Anda di halaman 1dari 23

REFLEKSI KASUS Januari 2019

MANAJEMEN ANESTESI UMUM DENGAN


GENERAL ENDOTRACHEAL ANESTHESIA
(GETA) PADA PASIEN DENGAN ODONTECTOMY

Disusun Oleh:
Diah Nur Ayu.R
N 111 17 120

Pembimbing Klinik:
dr. Imtihana Amri., Sp.An., M.Kes

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi


menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah
pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai dengan
perkembangan ilmu kedokteran. Adapun definisi ilmu anestesi dan reanimasi saat
ini adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk
mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman serta ilmu yang
mempelajari tatalaksana untuk menjaga dan mempertahankan hidup dan
kehidupan pasien selama mengalami kematian akibat obat anestesi. Anestesi pada
semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk memudahkan operator
dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan tujuan operasi tercapai.
Adapun target anestesi itu sendiri yaitu yang lebih dikenal dengan trias anestesia
yang meliputi tiga target yaitu hipnotik, anelgesia, relaksasi (Purnomo, 2015).
Pemilihan jenis anestesi sangat bergantung pada kemampuan dan
pengalaman, peralatan dan obat-obatan yang tersedia dan keadaan klinis. Selain
itu, pemilihan teknik anestesi juga ditentukan oleh kondisi klinis pasien, waktu,
tidakan gawat darurat, keadaan lambung. (Dobson, 2015).
Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar
selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apa pun
yang terjadi. Anestesi umum biasanya dihasilkan oleh kombinasi obat intravena
dan gas yang dihirup (anestesi). "Tidur" pasien yang mengalami anestesi umum
berbeda dari tidur seperti biasa. Otak yang dibius tidak merespon sinyal rasa sakit
atau manipulasi bedah. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan
pernapasan pasien dan memantau fungsi vital tubuh pasien selama prosedur
anestesi berlangsung.
Gigi impaksi adalah gigi yang tidak erupsi atau erupsi sebagian yang proses
erupsinya dipengaruhi oleh gigi tetangga, tulang, atau jaringan sekitar yang
patologis. Gigi impaksi merupakan sebuah fenomena yang sering terjadi di
masyarakat. Gigi impaksi merupakan sumber potensial yang terus-menerus dapat
menimbulkan keluhan sejak gigi mulai erupsi. Keluhan utama yang paling sering
dirasakan adalah rasa sakit dan pembengkakan yang terjadi di sekeliling gusi gigi
tersebut. (Alamsyah,2005)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. IMPAKSI GIGI
Gigi impaksi adalah gigi dimana jalan erupsi normalnya terhalang
atau terblokir, biasanya oleh gigi di dekatnya atau jaringan patologis.
Impaksi diperkirakan secara klinis apabila gigi antagonisnya sudah erupsi
dan hampir dipastikan apabila gigi yang terletak pada sisi yang lain sudah
erupsi. Gigi impaksi terjadi karena tidak tersedianya ruangan yang cukup
pada rahang untuk tumbuhnya gigi dan angulasi yang tidak benar pada gigi
tersebut (Pranjoto, 2005).
Gigi molar tiga adalah gigi yang paling akhir erupsi dalam rongga
mulut, yaitu pada usia 18-24 tahun. Keadaan ini kemungkinan menyebabkan
gigi molar tiga lebih sering mengalami impaksi dibandingkan gigi yang lain
karena seringkali tidak tersedia ruangan yang cukup bagi gigi untuk
erupsi( Chu, 2010).
Etiologi dari gigi impaksi bermacam-macam diantaranya kekurangan
ruang, kista, gigi supernumerer, retensi gigi sulung, infeksi, trauma, anomali
dan kondisi sistemik. Faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya
impaksi gigi adalah ukuran gigi. Sedangkan faktor yang paling erat
hubungannya dengan ukuran gigi adalah bentuk gigi. Bentuk gigi ditentukan
pada saat konsepsi. Satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diingat
bahwa gigi permanen sejak erupsi tetap tidak berubah. (Chanda, 2007).
Definisi dari odontektomi adalah tindakan mengeluarkan gigi secara
bedah, diawali dengan pembuatan flapmu-koperiosteal, diikuti dengan
pengambilan tulang undercut yang menghalangi pengeluaran gigi tersebut.
Prosedur odentektomi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dikeluarkan
secara utuh dan secara separasi. Indikasi pengangkatan gigi molar tiga
antara lain pericoronitis berulang, periodontitis yang sudah lanjut pada gigi
yang jaringan pendukungnya sudah rusak, lesi-lesi pada tulang alveolar,
perawatan orthodonti dan orthognathic surgery, indikasi-indikasi medis,
profilaktik. Prinsip dasar dari pengangkatan impaksi gigi pada mandibula
adalah teknik separasi. Sebelum teknik ini berkembang, ruang untuk
mengungkit gigi didapat dengan pembuangan tulang yang banyak,
mengakibatkan lebih banyak trauma. (Mathog, 2001).

II. PREMEDIKASI UNTUK ANESTESI DAN OPERASI


Premedikasi merujuk pada pemberian obat apa pun selama periode
sebelum dilakukannya induksi anesthesia, sebagai tambahan dari obat-obat
yang biasanya dikonsumsi pasien. Tujuan dari premedikasi adalah untuk
ansiolisis, amnesia, antiemetik, antasida, antiautonomik, dan analgesia.
(Gwinnuut, 2014).
Pasien yang akan di operasi biasanya diberikan premedikasi karena
a. Diberikan sedatif untuk mengurangi ansietas (meskipun ini tidak
diperlukan pada anak yang berusia kurang dari 2 tahun)
b. Diberikan sedatif untuk mempermudah konduksi anestesi.
c. Diberikan analgetik jika pasien merasa sakit preoperative atau dengan
latar belakang analgesia selama dan sesudah operasi.
d. Untuk menekan sekresi, khususnya sebelum penggunaan ketamine
(dipakai atropine, yang dapat digunakan untuk aktifitas vagus dan
mencegah bradikardia, khususnya pada anak-anak).
e. Untuk mengurangi resiko aspirasi isi lambung, jika pengosongan
diragukan, misalnya pada kehamilan (pada kasus ini diberikan antasida
peroral). (Dobson, 2012)

III. ANESTESI UMUM ENDOTRACHEAL


Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara
inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana
akan dilakukan operasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi.
Induksi anestesi merupakan peralihan dari keadaan sadar dengan reflek
perlindungan masih utuh sampai dengan hilangnya kesadaran (ditandai
dengan hilangnya reflek bulu mata) akibat pemberian obat–obat anestesi.
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anastesi umum
diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal.
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui
mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan
memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis dengan
mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Tujuan
dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk memudahkan
pemberian anastesi, membersihkan saluran trakheobronchial,
mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi.
Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai
oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Sebagai proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
d. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan
tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk
menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
e. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang
tenang dan tidak ada ketegangan.
f. Operasi intra-torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan
dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah
pengontrolan tekanan intra pulmonal.
g. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi
intestinal.
h. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.

Beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal


antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang
vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Dalam prediksi kesulitan intubasi sering di pakai 8T yaitu : Teeth,


Tongue, Temporo mandibula joint, Tonsil, Torticolis, Tiroid notch/TMD,
Tumor, Trakea. Sebelum mengerjakan intubasi endotrakea, peralatan yang
harus disiapkan adalah STATICS, yaitu S (Scope, laringoskop, steteskop),
T(Tube, pipa endotrakeal),A (Airway tube,pipa orofaring / nasofaring), T
(Tape, plester), I (Introducer, stilet, mandren), C (Connector, sambungan-
sambungan), S (Suction, penghisap lendir).
Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini :
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai
Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
wanita
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan


goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering
terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.
Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping
itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari
obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi
oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena
laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia
dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi
akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%.
Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik
dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi.
a. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten
selama 5-10 menit.
b. Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau
ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
c. Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
d. Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5
mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
e. Menggunakan anestesia topikal pada airway.
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Nv
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 32 tahun
Berat badan : 50 kg
Tinggi Badan : 155 cm
IMT : 20,81 (Normal)
Alamat : Desa Tawani, Mamuju Utara
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Tanggal Operasi : 2 Januari 2019

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama: Sakit pada gusi
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan sakit pada gusi kiri dan kanan yang dialami
sudah kurang lebih sudah 1 tahun yang lalu, sakit pada gusi memberat
beberapa bulan terakhir. Pasien mengaku sulit untuk makan. Mual (-),
Muntah (-), demam (-),BAK lancar dan BAB Biasa.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami darah tinggi saat hamil anak pertama dan kedua.
Dari ayah pasien juga mengalami darah tinggi. Untuk riwayat diabetes
melitus tidak ada namun ibu pasien mengalami diabetes melitus.
D. Riwayat Merokok
Pasien tidak memiliki riwayat merokok.
E. Riwayat Alergi
Pasien memiliki riwayat alergi makanan berupa seafood
F. Riwayat Pembedahan dan Anestesi
Pasien pernah menjalani operasi secsio sesarea dua kali. Pada operasi
Secsio sesaria pasien di bius setengah badan.

III. PEMERIKSAAN FISIK


 B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR: 24 x/menit, Mallampati: 2,
JMH: 6 cm, Riwayat asma (-) alergi (+), batuk (-), sesak (-) leher pendek (-),
pergerakan leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), pernapasan
bronkovesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-)
 B2 (Blood)
Akral hangat,TD : 120/80 mmHg, HR : 88x/menit irama reguler, CRT < 2
detik. masalah pada sistem cardiovaskuler (-).
 B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis, Pupil: isokor Ø 3 mm/3mm, Refleks Cahaya +/+
 B4 (Bladder)
BAK lancar, produksi kesan normal, warna kuning jernih, frekuensi 5-6 kali
sehari
 B5 (Bowel)
Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen: Inspeksi tampak cembung, kesan
normal, Auskultasi peristaltik (+), kesan normal, Palpasi tidak ada nyeri
tekan, tidak teraba massa, Perkusi tympani (+) pada seluruh lapang abdomen.
 B6 Back & Bone
Nyeri (-), krepitasi (-) morbilitas (-), ekstremitas deformitas (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Darah Rutin
WBC : 7,56x 103μL (4,8 – 10,8 x 103μL)
RBC : 4,77 x 106 μL (4,7 – 6,1 mg/dL)
Hb : 13,1 g/dl (14 – 18 g/dl)
PLT : 255 x 103 μL (150 – 450 x 103 μL)
HCT : 38,9% (42 – 52 %)
Clotting time : 7 menit (4 – 12 menit)
Bleeding time : 3 menit (1 – 4 menit)
HbsAG : non reaktif (non reaktif)
Glukosa sewaktu : 77,3 mg/dl (80 – 199 mg/dL)
Ureum : 20,4 mg/dL (15 – 43 mg/dL)
Creatinine : 0,52 (0,50 – 0,90 mg/dL)
SGOT : 15,9 (0,0-31,0 U/L)
SGPT :18,9 (0,0-31,0 U/L)

B. Radiologi
Foto proksimal
- Inpaksi gigi molar 38|40
- Caries gigi |7
- Missing gigi 6|

V. DIAGNOSIS KERJA
Impaksi gigi molar 38|40

VI. TINDAKAN
Odontectomy

VII. KESAN ANASTESI


Pasien termasuk kategori PS ASA kelas II.

VIII. PERSIAPAN PRE OPERATIF


Di Ruangan
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Puasa 8 jam pre operasi
c. Antibiotic profilaksis: Cefobactam 1gr/iv 1 jam sebelum operasi
Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter”
i. Kartu catatan medic anestesia.

Tabel Komponen STATICS


S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah
saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan
napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea
mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan introducel
atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
IX. PROSEDUR GENERAL ANESTESI
a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan cairan
RL 18 tpm
b. Memasang monitor untuk melihat tekanan darah, heart rate, saturasi oksigen
dan laju respirasi.
c. Diberikan obat premedikasi yaitu Midazolam 1mg/iv, Fentanyl 70 µg/iv,
dexamethason 5 mg/iv, ondancentron 4 mg/iv dan obat prabedah asam
tranexamat 250 mg/iv
d. Diberikan obat induksi yaitu propofol 100 mg/iv
e. Memposisikan leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi pada leher
f. Memberikan oksigenasi kepada pasien melalui masker yang melekat pada
wajah dengan aliran 5-8 lpm selama 3-5 menit
g. Memberikan obat relaksan yaitu Tramus 25 mg/iv tunggu 3-5 menit.
h. Melakukan intubasi trachea dengan memasukan laringoskop secara lembut
hingga pita suara sudah terlihat
i. Memasukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian
proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1 –2 cm atau pada orang
dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm
j. Mengangkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan
udara 5 –10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
k. Menghubungkan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil
melakukan auskultasi, pertama pada lambung, kemudaian pada paru
kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada.Bila terdengar
gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti pipa ET
masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi setelah
melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya bunyi nafas
di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam
bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET.
l. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, mengembangkan balon cuff dengan
menggunakan spuit 10 cc.
m. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut
n. Maintenance selama operasi diberikan:
 O2 5-10 lpm via Endo Trachea Tube (ETT)
 Sefoflurans 3 vol %
o. Operasi selesai, pasien bernafas spontan, adekuat dan hemodinamik stabil.
Dilakukan ekstubasi dengan pasien dalam keadaan sadar
p. Diberikan ketorolak 30 mg/iv
q. Pasien di transfer ke recovery room.

 Laporan Anestesi Durante Operatif


1. Jenis anestesi : Anestesi umum (General Anestesi)
2. Teknik anestesi : Intubasi Endotrakeal
3. Obat : Midazolam, Fentanyl, Dexamethason,
Ondancentron, asam traneksamat, tramus, Sevofluran
4. E.T.T No. : 7,0
5. Lama anestesi : 1 jam 5 menit
6. Lama operasi : 50 menit
7. Anestesiologi : dr. Faridnan, Sp.An
8. Ahli Bedah : drg. Moh Gazali Sp,BM
9. Infus : 1 line di tangan kanan
MONITORING ANESTESI

160

140

120
Sistol (mmHg) Diastol (mmHg) Denyut Nadi (x/menit) Durasi Anestesi
100
Durasi Operasi
80

60

40
20

0
9:55 9:50

Lama anestesi: 1 jam lebih 5 menit


Lama operasi: 50 menit

X. PERHITUNGAN CAIRAN
a. Estimasi Blood Volume
EBV = 65 x BB
= 65 x 50 Kg
EBV = 3.250 cc
Jumlah perdarahan : ± 50 cc
% perdarahan : 50/3.250 x 100% = 1,5 %
b. Cairan masuk :

Kristaloid : 600 ml
Whole blood : -
Total cairan masuk : 600 ml

c. Cairan Keluar :

Perdarahan : ± 50 ml
Urin :-
Total cairan keluar : 50 ml

d. Input yang diperlukan selama operasi


1. Cairan Maintanance (M) : 35 cc/KgBB/24jam

= 35 x 50 kg= 1750 cc/ 24 jam = 73 cc/jam

2. Cairan defisit pengganti puasa (PP) : Lama puasa x maintenance = 8 x


73ml = 584 ml – 400ml (cairan yang masuk saat puasa) = 184 ml
3. Karna odontectomy merupakan operasi ringan maka, balance cairan
untuk stress operasi adalah : 4cc x BB = 4 x 50 = 200 ml/jam
4. Cairan defisit darah selama 50 menit 50 ml
(Cairan diganti dengan kristaloid, 50ml x 3 = 150ml)
Total kebutuhan cairan selama 50 menit operasi = 73 + 184 + 200 + 150 =
607 ml
e. POST OPERATIF
Tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 86 x/menit, pernapasan 22 x/menit,
Glasgow coma scale E4V5M6.

Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Aldrette score
Pergerakan: gerak bertujuan 2
Pernafasan: teratur 2
Warna kulit: merah muda 2
Tekanan darah: berubah sekitar 20% 2
Kesadaran: sadar penuh 2
Skor Aldrette 10
BAB III
PEMBAHASA
N

Pada kasus ini, Pasien Ny.Nv umur 32 tahun dengan diagnosis


pra Impacted gigi molar 38|40 yang akan dilakukan tindakan
pembedahan odontectomy pada tanggal 4 Juli 2018.
Idealnya, setiap pasien harus diperiksa oleh ahli anestesi
sebelum dilakukan pembedahan agar dapat mengidentifikasi,
mengelola dan meminimalkan risiko-risiko (Gwinnutt, 2010).
Berdasarkan data anamnesis pre operatif, ditemukan bahwa pasien
memiliki riwayat penyakit hipertensi setiap hamil dan di dalam
keluarga juga terdapat riwayat hipertensi. Selama ini pasien
mengkonsumsi obat hipertensi saat hamil saja. Pasien juga tidak
memiliki riwayat merokok, pasien alergi terhadap makanan terutama
seafood. Pasien penah menjallani operasi secsio sesarea dua kali.
Pemeriksaan fisik menunjukkan tidak terdapat kelainan pada B1-B6.
Pada pemeriksaan penunjang berupa foto polos terlihat impacted
pada gigi molar dan tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan
penunjang lainnya yang menjadi kontraindikasi untuk dilakukannya
operasi.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien
digolongkan pada PS ASA II, sebab pasien memiliki kelainan
sistemik ringan sampai sedang selain penyakit yang akan dioperasi
(Gwinnutt, 2014). Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan
anestesi. Pada kasus ini diputuskan untuk melakukan general anestesi dengan
teknik intubasi endotrakeal. Pada pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan
adalah jenis general anastesi dikarenakan lokasi operasi yaitu di mulut, sehingga
tidak memungkinkan untuk dilakukan anestesi spinal. Adapun indikasi dilakukan
general anastesi adalah karena pada kasus ini diperlukan mempertahankan jalan
nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan,
mempermudah pemberian anestesia, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi
isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks
batuk) dan pemakaian ventilasi mekanis yang lama, serta mengatasi obstruksi
laring akut. Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan
endotrakheal tube. Posisi Pasien untuk tindakan intubasi adalah leher dalam
keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut
sebagai Sniffing in the air possition.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien, BB
pasien 50 Kg yaitu sehingga kebutuhan cairan maintenance pasien adalah (M) :
35cc/kgBB/24jam x 50 = 1750 ml/24jam atau 73 ml/jam. Sebelum dilakukan
operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Penggantian puasa dalam terapi cairan
ini yaitu 8 x maintenance. Sehingga total cairan yang harus dipenuhi selama 8
jam ini adalah 584 ml dan total cairan yang masuk saat puasa adalah 400 ml
sehingga didapatkan defisit cairan pengganti puasa sebanyak 184 ml. Tujuan
puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-
obat anestesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama
anestesi.
Pada kasus ini dilakukan pembedahan jenis odontektomi, dimana operasi
odontektomi ini merupakan operasi yang ringan, sehingga diperoleh total cairan
pengganti operasi = 4cc x 50 Kg = 200 ml/jam. Selama operasi jumlah defisit
darah adalah 50 ml sehingga memerlukan pergantian cairan dengan kristaloid
sebanyak 150 ml. Total kebutuhan cairan sebanyak 607 ml. Pasien mendapatkan
100 ml cairan preoperatif dan 500 ml pada durante operatif , jadi total untuk
cairan yang masuk adalah 600 ml. Sehingga terdapat kekurangan cairan 7 ml.
Pasien telah kehilangan darah ± 50 cc. Menurut perhitungan, perdarahan yang
lebih dari 20% EBV harus dilakukan transfusi darah. Pada kasus ini tidak
diberikan pemberian penggantian cairan dengan darah karena perkiraan
perdarahan sekitar 50 cc, dimana EBVnya adalah 3.250 cc, jumlah perdarahan
(%EBV) adalah 1,53% sehingga tidak diperlukan transfusi darah perdarahan
sehingga pasien tidak memerlukan transfusi darah. Dan dapat di ganti dengan
cairan kristaloid.
Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi
terlebih dahulu. Pada pasien ini diberikan Midazolam (golongan
benzodiazepine) 1 mg/iv, Fentanyl (golongan opioid) 70 µg/iv,
dexamethason 5 mg/iv, ondancentron 4 mg/iv dan obat prabedah asam
tranexamat 250 mg/iv. Obat yang paling sering diresepkan untuk
meredakan cemas adalah benzodiazepine. Obat-obat ini diabsorbsi
dengan baik oleh saluran gastrointestinal, menghasilkan suatu
derajat ansiolisis, sedasi dan amnesia.(Gwinnutt, 2014). Obat
analgesia yang paling sering digunakan adalah morfin dan fentanyl.
Fentanyl dipilih karena memiliki efek analgetik 100 kali lebih
kuat dibanding morfin dengan maksimum kerja 5 menit setelah
pemberian intravena dan lama kerja 30-60 menit. Opiate memiliki
kisaran efek samping yang tidak diinginkan termasuk mual dan
muntah, depresi napas, dan kelambatan pengosongan lambung. Selain
itu dapat menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga terjadi
hipotensi otostatik. Dosis pemberian midazolam sebesar 2-5 mg dan
fentanyl sebesar 0,7 – 2 mcg mg via intravena maupun
intramuscular pada orang dewasa. (Wobel dan Wreth, 2012). Pada
kasus ini tidak sesuai dengan teori dimana dosis pemberian
midazolam 0,1 mg/kbb sehingga seharusnya pasien mendapatkan 5 mg.
Pemberian fentanyl telah sesuai teori mengingat lama kerja dari
fentanyl (30-60 menit) dibanding dengan lama operasi yaitu 50
menit. Injeksi ondansentron 4 mgyang bertujuan untuk mencegah terjadinya
mual dan muntah. Ondansentron bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat
kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara menghambat aktivasi aferen-aferen
vagal sehingga menekan terjadinya refleks muntah. Pemberian dexamethason 5
mg bertujuan untuk mengurangi reaksi radang dan alergi.
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah
induksi.Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anastesi intravena yaitu
Propofol 100 mg I.V (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek induksi
yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol
dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini
mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.
Pemberian Injeksi tramus 25 mg sebagai pelemas otot untuk mempermudah
pemasangan Endotracheal Tube.Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi
yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin. Pada umumnya
mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja
atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.
Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek
induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya
pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk
induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun
relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka
dialirkan sevofluran 3 vol%, oksigen sekitar 5-10 lpm sebagai anestesi rumatan.
Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah
operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi
perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien
dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir selesai. Kemudian
dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat dan pasien dalam keadaan sadar
untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Penambahan obat medikasi tambahan adalah Sebagai analgetik digunakan
Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml)
disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang
bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa
nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara
dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang
lebih lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence
depresi nafas. Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi, dengan lama
anastesi 10.05 - 11.10 (1 jam lebih 5 menit), lama operasi : 10.15 – 11.05 (50
menit)
Setelah pasien sadar, dilakukan perhitungan akor aldrette
untuk menilai kelayakan pemindahan ke recovery room pada pasien
dewasa, ditemukan jumlah skor 10. Menurut teori, pasien dapat
dipindahkan ke ruangan bila aldrette score >8 (Gwinnutt, 2014).

BAB V
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan mengenai kasus ini, dapat ditarik


kesimpulan sebagai berikut.
 Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi
yang melibatkan anestesi.Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin
timbul sehingga dapat mengantisipasinya. Berdasarkan pemeriksaan fisik
dan penunjang saat previsite ditentukan Pysical Status pasien yaitu ASA
II, sehingga persiapan operasi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
resikonya.
 Penggunaan GETA dapat dilakukan pada perasi-operasi di daerah kepala,
leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian
sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu
pekerjaan ahli bedah. Selain itu sebagai proteksi terhadap pasien dengan
keadaan yang gawat yang terdapat gangguan pada oksigenasi dan ventilasi
DAFTAR PUSTAKA

Dobson, MB. 2012. Penuntuk Praktik Anestesi. Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.

Gwinnutt, CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta

Jong, D. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.

Wrobel, M dan Werth, M. 2012. Pokok-pokok Anestesi. Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.

Purmono A., 2015. Buku Kuliah Anastesi. EGC : Jakarta.


Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease
in Clinical
Anaesthesiology third edition, page : 571-576.

Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita


gangguan
Pernapasan dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133.

Anda mungkin juga menyukai