Anda di halaman 1dari 40

ASPEK ETIK PENELITIAN KESEHATAN

IDA SRIISWARI

RSUP SANGLAH, DENPASAR-BALI


KEMENENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II PANDUAN ETIK PENELITIAN KESEHATAN 3

BAB III PRINSIP UMUM ETIK PENELITIAN 14

BAB IV ETIKA PENELITIAN KESEHATAN 22

4.1 Etikapenelitian 22

4.2 Penerapanetikapenelitiankedokteran 23

4.3 Panitiaetikapenelitiankedokteran 24

BAB V KelayakanEtik (Ethical clearance) 25

BAB VI Informed Consent 31

DAFTAR PUSTAKA 36

i
1

BAB I

PENDAHULUAN

Norma-norma etika kedokteran sebenarnya telah dipakai sejak adanya

orang di dalam masyarakat yang mempunyai tugas untuk mengobati orang sakit.

Meskipun tidak tertulis, norma-norma tersebut menggariskan bagaimana orang

yang mengobati harus bersikap terhadap orang yang diobati.

Kemajuan teknologi kedokteran terjadi dengan pesat sejak pertengahan

abad ke-18, terutama dengan penemuan baru seperti oleh Pasteur dan Koch

dalam etiologi penyakit, penemuan Roentgent dalam aspek diagnostic, dan

lain- lain. Teknologi kedokteran menjadi lebih maju lagi selama dan sesudah

Perang Dunia II dengan penemuan obat-obat baru.Keberhasilanpencangkokan alat-

alat tubuh manusia dengan alat-alat buatan atau dengan organ donor atau dengan

tubuh hewan merupakan tonggak kemajuan teknologi kedokteran yang amat

penting (Oemijati, S. dkk, 2010).

Pada saat ini, dengan manipulasi genetic, manusia seolah dapat

membuat manusia yang diinginkan dengan teknik cloning tang

kontroversial.Penemuan-penemuan tersebut menyebabkan manusia dapat

mengalahkan maut, dan merasa mempunyai kekuasaan seperti Tuhan (Oemijati, S.

dkk, 2010).
2

Orang-orang merasa bahwa jika cukup tersedia uang untuk percobaan-

percobaan, orang dapat hidup abadi, sehingga hidup seolah dapat dibeli. Bila

dana untuk penelitian mengalir deras, dan berbagai penemuan terjadi pula

spesialisasi sehingga tidak jarang manusia hanya ditinjau sebagai sekumpulan

organ yang akan menyebabkan makin kaburnya hubungan jiwa antara dokter

dengan pasien. Hal ini akan mempermudah timbulnya berbagai

penyimpangan dari etika yang mungkin terjadi dengan tidak disengaja

(Oemijati, S. dkk, 2010).


3

BAB II

PANDUAN ETIK PENELITIAN KESEHATAN

Panduan Etik Penelitian harus dapat diterima dan diyakini kebenaran dan

keabsahannya untuk dijadikan pegangan peneliti kesehatan.Panduan Etik Penelitian

Kesehatan telah disusun oleh World Medical Ascociation (WMA) dan Council for

International Organization of Medical Studies (CIOMS) berkoordinasi dengan World

Helth Organization (WHO).Panduan etik dijadikan rujukan dan diberlakukan

diseluruh Negara.

Panduan Etik Penelitian Kesehatan merupakan acuan bagi komisi etik atau

pihak yang diberi kewenangan untuk menilai penelitian kesehatan apakah layak etik

atau tidak.Panduan Etik Penelitian Kesehatan umumnya disebut dengan Panduan

etik.Peneliti dituntut untuk selalu melakukan pertimbangan dan keputusan etik.

Panduan etik disusun berdasarkan :

a. Kode Nuremberg

b. Deklarasi Helsinski

c. Panduan CIOMS

d. Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia

e. Panduan Untuk Penelitian Epidemiologik

f. Panduan Etik Penelitian Kesehatan Menggunakan Hewan Coba


4

g. Operational Gusidelines for Ethics Commitees that Review Biomedical

Research (WHO 2000)

h. Panduan Etik Penelitian Kesehatan di Indonesia

A. KODE NUREMBERG

Kode Nuremberg merupakan referensi internasional pertamauntuk

mengembangkan etik penelitian kesehatan, diputuskan di Kota Nuremberg

padatahun 1947. Kode Nuremberg disusun untuk melindungi integritas subjek

penelitian, menentukan persyaratan persyaratan untuk melaksanakan penelitian

kesehatan secara etis dengan penekanan pada persetujuan secara sukarela (voluntary

consent) oleh subjek penelitian. Kutipan Kode Nuremberg ada pada lampiran 1

Kode Nuremberg merupakan landasan yang kuat untuk karakteristik

kelayakan etik suatu penelitian kesehatan dengan subjek manusia, terdiri dari :

1. Keikutertaan subjek dalam penelitian harus berdasarkan perseujuan sukarela,

setelah mendapatkan penjelasan tentang penelitian yang akan dilaksanakan.

Secara operasional pelaksanaan kode ini dikenal luas sebagai “persetujuan

setelah penjelasan” (PSP) yang dikenal dengan informed consent (kode 1).

Subjek setaip saat dapat menghentikan keikutsertaannya dalam penelitian

(kode 9).

2. Penelitian harus bermanfaat bagi masyarakat banyak (kode 2).

3. Penelitian harus mempunyai landasann ilmiah yang kokoh, sehingga hasil

yang diharapkan diyakini dan dapat tercapai (kode 3).


5

4. Risiko yang harus dihadapi subjek harus wajar dan manusiawi untuk

dihadapi (kode 4,5,6,7, dan 10).

5. Penelitian harus dilaksanakan oleh yang ahli di bidangnya (kode 8).

B. DEKLARASI HELSINSKI

Deklarasi Helsinskimerupakan dokumen utama yang fundamental di bidang

etik penelitian kesehatan. Deklarasi ini disepakati oleh World Medical Association

(WMA) di kota Helsinki tahun 1964, dengan nama “Ehtical Principles for Medical

Research Involving Human Subjects”. Deklarasi Helsinski memberikan pedoman

kepada dokter yang melakukan penelitian kesehatan klinik dan non klinik.

Deklarasi Helsinki telah 8 kali mengalami tambahan amandemen.Amandemen

terakhir ditambahkan di Kongres WMA di Seoul, Korea pada tahun 2008 bulan

oktober.Deklarasi Helsinki sesuai dengan amandemen terakhir di Seoul terdiri dari

39 paragraf dapat dilihat secara lengkap pada lampiran 2.

Deklarasi Helsinki mengadopsi dan mengelaborasi Panduan Etik yang

tercakup dalam Kode Nuremberg. Contohnya dalam merekrut subjek yang

dependen, termasuk pasien yang tergantung pada dokternya, pasien dengan risiko

khusus atau tidak mampu memberikan persetujuan, lebih dipertegas panduannya.

Beberapa dimensi baru untuk dicermati dan dibuatkan pedoman antara lain berupa :

- Hak subjek untuk memanfaatkan hasil penelitian setelah penelitian setelah

penelitian selesai dilaksanakan (paragraph 33)


6

- Diperkenalkannya formulasi “beban” (burden – sesuatu yang direncanakan

akan dijalani/ ditanggung oleh semua subjek) disamping risiko (yang

mungkin dapat terjadi), yang juga harus dipertimbangkan dalam menilai

kelayakan etik penelitian (paragraph 8 dan 18)

- Keterlibatan dokter yang merawat pasien sebagai peneliti, pada penelitian

yang mendayagunakan pasien sebagai subjek penelitian (paragraph 31).

- Peneliti harus berhati-hati dan mengambil langkah khusus jika

peneliatiannya dapat merusak lingkungan (paragraph 13).

- Penelitian harus dirancang melalui protocol tertulis yang rinci, sehingga

informasi yang dibutuhkan untuk dipenuhinya Panduan Etik yang berlaku

tercakup dalam protocol tersebut. Lebih lanjutdalam protocol penelitian

harus diertakan pertimbangan peneliti bahwa penelitiannya telah

memenuhi prinsip etik yang tercakup dalam paragraph-paragraf Deklarasi

Helsinki sehingga layak etik untuk dilaksanakan (paragraph 14).

- Sebelum penelitian dilaksanakan, protocol harus harus disampaiakan untuk

dikaji Komisi Etik untuk mendapatkan pertimbangan, bimbingan dan

persetujuan bahwa layak etik untuk dilaksanakan (paragraph 15).

- Uji klinik harus diregistrasikan pada pihak yang berwenang, sehingga data

base nya dapat diakses oleh public.

- Panduan untuk mendayagunakan specimen yang berasal dari manusia dan

data tentang manusia (paragraph 25)


7

- Tanggung jawab untuk patuh etik juga berada pada pundak penulis, editor

serta penerbit yang mempublikasikan hasil penelitian (paragraph 30).

C. PANDUAN CIOMS - WHO

Council for International Organization of Medical Studies (CIOMS) dengan

dukungan WHO menyusun Panduan Etik penelitian biomedik dengan subjek

manusia pada tahun 1982. International Ethical Guidelines for Biomedical Research

Involving Human Subjects merupakan buku Panduan yang diperbaharui tahun

1993 dan edisi terakhirnya pada diterbitkan tahun 2002.

Sebagai panduan Etik, panduan CIOMS mengadopsi seluruh substansi

yang dimuat dalam Deklarasi Helsinki. Panduan CIOMS terdiri dari 21

giudelines, ditulis secara rinci terutama tentang tata cara mendapatkan subjek

dengan berbagai karakteristik khusus, cara mendapatkan PSP, serta cara

melakukan penilaian kelayakan etik oleh reviewer. Hak subjek berhubungan

dengan keikutsertaanya dalam penelitian lebih dipertegas dan dirinci. Panduan

CIOMS ini di gunakan secara luas di berbagai Negara termasuk di Indonesia.

D. DEKLARASI UNIVERSAL TENTANG HAK-HAK AZASI

MANUSIA

Pada tahun 1948, sidang umum PBB mengadopsi the Universal

Declaration of Human Rights. Delapan tahun berikutnya sidang menetapkan


8

the International Convenant on Civil and Poliitical Rights sebagai panduan yang

berkaitan dengan subjek penelitian kesehatan. Point ini tertuang dalam artikel 7

yang menegaskan perlindungan hak azasi manusia dan kesejahteraan setiap

relawan manusia yang ikut serta senagai subjek penelitian kesehatan.

Pada tahun 2005 UNESCO mencanangkan deklarasi yang dinamakan

:Universal Declaration on Bioethics and Human Rights. Deklarasi ini menjembatani

Human RightsDeclaration yang bersifat umum dan konseptual sedangkan

Deklarasi Helsinki dan Guidelines CIOM lebih bersifat operasional dan teknis.

E. PANDUAN PENELITIAN EPIDEMIOLOGIK

Panduan penelitian kesehatan yang menggunakan subjek manusia

tercakup dalam Kode Nuremberg, Deklarasi Helsinki dan CIOMS.PAda tahun

1991 CIOMS bekerjasama dengan WHO menerbitkan Panduan Etik untuk

penelitian epidemiologic yang berjudul International Guidelines for Ethical Review

of Epidemiological Studies. Panduan ini direvisi tahun 2009 (disajikan dalam

lampiran 5)

Pedoman Etik edisi 1991 terdiri dari

a. Introduction yang memaparkan sasaran pendayagunaan Pedoman Etik

sesuai dengan karakteristik dari penelitian epidemiologik.

b. Preambule memaparkan dimensi etik penelitian epidemiologic.

c. General Ethical Principles, memaparkan prinsip etik.


9

d. Ethical Principles Applied to Epidemiology.

e. Ethical Review Procedures, membahas relevansi dan prosedur penilaian

kelayakan etik serta Komisi Penilai Kelayakan Etik.

Ethical Review Procedures, terdiri dari berbagai pokok bahasan :

- Requirement of ethical review

- Ethical review committees

- Ethical conduct of members of review committees

- Representation personal and social perspectives

- Assuring scientific soundness

- Assessment ofsafety and quality

- Equity in theselection of subjects

- Vulnerable and dependent groups

- Control groups

- Randomization

- Provision for multicenter studies

- Compensation for accidental injury

- Externally sponsored studies

- Distinguishing between research and programme evaluation

- Informationto be provided by investigators

Prinsip Etik yang berlaku tidak berbeda dengan penelitian dengan

subjek manusia. Sesuai dengan karakterisitik subjek serta metodologi penelitian


10

yang lazim dilakukan dibutuhkan panduan khusus yang antara lain tercermin

dalam panduan cara mendapatkan PSP, acuan dalam menghormati subjek dan

memperlakukan subjek penelitian secara adil, serta pedoman dalam penelitian.

Panduan ini sekaligus mempertegas kesepakatan, bahwa penelitian

epidemiologic harus dirancang melalui protocol tertulis, dinilai untuk

dinyatakan layak etik dan disetujui untuk dilaksananakan oleh Komisi Etik

yang berwenang.

F. PANDUAN ETIK PENELITIAN KESEHATAN MENGGUNAKAN

HEWAN COBA

Berbagai Negara telah menyusun Panduan Etik Penelitian Kesehatan

menggunakan Hewan Coba (Penelitian Hewan Coba) yang diacu berlaku

secara global (lampiran 6).Panduan Etik untuk Penelitian Hewan Coba

diberlakukan di Swiss.Panduan tersebut mencakup tatacara mendayagunakan

hewan untuk penelitian kesehatan harus dilakukan secara bertanggung jawab,

menghormati kemaslahatan hewan sebagai mahluk hidup berdasarkan

moralitas kemanusiaan tertinggi.

Secara teknis Panduan Etik Penelitian Kesehatan menggunakan Hewan

Coba antara lain :

- Memilih spesies yang akan digunakan

- Merawat hewan coba


11

- Besar sampel harus seminimal mungkin

- Tindakan yang dapat/ dihindari dalam rangka penelitian apakah dapat

dipertahankan hidup atau terpaksa dibunuh dengan cara yang

bermatabat.

G. OPERATIONAL GUIDELINES FOR ETHIS COMMITEES THAT

REVIEW BIOMEDICAL RESEARCH (WHO 2000)

Dokumen ini membahas secara rinci tujuan dan cara pembentukan

Komisi Etik Penelitian serta pengadaan sistem penilaian etik. Selain itu juga

dibahas masalah keanggotaan dan prosedur kerja, termasuk aplikasi protocol

penelitian dan proses pengambilan keputusan. Dokumen ini merupakan

pedoman kunci untuk membentuk Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK)

dan menetukan prosedur kerjanya.

H. PANDUAN ETIK PENELITIAN DI INDONESIA

Panduan Etik Penelitian di atas disepakati sebagai pedoman yang

berlaku secara umum. Masing masing Negara diberikewenangan untuk

menyusun Panduan Etik Penelitian untuk Negara masing – masing. Pada

Deklarasi Helsinki paragraph 10 menyatakan meskipun masing – masing

Negara anggota diperkenankan melakukan penyesuaian, tetapi panduan etik


12

yang disusun sama sekali tidak boleh meniadakan makna yang terkandung

dalam keseluruhan acuan Deklarasi Helsinki.

Di Indonesia upaya penusunan Panduan Etik pertamakali dilakukan

oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang disepakati oleh seluruh

Dekan Fakultas Kedokteran Negeri dan diberlakukan di Indonesia. Panduan ini

dituangkan dalam buku : Panduan Etik Penelitian Kedokteran, diterbitkan oleh

Balai Penerbit FKUI, Jakarta tahun 1987. Dalam buku ini dengan cukup

lengkap Panduan Etik Penelitian Kesehatan, termasuk Pedoman Penelitian

Hewani.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI pada tahun 2001 menerbitkan

Buku Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB).Buku ini memeberikan

referensi lengkaptentang tatacara uji klinik dan prosedur perizinan di

Indonesia.Berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM No. 02002 tahun 2001,

ditetapkan uji klinik prapemasaran harus dimintakan izin lebih dulu pada

Badan POM.Uji klinik pasca pemasaran harus dilaporkan pada Badan POM.Uji

klinikterbatas untuk kepentingan pendidikan harus dilaporkan pada Badan

POM.Uji klinik terbatas pada kepentingan pendidikan harus dilaporkan pada

Badan POM.Materi pada CUKB dijadikan pedoman untuk mendapatkan izin

melakukan pelaporan tersebut.


13

Tahun 2002, berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI dibentuk

Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) yang tugasnya anrtara lain

1. Membina penegakkan pelaksanaan etik penelitian kesehatan sesuai

dengan etik yang berlaku

2. Menyusun pedoman – pedoman Nasional di bidang etik penelitian

kesehatan. Untuk itu KNEPK telah menyusun Pedoman

Nasional Etik Penelitian Kesehatan (PNEPK).

Pada tahun 2005 berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan PNEPK

ditetapkan berlaku sebagai Panduan Etik dalam melaksanakan penelitian

kesehatan di Indonesia.Keputusan ini juga memberikan kewenangan kepada

KNEPK untuk menyempurnakan dan menjabarkan PNEPK serta membina dan

mengawasi pelaksanaannya.

Untuk melengkapi PNEPK berturut-turut KNEPK telah menyusun

beberapa suplemen yang lebih merinci PNEPK sebagai Panduan Etik untuk

berbagai bentuk penelitian.Tetapi KNEPK tidak menyusun secara khusu

suplemen tentang Panduan Etik pelaksanaan uji klinik.KNEPK memakai CUKB

Badan POM sebagai pedoman.


14

BAB III

PRINSIP UMUM ETIK PENELITIAN

Panduan Etik lebih bersifat spesifik digunakan sebagai rujukan dalam

bersikap dan berperilaku etik.Pembatasan ranah yang diatur berdasarkan

dimensi moralitas yang diatur, misalnya keharusan untuk memperlakukan

subjek dengan adil atau gabungan keduanya, misalnya kewajiban sponsor

untuk memberdayakan subjek/ populasi dalam memanfaatkan kegiatan/ hasil

penelitian.Dapat dimengerti sejalan dengan meluas dan mendalamnya kegiatan

penelitian kesehatan, Panduan etik yang dibutuhkan menjadi semakin

meluasdan mendalam. Dalam edisi terakhir Guidelines CIOMS, sesuai disadari

kebutuhan pedoman khusus tentang penelitian AIDS.

Dibutuhkan referensi etik yang lebih bersifat umum baik sebagai

rujukan dalam melakukan pertimbangan dan keputusan etik maupunsebagai

pedoman bagi peneliti untuk membina sikap dan perilaku etik, serta sebagai

acuan pihak yang diberi kewenangan untuk menilai apakah peneliti kesehatan

layak etik atau tidak.

Di bidang etik kedokteran dan bioetik secara keseluruhan prinsip etik

diformulasikan dalam berbagai rumusan, seperti Azas Etik, Kaidah Dasar Etik

dan lain sebagainya. Pada tahun 1979, Beauchamp dan Childreess dalam

bukunya merumuskan tentang 4 prinsip Etik Biomedik :


15

1. Respect of autonomy

2. Nonmaleffiecience

3. Beneficience dan

4. Justice

Selain merumuskan dan menjabarkan konsep, pemahana dan aplikasi

Prinsip Etik, Beauchamp dan Childreess juga mengembangkan pendekatan

pengambilan keputusan etik sepenuhnya mengacu pada pemahanan Prinsip

Etik. Cara pengambilan keputusan dikenal dengan “pendekatan prinsip”

(principleism approach) untuk digabungkan dengan pendekatan normative

(normative approach), digunakan sebagai rujukan pengambilan keputusan etik

yang mengacu pada panduan, kaidah atau kode etik, serta pendekatan

kaussistik (casuistry approach).Rumusan pemahaman ini banyak diadopsi dan

dijadikan landasan pemahaman Etik Biomedik oleh berbagai pihak, termasuk

dalam mengembangkan Etik Penelitian Biomedik.

National Commission for the Protection of Human Subjects of Biomedical and

Behavioral Research (USA) pada tahun 1976 membentuk satuan tugas untuk

menyusun prinsip etik dasar yang diharapkan dapat digunakan sebagai

landasan bersikap dan berperilaku dalam melaksanakan penelitian biomedik

yang mendayagunakan manusia sebagai subjek penelitian sekaligus

diharapkan dapat digunakan sebagai landasan untuk menyusun Pedoman Etik.

Hasilnya dirumuskan dalam bentuk laporan yang lazim dikenal sebagai


16

Belmont Reports serta rumusan penjabaran dan penerapannya juga lazim

digunakan sebagai rujukan di bidang etik penelitian biomedik.

Terdapat 3 prinsip pada Belmont Reports :

1. Respect for the persons

2. Beneficience

3. Justice

Aplikasi ketiga prinsip ini dirumuskan dalam bentuk panduan untuk

melaksanakan :

1. Informed consent

2. Assessment of Risk and Benefits dan

3. Selection of subjects

International Ethics Guidelines for Medical Research Involving Human

Subjects (2002) dari CIOMS secara eksplisit menyatakan bahwa semua

penelitian dengan subjek manusia harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip

etik Respect for persons, beneficience, dan justice. Pola yang sama diterapkan

dalam menyusun International Ethical Guidelines for Epidemiological Studies,

kecuali CIOMS menggunakan 4 prinsip etik : Respect for persons, beneficience, non

maleficience dan justice.

Secara universal, prinsip-prinsip etik tersebut telah disepakati dan

diakui sebagai prinsip dasar etik peneltian yang memiliki kekuatan moral

sehingga suatu penelitian dapat dipertanggungjawabkan baik sesaui


17

pandangan etik maupun hukum. Semua penelitian kesehatan yang

mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian wajib didasarkan

pada ke-3 prinsip etik Respect for persons, beneficience, dan justice.

A. PRINSIP MENGHORMATI HARKAT dan MARTABAT MANUSIA


(RESPECT for PERSON)

Prinsip Respect for persons menyangkut penghormatan akan otonomi


manusia untuk dengan bebas menentukan sendiri apa yang akan dia lakukan
untuk ikut atau tidak ikut dalam penelitian dan atau mau berhenti dalam tahap
manapun atau meneruskan keikutsertaannya dalam suatu peneletian.

B. PRINSIP ETIK BERBUAT BAIK (BENEFICIENCE) dan TIDAK


MERUGIKAN (NON MALEFICIENCE)

Beneficien menyangkut prinsip untuk meningkatkan kesejahteraan


manusia dan tidak mencelakannya.Sejak zaman sumpah Hipocrates, prinsip ini
sudah menjadi salah satu yang fundamental dalam etika medis. Bila prinsip ini
diterapka dalam bidang riset medis, maka prinsip ini menyangkut suatu
kewajiban untuk meminimalisir risiko bila disbanding dengan potensi
keuntungan yang bias dipetik dari penelitian itu.
Prinsip etik berbuat baik juga menyangkut kewajiban membantu orang
lain, dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian
minimal. Diikutsertakannya subjek manusia dalam penelitian kesehatan
dimaksudkan untuk membantu tercapainya tujuan penelitian yang dilakukan.
Prinsip etik berbuat baik mempersyaratkan bahwa :
a. Risiko penelitian harus wajar (reasonable) disbanding manfaat yang
diharapkan;
b. Desain penelitian harus memenuhi persyaratan ilmiah (scientific sound);
18

c. Para peneliti mampu melaksanakan penelitian dan sekaligus mampu


menjaga kesejahteraan subjek penelitian;
d. Diikuti prinsip do no harm (nonmaleficience/ tidak merugikan) yang
menentang kesengajaan untuk merugikan subjek penelitian.

Prinsip tidak merugikan menyatakan bahwa jika seseorang tidak dapat


melakukan hal-hal yang bermanfaat, maka setidak-tidaknya jangan merugikan
orang lain. Prinsip tidak merugikan bertujuan agar subjek penelitian tidak
semata-mata diperlakukan sebagai sarana saja, tetapi harus diberikan
perlindungan terhadap adanya tindakan penyalahgunaan.
Setiap upaya mendapatkan keuntungan (mengupayakan beneficience)
selalu menimbulkan biaya (beban dan risiko, suatu maleficience). Dalam
praktek issu etik yang muncul sering terkait dengan bagaimana cara
menyelaraskan beneficience dan non maleficience.

C. PRINSIP KEADILAN (JUSTICE)justice

Justicemenyangkut kewajiban untuk memperlakukan setiap manusia

secara baik dan benar, memberikan apa yang menjadi haknya, serta tidak

membebani mereka dengan apa yang bukan menjadi kewajibannya. Dalam

penelitian kesehatan, penelti meminta subjek untuk berkorban (menaggung

beban dan risiko), dengan harapan mendapatkan keuntungan untuk

kemaslahatan masyarakat banyak.

Prinsip etik keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan

setiap orang (sebagai pribadi otonom) sama dalam memperoleh hak-haknya,

dengan moral yang benar dan layak. Prinsip etik keadilan terutama
19

menyangkut menyangkut keadilan distributive (distributive justice) yang

mempersyaratkan pembagian seimbang (equitable) dalam hal beban dan

manfaat yang diperoleh subjek dari keikutsertaanya dalam penelitian. Hal ini

dilakukan dengan memperhatikan distribusi usia dan gender, status ekonomi,

budaya dan pertimbangan etnik. Perbedaan dalam distribusi beban dan

manfaat hanya dapat dibenarkan dan dapat dipertanggungjawabkanjika

didsarkan pada perbedaan yang relevan secara moral antara orang-orang yang

diikutsertakan dalam penelitian.

Berbagai bentuk permasalahan muncul sebagai tantangan dalam

mengupayakan keadilan secara umum maupun secara khusus dalam bentuk

distributive justice.Salah satunya adalah bagaimana menyikapi masalah

kerentanan (vulnerability).Kerentanan adalah ketidakmampuan untuk

melindungi kepentingan sendiri dan kesulitan memberi persetujuan setelah

penjelasan (PSP/ Informed consent), kurangnya kemampuan menentukan pilihan

untuk memperoleh pelayanan kesehatan atau keperluan lain yang mahal, atau

karena tergolong yang muda atau berkedudukan rendah pada hirarki

kelompoknya. Untuk itu diperlukan ketentuan khusus untuk melindungi hak

dan kesejahteraan subjek yang rentan tersebut.

Keadilan mempersyaratkan bahwa pebnelitian harus peka terhadap

keadaan kesehatan dan kebutuhan subjek yang rentan.Risiko untuk subjek yang

rentan paling mudah dapat dipertanggungjawabkan jika tindakan atau


20

prosedur penelitian membawa kemungkinan manfaat langsung untuk

kesehatannya.Jika tidak ada keuntungan langsung untuk subjek, maka

penelitian masih dapat dibenarkan dengan melihat manfaat yang akan diterima

oleh masyarakat ditempat subjek berasal.

Sponsor dan peneliti pada umunya tidak bertanggung jawab atas

perlakuan yang kurang adil di tempat penelitian dilaksanakan. Kegiatan yang

dapat memperburuk keadaan dan menambah kekurangadilan, atau

membantuterciptanya ketidakseimbangan baru harus dihindarkan. Sponsor

dan peneliti juga tidak boleh mengambil keuntungan/ kesempatan dari

ketidakmampuan Negara-negara atau daerah berpenghasilan rendah atau

masyarakat yang rentan untuk kepentingan sendiri dengan melaksanakan

penelitian yang lebih murah. Kenyataan di lapangan : adalah tidak adil apabila

kita melakukan uji coba obat terhadap populasi penduduk miskin tertentu dan

mereka tidak tidak diberi kesempatan untuk mengakses hasilnya.

Penelitian obat atau produk baru tanpa mengikutsertakan Negara sedang

berkembang akan mengakibatkan tidak diketahuinya profil keamanan dan

efektivitas obat atau produk tersebut di berbagai kelompok etnik di Negara-

negara sedang berkembang. Penyalahgunaan keadaan tertentu dari Negara

berkembang tempat penelitian dilakukan semata-mata untuk menghindari

sistem pengaturan yang rumit di Negara maju/ Negara industry guna


21

menghasilkan produk yang menguntungkan di pasar Negara industri adalah

tidak etis.

Pada umunya, proyek penelitian harus menguntukngkan Negara-negara

berkembang atau paling sedikit tidak memeperburuk keadaannya.Penelitian

harus memperhatikan kebutuhan dan prioritas kesehatan masyarakat, serta

setiap produk yang dihasilkan harus dapat tersedia secara wajar guna

memenuhi kebutuhan masyarakat.Masyarakat tempat penelitian dilaksanakan

sedapat mungkin memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih efektif atau

dapat melindungi kesehatannya sendiri.


22

BAB IV

ETIKA PENELITIAN KESEHATAN

Dengan meningkatnya jumlah dan jenis penelitian serta jumlah

manusia yang digunakan dalam penelitian maka terjadi berbagai

penyimpangan terhadap kode etik penelitian.Dipandang perlu untuk

menilai keharusan adanya badan yang mengawasi penelitian menggunakan

manusia sebagai subjek penelitiannya (Oemijati, S. dkk, 2010).

4.1 Etika penelitian

Salah satu aspek penting dalam kode tersebut adalah suatu keharusan

adanya informed consent (persetujuan setelah penjelasan) dari manusia yang

digunakan dalam penelitian. Pada tahun 1964, World Medical Association

mengeluarkan suatu aturan untuk penelitian pada manusia yang dikenal

sebagai Deklarasi Helsinki I. Aturan ini merupakan panduan untuk dokter

yang melakukan klinis, baik yang bersifat terapeutik maupun non terapeutik.

Para editor jurnal kedokteran dihimbau untuk tidak memuat artikel penelitian

yang menggunakan manusia sebagai subjek tanpa informed consentkecuali :

1. Bila subjek tidak dapat memberi persetujuan misalnya bayi, anak, atau

pasien yang tidak sadar; untuk ini seyogyanya keluarga diminta

persetujuannya.
23

2. Bila penelitian semata-mata menggunakan rekam medis.

3. Bila bahan penelitian berupa jaringan yang telah diawetkan dan tidak

dapat dilacak subjeknya.

Namun harus diyakini bahwa penelitian akan berdampak positif bagi

masyarakat (Oemijati, S. dkk, 2010).

4.2 Penerapan etika penelitian kedokteran

Sesuai kode Nuremberg dan deklarasi Helsinki I para peneliti hanya

dihimbau untuk memperhatikan serta mematuhi peraturan-peraturan

tersebut.Kebijaksanaan diserahkan kepada peneliti, peneliti harus membuat

keputusan sehingga peneltiannya tidak menyimpang dari norma-norma etika

yang telah digariskan (Oemijati, S. dkk, 2010).

Perubahan penting dalam deklarasi Helsinki II dan seterusnya adalah

terdapatnya peraturan yang mengharuskan protocol penelitian pada manusia

ditinjau lebih dahulu oleh suatu panitia untuk pertimbangan, tuntunan, dan

komentar. Juga harus dicantumkan pada protokol bahwa telah dilakukan

pertimbangan etika dan hasil penelitan tidak boleh dipublikasi bila tidak ada

ethical clearance .Dengan demikian maka mulailah dibentuk Panitia-panitia

Etika Kedokteran di semua lembaga yang menyelenggarakan peenelitian

(Oemijati, S. dkk, 2010).


24

4.3 Panitia etika penelitian kedokteran

Disetiap Negara selalu terdapat undang-undang yang melindungi hak

azasi manusia.Dengan makin pesatnya kemajuan dalam bidang teknologi,

banyak dilakukan penelitian sehingga dirasakan bahwa undang-undang saja

tidak cukup.Sejalan dengan panitia di tingkat internasional maka pada tingkat

nasional di berbagai Negara dibentuk panitia-panitia dan dibuat peraturan-

peraturan etika penelitian kedokteran (Oemijati, S. dkk, 2010).

Panitia diberi tanggung jawab dalam segi etika penelitian dalam

institusi.Meskipun panitia-panitia tersebut tidak berhubungan langsung tetapi

sewaktu-waktu mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh ketua-ketua

panitia etika peneltian membahas berbagai masalah dan dapat dibahas

bersama (oemijati, S. dkk, 2010).

Panitia – panitia local biasnya dibentuk pleh kepala institusi (dekan

untuk fakultas kedokteran) dan anggotanya terdiri atas dua orang yang faham

akan bidang penelitian dan dua orang peneliti lainnya (Oemijati, S. dkk,

2010).

Dalam perkembangannya diharuskan pula untuk melakukan telaah

terhadap disain dan metodologi penelitian yang disebut dengan scientific

review. Hal ini dianggap perlu oleh karena suatu rencana penelitian dengan
25

metodologi yang keliru akan membuahkan jhasil penelitian yang keliru pula

sehingga tidak etis (Oemijati, S. dkk, 2010).


26

BAB V

Kelayakan Etik

(Ethical clearance)

Penelitian kesehatan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari

penelitian kesehatan global. Hasil penelitian harus di publikasikan supaya

masyarakat ilmiah global mengetahui tentang penemuan penemuan

pengetahuan ilmiah baru dan ditantang menguji ulang keabsahannya. Dengan

demikian penelitian kesehatan Indonesia merupakan subsistem penelitian

kesehatan global khususnya pada aspek publikasi, kerjasama ilmiah dan

pendanaan (KNEPK, 2007).

Lembaga penelitian, majalah ilmiah, industri kesehatan, sponsor dan

badan pemerintah mempersyaratkan persetujuan etik untuk penelitian yang

mengikutsertakan relawan manusia sebagai subyek penelitian. Setiap

lembaga di Indonesia yang melakukan penelitian kesehatan dengan

mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian mutlak harus

memiliki atau menjangkau suatu Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) di

Lembaga lain (KNEPK, 2007).


27

Komite Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) dan (KEPK)

Komite Etik Penelitian Kesehatan

Pada hakikatnya masalah etik penelitian kesehatan adalah tanggung

jawab pribadi peneliti.Seiring semakin banyaknya penelitian berkelompok

atau bersama oleh beberapa lembaga penelitian, tanggung jawab etik menjadi

terlalu berat untuk dibebankan kepada perorangan peneliti. Para peneliti

perlu dibina dan didampingi oleh KEPK lembaga.Meskipun KEPK didirikan

oleh lembaga atau oleh pemerintah, perlu tetap dipegang teguh prinsip dasar

bahwa etik penelitian adalah tanggung jawab ilmuwan dan masyarakat ilmiah

(KNEPK, 2007).

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen

Kesehatan, bekerjasama dengan WHO telah melakukan kajian dan pemetaan

KEPK lembaga-lembaga di seluruh Indonesia yang melakukan penelitian kesehatan

dengan mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian (KNEPK, 2007).

Pemerintah RI telah membentuk Komisi Nasional Etik Kesehatan

(KNEPK)berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

1334/Menkes/SK/X/002 tanggal 29 Oktober 2002.Sesuai dengan tugasnya

KNEPK bekerjasama dengan semua lembaga di Indonesia yang melakukan

penelitian kesehatan mengikutsertakan relawan manusia sebagai subyek

penelitian. Kerja sama ini dikembangkan dengan memanfaatkan Jaringan


28

Komunikasi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (Jarkomnas EPK). Jarkomnas

dibentuk untuk mengadakan pembinaan secara kolektif untuk meningkatkan

mutu etik penelitian kesehatan di Indonesia dan didirikannya KEPK pada

setiap lembaga yang melakukan penelitian kesehatan lengkap dengan

prosedur penilaian protocol dan pemberian persetujuan etik (KNEPK, 2007).

Terdapat juga faktor yang mendorong perkembangan etik penelitian

kesehatan, yaitu persyaratan bahwa setiap penelitian kesehatan yang

mengikut-sertakan manusia sebagai subyek penelitian harus memiliki

persetujuan etik dari komisi yang berwenang.Tanpa persetujuan perstujuan

etik, hasil penelitian tidak dapat dipublikasi dalam majalah ilmiah yang

bermutu atau ditawarkan kepada industri kesehatan.Tanpa persetujuan etik

hasil persetujuan etik dari komisi yang berwenang.Tanpa persetujuan etik,

hasil penelitian tidak dapat dipublikasikan dalam majalah ilmiah yang

bermutu atau ditawarkan kepada industri kesehatan.Tanpa persetujuan etik

hasil penelitian seakan-akan menjadi mandul. Peneliti juga akan menemui

kesulitan mengembangkan kerja sama dan memperoleh dukungan dana dari

para donor (KNEPK, 2007).

Keadaan di Indonesia tidak banyak berbeda dengan keadaan

global.Dalam berbagai aspek, keadaan di Indonesia masih perlu perlu

ditingkatkan. Pemahaman dan kesadaran pada dokter dan lembaga-lembaga

yang melakukan penelitian kesehatan masih terbatas. Keinginan dan upaya


29

untuk meningkatkan pengetahuan tentang etik penelitian juga masih kurang.

Etik penelitian kesehatan masih merupakan mata kuliah formal dalam

pendidikan kesehatan dan sering sama sekali tidak dipelajari (KNEPK, 2007).

Penilaian protocol penelitian untuk pemberian persetujuan etik

dilakukan untuk meningkatkan mutu penelitian tetapi kegunaan hasilnya

masih dianggap sebagai tambahan proses birokrasi yang hanya

menghambat dan mempersulit. Menjadi anggota KEPK sering merupakan

pekerjaan yang kurang menyenangkan karena sering dianggap sebagai

seorang yang mempersulit dan mencari-cari kesalahan(KNEPK, 2007).

Faktor-faktor yang mendorong perkembangan etik penelitian kesehatan

di Indonesia masih sangat lemah.Banyak majalah ilmiah kesehatan di

Indonesia belum mempersyaratkan persetujuan etik.Dana untuk penelitian,

antara lain dari anggaran Negara, masih dapat diperoleh tanpa persetujuan

etik. Lebih menyedihkan lagi bahwa penelitian untuk Tesis S2 dan

Disertasi S3 langsung di bawah bimbingan Guru Besar atau tenaga pengajar

senior masih juga dilakukan tanpa persetujuan etik.Perjuangan untuk

menegakkan etik penelitian kesehatan di Indonesia harus menempuh jalan

panjang yang penuh rintangan (KNEPK, 2007).

KEPK didirikan oleh suatu lembaga untuk menangani urusan etik

penelitian kesehatan di lembaga tersebut, antara lain mengadakan penilaian


30

protocol penelitian untuk memberikan persetujuan etik (ethical approval)

(KNEPK, 2007).

Tiga prinsip etik umum:

1. Prinsip etik umum menghormati martabat manusia (Respect for

person) yang mencakup dua pertimbangan etik penting, yaitu

menghormati otonomi seseorang dan melindungi manusia yang

otonominya terganggu atau kurang.

2. Prinsip etik umum berbuat baik (Beneficience) kewajiban membantu

orang lain dengan mengupayakan manfaat maksimal kerugian

minimal.

3. Prinsip etik umum keadilan (Justice) mengacu pada kewajiban etik

memperlakukan setiap orang dengan moral yang benar dan pantas

serta memberikan setiap orang yang merupakan haknya.

Selain menghormati dan mentaati ketiga prinsip etik umum tersebut,

masalah etik penelitian ditangani sesuai moral dan etik masyarakat ilmiah

lembaga. Beraneka ragam faktor di dalam dan di luar lembaga akan

mempengaruhi dan menetukan kinerja KEPK. Faktor-faktor tersebut, antara

lain adalah budaya, adat istiadat, kebiasaan dan agama/kepercayaan.

Keadaan tersebut menyebabkan terdapat berbagai macam perbedaan antara


31

KEPK-KEPK yang harus diterima sebagai kenyataan yang tidak mudah dapat

diubah (KNEPK, 2007).

Penelitian yang menggunakan embrio manusia akan berbeda hasilnya

di lembaga dengan latar belakang Katolik Roma, Islam atau sekuler.

Perbedaan tersebut patut dihormati sebagai suatu kenyataan yang jika

ditangani secara bijaksana dapat merupakan suatu kekayaan dan kekuatan.

Memperhatikan yang telah diuraikan di atas jelas bahwa kurang layak

memaksakan kesamaan KEPK-KEPK. Kesamaan yang berguna dan layak

diupayakan adalah keseragam tentang organisasi, keanggotaan tata cara kerja

seperti telah dibahas dalam PNEPK (KNEPK, 2007).

Pada perkembangan lebih lanjut akantiba waktunya untuk

mengadakan evaluasi dan akreditasi KEPK-KEPK supaya dapat dijamin

bahwa pelaksanaan etik penelitian kesehatan akan memenuhi standar yang

telah disepakati bersama. Pada tahap perkembangan sekarang dengan titik

berat pada upaya pengembangan motivasi serta peningkatan pemahaman dan

kesadaran tentang etik penelitian kesehatan.KEPK harus dapat melaksanakan

fungsinya secara independen yaitu bebas dari pengaruh dan tekanan politik,

lembaga, profesi, industri atau pasar (KNEPK, 2007).


32

BAB VI

Informed Consent

Kata consent berasal dari bahasa latin “consensio” atau “concentio”

kemudian dalam bahasa Inggris menjadi “consent” yang berarti persetujuan,

izin, menyetujui, persetujuan, memberi wewenang. Informed consent atau real

consent di Indonesia dikenal dengan “ Persetujuan Tindakan Medik “ berarti

pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional,

sesudah mendapat informasi dari dokter dan sudah dimengerti oleh pasien.

Informed consent tidak hanya diperlukan sebelum dilakukan tindakan medik

karena Informed consentadalah suatu proses bukan suatu yang sekali selesai.

Jenis Informed consent adalah dinyatakan secara lisan atau tertulis atau tersirat

dalam keadaan biasa atau darurat (Guwandi, 2006).

Dalam perkembangan terakhir Informed consent dibuat penjelasan

secara tertulis dalam hal-hal tertentu informasi tertulis diwajibkan oleh

hukum. Secara yuridis, kewajiban memberikan informasi kepada pasien

dibebankan kepada dokter untuk memperoleh persetujuan sebelum

melakukan tindakan (Guwandi, 2006).

Hak pasien dalam doktrin Informed consent antara lain :

1. Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan

yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya .


33

2. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

3. Hak untuk memilih alternative lain (jika ada)

4. Hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan.

Komunikasi antara dokter dengan pasien sangat penting dilakukan

untuk menumbuhkan kepercayaan yang akan mempererat hubungan

berdasarkan kepercayaan. Manfaat Informed consent dari segi hukum adalah

beban komplikasi/ risiko yang mungkin timbul akan beralih dari dokter

kepada pasien. Jika hubungan antara dokter dengan pasien sudah sedekian

erat, maka jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan maka pasien tidak akan

begitu mudah menuntut dokternya (Guwandi, 2006).

Pasien dapat menuntut dokter apabila tindakan medik yang dilakukan

tanpa meminta persetujuan terlabih dahulu dan hal ini digolongkan sebagai

tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP pasal 351.Selain itu

jika persetujuan yang diberikan tidak berdasarkan atas pemberian informasi

yang cukup dan adekuat pasien dapat melakukan tuntutan berdasarkan lack

ofInformed consent (Guwandi, 2006).

Informed consent terdiri dari tiga bagian :

1. Pengungkapan dan penjelasan kepada pasien dalam bahasa yang dapat

dimengerti oleh pasien tentang : penegakkan diagnosis, sifat dan


34

prosedur atau tindakan medic yang diusulkan, kemungkinan

timbulnya risiko, manfaat, dan alternative (bila ada).

2. Memastikan bahwa pasien mengerti dengan apa yang telah dijelaskan

kepadanya, pasien telah menerima risiko-risiko tersebut dan pasien

mengizinkan dilakukan prosedur tindakan.

3. Harus didokumentasikan.

Pasien harus mempunyai kesempatan untuk berfikir dan

mempertimbangkan informasi yang diberikan oleh dokter.Informasi atau

penjelasan diberikan dalam bahasa yang dimengerti oleh pasien dan hindari

menggunakan bahasa medic. Tidak dibenarkan memberikan informasi saat

pasien akan dibawa ke Kamar Bedah (Guwandi, 2006).

Keputusan pasien mengenai tindakan medic atau perawatan medic

harus dilakukan secara kolaboratif antara pasien dengan dokter. Pada

prinsipnya Informed consentadalah suatu proses bukan hanya sekedar meminta

pasien untuk menandatangani suatu formulir tetapi merupakan suatu

kelanjutan atau pengukuhan yang sebenarnya sudah disepakati antara dokter

dengan pasien (Guwandi, 2006).

Doktrin Informed consentadalah suatu prinsip dalam bidang etika yang

direfleksikan ke dalam peraturan hukum. Dari segi hokum medic,

memperoleh informasi adalah hak pasien dan kewajiban dokter untuk


35

memberikannya. Pasien berhak tanpa harus diminta untuk memperoleh

informasi mengenai panyakitnya serta tindakan medic yang akan dilakukan

oleh dokter terhadap dirinya (Guwandi, 2006).

Pada umumnya seorang dokter melihat pasien hanya dari segi medic,

sedangkan pasien memiliki factor-faktor yang harus dipertimbangkan,

misalnya keuangan, keluarga, pasien, agama, psikis, sosial, dan lain-lain.

Merupakan hak azasi pasien (HAM) untuk menrtukan apa yang akan

dilakukan terhadap dirinya (Guwandi, 2006).

Dokter yang akan melakukan tindakan medik bertanggung jawab dan

diwajibkan untuk memberikan penjelasan tentang Informed consent kepada

pasien. Dokter bisa dituntut karena membocorkan rahasia kedokteran, materi

tentang Informed consent diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.

585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.Dasar hukum

Informed consent adalah hubungan dokter dengan pasien atas dasar

kepercayaan, hak pasien untuk menentukan apa yang dikehendaki terhadap

dirinya sendiri, dan adanya hubungan kontrak terapeutik antara dokter

dengan pasien. Tujuan doktrin Informed consent adalah memberikan

perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter dan memberikan

perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat

negative karena setiap tindakan medic terdapat suatu risiko (Guwandi, 2006).
36

Walaupun sudah ada Informed consent tertulis, dokter tidak bebas dari

tuntutan bila melakukan kelalaian.Persetujuan pasien tidak dapat dilakukan

setelah prosedur atau tindakan medik dilakukan karena menyalahi prinsip

utama dari Informed consentyang bersifat pro-aktif. Tidak semua tindakan

medic selalu harus dimintakan Informed consent, untuk tindakan rutin atau

berisiko minimal seperti pengukuran tensi, pemeriksaan darah tidak

perlu diperlukan. Rekaman foto dan video yang merupakan bagian dari

tindakan pengobatan atau foto radiologi menggunakan kontras harus

meminta izn terlebih dahulu. Demikian pula jika foto dan rekaman video

akan dipergunakan untuk pendidikan, publikasi atau penelitian harus

meminta izin khusus kepada pasiennya (Guwandi, 2006).


37

DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychological Association. (2002). "2010 Amendments to the


American Psychological Association ethical principles of psychologists and
code of conduct.". Retrieved April 30, 2012.
2. Beauchamp, Tom L. and Childress, James F (1994). Principles of Biomedical
Ethics. New York: Oxford University Press.
3. Burns, Chester R. (1977). Legacies in ethics and medicine. New York: Science
History Publications. ISBN 9780882021669. In this book see Mary Catherine
Welborn's excerpts from her 1966 The long tradition: A study in fourteenth-
century medical deontology
4. Council for International Organization of Medical Sciences (CIOMS) and
World Health Organization (WHO) Geneva, Switzerland, 2002.
"International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving
Human Subjects".
5. Guwandi, J., 2006. Informed consent dan Informed Refusal. Ed 4th. . Jakarta.
FKUI.
6. Homan, R. (1991). The ethics of social research. London; New York: Longman.
7. Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Dep. Kes.RI, Jakarta 2007
Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan Suplemen III Jaringan
Komunikasi Nasional Etik Penelitian.
8. Komite Etik FK UNUD – RSUP Sanglah, Denpasar 2013. Standard
Operatinonal Prosedure
9. McManus, J.; S. G. Mehta, et al. (2005). ""Informed consent and ethical
issues in military medical research."". Academic Emergency Medicine12 (11):
1120-1126.
10. Oemijati, S., Samsudin., Sutan, AM., Tamaela, LA., dan Nasar, SS.
Penerapan Etika Peneltian Kedokteran. Pada Sastroasmoro, Buku Ajar :
38

Dasar dasar metodologi penelitian klinis. Edisi 3. Penerbit Sagung Seto,


2010; hal : 332 – 340
11. Santoso, MIE. Buku Ajar Etik Penelitian Kesehatan. Edisi 1. Penerbit
Universitas Brawijaya Press, 2011.

Anda mungkin juga menyukai