GBS membutuhkan pengajar yang bisa menjadi pemandu, bukan sekedar mentransfer
ilmu saja. Pengajar pada model GBS harus dapat berinteraksi dengan siswa didik.
Keberadaan buku teks diperlukan sebagai landangan teoritis, lebih penting lagi pengajar
mencari bahan kajian dari kejadian atau praktek yang terjadi di dunia nyata. Perbedaan
antara GBS dengan model pembelajaran konvensional adalah pada pengntegrasian
pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh untuk digunakan dalam
menyelesaikan masalah atau mencapai sasaran dalam bekerja. Dengan kata lain, GBS
lebih memotivasi dan mendorong siswa untuk mempelajari tidak saja pengetahuannya,
akan tetapi apa yang ada di balik pengetahuan tersebut.
Proses pembelajaran yang dapat dianggap sebagai PBL harus memenuhi keriteria
sebagai berikut:
a) Diselenggarakan di kelas dengan siswa yang beragam (siswa biasa dan yang
berbakat)
b) Terintegrasi dengan kurikulum atau program
c) Mengakomodasi pengajar dan siswa untuk menerapkan model pemecahan masalah
yang baru
d) Mengijinkan siswa untuk beralih dari rangkaian pembelajaran pengajar dan
menggunakan rencana mereka sendiri
Ashman, Wright & Conway (Kutama, 2002) juga menyampaikan adanya 4 tahap di
dalam PBL
fokus di dalam PBL adalah pada kegiatan siswa untuk memperoleh pengatahuan. Salah
satu aspek penting di dalam PBL adalah meningkatkan jumlah aktivitas mental selama
proses belajar. Siswa didorong untuk terlibat di dalam kegiatan belajar yang menuntut
perhatian mereka seperti berpikir, mengajukan jawaban, menganalisis, dan
membandingkan teori. Pengembangan model mental kontekstual juga dirangsang dalam
bentuk dorongan agar siswa mempelajari berbagai konten secara simultan dan
menggunakannya sesuai kebutuhan. PBL mencakup kegiatan belajar mengajar yang
mendorong peningkatan kompetensi belajar dari siswa (peningkatan kualitas kognitif
dan metakognitif) sehingga siswa lebih mampu dalam mengendalikan proses belajar
mereka serta lebih bertanggung jawab atas keberhasilan mereka dalam membentuk
pengetahua yang komprehensif.
Hasil dapat berupa pencapaian keterampilan dan pengetahuan pada tingkat tertentu,
penurunan jumlah angkatan muda yang tidak bekerja atau return-oninvestment (Wiki,
2014). Pendekatan Outcome-based Education ini diterapkan pada kurikulum yang
berorientasi pada pencapaian kompetensi, seperti KBK. Kurikulum berorientasi pada
pencapaian kompetensi, merupakan upaya untuk mempersiapkan peserta didik agar
memiliki kemampuan intelektual, emosional, spiritual dan social yang bermutu tinggi
sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing seperti yang digariskan dalam
undang-undang dan peraturan pemerintah (Saepudin, 2012).