boughton pada tahun 1999 (dalam Acar, 2012)

mengatakan bahwa terdapat beberapa metode untuk mengidentifikasi DIF.

Beberapa Metode berkaitan dengan Classical Test Theory (CTT), yaitu Mantel-

Haenszel Procedure, Regresi Logistik, dan Simultaneous Bias Test (SIBTEST),

dan metode Item Respons Theory yang biasa disebut dengan IRT (Camili &

Shepard, 1994; Ogretmen, 1995; dalam Acar, 2012; Osterlind, 2010).

Regresi logistik adalah analisis yang didasarkan pada model statistik

terhadap kemungkinan untuk merespon benar/merespon setuju ataupun tidak

setuju terhadap suatu aitem, dilihat dari keanggotaannya dan kriteria atau variabel

yang dikondisikan (prediksi). Regresi logistik diusulkan sebagai alternatif uji

Universitas Sumatera Utara


28

statistik Mantel-Haenszel untuk mengidentifikasi DIF pada tahun 1990 oleh

Swaminathan dan Rogers (Hortensius, L., 2012; Jodoin, M.G. & Gierl, J., 1999).

Analisis regresi logistik merupakan analisis yang menggunakan jenis data ordinal

dan binary (Field, 2009).

Jika data utama yang dipergunakan untuk menganalisis DIF adalah data

ordinal, maka analisis yang digunakan akan lebih dikhususkan lagi, yaitu dengan

menggunakan analisis regresi logistik ordinal (ordinal logistic regression).

Analisis regresi logistik ordinal merupakan perluasan dari analisis regresi yang

mampu memprediksi hasil data yang berbentuk ordinal, berdasarkan variabel

prediktor (Field, 2009). Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode

terkini yang tersedia untuk menginvestigasi DIF aitem-aitem yang biasanya

ditemukan dalam pengukuran kepribadian dan psikologi sosial dengan data

ordinal (Zumbo, 1999).

Analisis ini akan dibantu dengan aplikasi tambahan bernama ologit2.inc

dan syntax program SPSS untuk analisis regresi logistik ordinal yang ditulis oleh

Bruno D. Zumbo, PhD. Aitem BFI versi Indonesia dikatakan mengandung DIF

administrasi tes jika nilai p ≤ 0,01 (Zumbo, 1999). Analisis regresi logistik juga

dapat melihat effect-size sehingga dapat mengidentifikasi apakah DIF yang

terkandung termasuk dalam jenis DIF seragam atau DIF tidak seragam (Zumbo,

1999). Berdasarkan Cohen pada tahun 1992, kategori Zumbo-Thomas effect size

adalah negligible dengan R2<0,13, moderate dengan 0,13< R2<0,26, dan large

dengan R2>0,26 (Jodoin, M.G. & Gierl, J., 1999). Dengan kata lain, nilai R2

Zumbo-Thomas effect size pada aitem paling tidak senilai 0,130 atau R-squared ≥

Universitas Sumatera Utara


29

0,130 untuk kemudian dikatakan memiliki kriteria effect-size (Widhiarso, 2012;

Zumbo, 1999).

C. Administrasi Tes

1. Definisi Administrasi Tes

Anastasi & Urbina (1997) menyatakan bahwa pemikiran dasar dari suatu

tes meliputi generalisasi dari perilaku yang muncul di dalam situasi tes sampai

pada perilaku yang muncul pada situasi yang lain, yaitu situasi yang sebenarnya.

Administrasi tes psikologi adalah segala sesuatu proses yang berkenaan dengan

penyelenggaraan tes Psikologi. Skor dari suatu tes seharusnya dapat membantu

dalam memahami apa yang dirasakan oleh seseorang dan memprediksi bagaimana

perilaku orang tersebut. Kondisi-kondisi pada situasi saat itu kemudian dapat

mempengaruhi keadaan tes yang kemudian dapat menyebabkan kesalahan dan

mengurangi validitas tes tersebut. Dengan demikian, penting bagi kita untuk

mengidentifikasi hal-hal yang dapat mempengaruhi apapun yang berkaitan dengan

tes, termasuk diantaranya validitas tes tersebut, sehingga nantinya dapat

membatasi dan meminimalkan kerusakan yang terjadi pada tes tersebut. Hal

penting yang dapat berpengaruh secara langsung terhadap validitas tes adalah

administrasi tes (Anastasi & Urbina, 1997).

2. Hal-hal yang berkaitan dengan Administrasi Tes

Ada beberapa hal yang berkaitan yang harus diperhatikan berkaitan

dengan administrasi tes (Anastasi & Urbina, 1997), yaitu :

a. Persiapan Tester

Universitas Sumatera Utara


30

Hal terpenting yang menjadi persyaratan dalam suatu administrasi tes yang

baik adalah persiapan yang baik. Pada administrasi tes, tidak boleh ada keadaan

darurat, atau dengan kata lain, tanpa adanya persiapan. Usaha yang spesifik harus

dilakukan dalam mencegah terjadinya kondisi yang tiba-tiba atau darurat.

Instruksi lisan adalah hal yang sangat penting pada tes individual, meski tidak

jarang pula ada tes di mana instruksi tes dapat langsung dibaca oleh peserta.

Bukan berarti tester tidak berperan dalam situasi seperti. Tester harus dapat

memahami dan familiar dengan instruksi yang akan diberikan kepada para

peserta. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah kesalahan dalam memahami tes

ataupun kesalahan baca terhadap instruksi tes. Hal lain yang juga penting untuk

diperhatikan adalah ketersediaan material pendukung tes. Material pendukung tes

haruslah dekat dengan tester dan mudah untuk dijangkau tetapi jangan sampai

menganggu peserta tes. Pada tes yang diberikan secara manual, seluruh material

tes yang dibutuhkan seperti lembar soal, lembar jawaban, pensil khusus, dan

material lain yang dibutuhkan haruslah dihitung, diperiksa kembali, dan disusun

dengan teliti.

Terkhusus untuk tes individual, pelatihan administrasi tes adalah hal yang

sangat penting. Pelatihan yang dilakukan haruslah meliputi demonstrasi dan

pelatihan pemberian instruksi dan dilakukan lebih dari satu tahun. Untuk tes yang

sifatnya kelompok, perlu diadakan briefing terlebih dahulu antara tester dan

penyelenggara tes, sehingga masing-masing pihak mengetahui dengan baik tugas

dan fungsi yang akan dilakukan.

b. Kondisi Tes

Universitas Sumatera Utara


31

Prosedur tes yang standar tidak hanya mengenai instruksi secara lisan,

waktu, bahan-bahan, dan aspek lainnya, namun juga mengenai kondisi tes. Kita

harus memperhatikan pemilihan tempat administrasi tes yang sesuai. Tempat

administrasi tes harus bebas dari keributan dan mampu menyediakan pencahayaan

yang baik, ventilasi, tempat duduk, dan ruang yang cukup bagi peserta tes untuk

bekerja. Langkah khusus harus dilakukan untuk mencegah adanya interupsi di

tengah administrasi tes. Membuat tanda di pintu yang memberikan tanda tes

sedang berlangsung adalah hal yang cukup efektif. Pada administrasi tes yang

melibatkan banyak peserta, mengunci pintu dan menyiapkan seseorang untuk

menjaga pintu dapat dilakukan untuk mencegah gangguan yang mungkin timbul,

termasuk dari peserta yang datang terlambat.

Penting untuk disadari bahwasannya kondisi tes dapat berpengaruh

terhadap skor tes. Bahkan aspek yang sangat kecil pun dapat berpengaruh, seperti

perbedaan penggunaan kursi, di mana kelompok yang menggunakan kursi

bermeja mendapatkan skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok

yang menggunakan kursi tanpa meja (T.L. Kelley, 1943; Traxler dan Hilkert,

1942; dalam Anastasi & Urbina, 1997). F.O. Bell, Hoff and Hoyt pada tahun 1964

mengatakan bahwa penggunaan lembar jawaban yang tidak memenuhi standar

juga dapat mempengaruhi skor tes (dalam Anastasi & Urbina, 1997). Administrasi

tes yang menggunakan lembar jawaban terpisah pada anak dibawah kelas lima

sekolah dasar dapat menyebabkan skor tes anak menjadi rendah. Oleh karena itu

pada administrasi tes yang dikenakan kepada anak di bawah kelas lima sekolah

Universitas Sumatera Utara


32

dasar, lembar jawaban lebih baik tidak dipisah dari soal melainkan disatukan

dalam bentuk booklet.

Banyak hal lain yang dapat berpengaruh terhadap performansi seseorang

saat mengerjakan suatu tes, khususnya pada tes bakat dan tes kepribadian. Ketika

tester yang memberikan tes adalah seorang yang familiar dengan peserta tes maka

hal ini akan sangat berpengaruh secara signifikan terhadap skor tes. (Sacks, 1952;

Tsudzuki, Hata, & Kuze, 1957; dalam Anastasi & Urbina, 1997). Dalam telaah

lain, Wickes dan Bernstein pada tahun 1956 mengatakan bahwa perilaku tester

seperti tersenyum dan memberikan komentar seperti “bagus” atau “baik”

menunjukkan adanya pengaruh terhadap hasil tes, terlebih pada tes proyektif

dimana kehadiran tester cenderung menghambat reaksi dan respon emosional dari

peserta tes untuk menuliskan cerita sesuai gambar yang diberikan. Kirchner pada

tahun 1966 mengatakan bahwa pada administrasi tes atau pengujian kecepatan

mengetik, pelamar kerja yang melaksanakan tes sendirian mengetik lebih cepat

secara signifikan dibandingkan ketika administrasi tes dilakukan secara

berkelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih (dalam Anastasi & Urbina,

1997)

Terdapat tiga hal lain yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan

administrasi tes. Pertama, ikuti prosedur standar secara mendalam dan mendetail.

Psikolog dan tester harus menjelaskan prosedur secara lengkap dan jelas pada

setiap administrasi tes. Kedua, catatlah setiap kondisi yang tidak biasa atau

kondisi yang dapat berpengaruh terhadap peserta tes sekecil apapun. Ketiga,

Universitas Sumatera Utara


33

jadikan catatan mengenai kondisi tes tersebut sebagai bahan pertimbangan pada

saat menginterpretasi hasil tes.

c. Memperkenalkan Tes : Rapport dan Orientasi Peserta Tes

Istilah “rapport” pada administrasi tes adalah upaya tester untuk

meningkatkan ketertarikan peserta tes terhadap tes, meningkatkan kerja sama, dan

mendorong mereka untuk dapat merespon tes sesuai dengan tujuan dari tes

tersebut. Teknik yang digunakan dalam membangun rapport pada administrasi tes

sangat berhubungan dengan administrasi tes. Pada saat membangun rapport,

keseragaman kondisi tes terhadap semua peserta tes sangat penting agar hasil tes

dapat dibandingkan. Seorang anak yang diberikan hadiah setelah mengerjakan tes

tidak bisa secara langsung dibandingkan dengan anak lain yang hanya diberikan

pujian saat selesai mengerjakan tes. Kondisi ini harus menjadi catatan dan

menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan interpretasi hasil tes.

Meskipun rapport dapat lebih maksimal dilakukan pada tes individual,

rapport juga dapat dilakukan pada tes berkelompok untuk memotivasi peserta tes

sehingga dapat mengurangi kecemasan pada peserta tes. Teknik yang spesifik

dalam membangun rapport juga harus disesuaikan dengan tes, usia dari peserta,

dan karakteristik lain dari peserta tes. Administrasi tes pada anak pra sekolah

misalnya, harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti rasa malu anak dan

sikap negatif yang dapat timbul pada orang asing. Sikap bersahabat, ceria, dan

santai oleh tester dapat membantu mengurangi kecemasan anak pada saat

melaksanakan tes.

Universitas Sumatera Utara


34

Pelaksanaan tes baik pada anak usia sekolah ataupun pada orang dewasa,

harus menyadari bahwa tes yang dilakukan akan berefek pada harga diri setiap

individu. Oleh karena itu akan sangat bermanfaat apabila peserta tes diberikan

penjelasan bahwa peserta tes tidak harus mengerjakan tes hingga akhir ataupun

harus memastikan seluruh jawaban dijawab dengan benar. Hal ini dilakukan untuk

mencegah timbulnya perasaan gagal yang mungkin timbul pada saat peserta tes

tidak mampu menyelesaikan tes hingga akhir sesuai dengan waktu yang

ditentukan, ataupun kesulitan dalam menjawab soal.

Administrasi tes yang dilakukan pada orang dewasa memunculkan

masalah yang sering kali timbul. Tester harus lebih ekstra dalam meyakinkan

peserta bahwa hasil tes yang akan mereka peroleh nantinya bergantung kepada

ketertarikan dan usaha mereka dalam mengerjakan tes tersebut, sehingga nantinya

skor yang didapat dapat mengindikasikan kemampuan mereka yang

sesungguhnya. Mengatakan bahwa hasil skor secara valid menggambarkan minat

mereka akan mengurangi faking pada peserta tes, karena peserta tes dapat

menyadari bahwa jika tidak mengerjakan tes dengan baik dan maksimal, maka

mereka hanya akan mendapat kerugian atas perlakuan mereka sendiri.

Hal kecil dan mendetail perlu diperhatikan demi keberlangsungan tes.

Penting untuk memastikan seluruh bahan kebutuhan tes telah tersedia, dan bahkan

lebih baik ketika ada materi pendukung yang dapat berupa buku penjelasan yang

tersedia untuk para peserta tes. Buku penjelasan tersebut dapat berisikan

mengenai tujuan dari administrasi tes, petunjuk dan saran mengenai bagaimana

Universitas Sumatera Utara


35

seharusnya tes dikerjakan, dan berisi beberapa contoh dalam mengerjakan tes

tersebut.

D. Differential Item Functioning Administrasi tes pada Big Five Inventory

versi Indonesia

Prosedur tes yang standar tidak hanya mengenai instuksi secara lisan,

waktu, bahan-bahan, dan aspek lainnya, namun juga mengenai kondisi tes. Hal ini

dapat berpengaruh terhadap skor tes, bahkan pada aspek yang sangat kecil

sekalipun. Perlu adanya persiapan tester yang matang, penyesuaian kondisi tes,

membangun rapport dan mengenalkan tes kepada para peserta tes (Anastasi &

Urbina, 1997).

Perkembangan zaman dalam penggunaan komputer mempengaruhi setiap

fase pada pemberian tes, termasuk administrasi, skoring, pemberian laporan, dan

interpretasi (F.B. Baker, 1989; Butcher, 1987; Gutkin & Wise, 1991; Roid, 1986;

dalam Anastasi & Urbina, 1997). Penggunaan komputer dan internet memberikan

revolusi baru pada dunia alat tes, termasuk pada variasi alat tes kepribadian yang

dapat diakses melalui internet (Kaplan & Sacuzzo, 2005), sehingga memunculkan

metode pelaksanaan baru yaitu administrasi tes secara online.

Penggunaan komputer yang bahkan merambah ke dunia psikologi ini juga

memiliki alasan yaitu pengguna komputer yang nantinya akan melaksanakan tes

secara online adalah seorang manusia. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan

bagaimana individu tersebut bekerja, bagaimana mereka memproses informasi

dan bagaimana mereka mampu bereaksi pada situasi yang berbeda, termasuk pada

Universitas Sumatera Utara


36

perbedaan metode yang diberikan sewaktu administrasi tes (Bushnell & Mullin,

1987).

Administrasi tes online adalah metode penggunaan komputer, dimana tes

paper-and-pencil yang juga dapat disebut dengan administrasi tes manual,

didesain dalam versi elektronik dan di-posting ke Web site (Osterlind, 2010).

Adanya administrasi tes secara online yang didasarkan pada penggunaan

komputer memunculkan perbedaan baru dalam pengadministrasian tes. Pada

administrasi tes secara online, peserta langsung membaca instruksi yang sudah

ada pada layar komputer, tempat administrasi tes lebih fleksibel bahkan bisa

dilakukan oleh orang-orang yang berbeda negara, tidak menggunakan paper and

pencil melainkan menggunakan media elektronik seperti komputer, laptop, atau

smartphone (Kaplan & Sacuzzo, 2005; Osterlind, 2010). Usaha membangun

rapport dan mengenalkan alat tes juga hampir tidak ada karena minimnya

interaksi peserta tes kepada tester (Kaplan & Sacuzzo, 2005).

Lang, dkk. (2011) menemukan bahwa metode yang diberikan memberikan

hasil mean yang berbeda pada tipe kepribadian Big Five Inventory. Pada

kelompok yang diberikan metode telephone interview, ditemukan bahwa openness

seorang individu meningkat dibandingkan ketika diberikan dengan metode self-

administered questioner. Penelitian oleh Aslam (2011) yang berkaitan dengan

standarisasi instruksi pada pengadministrasian tes juga menghasilkan kesimpulan

secara umum bahwa terdapat pengaruh instruksi yang terstandar dan yang tidak

terstandar dalam pengadministrasian Big Five Inventory terhadap hasil Big Five

Inventory. Hasil penelitian ini cukup memberikan bukti bahwa metode

Universitas Sumatera Utara


37

pengadministrasian yang sama (administrasi manual), namun dengan instruksi

yang berbeda (tidak standar) saja bisa memberikan pengaruh pada hasil tes,

terlebih lagi jika metode pengadministrasiannya secara keseluruhan sudah jelas

berbeda seperti halnya pada administrasi tes manual dan online.

Adanya perbedaan metode administrasi tes akan berpengaruh pada hasil

skor alat tes, memunculkan tantangan baru berkaitan dengan karakteristik

psikometris alat tes. Karakteristik psikometris berkaitan dengan pengembangan

dasar evaluasi terhadap suatu alat tes psikologis, termasuk diantaranya

pengukuran (Azwar, 2007). Pada proses pengembangan alat tes, analisis aitem

merupakan langkah awal yang krusial, yang meliputi berbagai jenis prosedur

evaluasi termasuk karakteristik yang diukur (Coaley, 2010).

Analisis aitem memiliki beberapa istilah, yaitu item impact, DIF, dan juga

bias aitem (Zumbo, 1999). Pada sudut pandang psikometri, perbedaan konsistensi

intrapersonal maupun interpersonal merupakan hal yang krusial terhadap

karakteristik psikometrisnya, yaitu validitas dan reliabilitas (Anastasi & Urbina,

1997). Untuk mendapatkan reliabilitas yang baik, maka eror harus diminimalisir,

termasuk diantaranya kesalahan sistematik (systematic error) yang berkaitan

dengan bias pada tes, yang juga dapat merusak validitasnya (Coaley, 2010;

Osterlind, 2010; Reeve, tanpa tahun). Reliabilitas dipengaruhi oleh random error

(kesalahan yang berasal dari individu peserta tes), sedangkan kesalahan sistematik

merupakan kesalahan yg berasal atas keanggotaan suatu kelompok (Osterlind,

2010), sehingga berkaitan dengan bias yang terjadi pada tes, yang juga dapat

merusak validitasnya (Coaley, 2010; Osterlind, 2010). DIF merupakan salah satu

Universitas Sumatera Utara


38

konsep dalam pengukuran bias (Sheppard, dkk., 2006) yang berpengaruh pada

validitas (Coaley, 2010).

DIF berbeda dengan bias aitem, namun merupakan titik awal dari

penelitian tentang bias aitem. DIF muncul ketika peserta memiliki

kemampuan/latent trait yang sama dari kelompok yang berbeda, namun memiliki

kesempatan yang tidak sama dalam merespons aitem (cenderung setuju pada

pernyataan aitem tertentu). Bias aitem muncul ketika aitem tidak bisa mengukur

apa yang ingin diukur, atau hanya bisa mengukur sedikit dari apa yang ingin

diukur tersebut. Bias aitem dapat mempengaruhi validitas suatu tes karena dapat

menyebabkan kesimpulan yang salah mengenai kemampuan tes untuk mengukur

apa yang seharusnya diukur (Rahmawati, 2010). Singkatnya, DIF adalah sebuah

kondisi dimana individu dari kelompok yang berbeda, memiliki

kemungkinan/probabilitas berbeda dalam menyetujui suatu pernyataan sebuah

aitem, setelah level atribut/latent trait yang diukur dikondisikan setara. Sedangkan

bias aitem terjadi ketika individu dari satu kelompok cenderung untuk menyetuji

pernyataan dalam aitem dibandingkan peserta individu dari kelompok lainnya,

karena beberapa karakteristik dari aitem yang dipakai dalam mengukur atau

situasi pengukuran yang tidak relevan dengan tujuan tes (Zumbo, 1999;

Widhiarso, 2004).

Lain halnya dengan validitas berdasarkan bukti proses respons yang

mungkin merupakan hasil dari bias aitem, berdasarkan pemahaman dari Osterlind

(2010), DIF lebih mengarah pada validitas berdasarkan bukti struktur internal.

Bias aitem dapat muncul dari eksternal struktur tes atau bukan merupakan bawaan

Universitas Sumatera Utara


39

dari aitem yang tersedia. Proses respons yang berbeda tersebut dapat dipengaruhi

oleh extraneous variable, bukanlah dari internal atau aitemnya. Sedangkan pada

konsep DIF, berkaitan dengan aitem (struktur) yang disediakan untuk dikerjakan

oleh kelompok tertentu, dimana aitem tersebut yang membuat individu dari

kelompok tertentu memberi respons yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa aitem-

lah yang disalahkan, bukan individu atau latar belakang individu yang disalahkan.

Terdapat dua kelompok yang akan dibandingkan pada konsep DIF, yaitu

kelompok fokal (minoritas/yang tidak diuntungkan) dan kelompok referensi

(mayoritas/diuntungkan) sebagai pembanding (Rahmawati, 2010). Seperti halnya

penjabaran mengenai DIF diatas, DIF berkaitan dengan kedua hal tersebut yaitu

adanya perbedaan respon antara kelompok referensi dan kelompok fokal dalam

merespon suatu aitem.

Administrasi tes secara online memiliki interaksi dan observasi secara

langsung kepada para peserta tes yang sudah pasti tidak bisa ditangkap oleh

komputer. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kaplan & Sacuzzo (2005) bahwa

penggunaan komputer juga memiliki kekurangan pada interpretasi yang berkaitan

dengan clinical judgement. Meskipun terkadang menghasilkan kecemasan

tersendiri dan tidak ada interaksi langsung, serta terkadang mampu memunculkan

keyboard phobia pada sebagian orang, penggunaan komputer dapat menghemat

banyak waktu, berpotensi meningkatkan test-retest reliability, mengurangi bias,

tidak perlu sulit untuk scan hasil karena data langsung masuk ke dalam sistem

komputer (meningkatkan akurasi skoring), dan juga mengurangi biaya sehingga

Universitas Sumatera Utara


40

meningkatkan efisiensi (Butcher, Perry, & Atlis, 2000; Groth-Marnat, 1999;

Osterlind, 2010).

Cronbach di awal tahun 1970 (dalam Kaplan & Sacuzzo, 2005)

menyampaikan beberapa keuntungan sistem komputer, yaitu standarisasi yang

sangat baik, tahapan administrasi dirancang sedemikian rupa agar dapat dilakukan

sendiri oleh peserta tes, lebih ada kesabaran (peserta tes tidak terburu-buru dalam

mengerjakan tes), hasil respons tepat waktu karena langsung ter-input oleh

komputer, mempermudah tugas tester (tester bisa melaksanakan tugas lain), dan

lebih mengontrol bias. Hal ini dapat meminimalisir kesalahan yang terjadi pada

tes paper-and pencil atau administrasi tes secara manual pada hal standarisasi,

kontrol, dan eror saat skoring.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa peserta tes lebih nyaman dan

menyukai interaksi dengan komputer dibandingkan dengan administrasi tes

paper-and-pencil atau manual, termasuk diantaranya tes manual yang kemudian

dirancang menjadi versi administrasi tes online (Rosenfeld, Doherty, Vicino,

Kantor, dkk., 1989; Buchanan & Smith, 1999; Cronk & West, 2002; dalam

Kaplan & Sacuzzon, 2005). Individu menjadi lebih nyaman dan terbuka (disclose)

dalam merespons aitem ketika berinteraksi dengan komputer (Davis, 1999; dalam

Kaplan & Sacuzzo, 2005), lebih jujur, dan tidak memunculkan efek social

desirability ketika dihadapkan pada situasi pelaksanaan tes tanpa prosedur yang

mengharuskan face-to-face (Kaplan & Sacuzzo, 2005). Penelitian Locke &

Gilbert pada tahun 1995 (dalam Kaplan & Sacuzzo, 2005) menunjukkan bahwa

peserta tes memberikan pengalaman positif dengan komputer. Kebanyakan

Universitas Sumatera Utara


41

penelitian menunjukkan bahwa administrasi tes menggunakan komputer sama

reliabelnya dengan administrasi tes secara manual (Handel, Ben-Porath, & Matt,

1999; Schulenberg & Yutrzenka, 1999; dalam Kaplan & Sacuzzo, 2005; Groth-

Marnat, 1999).

Pengadministrasian tes sejak awal dibuat untuk diadministrasikan secara

manual, yang kemudian ditransformasi dan dibentuk dalam form digital yang

dapat diakses melalui komputer dan jaringan internet yang kemudian dikenal

dengan adminitrasi tes online. Administrasi tes online mungkin memberikan

keunggulan tersendiri, namun terlepas dari itu, pada awalnya setiap tes

diadministrasikan secara manual. Kemajuan teknologi mungkin mempermudah

dan meringankan kinerja individu, namun tetap tidak bisa menggantikan secara

penuh keutamaan yang bisa dilakukan individu itu sendiri. Administrasi tes online

memiliki keuntungan-keuntungan tersendiri, namun masih perlu banyaknya

pengujian agar memiliki cukup bukti untuk dikatakan sama baiknya dengan

administrasi tes secara manual yang merupakan merupakan setting-an asli yang

menjadi awal mula, dasar, dan acuan dalam hal pengadministrasian tes. Inilah

alasan mengapa administrasi tes manual dianggap menjadi kelompok acuan

(kelompok referensi) sedangkan administrasi tes online dianggap sebagai

kelompok yang menjadi fokus (kelompok fokal).

Seorang individu akan berbeda perilakunya ketika bertemu dengan

tuntutan setiap situasi (Anastasi & Urbina, 1997). Situasi yang berbeda dalam

pelaksanaan tes dengan perbedaan pengadministrasian akan berpengaruh pada

skor subjek. Perbedaan metode dalam memberikan tes (administrasi tes)

Universitas Sumatera Utara


42

kemudian bisa menjadikan dua individu yang memiliki kepribadian yang sama,

akan memiliki kemungkinan lebih untuk mendapatkan hasil skor BFI yang

berbeda, padahal seharusnya dengan kepribadian yang sama, maka diasumsikan

skor mereka akan sama. Dengan melihat konsep DIF, maka akan terlihat apakah

aitem pada alat tes tersebut adil dan tidak memihak pada suatu kelompok tertentu

(Hortensius, L., 2012; Jodoin, M.G. & Gierl, J., 1999).

Big Five Inventory (BFI) dimasa ini juga sudah bisa diakses diinternet dan

dikerjakan dengan metode pelaksanaan secara online. Adanya perbedaan

administrasi tes pada BFI memberikan alasan untuk kemudian perlu dilakukan

pengecekkan karakteristik psikometrisnya. Hal ini juga berlaku pada BFI versi

Indonesia yang juga bisa dilaksanakan baik pada administrasi tes manual maupun

online, dimana kedua kelompok memiliki latent trait yang sama yaitu OCEAN.

Reliabilitas dan validitas konstraknya sudah diuji oleh Mariyanti dan

Rahmawati dalam proses pengadaptasiannya ke dalam bahasa Indonesia, sehingga

layak untuk dipergunakan demi alasan pengembangan alat ukur BFI. Namun,

berkaitan dengan adanya perbedaan administrasi tes, perlu ditinjau DIF

administrasi tes pada aitem BFI versi Indonesia. Dengan pengujian DIF

administrasi tes, akan teruji pula keadilan aitem pada alat tes BFI versi Indonesia

baik saat diadministrasikan secara manual maupun online. Dengan kata lain, akan

terlihat apakah BFI dengan administrasi tes online sama baiknya dengan

penyajian BFI dengan administrasi tes secara manual. Jika BFI ternyata

mengandung DIF pada konteks administrasi tes yang berbeda tersebut, maka

dapat dipastikan bahwa hal ini dapat berpengaruh pada skor tes. Kemungkinan ini

Universitas Sumatera Utara


43

akan memunculkan kesalahan sistematik dan berpengaruh pada validitas karena

tidak dapat memberikan bukti-bukti untuk memperkuat validitasnya, sehingga

kualitasnya akan menurun dan penggunaannya juga masih sulit untuk diterapkan.

Hal ini akan menghambat terciptanya BFI versi Indonesia yang berkualitas dan

teruji karakteristik psikometrisnya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai