Anda di halaman 1dari 14

PENATALAKSANAAN ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVE

DISORDERS PADA ANAK


 
Dr Widodo Judarwanto SpA,
 
KORESPONDENSI DAN KOMUNIKASI
 
TERAPI BIOMEDIS GANGGUAN PERILAKU
PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN ANAK),
CHILDREN FAMILY CLINIC, JL RAWASARI SELATAN 50 JAKARTA PUSAT
telp : (021) 70081995 - 4264126 email :wido25@hotmail.com, htpp://www.childrenfamily.com
 
 
 
 
 ABSTRAK
Gangguan hiperaktif merupakan salah satu kelainan yang sering dijumpai pada
gangguan perilaku pada anak. Dalam tahun terakhir ini menjadi masalah yang menjadi sorotan
dan menjadi perhatian utama di kalangan medis ataupun di masyarakat umum. .ADHD
(Attention Deficit Hyperactive Disorders) adalah gangguan perilaku pada anak yang terjadi
suatu peningkatan aktifitas motorik hingga pada tingkatan tertentu yang menyebabkan
gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya pada dua tempat dan suasana yang berbeda.
Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara jelas. Merupakan suatu
kelainan yang bersifat multi faktorial. Banyak factor yang dianggap sebagai peneyebab
gangguan ini. Melihat penyebab ADHD yang belum pasti terungkap dan adanya beberapa teori
penyebabnya, maka tentunya terdapat banyak terapi atau cara dalam penanganannya sesuai
dengan landasan teori penyebabnya.
Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan
menyeluruh. Penanganan ini harus melibatkan multi disiplin ilmu yang dikoordinasikan antara
dokter, orangtua, guru dan lingkungan yang berpengaruh terhadap penderita. Untuk mengatasi
gejala gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD yang sudah ada dapat
dilakukan dengan terapi okupasi.
 
PENDAHULUAN
 
Sejak dua puluh tahun terakhir Gangguan Pemusatan Perhatian ini sering disebut
sebagai ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders). Gangguan ini ditandai dengan adanya
ketidakmampuan anak untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga
rentang perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan anak lain yang seusia, Biasanya
disertai dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif. Kelainan ini dapat mengganggu
perkembangan anak dalam hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun komunikasi.
ADHD merupakan salah satu kelainan yang sering dijumpai pada gangguan perilaku
pada anak. Dalam tahun terakhir ini gangguan ADHD menjadi masalah yang menjadi sorotan
dan menjadi perhatian utama di kalangan medis ataupun di masyarakat umum. Angka kejadian
kelainan ini adalah sekitar 3 – 10%, di Ameriksa serikat sekitar 3-7% sedangkan di negara
Jerman, Kanada dan Selandia Baru sekitar 5-10%. Diagnosis and Statistic Manual (DSM IV)
menyebutkan prevalensi kejadian ADHD pada anak usia sekolah berkisar antara 3 hingga 5
persen. Di indonesia angka kejadiannya masih belum angka yang pasti, meskipujh tampaknya
kelainan ini tampak cukup banyak terjadi.
Terdapat kecenderungan lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Secara epidemiologis rasion kejadian dengan perbandingan 4 : 1. Namun
tampaknya semakin lama tampaknya kejadiannya semakin meningkat saja. Sering dijumpai
pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah, terdapat kecenderungan keluhan ini akan
berkurang setelah usia Sekolah Dasar. Meskipun tak jarang beberapa manifestasi klinis
tersebut dijumpai pada remaja atau orang dewasa. ADHD adalah gangguan perkembangan
yang mempunyai onset gejala sebelum usia 7 tahun. Setelah usia anak, akan menetap saat
remaja atau dewasa. Diperkirakan penderita ADHD akan menetap sekitar 15-20% saat dewasa.
Sekitar 65% akan mengalami gejala sisa saat usia dewasa atau kadang secara perlahan
menghilang. Angka kejadian ADHD saat usia dewasa sekitar 2-7%. Predisposisi kelainan ini
adalah 25 persen pada keluarga dengan orang tua yang membakat.
Deteksi dini gangguan ini sangat penting dilakukan untuk meminimalkan gejala dan
akibat yang ditimbulkannya dikemudian hari. Hal ini harus melibatkan beberapa lapisan
masyarakat. Baik dikalangan medis maupun nonmedis. Dokter umum, dokter spesialis anak
dan klinisi lainnya yang berkaitan dengan kesehatn anak harus bisa mendeteksi Sejas dini
factor resiko dan gejala yang terjadi. Manifestasi klinis yang terjadi dapat timbul pada usia dini
namun gejalanya akan tampak nyata pada saat mulai sekolah melakukan anamnesa terhadap
orang tua dan guru, guna mengevaluasi perkembangan dan mengarahkan pola pendidikan dan
pengasuhan anak dengan hiperaktif bila dapat dilakukan deteksi dini dan penatalaksanaan
pada tahap awal.
 
DEFINISI

Pada anak normal seringkali menunjukkan tanda-tanda: kurang perhatian, mudah


teralihkan perhatiannya, emosi yang meledak-ledak bahkan aktifitas yang berlebihan. Hanya
saja pada anak dengan kelainan ADHD, gejala-gejala ini lebih sering muncul dan lebih berat
kualitasnya dibandingkan anak normal seusianya.

Pola perhatian anak terhadap suatu hal terbagi menjadi beberapa klasifikasi. Kelompok
yang paling berat adalah over ekslusif dimana seorang anak hanya terfokus pada sesuatu yang
menarik perhatiannya tanpa mempedulikan hal lain secara ekstrem (misalnya pada bayi yang
sedang memperhatikan kancing bajunya dan tidak mempedulikan rangsangan lain), pola ini
disebut autisme. Kelompok dengan derajat ringan derajat sedang terjadi fokus perhatian anak
mudah teralihkan. Perhatian hanya mampu bertahan beberapa saat saja oleh suatu
rangsangan lain yang mungkin tidak adekuat. Hal ini dinamakan kesulitan perhatian. Kondisi
normal adalah pola yang paling baik karena anak mampu memperhatikan sesuatu dan
mengalihkannya terhadap yang lain pada saat yang tepat tanpa kehilangan daya konsentrasi,
pola ini merupakan pola normal perkembangan mental anak secara matang.

Definisi ADHD adalah suatu peningkatan aktifitas motorik hingga pada tingkatan tertentu
yang menyebabkan gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya pada dua tempat dan suasana
yang berbeda. Aktifitas anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan yang ditandai dengan
gangguan perasaan gelisah, selalu menggerak-gerakkan jari-jari tangan, kaki, pensil, tidak
dapat duduk dengan tenang dan selalu meninggalkan tempat duduknya meskipun pada saat
dimana dia seharusnya duduk degan tenang.. Terminologi lain yang dipakai mencakup
beberapa kelainan perilaku meliputi perasaan yang meletup-letup, aktifitas yang berlebihan,
suka membuat keributan, membangkang dan destruktif yang menetap.

Temperamen seorang anak adalah suatu karakteristik yang hidup dan dinamis, meski
terkadang pada seorang anak lebih dinamis dibandingkan anak lain. Bila terjadi peningkatan
aktifitas motorik yang berlebihan pada seorang anak dibandingkan anak lain sebayanya, maka
sering kali 'si-anak' dikeluhkan sebagai hiperaktif oleh orang tuanya. Penilaian semacam ini
sangat subyektif dan tergantung dari standar yang dipakai oleh orang tua dalam menilai tingkat
aktifitas normal seorang anak. Anggapan bahwa si-anak 'hiperaktif' mungkin tidak tepat jika
hanya karena si-anak menunjukkan tanda-tanda 'nakal' dan 'bikin ribut' pada saat tertentu tetapi
secara keseluruhan menunjukkan aktifitas yang normal. Dalam hal 'anak-ini' justru kepada
orang tuanya yang harus diberikan pengertian dan pengetahuan tentang bagaimana
membimbing dan mengarahkan secara benar seorang anak dengan pola perilaku yang
'menurut orang tua' berlebihan 7).

PATOGENESIS DAN ETIOLOGI

Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara jelas. Seperti halnya
gangguan autism, ADHD merupakan statu kelainan yang bersifat multi faktorial. Banyak factor
yang dianggap sebagai peneyebab gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik,
perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, tingkat kecerdasan
(IQ), terjadinya disfungsi metabolisme, ketidak teraturan hormonal, lingkungan fisik, sosial dan
pola pengasuhan anak oleh orang tua, guru dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya.

Banyak penelitian menunjukkan efektifitas pengobatan dengan psychostimulants, yang


memfasilitasi pengeluaran dopamine dan noradrenergic tricyclics. Kondisi ini mengungatkan
sepukalsi adanya gangguan area otak yang dikaitkan dengan kekuirangan neurotransmitter.
Sehingga neurotransmitters dopamine and norepinephrine sering diokaitkan dengan ADHD..

Faktor genetik tampaknya memegang peranan terbesar terjadinya gangguan perilaku


ADHD. Beberapa penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa hiperaktifitas yang terjadi pada
seorang anak selalu disertai adanya riwayat gangguan yang sama dalam keluarga setidaknya
satu orang dalam keluarga dekat. Didapatkan juga sepertiga ayah penderita hiperaktif juga
menderita gangguan yang sama pada masa kanak mereka. Orang tua dan saudara penderita
ADHD mengalami resiko 2-8 kali lebih mudah terjadi ADHD, kembar monozygotic lebih mudah
terjadi ADHD dibandingkan kembar dizygotic juga menunjukkan keterlibatan fator genetic di
dalam gangguan ADHD. Keterlibatan genetik dan kromosom memang masih belum diketahui
secara pasti. Beberapa gen yang berkaitan dengan kode reseptor dopamine dan produksi
serotonin, termasuk DRD4, DRD5, DAT, DBH, 5-HTT, dan 5-HTR1B, banyak dikaitkan dengan
ADHD.

Penelitian neuropsikologi menunjukkkan kortek frontal dan sirkuit yang menghubungkan


fungsi eksekutif bangsal ganglia. Katekolamin adalah fungsi neurotransmitter utama yang
berkaitan dengan fungsi otak lobus frontalis. Dopaminergic dan noradrenergic
neurotransmission tampaknya merupakan target utama dalam pengobatan ADHD.

Teori lain menyebutkan kemungkinan adanya disfungsi sirkuit neuron di otak yang
dipengaruhi oleh dopamin sebagai neurotransmitter pencetus gerakan dan sebagai kontrol
aktifitas diri. Akibat gangguan otak yang minimal, yang menyebabkan terjadinya hambatan pada
sistem kontrol perilaku anak. Dalam penelitian yang dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan MRI didapatkan gambaran disfungsi otak di daerah mesial kanan prefrontal dan
striae subcortical yang mengimplikasikan terjadinya hambatan terhadap respon-respon yang
tidak relefan dan fungsi-fungsi tertentu. Pada penderita ADHD terdapat kelemahan aktifitas otak
bagian korteks prefrontal kanan bawah dan kaudatus kiri yang berkaitan dengan pengaruh
keterlambatan waktu terhadap respon motorik terhadap rangsangan sensoris.

Beberapa peneliti lainnya mengungkapkan teori maturation lack atau suatu kelambanan
dalam proses perkembangan anak-anak dengan ADHD. Menurut teori ini, penderita akhirnya
dapat mengejar keterlambatannya dan keadaan ini dipostulasikan akan terjadi sekitar usia
pubertas. Sehingga gejala ini tidak menetap tetapi hanya sementara sebelum keterlambatan
yang terjadi dapat dikejar.

Beberapa peneliti mengungkapkan penderita ADHD dengan gangguan saluran cerna


sering berkaitan dengan penerimaan reaksi makanan tertentu. Teori tentang alergi terhadap
makanan, teori feingold yang menduga bahwa salisilat mempunyai efek kurang baik terhadap
tingkah laku anak, serta teori bahwa gula merupakan substansi yang merangsang hiperaktifitas
pada anak. Disebutkan antara lain tentang teori megavitamin dan ortomolecular sebagai
terapinya

Kerusakan jaringan otak atau 'brain damage yang diakibatkan oleh trauma primer dan
trauma yang berulang pada tempat yang sama. Kedua teori ini layak dipertimbangkan sebagai
penyebab terjadinya syndrome hiperaktifitas yang oleh penulis dibagi dalam tiga kelompok.
Dalam gangguan ini terjadinya penyimpangan struktural dari bentuk normal oleh karena sebab
yang bermacam-macam selain oleh karena trauma. Gangguan lain berupa kerusakan susunan
saraf pusat (SSP) secara anatomis seperti halnya yang disebabkan oleh infeksi, perdarahan
dan hipoksia.

Perubahan lainnya terjadi gangguan fungsi otak tanpa disertai perubahan struktur dan
anatomis yang jelas. Penyimpangan ini menyebabkan terjadinya hambatan stimulus atau justru
timbulnya stimulus yang berlebihan yang menyebabkan penyimpangan yang signifikan dalam
perkembangan hubungan anak dengan orang tua dan lingkungan sekitarnya.

Penelitian dengan membandingkan gambaran MRI antara anak dengan ADHD dan anak
normal, ternyata menghasilkan gambaran yang berbeda, dimana pada anak dengan ADHD
memiliki gambaran otak yang lebih simetris dibandingkan anak normal yang pada umumnya
otak kanan lebih besar dibandingkan otak kiri.

Dengan pemeriksaan radiologis otak PET (positron emission tomography) didapatkan


gambaran bahwa pada anak penderita ADHD dengan gangguan hiperaktif yang lebih dominan
didapatkan aktifitas otak yang berlebihan dibandingkan anak yang normal dengan mengukur
kadar gula (sebagai sumber energi utama aktifitas otak) yang didapatkan perbedaan yang
signifikan antara penderita hiperaktif dan anak normal.

FAKTOR RESIKO

Dalam melakukan deteksi dini gangguan perilaku ini maka perlu diketahui faktor resiko
yang bisa mengakibatkan gangguan ADHD. Banyak bukti penelitian yang menunjukkan
peranan disfungsi Susunan saraf pusat (SSP). Sehingga beberapa kelainan dan gangguan
yang terjadi sejak kehamilan, persalinan dan masa kanak-kanak harus dicermati sebagai faktor
resiko.
Selama periode kehamilan, disfungsi SSP disebabkan oleh gangguan metabolik,
genetik, infeksi, intoksikasi, obat-obatan terlarang, perokok, alkohol dan faktor psikogenik.
Penyakit diabetes dan penyakit preeklamsia juga harus dicermati.

Pada masa persalinan, disebabkan oleh: prematuritas, post date, hambatan persalinan,
induksi persalinan, kelainan letak (presentasi bayi), efek samping terapi, depresi sistem immun
dan trauma saat kelahiran normal. Sedangkan periode kanak-kanak har5uis dicermati
gangguan infeksi, trauma, terapi medikasi, keracunan, gangguan metabolik, gangguan
vaskuler, faktor kejiwaan, keganasan dan terjadinya kejang. Riwayat kecelakaan hingga harus
dirawat di rumah sakit,kekerasan secara fisik, verbal, emosi atau merasa diterlantarkan.
Trauma yang serius, menerima perlakuan kasar atau merasa kehilangan sesuatu selama masa
kanak-kanak, tidak sadar diri atau pingsan.

MANIFESTASI KLINIS

Untuk dapat disebut memiliki gangguan hiperaktif, harus ada tiga gejala utama yang
nampak dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif. Inatensi atau
pemusatan perhatian yang kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam
memberikan perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan
konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal
yang lain.
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan
tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke
sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan
menimbulkan suara berisik.
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam
dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut
mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari
gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang
menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab
sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri
misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas
yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada
beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum
anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di
rumah dan di sekolah.

Manifestasi klinis yang terjadi sangat luas, mulai dari yang ringan hingga berat atau bisa
terjadi dengan jumlah gejala minimal hingga lebih banyak gejala. Tampilan klinis ADHD
tampaknuya sudah bisa dideteksi sejak dini Sejas usia bayi. Gejala yang harus lebih dicermati
pada usia bayi adalah bayi yang sangat sensitive terhadap suara dan cahaya, menangis,
menjerit, sulit untuk diam, waktu tidur sangat kurang dan sering terbangun, kolik, sulit makan
atau minum susu baik ASI atau susu botol., tidak bisa ditenangkan atau digendong, menolak
untuk disayang, berlebihan air liur, kadang seperti kehausan sering minta minum, Head banging
(membenturkan kepala, memukul kepala, menjatuhkan kepala kebelakang) dan sering marah
berlebihan.
Keluhan lain pada anak besar adalah anak tampak Clumsy (canggung), impulsif, sering
mengalami kecelakaan atau jatuh, perilaku aneh/berubah-ubah yang mengganggu, gerakan
konstan atau monoton, lebih ribut dibandingkan anak lainnya. Agresif, Intelektual (IQ) normal
atau tinggi tapi pretasi di sekolah buruk, Bila di sekolah kurang konsentrasi, aktifitas berlebihan
dan tidak bisa diam, mudah marah dan meledak kemarahannya, nafsu makan buruk.
Koordinasi mata dan tangan jelek., sulit bekerjasama, suka menentang dan tidak menurut, suka
menyakiti diri sendiri (menarik rambut, menyakiti kulit, membentur kepala dll) dan gangguan
tidur.

Tanda dan gejala pada anak yang lebih besar adalah tindakan yang hanya terfokus pada
satu hal saja dan cenderung bertindak ceroboh, mudah bingung, lupa pelajaran sekolah dan
tugas di rumah, kesulitan mengerjakan tugas di sekolah maupun di rumah, kesulitan dalam
menyimak, kesulitan dalam menjalankan beberapa perintah, sering keceplosan bicara, tidak
sabaran, gaduh dan bicara berbelit-belit, gelisah dan bertindak berlebihan, terburu-buru, banyak
omong dan suka membuat keributan, dan suka memotong pembicaraan dan ikut campur
pembicaraan orang lain

Gejala-gejala diatas biasanya timbul sebelum umur 7 tahun, dialami pada 2 atau lebih
suasana yang berbeda (di sekolah, di rumah atau di klinik dll), disertai adanya hambatan yang
secara signifikan dalam kehidupan sosial, prestasi akademik dan sering salah dalam
menempatkan sesuatu, serta dapat pula timbul bersamaan dengan terjadinya kelainan
perkembangan, skizofrenia atau kelainan psikotik lainnya20).

Tampilan lainnya pada anak dengan hiperaktif terjadi disorganisasi afektif, penurunan
kontrol diri dan aktifitas yang berlebihan secara nyata. Mereka biasanya bertindak 'nekat' dan
impulsif, kurang sopan, dan suka menyela pembicaraan serta mencampuri urusan orang lain.
Sering kurang memperhatikan, tidak mampu berkonsentrasi dan sering tidak tuntas dalam
mengerjakan sesuatu serta berusaha menghindari pekerjaan yang membutuhkan daya
konsentrasi tinggi, tidak menghiraukan mainan atau sesuatu miliknya, mudah marah, sulit
bergaul dan sering tidak disukai teman sebayanya. Tidak jarang mereka dengan kelainan ini
disertai adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi tidak didapatkan kelainan
otak yang spesifik. Pada umumnya prestasi akademik mereka tergolong rendah dan minder.
Mereka sering menunjukkan tidakan anti sosial dengan berbagai alasan sehingga orangtua,
guru dan lingkungannya memperlakukan dengan tidak tepat dan tidak menyelesaikan masalah.

Sekitar 50-60% penderita ADHD didapatkan sedkitnya satu gangguan perilaku penyerta
lainnya. Gangguan perilaku tersebut adalah gangguan belajar, restless-legs syndrome,
ophthalmic convergence insufficiency, depresi, gangguan kecemasan, kepribadian antisosial,
substance abuse, gangguan konduksi dan perilaku obsesif-kompulsif.

Penderita ADHD terjadi disorganisasi afektif, penurunan kontrol diri dan aktifitas yang
berlebihan secara nyata. Mereka biasanya bertindak 'nekat' dan impulsif, kurang sopan, dan
suka menyela pembicaraan serta mencampuri urusan orang lain. Sering kurang
memperhatikan, tidak mampu berkonsentrasi dan sering tidak tuntas dalam mengerjakan
sesuatu serta berusaha menghindari pekerjaan yang membutuhkan daya konsentrasi tinggi,
tidak menghiraukan mainan atau sesuatu miliknya, mudah marah, sulit bergaul dan sering tidak
disukai teman sebayanya. Tidak jarang mereka dengan kelainan ini disertai adanya gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, tetapi tidak didapatkan kelainan otak yang spesifik. Pada
umumnya prestasi akademik mereka tergolong rendah dan minder. Mereka sering
menunjukkan tidakan anti sosial dengan berbagai alasan sehingga orangtua, guru dan
lingkungannya memperlakukan dengan tidak tepat dan tidak menyelesaikan masalah.

Resiko terjadi ADHD semakina meningkat bila salah satu saudara atau orang tua
mengalami ADHD atau h]gangguan psikologis lainnya. Gangguan posikologis dan perilaku
tersebut meliputi gangguan bipolar, gangguan konduksi, depresi, gangguan disosiatif,
gangguan kecemasan, gangguan belajar, gangguan mood, gangguan panic, obsesif-kompulsif,
gangguan panic disertai goraphobia. Juga kelainan perilaku lainnnya seperti gangguan
perkembangan perfasif termasuk gangguan Asperger, Posttraumatic stress disorder (PTSD),
Psychotic, Social phobia, ganggguan tidur, sindrom Tourette dan ticks.

DIAGNOSIS ADHD

Diagnosa hiperaktifitas tidak dapat dibuat hanya berdasarkan informasi sepihak dari
orang tua penderita saja tetapi setidaknya informasi dari sekolah, serta penderita harus
dilakukan pemeriksaan meskipun saat pemeriksaan penderita tidak menunjukkan tanda-tanda
hiperaktif, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi saat pemeriksaan dan kemungkinan
hal lain yang mungkin mejadi pemicu terjadinya hiperaktifitas. Pada beberapa kasus bahkan
membutuhkan pemeriksaan psikometrik dan evaluasi pendidikan. Hingga saat ini belum ada
suatu standard pemeriksaan fisik dan psikologis untuk hiperaktifitas. Ini berarti pemeriksaan
klinis haruslah dilakukan dengan sangat teliti meskipun belum ditemukan hubungan yang jelas
antara jenis pemeriksaan yang dilakukan dengan proses terjadinya hiperasktifitas. Beragam
kuesioner dapat disusun untuk membantu mendiagnosa, namun yang terpenting adalah
perhatian yang besar dan pemeriksaan yang terus-menerus, karena tidak mungkin diagnosa
ditegakkan hanya dalam satu kali pemeriksaan.

Bila didapatkan seorang anak dengan usia 6 hingga 12 tahun yang menunjukkan tanda-
tanda hiperaktif dengan prestasi akademik yang rendah dan kelainan perilaku, hendaknya
dilakukan evaluasi awal kemungkinan
Untuk mendiagnosis ADHD digunakan kriteria DSM IV yang juga digunakan, harus terdapat
3 gejala : Hiperaktif, masalah perhatian dan masalah konduksi.
 
KRITERIA A –MASING-MASING (1) ATAU (2)

(1) Enam atau lebih dari gejala


 

(1)   Enam atau lebih gejala dari kurang perhatian atau konsentrasi yang tampak paling
sedikit 6 bulan terakhir pada tingkat maladaptive dan tidak konsisten dalam
perkembangan
 

INATTENTION

a.      Sering gagal dalam memberi perhatian secara erat secara jelas atau membuat
kesalahan yang tidak terkontrol dalam :

1.      sekolah
2.      bekerja

3.      aktifitas lainnya

b.      Sering mengalami kesulitan menjaga perhatian/ konsentrasi dalam menerima


tugas atau aktifitas bermain.

c.      Sering kelihatan tidak mendengarkan ketika berbicara secara langsung

1.      Menyelesaikan pekerjaan rumah

2.      Pekerjaan atau tugas

3.      Mengerjakan perkerjaan rumah (bukan karena perilaku melawan)

4.      Gagal untuk mengerti perintah

d.      Sering kesulitan mengatur tugas dan kegiatan

e.      Sering menghindar, tidak senang atau enggan mengerjakan tugas yang
membutuhkan usaha (seperti pekerjaan sekolah atau perkerjaan rumah)

f.        Sering kehilangan suatu yang dibutuhkan untuk tugas atau kegiatan
( permainan, tugas sekolah, pensil, buku dan alat sekolah lainnya ))

g.      Sering mudah mengalihkan perhatian dari rangsangan dari luar yang tidak
berkaitan

h.      Sering melupakan tugas atau kegiatan segari-hari


(2) Enam atau lebih gejala dari hiperaktivitas/impulsifitas yang menetap dalam 6 bulan
terakhir
 

HIPERAKTIFITAS

a. Sering merasa gelisah tampak pada tangan, kaki dan menggeliat dalam tempat duduk
b. Sering meninggalkan tempat duduk dalam kelas atau situasi lain yang mengharuskan
tetap duduk.

c. Sering berlari dari sesuatu atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak
seharusnya (pada dewasa atau remaja biasanya terbatas dalam keadaan perasaan
tertentu atau kelelahan )

d. Sering kesulitan bermain atau sulit mengisi waktu luangnya dengan tenang.
e. isering berperilaku seperti mengendarai motor

f. Sering berbicara berlebihan


IMPULSIF

a.Sering mengeluarkan perkataan tanpa berpikir, menjawab pertanyaan sebelum


pertanyaannya selesai.

b. Sering sulit menunggu giliran atau antrian

c. Sering menyela atau memaksakan terhadap orang lain (misalnya dalam percakapan atau
permainan).
KRITERIA B: Gejala hiperaktif-impulsif yang disebabkan gangguan sebelum usia 7 tahun.

KRITERIA C : Beberapa gangguan yang menimbulkan gejala tampak dalam sedikitnya 2 atau
lebih situasi ( misalnya di kelas, di permainan atau di rumah )

KRITERIA D : Harus terdapat pengalaman manifestasi bermakna secara jelas mengganggu


kehidupan sosial, akademik, atau pekerjaan )

KRITERIA E : Gejala tidak terjadi sendiri selama perjalanan penyakit dari Pervasive
Developmental Disorder, Schizophrenia, atau gangguan psikotik dan dari gangguan mental
lainnya (Gangguian Perasaan, Gangguan kecemasan, Gangguan Disosiatif atau gangguan
kepribadian)

Diagnosis ADHD, Tipe kombinasi jika terdapat pada A1 dan A2 yang didaptkan dalam
6 bulan terakhir. ADHD tipe Inatentif redominan jika dalam kriteria didapatkan A1, tetapi tidak
didapatkan gejala pada A2 dalam 6 bulan terakhir. ADHD Hiperaktif Predominan -Tipe Impulsif):
jika kriteria didapatkan A2 tapi tidak dijumpai kriteria A1 dalam 6 bulan terakhir.

Kriteria diagnostik hiperaktifitas adalah ditemukannya 6 gejala atau lebih yang menetap
setidaknya selama 6 bulan. Gejala-gejala diatas biasanya timbul sebelum umur 7 tahun, dialami
pada 2 atau lebih suasana yang berbeda (di sekolah, di rumah atau di klinik dll), disertai adanya
hambatan yang secara signifikan dalam kehidupan sosial, prestasi akademik dan sering salah
dalam menempatkan sesuatu, serta dapat pula timbul bersamaan dengan terjadinya kelainan
perkembangan, skizofrenia atau kelainan psikotik lainnya.
 
PENANGANAN
 
Melihat penyebab ADHD yang belum pasti terungkap dan adanya beberapa teori
penyebabnya, maka tentunya terdapat banyak terapi atau cara dalam penanganannya sesuai
dengan landasan teori penyebabnya.

Terapi medikasi atau farmakologi adalah penanganan dengan menggunakan obat-


obatan. Terapi ini hendaknya hanya sebagai penunjang dan sebagai kontrol terhadap
kemungkinan timbulnya impuls-impuls hiperaktif yang tidak terkendali. Sebelum digunakannya
obat-obat ini, diagnosa ADHD haruslah ditegakkan lebih dulu dan pendekatan terapi okupasi
lainnya secara simultan juga harus dilaksanakan, sebab bila hanya mengandalkan obat ini tidak
akan efektif.

Beberapa obat yang dipergunakan. Menurut beberapa penelitian dan pengalaman klinis
banyak obat yang telah diberikan pada penderita ADHD, diantaranya adalah : antidepresan,
Ritalin (Methylphenidate HCL) , Dexedrine (Dextroamphetamine
saccharate/Dextroamphetamine sulfate) , Desoxyn (Methamphetamine HCL), Adderall
(Amphetamine/Dextroamphetamine), Cylert (Pemoline), Busiprone (BuSpar), Clonidine
(Catapres). Methylphenidate, merupakan obat yang paling sering dipergunakan, meskipun
sebenarnya obat ini termasuk golongan stimulan, tetapi pada ksus hiperaktif sering kali justru
menyebabkan ketenangan bagi pemakainanya. Selain methylphenidate juga dipakai Ritalin
dalam bentuk tablet, memilki efek terapi yang cepat, setidaknya untuk 3-4 jam dan diberikan 2
atau 3 kali dalam sehari. Methylphenidate juga tersedia dalam bentuk dosis tunggal.
Dextroamphetamine merupakan obat lain yang dipergunakan.

Ritalin atau methylphenidate, obat stimulan yang biasa diberikan pada anak
penyandang ADHD ternyata dapat menyebabkan perubahan struktur sel otak untuk jangka
waktu lama, ilmuwan melaporkan. Joan Baizer profesor fisiologi dan biofisika dari University of
Buffalo mengungkapkan pemberian Ritalin setiap hari selama bertahun tahun pada sel otak
tikus terlihat sama seperti yang diakibatkan oleh amphetamin atau kokain. Para ilmuwan
tersebut melakukan penelitian pada tikus yang diberikan susu dicampur dengan Ritalin dengan
dosis yang sama diberikan pada anak anak. Para ilmuwan mendapatkan gen c-fos menjadi aktif
setelah diberikan Ritalin. Hal yang sama terjadi pada tikus yang diberikan amphetamin dan
kokain.

Ketika dosis Ritalin yang diberikan selesai bekerja dalam tubuh, dianggap Ritalin dapat
hilang dengan sendirinya. Tetapi dalam sebuah penelitian dengan menggunakan model
ekspresi gen pada binatang menunjukkan Ritalin punya potensi menyebabkan perubahan pada
struktur dan fungsi otak untuk jangka waktu yang lama. Ritalin tidak bersifat adiktif atau dapat
menyebabkan ketagihan jika pemberian dosis digunakan secara benar. Efek dari pemberian
dosis tinggi amphetamin dan kokain yang mirip ritalin tersebut telah mengaktifkan salah satu
gen yang disebut gen c-fos dalam sel otak. Jika c-fos aktif pada bagian tertentu otak maka gen
tersebut diketahui berhubungan dengan gejala adiktif. Perubahan pada sel otak untuk jangka
waktu lama pada manusia perlu penelitian lebih lanjut. Mungkin menggunakan sejenis gen
mikrochip untuk mengetahui gen gen mana saja yang menjadi aktif jika diberikan Ritalin. Bila
dengan penggunaan obat tunggal dibilai kurang efektif perlu dipertimbangkan pemberian obat
secara kombinasi. Bila penatalaksanaan terhadap penderita ADHD mengalami kegagalan (tidak
menunjukkan progresifitas), harus segera dilakukan reevaluasi tentang penegakan diagnosis,
perencanaan terapi dan berbagai kondisi yang berpengaruh.

Terapi nutrisi dan diet banyak dilakukan dalam penanganan penderita. Diantaranya
adalah keseimbangan diet karbohidrat, penanganan gangguan pencernaan (Intestinal
Permeability or "Leaky Gut Syndrome"), penanganan alergi makanan atau reaksi simpang
makanan lainnya. Feingold Diet dapat dipakai sebagai terapi alternatif yang dilaporkan cukup
efektif. Suatu substansi asam amino (protein), L-Tyrosine, telah diuji-cobakan dengan hasil
yang cukup memuaskan pada beberapa kasus, karena kemampuan L-Tyrosine mampu
mensitesa (memproduksi) norepinephrin (neurotransmitter) yang juga dapat ditingkatkan
produksinya dengan menggunakan golongan amphetamine.

Beberapa terapi biomedis dilakukan dengan pemberian suplemen nutrisi, defisiensi


mineral, essential Fatty Acids, gangguan metabolisme asam amino dan toksisitas Logam
berat. Terapi inovatif yang pernah diberikan terhadap penderita ADHD adalah terapi EEG
Biofeed back, terapi herbal, pengobatan homeopatik dan pengobatan tradisional Cina seperti
akupuntur.
Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan
menyeluruh. Penanganan ini harus melibatkan multi disiplin ilmu yang dikoordinasikan antara
dokter, orangtua, guru dan lingkungan yang berpengaruh terhadap penderita.  Untuk mengatasi
gejala gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD yang sudah ada dapat
dilakukan dengan terapi okupasi. Ada beberapa terapi okupasi untuk memperbaiki gangguan
perkembangan dan perilaku pada anak yang mulai dikenalkan oleh beberapa ahli
perkembangan dan perilaku anak di dunia, diantaranya adalah sensory Integration (AYRES),
snoezelen, neurodevelopment Treatment (BOBATH), modifukasi Perilaku, terapi bermain dan
terapi okupasi lainnya

Kebutuhan dasar anak dengan gangguan perkembangan adalah sensori. Pada anak
dengan gangguan perkembangan sensorinya mengalami gangguan dan tidak terintegrasi
sensorinya. Sehingga pada anak dengan gangguan perkembangan perlu mendapatkan
pengintegrasian sensori tersebut. Dengan terapi sensori integration.

Sensori integration adalah pengorganisasian informasi melalui beberapa jenis sensori di


anataranya adalah sentuhan, gerakan, kesadaran tubuh dan grafitasi, penglihatan,
pendengaran, pengecapan, dan penciuman yang sangat berguna untuk menghasilkan respon
yang bermakna. Beberapa jenis terapi sensori integration adalah memberikan stimulus
vestibular, propioseptif dan taktil input. Menurunkan tactile defensivenes dan meningkatkan
tactile discrimanation. Meningkatkan body awareness berhubungan dengan propioseptik dan
kinestetik. Selain sensory integration terapi sensori lain yang dikenbal dalam terapi gangguan
perkembangan dan perilaku adalah Snoezelen. Snoezelen adalah sebuah aktifitas yang
dirancang mempengaruhi system Susunan Saraf pusat melalui pemberian stimuli yang cukup
pada system sensori primer seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah dan
pembau. Disamping itu juga melibatkan sensori internal seperti vestibular dan propioseptof
untuk mencapai relaksasi atau aktivasi seseorang untuk memperbaiki kualitas hidupnya
 
Neurodevelopment treatment (NDT) atau Bobath adalah terapi sensorimotor dalam
menangani gangguan sensoris motor. Terapi NDT dipakai bertujuan untuk meningkatkan
kualitas motorik penderita. Tehnik dalam terapi ini adalah untuk memfokuskan pada fungsi
motorik utama dan kegiatan secara langsung.

Terapi modifikasi perilaku harus melalui pendekatan perilaku secara langsung, dengan
lebih memfokuskan pada perunahan secara spesifik. Pendekatan ini cukup berhasil dalam
mengajarkan perilaku yang diinginkan, berupa interaksi sosial, bahasa dan perawatan diri
sendiri. Selain itu juga akan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan, seperti agrsif, emosi
labil, self injury dan sebagainya. Modifikasi perilaku, merupakan pola penanganan yang paling
efektif dengan pendekatan positif dan dapat menghindarkan anak dari perasaan frustrasi,
marah, dan berkecil hati menjadi suatu perasaan yang penuh percaya diri.

Terapi bermain sangat penting untuk mengembangkan ketrampilan, kemampuan gerak,


minat dan terbiasa dalam suasana kompetitif dan kooperatif dalam melakukan kegiatan
kelompok. Bermain juga dapat dipakai untuk sarana persiapan untuk beraktifitas dan bekerja
saat usia dewasa. Terapi bermain digunakan sebagai sarana pengobatan atau terapitik dimana
sarana tersebut dipakai untuk mencapai aktifitas baru dan ketrampilan sesuai dengan
kebutuhan terapi.

Dengan bertambahnya umur pada seorang anak akan tumbuh rasa tanggung jawab dan
kita harus memberikan dorongan yang cukup untuk mereka agar mau belajar mengontrol diri
dan mengendalikan aktifitasnya serta kemampuan untuk memperhatikan segala sesuatu yang
harus dikuasai, dengan menyuruh mereka untuk membuat daftar tugas dan perencanaan
kegiatan yang akan dilakukan sangat membantu dalam upaya mendisiplinkan diri, termasuk
didalamnya kegiatan yang cukup menguras tenaga (olah raga dll) agar dalam dirinya tidak
tertimbun kelebihan tenaga yang dapat mengacaukan seluruh kegiatan yang harus dilakukan.
Nasehat untuk orangtua, sebaiknya orang tua selalu mendampingi dan mengarahkan kegiatan
yang seharusnya dilakukan si-anak dengan melakukan modifikasi bentuk kegiatan yang
menarik minat, sehingga lambat laun dapat mengubah perilaku anak yang menyimpang. Pola
pengasuhan di rumah, anak diajarkan dengan benar dan diberikan pengertian yang benar
tentang segala sesuatu yang harus ia kerjakan dan segala sesuatu yang tidak boleh dikerjakan
serta memberi kesempatan mereka untuk secara psikis menerima petunjuk-petunjuk yang
diberikan.

Umpan balik, dorongan semangat, dan disiplin, hal ini merupakan pokok dari upaya
perbaikan perilaku anak dengan memberikan umpan balik agar anak bersedia melakukan
sesuatu dengan benar disertai dengan dorongan semangat dan keyakinan bahwa dia mampu
mengerjakan, pada akhirnya bila ia mampu mengerjakannya dengan baik maka harus diberikan
penghargaan yang tulus baik berupa pujian atupun hadiah tertentu yang bersifat konstruktif.
Bila hal ini tidak berhasil dan anak menunjukkan tanda-tanda emosi yang tidak terkendali harus
segera dihentikan atau dialihkan pada kegiatan lainnya yang lebih ia sukai. Strategi di tempat
umum, terkadang anak justru akan terpicu perlaku distruktifnya di tempat-tempat umum, dalam
hal ini berbagai rangsangan yang diterima baik berupa suasana ataupun suatu benda tertantu
yang dapat membangkitkan perilaku hiperaktif / destruktif haruslah dihindarkan dan dicegah,
untuk itu orang tua dan guru harus mengetahui hal-hal apa yang yang dapat memicu perilaku
tersebut. Modifikasi perilaku, merupakan pola penanganan yang paling efektif dengan
pendekatan positif dan dapat menghindarkan anak dari perasaan frustrasi, marah, dan berkecil
hati menjadi suatu perasaan yang penuh percaya diri.

PENUTUP

ADHD atau Attention Deficite Hyperactivity Disorder pada anak yang merupakan
gangguan perilaku yang semakin sering ditemukan. Seringkali karena kurang pemahaman dari
orangtua dan guru serta orang-orang disekitarnya anak diperlakukan tidak tepat sehingga
cenderung memparah keadaan. Terdapat beberapa pegangan dalam mendiagnosa ADHD,
gejala hiperaktifitas harus dapat dilihat pada setidaknya di dua temapat yang berbeda dengan
kondisi (setting) yang berbeda pula.

Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan
menyeluruh. Penanganan ini harus melibatkan multi disiplin ilmu yang dikoordinasikan antara
dokter, orangtua, guru dan lingkungan yang berpengaruh terhadap penderita. 

DAFTAR PUSTAKA
1.       APA: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric
Association Press; 1994: 78-85.

2.       Brown TE: Brown ADD Scales. San Antonio, TX: Psychological Corp; 1996: 5-6.

3.       Elia J, Ambrosini PJ, Rapoport JL: Treatment of attention-deficit-hyperactivity disorder. N Engl J Med 1999 Mar
11; 340(10): 780-8

4.       Hunt RD, Paguin A, Payton K: An update on assessment and treatment of complex attention-deficit hyperactivity
disorder. Pediatr Ann 2001 Mar; 30(3): 162-72.

5.       Ramchandani P, Joughin C, Zwi M: Attention deficit hyperactivity disorder in children. Clin Evid 2002 Jun; 262-
71.

6.       Reeves G, Schweitzer J: Pharmacological management of attention-deficit hyperactivity disorder. Expert Opin
Pharmacother 2004 Jun; 5(6): 1313-20

7.       Wilens TE: Straight Talk about Psychiatric Medications for Kids. New York, NY: Guilford Press; 2002.

8.       American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR). 4th ed.
Washington, DC: American Psychiatric Association; 2000. 78-85.

9.       Baving L, Laucht M, Schmidt MH: Atypical frontal brain activation in ADHD: preschool and elementary school
boys and girls. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1999 Nov; 38(11): 1363-71

10.    Biederman J, Faraone SV, Milberger S: Is childhood oppositional defiant disorder a precursor to adolescent
conduct disorder? Findings from a four-year follow-up study of children with ADHD. J Am Acad Child Adolesc
Psychiatry 1996 Sep; 35(9): 1193-204

11.    Bush G, Frazier JA, Rauch SL: Anterior cingulate cortex dysfunction in attention- deficit/hyperactivity disorder
revealed by fMRI and the Counting Stroop. Biol Psychiatry 1999 Jun 15; 45(12): 1542-52

12.    Casey BJ, Castellanos FX, Giedd JN: Implication of right frontostriatal circuitry in response inhibition and
attention-deficit/hyperactivity disorder. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry - Sarfatti SE; 36(3): 374-83

13.    Dulcan M: Practice parameters for the assessment and treatment of children, adolescents, and adults with
attention-deficit/hyperactivity disorder. American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. J Am Acad Child
Adolesc Psychiatry 1997 Oct; 36(10 Suppl): 85S-121S

14.    Faraone SV, Sergeant J, Gillberg C, Biederman J: The Worldwide Prevalence of ADHD: Is it an American
Condition? World Psychiatry 2003;2:104-113.

15.    Faraone SV, Perlis RH, Doyle AE, et al: Molecular genetics of attention-deficit/hyperactivity disorder. Biol
Psychiatry 2005 Jun 1; 57(11): 1313-23

16.    Green WH: Child and Adolescent Clinical Psychopharmacology. Baltimore, Md: Williams & Wilkins; 1995: 56-77.

17.    Greenhill LL: Diagnosing attention-deficit/hyperactivity disorder in children. J Clin Psychiatry 1998; 59 Suppl 7:
31-41

18.    Jensen PS: Fact versus fancy concerning the multimodal treatment study for attention-deficit hyperactivity
disorder. Can J Psychiatry 1999 Dec; 44(10): 975-80

19.    Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Kaplan and Sadock's Synposis of Psychiatry. 7th ed. Baltimore, Md: Williams
& Wilkins; 1994: 1063-8.
20.    MTA Cooperative Group: A 14-month randomized clinical trial of treatment strategies for attention-
deficit/hyperactivity disorder. The MTA Cooperative Group. Multimodal Treatment Study of Children with ADHD.
Arch Gen Psychiatry 1999 Dec; 56(12): 1073-86

21.    Multimodal Treatment Study: Moderators and mediators of treatment response for children with attention-
deficit/hyperactivity disorder: the Multimodal Treatment Study of children with Attention-deficit/hyperactivity
disorder. Arch Gen Psychiatry 1999 Dec; 56(12): 1088-96

22.    Rugino TA, Samsock TC: Modafinil in children with attention-deficit hyperactivity disorder. Pediatr Neurol 2003
Aug; 29(2): 136-42

23.    Rutter M, Taylor E, Hersov L: Child and Adolescent Psychiatry: Modern Approaches. 3rd ed. Oxford, UK:
Blackwell Science; 1994: 285-307.

24.    Spencer T, Biederman J, Wilens T: Nonstimulant treatment of adult attention-deficit/hyperactivity disorder.


Psychiatr Clin North Am 2004 Jun; 27(2): 373-83

25.    Vaidya CJ, Austin G, Kirkorian G: Selective effects of methylphenidate in attention deficit hyperactivity disorder:
a functional magnetic resonance study. Proc Natl Acad Sci U S A 1998 Nov 24; 95(24): 14494-9

26.    Daruna JH, Dalton R, Forman MA. Attention deficit hyperactifity disorder. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB. Nelson textbook of pediatrics. 16th ed. WB Saunders Co. USA. 2000;29.2:100-3.

27.    Laufer MW. Brain disorder. Ed. Freedman AM, Kaplan HI. Dalam: Comprehensive textbook of psychiatry. The
Williams and Wilkins Co. Maryland, USA.1973;42:1142-52.

28.    Child development institute. About Attention Deficit Hyperactivity Disorder ADD/ADHD. Child Development
Institute 2003: ttp://www.childdevelopmentinfo.com/disorders/adhd.shtml.

29.    IMH. Attention Deficit Hyperactivity Disorder. NIMH Public Inquiries Bethesda, U.S.A dapat dilihat di:
http://www.nimh.nih.gov/publicat/ adhd.cfm diakses pada: 27 April 2003.

30.    American academy of pediatrics. Clinical Practice Guideline: Treatment of the School-Aged Child With Attention
Deficit Hyperactivity Disorder. Pediatrics Vol. 108 No. 4. USA. 2001;1033-44

Anda mungkin juga menyukai