Anda di halaman 1dari 13

METODE PENELITIAN

ETHICAL CLEARANCE

Di susun oleh :
Siti Sholehatul Anwaroh (18410009)

STIKES MITRA RIA HUSADA


SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penelitian merupakan suatu proses penyelidikan terhadap suatu subjek yang
dikerjakan dengan sistematik, penuh ketelitian dan kehati-hatian untuk mempelajari
suatu informasi atau mendapatkan informasi yang baru (Jacobsen, 2011). Informasi
yang didapatkan akan dapat memberikan manfaat di berbagai bidang kehidupan
manusia salah satunya di bidang kesehatan. Manfaat penelitian dalam bidang kesehatan
salah satunya adalah meningkatkan quality dan quantity hidup dari manusia, hewan,
ataupun subjek penelitian yang lainnya (Ross, 2012).
Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk meneliti efektivitas suatu
perlakuan untuk mencegah penyakit serta memberikan suatu informasi yang dijadikan
pedoman untuk membuat kebijakan dalam bidang kesehatan (Jacobsen, 2011). Subjek
dalam penelitian kesehatan meliputi manusia, hewan, dokumen rekam medis. Dalam
penyelenggaran penelitian tersebut, selalu ada potensi kerugian (negative consequence)
yang akan didapatkan oleh subjek dalam penelitian tersebut (Brink, 2005).
Prinsip utama dalam deklarasi ini adalah menekankan pada aspek perlindungan
pada subjek penelitian dari potensi kerugian (Schildmann, J et all, 2012). Berdasarkan
beberapa dasar peraturan internasional diatas tentang penerapan prinsip etika dalam
perlindungan subjek penelitian, maka setiap penelitian harus melewati suatu proses
ethical clearance untuk memastikan perlindungan terhadap subjek penelitian.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertin Rumusan Ethical Clearance ?
2. Apa Regulasi Etika Penelitian ?
3. Apa Konsekuensi Pelanggaran Regulasi Etika Penelitian Kesehatan?
4. Bagaimana Contoh Kasus Yang Bermasalah Pada Ethical Clearance ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian ethical clearance.
2. Untuk mengetahui regulasi etika penelitian.
3. Untuk mengetahui konsekuensi pelanggaran regulasi etika penelitian kesehatan.
4. Untuk mengetahui Contoh Kasus Yang Bermasalah Pada Ethical Clearance
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ethical Clearance


Penelitian kesehatan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari penelitian
kesehatan global. Hasil penelitian harus di publikasikan supaya masyarakat ilmiah
global mengetahui tentang penemuan penemuan pengetahuan ilmiah baru dan
ditantang menguji ulang keabsahannya. Dengan demikian penelitian kesehatan
Indonesia merupakan subsistem penelitian kesehatan global khususnya pada aspek
publikasi, kerjasama ilmiah dan pendanaan (KNEPK, 2007).
Lembaga penelitian, majalah ilmiah, industri kesehatan, sponsor dan badan
pemerintah mempersyaratkan persetujuan etik untuk penelitian yang
mengikutsertakan relawan manusia sebagai subyek penelitian. Setiap lembaga di
Indonesia yang melakukan penelitian kesehatan dengan mengikutsertakan relawan
manusia sebagai subjek penelitian mutlak harus memiliki atau menjangkau suatu
Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) di Lembaga lain (KNEPK, 2007).
B. Regulasi Etika Penelitian
Dalam melaksanan penilaian etika dalam suatu penelitian terdapat beberapa
regulasi yang mengatur etika dalam suatu peneitian khususnya penelitian kesehatan
yang melibatkan manusia sebagai subjek penelitian yang akan dijelaskan dibawah
ini.
1. Deklarasi Helsinki Standar internasional telah mengembangkan kajian ilmiah
dan etik terhadap penelitian biomedik dan perilaku yang melibatkan subjek
manusia. Dimulai dari Nuremberd Code, kemudian diperkuat dengan adanya
deklarasi Helsinki yang beberapa kali mengalami penyempurnaan dimulai dari
tahun 1964 sampai yang terbaru adalah pada tahun 2008. Dalam deklarasi
Helsinki, prinsip utama yang harus dipenuhi yaitu (Lake et all, 2015).
a. Pada penelitian kesehatan yang melibatkan manusia sebagai subjek
penelitian, peneliti harus memberi informasi tentang tujuan, metode,
sumber biaya, segala kemungkinan konflik kepentingan yang akan terjadi,
institusi asal dari peneliti, manfaat dari penelitian, serta prosedur untuk
mencegah risiko yang dimungkinkan akan terjadi.
b. Subjek yang akan menjadi subjek penelitian, harus diberikan informasi
bahwa mereka memiliki hak untuk menolak untuk menjadi subjek
penelitian ataupun keluar ketika penelitian berlangsung
c. Setelah memastikan calon subjek mengerti tentang informasi penelitian,
peneliti memberikan suatu formulir yang harus disetujui oleh calon subjek
d. Seluruh penelitian kesehatan harus memberi informasi berkaitan tentang
hasil yang akan dicapai.
e. Perhatian khusus untuk kelompok vulnerable population.
2. UK’s Nursing and Midwifery Council (2004), The Royal College of Nursing
(2007) dan The Chartered Society of Physiotherapy (2001).
Selain deklarasi Helsinki, beberapa profesi kesehatan yang lain juga memiliki
standar yang selaras dengan deklarasi Helsinki dan harus dipenuhi untuk
melaksanakan penelitian di bidangnya. Elemen yang harus dipenuhi adalah:
a. Informed consent
b. Confidentially
c. Data protection
d. Hak untuk mengundurkan diri dari penelitian
e. Penjelasan tentang manfaat dan risiko kerugian
f. Perawatan subjek penelitian dilakukan oleh seorang yang professional dan
kompeten.
C. Prinsip ICH-GCP (International Conference on Harmonization-Good
Clinincal Practice)
a. Uji klinik/penelitian harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip etik yang berasal
dari Deklarasi Helsinki dan yang sejalan dengan Good Clinical Practise dan
ketentuan yang berlaku.
b. Sebelum suatu uji klinik/penelitian diprakarsai, semua risiko dan
ketidaknyamanan yang dapat diduga sebelumnya harus dipertimbangknn
terhadap manfaat yang diharapkan bagi masing-masing subjek uji
klinik/penelitian dan masyarakat. Suatu uji klinik/penelitian harus diprakarsai
dan dilanjutkan hanya jika manfaat yang diharapkan lebih besar dari pada
risikonya.
c. Hak, keamanan dan kesejahteraan subjek uji klinik/penelitian, merupakan
pertimbangan yang paling penting dan harus mengalahkan kepentingan ilmu
pengetahuan dan masyarakat.
d. Informasi non-klinik dan klinik mengenai suatu produk yang diteliti harus
memadai untuk menunjang uji klinik/penelitian yang diusulkan.
e. Uji klinik/penelitian harus berlandaskan ilmiah yang kuat dan diuraikan dalam
protokol dengan rinci dan jelas.
f. Suatu uji klinik/penelitian harus dilaksanakan sesuai dengan protokol yang
sebelumnya telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan.
g. Pelayanan medik yang diberikan kepada subjek harus selalu menjadi tanggung
jawab seorang dokter yang terkualifikasi atau jika sesuai, atau seorang dokter
gigi yang memenuhi syarat.
h. Setiap individu yang terlibat dalam pelaksanaan suatu uji klinik/penelitian
harus memenuhi syarat pendidikan, pelatihan, dan pengalaman untuk
melaksanakan tugasnya masing-masing.
i. Persetujuan dari subjek penelitian yang diberikan, bebas dari tekanan harus
diperoleh dari setiap subjek sebelum yang bersangkutan ikut serta dalam uji
klinik/penelitian.
j. Semua informasi uji klinik/penelitian harus direkam, ditangani dan disimpan
dengan cara yang memungkinkan untuk dilaporkan, diinterpretasi, dan
diverifikasi secara akurat.
k. Kerahasiaan rekaman yang dapat mengidentifikasi subjek harus diiindungi,
demi menghargai hak pribadi dan peraturan kerahasiaan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
l. Produk yang diteliti harus dibuat, ditangani dan disimpan sesuai dengan Good
Manufacturing Practice (GMP)/Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang
berlaku dan harus digunakan sesuai dengan protokol yang disetujui.
m. Sistem dengan prosedur yang menjamin mutu dari setiap aspek prinsip uji
klinik/penelitian harus diperlakukan.
D. Undang-undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
Pada tanggal 17 September 1992 di Indonesia telah diundangkan dan diberlakukan
UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan sebagai pengganti UU No.9 tahun 1960
tentang pokok-pokok kesehatan dan beberapa perundang-undangan lainnya di
bidang kesehatan. Dalam pasal 69 UU No.23 tahun 1992 tersebut diatur tentang
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan sebagai berikut:
a. Penelitian dan pengembangan kesehatan dilaksanakan untuk memilih dan
menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang diperlukan dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan.
b. Penelitian, pePenelitian, pengembangan dan penerapan hasil penelitian pada
manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan
memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
c. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kesehatan pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan
kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
d. Ketentuan mengenai penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3) ditetapkan dengan peraturan
pemerintah. Dalam penjelasan pasal 69 ayat (3) No.23 tahun 1992 tersebut
ditegaskan bahwa: penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kesehatan yang menggunakan manusia sebagai objek penelitian harus
dilaksanakan dengan memperhatikan etika penelitian dan norma yang berlaku
dalam masyarakat. Norma masyarakat yang dimaksud adalah norma hukum,
norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan.
E. Konsekuensi Pelanggaran Regulasi Etika Penelitian Kesehatan
Konsekuensi yang harus dilaksanakan oleh peneliti jika melanggar regulasi etika
penelitian kesehatan adalah sebagai berikut:
a. Aspek keperdataan
Apabila karena kesalahan atau kelalaian menimbulkan kerugian berupa
terganggunya kesehatan, cacat atau kematian maka wajib memberikan ganti
rugi.
b. Aspek pidana
Apabila dalam pelaksanaan penelitian tidak memperhatikan norma yang
berlaku dalam masyarakat, dan tidak memperhatikan kesehatan dan
keselamatan yang bersangkutan Sebagaimana dimaksud pasal 5 (2) dan (9)
Peraturan Pemerintah No.39 tahun 1995. Dikenakan pidana penjara maksimum
7 tahun dan pidana Rp.140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupuah). Dasar
hukum pasal 81(2) UU No.23 tahun 1992 pasal 19, Peraturan Pemerintah 39
tahun 1995. Tidak sesuai dengan standar profesi penelitian kesehatan
sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (1)
 Tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 7
 Tanpa persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat
(1), (2), (3).
 Tanpa memberi informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 10
dikenakan pidana denda maksimum Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah). Dasar hukumnya pasal 86 (2), UU No.23 tahun 1992, pasal 20
Peraturan Pemerintah 39 tahun 1995.
F. Contoh Kasus Yang Bermasalah Pada Ethical Clearance
Pertama: Sehubungan dengan prinsip etis berupa manfaat atau keuntungan,
perlu dirumuskan secara akurat dan kontekstual dalam mendefinisikan
“keuntungan” (benefit; apakah misalnya berbentuk penyediaan layanan kesehatan
yang sebelumnya tidak ada, pembangunan kapasitas individu dan kelembagaan,
akses terhadap intervensi kesehatan masyarakat, dan sebagainya), “penerima
keuntungan” (beneficiaries), dan cakupan kewajiban untuk memberikan
keuntungan tersebut. Urgensi ini didasarkan atas kenyataan bahwa berbagai
pedoman etis penelitian berbeda-beda dalam menekankan batasan atau definisi
“keuntungan” bagi partisipan penelitian.
Beberapa peneliti dapat berpangkal dari pertanyaan penelitian yang serupa,
namun pada konteks sosial yang berbeda, kesimpulan penelitian dapat sangat
berbeda atas pertimbangan aspek “keuntungan”, “penerima keuntungan”, dan
“cakupan kewajiban” tersebut. Menurut Lairumbi, Michael, Fitzpatrick, dan
English (2011), fokus pedoman etis—khususnya dalam penelitian di bidang
kesehatan pada lingkungan sosial yang miskin—telah bergeser. Semula fokusnya
adalah proteksi (perlindungan) individu partisipan penelitian dari segala
kemungkinan eksploitasi dalam penelitian.
Kecenderungan kemajuan etika saat ini, fokus ini sekarang bergeser
menjadi lebih holistik, yakni bahwa penerima perlindungan dan keuntungan
mencakup juga kepentingan komunitas serta kepentingan bangsa yang menaungi
komunitas tersebut. Asumsinya adalah bahwa penelitian pada orang miskin pada
hakikatnya menyentuh pertanyaan yang lebih mendasar yakni persoalan keadilan
(justice), yang niscaya berhubungan dengan konektivitas partisipan penelitian
dengan komunitas dan bangsanya. Pada konteks yang lain, Bhutta (2002, h. 118)
menambahkan, “It is critical to link issues of health, health research, ethics, and
equity as vital components of the same equation.” Mengurangi kesenjangan
ketidaksetaraan antara negara berkembang seperti Indonesia dengan negara-negara
yang lebih maju sebelum menerapkan prinsip-prinsip etis akan membantu
meningkatkan status kesehatan populasi penelitian.
Bentuk-bentuk kemitraan dan jejaring sosial antar lembaga-lembaga
penelitian, industri, dan kesehatan dengan dunia internasional, di samping
peningkatan kapasitas dan aksi lokal dalam hal layanan kesehatan, dapat membantu
mengurangi kesenjangan tersebut. Pertanyaan lain yang perlu diperhatikan adalah
apakah yang seyogianya peneliti lakukan apabila menghadapi situasi dalam mana
penemuan teknologi baru, obat baru, terapi atau intervensi baru, berimplikasi pada
ongkos yang lebih besar daripada yang dapat dibayar oleh wajib pajak guna
menyediakan populasi perlindungan kesehatan yang lebih luas dan lebih baik
(Buchanan & Miller, 2006).
Apakah pendekatan pragmatis tentang keadilan harus dikedepankan?
Misalnya, apabila kualitas tertinggi dari layanan kesehatan tidak memungkinkan
seperti dalam situasi yang disebutkan terakhir itu, dan agar tidak terjadi kondisi
status quo; maka apakah penelitian lebih baik diarahkan kepada pengembangan
alternatif teknologi, obat, dan terapi, yang kurang mahal namun mampu
menjangkau populasi yang lebih luas walau tidak mencapai kualitas layanan yang
tertinggi?
Kedua: Dove, Avard, Black, dan Knoppers (2013) baru-baru ini menulis
sebuah artikel mengenai pemerolehan informed consent dalam riset kesehatan anak
(pediatri). Mereka menemukan buktibukti bahwa terdapat kesenjangan, variabilitas,
serta inkonsistensi yang besar dalam isi formulir persetujuan, yang pada akhirnya
dapat mencederai hak anak, di samping menyebabkan perlindungan yang
kualitasnya tidak merata antar anak yang satu dan anak yang lain dalam berbagai
penelitian pediatrik. Dalam hal ini, penting untuk merumuskan istilah “risiko”
dalam penelitian kesehatan anak. Dove et al. meminjam definisi risiko dari
Canada’s 2010 Tri-Council Policy Statement yang menyatakan bahwa risiko
merupakan “sebuah fungsi dari magnitudo atau keseriusan kerugian, serta
probabilitas bahwa kerugian akan terjadi”. Namun demikian, definisi ini tidak
mengemukakan batasan dari “kerugian” (harm) itu. Dalam riset pediatrik
(khususnya penelitian genetik, biobanking, dan longitudinal), kerugian dapat
mencakup kerugian psikologis, sosial, finansial, serta kerugian komunitas, di
samping kerugian fisik. Setidaknya ada enam isu terkait dengan informed consent
dalam riset pediatrik (Dove et al., 2013), yakni:
1. apakah cakupan persetujuan orangtua (parental consent) mempertimbangkan
persetujuan (assent) dan ketidaksetujuan (dissent) dari anak serta persetujuan
anak di masa mendatang (future consent);
2. apakah konsep risiko dan keuntungan memasukkan perspektif psikologis dan
sosial dari anak;
3. apakah kemampuan anak untuk mundur dari penelitian dihormati dan sejauh
mana pengunduran diri diizinkan;
4. apakah pengembalian hasil penelitian mencakup hasil individual dan/atau hasil
insidental serta proses-proses yang melibatkan anak;
5. apakah privasi dan konfidensialitas mempertimbangkan perspektif anak dan
apakah data standar dan/atau nomenklatur identifiabilitas sampel digunakan;
serta
6. apakah retensi dan akses terhadap sampel biologis pediatrik serta data medis
terkaitnya dicakup oleh informed consent. Namun demikian, Dove et al.
mengingatkan (h. 9):
“…. consent forms cannot and should not include all issues under the sun
…. More information is not always better information; indeed, consent form length
may not materially affect the quality of informed consent or consent rate ….
Appreciation for contextualisation and brevity must be distinguished from
inappropriate omissions or unreasonable and unpredictable ethical standards.”
Harus diakui bahwa penelitian medis telah menyelamatkan berjuta-juta
kehidupan umat manusia dalam abad yang lalu. Faktanya adalah, penelitian
(terhadap obat-obatan, vaksinasi, pengobatan dan pembedahan) yang dilakukan
dalam abad XIX dan XX telah berhasil menyelesaikan berbagai macam problem
kesehatan pasien serta memperpanjang harapan hidup rata-rata. Contohnya, jika
pada awal abad XX harapan hidup rata-rata orang Amerika adalah sekitar 49 tahun,
maka pada permulaan abad XXI telah meningkat tajam menjadi 77 tahun.
Tentu tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya kegiatan
penelitian dihentikan lebih dini. Tetapi dunia kedokteran juga tidak boleh
menghapus sejarah hitam dari banyak penelitian yang mengerikan, berbau rasis,
menyalah-gunakan golongan rentan (abused of vulnerable group), tidak jujur
(bersifat membohongi) dan tidak memperhatikan keselamatan dari subjek manusia
yang diteliti.
Beberapa penelitian melanggar etika (unethical research) yang dilakukan
sejak sebelum Perang Dunia Kedua antara lain:
Pertama, pada 1932, seorang dokter dari the Rockefeller Institute for
Medical Investigations melakukan penelitian dengan menyuntikan sel-sel kanker
kedalam tubuh warga Puerto Rican. Paling tidak 13 pasien meninggal dunia
karenanya. Dokter itu, Cornelius Rhoads, menulis agar populasi Puerto Rican
dieradikasi. Dalam perang dunia kedua beliau juga memapar para prajurit Amerika
dengan radiasi untuk mengukur seberapa jauh pengaruhnya.
Kedua, pada 1940, para narapidana di penjara Chicago disuntik dengan
parasit malaria (yang masih hidup) untuk mengevaluasi kemanjuran obat baru
terhadap penyakit tersebut. Program ini dianggap esensial berkaitan dengan
keterlibatan Amerika dalam waktu dekat di Perang Dunia II. Penelitian ini
digunakan oleh dokter dokter Nazi di peradilan Nuremberg untuk membela
tindakan mereka di kamp-kamp kematian.
Ketiga, pada September 1950, US Army menyebarkan bakteri serratia di
atas kota San Frasisco untuk mengetahui sejauh mana kerentanan sebuah kota
terhadap serangan senjata biologi (biological attack). Akibatnya. beberapa
penduduk kota itu mengalami resistensi obat terhadap infeksi bakteri (drug-
resistant bacterial infections), dan salah seorang diantaranya meninggal dunia.
Keempat, pada 1966, US Army kembali menyebarkan bakteri bacillus
subtilis varian Niger di jaringan kereta bawah tanah di New York City. Akibatnya,
jutaan orang Amerika secara tidak sadar terpapar oleh bakteri tersebut.
Kelima, pada 1990, beribu-ribu bayi Hispanic (penduduk Amerika
berbahasa Spanyol) dan African-American mengalami percobaan eksperimental
dengan disuntik measles vaccine yang pada waktu itu belum memperoleh izin
(lisensi). Orangtua dari bayi-bayi itu tidak diberi informasi samasekali bahwa
vaksin tersebut masih dalam tahapan eksperimen.
Keenam, pada 1999, the Veteran’s Adminstration West Lost Angeles
Medical Center terpaksa menghentikan sebuah proyek penelitian setelah diketahui
bahwa penelitian tersebut dilakukan tanpa informed consent.
Ketujuh, pada 2001, lisensi penelitian dari John Hopkin’s Research dicabut
oleh the Federal Office of Human Research Protection setelah rumah sakit
ketahuan tidak memberitahu kepada pasien peserta penelitian bahwa obat
hexamethonium yang diberikan masih dalam tahapan eksperimen dan toksik. Salah
seorang pasien meninggal dunia setelah menghirup obat tersebut di bawah
supervisi dokter.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan 
Sehubungan dengan deklarasi internasional maka di berbagai negara diadakan
peraturan-peraturan ataupun kode etik penelitian kedokteran serta panitia-panitia untuk
mengelola penelitian dari aspek etika. Yang lebih penting adalah peneliti atau dokter harus
menyadari dan memenuhi kode etik yang telah digariskan deklarasi Helsinki I ataupun
yang dibuat oleh komite etika penelitian kesehatan di tempat masing-masing (Oemijati, S.
dkk, 2010). Masalah etika bukanlah suatu yang statis tetapi akan berkembang sesuai
zaman. Komite atau panitia etik diperlukan sebagai salah satu unsur pengembangan ilmiah
harus terbuka untuk menerima kritik demi perbaikan di masa depan (Oemijati, S. dkk,
2010)
DAFTAR PUSTAKA

Di Kutip pada tanggal 22 September 2021 pukul 17.00


https://www.iik.ac.id/webv2/home/files/uploaded/v3_iik.april_BUKU_PANDUAN_ETIK.
pdf.pdf
Di Kutip pada tanggal 22 September 2021 pukul 17.10

http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/11583/1/357ad59caac3746c8bce10250f16a6ce.pdf

Di Kutip pada tanggal 22 September 2021 pukul 17.40

https://media.neliti.com/media/publications/51149-ID-isu-etik-dalam-penelitian-di-bidang-
kesehatan.pdf

Anda mungkin juga menyukai