Anda di halaman 1dari 28

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

Dalam bab II dipaparkan mengenai kajian pustaka yang menjelaskan

beberapa penelitian serupa untuk membandingkan penelitian yang diambil dengan

penelitian yang pernah ada. Konsep yang merupakan definisi operasional dari

judul, sedangkan landasan teori yang akan membantu dalam pemecahan

permasalahan, serta model penelitian.

2.1 Tinjauan Pustaka

Pada sub-bab mengenai kajian pustaka berisikan kajian terhadap penelitian

mutakhir sebelumnya yang relevan dengan penenelitian yang dilakukan ini.

Tinjauan pustaka yang dimaksud adalah tulisan dalam laporan penelitian yang

berkaitan dengan penelitian ini, baik dilihat dari pendekatan yang digunakan

maupun objek yang dapat menjadi referensi penelitian.

Salah satunya adalah penelitian Rahayu (2004), dengan judul Strategi

Pedagang Kaki Lima Terhadap Perda No. 3 Tahun 2000 (studi kasus di Lapangan

Puputan Margarana Denpasar) tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk

mengetahui strategi pedagang kaki lima dalam menghadapi pelarangan dari

pemerintah (Perda). Penelitian dilakukan mengambil studi kasus di lapangan

Puputan Margarana Denpasar. Hasil penelitian ini menjelaskan mengenai strategi

pedagang kaki lima di lapangan Puputan terhadap Perda No. 3 Tahun 2000.

Adapun beberapa strategi yang dilakukan PKL adalah dengan melakukan


10

resistensi terbuka dan resistensi terselubung terhadap undang-undang tersebut.

Strategi resistensi terbuka antara lain:

a) Menghadapi langsung (melawan) petugas

b) Tetap berjualan di kawasan lapangan

c) Menolak relokasi

Strategi resistensi terselubung antara lain:

(a) Mengomel, menggerutu, dan membicarakan petugas

(b) Membawa lari barang dagangan dan meninggalkan pembeli yang

makan

(c) Menyembunyikan barang dagangan

(d) Pura-pura sebagai pengunjung biasa (jalan-jalan) saat petugas datang

(e) Mengumpet/kucing-kucingan dengan petugas

(f) Memberi uang sogok kepada petugas (menyuap dan bekerja sama

dengan petugas)

(g) Menebus barang dagangan yang telah disita

Penelitian serupa dilakukan oleh Winarso dan Budi (2008) dengan judul

Sektor Informal yang Teroganisasi: Menata Kota untuk Sektor Informal. Hasil

dari pembahasan penelitian ini bahwa menyediakan ruang untuk sektor informal

secara cuma-cuma tidak akan menyelesaikan masalah. Cara menata ruang dengan

hanya menyediakan ruang tanpa mengorganisasikan pelaku sektor informal sangat

tidak disarankan. Menata ruang kota untuk sektor informal sangat penting, namun

penataan ini harus pula diikuti dengan pengorganisasian pelaku sektor tersebut

untuk kemudian ditempatkan kedalam ruang-ruang yang disediakan. Namun


11

demikian yang juga sangat penting adalah menyediakan lapangan pekerjaan di

sektor formal. Pemerintah harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan formal

yang besar dan dapat menyerap kelebihan angkatan kerja.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Nilakusumawati (2009) dengan judul

Kajian Aktivitas Ekonomi Pelaku Sektor informal Di Kota Denpasar (Studi Kasus

Wanita Pedagang Canang Sari). Hasil penelitian dari 150 orang responden

penelitian mengenai alasan bekerja sebagai dagang canang sari, terlihat bahwa

86,0% (129 orang) responden menjawab karena keharusan bekerja untuk

membantu mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga. Secara keseluruhan

penelitian ini menjelaskan bahwa banyaknya proporsi perempuan yang bekerja

sebagai pekerja mandiri dengan dibantu anggota keluarga, menunjukkan bahwa

perempuan memiliki potensi untuk menciptakan lapangan kerja. Berdasarkan hasil

observasi di lapangan, sebagain besar pedagang canang cenderung berkonsentrasi

di pusat kota yang memiliki aktifitas ekonomi yang tinggi, dengan waktu kerja

siang maupun malam hari. Diperlukan penanganan dengan kebijakan yang

berkelanjutan dan memberikan akses lebih besar terhadap sumber permodalan

formal.

Penelitian dari Hasiholan (2010) dengan judul Strategi Penanganan

Pedagang Kaki Lima di Kota Administrasi Jakarta Utara. Maksud penelitian ini

adalah mencoba menawarkan sebuah rumusan strategi yang didasarkan pada

usaha untuk mensinergiskan beberapa pandangan dan preferensi para penilai

sebagai expert dalam penanganan PKL. Dengan menggunakan pendekatan

Analytical Hierarchy Process (AHP), rumusan strategi penanganan PKL


12

selanjutnya yang dijabarkan dalam pelaksanaan program-program dengan

memperhatikan kepentingan stakeholders dapat ditentukan berdasarkan skala

prioritas. Hasil yang diperoleh dari pendekatan AHP, antara lain : aspek sosial

menjadi aspek yang paling penting untuk dipertimbangkan dalam menangani PKL

di Kota Administrasi Jakarta Utara dengan nilai pembobotan sebesar 0,281 atau

28,1 persen, yang disusul oleh aspek ketertiban umum yang memiliki bobot 0,247

atau 24,7 persen, dan aspek ekonomi yang memiliki bobot 0,233 atau 23,3 persen.

Secara keseluruhan alternatif dengan prioritas tertinggi adalah penentuan lokasi

strategis tempat usaha bagi PKL, yang merupakan variabel dari aspek ekonomi,

dengan bobot prioritas sebesar 0,071 atau 7,1 persen.

Penelitian terakhir adalah dari desertasi Siswono yang berjudul Resistensi

Akomodasi: Suatu Kajian Tentang Hubungan-Hubungan Kekuasaan Pada

Pedagang Kaki-Lima (PKL), Preman dan Aparat di Depok, Jawa Barat. Beberapa

Temuan penelitian dapat dikemukan seperti sebagai berikut : Pertama, bahwa

trotoar dimaknai sebagai salah satu ruang publik yang peruntukannya diatur oleh

pemerintah kota melalui peraturan daerah (Perda). Pemberlakukan Perda selama

ini (sejak 2006), sering mengundang kontroversi dari masing-masing pihak yang

berkepentingan, terutama kalangan PKL. Kedua, proses negosiasi, dan akomodasi

yang dilakukan oleh masing-masing pihak tersebut demi melanggengkan

kepentingannya untuk menguasai trotoar untuk memperkuat penguasaan ruang

publik. Ketiga, tindakan resistensi, negosiasi dan akomodasi yang berkembang

dalam hubungan-hubungan kekuasaan antara PKL, preman dan aparat merupakan

konstelasi yang tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja, tetapi memerlukan
13

tindakan-tindakan yang arif, sehingga tidak terjadi tindakan-tindakan yang selama

ini cenderung mangarah tindak kekerasan.

2.2 Konsep

Pada bab ini diuraikan mengenai definisi operasional dari judul penelitian

yaitu:

2.2.1 Pedagang kaki lima

Pedagang kaki lima sebagai salah satu bentuk sektor informal diartikan

sebagai setiap orang yang melakukan kegiatan perdagangan, yang dilakukan

secara berpindah-pindah dengan modal terbatas serta berlokasi di tempat-tempat

umum dengan tidak mempunyai legalitas formal. Dimana kegiatan

perdagangannya dapat dilakukan secara berkelompok sesuai dengan kultur yang

dimiliki atau dilakukan secara individual ( Mustafa, 2008)

Wibowo (2003) menyatakan bahwa yang dimaksud PKL adalah mereka

yang ada di dalam menjalankan usaha mempergunakan bagian jalan/trotoar dan

tempat umum lainnya yang bukan diperuntukkan sebagai tempat usahanya serta

tempat lainnya yang bukan miliknya.

2.2.2 Ruang publik

Ruang publik adalah suatu tempat yang dapat menunjukkan perletakan

sebuah objek. Tempat ini dapat diakses secara fisik maupun visual oleh

masyarakat umum. Dengan demikian, ruang publik dapat berupa jalan, trotoar,

taman kota, lapangan, dan lain-lain (Hariyanto, 2007).


14

Dalam penelitian ini maka objek yang akan diteliti adalah pedagang kaki

lima yang berada di ruang publik secara ilegal, karena terbentur oleh Perda No. 3

Tahun 2000, terutama pasal 35 ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35 ayat (5):

(5) Dilarang melakukan kegiatan usaha pedagang kaki lima (K5)


menggunakan mobil, gerobak dorong, pemulung,becak dan kendaraan
roda tiga lainnya di jalan, emper, toko, pekarangan rumah, jalur hijau,
taman dan tempat-tempat umum lainnya.

2.2.3 Karakteristik

Kerakteristik dalam kamus lengkap psikologi karya Chaplin (2006)

dijelaskan bahwa karakteristik merupakan sinonim dari kata karakter, watak, sifat

yang memiliki pengertian diantaranya suatu kualitas atau sifat yang tetap terus-

menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang

pribadi, suatu objek, suatu kejadian, integrasi, atau sinteis dari sifat-sifat

individual dalam bentuk suatu intens atau kesatuan kepribadian. Namun dalam

penelitian ini yang dimaksud dengan karakteristik pedagang kaki lima adalah latar

belakang sosial, ekonomi, budaya dari para pedagang kaki lima tersebut.

2.2.4 Penanganan

Dalam penelitian ini konsep penanganan dibatasi hanya sampai pada

rekomendasi kebijakan dan program-progran sebagai alternative penangan

permasalahan pedagang kaki lima di ruang publik Kota Denpasar.


15

2.2.5 Kerangka berpikir

Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah

diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Dimana kerangka pemikiran ini merupakan penjelasan sementara terhadap gejala-gejala

yang menjadi obyek permasalahan. Kerangka berpikir dalam penelitian ini akan dijelaskan dalam diagram di bawah ini:

Management Kelola Konsep Metode Penelitian


Keruangan Sektor Informal di Kualitatif
Kota Denpasar (Studi kasus  PKL  Observasi
PKL)  PKL dan  Wawancara
 Kepentingan Ruang  Dokumentasi
Ekonomi Publik  Triangulasi Program
 Urbanisasi
Prematur
 Terbatasnya Analisis data Kebijakan
lapangan pekerjaan
lapangan: mencari,
di perkotaan
 Munculnya sektor mengumpulkan dan Program
Karakteristik
informal menganalisa data
 Keberadaan PKL PKL Kota
sekunder mengenai
yang melanggar Denpasar
sektor informal di
kebijakan
pemerintah daerah kota Denpasar Perencana Penataan
an Ruang Lingkungan
Analisis data di
Fisik
Identifikasi Permasalahan lapangan model
miles dan huberman
 Identifikasi
karakteristik sosial
Landasan Teori  Reduksi
– ekonomi- budaya
 Kebijakan Pemda
Data
 Keterbatasan ruang  Penyajian
 PKL &
Karakteristik
Data
 Lokasi &PKL  Kesimpulan
 Pasar dan PKL
 Konsep
Kebijakan &
Bentuk
Penanganan
PKL
16

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Karakteristik pedagang kaki lima

Karakteristik pedagang kaki lima sebagai bagian dari sektor informal

dapat dilihat melalui ciri-ciri secara umum yang dikemukakan oleh Kartono,dkk

(Mustafa,2008) bahwa pedagang kaki lima umumnya berperan sebagai pedagang

sekaligus produsen yang bermodal kecil dan volume perputaran barang kecil serta

biasanya bersifat family enterprise. Karakteristik berlokasinya ada yang menetap

dan berkeliling ke tempat-tempat keramaian. Jenis barang dagangan sebagian

besar berupa makanan dan minuman berkualitas relatif rendah tetapi tahan lama

secara eceran. Kartono juga menyebutkan secara psikologis PKL sering kali

berada dalam suasana tidak tenang, diliputi perasaan takut kalau tiba-tiba kegiatan

mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum (TIBUM) dan Satpol PP sebagai

aparat Pemda.

Secara khusus An-naf (Mustafa, 2008) mengemukakan krekteristiik

pedagang kaki lima sebagai berikut: Pertama PKL pada umumnya tergolong

angkatan kerja produktif dan mejadikan PKL sebagai mata pencaharian pokok.

Kedua tingkat pendidikan relatif rendah. Ketiga mereka mulai berdagang sejak

sekitar 5-10 tahun yang lalu, sebelum menjadi pedagang, mereka umumnya

bekerja sebagai petani dan buruh di daerah-daerah. Keempat permodalan mereka

umumnya sangat lewah, dan diusahakan sendiri karena tidak ada hubungan

dengan bank. Kelima umumnya mereka memperdagangkan bahan pangan,

sandang, dan kebutuhan sekunder. Keenam tingkat pendapatan mereka relatif

rendah untuk memenuhi kebutuhan hidup perkotaan. Ketujuh Pada hakikatnya


17

mereka telah terkena bajak dengan adanya retribusi maupun pungutan-pungutan

tidak resmi.

Menurut Mustafa (2008) beberapa kararakteristik khas pedagang kaki

lima yang perlu dikenali adalah sebagai berikut : Pertama, pola persebaran

pedagang kaki lima umumnya mendekati pusat keramaian dan tanpa izin

menduduki zona-zona yang mestinya menjadi milik publik (depriving public

space). Kedua, para pedagang kaki lima umumnya memiliki daya resisitensi sosial

yang sangat lentur terhadap berbagai tekanan dan kegiatan penertiban. Ketiga,

sebagai sebuah kegiatan usaha pedagang kaki lima umumnya memiliki

mekanisme involutif penyerapan tenaga kerja yang sangat longgar. Keemapat,

sebagian besar pedagang kaki lima adalah kaum migran, dan proses adaptasi serta

eksistensi mereka didukung oleh bentuk-bentuk hubungan patronase yang

didasarkan pada ikatan faktor kesamaan daerah asal (locality sentiment). Kelima,

para pedagang kaki lima rata-rata tidak memiliki ketrampilan dan keahlian

alternatif untuk mengembangkan kegiatan usaha baru di luar sektor informal kota.

Pada intinya hal tersebut diatas mencerminkan karakteristik dari pedagang

kaki lima secara umum. Inilah yang dijadikan dasar acuan untuk memasukkan

pedagang kaki lima kedalam sektor informal, dengan alasan karakteristik tersebut

merupakan bagian dari karakteristik sektor informal.

2.3.2 Pola aktivitas pedagang kaki lima

2.3.2.1 Lokasi dan waktu Pedagang Kaki Lima

Menurut August Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat

berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang digarapnya. Makin jauh dari pasar,
18

konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi

tempat penjualan (pasar) semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang

menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar.

Pandangan ini mengikuti pandangan Cristaller yang mengemukakan Central

Place Teory (Tarigan, dalam M. Yusuf, 2008).

Teori lokasi pendekatan pasar yang dikemukakan oleh Losch cenderung

menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar. Tapi perlu dicatat bahwa saat

ini banyak pemerintah kota yang melarang industri berada di dalam kota. Dalam

konteks pedagang kaki lima, teori pendekatan pasar ini masih relevan dikarenakan

pada umumnya pedagang makanan melakukan produksi (memasak) dilokasi

berjualannya.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Joedo (dalam Widjajanti, 2009)

menyatakan bahwa penentuan lokasi yang diminati oleh sektor informal atau

pedagang kaki lima adalah sebagai berikut; terdapat akumulasi orang –orang yang

melakukan kegiatan beramai dalam waktu yang relatif sama, sepanjang hari.

Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat kegiatan perekonomian kota

dan pusat non ekonomi perkotaaan, tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar.

Mempunyai kemudahan untuk terjadi hubungan antara pedagang kaki lima

dengan calon pembeli walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit. Tidak

memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum.

Mc. Gee dan Yeung (dalam Manning & Effendi, 2005) menyatakan bahwa

PKL beraglomerasi pada simpul-simpul pada jalur pejalan yang lebar dan tempat-

tempat yang sering dikunjungi orang dalam jumlah besar yang dekat dengan
19

ruang publik, terminal, daerah komersial. Pola PKL dalam berdagang

menyesuaikan irama dan ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Penentuan

periode waktu kegiatan PKL didasarkan juga pada kegiatan formal. Kegiatan

keduanya adalah cenderung sejalan, meskipun pada waktu tertentu kaitan aktifitas

antar keduanya lemah bahkan tidak ada hubungan langsung antara keduanya.

Hal serupa juga disampaikan Sudarmaji (2002) yang menyatakan bahwa

lokasi pedagang kaki lima menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap tempat

konsentrasi massa atau keramaian seperti pasar modern, pasar tradisional dan

mengikuti jalur pejalan kaki atau pusat keramaian. Hal ini sejalan dengan teori

lokasi yang disampaikan Losch bahwa makin jauh dari pasar, konsumen makin

enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat jualan (pasar)

makin mahal. Jarak lokasi dengan pasar dan pusat perbelanjaan menjadi sangat

penting untuk mengukur potensi suatu lokasi pedagang makanan kaki lima.

2.3.2.2 Jenis-jenis dagangan pedagang kaki lima

Pedagang kaki lima dalam menentukan jenis dagangan yang dijual pada

umumnya menyesuaikan dengan lingkungan di lokasi tempat pedagang kaki lima

tersebut berdagang. Hal ini sesuai dengan pendapat Mc. Gee dan Yeung (dalam

Manning & Effendi, 2005) yang menyatakan jenis dagangan pedagang kaki lima

sangat dipengaruhi oleh aktifitas yang ada di sekitar kawasan pedagang tersebut

beraktifitas. Contoh PKL yang berada di sekitaran lapangan Puputan Margarana

Renon karena merupakan tempat rekreasi dan olahraga bagi masyarakat umum,

maka jenis dagangan yang dieprjual belikan menyesuaikan dengan kebutuhan,

yaitu makanan dan minuman.


20

2.3.2.3 Sarana fisik pedagang kaki lima

Mc. Gee an Young (dalam Manning & Effendi, 2005) menyatakan pada

umumnya bentuk sarana dagang pada PKL di kota-kota Asia Tenggara sangat

sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah dan dibawa dari suatu tempat

ketempat yang lain.

Sarana fisik yang digunakan PKL menurut penelitian Winarso dan Budi

(2008) antara lain adalah; pikulan/ keranjang, bentuk sarana ini digunakan oleh

para pedagang yang keliling atau semi menetap. Beberapa PKL ada juga yang

menggunakan gelaran/ alas, alas yang digunakan berupa : kain, tikar, terpal,

kertas, dan sebagainya. Selain itu, ada juga yang menggunakan jongko/meja, baik

yang beratap maupun yang tidak beratap. Sarana ini biasanya digunakan oleh PKL

yang menetap. Tidak sedikit juga yang menggunakan gerobak/ kereta dorong, ada

juga yang beratap maupun tidak beratap, biasa digunakan oleh PKL baik yang

menetap maupun tidak menetap. Pada umumnya digunakan untuk menjajakan

makanan, minuman, dan rokok. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa

gerobak yang diatur berderet yang dilengkapi dengan bangku-bangku panjang.

Sarana ini menggunakan atap terpal atau plastik yang tidak tembus air. PKL

dengan sarana ini adalah PKL yang menetap dan biasanya berjualan makanan dan

minuman. Yang terkhir adalah pedagang yang memiliki kios , pedagang yang

menggunakan bentuk sarana ini dikatagorikan pedagang yang menetap, karena

secara fisik tidak bisa dipindahkan.


21

2.3.2.4 Pola penyebaran pedagang kaki lima

Pola penyebaran aktivitas PKL menurut McGee dan Yeung (dalam

Manning & Effeandi, 2005) ada 2, yaitu pola penyebaran memanjang (linier

concentration) dan pola penyebaran mengelompok (focus agglomeration).

Pola penyebaran memanjang (linier concentration) dipengaruhi oleh pola

jaringan jalan. Aktivitas jasa sektor informal (PKL) dengan pola penyebaran

memanjang terjadi di sepanjang atau pinggir jalan utama atau pada jalan-jalan

penghubungnya. Alasan para penjaja memilih lokasi tersebut adalah karena

aksesbilitas yang tinggi sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan

konsumen. Pola penyebaran mengelompok (focus aglomeration) banyak dijumpai

pada ruang-ruang terbuka, taman, lapangan dan sebagianya. Pola ini dipengaruhi

oleh pertimbangan faktor aglomerasi yaitu keinginan penjaja untuk melakukan

pemusatan atau pengelompokkan penjaja sejenis dengan sifat dan komoditas sama

untuk lebih menarik minat pembeli.

2.3.2.5 Pola pelayanan pedagang kaki lima

Pola pelayanan PKL erat kaitannya dengan sarana fisik yang digunakan

berdagang dan jenis usahanya. Menurut Hanarti (1999), pengelompokan aktivitas

perdagangan sektor informal berdasarkan pola pelayanan kegiatannya

dikategorikan atas fungsi pelayanan, golongan pengguna jasa, skala pelayanan

dan waktu pelayanan. Untuk lebih jelas terkait dengan pengkategorian tersebut

dapat diuraikan sebagai berikut.


22

a) Fungsi Pelayanan

Penetuan jenis fungsi pelayanan dari suatu aktivitas pedagang sektor

informal (PKL) dapat ditentukan dari dominasi kuantitatif jenis barang dan jasa

yang diperdagangkannya. Suatu lokasi aktivitas PKL dapat memiliki lebih dari

satu fungsi secara sekaligus. Peran dan fungsi yang dimiliki oleh aktivitas PKL

dalam kehidupan perkotaan secara umum dibagi menjadi tiga fungsi yang akan

diuraikan sebagai berikut:

1. Fungsi pelayanan perdagangan dan jasa

Aktivitas pedagang kaki lima merupakan bagian dari sistem

perdagangan kota khususnya dalam bidang pedagang eceran. PKL

dalam hal ini berfungsi memasarkan hasil produksi suatu barang dan

jasa dari produsen sampai ke konsumen akhir.

2. Fungsi pelayanan rekreasi

Aktivitas PKL memiliki fungsi sebagai hiburan yang bersifat rekreatif

yaitu hiburan sebagai selingan dari kesibukan dan rutinitas kegiatan

perkotaan. Fungsi rekreatif ini didapatkan dari suasana pelayanan yang

diberikan misalnya lokasi di alam terbuka dapat dipakai sebagai

tempat santai, ja lan- jalan cuci mata, dan sebagainya.

3. Fungsi pelayanan sosial ekonomi

Aktivitas PKL secara umum telah dikemukakan memiliki fungsi sosial

ekonomi yang sangat luas bila dikelola dengan baik. Aktivitas PKL

memiliki fungsi sosial ekonomi yang dilihat berdasarkan pandangan

masing-masing pelaku yang terlibat didalamnya.


23

b) Golongan pengguna jasa

Golongan pengguna jasa yang dilayani oleh aktivitas pedagang sektor

informal pada umumnya terdiri dari golongan pendapatan menengah ke bawah.

Hal ini dapat dilihat dari tarif harga aktivitas perdagangan tersebut yang relatif

rendah sehingga terjangkau bagi golongan pendapatan rendah sekalipun.

Golongan penduduk berpendapatan tinggi cenderung tidak pergi ke aktivitas

perdagangan tersebut.

Pertimbangannya adalah kualitas barang yang lebih rendah, kemungkinan

adanya penipuan dalam keaslian barang, dan sebagainya sehingga mereka lebih

memilih berbelanja di toko-toko atau supermaket walaupun tingkat harganya lebih

tinggi. Pertimbangan lainnya adalah faktor psikologis yaitu gaya hidup

masyarakat kota yang ingin menjaga `gengsi' sehingga mereka merasa lebih

percaya diri apabila berbelanja di tempat-tempat yang dapat dianggap sebagai

simbol status mereka. Walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka juga

berbelanja ke lokasi aktivitas pedagang sektor informal, tetapi hal ini hanya terjadi

sekali waktu jadi sifatnya insidentil sehingga masih terlihat jelas adanya

pembatasan bahwa pedagang sektor informal lebih diperuntukkan bagi golongan

pendapatan menengah ke bawah.

c) Skala pelayanan

Skala pelayanan suatu aktivitas PKL dapat diketahui dari asal pengguna

aktivitasnya. Besar kecilnya skala pelayanan tergantung dari jauh dekatnya asal

penggunanya. Semakin dekat asal penggunanya maka skala pelayanan semakin


24

kecil, sebaliknya semakin jauh asal penggunanya maka skala pelayanannya

semakin besar.

d) Waktu pelayanan

Pola aktivitas PKL menyesuaikan terhadap irama dari ciri kehidupan

masyarakat sehari hari. Penentuan periode waktu kegiatan PKL didasarkan pula

atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal atau kondisi yang ada. Terdapat juga

perbedaan pada setiap periode waktu pelayanan, baik dari segi jumlah PKL

maupun jumlah pengguna jasanya (McGee dan Yeung, dalam Manning & Effendi

, 2005).

Saat-saat teramai pada suatu waktu pelayanan dipengaruhi oleh orientasi

aktivitas jasa tersebut terhadap pusat-pusat kegiatan di sekitarnya. Saat-saat

teramai tersebut bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat pusat-pusat

perbelanjaan akan berbeda dengan saat-saat teramai di dekat kawasan rekreasi,

kawasan permukiman, kawasan perkantoran, dan sebagainya. Bagi aktivitas

pedagang sektor informal di dekat suatu kawasan perbelanjaan seperti pasar, maka

saat-saat teramai adalah pada waktu pagi hari sampai siang hari mengingat

kegiatan masyarakat pergi ke pasar cenderung dilakukan pada pagi sampai siang

hari. Demikian pula bagi aktivitas pedagang sektor informal di suatu kawasan

pusat kota maka saat-saat teramai adalah pada jam istirahat kantor dan

sebagainya. (Bromley dalam Manning dan Noer Effendi, 1996).

e) Sifat layanan

Berdasarkan sifat pelayanannya (McGee dan Yeung, dalam Manning dan

Effendi, 2005), pedagang sektor informal dibedakan atas pedagang menetap


25

(static), pedagang semi menetap (semi static), dan pedagang keliling (mobile).

Pengertian tentang ketiga sifat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Berdasarkan sifat pelayanannya (McGee dan Yeung, dalam Manning dan

Effendi, 2005), pedagang sektor informal dibedakan atas pedagang menetap

(static) adalah suatu bentuk layanan yang mempunyai cara atau sifat menetap

pada suatu lokasi tertentu, dalam hal ini setiap pembeli atau konsumen harus

datang sendiri ke tempat pedagang itu berada. Pedagang semi menetap (semi

static) merupakan suatu bentuk layanan pedagang yang mempunyai sifat menetap

yang sementara, yaitu hanya pada saat-saat tertentu saja dengan jangka waktu

lama (ada batas waktu tertentu), dalam hal ini dia akan menetap bila ada

kemungkinan datangnya pembeli yang cukup besar. Yang terakhir adalah

pedagang keliling (mobile) adalah suatu bentuk layanan pedagang yang dalam

melayani konsumennya mempunyai sifat untuk selalu berusaha mendatangi atau

"mengejar" konsumen dengan bergerak atau berpindah-pindah tempat. Biasanya

pedagang yang mempunyai sifat ini adalah pedagang yang mempunyai volume

dagangan yang kecil.

2.3.2.6 Perilaku Pedagang Kaki Lima sebagai pengguna ruang publik

Perilaku pedagang Kaki Lima (PKL) selalu saja menjadi masalah bagi

kota-kota yang sedang berkembang apalagi bagi kota-kota besar yang sudah

mempunyai predikat metropolitan. Kuatnya magnet bisnis kota-kota besar ini

mampu memindahkan penduduk dari desa berurbanisasi ke kota dalam rangka

beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil-kecilan.


26

Berdasarkan Absori et.al. dalam Kusumawijaya, (2006) pedagang kaki

lima memiliki dimensi kegiatan yang sangat kompleks, baik terkait dengan aspek

ekonomi, teknis, sosial, lingkungan maupun ketertiban umum. Beberapa aspek

tersebut antara lain; Pedagang kaki lima sering menggunakan public space

(tempat umum) secara permanen seperti trotoar, jalur lambat, badan jalan, bahu

jalan, lapangan dan sebagainya, selain itu pedagang kaki lima seringkali

mengganggu kelancaran lalu lintas, lahan yang dimanfaatkan oleh pedagang kaki

lima sering bertolak belakang dengan aturan peruntukan lahan perkotaan, masalah

limbah pedagang kaki lima sering mengganggu lingkungan dan kebersihan kota,

keberadaan pedagang kaki lima sering mengganggu ketertiban umum, terutama

pemakai jalan dan pemakai bangunan formal di sekitar pedagang kaki lima, serta

pedagang kaki lima sangat sulit ditata atau diatur.

2.3.2.7 Pola pengelolaan aktivitas PKL

Pengelolaan dan pembinaan aktivitas PKL telah diimplementasikan dalam

kebijakan-kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi eksisting dan karakteristik

masing-masing kota. Pengelolaan dan pembinaan aktivitas ini meliputi

pengelolaan lokasional.

Menurut McGee dan Yeung ( dalam Manning & Effendi, 2005), sektor

informal diharapkan menempati lokasi yang sesuai dengan rencana penataan dari

masing-masing kota. Kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah kota dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pemugaran atau relokasi


27

Tindakan dengan pemugaran suatu lokasi baik berupa pembangunan baru

dengan fungsi yang berbeda dari semula maupun berupa perbaikan dari kondisi

yang telah ada. Tindakan ini sebaiknya juga memperhatikan kepentingan dari

pihak PKL sendiri dengan tidak mengganggu perolehan atau hubungannya dengan

konsumen maka tindakan tersebut dapat diterima.

2. Stabilisasi atau pengaturan

Berupa penataan fisik atau penempatan lokasi PKL pada suatu lokasi.

Adapun beberapa alternatif tindakan yang dilakukan antara lain; Peruntukan

dalam ruang terbuka (open market), dimaksudkan untuk memudahkan pergerakan

konsumen dalam menggunakan jasa pelayanan PKL ini dan diharapkan tidak

mengganggu fungsi kota di lingkungan lokasi PKL. Pembebasan atau penutupan

jalan-jalan tertentu, dan menutup sirkulasi lalu lintas bagi pengguna kendaraan

bermotor yang hanya diperuntukkan bagi pergerakan pejalan kaki. Tindakan ini

biasanya bersifat temporer yaitu dilakukan dalam waktu-waktu tertentu saja.

Pemanfaatan bagian tertentu dari jalan atau trotoar, menempatkan PKL pada

jalan-jalan atau sebagian trotoar tertentu pada waktu tertentu yang sekiranya tidak

mengganggu aktivitas di sekitarnya. Setelah itu, PKL tersebut wajib

membersihkan ruang usahanya agar tidak mengganggu fungsi kota lainnya.

3. Pemindahan atau removal

Dengan cara memindahkan sektor informal ke satu lokasi yang ditentukan

berdasarkan penelitian dan kajian yang komprehensif sehingga memberi solusi

yang berkesinambungan.
28

4. Pengelolaan struktural

Pemerintah kota di kawasan Asia Tenggara berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh McGee dan Yeung (1977) lebih sering menerapkan pola

pengelolaan lokasional walaupun tidak selalu berhasil. Selain bentuk pengelolaan

lokasional, pemerintah kota mencoba pola pengelolaan struktural. Adapun yang

termasuk dalam pengelolaan struktural adalah perijinan, pembinaan, dan bantuan

atau pinjaman. Perijinan usaha kepada kelompok PKL didasari menurut jenis

barang atau jasa yang ditawarkan, waktu usaha dan lokasi tertentu. Perijinan bagi

aktivitas PKL dalam melakukan usahanya didasari atas pertimbangan

memudahkan dalam pengaturan, pengawasan dan pembatasan jumlah serta

membantu dalam penarikan retribusi. Pemberian surat ijin lokasi ini sudah

diterapkan di Malaysia, Singapura, Philipina dan Indonesia (McGee dan Yeung,

1977).

Tindakan pembinaan adalah tindakan pengendalian dengan pembinaan

terhadap kualitas pola pikir para pedagang dan pelaksanaan aktivitas PKL secara

keseluruhan karena diketahui pola pikir PKL sebagian besar masih memiliki

tingkat pendidikan relatif rendah dan sederhana untuk menelaah peraturan yang

ada sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang salah dan kurangnyaperhatian

mengenai visualisasi aktivitas secara keseluruhan. Bantuan atau pinjaman,

pemberian bantuan dan pinjaman seperti yang di Malaysia, dilakukan untuk

memberikan kesempatan pada PKL untuk berkembang dan meningkatkan

efisiensi bagi PKL yang telah ada. Pola ini berhubungan erat dengan pihak lain

seperti swasta, LSM dan lainnya. (McGee dan Yeung, 1977).


29

2.3.3 Kajian spasial

Lynch (1987), menyatakan dalam teorinya mengenai spatial rights, yaitu

suatu pemahaman mengenai kebebasan sekaligus pengendalian dalam

penggunaan ruang publik, terdiri dari beberapa aspek, diantaranya aspek dengan

atau tanpa tujuan apapun, dengan kesadaran bahwa kita tidak bisa dilarang

siapapun untuk berada di ruang publik tersebut. Aspek The right of use and

action, yaitu hak menggunakan ruang publik secara bebas tanpa perlu memikirkan

apakah tempat tersebut adalah tempat yang tepat untuk kegiatan tersebut, selama

kegiatan tersebut tidak mengganggu pengguna atau kelompok pengguna lainnya.

Aspek Appropriation, berkaitan dengan hak untuk membuat batas di ruang publik

dan kemudian menguasai tempat tersebut. Aspek The right of modification,

dimana seorang pengguna berhak melakukan perubahan terhadap ruang publik

sesuai dengan keputusannya, tetapi dengan pertimbangan bahwa itu dapat

menimbulkan kerusakan terhadap ruang tersebut dan bahwa orang lain pun

mempunyai hak terhadap ruang itu. Aspek The right of disposition, yaitu

kepemilikan oleh sekelompok orang terhadap suatu ruang publik secara

pengakuan dan bukan berdasarkan aspek legalitas.

Dari keterangan teori Lynch (1987) di atas, tidak semuanya dapat

diterapkan di Indonesia, sebab seluruh kota-kota di Indonesia mempunyai budaya

tersendiri dalam menggunakan ruang publik kota sebagai sarana berjualan (pasar

tradisional). Budaya Indonesia yang beragam membuat beberapa pasar

mempunyai ciri khas tersendiri dalam pemanfaatan ruang publik kota.


30

Ruang terbuka publik merupakan tempat bagi komunitas kehidupan sosial

suatu kota untuk memanifestasikan kegiatannya di ruang kota. Bagi pedagang

kaki lima bahkan merupakan tempat untuk menunjukkan identitasnya sebagai

salah satu penghuni kota yang membutuhkan wadah untuk kegiatannya.

Komunitas sosial akan selalu berusaha memanfaatkan ruang publik yang

sifatnya bebas tersebut semaksimal mungkin. Jika tidak ada pengendalian maka

ketertiban sosial akan terganggu. Di sinilah pemahaman teoritik dalam bab ini

berperan, yaitu untuk mengetahui aspek-aspek yang penting untuk dijadikan

pertimbangan bagi konsep penataan pedagang kaki lima di ruang publik dan bagi

bentuk pengendalian yang tetap menghargai kebebasan publik dalam

menggunakan ruang publik kota.

Beberapa aspek penting dalam penataan ruang publik untuk dapat

mengakomodasi kebutuhan pedagang kaki lima di ruang publik kota, yang dapat

diambil dari kajian teori di atas adalah aspek kebebasan dalam menggunakan

ruang publik, aspek kontrol dalam penggunaan ruang publik, aspek besaran ruang

yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan di ruang publik, aspek pedagang kaki

lima sebagai pendukung kegiatan di ruang publik.

Pembahasan diatas menunjukkan bahwa pedagang kaki lima juga

merupakan pengguna ruang publik. Penataan pedagang kaki lima di ruang publik

keberadaannya dapat diberi fungsi atau arti yang lebih, misalnya sebagai salah

satu perabot urban atau perabot ruang publik. Pedagang kaki lima merupakan

salah satu unsur ruang publik yang mempunyai kebutuhan untuk kegiatannya dan

harus dapat berintegrasi dengan unsur lainnya.


31

Ruang trotoar dan badan jalan yang dipakai oleh pedagang kaki lima untuk

berdagang yang mempunyai fungsi dan kegiatan yang berlangsung di dalamnya

dapat menciptakan ambiguitas atau multi identitas, Soja (2000). Dengan demikian

trotoar dan badan jalan yang dipergunakan pedagang untuk kegiatan sehari-hari

dapat dinyatakan sebagai ruang paradoks atau ruang hybrid. Oleh karena itu

trotoar dan badan jalan sudah seharusnya dianggap sebagai sebuah hasil ruang

yang beragam dengan tingkat keterbukaan yang tinggi, (Jhonston, 2000).

Menurut Stephen Carr dalam Darmawan (2009), ruang publik dapat

dibagi menjadi beberapa tipe dan karakter sebagai berikut :

1. Taman umum (public parks)

Berupa lapangan/taman di pusat kota dengan skala pelayanan yang beragam

sesuai dengan fungsinya. Bentuknya berupa zona ruang terbuka yang memiliki

empat macam tipe, yaitu Taman nasional (national parks), skala pelayanan

taman ini adalah tingkat nasional, lokasinya berada di pusat kota. Bentuknya

berupa zona ruang terbuka yang memiliki peran sangat penting dengan luasan

melebihi taman-taman kota yang lain, dengan kegiatan yang dilaksanakan

berskala nasional. Taman pusat kota (down town parks), taman ini berada di

kawasan pusat kota, berbentuk lapangan hijau yang dikelilingi pohon-pohon

peneduh atau berupa hutan kota dengan pola tradisional atau dapat pula

dengan desain pengembangan baru. Taman lingkungan (neighborhood parks),

ruang terbuka yang dikembangkan di lingkunagn perumahan untuk kegiatan

umum seperti tempat bermain anak-anak, olahraga dan bersantai bagi


32

masyarakat disekitarnya. Taman kecil (mini parks), taman kecil yang

dikelilingi oleh bangunan-bangunan.

2. Lapangan dan plaza (squares and plazas)

Merupakan bagian dari pengembangan sejarah ruang publik kota, plaza atau

lapangan, yang dikembangkan sebagai bagian dari perkantoran, atau bangunan

komersial. Dapat dibedakan menjadi lapangan pusat kota (central square) dan

plaza pengikat (corporate plaza).

3. Peringatan (memorial)

Ruang publik yang digunakan untuk rnemperingati memori atau kejadian,

penting bagi umat manusia atau masyarakat di tingkat lokal atau nasional.

Contohnya Tugu Pahlawan Surabaya.

4. Pasar (markets)

Ruang terbuka atau ruas jalan yang dipergunakan untuk transaksi biasanya

beridat temporer atau hari tertentu.

5. Jalan (streets)

Merupakan ruang terbuka sebagai prasarana transportasi. Tipe ini dapat

dibedakan menjadi pedestrian sisi jalan (pedestrian sidewalk), mal pedestrian

(pedestrian mall), mal transit (mall transit), jalur lambat (traffic restricted

streets) dan gang kecil kota (town trail).

6. Tempat bermain (playground)

Ruang publik yang berfungsi sebagai arena anak-anak yang dilengkapi dengan

sarana permainan, biasanya berlokasi di lingkungan perumahan dan dapat


33

dibedakan menjadi tempat bermain (playground) dan halaman sekolah

(schoolyard).

7. Ruang kom unitas (community open space)

Merupakan ruang kosong di lingkungan perumahan yang didesain dan

dikembangkan serta dikelola sendiri oleh masyarakat setempat.

8. Jalan hijau dan jalan taman (greenways and parkways)

Merupakan jalan pedestrian yang menghubungkan antara tempat rekreasi dan

ruang terbuka yang dipenuhi dengan taman dan penghijauan.

9. Atrium pasar dalam ruang (atrium inddor market place)

Atrium yaitu ruang dalam suatu bangunan yang berfungsi sebagai atrium,

berperan sebagai pengikat ruang-ruang disekitarnya yang sering digunakan

untuk kegiatan komersial dan merupakan pedestrian area. Pengelolaannya

ditangani oleh pemilik gedung atau pengembang/investor.

10. Pasar/pusat perbelanjaan di pusat kota (market place/downtown shopping

center)

11. Ruang di lingkungan rumah (found/neighborhood spaces)

Rang publik ini merupakan ruang terbuka yang mudah dicapai dari rumah,

seperti sisa kapling di sudut jalan atau tanah kosong yang belum dimanfaatkan

dan dapat dipakai sebagai tempat bermain bagi anak-anak atau tempat

komunikasi bagi orang dewasa atau orang tua.


34

12. Water front

Ruang ini berupa pelabuhan, pantai, bantaran sungai, bantaran danau atau

dermaga. Ruang terbuka ini berada di sepanjang rute aliran air di dalam kota

yang dikembangkan sebagai taman untuk water front.

Peranan ruang publik sebagai salah satu elemen kota dapat memberikan

karakter tersendiri, dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi

masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya. Menurut

Darmawan (2003), pentingnya fungsi ruang publik dalam perencanaan kota dapat

diuraikan sebagai berikut :

a. Sebagai pusat interaksi, komunikasi masyarakat baik formal maupun

informal.

b. Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor jalan, sebagai

ruang pengikat dilihat dari struktur kota, sekaligus sebagai pembagi ruang-

ruang fungsi bangunan serta ruang untuk transit bagi rnasyarakat yang

akan pindah ke arah tujuan lain.

c. Sebagai tempat pedagang kaki lima.

d. Sebagai paru-paru kota sekaligus sebagai tempat evakuasi apabila terjadi

bencana gempa dan lain sebagainya.

2.3.4 Konsep kebijakan dan bentuk penanganan terhadap sektor

informal/pedagang kaki lima

Kebijakan umumnya dianggap sebagai pedoman untuk bertindak atau

saluran untuk berpikir. Secara lebih khusus kebijakan adalah pedoman untuk
35

melaksanakan suatu tindakan. Kebijakan mencakup seluruh bidang (universe)

tempat tindakan akan dilakukan. (Steiner & Miner, 1997).

Dalam proses kebijakan itu sendiri, yang sering menjadi perhatian

masyarakat umum adalah mangenai implementasinya. Hal ini dikarenakan sering

menimbulkan respon yang tidak sesuai dengan saran kebijakan. Edwan (1980)

mengemukakan empat faktor atau variable yang mempengaruhi implementasi

kebijakan : komunikasi, sumber daya, disposisi/sikap, struktur birokrasi.

Simanjuntak (1986) mengelompokkan 4 pendekatan terhadap sektor

informal yaitu : pertama, mendorong sektor-sektor yang ada menjadi usaha

formal. Untuk itu diperlukan peningkatan atau perubahan lokasi dan bangunan

yang perlu sesuai dengan perencanaan tata kota. Kedua, meningkatkan

kemampuan dalam usaha sektor informal yang sama. Misalnya tukang sayur dapat

dilengkapi dengan gerobak yang lebih besar dan alat pendingin. Ketiga,

merelokasi pedagang kaki lima dengan menempatkannya dilokasi baru agar tidak

menimbulkan kerugian sosial. Yang terakhir adalah mengalihkan usaha yang

sama sekali tidak mempunyai prospek kebidang usaha lain.


36

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan abstraksi dan sistesis antara teori dan

permasalahan penelitan yang digambarkan dalam bentuk bagan. Seperti yang

tergambarkan di bagan dibawah ini:

Sosial Budaya Ekonomi Keruangan

Karakteristik PKL

Kebijakan dan
Aspirasi PKL Aspirasi PKL
Program

Kebijakan Pemda

Program Program Penataan


Pengelolaan Pembinaan Keruangan

Anda mungkin juga menyukai