Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

“FRAKTUR EPIFISIS”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Disusun oleh
Ishak Aldrin Sapari
2019086016445

Pembimbing
dr. Mervin Jakarimilena, Sp.OT
dr. Michael Jhon Tedjajuwana, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
PAPUA, JAYAPURA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui dan dipresentasikan dihadapan pembimbing, referat yang


berjudul “Fraktur Epifisis” sebagai salah satu syarat untuk memenuhi Tugas Akhir
Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) pada SMF Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum
Daerah Jayapura, pada:
Hari/Tanggal :
Tempat :

Mengesahkan Mengesahkan

dr. Mervin Jakarimilena, Sp.OT dr. Michael Jhon Tedjajuwana, Sp.OT


BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur Epifisis adalah fraktur pada anak-anak yang melibatkan lempeng


pertumbuhan. Karena lempeng pertumbuhan adalah suatu bagian tulang yang relatif
lemah, strain sendi yang dapat menyebabkan cedera ligamen pada orang dewasa
cenderung akibat terjadi pemisahan pada lempeng pertumbuhan saat mereka masih
anak-anak.

Fraktur biasanya berjalan melintang melalui lapisan hipertrofik atau lapisan


kapur pada lempeng pertumbuhan, sering masuk ke dalam metafisis pada salah satu
tepi dan mencakup bibir segitiga dari tulang. Hal ini tidak memberi banyak efek pada
pertumbuhan longitudinal, yang terjadi dalam lapisan germinal fisis dan lapisan fisis
yang bertumbuh. Tetapi kalau fraktur melintasi lapisan reproduksi maka dapat
berakibat penulangan prematur pada bagian yang mengalami cedera dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang. Klasifikasi yang paling banyak
digunakan adalah Salter dan Harris yang membedakan lima jenis fraktur.

Patah tulang piringan epifiseal menimbulkan permasalahan khusus dalam


hubungannya dengan diagnosa maupun perawatan, selain itu patah tulang ini
menimbulkan resiko komplikasi dengan gangguan serius pertumbuhan local dan
perkembangan pembentukan tulang selanjutnya selama masa pertumbuhan tulang
sehingga klasifikasi luka sangat berpengaruh dalam perawatan dan dapat sebagai
petunjuk komplikasi jangka panjang yang mungkin terjadi.

Maka dari itu penanganan patah tulang pada anak membutuhkan pertimbangan bahwa
anak masih tumbuh. Disamping itu kemampuan penyembuhan anak lebih cepat dan
karena itulah perpendekan serta perubahan bentuk akibat patah tulang lebih dapat
ditoleransi oleh anak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defini

Growth plate atau fisis adalah lempeng kartilago yang terletak di antar epifisis
(pusat penulangan sekunder) dan metafisis. Ini penting bagi pertumbuhan tulang
panjang agar terjadi. Bagian ini juga menjadi satu titik kelemahan dari semua struktur
tulang terhadap trauma mekanik. Fisis, secara histologik terdiri dari 4 lapisan, yaitu :

a. Resting zone: Lapisan teratas yang terdiri dari sel-sel germinal yang datar dan
merupakan tempan penyimpanan bahan-bahan metabolik yang akan digunakan
nantinya.

b. Proliferating zone: Sel-sel di area ini secara aktif bereplikasi dan tumbuh menjadi
lempeng. Sel-sel tersebut disebut seperi tumpukan lempeng. Pada area ini, sel-selnya
menggunakan bahan metabolik yang sebelumnya disimpan untuk perjalanan mereka
ke metafisis.

c. Hypertrophic zone: Sel-sel di area ini cenderung membengkak dan berubah


menjadi lebih katabolik. Sel mempersiapkan matriks untuk mengalami kalsifikasi dan
berubah menjadi tulang. Area ini menjadi letak terlemah secara mekanis.

d. Calcified zone: Secara metabolik, matriks menyebar untuk deposisi garam kalsium,
dan membentuk osteoid. Di daerah yang dekat metafisis, cabang-cabang pembuluh
darah kecil menjalar ke lapisan basal dari lempeng fisis.
Gambar 1. Bagian-bagian dari tulang immatur

Gambar 2. Gambaran histologi tulang

2.2. Anatomi dan Fisiologis

Tulang panjang pada anak-anak dapat dibagi menjadi empat bagian daerah
anatomi yang berbeda: epiphysis, physis, metaphysis dan diaphysis (Beaty, 2010).
Setiap bagian memiliki kerentanan yang berbeda terhadap pola-pola dari cedera, dan
kerentanan intrinsik cedera bervariasi oleh karena terdapat perubahan fisiologis dan
biomekanik selama perkembangan postnatal. Epi berarti pada {physis}. Epiphysis
mencakup seluruh tulang rawan pada ujung tulang panjang yang tidak termasuk
physis. Tulang rawan epiphysis bersandar pada physis dan berartikulasi dengan tulang
yang berdekatan . Saat lahir semua epiphysis, kecuali femur distal, hanya terdiri dari
tulang rawan dan oleh karena itu tidak terlihat pada alat Roentgen. Pada setiap tahap
pertumbuhan dan perkembangan tulang rawan epiphysis ini memiliki karakteristik
berbeda, pada proses pematangan tulang pusat sekunder pusat osifikasi sekunder
terbentuk dan secara bertahap akan melebar sampai daerah tulang rawan telah hampir
sepenuhnya digantikan oleh tulang sejati.

Physis adalah kata Yunani (phyein) yang berarti alam, atau untuk
menghasilkan . Lempeng pertumbuhan atau lempeng epiphysis atau physis, adalah
struktur penting dalam penambahan jaringan tulang melalui proses osifikasi
endokondral. Fungsi utama dari physis adalah untuk pertumbuhan longitudinal tulang
yang cepat dan terintegrasi. Cedera pada komponen ini unik untuk pasien dengan
tulang yang belum matang.

Meta berarti berdekatan dengan {physis}. Metaphyses menunjukkan ujung


batang dari tulang panjang yang melebar dan terdiri dari tulang endosteal, spons,
trabekular dikelilingi oleh tulang kortikal eksterior tipis, yang rentan hancur atau
patah tulang torus.

Diaphysis ini merupakan bagian utama atau batang dari setiap tulang
panjang . Dia berarti antara (physes). Secara prinsip diaphysis ini merupakan produk
dari periosteal, membran aposisi jaringan tulang pada model endokhondral asli.
Diaphysis adalah awal dan pusat osifikasi primer. Diaphysis terdiri dari tulang
matang, tulang lamelar dengan lapisan eksterior kortikal yang kuat. Bagian ini
melebar atau tumbuh secara melingkar akibat dari pertumbuhan dan perkembangan
periosteum, tetapi tidak tumbuh secara longitudinal atau memanjang.

2.2.1. Physis (Lempeng Pertumbuhan)

Physis adalah titik acuan dari tulang yang sedang tumbuh dan untuk
membedakan tulang yang belum matang dengan tulang matang, yang tidak memiliki
physis namun tetap memiliki nomenklatur anatomi lainnya. Physis adalah struktur
kompleks, dalam bentuk diskoid dan sering disebut sebagai lempeng pertumbuhan
epiphysis. Pada anak-anak dan remaja, lempeng epiphysis. dari tulang rawan hialin
memisahkan ruang sumsum epiphysis. dengan diaphysis. Pada sinar-X, lempeng ini
tampak sebagai garis transparan pada ujung tulang panjang. Lempeng epifisis adalah
zona dimana tulang memanjang melalui proses osifikasi endochondral. Pada orang
dewasa, lempeng epifisis menghilang dan tulang tida lagi tumbuh panjang, akan
tetapi garis epiphysis tetap ada yang digunakan sebagai penanda lokasi lempeng
epiphysis.
2.2.2. Anatomi

Lempeng pertumbuhan adalah tulang rawan berbentuk lempengan yang


terletak di antara epiphysis dan metaphysis. Sel-sel germinal melekat pada epiphysis
dan mendapat suplai darah dari pembuluh epiphysis. Pertumbuhan berulang sel-sel ini
menyediakan populasi sel untuk resting zone lempeng pertumbuhan. Sel anak lebih
lanjut akan berkembangbiak, mensekresi matriks tulang rawan, dan bertambah besar,
sehingga menghasilkan pertumbuhan. Matriks mengalami kalsifikasi. Pembuluh
metaphysis memasuki kolom sel, menghapus matriks, dan membentuk tulang sejati
pada matriks tulang rawan untuk membentuk tulang metaphysis. Tulang-tulang
panjang yang besar seperti, klavikula, humerus, radius, ulna, femur, tibia, dan fibula
memiliki physis di kedua ujungnya, sedangkan tulang tubular yang lebih kecil seperti,
metakarpal, metatarsal, dan falang biasanya hanya memiliki physis di salah satu ujung
saja.

2.2.3. Pembuluh Darah

Physis merupakan struktur avaskular. Pasokan darah dan nutrisi yang


diperoleh physis berasal dari tiga sumber independen yaitu, arteri epiphysis, arteri
metaphysis intramedulla , dan arteri periosteal dari sekeliling zona Ranvier (Peterson,
2007). Arteri epiphysis menembus epiphysis dan membentuk cabang-cabang yang
memberikan nutrisi untuk zona sel germinal (resting zone), proliferaitve zone, dan
columnar cell zone (hypertrophic cartilage zone). Dengan demikian pembuluh arteri
epiphysis bertanggung jawab dalam pertumbuhan longitudinal tulang. Pola pembuuh
darah epiphysis beserta epiphyphis mengalami perubahan sejalan dengan tulang yang
semakin matang. Pada epiphysis yang belum terosifikasi, kanal-kanal
vascularsebagian besar membentuk posisi sejajar dengan arah pemanjangan atau
longitudinal. Setelah perkembangan osifikasi sekunder terjadi, kanal-kanal vascular
ini akan membentuk posisi radial.
Arteri interosseous metaphyseal utama menembus metaphysis perifer dari
periosteum untuk membentuk loop yang menembus ke dalam ruang pembesaran pada
hypertrophic cartilage zone. Pembuluh metaphyseal memelihara sel-sel

osteoprogenitor yang menghasilkan tulang pada matriks tulang rawan. Dengan


demikian pembuluh darah metaphysis berpengaruh pada pertumbuhan panjang tulang
secara tidak langsung.

Suplai darah ketiga diperoleh dari cabang pembuluh darah periosteal yang
khusus melayani zona Ranvier, di mana sel-sel mesenchymal yang belum
terdiferensiasi nantinya dapat berkembang menjadi kondroblas.

2.2.4 Pertumbuhan Physis

Pertumbuhan pada physis terjadi oleh karena proses osifikasi endokondral,


dengan membagi kondrosit tulang rawan epifisis dalam beberapa zona. Kondrosit di
sisi epiphysis tulang rawan terus mengalami pembelahan dan membesar, sementara
tulang rawan di dekat diaphyis secara bertahap akan digantikan oleh tulang sejati.
Perluasan terus-menerus dari tulang rawan epiphysis memaksa epiphysis tumbuh
lebih jauh dari asalnya. Sebagai sel anak yang terus berkembang, mereka menjadi
membesar, akhirnya menghilang melalui akibat apoptosis dan matriks sekitarnya
akan terkalsifikasi. Kapiler dan sel-sel osteoprogenitor yang berasal dari periosteum
akan mengisi rongga-rongga yang ditinggalkan oleh kondrosit. Sebagian besar dari
rongga tersebut akan digabung dan menjadi rongga sumsum . Sel-sel osteoprogenitor
kemudian membentuk osteoblas, menetap di lapisan diskontinyu pada septa dari
kalsifikasi matriks tulang rawan. Osteoblas ini nantinya akan menghasilkan osteoid di
atas spikula dari kalsifikasi matriks tulang rawan dan membentuk anyaman tulang.
Tulang yang baru terbentuk disebut sebagai rangkaian trabekula. Karena nilai laju
antara proses proliferasi dan destuksi ini hampir, sehingga ketebalan lempeng
epiphysis tidak berkurang. Sebaliknya, proses tersebut terjadi jauh darivpusat
diaphysis, sehingga terjadilah pertumbuhan panjang tulang.
Mekanisme fisiologis yang mengatur atau mengendalikan pertumbuhan physis
ini belum diketahui dengan pasti. Namun, beberapa faktor diketahui mempengaruhi
pertumbuhan physis dan dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu, faktor sistemik atau
faktor umum, yang mempengaruhi sebagian besar atau semua pertumbuhan physis,
dan faktor lokal yang mempengaruhi hanya satu physis. Faktor sistemik termasuk
diantaranya adalah gen, hormon, gizi dan kesehatan umum. Faktor lokal atau
kekuatan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan physis seperti, suplai darah,
kekuatan mekanik fisiologis yang bekerja pada fisis, trauma dan infeksi.
Pertumbuhan physis juga dipengaruhi oleh tepat pengaturan dan kontrol biologis yang
kompleks seperti, kimia, metabolik, hormonal, nutrisi, dan faktor fisik. Banyak
hormon (seperti GH, hormon tiroid, estrogen, glukokortikoid, kalsitonin), vitamin
(vitamin D3, askorbat, asam retinoat), morphorgens (hedgehog India [ IHH ], BMP),
faktor pertumbuhan (IGFs , BMP, FGFs, hormon paratiroid peptida terkait [ PTHrP ],
PDGF, TGF - β, VEGF) dan protein pengikatnya (seperti, chordin, noggin), dan
sitokin (tumor necrosis factor- α, interleukin IL - 1, dan lain-lain) kini telah
ditunjukkan memiliki peran penting dalam mengatur berbagai proses osifikasi
endokhondral.

2.2.5. Penutupan Physis (lempeng pertumbuhan)

Pada saat tulang mencapai titik matangnya, laju dari produksi tulang rawan
epiphysis akan menurun sebaliknya laju aktivitas osteoblas akan meningkat.
Akibatnya, tulang rawan epiphysis akan semakin menipis sampai akhirnya
menghilang. Awal mulanya proliferasi kondrosit pada germinal zone dan
proliferating zone mengalami penurunan, dan kondrosit dalam Hypertrophic
cartilage zone tidak lagi membentuk kolom-kolom melainkan lebih condong akan
membentuk kelompok. Hypertrophic cartilage zone juga terjadi penurunan jumlah sel
vakuolisasi terutama yang ukurannya besar, sehingga physis menjadi semakin tipis.
Pembuluh darah yang berasal dari metaphysis kemudian masuk melewati physis
untuk mencapai pusat osifikasi sekunder. Tulang rawan physis yang semakin
menghilang nantinya akan digantikan dengan tulang sejati yang mendapat nutrisi dari
pembuluh kapiler sampai akhirnya metaphysis dan epiphysis menyatu. Proses dari
penutupan physis atau lempeng pertumbuhan secara primer dibawah pengaruh
esterogen baik pada laki-laki ataupun perempuan. Physis femoralis distal menutup
saat umur 14-16 tahun pada anak perempuan dan 16-18 tahun pada laki-laki.
Penutupan physis pada anak laki-laki telah tercatat terjadi hingga akhir usia 20 tahun.

2.2.6. Fraktur Physis

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang. Fraktur dapat berupa


akibat dari: cedera, stres yang berulang, atau melemahnya abnormal tulang (fraktur
'patologis'). Pada anak-anak lebih dari 10 persen dari patah tulang melibatkan cedera
pada lempeng pertumbuhan (physis). Karena physis merupakan bagian yang relatif
lemah dari tulang sehingga rentan cedera pada anak-anak. Strain sendi yang dapat
menyebabkan cedera ligamen pada orang dewasa, akan tetapi pada anak-anak hal
tersebut dapat mengakibatkan pemisahan physis.

2.3. Epidemiologi

Patah tulang physis merupakan 15-20 % dari semua patah tulang pada masa
anak-anak. Fraktur ini dapat terjadi pada kedua jenis kelamin baik laki-laki maupun
perempuan pada semua usia hingga menutupnya physis. Karena pada anak laki-laki
physis tetap tumbuh lebih lama, sehingga puncak khasusnya terlihat pada usia 14
tahun, sedangkan pada anak perempuan adalah usia 11-12 tahun. Pada tahun 1968 ,
Morscher mengumpulkan hasil dari 3 artikel antara tahun 1942 dan 1957, di mana
persentase anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan "trauma pemisahan
epifisis" berkisar antara 85% sampai 68% pada anak laki-laki sedangkan antara 15%
sampai 32 % pada anak perempuan (rasio 5,6 untuk 2.1:1). anak laki-laki akan selalu
melebihi jumlah anak perempuan karena lempeng pertumbuhan physis mereka tetap
terbuka lebih lama. Agresivitas anak laki-laki dan keinginan berpartisipasi dalam
kegiatan yang lebih beresiko terhadap terjadinya fraktur mungkin juga merupakan
faktor yang mempengaruhi angka kejadian, tetapi faktor ini akan sulit untuk diukur.
Penjumlahan seri yang mendokumentasikan perbandingan fraktur ekstremitas atas
dengan fraktur ekstremitas bawah menunjukkan bahwa 70 % terjadi pada ekstremitas
atas dan 30 % pada ekstremitas bawah (tidak termasuk patah tulang pada kerangka
aksial). Dari tahun 1900-1970 dari beberapa tempat atau lokasi fraktur physis tercatat
bahwa Radius distal adalah lokasi fraktur yang paling tersering (48%).

2.4. Mekanisme

Fraktur Epiphysis. epiphysis. biasanya akibat dari jatuh atau cedera traksi.
Terjadi paling sering saat kecelakaan di jalan dan selama kegiatan olahraga atau
bermain di taman.

2.5. Klaifikasi

Fraktur atau patah tulang adalah terputus atau hilangnya kontinuitas dari
struktur tulang “epiphyseal plate” serta “cartilage” (tulang rawan sendi). Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada
lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa
trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan
tulang klavikula atau radius distal patah. Akibat trauma pada tulang bergantung pada
jenis trauma, kekuatan dan arahnya.

Fraktur Salter-Harris atau growth plate fracture merupakan salah satu jenis
fraktur yang melibatkan lempeng epifisis atau plat pertumbuh. Growth plate adalah
area lunak kartilago dan akhir tulang panjang yang melebar. Pertumbuhan tulang
anak utamanya terjadi pada growth plate. Ketika anak telah sempurna
perkembangannya, maka area tersebut akan mengeras menjadi bagian yang solid.
Growth plate relatif lemah dan mudah rusak bila terbentur, jatuh, dan tertekan dengan
tekanan berlebih. Jenis fraktur ini adalah cedera umum yang ditemukan pada anak-
anak, terjadi 15% fraktur tulang panjang pada masa kanak-kanak.

Fraktur lempeng epifisis memiliki klasifikasi yang lebih spesifik dibanding


fraktur lainnya. Klasifikasi fraktur lempeng epifisis yang paling sering digunakan
adalah klasifikasi Salter dan Harris) dengan modifikasi Rang. Klasifikasi ini membagi
fraktur berdasarkan mekanisme fraktur dan hubungan garis patahan terhadap sel
tumbuh piringan epifisieal. yang membagi menjadi 6 jenis fraktur

a. Tipe 1 (Slipped / Separation)

Fraktur transversus pada zona hipertrofi atau kalsifikasi pada epiphysis. Fraktur
ini memanjang searah dengan lempeng epiphysis. Fraktur tipe ini menyebabkan
terpisahnya lempeng epiphysis dari metafisis. Fraktur tipe ini tidak menyebabkan
cedera yang serius pada lempeng epifisis dan tidak menganggu pertumbuhan. Fraktur
tipe ini sering terjadi pada anak dengan lempeng epifisis yang tebal seperti pada
neonates dan infant.

b. Tipe 2 (Above)

Menyerupai tipe 1 tapi ujung dari fraktur mengalami deviasi dari lempeng
epifisis dan mencapai metafisis. Pemisahan fragmen fraktur membentuk daerah
triangular pada metafisis. Fraktur ini paling sering terjadi, sekitar 74% dari seluruh
fraktur lempeng epifisis.

c. Tipe 3 (Lower)
Fraktur pada lempeng epifisis kemudian berbelok menjauhi lempeng epifisis
menuju area hipertrofi pada epifisis sehingga menyebabkan fraktur intraarticular.
Fraktur tipe 3 lebih jarang dibanding fraktur tipe 2, namun memiliki risiko sequelae
yang lebih tinggi yaitu posttraumatic arthritis dan gangguan pertumbuhan.

d. Tipe 4 (Through)

Sama seperti tipe 3, dimana fraktur menyebabkan gangguan pada lempeng


pertumbuhan tapi memanjang hingga mencapai epifisis dan metafisis dan permukaan
sendi. Fraktur ini dapat terjadi pergeseran dan gangguan pada lempeng epifisis
sehingga menyebabkan pertumbuhan asimetris tulang dan angulasi.

e. Tipe 5 (Raised)

Fraktur longitudinal kompresi pada lempeng epiphysis melalui mekanisme


abduksi, atau axial load. Fraktur tipe ini sulit terlihat pada pemeriksaan X-ray
sehingga sulit di diagnosis, namun lempeng epiphysis tertekan dan hancur sehingga
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan angulasi.

2.6. PATOFISIOLOGI

Gambaran histologis dari fisis sangat penting untuk memahami prognosis patah
physeal. Lapisan germinal tulang rawan berada diatas epiphisis dan menguraikan
nutrisi dari bejana epiphyseal. Sel tulang rawan tumbuh dari epiphysis menuju
metaphysis, yang kemudian terjadi degeneratif, fragmentasi dan mengalami
hipertrofi. Fragmentasi sel kemudian termineralisasi. Ini merupakan zona pengerasan
sementara yang membentuk pembatas metaphyseal, dan bukan tulang rawan.
Neovaskularisasi terjadi dari metaphysic menuju epiphysis. Sel endothelial berubah
menjadi osteoablast dan menggunakan puing-puing sel yang mengalami degeneratif
untuk membentuk tulang muda primer. Tulang muda ini secara progresif dibentuk
kembali menjadi tulang dewasa dan pembentukan ini kemudian menjadi tulang
harversian dewasa. Kerusakan baik pada saluran vascular epiphyseal maupun
metaphyseal menggangu pertumbuhan tulang, akan tetapi kerusakan lapisan tulang
rawan munkin tidak signifikan jika permukaannya tidak terganggu dan saluran
vascular ke tulang rawan tidak terganggu secara permanent. Jika kedua dasar vascular
saling bersentuhan, fisis tersebut tertutup dan tidak ada lagi pertumbuhan tulang
berikutnya yang terjadi. Daerah piringan epiphyseal merupakan bagian tulang rawan
yang mengeras, dan jika terjadi fraktur yang melibatkan piringan epiphyseal,
biasanya garis pemisah berjalan melintang melalui lapisan hipertrofik atau lapisan
kapur pada lempeng pertumbuhan, dan sering masuk kedalam metafisis pada salah
satu tepi dan mencakup bibir segitiga dari tulang. Ini tidak memberikan banyak efek
terhadap pertumbuhan longitudinal yang terjadi dalam lapisan germinal fisis dan
lapisan fisis yang sedang berkembang biak.

Tetapi kalau fraktur melintasi lapisan sel reproduksi pada lempeng dapat
mengakibatkan penulangan premature pada bagian yang mengalami cidera dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang. Selain itu suplai darah piringan
epiphyseal yang masuk dari permukaan epiphyseal dapat kehilangan pasokan
darahnya sehingga dapat mengakibatkan piringan tersebut menjadi nekrotis dan tidak
tumbuh lagi. Pada beberapa tempat suplai darah pada epiphyseal tidak rusak pada saat
terjadi luka karena pada epiphyseal femoral proximal dan epiphyseal radial proximal
pembuluh darah mengalir melalui leher tulang dan memotong sekeliling epiphyseal.
2.7. GAMBARAN KLINIK

Fraktur ini lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada anak perempuan
dan biasanya ditemukan pada masa bayi atau diantara usia 10 -12 tahun. Defomitas
biasanya sedikit sekali, tetapi setiap cedera pada anak yang diikuti dengan rasa nyeri
dan nyeri tekan di dekat sendi harus dicurigai, dan pemeriksaan dengan sinar X
penting dilakukan.

Sinar X fisis sendiri bersifat radiolusen dan penulangn epipisis mungkin


belum lengkap, ini membuat sulit mengatakan apakah ujung tulang telah rusak atau
mengalami deformasi. Lebih muda si anak lebih kecil bagian epifisis yang kelihatan
sehingga lebih sukar menegakkan diagnosis maka perbandingan dengan sisi yang
normal dapat sangat membantu. Tanda-tanda yang memberi petunjuk adalah
pelebaran dari celah fisis , ketidak sesuaian sendi atau miringnya poros epiphysis.
Kalau terdapat pergeseran yang nyata diagnosinya jelas, tapi fraktur tipe IV sekalipun
mula-mula dapat sedikit pergeserannya sehingga garis fraktur sulit dilihat dan kalau
terdapat kecurigaan yang sedikitpun mengenai adanya fraktur fisis, pemeriksaan
ulang sinar X setelah 4 atau 5 hari perlu dilakukan.

2.8. TATALAKSANA

Fraktur yang tidak bergeser dapat diterapi dengan membebat bagian itu dalam
gips atau suatu slab gips yang ketat selama 2-4 minggu (tergantung tempat cedera dan
anak umur itu). Tetapi pada fraktur tipe 3 dan tipe 4 yang tak bergeser, pemeriksaan
sinar X setelah 4 hari dan sekali lagi sekitar 10 hari kemudian wajib dilakukan agar
pergeseran yang terjadi belakangan tidak terlewatkan. Pada tipe I reduksi tertutup
tidak sulit karena perlekatan periosteal utuh disekitar lingkarannya dan kemudian
dibebat dengan erat selama 5-6 minggu. Prognosis untuk masa yang akan datang
sangat dipengaruhi oleh suplai darah pada epiphysis, dimana biasanya pada tempat
selain epiphysis femoral proximal dan epiphysis radial proximal.
Pada tipe II reduksi tertutup relatif mudah didapatkan begitu juga dengan
perawatannya karena engsel periosteal utuh dan potongan metaphysis terlindung
selama reduksi. Prognosis selama perkembangan yang sempurna dengan suplai darah
pada epiphisis adalah baik, yang hampir selalu berada pada tempat dimana fraktur
type II terjadi.

Penanganan pada tipe III membutuhkan reduksi anatomis yang sempurna.


Dapat dilakukan usaha untuk mencapai hasil ini dengan manipulasi secara pelan-
pelan dibawah anestesi umum, kalau ini berhasil tungkai ditahan dengan gips selama
4-8 minggu. Kalau tidak dapat direduksi dengan tepat dengan manipulasi tertutup,
reduksi terbuka biasanya dibutuhkan segera untuk mengembalikan permukaan
sambungan normal yang sempurna. Tungkai kemudian dibebat selama 4-6 minggu,
tetapi diperlukan waktu selama itu lagi sebelum anak siap untuk melanjutkan aktivitas
tanpa batasan. Prognosis untuk pertumbuhan adalah suplai darah yang baik yang
diberikan pada bagian epiphysis yang terpisah.

Penanganan tipe IV yaitu reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan kawat
Kirschner diperlukan dimana tidak hanya untuk mengembalikan permukaan
sambungan normal tetapi juga untuk mendapatkan pengembalian posisi piringan
epiphyseal, kecuali jika permukaan patah piringan epiphyseal dibiarkan tereduksi
maka penyembuhan patahan tulang terjadi sepanjang piringan tersebut dan
selanjutnya memberikan pertumbuhan longitudinal yang tidak mungkin. Prognosis
untuk pertumbuhan pada tipe IV ini jelek kecuali jika reduksi sempurna dicapai dan
terjaga.

Karena epiphysis tersebut biasanya tidak tergeser, diagnosis fraktur tipe V


sulit untuk dilakukan. Beban ringan harus diabaikan paling tidak tiga minggu dengan
harapan untuk menjaga tekanan selanjutnya pada epiphyseal. Prognosis fraktur tipe V
kurang diperhatikan karena gangguan pertumbuhan hampir tidak terlihat.

Dari penanganan diatas dapat dikatakan bahwa luka yang melibatkan piringan
epiphyseal harus dirawat dengan hati-hati dan secepatnya. Fraktur tipe I dan II hampir
dapat selalu dirawat dengan reduksi tertutup. Fraktur tipe III biasanya membutuhkan
reduksi terbuka dan tipe IV selalu membutuhkan reduksi terbuka dan fiksasi internal.
Periode immobilisasi yang dibutuhkan pada fraktur tipe I, II, dan III hanya setengah
dari yang dibutuhkan untuk patah tulang mataphysis pada tulang yang sama pada
anak dengan usia yang sama. Selanjutnya perlu diteliti secara klinis dan radiologi
dengan cemat dalam interval yang teratur paling tidak satu tahun dan kadang lebih
untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan.

2.9. Komplikasi
Shalter-harris tipe I dan II, jika ditangani dengan baik memiliki prognosis

yang sangat baik dan pertumbuhan tulang tidak akan terpengaruh. Aturan tersebut

berlaku dengan peengecualian untuk cedera di sekitar lutut yang melibatkan femoralis

distal atau physis proksimal tibia, kedua lempeng pertumbuhan pada daerah ini

memiliki bentuk yang bergelombang, baik pertumbuhan piring yang bergelombang

dalam bentuk, Sehingga fraktur transversal lempeng pertumbuhan sebenarnya

melewati lebih dari sekedar hypertrophic zone tetapi juga merusak proliferative zone.

Komplikasi seperti malunion atau non-union juga dapat terjadi jika diagnosis tidak

terjawab dan fraktur tetap unreduced (misalnya pemisahan fraktur epikondilus humeri

medial). Tipe III dan IV luka-luka dapat menyebabkan bagian dari lempeng

pertumbuhan mengalami fusi prematur atau pertumbuhan asimetris pada ujung

tulangnya. Shalter-harris Tipe V dapat menyebabkan fusi prematur dan retardasi

pertumbuhan.

2.10. PROGNOSIS
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam memperkirakan prognosis
fraktur piringan epiphyseal pada anak antara lain:

1. Tipe fraktur.
Prognosis untuk masing-masing dari kelima tipe klasifikasi fraktur piringan epifiseal
telah dibahas diatas.

2. Usia anak.
Anak dengan usia yang lebih muda pada saat mengalami fraktur akan mempunyai
gangguan pertumbuhan yang lebih besar.

3. Suplai darah pada epiphysis


Gangguan suplai darah pada epiphysis berhubungan dengan prognosis jelek.

4. Metode Reduksi
Manipulasi yang sangat besar pada epiphysis yang tergeser dapat merusakan piringan
epiphyseal tersebut dan oleh karenanya dapat meningkatkan gangguan pertumbuhan.

5. Luka terbuka atau tertutup


Fraktur piringan epiphyseal terbuka dapat mengakibatkan infeksi yang pada akhirnya
akan merusak piringan tersebut dan mengakibatkan berhentinya proses pertumbuhan
sebelum waktunya.
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

1. Salter Haris merupakan jenis patah tulang yang sering terjadi pada anak-anak yaitu
patah tulang yang melibatkan cedera piringan epiphyseal.

2. Fraktur piringan epiphyseal Salter Haris berdasarkan pada mekanisme fraktur dan
juga hubungan garis patahan terhadap sel tumbuh piringan epiphyseal
diklasifikasikan dalam 5 type.

3. Penanganan tipe I dan II dengan reduksi tertutup, tipe III dengan reduksi terbuka
dan tipe IV dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal.

4. Tipe V diagnosanya sulit ditegakkan karena epiphisis biasanya tidak bergeser.


Penanganannya dengan mengurangi tekanan paling tidak selama tiga minggu.

5. Prognosis fraktur piringan epiphyseal pada anak tergantung pada tipe fraktur, usia,
suplai darah pada epiphysis, metode reduksi, dan luka terbuka atau tertutup.
Daftar Pustaka

1.Rasjad C,prof.MD.PhD.Fraktur Epifisis dalam Pengantar Ilmu Bedah. Edisi


Ketiga.Cetakan Kelima.Yarsif Watampone,Jakarta.2007.Hal: 6-13,374

2. Spivak JM,MD,Cesare PE,Md dkk.Upper Extremity in Orthopaedics A study


Guide. International Edition. McGraw Hill. New York.1999 Page :435-447

3. Salter RB.Epiphyseal growth in Textbook of disorders and injury of the


musculoskeletal system.Third Edition . Lippincott Williams & wilkins.Philadelphia
2003.Page 7-14

4. Tornetta III,MD,Einhorn,MD.The Physis in orthopaedics Surgery Essential


Pediatrics.Lippncott Williams & wilkins.USA.2004.page:327-32

5. Brinker Mark,MD. General Principles of paediatrics trauma in ortopaedic


trauma.WB saunders Company.USA.2001 Page:393-40

6. Aitken A.P, Magill K.Fracturs involving The distal Femoral epiphyseal


Cartilage,The Journal of bone&Joint surgery.2007.page 96-100

Anda mungkin juga menyukai