Anda di halaman 1dari 4

KASUS POSISI 1

Kasus pedofilia bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, ada banyak
kasus pedofilia yang sempat menghebohkan Indonesia. Kekerasan seksual khususnya
pedofilia terhadap anak semakin meningkat secara signifikan yang mengancam dan
membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta
mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Beberapa di antaranya bahkan dilakukan oleh warga negara asing. Dalam diagnosa
medis, pedofilia sendiri dapat didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang
dewasa yang menjadikan anak-anak sebagai objek seksual mereka.

Terdapat sejumlah kasus yang mendapatkan sorotan publik. Salah satunya yang mencuat
yaitu penangkapan yang dilakukan oleh Satuan Reserse Kriminal Unit V Pelayanan
Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Tangerang Kota terhadap tersangka Udin alias
Babeh pada 20 Desember 2017. Pelaku ditangkap di kediamannya karena dituduh
melakukan aksi sodomi terhadap 41 orang anak laki-laki di Kampung Sakem, Desa
Tamiang, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang. Udin alias Babeh merupakan
seorang guru honorer dan mengaku melakukan pelecehan seksual karena telah lama
ditinggal istrinya yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita di Malaysia.

Atas kejahatan ini Babeh pun diproses secara hukum dan sedang menjalani proses
persidangan di Pengadilan Negeri Tanggerang dengan tuntutan melangar ketentuan Pasal
76D dan Pasal 81 ayat (5), ayat (7) dan ayat (8) UU No. 17 Tahun 2016 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-
Undang (UU Perlindungan Anak). Selain ancaman pidana penjara, Babeh juga diancam
agar dikebiri kimia.

Mengetahui dirinya dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan ancaman kebiri kimia,
Babeh dibantu oleh Lembaga Bantuan Hukum Pelangi mengajukan permohonan
pengujian atas UU Perlindungan Anak

Babeh menganggap bahwa metode hukuman berupa kebiri kimiawi sebagai bentuk
penyiksaan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat
manusia. Kebiri juga akan merusak dan menganggu fungsi organ tubuh lain, seperti otot
yang mengecil, tulang yang keropos, sel darah merah berkurang, dan fungsi kognitif
terganggu. Dengan kata lain, menurutnya kebiri justru akan melanggar hak asasi manusia
karena merusak fungsi organ tubuh lain.

Penetapan hukuman kebiri juga dianggap bertentangan dengan komitmen Indonesia


untuk melindungi warga negara untuk bebas dari ancaman dari segala bentuk penyiksaan
dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Larangan ini tercantum dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, Konvensi Anti Penyiksaan,
dan Konvensi Hak Anak yang keseluruhan instrumen ini telah diratifikasi oleh
Pemerintah Infonesia. Hal ini juga bertentangan dengan hak konstitusi warga negara,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa hak
untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Permasalahan: Apakah Pasal 76D dan Pasal 81 ayat (5), ayat (7), dan ayat (8) UU
Perlindungan Anak bertentangan dengan Pasal 28G ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD
NRI 1945?
Kasus Posisi 2
Jestin merupakan seorang karyawan di divisi hukum perusahaan bernama PT.
Tarumabakti Utama yang berkantor di Grogol. Jestin mendapat upah dari PT.
Tarumabakti Utama setiap bulan sebanyak Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah). Upah
tersebut di atas, Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp. 3.600.000,- (tiga juta
enam ratus ribu rupiah). Saat ini Jestin tinggal bersama istri dan dua orang anaknya yang
berumur 5 tahun dan 2 tahun. Istrinya merupakan ibu rumah tangga yang sehari-hari
mengurus rumah tangga. Jestin dan keluarga kecilnya menyewa rumah di sekitar
tempatnya bekerja di Grogol. Kehidupan Jestin cukup sederhana karena penghasilannya
pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa bisa menambung.
Bahkan seringkali dia harus meminjam uang ke keluarga atau teman-temannya untuk
menutupi kekurangan untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Pada tanggal 27 Februari 2017, Jestin yang juga pengurus serikat pekerja di
perusahaannya mendapat undangan sosialisasi dari Direktorat Jenderal Penyediaan
Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengenai Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Di
dalam sosialisasi tersebut disampaikan oleh pihak narasumber bahwa dalam UU Tapera
diatur mengenai kewajiban setiap pekerja dan pemberi kerja untuk menjadi peserta
tabungan perumahan rakyat (Tapera). Dalam sosialisasi tersebut, Jestin membaca
beberapa Pasal yang dipresentasikan oleh narasumber. Dua Pasal yang tak luput dari
perhatian Jestin, yaitu:

· Pasal 7: (1) Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit
sebesar upah minimum wajib menjadi Peserta. (2) Pekerja Mandiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berpenghasilan dibawah upah minimum dapat menjadi
Peserta.

Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berusia paling rendah 20
(dua puluh) tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.

· Pasal 17: (1) Simpanan Tapera dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja. (2) Ketentuan
mengenai besaran Simpanan Tapera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Sebagai seorang staf divisi hukum, nalar kritis Jestin pun bekerja mengaitkan kewajiban
negara atas hak tempat tinggal. Bagi Jestin kewajiban kepesertaan Tapera dengan
pengenaan simpanan sangat memberatkan bagi dirinya. Walaupun belum diketahui
besarannya, namun dengan keadaan ekonominya yang cukup prihatin maka sulit baginya
untuk menjadi peserta Tapera. Jestin pun menganggap bahwa UU Tapera dapat
bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 mengenai hak untuk
mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin serta bertempat tinggal. Hak konstitusional ini
menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya, dan bukan menjadi kewajiban
pekerja dan pemberi kerja yang harus membayar Tapera untuk mendapatkan tempat
tinggal. Bagi Jestin, negara harus hadir dalam hal pemenuhan kebutuhan akan peruhaman
bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) tanpa melalui Tapera.
Berdasarkan hal di atas, Jestin pun mengajukan pengujian Pasal 7 dan Pasal 17 terhadap
Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi.

Permasalahan:

Apakah Pasal 7 dan Pasal 17 UU Tapera bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD
NRI 1945?

Anda mungkin juga menyukai