Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KLP 6

ETHICAL CONSIDERATION OF RESEARCH

Di susun oleh :

1.HARYANTI.R
2.HASJAYANTI JAIS
3.HASBIAH
4.HASNI
5.HASNIATI SARANGA
6.HESLI

PROGRAM STUDI SI KEBIDANAN


UNIVERSITAS MEGABUANA PALOPO
TAHUN AJARAN 2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II ETIKA PENELITIAN KESEHATAN 3
2.1 Etika penelitian 3
2.2 Penerapan etika penelitian kedokteran 4
2.3 Panitia etika penelitian kedokteran 5
BAB III Kelayakan Etik (Ethical clearance) 6
3.1 Komite Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) dan (KEPK) Komite Etik Penelitian
Kesehatan 7

BAB IV Informed Consent 12


BAB V RANGKUMAN17
DAFTAR PUSTAKA 18
i

BAB I

PENDAHULUAN

Norma-norma etika kedokteran sebenarnya telah dipakai sejak adanya orang

di dalam masyarakat yang mempunyai tugas untuk mengobati orang sakit. Meskipun tidak

tertulis, norma-norma tersebut menggariskan bagaimana orang yang mengobati harus bersikap

terhadap orang yang diobati.

Kemajuan teknologi kedokteran terjadi dengan pesat sejak pertengahan abad

ke-18, terutama dengan penemuan baru seperti oleh Pasteur dan Koch dalam etiologi penyakit,

penemuan Roentgent dalam aspek diagnostic, dan lain- lain. Teknologi kedokteran menjadi lebih

maju lagi selama dan sesudah Perang Dunia II dengan penemuan obat-obat baru.

Keberhasilanpencangkokan alat-alat tubuh manusia dengan alat-alat buatan atau dengan organ
donor atau dengan tubuh hewan merupakan tonggak kemajuan teknologi kedokteran yang amat

penting (Oemijati, S. dkk, 2010).

Pada saat ini, dengan manipulasi genetic, manusia seolah dapat membuat manusia

yang diinginkan dengan teknik cloning tang kontroversial. Penemuan-penemuan tersebut

menyebabkan manusia dapat mengalahkan maut, dan merasa mempunyai kekuasaan

seperti Tuhan (Oemijati, S. dkk, 2010).

Orang-orang merasa bahwa jika cukup tersedia uang untuk percobaan-percobaan,

orang dapat hidup abadi, sehingga hidup seolah dapat dibeli. Bila dana untuk penelitian

mengalir deras, dan berbagai penemuan terjadi pula spesialisasi sehingga tidak jarang

manusia hanya ditinjau sebagai sekumpulan organ yang akan menyebabkan makin

kaburnya hubungan jiwa antara dokter dengan pasien. Hal ini akan mempermudah

timbulnya berbagai penyimpangan dari etika yang mungkin terjadi dengan tidak

disengaja (Oemijati, S. dkk, 2010).


BAB II ETIKA PENELITIAN KESEHATAN

Dengan meningkatnya jumlah dan jenis penelitian serta jumlah manusia yang

digunakan dalam penelitian maka terjadi berbagai penyimpangan terhadap kode etik

penelitian. Dipandang perlu untuk menilai keharusan adanya badan yang mengawasi

penelitian menggunakan manusia sebagai subjek penelitiannya (Oemijati, S. dkk, 2010).

2.1 Etika penelitian

Salah satu aspek penting dalam kode tersebut adalah suatu keharusan adanya

informed consent (persetujuan setelah penjelasan) dari manusia yang digunakan dalam

penelitian. Pada tahun 1964, World Medical Association mengeluarkan suatu aturan

untuk penelitian pada manusia yang dikenal sebagai Deklarasi Helsinki I. Aturan ini

merupakan panduan untuk dokter yang melakukan klinis, baik yang bersifat terapeutik

maupun non terapeutik. Para editor jurnal kedokteran dihimbau untuk tidak memuat

artikel penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek tanpa informed consent

kecuali :

1. Bila subjek tidak dapat memberi persetujuan misalnya bayi, anak, atau pasien

yang tidak sadar; untuk ini seyogyanya keluarga diminta persetujuannya.

2. Bila penelitian semata-mata menggunakan rekam medis.


3. Bila bahan penelitian berupa jaringan yang telah diawetkan dan tidak dapat

dilacak subjeknya.

Namun harus diyakini bahwa penelitian akan berdampak positif bagi masyarakat

(Oemijati, S. dkk, 2010).

2.2 Penerapan etika penelitian kedokteran

Sesuai kode Nuremberg dan deklarasi Helsinki I para peneliti hanya dihimbau

untuk memperhatikan serta mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Kebijaksanaan

diserahkan kepada peneliti, peneliti harus membuat keputusan sehingga peneltiannya

tidak menyimpang dari norma-norma etika yang telah digariskan (Oemijati, S. dkk,

2010).

Perubahan penting dalam deklarasi Helsinki II dan seterusnya adalah terdapatnya

peraturan yang mengharuskan protocol penelitian pada manusia ditinjau lebih dahulu oleh

suatu panitia untuk pertimbangan, tuntunan, dan komentar. Juga harus dicantumkan pada

protokol bahwa telah dilakukan pertimbangan etika dan hasil penelitan tidak boleh

dipublikasi bila tidak ada ethical clearance . Dengan demikian maka mulailah dibentuk

Panitia-panitia Etika Kedokteran di semua lembaga yang menyelenggarakan peenelitian

(Oemijati, S. dkk, 2010).


2.3 Panitia etika penelitian kedokteran

Disetiap Negara selalu terdapat undang-undang yang melindungi hak azasi

manusia. Dengan makin pesatnya kemajuan dalam bidang teknologi, banyak dilakukan

penelitian sehingga dirasakan bahwa undang-undang saja tidak cukup. Sejalan dengan

panitia di tingkat internasional maka pada tingkat nasional di berbagai Negara dibentuk

panitia-panitia dan dibuat peraturan-peraturan etika penelitian kedokteran (Oemijati, S.

dkk, 2010).

Panitia diberi tanggung jawab dalam segi etika penelitian dalam institusi.

Meskipun panitia-panitia tersebut tidak berhubungan langsung tetapi sewaktu-waktu

mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh ketua-ketua panitia etika peneltian membahas

berbagai masalah dan dapat dibahas bersama (oemijati, S. dkk, 2010).

Panitia – panitia local biasnya dibentuk pleh kepala institusi (dekan untuk fakultas

kedokteran) dan anggotanya terdiri atas dua orang yang faham akan bidang penelitian dan

dua orang peneliti lainnya (Oemijati, S. dkk, 2010).

Dalam perkembangannya diharuskan pula untuk melakukan telaah terhadap disain

dan metodologi penelitian yang disebut dengan scientific review. Hal ini dianggap perlu

oleh karena suatu rencana penelitian dengan metodologi yang keliru akan membuahkan

jhasil penelitian yang keliru pula sehingga tidak etis (Oemijati, S. dkk, 2010).
BAB III Kelayakan Etik (Ethical clearance)

Penelitian kesehatan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari penelitian kesehatan

global. Hasil penelitian harus di publikasikan supaya masyarakat ilmiah global

mengetahui tentang penemuan penemuan pengetahuan ilmiah baru dan ditantang menguji

ulang keabsahannya. Dengan demikian penelitian kesehatan Indonesia merupakan

subsistem penelitian kesehatan global khususnya pada aspek publikasi, kerjasama ilmiah

dan pendanaan (KNEPK, 2007).

Lembaga penelitian, majalah ilmiah, industri kesehatan, sponsor dan

badan pemerintah mempersyaratkan persetujuan etik untuk penelitian yang

mengikutsertakan relawan manusia sebagai subyek penelitian. Setiap lembaga di

Indonesia yang melakukan penelitian kesehatan dengan mengikutsertakan relawan

manusia sebagai subjek penelitian mutlak harus memiliki atau menjangkau suatu Komisi

Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) di Lembaga lain (KNEPK, 2007).


3.1 Komite Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) dan (KEPK) Komite Etik

Penelitian Kesehatan

Pada hakikatnya masalah etik penelitian kesehatan adalah tanggung jawab pribadi

peneliti. Seiring semakin banyaknya penelitian berkelompok atau bersama oleh beberapa

lembaga penelitian, tanggung jawab etik menjadi terlalu berat untuk dibebankan kepada

perorangan peneliti. Para peneliti perlu dibina dan didampingi oleh KEPK lembaga.

Meskipun KEPK didirikan oleh lembaga atau oleh pemerintah, perlu tetap dipegang

teguh prinsip dasar bahwa etik penelitian adalah tanggung jawab ilmuwan dan

masyarakat ilmiah (KNEPK, 2007).

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan,

bekerjasama dengan WHO telah melakukan kajian dan pemetaan KEPK lembagalembaga di

seluruh Indonesia yang melakukan penelitian kesehatan dengan mengikutsertakan manusia

sebagai subjek penelitian (KNEPK, 2007).

Pemerintah RI telah membentuk Komisi Nasional Etik Kesehatan (KNEPK)

berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/Menkes/SK/X/002 tanggal 29

Oktober 2002. Sesuai dengan tugasnya KNEPK bekerjasama dengan semua lembaga di

Indonesia yang melakukan penelitian kesehatan mengikutsertakan relawan manusia

sebagai subyek penelitian. Kerja sama ini dikembangkan dengan memanfaatkan Jaringan

Komunikasi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (Jarkomnas EPK). Jarkomnas dibentuk

untuk mengadakan pembinaan secara kolektif untuk meningkatkan mutu etik penelitian
kesehatan di Indonesia dan didirikannya KEPK pada setiap lembaga yang melakukan

penelitian kesehatan lengkap dengan prosedur penilaian protocol dan pemberian

persetujuan etik (KNEPK, 2007).

Terdapat juga faktor yang mendorong perkembangan etik penelitian kesehatan,

yaitu persyaratan bahwa setiap penelitian kesehatan yang mengikut-sertakan manusia

sebagai subyek penelitian harus memiliki persetujuan etik dari komisi yang

berwenang. Tanpa persetujuan perstujuan etik, hasil penelitian tidak dapat

dipublikasi dalam majalah ilmiah yang bermutu atau ditawarkan kepada industri

kesehatan. Tanpa persetujuan etik hasil persetujuan etik dari komisi yang

berwenang. Tanpa persetujuan etik, hasil penelitian tidak dapat dipublikasikan

dalam majalah ilmiah yang bermutu atau ditawarkan kepada industri kesehatan.

Tanpa persetujuan etik hasil penelitian seakan-akan menjadi mandul. Peneliti juga akan

menemui kesulitan mengembangkan kerja sama dan memperoleh dukungan dana dari

para donor (KNEPK, 2007).

Keadaan di Indonesia tidak banyak berbeda dengan keadaan global. Dalam

berbagai aspek, keadaan di Indonesia masih perlu perlu ditingkatkan. Pemahaman dan

kesadaran pada dokter dan lembaga-lembaga yang melakukan penelitian kesehatan

masih terbatas. Keinginan dan upaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang etik

penelitian juga masih kurang. Etik penelitian kesehatan masih merupakan mata kuliah
formal dalam pendidikan kesehatan dan sering sama sekali tidak dipelajari (KNEPK,

2007).

Penilaian protocol penelitian untuk pemberian persetujuan etik dilakukan

untuk meningkatkan mutu penelitian tetapi kegunaan hasilnya masih dianggap

sebagai tambahan proses birokrasi yang hanya menghambat dan mempersulit.

Menjadi anggota KEPK sering merupakan pekerjaan yang kurang menyenangkan

karena sering dianggap sebagai seorang yang mempersulit dan mencari-cari

kesalahan (KNEPK, 2007).

Faktor-faktor yang mendorong perkembangan etik penelitian kesehatan di

Indonesia masih sangat lemah. Banyak majalah ilmiah kesehatan di Indonesia belum

mempersyaratkan persetujuan etik. Dana untuk penelitian, antara lain dari anggaran

Negara, masih dapat diperoleh tanpa persetujuan etik. Lebih menyedihkan lagi

bahwa penelitian untuk Tesis S2 dan Disertasi S3 langsung di bawah bimbingan

Guru Besar atau tenaga pengajar senior masih juga dilakukan tanpa persetujuan

etik. Perjuangan untuk menegakkan etik penelitian kesehatan di Indonesia harus

menempuh jalan panjang yang penuh rintangan (KNEPK, 2007).

KEPK didirikan oleh suatu lembaga untuk menangani urusan etik penelitian

kesehatan di lembaga tersebut, antara lain mengadakan penilaian protocol penelitian

untuk memberikan persetujuan etik (ethical approval) (KNEPK, 2007).


Tiga prinsip etik umum:

1. Prinsip etik umum menghormati martabat manusia (Respect for person) yang

mencakup dua pertimbangan etik penting, yaitu menghormati otonomi seseorang

dan melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang.

2. Prinsip etik umum berbuat baik (Beneficience) kewajiban membantu orang lain

dengan mengupayakan manfaat maksimal kerugian minimal.

3. Prinsip etik umum keadilan (Justice) mengacu pada kewajiban etik

memperlakukan setiap orang dengan moral yang benar dan pantas serta

memberikan setiap orang yang merupakan haknya.

Selain menghormati dan mentaati ketiga prinsip etik umum tersebut, masalah etik

penelitian ditangani sesuai moral dan etik masyarakat ilmiah lembaga. Beraneka ragam

faktor di dalam dan di luar lembaga akan mempengaruhi dan menetukan kinerja KEPK.

Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah budaya, adat istiadat, kebiasaan dan

agama/kepercayaan. Keadaan tersebut menyebabkan terdapat berbagai macam perbedaan

antara KEPK-KEPK yang harus diterima sebagai kenyataan yang tidak mudah dapat

diubah (KNEPK, 2007).

Penelitian yang menggunakan embrio manusia akan berbeda hasilnya di lembaga

dengan latar belakang Katolik Roma, Islam atau sekuler. Perbedaan tersebut patut

dihormati sebagai suatu kenyataan yang jika ditangani secara bijaksana dapat merupakan
suatu kekayaan dan kekuatan. Memperhatikan yang telah diuraikan di atas jelas bahwa

kurang layak memaksakan kesamaan KEPK-KEPK. Kesamaan yang berguna dan layak

diupayakan adalah keseragam tentang organisasi, keanggotaan tata cara kerja seperti

telah dibahas dalam PNEPK (KNEPK, 2007).

Pada perkembangan lebih lanjut akan tiba waktunya untuk mengadakan evaluasi

dan akreditasi KEPK-KEPK supaya dapat dijamin bahwa pelaksanaan etik penelitian

kesehatan akan memenuhi standar yang telah disepakati bersama. Pada tahap

perkembangan sekarang dengan titik berat pada upaya pengembangan motivasi serta

peningkatan pemahaman dan kesadaran tentang etik penelitian kesehatan. KEPK harus

dapat melaksanakan fungsinya secara independen yaitu bebas dari pengaruh dan tekanan

politik, lembaga, profesi, industri atau pasar (KNEPK, 2007).


BAB IV Informed Consent

Kata consent berasal dari bahasa latin “consensio” atau “concentio” kemudian

dalam bahasa Inggris menjadi “consent” yang berarti persetujuan, izin, menyetujui,

persetujuan, memberi wewenang. Informed consent atau real consent di Indonesia

dikenal dengan “ Persetujuan Tindakan Medik “ berarti pernyataan setuju dari pasien

yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapat informasi dari dokter dan

sudah dimengerti oleh pasien. Informed consent tidak hanya diperlukan sebelum

dilakukan tindakan medik karena Informed consent adalah suatu proses bukan suatu yang

sekali selesai. Jenis Informed consent adalah dinyatakan secara lisan atau tertulis atau

tersirat dalam keadaan biasa atau darurat (Guwandi, 2006).

Dalam perkembangan terakhir Informed consent dibuat penjelasan secara tertulis

dalam hal-hal tertentu informasi tertulis diwajibkan oleh hukum. Secara yuridis,

kewajiban memberikan informasi kepada pasien dibebankan kepada dokter untuk

memperoleh persetujuan sebelum melakukan tindakan (Guwandi, 2006).

Hak pasien dalam doktrin Informed consent antara lain :

1. Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan yang


akan dilakukan dokter terhadap dirinya .

2. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

3. Hak untuk memilih alternative lain (jika ada)

4. Hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan.

Komunikasi antara dokter dengan pasien sangat penting dilakukan untuk

menumbuhkan kepercayaan yang akan mempererat hubungan berdasarkan kepercayaan.

Manfaat Informed consent dari segi hukum adalah beban komplikasi/ risiko yang

mungkin timbul akan beralih dari dokter kepada pasien. Jika hubungan antara dokter

dengan pasien sudah sedekian erat, maka jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan maka

pasien tidak akan begitu mudah menuntut dokternya (Guwandi, 2006).

Pasien dapat menuntut dokter apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa

meminta persetujuan terlabih dahulu dan hal ini digolongkan sebagai tindakan melakukan

penganiayaan berdasarkan KUHP pasal 351. Selain itu jika persetujuan yang diberikan

tidak berdasarkan atas pemberian informasi yang cukup dan adekuat pasien dapat

melakukan tuntutan berdasarkan lack of Informed consent (Guwandi, 2006).

Informed consent terdiri dari tiga bagian :

1. Pengungkapan dan penjelasan kepada pasien dalam bahasa yang dapat

dimengerti oleh pasien tentang : penegakkan diagnosis, sifat dan prosedur atau

tindakan medic yang diusulkan, kemungkinan timbulnya risiko, manfaat, dan


alternative (bila ada).

2. Memastikan bahwa pasien mengerti dengan apa yang telah dijelaskan kepadanya,

pasien telah menerima risiko-risiko tersebut dan pasien mengizinkan dilakukan

prosedur tindakan.

3. Harus didokumentasikan.

Pasien harus mempunyai kesempatan untuk berfikir dan mempertimbangkan

informasi yang diberikan oleh dokter. Informasi atau penjelasan diberikan dalam bahasa

yang dimengerti oleh pasien dan hindari menggunakan bahasa medic. Tidak dibenarkan

memberikan informasi saat pasien akan dibawa ke Kamar Bedah (Guwandi, 2006).

Keputusan pasien mengenai tindakan medic atau perawatan medic harus

dilakukan secara kolaboratif antara pasien dengan dokter. Pada prinsipnya Informed

consent adalah suatu proses bukan hanya sekedar meminta pasien untuk menandatangani

suatu formulir tetapi merupakan suatu kelanjutan atau pengukuhan yang sebenarnya

sudah disepakati antara dokter dengan pasien (Guwandi, 2006).

Doktrin Informed consent adalah suatu prinsip dalam bidang etika yang

direfleksikan ke dalam peraturan hukum. Dari segi hokum medic, memperoleh informasi

adalah hak pasien dan kewajiban dokter untuk memberikannya. Pasien berhak tanpa

harus diminta untuk memperoleh informasi mengenai panyakitnya serta tindakan medic

yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya (Guwandi, 2006).


Pada umumnya seorang dokter melihat pasien hanya dari segi medic, sedangkan

pasien memiliki factor-faktor yang harus dipertimbangkan, misalnya keuangan, keluarga,

pasien, agama, psikis, sosial, dan lain-lain. Merupakan hak azasi pasien (HAM) untuk

menrtukan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya (Guwandi, 2006).

Dokter yang akan melakukan tindakan medik bertanggung jawab dan diwajibkan

untuk memberikan penjelasan tentang Informed consent kepada pasien. Dokter bisa

dituntut karena membocorkan rahasia kedokteran, materi tentang Informed consent diatur

di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan

Tindakan Medik.Dasar hukum Informed consent adalah hubungan dokter dengan pasien

atas dasar kepercayaan, hak pasien untuk menentukan apa yang dikehendaki terhadap

dirinya sendiri, dan adanya hubungan kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien.

Tujuan doktrin Informed consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien

terhadap tindakan dokter dan memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap

suatu kegagalan dan bersifat negative karena setiap tindakan medic terdapat suatu risiko

(Guwandi, 2006).

Walaupun sudah ada Informed consent tertulis, dokter tidak bebas dari tuntutan

bila melakukan kelalaian. Persetujuan pasien tidak dapat dilakukan setelah prosedur atau

tindakan medik dilakukan karena menyalahi prinsip utama dari Informed consent yang bersifat

pro-aktif. Tidak semua tindakan medic selalu harus dimintakan Informed consent, untuk tindakan

rutin atau berisiko minimal seperti pengukuran tensi, pemeriksaan darah tidak perlu diperlukan.
Rekaman foto dan video yang merupakan bagian dari tindakan pengobatan atau foto radiologi

menggunakan kontras harus meminta izn terlebih dahulu.

Demikian pula jika foto dan rekaman video akan dipergunakan untuk pendidikan,

publikasi atau penelitian harus meminta izin khusus kepada pasiennya (Guwandi, 2006).
BAB V

RANGKUMAN

Sehubungan dengan deklarasi internasional maka di berbagai negara diadakan

peraturan-peraturan ataupun kode etik penelitian kedokteran serta panitia-panitia untuk

mengelola penelitian dari aspek etika. Yang lebih penting adalah peneliti atau dokter

harus menyadari dan memenuhi kode etik yang telah digariskan deklarasi Helsinki I

ataupun yang dibuat oleh komite etika penelitian kesehatan di tempat masing-masing

(Oemijati, S. dkk, 2010).

Masalah etika bukanlah suatu yang statis tetapi akan berkembang sesuai zaman.

Komite atau panitia etik diperlukan sebagai salah satu unsur pengembangan ilmiah harus

terbuka untuk menerima kritik demi perbaikan di masa depan (Oemijati, S. dkk, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychological Association. (2002). "2010 Amendments to the American


Psychological Association ethical principles of psychologists and code of conduct.".
Retrieved April 30, 2012.

2. Beauchamp, Tom L. and Childress, James F (1994). Principles of Biomedical Ethics.


New York: Oxford University Press.
3. Burns, Chester R. (1977). Legacies in ethics and medicine. New York: Science
History Publications. ISBN 9780882021669. In this book see Mary Catherine
Welborn's excerpts from her 1966 The long tradition: A study in fourteenth-century
medical deontology
4. Council for International Organization of Medical Sciences (CIOMS) and World
Health Organization (WHO) Geneva, Switzerland, 2002. "International Ethical
Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects".
5. Guwandi, J., 2006. Informed consent dan Informed Refusal. Ed 4th. . Jakarta. FKUI.
6. Homan, R. (1991). The ethics of social research. London; New York: Longman.
7. Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Dep. Kes.RI, Jakarta 2007 Pedoman
Nasional Etik Penelitian Kesehatan Suplemen III Jaringan Komunikasi Nasional Etik
Penelitian.
8. Komite Etik FK UNUD – RSUP Sanglah, Denpasar 2013. Standard Operatinonal
Prosedure
9. McManus, J.; S. G. Mehta, et al. (2005). ""Informed consent and ethical issues in
military medical research."". Academic Emergency Medicine 12 (11): 1120-1126.
10. Oemijati, S., Samsudin., Sutan, AM., Tamaela, LA., dan Nasar, SS. Penerapan Etika
Peneltian Kedokteran. Pada Sastroasmoro, Buku Ajar : Dasar dasar metodologi
penelitian klinis. Edisi 3. Penerbit Sagung Seto, 2010; hal : 332 – 340

Anda mungkin juga menyukai