Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL KEPERAWATAN JIWA

GAMBARAN MENTAL HEALTH MASYARAKAT DI WILAYAH PESISIR DESA


PONELO KECAMATAN PONELO KEPULAUAN KABUPATEN GORONTALO
UTARA DI MASA PANDEMI COVID

OLEH

LIA SUMARTI IMRAN

NIM : 2118027

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN

GEMA INSAN AKADEMIK

MAKASSAR
1
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa seseorang bukan hanya sebatas gangguan jiwa, akan tetapi sehat jiwa

sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh semua orang dalam menjalani hidup (Kemenkes RI,

2011).

Sehat jiwa merupakan satu kondisi optimal seseorang melalui perkembangan fisik,

intelektual dan emosianal, yang berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Sehat secara

sosial adalah kehidupan seseorang dalam masyarakat, dimana seseorang mampu untuk

memelihara dan memajukan kehidupannya sendiri serta keluarga sehingga memungkinkan

untuk bekerja, beristirahat dan menikmati liburan (Eliana et al, 2016). Jadi kesehatan jiwa

merupakan bagian yang tidak bisa terlepas dari kesehatan secara keseluruhan demi

keberlangsungan hidup.

Corona Virus Diseases Tahun 2019 atau Covid 19 adalah jenis baru dari corona virus.

Berdasarkan data Wikipedia, (2020), saat ini prevalensi kejadian Covid 19 per tanggal 11

November 2020 di seluruh dunia tercatat berjumlah 51.595.737 kasus dengan prevalensi

tertinggi yaitu Amerika Serikat sebanyak 10.331.929 kasus, dan Indonesia berada diurutan

ke 21 kasus tertinggi yaitu sebanyak 444.348 kasus, sedangkan di Provinsi Gorontalo jumlah

terpapar Covid 19 sebanyak 3.054 kasus (Dinkes Provinsi Gorontalo,


2 2020).
Ditengah mewabahnya infeksi virus corona saat ini sangat mempengaruhi tatanan

hidup baru dikehidupan masyarakat. Pandemi Covid 19 tidak hanya berdampak pada mereka

yang terinfeksi saja, tetapi pada semua masyarakat, baik dari segi ekonomi, kehidupan

sosial, kesehatan raga, dan interaksi dengan masyarakat luas. Mental Health atau Kesehatan

jiwa menjadi salah satu dampak yang mengancam masyarakat selama pandemi Covid-19

berlangsung. Dampak positif dengan kondisinya yang sehat jiwa tersebut, maka seseorang

dapat menyesuaikan dengan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungannya,

sedangkan pada kondisi gangguan kesehatan mental yang terjadi selama pandemi Covid 19

disebabkan karena masyarakat dikelilingi oleh kematian, kemiskinan, kecemasan, isolasi,

dan kegelisahan akibat pandemi Covid 19. Banyaknya berita buruk yang diterima membuat

masyarakat cemas akan hidup diri mereka sendiri, keluarga, teman dan bahkan lingkungan

sekitarnya, akhirnya berdampak pada kurang produktifnya masyarakat sehingga mereka

akan merasa menjadi beban hidup dalam keluarga (Azzahra, 2017).

Keberlangsungan hidup setiap individu dapat menampakkan dirinya sehat jiwa atau

tidak. Hasil analisa yang dilakukan secara nasional prevalensi penduduk yang mengalami

gangguan mental emosional pada usia ≥ 15 tahun sebesar 9,8% dengan subyek yang

dianalisa berjumlah 37.728 orang. Dari 34 Provinsi di Indonesia, Provinsi Gorontalo berada

diposisi kedua yaitu sebesar 19,8% (Riskesdas, 2018). Di tahun 2018 hasil menunjukkan

prevalensi depresi pada penduduk umur ≥ 15 tahun secara nasional sebesar 6,1% dan

Provinsi Gorontalo berada pada posisi kedua terbesar dalam prevalensi depresi pada

penduduk ≥ 15 tahun yaitu sebesar 10,0% (Riskesdas, 2018).

Penelitian terkait gangguan mental pernah dilakukan oleh Nurjanah (2020), yang

bertujuan mengetahui gambaran gangguan mental pada klien Covid 19 yang berada di

Rumah Karantina. Hasil penelitian menunjukkan 33,3% 3mengalami gangguan mental,

dengan keluhan terbanyak adalah kecemasan, aktivitas sehari-hari yang terbengkalai,


Ciri-ciri jiwa sehat yaitu setiap individu merasa nyaman terhadap diri sendiri, merasa

nyaman berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain, dan mampu memenuhi kebutuhan

hidup. Kemenkes berpendapat bahwa setiap orang tidak selamanya dalam rentan sehat jiwa,

seperti masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir (Kemenkes RI, 2011).

Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan laut dan daratan. Kondisi tersebut

menyebabkan wilayah pesisir mendapatkan tekanan dari berbagai aktivitas dan fenomena di

darat maupun di laut. Secara umum aktivitas masyarakat pesisir meliputi aktivitas ekonomi

berupa kegiatan perikanan, kegiatan pariwisata, rekreasi, kegiatan transportasi, pemukiman

serta aktivitas lainnya yang memanfaatkan lahan darat, lahan air dan laut terbuka (Pinto,

2015). Wilayah pesisir yang panjang disertai keaneka ragaman suku menyebabkan hampir

disetiap pesisir Indonesia di dominasi oleh masyarakat nelayan (Karman et al, 2016).

Semakin meningkatnya aktivitas atau kegiatan masyarakat pesisir dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya, maka dapat menghasilkan pula produk sisa (limbah) yang menjadi

bahan pencemar (polutan) yang cepat lambat sebagian polutan akan sampai ke laut. Hal ini

dapat menyebabkan masalah pada lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat khususnya

masyarakat pesisir dan laut (Maulana & Hendrawan, 2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Sumampouw et al (2015) yang mengemukakan bahwa

pencemaran lingkungan di daerah pesisir dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti

masalah lingkungan, perilaku dan sosial. Pinto (2015) juga mengungkapkan bahwa

banyaknya aktivitas daerah pesisir dapat berdampak pada lingkungan, ekonomi, fisik dan

sosial, yang apabila tidak tertangani dengan baik maka dapat menyebabkan permasalahan

kesehatan baik fisik maupun mental.

Dalam menangani permasalahan kesehatannya, setiap masyarakat terutamanya pada

masyarakat wilayah pesisir memiliki pemahaman kesehatan


4 (konsep sakit sehat) yang

berbeda-beda, dimana setiap orang yang terganggu kesehatannya akan mencari jalan untuk
menyembuhkan dirinya dari gangguan kesehatan atau penyakit yang dideritanya. Wilayah

pesisir bisa dikatakan jauh dari pusat kota yang memungkinkan terjadinya masalah

kesehatan disebabkan oleh akses yang kurang memadai karena terpisahkan oleh laut

(Madjid, 2018). Berdasarkan penelusuran data pada masyarakat pesisir di Indonesia, bahwa

angka jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir cukup besar, yakni mencapai 32,14

persen dari jumlah total penduduk miskin Indonesia. Penduduk miskin pesisir hampir 2 kali

lipat penduduk miskin dari total penduduk indonesia (Dewi, 2018).

Salah satu daerah di Provinsi Gorontalo yang memiliki wilayah pesisir adalah

Kabupaten Gorontalo utara, dimana potensi wilayah laut dan pesisir berada di sepanjang

garis pantai 317.39 km. Salah satu desa di Kabupaten Gorontalo Utara yang terletak di

sebuah pulau adalah Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, dimana akses transportasi

menuju desa ini harus menggunakan perahu dan menyebrangi laut. Akses yang terpisahkan

oleh laut ini membuat masyarakat Desa Ponelo mengalami kesulitan terutama dalam

pemeliharaan kesehatan seperti kondisi kebersihan lingkungan yang masih memprihatinkan

karena sampah yang berserakan disepanjang pesisir pantai, kondisi rumah penduduk yang

belum sesuai dengan syarat rumah sehat, fasilitas dan pelayanan kesehatan yang belum

optimal dan permasalahan kesehatan lainnya.

Masyarakat Desa Ponelo tidak luput pula dari dampak pandemi Covid 19 yang

terkonfirmasi mulai awal Maret Tahun 2020. Covid 19 memberikan dampak multiple stres,

mulai dari kekhawatiran tertular covid 19, khawatir akan meninggal dan kehilangan anggota

keluarga, hingga stres akibat kehilangan pekerjaan. Hingga saat ini, hampir seluruh sektor

terdampak, tak hanya kesehatan, sektor ekonomi juga mengalami dampak serius akibat

pandemi virus corona. Pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang

kemudian berimbas pada perekonomian masyarakat yang 5ada di Desa Ponelo, Kecamatan

Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara.


Menurut Gorontalo Utara Environmental Health Risk Assesment (EHRA, 2016)

bahwa rata-rata masyarakat masih tergolong miskin. Status ekonomi yang kurang stabil ini

dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan dan cara perilaku hidup bersih dan sehat oleh

masyarakat tersebut (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan data dari Puskesmas Ponelo, jumlah

pasien yang memiliki gangguan jiwa di Kecamatan Ponelo ada 8 orang pasien, dimana

menurut hasil wawancara dengan salah satu perawat di puskesmas bahwa masyarakat yang

memiliki gangguan mental dipicu oleh rasa ketakutan dan kecemasan akan sesuatu hal

seperti kondisi keluarga yang kurang mampu, kehilangan pekerjaan, hingga masyarakat

yang biasanya bekerja dikantor, sekolah maupun ditempat lain, saat ini mau tidak mau harus

bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) selama masa pandemi covid 19.

Berdasarkan survey wawancara dengan 10 orang masyarakat di Desa Ponelo, 6 orang

mengungkapkan bahwa kecemasan yang dialami oleh mereka disebabkan oleh kondisi

keuangan dan kesulitan ekonomi dimasa pandemi covid 19, 2 orang mengungkapkan stres

karena selama masa pandemi covid 19 pendapat mereka semakin berkurang, dan 2 orang

lainnya merasa jenuh harus bekerja dari rumah.

Berdasarkan berbagai fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Gambaran Mental Health Masyarakat Di Wilayah Pesisir Desa Ponelo

Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Dimasa Pandemi Covid 19.

1.2 Identifikasi Masalah

1.2.1. Prevalensi kejadian Covid 19 per tanggal 11 November 2020 di seluruh dunia tercatat

berjumlah 51.595.737 kasus dengan prevalensi tertinggi yaitu Amerika Serikat

sebanyak 10.331.929 kasus, dan Indonesia berada diurutan ke 21 kasus tertinggi yaitu

sebanyak 444.348 kasus, sedangkan di Provinsi Gorontalo


6 jumlah terpapar Covid 19

sebanyak 3.054 kasus


1.2.2. Secara nasional prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional

pada usia ≥ 15 tahun sebesar 9,8% dengan subyek yang dianalisa berjumlah 37.728

orang. Dari 34 Provinsi di Indonesia, Provinsi Gorontalo berada diposisi kedua yaitu

sebesar 19,8% (Riskesdas, 2018).

1.2.3. Akses di Desa Ponelo terpisahkan oleh laut yang membuat masyarakat mengalami

kesulitan terutama dalam pemeliharaan kesehatan

1.2.4. Menurut Gorontalo Utara Environmental Health Risk Assesment (EHRA, 2016)

bahwa rata-rata masyarakat masih tergolong miskin.

1.2.5. Data dari Puskesmas Ponelo, jumlah pasien yang memiliki gangguan jiwa di

Kecamatan Ponelo ada 8 orang pasien. Hasil wawancara dengan salah satu perawat di

puskesmas bahwa masyarakat yang memiliki gangguan mental dipicu oleh rasa

ketakutan dan kecemasan akan sesuatu hal seperti kondisi keluarga yang kurang

mampu, kehilangan pekerjaan, hingga masyarakat yang biasanya bekerja dikantor,

sekolah maupun ditempat lain, saat ini mau tidak mau harus bekerja dari rumah atau

Work From Home (WFH) selama masa pandemi covid 19

1.2.6. Hasil Wawancara dengan 10 orang masyarakat di Desa Ponelo, 6 orang

mengungkapkan bahwa kecemasan yang dialami oleh mereka disebabkan oleh kondisi

keuangan dan kesulitan ekonomi dimasa pandemi covid 19, 2 orang mengungkapkan

stres karena selama masa pandemi covid 19 pendapat mereka semakin berkurang, dan

2 orang lainnya merasa jenuh harus bekerja dari rumah.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran mental health masyarakat di wilayah pesisir Desa Ponelo

Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara dimasa


7 pandemi covid 19?
1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mental health

masyarakat di wilayah pesisir Desa Ponelo Kabupaten Gorontalo Utara dimasa pandemi

covid 19.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Institusi

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan dan informasi bagi

instansi terkait.

1.5.2 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai mental

health masyarakat di wilayah pesisir.

1.5.3 Manfaat Praktis

a. Bagi penulis

Dapat menambah wawasan dan pengalaman penulis dalam upaya meningkatkan

kemampuan penulis dalam mengembangkan ilmu dan dapat memberikan gambaran

mengenai hasil penelitian

b. Bagi Responden/Masyarakat

Masyarakat sebagai subyek penelitian,dapat memperoleh pengetahuan mengenai

mental health bagi masyarakat khususnya di wilayah pesisir sehingga dapat

meningkatkan pengetahuan masyarakat di Desa Ponelo.

c. Bagi Penelitian Selanjutnya

8
Sebagai pijakan dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang

berhubungan dengan mental health, serta menjadi bahan kajian lebih lanjut dengan

metode yang berbeda.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Kesehatan Jiwa

Menurut Prabowo (2014) kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan dimana seseorang

terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan juga gejala-gejala penyakit jiwa

(psychose).

Menurut WHO (2014) kesehatan jiwa merupakan kesejahteraan setiap individu dalam

menjalani hidup dengan ditandai adanya kesadaran dari masing-masing individu terhadap

potensi dirinya sendiri, dapat mengatasi tekanan yang normal dalam kehidupan, dapat

melaksanakan pekerjaannya secara produktif dan baik serta mampu berkontribusi untuk

masyarakat atau komunitas.

UU RI No. 18 2014 tentang kesehatan jiwa pasal 1 (2014), merumuskan bahwa

kesehatan jiwa dibagi atas ODMK dan ODGJ. Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK)

adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan

perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa.

Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam

pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan

atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan

hambatan dalam menjalankan fungi individu sebagai manusia.

Menurut Word Health Organization (WHO) kesehatan jiwa adalah keadaan dimana

individu terbebas dari gangguan jiwa, bersikap dewasa melalui kepribadian yang selalu

menampakkan sikap positif. Kesehatan jiwa yaitu keadaan dimana seseorang selalu berpikir
10
positif dan ditandai tidak adanya perasaan tertekan baik secara fisik dan psikologis yang

disebabkan oleh stressor dari luar ataupun dari dalam yang dapat mempengaruhi kestabilan
emosi, sehingga individu mampu mengendalikan diri dari stressor tesebut (Nasir & Muhith,

2011).

2. Jenis Kesehatan Jiwa

Kesehatan Jiwa atau mental mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional dan

spiritual. Pikiran sehat dapat tercermin dari cara berpikir dan jalan pikiran, emosional sehat

tercermin dari kemampuan seseorang dalam mengekspresikan emosinya, misalnya takut,

gembira, khawatir, sedih dan sebagainya. Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam

mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan terhadap sesuatu hal, misalnya dalam

praktik keagaman, menjalankan ibadah dan aturan agama yang dianutnya (Sumampouw,

2019).

Menurut Mental Health Inventory (MHI) kesehatan jiwa dibagi menjadi dua yaitu

psychological well being dan psychological distress. Melalui MHI masalah kesehatan jiwa

dapat diukur berdasarkan psychological well being dan psychological distress (Veit dan

Ware, 1983).

a. Psychological well being (kesejahteraan psikologis)

Suatu kondisi kesehatan jiwa yang menggambarkan life satisfaction, emotional ties dan

general positive affect. Kesejahteraan psikologis dikenal dengan keadaan dimana

seseorang bisa mengevaluasi diri (Dewi, 2012).

1) Life satisfaction (kepuasan kehidupan)

Kepuasan kehidupan merupakan evaluasi yang bersifat kognitif dalam

penilaian umum dan kepuasan spesifik misalnya kepuasan kerja, kepuasan

perkawinan dan lain sebagainya. Kemudian evaluasi bersifat efektif yang mencakup

frekuensi dalam mengalami emosi yang menyenangkan misalnya perasaan

menikmati dan mengalami emosi yang tidak menyenangkan


11 seperti depresi.

Umumnya seseorang merasa hidup sesuai merasa mudah santai, seperti hidup tanpa
beban pikiran dan merasa bebas dari ketegangan kehidupan, merasa bahagian

sehingga hari-harinya dipenuhi keceriaan, merasa damai dan tenang serta bersyukur

dengan kehidupan sekarang.

Ada 5 komponen terkait kepuasan hidup yaitu keinginan untuk mengubah

kehidupan, kepuasan terhadap kehidupan saat ini, kepuasan hidup di masa lalu,

kepuasan hidup di masa mendatang dan penilaian orang lain terhadap kehidupan

seseorang. Kelima komponen tersebut mewakili 5 item pernyataan yaitu :

a) Saya sangat puas dengan kehidupan saya

b) Dalam banyak hal kehidupan saya mendekati ideal.

c) Kondisi hidup saya bagus sekali

d) Kalau saya menjalani hidup selamanya, tidak ada yang saya ubah.

2) Emotional ties (ikatan emosional)

Ikatan emosional merupakan hubungan emosional yang dekat antara dua orang

dengan dasar adanya kasih sayang, sehingga masing-masing orang merasa mencintai

dan dicintai serta merasa disayangi dan dibutuhkan (Nurhadi, 2014). Keterikatan

emosional (emotional attachment) untuk menggambarkan pertalian, ikatan atau

hubungan antara ibu dan anak. Attachment mengacu pada suatu realisasi antara dua

orang memiliki perasaan yang kuat untuk melanjutkan hubungan tersebut dengan

melakukan banyak hal bersama. Jadi dapat disimpulkan bahwa emotional ties (ikatan

emosional) atau emotional attachment (keterikatan emosional) merupakan suatu

ikatan antara individu dan individu lain sebagai mahluk sosial (Desmita, 2009).

3) General positive affect.

Menurut Dianer (2011) Affect atau afeksi adalah evaluasi dari semua kejadian

yang dialami oleh individu dalam hidup. Afeksi dibagi


12 atas dua yaitu afeksi positif

dan afeksi negatif. Afeksi positif dan negatif merupakan suatu gambaran pengalaman
yang terjadi dalam kehidupan individu. Evaluasi gambaran yang dimaksud berupa

emosi dan mood (suasana hati). Mood atau dikenal dengan suasana hati memiliki

nilai kualitas tersendiri yaitu bisa bernilai positif dan bisa juga bernilai negatif.

Suasana hati (mood) bertahan lebih lama dibandingkan emosi akan tetapi dari segi

intensitas kurang dibandingkan emosi.

Disaat emosi dikategorikan sebagai positif dan negatif maka keadaan ini

menjadi suasana hati (mood). Jadi dapat dikatakan bahwa afek positif adalah sebuah

dimensi suasana hati yang berasal dari berbagai macam emosi positif berupa masa

lalu ataupun masa depan seperti perasaan :

a) Terlihat tenang dan saat mengerjakan sesuatu seolah menikmati hal tersebut

b) Selalu senang dalam memikirkan hal-hal positif terhahap sesuatu yang diimpikan

dimasa depan

c) Hidupnya sangat menarik dan menakjubkan dengan segala sesuatu keindahan

yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa dimuka bumi

Afek negatif adalah suatu dimensi suasana hati yang ditandai dengan adanya

perasaan sedih, kecemasan, kemarahan, stres dan lain-lain. Jadi menilai seseorang

dalam keadaan afek positif dengan melihat frekuensi munculnya emosi-emosi positif,

sedangkan seseorang dalam afek negatif dapat diukur dengan adanya frekuensi

munculnya emosi-emosi negatif. Kedua afek ini harus diukur terpisah karena

tingginya afek positif tidak menjamin rendahnya afek negatif.

Kepuasan hidup, dan banyaknya afek negatif serta afek positif dapat saling

berkaitan, karena pada saat seseorang melakukan penilaian pada diri sendiri mengenai

kehidupannya entah itu tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan, masalah, dan

kejadian-kejadian dalam hidupnya, dipengaruhi oleh banyaknya


13 afek yang dirasakan

saat melakukan penilaian. Walaupun kepuasan hidup dan afek ini berkaitan tetap saja
kepuasan hidup merupakan penilaian mengenai hidup seseorang baik secara

menyeluruh maupun secara spesifik, sedangkan afek positif dan afek negatif

merupakan suatu reaksi yang berkelanjutan terhadap kejadian yang dialami oleh

seseorang.

b. Psychological distress (tekanan psikologis)

Menurut Yusuf (2011) stres adalah perasaan yang timbul seperti tidak nyaman,

perasaan tidak enak baik secara fisik atau psikis sebagai respon atau reaksi individu

terhadap stressor. Tekanan psikologis merupakan keadaan dimana kondisi kesehatan

jiwa seseorang digambarkan dengan tingkat anxiety, loss of behavioral/emotional

control, dan depression.

1) Anxiety

Ansietas merupakan rasa cemas yang berlebihan dan tak masukakal,misalnya

seseorang merasa cemas akan tetapi tidak ada penyebabnya.Perasaan yang timbul

diakibatkan karena dia merasa akanterjadi sesuatupadahal tidak ada yang perlu

dicemaskan. Kecemasanpadadasarnya adalahgangguan psikologi yang dicirikan

dengan keteganganmotoric(gelisah,gemetar dan ketidakmampuan rileksi).

State anxiety merupakan reaksisementara yang timbul pada situasi tertentu, yang

dirasakan sebagai suatuancaman, contohnya saat mengalami kesulitan keuangan.

Situasi ini akan menyebabkan seseorang individu akanmengalami kecemasan

dangejala-gejalanya akan selalu tampak selama situasi tersebut.

Pada keadaan ini seseorang mengalami cemas yang berlebihan dan

menunjukkan juga beberapa gejala yaitu :

a) Ketegangan mental :

(1) Cemas, suatu perasaan takut seperti was-was14dan rasa tidak nyaman yang

dialami individu
(2) Bingung, keadaan individu tidak mampu menentukan arah yang dituju.

Bingung ditandai juga dengan seseorang tidak mengerti, kurang jelas dan lain

sebagainya.

(3) Rasa tegang atau penuh emosi

(4) Gugup merupakan keadaan dimana individu sering merasa tidak tenang,

gagap dan tergesa-gesa pada saat melakukan sesuatu

(5) Sulit memusatkan perhatian.

b) Ketegangan fisik :

(1) Perasaan gelisah, dimana individu mengalami keadaan tidak sabarpada saat

menunggu sesuatu. Gelisah sering terjadi pada seseorang yang mengalami

kesulitan dalam tidur.

(2) Sakit kepala yang dialami pada saat ansietas merupakan efek yang dirasakan

oleh setiap orang.

(3) Gemetaran merupakan gerakan yang tidak terkontroldan tidakterkendali yang

terjadi dibagian tubuh tertentu atau keseluruahan.

(4) Tidak bisa santai.

(5) Gejala fisik : pusing, berkeringat, denyut jantung cepat atau keras, mulut

kering dan nyeri perut. Gangguan cemas bisa mempengaruhi kondisi fisik dan

mental seseorang (Kemenkes RI, 2011).

c. Behavioral/emotional control (kontrol perilaku/emosional)

Menurut Syifa (2014), emosi merupakan proses perubahan fisiologi seseorang yang

disebabkan oleh rangsangan dari luar dan diterjemahkan melalui reaksi positif ataupun

negatif. Untuk itu dibutuhkan Self-control, yang merupakan upaya seseorang untuk

mengendalikan perasaan mereka sendiri, individu mengontrol


15 perasaan dan tindakannya.

Menurut Wade (2007), normalnya setiap orang mampu mengontrol emosi atau perasaan
dengan cara berbeda-beda tergantung pribadi masing-masing. Akan tetapi ketika

seseorang tidak mampu emosi/perasaan, akan terjadi beberapa hal:

1) Tidak dapat mengendalikan perlakuan dan pikirannya

2) Merasa tidak tenang, walau sudah berusaha untuk menenangkan diri

3) Merasa kehilangan akal

4) Merasa ada masalah dalam kestabilan emosinya atau emosi tidak stabil

5) Merasa dalam hidupnya tidak ada yang menarik, bahkan untuk masa depan individu

berpikir hal yang sama

6) Kehilangan kontrol saat berbicara dan berpikir

7) Merasa keinginannya tidak selalu terpenuhi

8) Selalu merasa sedih dan merasa hidupnya tidak menyenangkan bahkan berpikir ingin

bunuh diri

Adapun permasalahan emosi dan perilaku menurut (Wiguna, 2010) adalah sebagai

berikut:

a. Depresi

Depresi adalah keadaan dimana seseorang mengalami masa terganggunya fungsi

yang berkaitan dengan alam perasaan. Selain itu individu juga akan mengalami perubahan

pola tidur, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya bahkan bunuh diri. Perasaan ini dapat

dikendalikan dengan adanya konsep diri yang baik, karena konsep diri merupakan acuan

dalam berinteraksi dengan lingkungan yang dapat memicu perasaan tersebut (Kaplan,

2010). Menurut Kemenkes RI (2011) seseorang yang mengalami depresi akan mengalami

gejala baik secara fisik maupun mental emosional.

b. Suasana perasaan

Pada keadaan ini seseorang merasa tertekan karena


16 frekuensi ketegangan emosi

yang disertai rasa terganggu disetiap keadaan, merasa sedih dan selalu ingin menangis.
Sering pula merasa mudah tersinggung karena memiliki hati yang kecil, mengalami rasa

cemas dan panik bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

c. Pikiran

Isi pikiran biasanya tentang kegagalan dan kesalahan. Seseorang cenderung

menyalahkan diri sendiri terhadap kegagalan yang terjadi. Sulit memusatkan perhatian dan

daya ingat menjadi terganggu. Kadang-kadang timbul pikiran ingin mati.

d. Keluhan fisik

Rasa lelah berkepanjangan, gangguan tidur (sulit tidur atau terlalu banyak tidur),

gangguan makan (tidak nafsu makan atau banyak makan), kehilangan minat seksual, rasa

nyeri di leher dan punggung, sakit kepala, nyeri dada dan keluhan di perut serta keluhan

fisik lainnya dari ujung rambut ke ujung kaki. Ada sebagian orang yang mengalami

depresi, hanya mengeluh gangguan fisik dan menolak adanya masalah emosional atau

depresi. Orang ini disebut menderita depresi terselubung, artinya depresi yang diderita

tertutup oleh keluhan fisik.

e. Kegiatan (aktivitas)

Pada keadaan ini seseorang yang mengalami depresi kegiatannya menjadi menurun,

seseorang menjadi kurang bersemangat dan hanya ingin berbaring di tempat tidur

sepanjang hari atau menarik diri dari pergaulan. Dalam keadaan ini kadang-kadang akan

ada usaha untuk bunuh diri.

Menurut Yusuf 2018) kesehatan mental adalah dimensi yang sangat penting dalam

menjalani kehidupan, karena baik tidaknya jalan hidup seseorang ditentukan oleh kesehatan

mentalnya. Secara umum sehat mental dapat diartikan normalnya kondisi kesehatan

seseorang yang ditandai dengan adanya motivasi untuk hidup berkualitas (laras dengan nilai-

nilai agama dan budaya), baik dalam kehidupan pribadi, keluarga,


17 kerja/profesi, maupun sisi

kehidupan lainnya.
3. Ciri Orang yang Sehat Jiwa

Menurut Kemenkes RI (2011) ciri-ciri jiwa yang sehat yaitu :

a. Merasa nyaman terhadap diri sendiri

1) Individu mampu menghadapi perasaan apapun yang dirasakan, entah rasamarah,

takut, cemas, cinta, iri, rasa bersalah, rasa senang dan lain-lain.

2) Mampu mengatasi kekecewaan dalam kehidupan.

3) Menilai dirinya secara nyata, tidak merendahkan dan tidak pulaberlebihan.

4) Merasa puas dengan kehidupan sehari-hari.

b. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain.

1) Mampu mencintai dan menerima cinta dari orang lain.

2) Mempunyai hubungan pribadi yang tetap.

3) Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda.

4) Merasa menjadi bagian dari kelompok.

5) Tidak membohongi orang lain dan tidak membiarkan dirinya dibohongi oleh

orang lain.

c. Mampu memenuhi kebutuhan hidup

1) Menetapkan tujuan hidup yang nyata untuk dirinya.

2) Mampu mengambil keputusan.

3) Menerima tanggung jawab.

4) Merancang masa depan.

5) Menerima ide dan pengalaman baru.

6) Merasa puas dengan pekerjaannya.

Menurut Nasir & Muhith (2011) seseorang yang sehat mental mempunyai

ciri sebagai berikut : 18

a. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan.


b. Memperoleh kepuasan dari usaha.

c. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima.

d. Saling tolong menolong dan saling memuaskan.

e. Menerima kekecewaan untuk pelajaran yang akan datang.

f. Mengarahkan rasa bermusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan

konstruktif.

g. Mempunyai kasih sayang.

h. Derajat Kesehatan Jiwa

Tidak ada yang bisa memberikan batasan tegas dalam menentukan seseorang dalam

keadaan sehat jiwa atau terganggu jiwanya. Karena terdapat suatu kesinambungan yang

disebut dengan derajat kesehatan jiwa yaitu seseorang bisa dalam keadaan sangat sehat,

sehat, cukup sehat, kurang sehat, dan sakit. Semua orang dapat mengalami berbagai ragam

derajat kesehatan jiwa karena tidak seorang pun selalu mempunyai ciri jiwa yang sehat

sepanjang hidupnya (Kemenkes RI, 2011).

4. Kriteria Sehat Jiwa

Menurut Yusuf (2018) kriteria sehat jiwa sebagai berikut :

a. Terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa dan penyakit jiwa

1)Gangguan jiwa (neurose) merupakan keadaan dimana seseorang masih

mengetahui bahwa terjadi ketidaknyamanan pada dirinya seperti merasakan

kesukaran (gelisah).

2)Penyakit Jiwa (psychose) keadaan dimana seseorang seolah-oleh hidup jauh dari

alam kenyataan. Pada keadaan ini seseorang mengalami psychose kepribadian

dari segala segi (tanggapan, perasaan/emosi, dan lainnya) sangat terganggu dan

tidak ada integritas. 19

b. Dapat menyesuaikan diri


Individu dikatakan memiliki penyesuaian diri yang normal ketika ia mampu

memperoleh kebutuhan dan mengatasi masalah yang dihadapinya secara wajar dan

tidak merugikan orang lain. Tentunya dalam tercapainya hal tersebut inidvidu harus

menyesuaikan dengan lingkungan dan sesuai dengan norma agama.

c. Mengembangkan potensi semaksimal mungkin

Setiap individu memiliki kelebihan masing-masing, dan kelebihan inilah yang akan

menjadi potensi bila selalu diasah dan diarahkan. Dalam keadaan ini individu yang

mentalnya sehat mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya melalui kegiatan-

kegiatan yang positif dan konstruktif untuk meningkatkan kualitas dirinya.

d. Tercapai kebahagiaan pribadi dan orang lain

Individu yang sehat jiwanya selalu mempertimbangkan segala sesuatu yang

dilakukannya, dimana perilaku atau respon dirinya terhadap situasi selalu ditampakkan

dalam hal positif sehingga dapat berdampak positif juga bagi orang lain.

5. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa

Menurut Kemenkes RI, (2011) Faktor-fakor yang mempengaruhi kesehatan jiwa :

a. Faktor keturunan (genetik)

Menurut Basavanthappa (2011) faktor genetik mempengaruhi kesehatan jiwa

seseorang, hal ini bisa desebabkan oleh gangguan jiwa yang diderita oleh orang tua.

Macam-macam gangguan jiwa seperti bipolar dan depresi berat cenderung muncul atau

diwariskan dalam keluarga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rio Yanuar

tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian gangguan jiwa di Desa Paringan

Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo didapatkan hasil jumlah pasien dengan

riwayat anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa sebesar 76,67% (23 orang).

Berdasarkan hasil keseluruhan bahwa mayoritas pasien


20 memiliki keluarga riwayat
gangguan jiwa. Jadi disimpulkan bahwa gangguan jiwa memang termasuk penyakit

herediter (Yanuar, 2012).

b. Lingkungan dan situasi sosial

Setiap orang memiliki keadaan lingkungan dan sosial yang berbeda. Situasi yang

menyenangkan atau menegangkan dapat dipengaruhi oleh pengalaman dengan anggota

keluarga, tetangga, teman sekolah, tempat kerja dan lain-lain. Kritik yang negatif dari

orang sekitar berdampak pada harga diri seseorang. Kunci mencapai derajat kesehatan

jiwa ada pada harga diri yang positif dan sebaliknya harga diri negatif membuat

seseorang berfikir bahwa orang lain menganggapnya negatif juga.

c. Fisik

Kondisi yang dapat mempengaruhi keadaan fisik seseorang seperti penyakit

yang diderita atau rasa sakit yang dirasakan. Semua gangguan tersebut menyebabkan

perasaan dan cara berpikir seseorang berubah bahkan tingkah lakupun ikut berubah.

Menurut Hakim (2010) Faktor-faktor yang mempengaruhi aspek kesehatan jiwa yaitu:

a. Faktor fisik (orgona biologis)

Faktor fisik cukup dapat mempengaruhi kesehatan jiwa karena perubahan yang

terjadi atau keadaan fisik tidak normal seperti orang lain. Contohnya saat seseorang

terkena kanker, maka pada saat dia mengetahui hal tersebut ia akan merasa kehilangan

sebagian hidupnya. Secara fisik dia terlihat sadar tetapi mental emosinya telah

terganggu akibatnya proses penurunan kekebalan tubuh berlangsung cepat dan diikuti

dengan semangat hidupnya berkurang.

b. Faktor mental/emosional (psikoedukatif)

Mengembalikan kesehatan secara jasmani dan rohani sangat ditentukan oleh

bagaimana kekuatan pada mental dan emosi seseorang.


21 Selain itu berbagai sarana

positif juga diperlukan untuk membangun semangat hidup.


c. Faktor sosial budaya (social kultural)

Konsep kesehatan mental emosional seseorang bisa dipengaruhi oleh lingkungan

keluarga. Untuk itu komunikasi dalam keluarga sangat diperlukan dalam meyelesaikan

suatu masalah karena kita hidup selalu ada saja masalah yang akan datang disetiap

keadaan. Dalam menghadapi masalah yang ada kualitas mental seseorang bisa membaik

atau bahkan lebih memburuk karena model interaksi dalam keluarga, lingkungan dan

budaya. Menurut Juliasyah (2009), bahwa selama ini masyarakat tidak menyadari

bahwa keluarga adalah faktor yang sangat berpengaruh pada masalah gangguan jiwa,

keluarga ataupun masyarakat masih menganggap bahwa masalah gangguan jiwa

hanyalah tanggung jawab rumah sakit jiwa saja.

Menurut Dewi (2012) Faktor faktor yang mempengaruhi kesehatan mental:

a. Faktor Biologis

1) Psikoanalisa

Interaksi individu pada awal kehidupan serta konflik intrapsikis dapat

mempengaruhi perkembangan mental seseorang. Faktor epigenetik mempelajari

kematangan psikologis seseorang yang berkembang seiring pertumbuhan fisik dalam

tahap-tahap perkembangan individu, hal tersebut juga mempengaruhi faktor

kesehatan mental.

2) Behavioristik

Proses pembelajaran dan proses belajar sosial bisa menentukan kepribadian

seseorang. Gangguan mental bisa terjadi saat individu mengalami kesalahan

pembelajaran dan belajar sosial. Disaat seseorang dianggap telah belajar ada

perubahan tingkah laku yang ditunjukkan. 22

3) Humanistik
Perilaku individu dapat dipengaruhi oleh hirarki kebutuhan yang dimiliki. Setiap

individu memiliki kemampuan memahami potensi dirinya dan berkembang untuk

mencapai aktualisasi diri.

b. Pendekatan Sosial-Kultural

1) Stratifikasi sosial dipengaruhi oleh sosial-ekonomi

2) Interaksi sosial dipengaruhi oleh fungsi suatu hubungan interpersonal.

3) Teori keluarga yang dipengaruhi oleh pola asuh, interaksi antar anggota keluarga,

dan fungsi keluarga terhadap kesehatan mental individu.

2.1.1 Konsep Masyarakat Wilayah Pesisir

1. Pengertian Masyarakat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), masyarakat adalah sejumlah manusia

dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

Erwin (2014), mengungkapkan bahwa masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok

orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan

nonpemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. Sedang Kawasan perkotaan

merupakan kawasan strategis, yang dapat berupa kawasan strategis nasional, kawasan

strategis provinsi, atau kawasan strategis kabupaten.

Menurut Sumampouw (2019), masyarakat merupakan kumpulan manusia yang terdiri

dari individu dan kelompok yang mempunyai nilai-nilai, kepentingan, keinginan, harapan

dan krakteristik yang berbeda, sehingga selalu ada ketegangan antar berbagai karakter yang

berbeda, atau bahkan terdapat ketidakcocokan diantara karakter-karakter tersebut.

Adapun 3 komponen utama dalam mengupas permasalahan di masyarakat yang terkait

dengan kondisi lingkungan yaitu: demografi, ekonomi dan budaya. Berbagai persoalan

sosial dalam pengelolaan lingkungan sosial antara lain: berkembangnya


23 konflik sosial,

ketidakmerataan akses sosial ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya


angka kemiskinan, meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan akses

pengelolaan sumberdaya, meningkatnya gaya hidup (konsumtif), kurangnya perlindungan

pada hak-hak masyarakat lokal/tradisional dan modal sosial, perubahan nilai, lemahnya

kontrol sosial, perubahan dinamika penduduk, masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan

(Mangiding, 2018).

2. Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir secara geografis merupakan masyarakat yang berdomisili di pesisir

pantai & umumnya mempunyai plurarisme budaya. Masyarakat pesisir pada umumnya

telah menjadi bagian masyarakat yang pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa

kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan

karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena struktur masyarakat pesisir sangat

plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akulturasi

budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya (Rusdin,

2015).

Menurut Tamonto & Manongko (2019), masyarakat pesisir adalah sekumpulan

masyarakat (nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, dan lain-lain) yang tinggal dan

melakukan aktifitas sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya wilayah pesisir dan

lautan, memiliki kebudayaan yang khas yang berkaitan dengan ketergantungan pada

pemanfaatan sumber daya pesisir.

Masyarakat kawasan pesisir cenderung agresif karena kondisi lingkungan pesisir yang

panas dan terbuka, keluarga nelayan mudah diprovokasi (di pengaruhi), dan salah satu

kebiasaan yang jamak di kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan

mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih konsumtif (Mangiding, 2018).

24
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat pesisir adalah masyarakat yang

tinggal di pesisir pantai yang memiliki ketergantungan dengan potensi dan kondisi sumber

daya lautan.

3. Pengertian Wilayah Pesisir

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil bahwa wilayah pesisir merupakan daerah peralihan

antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang kental dipengaruhi oleh adanya perubahan

iklim di darat maupun di laut.

Menurut Soegiarto, 1976 (dalam Munandar, 2014), pesisir merupakan daerah pertemuan

antara darat dan laut, dimana kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun

terendam air yang masih terpengaruh oleh sifat-sifat laut seperti, pasang surut, angin laut,

dan perembesan air asin. Sedangkan arah laut meliputi bagian laut yang masih terpengaruh

proses-proses alamiah seperti sedimentasi (pengendapan) dan aliran air tawar, maupun oleh

ulah aktivitas manusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Wilayah pesisir merupakan tempat yang sering digunakan untuk melakukan kegiatan

oleh masyarakat terutama masyarakat pesisir,baik itu kegiatan yang berhubungan dengan

religius, sosial kemasyarakatan maupun kegiatan untuk meningkatkan perekonomian

masyarakat. Kompleksnya pemanfaatan wilayah pesisir terutama kegiatan yang berdampak

pada pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir, seharusnya masyarakat pesisir tidak

mengalami kekurangan atau maraknya kemiskinan pada masyarakat pesisir (Dewi, 2018).

Perbedaaan laju pertumbuhan ekonomi di daerah pesisir dengan di daerah lainnya

disebabkan berbagai permasalahan dan persoalan yang melingkupinya. Permasalahan-

permasalahan sosial di daerah pesisir sangat kompleks.


25 Permasalahan-permasalahan

kompleks tersebut timbul secara langsung maupun tidak langsung. Berkaitan dengan
kemiskinan pada masyarakat pesisir disebabkan oleh penerapan kebijakan yang kurang

tepat, rendahnya penegakan hukum (law enforcement), serta rendahnya kemampuan sumber

daya manusia (SDM). Permasalahan pada wilayah pesisir di atas, tidak lepas dari kondisi riil

dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan menjadi permanen di wilayah pesisir

(Dewi, 2018).

4. Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas dan unik.

Sifat ini erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan, kdimana Keberhasilan dari

usaha perikanan masyarakat pesisir sangat dipengaruhioleh faktor internal seperti

kemampuan dan fasilitas perikanan yang dimiliki, dan beberapa faktor eksternal seperti

keadaan lingkungan, musim, harga, dan pasar sebagai tempat penjualan produksi

perikanannya (Fyka, 2017).

Karakteristik masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamis sumberdaya yang

digerapnya, sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal, nelayan harus

berpindah-pindah. Selain itu, resiko usaha yang tinggi menyebabkan masyarakat nelayan

hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan

usahanya. Masyarakat pesisir memiliki cara berbeda dalam aspek pengetahuan, kepercayaan,

peranan sosial dan struktur sosialnya (Tamboto & Manongko, 2019).

Di daerah pesisir pada umumnya pekerjaannya didominasi oleh lelaki. Rumah tangga

nelayan memiliki ciri khusus seperti penggunaan wilayah pesisir dan laut (common

property) sebagai faktor produksi. Demikian juga pekerjaan yang penuh resiko, sehingga

pekerjaan ini umumnya dikerjakan oleh lelaki dan masyarakat yang bertempat tinggal di

daerah pesisir biasanya identik dengan masyarakat miskin (Rusdin, 2015).

Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat pesisir26memiliki karakter yang keras

dan tidak mudah diatur. Di lihat dari aspek demogarafi, umumnya merupakan penduduk
yang mempunyai pekerjaan sebagai pelaut. Lebih lanjut Kusnadi mengemukakan

masyarakat pesisir cenderung lebih memikirkan kebutuhan ekonomi, memenuhi kebutuhan

sandang & pangan keluarga. Anak-anak usia sekolah banyak yang putus sekolah dasar dan

umumnya jarang menamatkan sekolah menengah pertama (Dewi, 2018).

Menurut Tamboto & Manongko (2019), karaktersitik masyarakat pesisir dapat dilihat

dari beberapa aspek seperti:

a. Sosial ekonomi

Karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir pada umumnya bermata

pencaharian di sektor kelautan seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir

dan transportasi laut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat relatif berada dalam tingkat

kesejahteraan rendah.

b. Tingkat pendidikan

Dilihat dari segi pendidikan, sebagian besar tingkat pendidikan masyarakat pesisir

masih rendah dan sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.

c. Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir khususnya nelayan masih belum

tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Kondisi masyarakat pesisir merupakan kelompok

masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial (khususnya dalam hal akses

pendidikan dan layanan kesehatan), dan kultural dibandingkan kelompok masyarakat lain.

Kondisi masyarakat pesisir umumnya ditandai beberapa ciri seperti kemiskinan,

keterbelakangan sosial budaya, rendahnya sumber daya manusia (SDM).

Secara umum, karakteristik masyarakat kawasan pesisir meliputi aktivitas ekonomi

berupa (Maulana & Hendrawan, 2018): 27

a. Kegiatan perikanan yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan laut terbuka
b. Kegiatan pariwisata yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan laut

c. Kegiatan rekreasi yang memanfaatkan lahan darat dan alokasi ruang di laut untuk

jalur pelayaran, kolam pelabuhan dan lain-lain

d. Kegiatan indutri yang memanfaatkan lahan darat

e. Kegiatan pertambangan yang memanfaatkan lahan darat dan laut

f. Kegiatan pembangkit energi yang menggunakan lahan darat dan laut

g. Kegiatan industri maritim yang memanfaatkan lahan darat dan laut

h. Pemukiman yang memanfaatkan lahan darat untuk perumahan dan fasilitas

pelayanan umum

i. Kegiatan pertanian dan kehutanan yang memanfaatkan lahan darat.

Aktivitas ekonomi yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dengan ketergantungannya terhadap kondisi lingkungan dan sumber daya alam

yang ada di sekitarnya, pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya

alam, lembaga sosial aktivitas, ekonomi pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

Menurut Mbura (2018), beberapa sifat dan karakteristik masyarakat pesisir diuraikan

sebagai berikut :

a. Mata Pencaharian

Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya bermata pencaharian

di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marineresource based), seperti nelayan,

pembudidaya ikan, penambangan pasir dantransportasi laut.

b. Penghasilan

Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat agraris atau

petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol karena

pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak


28 yang mereka miliki dapat

ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan. Berbeda dengan
masyarakat pesisir yang mata pencahariannya didominasi dengan nelayan, dimana untuk

mendapatkan penghasilan nelayan harus bergelut dengan laut. Pendapatan yang mereka

inginkan juga tidak bisa dikontrol. Hal ini dipengaruhi oleh hasil tangkapan dan jumlah

nelayan terlalu banyak akan mempengaruhi kecilnya hasil tangkap sehingga pada

akhirnya akan mempengaruhi pendapatan mereka.

c. Ketergantungan

Pada masyarakat pesisir, keberlanjutan atau keberhasilan usaha sangat bergantung

pada kondisi lingkungan khususnya air. Kehidupan masyarakat pesisir menjadi sangat

tergantung pada kondisi lingkungan dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan,

khususnya pencemaran, karena limbah industri maupun tumpahan minyak.

Ketergantungan pada musim juga sangat mempengaruhi terutama masyarakat nelayan.

Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar pada nelayan kecil. Pada musim

penangkapan, para nelayan akan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik

kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.

Selain itu adapula ketergantungan pada pasar. Hal ini disebabkan karena hasil tangkap

mereka itu harus dijual terebih dahulu sebelum hasil penjualannya digunakan untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Karakteristik tersebut mempunyai implikasi yang sangat

penting, dimana jika terjadi perubahan harga produk perikanan maka akan mmepengaruhi

kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut.

d. Aktivitas Kaum Perempuan dan Anak

Ciri khas lain dari suatu masyarakat pesisir adalah aktivitas kaum perempuan dan

anak-anak. Pada masyarakat pesisir, umumnya perempuan dan anak-anak ikut bekerja

mencari nafkah. Kaum perempuan (orang tua maupun 29


anak-anak) seringkali bekerja

sebagai pedagang ikan (pengecer), baik pengecer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka
juga melakukan pengolahan hasil tangkapan, baik pengolahan kecil-kecilan di rumah

untuk dijual sendiri maupun sebagai buruh pada pengusaha pengolahan ikan atau hasil

tangkap lainnya. Sementara itu anak laki-laki seringkali telah dilibatkan dalam kegiatan

melaut.

e. Memiliki Sistem Kepercayaan dan Adat yang Kuat

Dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut

memiliki sumber kekuatan sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau

sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya

terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut

hanya untuk formalitas semata.

5. Permasalahan kesehatan masyarakat pesisir

Daerah pesisir merupakan salah satu daerah yang banyak memiliki masalah khususnya

di bidang kesehatan masyarakat. Kesehatan masyarakat pesisir merupakan kondisi dalam

mencegah suatu penyakit, memperpanjang masa hidup, memperbaiki kesehatan fisik dan

mental, efisiensi kerja dengan jalan mengorganisir usaha-usaha masyarakat yang

dilaksanakan secara berangsur-angsur dan bertujuan untuk memperbaiki kesehatan

lingkungan, memberantas penyakit menular, memberikan pendidikan kesehatan perorangan,

pengorganisasian usaha pelayanan medis dan perawatan dalam mengembangkan berbagai

usaha pelayanan dan perawatan kesehatan (Sumampouw, 2019).

Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun

kesehatan masyarakat. Hendrik L. Blum seorang pakar di bidang kedokteran pencegahan

mengatakan bahwa status kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 4 hal yaitu lingkungan,

perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik (keturunan) (Notoatmodjo, 2011). Keempat

faktor ini berpengaruh langsung pada kesehatan dan saling berpengaruh


30 satu sama lainnya.

Status kesehatan dapat tercapai secara optimal jika keempat faktor ini secara bersama-sama
mempunyai kondisi yang optimal. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang

terganggu (tidak optimal) maka status kesehatan dapat tergeser ke arah kurang optimal

(Sarudji, 2006 dalam Sumampouw, 2015).

Agoes, 2005 (dalam Mangiding, 2018) mengungkapkan bahwa ada 3 komponen utama

permasalahan di masyarakat yang terkait dengan kondisi lingkungan yaitu: demografi,

ekonomi dan budaya. Berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan lingkungan sosial antara

lain: berkembangnya konflik sosial, ketidakmerataan akses sosial ekonomi, meningkatnya

jumlah pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya kesenjangan sosial

ekonomi, kesenjangan akses pengelolaan sumberdaya, meningkatnya gaya hidup

(konsumtif), kurangnya perlindungan pada hak-hak masyarakat lokal/tradisional dan modal

sosial, perubahan nilai, lemahnya kontrol sosial, perubahan dinamika penduduk, masalah

kesehatan dan kerusakan lingkungan.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi masalah masyarakat pesisir berupa (Rusdin,

2015):

a. Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan kemiskinan

b. Konsumsi berlebihan dan penyebaran sumber daya yang tidak merata

c. Kelembagaan

d. Kurangnya pemahaman tentang ekosistem alam

e. Kegagalan sistem ekonomi dan kebijakan dalam menilai ekosistem alam.

1. Kesehatan Jiwa Masyarakat Pesisir Dimasa Pandemi Covid 19

Menurut WHO (2020), munculnya pandemi menimbulkan stres pada berbagai lapisam

masyarakat. Meskipun sejauh ini belum terdapat ulasan sistematis tentang dampak Covid 19

terhadap kesehatan jiwa, namun sejumlah penelitian terkait 31


pandemi menunjukkan adanya

dampak negatif terhadap kesehatan mental penderitanya.


Kondisi kesehatan masyarakat terkait penularan virus corona dibagi menjadi orang

tanpa gejala, orang dengan pemantauan, pasien dengan pengawasan, dan orang yang

menderita COVID-19. Belum ada penelitian yang mengukur masalah kesehatan jiwa dan

psikososial masyarakat terkait dengan pandemi ini, namun perlu segera dilakukan promosi

kesehatan jiwa dan psikososial, pencegahan terjadinya masalah kesehatan jiwa dan

psikososial, serta mendeteksi dan memulihkan masalah kesehatan jiwa dan psikososial

Mengingat adanya risiko peningkatan masalah kesehatan jiwa dan gangguan kejiwaan akibat

COVID-19 di masyarakat.

Secara global istilah Kesehatan Jiwa atau Mental Health digunakan dalam Panduan

Inter Agency Standing Committe (IASC) dalam Situasi yang bertujuan melindungi atau

meningkatkan kesejahteraan psikologis dan/ atau mencegah serta menangani kondisi

kesehatan jiwa dan psikososial.

a. Meningkatkan Kesehatan Jiwa Dimasa Pandemi

1) Peningkatan Imunitas

a) Peningkatan Imunitas Fisik

Peningkatan imunitas fisik dalam rangka mencegah infeksi dari virus COVID-

19, di antaranya dapat diupayakan melalui:

(1) Makanan seimbang (karbohidrat, protein, sayur, buah-buahan yang

mengandung vitamin dan mineral), jika diperlukan tambahan vitamin;

(2) Minum yang cukup, orang dewasa minimal 2 liter per hari

(3) Olah raga minimal 30 menit sehari

(4) Berjemur di pagi hari seminggu dua kali

(5) Tidak merokok dan tidak minum alkohol.

32

b) Peningkatan Kesehatan Jiwa


Kondisi kesehatan jiwa dapat tingkatkan melalui:

(1) Emosi positif: gembira, senang dengan cara melakukan kegiatan dan hobby

yang disukai, baik sendiri maupun bersama keluarga atau teman.

(2) Pikiran positif: menjauhkan dari informasi hoax, mengenang semua

pengalaman yang menyenangkan, bicara pada diri sendiri tentang hal yang

positif (positive self-talk), responsif (mencari solusi) terhadap kejadian, dan

selalu yakin bahwa pandemi akan segera teratasi.

(3) Hubungan sosial yang positif : memberi pujian, memberi harapan antar

sesama, saling mengingatkan cara-cara positif, meningkatkan ikatan emosi

dalam keluarga dan kelompok, menghindari diskusi yang negatif, dan saling

memberi kabar dengan rekan kerja, teman atau seprofesi;

(4) Secara rutin tetap beribadah di rumah atau secara daring.

2) Pencegahan masalah Kesehatan Jiwa dan Psikososial (Pencegahan Masalah

Kesehatan).

a) Pencegahan Penularan

(1) Jarak sosial (Social distancing): Jarak sosial adalah jarak interaksi sosial

minimal 2 meter, tidak berjabat tangan, dan tidak berpelukan sehingga

penularan virus dapat dicegah. Jarak sosial ini sepertinya membuat interaksi

menjadi semakin jauh, rasa sepi dan terisolasi. Hal ini dapat diatasi dengan

meningkatkan intensitas interaksi sosial melalui media sosial yang tidak

berisiko terkena percikan ludah.

(2) Jarak fisik (Physical distancing): Jarak fisik adalah jarak antar orang

dimanapun berada minimal 2 meter, artinya walaupun tidak berinteraksi

dengan orang lain jarak harus dijaga dan 33


tidak bersentuhan. Tidak ada

jaminan baju dan tubuh orang lain tidak mengandung virus COVID-19
sehingga jarak fisik dapat mencegah penularan.

(3) Cuci tangan dengan sabun pada air yang mengalir sebelum dan sesudah

memegang benda. Tangan yang memegang benda apa saja mungkin sudah

ada virus COVID-19, sehingga cuci tangan pakai sabun dapat

menghancurkan kulit luar virus dan tangan bebas dari virus. Hindari

menyentuh mulut, hidung dan mata, karena tangan merupakan cara

penularan yang paling berbahaya.

(4) Pakai masker kain yang diganti setiap 4 jam. Pada situasi pandemi tidak

diketahui apakah orang lain sehat atau OTG (yang tidak memperlihatkan

tanda dan gejala pada hal sudah mengandung virus corona), jadi pemakaian

masker kain bertujuan tidak menularkan dan tidak ketularan.

(5) Setelah pulang ke rumah. Pada situasi yang terpaksa harus ke luar rumah,

maka saat pulang upayakan meninggalkan sepatu di luar rumah, lalu segera

mandi dan pakaian segera dicuci.

b) Pencegahan masalah kesehatan jiwa

Masalah kesehatan jiwa dan psikososial dapat berupa ketakutan, cemas, dan

panik terhadap kejadian COVID-19. Orang semakin enggan bertemu dengan

orang lain dan muncul curiga orang lain dapat menularkan. Perasaan ini akan

memberikan respons pada tubuh untuk cepat melakukan perlindungan untuk

memastikan keamanan. Gejala awal yang terjadi adalah khawatir, gelisah,

panik, takut mati, takut kehilangan kontrol, takut tertular, dan mudah

tersinggung. Jantung berdebar lebih kencang, nafas sesak, pendek dan berat,

mual, kembung, diare, sakit kepala, pusing, kulit terasa gatal, kesemutan, otot

otot terasa tegang, dan sulit tidur yang berlangsung


34 selama dua minggu atau

lebih.
(1) Pencegahan masalah kesehatan jiwa oleh individu

Sikap mental menghadapi situasi ini dapat berupa:

(a) Sikap Reaktif Sikap mental yang ditandai dengan reaksi yang cepat,

tegang, agresif terhadap keadaan yang terjadi dan menyebabkan

kecemasan dan kepanikan. Contoh perilakunya adalah: memborong

bahan makanan, masker, hands-sanitizer, vitamin dll. Sikap reaktif ini

dapat dikendalikan dengan cara mencari berbagai info atau masukan

dari banyak orang sebelum mengambil keputusan.

(b) Sikap Responsif Sikap mental yang ditandai dengan sikap tenang,

terukur, mencari tahu apa yang harus dilakukan dan memberikan

respons yang tepat dan wajar. Sikap responsif dapat dikembangkan agar

tidak terjadi masalah kesehatan jiwa dan psikososial.

(2) Pencegahan masalah kesehatan jiwa dalam keluarga

Kegiatan keluarga yang konstruktif semakin menguatkan ikatan emosional

dan keluarga semakin harmonis. Keluarga dapat merencanakan kegiatan 5B:

belajar, beribadah, bermain, bercakap-cakap dan berkreasi bersama.

(3) Pencegahan masalah kesehatan jiwa di tempat kerja

Di tempat kerja, dibuat jadwal bekerja yang fleksibel, sehingga membuat

lebih nyaman dalam bekerja untuk mencegah penurunan imunitas

karyawannya. Pimpinan harus memiliki protokol standar kesehatan dan

keselamatan dalam bekerja.

2.2 Kajian Penelitian Relevan

Penelitian oleh Rudi Balaka, Tryantini Sundi Putri tahun 2019 yang berjudul

Gambaran Sanitasi Pemukiman Di Daerah Pesisir (Studi Kasus


35 : Pemukiman Pesisir di

Kelurahan Petoaha, Kota Kendari), Metode pengumpulan data melalui observasi,


wawancara serta dokumentasi yang mengacu pada persyaratan sanitasi perumahan. Aspek

penilaian terdiri dari komponen rumah, sarana sanitasi, serta perilaku penghuni. Objek

penelitian dilakukan kepada 24 rumah tangga yang terbagi pada 12 RT di kelurahan Petoaha

kecamatan Nambo Kota Kendari. Hasil menunjukkan dari aspek konstruksi terdapat 58 %

rumah tidak mempunyai langit-langit, dan 50% mempunyai dinding tidak permanen. Dari

aspek sarana sanitasi terdapat lebih dari 80% rumah telah memiliki sarana air bersih. 71%

telah memiliki sarana jamban. Demikian juga dengan sistem SPAL 46% rumah telah

memiliki sarana SPAL yang baik yaitu dialirkan di saluran terbuka. Sedangkan untuk sarana

pembuangan sampah 58% rumah mempunyai tempat pembuangan sampah. Sedangkan dari

aspek perilaku sehat sebagian besar masyarakat telah menerapkan perilaku sehat

berdasarkan pedoman Departemen Kesehatan.

Penelitian lain yang berjudul Derajat Kesehatan Masyarakat Kepulauan di Kecamatan

Kepulauan Derawan Kabupaten Berau, dilakukan oleh Anwar & Sultan tahun 2016,

penelitian ini bersifat survey dengan jumlah sampel 100 orang dengan menggunakan metode

simple random. Hasil survey dan observasi dengan 100 responden KK didapatkan hasil

bahwa masyarakat kepulauan Kecamatan Pulau Derawan memiliki permasalahan dengan

pengelolaan sampah rumah tangga, sebesar (75 %), kepemilikan jaminan kesehatan yang

masih sangat rendah (78.8%), kebiasaan merokok di didalam rumah (68%).

Penelitian yang dilakukan oleh Muslikhah, Lestari dan Afa tahun 2017 yang berjudul

Identifikasi masalah kesehatan berbasis lingkungan di wilayah pesisir desa wawatu

kecamatan moramo utara kabupaten konawe selatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian

deskriptif observasional dengan pendekatan survei. Populasi dalam penelitian ini adalah

rumah masyarakat Desa Wawatu Kecaman Moramo Utara Tahun 2017 yang berjumlah 165

rumah dengan sampel dalam penelitian ini senbanyak 116


36 unit rumah dengan teknik

pengambilan sampel menggunakan simple random sampling. Berdasarkan hasil penelitian


tempat pembuangan sampah (2,6%) memenuhi syarat (97,4%) tidak memenuhi syarat,

sumber air bersih (2,6%) memenuhi syarat (97,4%) tidak memenuhi syarat, kepemilikian

jamban keluarga (12,9%) memenuhi syarat (87,1%) tidak memenuhi syarat, dan dengan

kepemilikan rumah yang memenuhi syarat sebanyak (8,6%) responden, sedangakan

sebanyak (91,4%) responden tidak memenuhi syarat.

Dari beberapa penelitian diatas, rata-rata penelitian hanya seputar tentang kesehatan

fisik dan lingkungan masyarakat daerah pesisir. Belum ada penelitian yang membahas

tentang kesehatan jiwa dari masyarakat yang berada di daerah pesisir.

37
BAB III
METODE PENELITIAN

.1. Penetapan Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi

Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di Di Wilayah Pesisir Desa Ponelo Kecamatan

Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara.

3.1.2 Waktu

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2020.

3.2 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu desain penelitian deskriptif.

Menurut Bungin (2017) penelitian kuantitatif dengan format deskriptif yaitu untuk menjelaskan,

meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau variabel yang timbul di masyarakat

berdasarkan apa yang terjadi dan itulah yang menjadi objek penelitian.

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1. Variabel

Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu Kesehatan Jiwa. Variabel adalah

sesuatu yang dapat diukur atau diamati dan nilainya berbeda dengan satu objek dan objek yang lain

(Sujarweni, 2014).

Tabel 3.1 Definisi Operasional

38
Definisi
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Variabel Keadaan jiwa Kuesioner baku - Kesehatan jiwa Ordinal
Tunggal masyarakat yang Mental Health masyarakat
Mental tinggal di wilayah Inventory dikatakan baik
Health pesisir yang dapat (MHI) 38. (kesejahteraan
Masyarakat diukur kesehatan Kuesioner MHI psikologis)
Pesisir jiwanya baik dalam 38 dibuat oleh dengan total hasil
keadaan Veit dan Ware penjumlahan
kesejahteraan (1983). skoring yaitu ≥
psikologis 113.
(psychological - Kesehatan jiwa
well-being) masyarakat
maupun dalam dikatakan negatif
keadaan tekanan (tekanan
psikologis psikologis)
(psychological dengan total hasil
distress). penjumlahan
skoring yaitu
<113
(Rohmaniyah,
2017).

39
3.4 Populasi dan Sampel

.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek yang menjadi sasaran penelitian (Winarno, 2013).

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di wilayah pesisir Desa Ponelo Kecamatan Ponelo

Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara yang berjumlah 1.107 jiwa dan jumlah kepala keluarga

(KK) 304.

.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi danmemiliki karakteristik yang dimiliki oleh populasi

(Jermiran, 2013). Sampel dalam penelitian ini adalah kepala keluarga yang berada di Desa Ponelo

berjumlah 173 orang.

3.4.3 Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling.

Untuk menentukan jumlah minimal sampel maka digunakan rumus slovin sebagai berikut:

N
n=
1+ N ( d)2
n= 304
1 + 304 (0,05)2

n= 304

1,76

n = 172,7 = 173

Berdasarkan rumus diatas maka didapatkan jumlah sampel minimal dalam penelitian ini

adalah 173 kepala keluarga. Adapun kriteria sampel pada penelitian ini adalah

1. Masyarakat yang berada ditempat

2. Masyarakat yang bersedia menjadi respoden

3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.5.1 Cara Pengumpulan Data

1. Menurut Sujarweni (2014) data primer merupakan data yang diperoleh langsung dengan

membagikan kuesioner, karena sesuai fungsinya data primer merupakan data yang
40
dikumpulkan berdasarkan interaksi antara pengumpul dengan sumber data. Data primer pada
penelitian ini, data yang telah diberikan responden melalui pengisian kuesioner yang dibagikan

langsung oleh peneliti.

2. Data sekunder adalah data yang didapatkan bukan dari sumber langsung melainkan melalui

catatan, buku, majalah, dan sebagainya (Sujarweni, 2014). Data sekunder pada penelitian ini

adalah data yang diperoleh peneliti dari Desa Ponelo atau Puskesmas Ponelo.

3.5.2 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Menurut Nursalam (2014) kuesioner

adalah suatu alat berisikan pertanyaan untuk dijawab responden guna mendapatkan data yang

dibutuhkan peneliti.

Kuesioner yang digunakan peneliti adalah Kuesioner Mental Health Inventory (MHI).

Kuesioner ini dibuat oleh Veit dan Ware (1983) memiliki 38 butir pertanyaan untuk mengetahui

kesehatan jiwa yaitu mengukur psychological distress (tekanan psikologis) dan psychological well-

being (kesejahteraan psikologis).

Uji validasi menunjukkan hasil valid dengan korelasi uji releabilitas yang menggunakan

koefisian Cronbach’s Alpha memiliki hasil 0,92. Sedangkan nilai uji validasi yang pernah

dilakukan oleh Jane dan Tim Coombs menggunakan Cronbach’s Alph menunjukkan hasil berada

pada 0,93-0,97. Selain itu uji validasi juga dilakukan oleh Naim (2014) menggunakan face validity

dalam penelitiannya berjudul Gambaran Kesehatan Jiwa Mahasiswa Tingkat Pertama Program

Studi Ilmu Keperawatan Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

didapatkan hasil bahwa semua responden mampu memahami semua item pertanyaan pada

kuesioner baku MHI 38. Fadlun Naim melakukan uji validasi ini pada responden yaitu mahasiswa

keperawatan Universitas Diponegoro. Untuk itu kuesioner MHI 38 tidak dilakukan uji validasi

kembali.

Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data

3.6.1 Teknik Pengolahan Data

Tahap-tahap pengolahan data menurut Sujarweni (2014) :

1. Tahap pengumpulan data dilakukan melalui instrumen pengumpulan data. Dalam penelitian
41
ini peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen. Kuesioner Mental Health Inventory

(MHI) adalah kuesioner baku yang terdiri atas 38 butir pernyataan.


2. Editing.

Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kejelasan dan kelengkapan pengisian instrumen

pengumpulan data, agar bila terdapat ketidaklengkapan data bisa langsung diklarifikasi

dengan respon yang bersangkutan saat itu juga.

3. Coding.

Tahap ini merupakan proses identifikasi dan klasifikasi dalam artian segala pernyataan yang

diberikan oleh responden akan dimuat dalam Statistical Product and Service Solution (SPSS).

4. Tabulasi Data

Pada tahap ini dilakukan pencatatan atau entry data ke dalam tabel induk penelitian.

3.6.2 Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini digunakan analisa data univariat. Menurut Sujarweni (2014), analisa

univariat adalah analisa data yang digunakan dalam pengolahan data hanya 1 variabel saja. Karena

dalam penelitian ini peneliti menggunakan statistik deskriptif maka data dapat diringkas berupa

ukuran statistik (mean, median, modus), tabel, grafik.

42
DAFTAR PUSTAKA

Basavanthappa, B. 2011. Essential Of Mental Health Nursing. Jaypee Brothers Medical Publisher.
New Delhi.

Bungin, B. 2017. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Kencana. Jakarta.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Dewi,A.A. (2018). Model Pengelolaan Wilayah Pesisir BerbasisMasyarakat: Community Based


Development. Jurnal Penelitian Hukum De Jure. 18(2),163.
doi:10.30641/dejure.2018.v18.163-182.

Dewi, S.K. (2012). Buku Kesehatan Mental. Semarang: UPT UNDIT Press.

Diener, E. 2011. Needs and Subjective Well-Being Around the Word. Jurnal of Personality and
Social Psychology 101(2):354-365.

Elina dan Sumiati, S. (2016). Kesehatan Masyarakat. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.

Erwin. (2014). Analisis Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pada Masyarakat Pesisir Di Wilayah
Kerja Puskesmas Wali Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi Skripsi.Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo. Kendari.

Fyka, S.A. 2017. Studi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat wilayah pesisir di Kabupaten
Wakatobi. uletin Sosek, Edisi No 35 Tahun Ke 19 – April 2017, ISSN 1410 – 4466

Hakim, A. (2010). Hipnoterapi cara cepat tepat dan mengatasi stress, fobia, trauma dan gangguan
mental. Jakarta: Transmedia Pustaka.

Hidayat, A. 2014. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta. Salemba
Medika.

Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Zang Li, Fan G, 2020. Clinical features of patients infected
with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. The Lancet.

Jermiran, V.W.S. (2013). Metodologi Penelitian. http://digilib.unila.ac.id. 12 Oktober 2020.

Juliansyah. 2009. Stigma Penderita Gangguan Jiwa. https://pontianakpost.com. 12 Oktober 2020.

Kaplan, J.B. dan Sadock, T.C. 2010. Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku. Bina Rupa Aksara.
Jakarta.

Karman., Sakka, A. dan Saptaputra, S.K. (2016). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan bagi masyarakatpesisir di Desa Bungin Permai
Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal ilmiah mahasiswa kesehatan
masyarakat unsyiah.

Kemenkes RI. (2011). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta :Kemenkes RI

Madjid, A.F. (2018). Pandangan Masyarakat di Wilayah Pesisir tentang Pentingnya Hidup Sehat.
Kesmas C FKM Universitas Hasanuddin.
43
https://www.academia.edu/37917792/Pandangan_Masyarakat_di_Wilayah_Pesisir_tentang_
Pentingnya_Hidup_Sehat_1

Mangiding, J.D. (2018). Masalah Kesehatan Masyarakat Pesisir. Universitas Hasanuddin.


Makassar.
Maulana, L.H. & Hendrawan, A. (2018). Kajian perilaku masyarakat pesisir yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan (studi kasus di Pantai Kutawaru, Kecamatan Cilacap Tengah
Kabupaten Cilacap).Jurnal Saintara

Mbura, Y. (2018). Karakteristik masyarakat pesisir.https://www.academia.edu/


38156258/Karakteristik_Masyarakat_Pesisir

Munandar, Yusuf. (2014). Analisis Persebaran Rumah Tangga Indonesia. Yogyakarta:Deepublish.

Naim, F. (2015). Gambaran Umum Kesehatan Jiwa Mahasiswa Tingkat Pertama Program Studi S1
Ilmu Keperawatan Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Univestitas Diponegoro.
Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Nasir, A. dan A. Muhith. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Salemba Medika. Jakarta.

Notoatmodjo, S. (2011). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurhadi, M. 2014. Pendidikan Kedewasaan dalam Perspektif Psikologi Islam. Deepblish.


Yogyakarta.

Nursalam. 2015. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.

Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2020. Pnemonia Covid 19 Diagnosis dan Pelaksanaan Di
Indonesia. Jakarta.

Pinto, Z. (2015). Kajian Perilaku Masyarakat Pesisir yang Mengakibatkan Kerusakan Lingkungan
(Studi Kasus di Pantai Kuwaru, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten
Bantul, Provinsi DIY). Jurnal wilayah dan
lingkungan,3(3).http://dx.doi.org/10.14710/jwl.3.3.163-174

Pokja PPSP Gorut. 2016. Laporan pelaksanan study EHRA (Environmental Health Risk
Assesment). Studi Penilaian Resiko Kesheatan Lingkungan. Gorontalo Utara

Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian danPengembangan Kesehatan


Kementerian RI tahun 2018.

Rohmaniyah, N.A. 2017. Gambaran Kesehatan Jiwa Mahasiswa Bidikimisi Departemen


Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Semarang.

Rusdin, M (2015). Faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan


masyarakat pesisir di Wilayah Kerja Puskesmas Bowong Cindea Kabupaten Pangkep.
Skripsi. Fakultas Kesehatan masyarakat. Universitas Hasanuddin. Makassar

Sujarweni, V.W. 2014. Metodologi Penelitian Keperawatan. Gava Media. Yogyakarta.

Sumampouw, O. J., Soemarno., Andarini, S. et al (2015). Eksplorasi masalah kesehatan masyarakat


di daerah pesisir kota manado. Journal kesehatan masyarakat.

Sumampouw, O.J. (2019). Buku ajar kesehatan masyarakat pesisir dan kelautan. Yogyakarta: CV
Budi Utama. 44

Syifa, I.D.L. 2014. Hubungan Antara Kualitas Attachment dengan Regulasi Emosi Pada Remaja di
SMA Yayasan Pandaan. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim. Malang.
Tamboto, H.J.D & Manongko, A.A.Ch. (2019). Model pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir
berbasis literasi ekonomi dan modal sosial. Malang: CV Seribu bintang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18. (2014). Tentang Kesehatan Jiwa. Presiden
Republik Indonesia. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1. (2014). Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.
Presiden Republik Indonesia. Jakarta.

Veit, C.T. dan Ware, J.E. (1983). The Structure of Psychological Distress and Well-Being in
General Populations. Journal of Consulting and Clinical Psychology 51(5):730.

Wade, C. (2007). Psikologi berfikir dan merasakan. Edisi kesembilan. Jilid 2. Jakarta: Erlangga

Wan Y, Shang J, Graham R, Baris RS, Li F, 2020. Receptor recognition by novel coronavirus from
Wuhan: An analysis based on decade- long structural studies of SARS. J. Virol.American
Society for Microbiology.
Wang Z, Qiang W, Ke H, 2020. A Handbook of 2019-nCoV Pneumonia Control and Prevention.
Hubei Science and Technologi Press. China.

WHO. 2014. Mental Health: A State Of Well-Being. http://www.who.int/features/


factfiles/mental_health/en/. Diakses 12 Oktober 2020..

WHO. 2020. Novel Coronavirus (2019-nCoV) Situation Report-1. DiAkses 12 Oktober 2020.

Wiguna, T. 2010. Masalah Emosi dan Perilaku Pada Anak dan Remaja RSUPN dr.
Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta. https://www.google.com/url ?
=t&source=web&rct=j&url=https://www.researchgate.net/.

Winarno, M.E. 2013. Metedologi Penelitian dalam Pendidikan Jasmani. Universitas Negeri
Malang. Malang.

Yanuar, R. 2012. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Gangguan Jiwa di Desa
Paringan Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Skripsi. Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo. Surabaya.

Yusuf, S. 2011. Terapi Psiko-Spiritual Untuk Hidup Sehat Berkualitas. Maestro. Bandung.

Yusuf, S.L.N. 2018. Kesehatan Mental Perspektif Psikologis dan Agama.PT Remaja Rosdakarya.
Bandung.

45

Anda mungkin juga menyukai